TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT : STUDI PUTUSAN NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL.

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Nur Cholifah

NIM. C03212023

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

SURABAYA

2016


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh Nur Cholifah NIM: C03212023

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak

Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl)”

adalah hasil penelitian kualitatif berupa library research untuk menjawab

pertanyaan yaitu bagaimana pertimbangan hukum dari hakim dalam memutus perkara nomor 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari kajian kepustakaan yaitu berupa teknik bedah putusan, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif, analisis dan pola pikir dedutif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus menurut hukum pidana Islam dan Pasal 439 KUHP.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 439 KUHP yang mengancam hukuman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan dalam hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yakni pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara dari tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana

pembajakan di tepi laut dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana h}ira>bah,

h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan). Hukuman yang dijatuhkan dalam perkara pembajakan di tepi laut yang hanya mengambil harta tanpa melakukan pembunuhan, dalam hal ini anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang.

Saran yang dapat disampaikan adalah diharapkan para hakim dalam memutus perkara hendaknya lebih mengutamakan kemaslahatan umum dengan mendasarkan segala keputusannya kepada UU yang mengatur tindak pidana seseorang, karena Negara Indonesia adalah Negara hukum yang menganut asas legalitas, sewajarnya para hakim memutus segala perkara sesuai dengan UU yang mengaturnya.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional... 13

H. Metode Penelitian ... 14


(9)

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG H{IRA>BAH ... 19

A. Definisi H}}ira>bah ... 19

B. Unsur-Unsur H}}ira>bah ... 22

C. Bentuk-Bentuk H}}ira>bah ... 23

D. Pelaku H{ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya... 24

E. Pembuktian Untuk Jarimah H{ira>bah ... 30

F. Dasar Hukum H{ira>bah ... 31

G. Hukuman atau Sanksi H{ira>bah ... 33

H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Had H{ira>bah ... 39

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT ... 42

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal ... 42

B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana di Tepi Laut Dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 43

C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti ... 45

D. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 50

E. Isi Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 54

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL DALAM PUTUSAN NO.98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT ... 57


(10)

A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana

Pembajakan di Tepi Laut ... 57

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 66

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar bahkan berbuat kejahatan. Semakin maju perkembangan zaman seiringan dengan itu juga kejahatan banyak bermunculan di negeri ini dengan berbagai metode. Hal tersebut tidak lepas dari perkembangan zaman yang semakin canggih sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal semakin canggih pula, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi teknologi. Perkembangan tersebut sangat mempengaruhi berbagai pihak untuk melakukan berbagai cara dalam memenuhi keinginannya, yakni dengan menghalalkan segala cara yang berimbas pada kerugian yang akan diderita seseorang.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah dikodifikasi, bentuk dan model kejahatan beraneka ragam dan

bermacam-macam pula dan tujuannya.1 Di Indonesia hukum yang mengatur tentang

hukuman bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Hukum pidana yaitu peraturan hukum yang mencakup


(12)

keharusan dan larangan serta bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi

hukuman terhadapnya.2

Hukum pidana bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu hukum publik dan hukum privat. Dan hukum pidana ini digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu yang mengatur hubungan antara Negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya, hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan perbuatan pidana atau delik sebagaimana dalam

sistem KUHP.3

Perbuatan-perbuatan pidana, menurut wujud dan sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,

mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum.4 Dalam hukum

pidana terdapat suatu hukuman, yang dimaksud hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis

kepada orang yang telah melanggar undang-undang.5

Di agama Islam pun terdapat hukum yang mengatur tentang kejahatan (jarimah) yang disebut dengan hukum pidana Islam, pembahasan hukum pidana Islam ada yang menyebutnya fiqh jinayah dan ada pula yang

2 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 269. 3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), 1-2. 4 Ibid., 2.


(13)

menjadikan fiqh jinayah sebagai subbagian yang terdapat di bagian akhir isi sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak pemaparanya seperti kitab di

dalam fiqh.6 Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga macam tindak pidana

(jarimah) yaitu, jarimah hudud, jarimah qishas atau diyat, dan jarimah takzir.7

Studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah Republik Indonesia terdiri dari laut. Ini suatu petunjuk bahwa cukup banyak orang Indonesia menggantungkan diri secara langsung atau pun tidak langsung pada laut. Semua yang berada di luar komunitas sendiri boleh dijadikan bahan buruan, baik itu tanaman, hewan, maupun berupa manusia. Jika perburuan tersebut terjadi di laut, maka oleh masyarakat tindakan ini disebut perompakan atau pembajakan dan pelakunya dinamakan perompak

atau bajak laut.8

Pada umumnya, Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan kekerasan di laut. Untuk membedakannya dari petugas Negara yang juga menggunakan kekerasan di laut dan bertindak atas nama Negara, maka dibuat pembatasan bahwa yang diartikan sebagai Bajak Laut adalah orang yang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintah untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan suatu kelompok

6 Nurul Irfan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Pena Grafika, 2013), 1.

7 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 12. 8 Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), 1.


(14)

tertentu. Dalam hal ini, ia melanggar hukum Negara dan dianggap sebagai

seorang kriminal.9

Dalam hukum Internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan Bajak Laut merupakan suatu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu di perairan bebas, yakni di laut yang terletak di luar yuridiksi suatu Negara tertentu. Karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan terhadap seluruh umat manusia, maka pelaku dapat diadili oleh tiap

Negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas.10

Pembajakan dalam kata lain perompakan seperti halnya telah dijelaskan di atas adalah tindak pidana yang jarang kita dengar. Kejahatan ini tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus sebagaimana ketentuan tindak pidana lainnya. Tindak pidana perompakan ini dicantumkan dalam ketentuan umum dalam KUHP. Kejahatan pelayaran adalah judul dari title XXIX Buku Kedua KUHP, dan menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang ada hubungan dengan pelayaran, terutama pelayaran di Laut dan bersifat berat, yaitu hampir semua merupakan perbuatan kekerasan terhadap

orang atau barang.11

Kejahatan pelayaran sebagaimana yang tercantum dalam KUHP yakni terdapat pada Pasal 438 sampai dengan Pasal 479 KUHP. Pasal pertama dari

9 Ibid., 117. 10 Ibid.

11 Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Ed. 2, Cet. 4, (Bandung:


(15)

title ini, yaitu pasal 438 yang memuat suatu tindak pidana yang di situ dinamakan “pembajakan laut” (zeeroof).12

Lain halnya dengan tindak pidana pembajakan pantai (kustroof), pesisir (strandroof), sungai (rivierrof), yang ketiga-tiganya dirumuskan sebagai perbuatan kekerasan dan ketiga-tiganya masing-masing diancam dengan

hukuman maksimum lima belas tahun penjara.13

Dalam hal ini pembajakan yang dilakukan adalah di dalam laut territorial. Ordonansi Laut Territorial dan Maritim 1939 menetapkan bahwa masing-masing pulau Indonesia memiliki laut territorial selebar tiga mil, dan perairan di luar laut territorial merupakan laut lepas. Sebagai konsekuensinya, kebebasan laut lepas (freedom of the sea) yang dicanangkan oleh Grotinus, berlaku di wilayah laut yang sekarang ini merupakan perairan

nusantara.14

Konsepsi Laut Teritorial yang dikemukakan Pontanus, karena jarak tembak meriam pantai pada masa itu hanya tiga mil, maka lebar laut teritorial tiga mil sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang surut (low water marks) yang juga disebut sebagai garis dasar biasa (normal

baselines) dianggap sebagai lebar maksimum laut teritorial.15

Namun pada tahun 1960, pemerintah Indonesia membuat undang No. 4 tahun 1960 tentang Laut Teritorial Indonesia. Dalam

12 Ibid. 13 Ibid., 142.

14 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah Dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 22.


(16)

undang tersebut telah terjadi perubahan mengenai konsep laut territorial. Salah satunya, yakni lebar laut territorial tiga mil yang diukur dari garis pangkal normal (garis air surut terendah mengelilingi suatu pulau) telah digantikan oleh laut territorial selebar 12 mil laut yang diukur dari garis

pangkal lurus kepulauan.16

Mengenai kasus yang akan diteliti oleh penulis dalam putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut, yakni dengan kronologi kasus yang terjadi pada hari Minggu tanggal 13 Agustus 2006 pukul 03.00 WIB, di Perairan Kuala Simbur Naik Kec. Muara Sabak Kab. Tanjab Timur. Terdakwa KOMARUDIN bersama dengan teman-temannya, pada saat berada di luar Desa Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) kapal motor jaring ikan sedang bertambat. Pompong yang digunakan oleh terdakwa bersama

teman-temannya digunakan tanpa seijin dari pemilik pompong. Dalam melakukan

aksi perompakan tersebut, terdakwa bersama dengan teman-temannya mengancam dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Dua buah pistol, namun yang satu adalah pistol mainan yakni pistol untuk menyalakan api. Dalam peristiwa tersebut, terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana “pembajakan di tepi laut” sebagaimana diatur

dalam Pasal 439 KUHP.17 Berdasarkan Pasal tersebut di atas, dalam KUHP

diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara bagi yang terbukti melanggar pasal tersebut.

16 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia…, 23.


(17)

Dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang perkara pembajakan di tepi laut, jika dilihat dari dasar yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara yakni KUHP terdapat alasan yang ditinjau dari pertimbangan hakim dalam memutus perkara yakni ditinjau dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan hukuman sebagaimana menurut Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa putusan pemidaan memuat hal-hal yang meringankan dan hal-hal-hal-hal yang memberatkan terdakwa. Sehingga karena hal tersebut, hakim dapat meringankan hukuman terdakwa menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun yang awal mulanya Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun.

Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh perampok pada jarimah perampokan (al-h}ira>bah). Pertama, perampok hanya menakut-nakuti saja. Kedua, perampok mengambil harta dengan cara terang-terangan. Ketiga, perampok mengambil harta dan melakukan pembunuhan. Keempat, perampok melakukan pembunuhan tetapi tidak mengambil harta. Seluruh kemungkinan tersebut dapat dikelompokkan sebagai jarimah perampokan jika para

perampok itu disertai niat untuk mengambil harta secara terang-terangan.18

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah landasan hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

18 Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),


(18)

dalam menyelesaikan perkara tindak pidana pembajakan di tepi laut sesuai dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang berlaku, serta tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana tersebut.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pembajakan di tepi laut.

2. Bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana

pembajakan di tepi laut.

3. Akibat yang timbul dari adanya tindak pidana pembajakan di tepi laut.

4. Pertimbangan hukum Hakim dalam tindak pidana pembajakan di tepi

laut.

5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi

laut dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

Kemudian untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada permasalahan yang akan dikaji, maka penulis membatasi penelitian pada:

1. Pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana pembajakan di tepi

laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi


(19)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau

duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.19 Berkaitan dengan

beberapa tema diantaranya ialah:

Dalam skripsi yang disusun oleh M Irfan yang berjudul “Peluang Dan

Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”, dalam hal ini dijelaskan mengenai peluang dan tantangan dalam penyelesaian aksi perompak Somalia. Adapun analisis penulis mengenai aksi perompakan di Teluk Aden oleh Somalia yang dimaksud di atas merupakan persoalan internasional yang harus diselesaikan oleh seluruh Negara. Dari permasalahan yang ada, dalam hal tersebut Negara yang dirugikan oleh perompak Somalia

19Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: t.p., 2015), 8.


(20)

berhak menangkap dan dengan kata lain dibolehkan mencampuri kedaulatan

disuatu Negara terkait dengan adanya prinsip universal.20

Dalam skripsi yang disusun oleh Asri Dwi Utami yang berjudul “Analisis

Yuridiksi Perompakan Kapal Laut di Laut Lepas Menurut Hukum

Internasional (Studi Kasus Perompakan Kapal Sinar Kudus Mv)”, dalam

skripsi ini dijelaskan mengenai penerapan yuridiksi dalam kasus perompakan di laut lepas, yakni bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional yang dapat dijadikan landasan. Dan berdasarkan aturan hukum internasional, seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus Mv dapat dilakukan dengan cara lain (tidak dengan membayar uang tebusan). Penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan menerapkan yuridiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yuridiksi

Indonesia, yuridiksi Somalia maupun yuridiksi universal.21

Dalam skripsi yang disusun oleh Muhammad Najib yang berjudul

“Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana

Nahkoda Menurut Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008”. Dalam

skripsi ini dijelasakan mengenai sanksi bagi nahkoda yang melakukan tindak pidana menurut undang-undang pelayaran nomor 17 tahun 2008 dan dalam hukum pidana Islam. Pelanggaran nahkoda yang ringan dijatuhi pidana penjara paking lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp.

20 M Irfan, “Peluang Dan Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”

(Skripsi--Universitas Hasanuddin, Sulawesi, 2014).

21 Asri Dwi Utami, “Analisis Yuridiksi Perompakan Kapal Laut di Laut Lepas Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Perompakan Kapal Sinar Kudus Mv)” (Skripsi—UNS, Surakarta, 2012).


(21)

100.000.000,00 dan mengenai penjatuhan pidana terberat adalah penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00. Dan mengenai hukuman dalam hukum pidana Islam, tindakan pidana yang dilakukan oleh nahkoda yang mengakibatkan kerugian harta benda atau

bahkan kematian bagi para penumpangnya dikenai hukuman ta’zir yang

keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang berwenang.22

Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Yang membedakan dalam penulisan skripsi ini adalah penulis akan menganalisis terhadap putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl) tentang tindak pidana pembajakan di tepi Laut yang terdapat pada Pasal 439 KUHP dan ditinjau dari hukum pidana Islam. Kajian pustaka yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mendapat gambaran mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti oleh peneliti.

E. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

22 Muhammad Najib, “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana

Nahkoda Menurut Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).


(22)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk 2 (dua) aspek, yaitu:

1. Aspek teoritis, yaitu sebagai masukan dalam rangka pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pembajakan di tepi laut.

2. Aspek praktis

a. Dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan hipotesis bagi penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pembajakan di tepi laut.

b. Sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa

pentingnya hukuman bagi pelaku tindak pidana pembajakan di tepi laut.

G. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam penulisan skripsi ini agar mudah untuk memahami penelitian ini dengan jelas tentang arah dan tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung.

Adapun yang terkait dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam


(23)

98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”, untuk memperoleh gambaran yang luas dan pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka penulis sertakan beberapa definisi hal-hal yang terkait dengan penelitian ini:

1. Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama maka

di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum dan ini tidak bisa

dilaksanakan oleh perorangan, seperti halnya dalam hukum perdata.23

Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori jarimah h}ira>bah

yang diancam hukuman hudud.

2. Tindak pidana pembajakan atau perompakan adalah tindakan kejahatan

kekerasan terhadap orang atau barang yang berada di atas kapal.24

3. Tepi laut atau pantai merupakan perbatasan daratan dengan laut.25

H. Metode Penelitian

Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dari dokumen, Undang-undang dan putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl yang dapat ditelaah. Untuk

23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

2004), vii.

24 Irwansyah dan Tim Justice Publishing, KUHP & KUHAP Dilengkapi, Pasal-Pasal Penting KUHP Yang Perlu Diperhatikan dan Penjelasan Proses Penanganan Kasus Pidana, (Jakarta: Justice Publishing, 2016), 298.

25 www.artikelsiana.com/2014/11/pengertian-pantai-macam-macam-pantai.html, diakses tanggal


(24)

mendapatkan hasil penelitian yang akurat dalam menjawab beberapa persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka menggunakan metode:

1. Data yang dikumpulkan

a. Data mengenai putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal No.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut.

b. Ketentuan tentang pembajakan menurut hukum pidana Islam.

2. Sumber data

Sumber data, yakni sumber dari mana data akan digali, baik primer

maupun sekunder.26 Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Sumber primer

Sumber primer merupakan sumber data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapat sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian yaitu putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana Pembajakan di Tepi Laut dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda tertulis seperti buku-buku literatur yang dipakai sebagai berikut:


(25)

1) Adam Chazawi, Kejahatan-Kejahatan Tertentu di Indonesia.

2) Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut.

3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam.

4) Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah

(Asas-asas Hukum Pidana Islam).

5) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana.

6) Syamsumar Damn, Politik Kelautan.

7) Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu

Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah Dengan Kualitass Pelayanan Pelayaran.

8) Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di

Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka (Library Research), maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan:

a. Teknik dokumentasi yaitu teknik mencari data dengan cara

membaca dan menelaah dokumen, dalam hal ini dokumen putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

b. Teknik Kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji literatur


(26)

4. Teknis analisis data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik deskriptif, analisis, yaitu teknik analisis dengan cara menggambarkan data sesuai dengan apa adanya dalam hal ini data tentang dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam

putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut, kemudian dianalisis dengan hukum pidana Islam dalam hal ini teori h}ira>bah.

I. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih mudah dalam memahami dan penulisan skripsi. Oleh karena itu, penulis akan menyusun penelitian ini ke dalam 5 (lima) bab pembahasan. Adapun sistematika pembahasan skripsi tersebut secara umum adalah sebagai berikut: Bab I, pada bab ini menguraikan tentang pendahuluan yaitu meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II, bab ini merupakan landasan teori tentang h{ira>bah yang meliputi definisi, unsur-unsur, pembuktian dan sanksi hukumannya. Bab III, bab ini mendeskripsikan tentang putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana


(27)

pembajakan di tepi laut, isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.

Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis pertimbangan hakim dan analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut dalam Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

Bab V, bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang memuat uraian jawaban permasalahan dari penelitian.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG

H{IRA>BAH

A. Definisi H{ira>bah

H{ira>bah adalah bentuk mashdar dari kata ةبارح – ةبراحم – براحي– براح yang secara etimologis berarti memerangi atau seseorang bermaksiat kepada Allah.1 H{ira>bah berasal dari kata H{arb yang artinya perang. H{ira>bah adalah

keluarnya gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang Islam sendiri maupun kafir Zimmi atau kafir Harbi.2

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti persoalannya tetap sama.3

Menurut Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, atau mengambil harta, at au membunuh orang.

1 Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 122. 2 Sayid Syabiq, Fiqh Sunnah IX, (Bandung: Alma’arif, 1990), 43. 3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 94-95.


(29)

Menurut Syafi’iyah definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).

Menurut Imam Malik, h}ira>bah adalah mengambil harta dengan tipuan (takti k), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Zhahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan tindak kekerasan di muka bumi.

Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kekerasan. Namun hanya definisi Imam Malik dan Zhahiriyah yang sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefiniskan perampokan lebih mementingkan kekuatan otak, taktik dan strategi dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana perampokan. Meskipun demikian, menurut mereka (Zhahiriyah) apabila tindak pidana pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, atau kemudian ia berzina (memperkosa), atau membunuh maka hukumannya


(30)

bukan sebagai perampokan, melainkan dihukum sebagai pencuri, atau pezina, atau pembunuh.4

Dalam buku karya Abdur Rahman yang berjudul “Tindak Pidana dalam Syari’at Islam”, h}ira>bah menurut Alquranulkarim merupakan suatu kejahatan yang gawat. Hal tersebut dilakukan oleh satu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan di jalan raya atau di tempat manapun dan mereka merampas harta korbannya dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta pertolongan maka mereka akan menggunakan kekerasan.5

Sedangkan menurut A. Djazuli, h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.6 Jadi,

h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang digunakan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan, orang-orang seperti ini bisa masuk kategori perampok dan penyamun.7

H{ira>bah atau perampokan dapat digolongkan kepada tindak pidana pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki, melainkan dalam arti majazi.

4 Ibid., 95.

5Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 56. 6 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 88.


(31)

Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan secara terang-terangan dan kekerasan.8

B. Unsur-Unsur H{ira>bah

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur jarimah h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, baik dalam kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.9 Selanjutnya

dijelaskan, bahwasannya jarimah h}ira>bah sekalipun dinamakan pencurian besar, tetapi tidak sama persis dengan pencurian. Pencurian adalah mengambil barang-barang atau harta dengan sembunyi-sembunyi, sedangakan h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan. Maka unsur pokok dari pencurian adalah mengambil harta secara nyata, sedangkan unsur pokok h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta baik pengambilan harta itu terwujud atau tidak.10 Adapun perampokan, dalam

pelaksanaannya mungkin tidak mengambil harta, melainkan tidakan lain, seperti melakukan intimidasi atau membunuh orang.11

C. Bentuk-Bentuk H}ira>bah

8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 93. 9 Ibid., 95.

10 Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 547. 11 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 95.


(32)

Adapun dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut:12

1. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh. 2. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil

harta tanpa membunuh.

3. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.

4. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.

Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana perampokan tersebut, maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta, serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok. Walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman takzir.13

D. Pelaku H}ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya

12 Ibid. 13 Ibid., 96.


(33)

H}ira>bah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok maupun perorangan atau individu yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Dalam hal menunjukkan kemampuan, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, balok kayu.14 Akan tetapi

Imam malik, Imam Syafi’i dan Zhahiriyah, serta Syi”ah Zaidiyah tidak mensyaratkan adanya, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan kemampuan fisik. Bahkan imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau strategi, tanpa penggunaan kekuatan, atau dalam keadaan tertentu dengan menggunakan anggota badan, seperti tangan dan kaki.15

Mengenai pelaku jarimah h}ira>bah tersebut, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Menurut Hanafiyah, pelaku h}ira>bah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut. Dengan demikian, menurut Hanafiyah orang yang ikut terjun secara langsung dalam pengambilan harta, membunuh, atau mengitimidasi termasuk pelaku perampokan. Demikian pula orang yang memberikan bantuan, baik dengan cara permufakatan, suruhan, maupun pertolongan juga termasuk pelaku perampokan. Dan mengenai pendapat Hanafiyah tersebut disepakati oleh Imam Malik, Imam Ahmad dan Zhahiriyah. Akan tetapi , berbeda dengan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku

14 Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Ahsin Sakho Muhammad dkk), Jilid V, (Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008), 200.


(34)

perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan. Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan, melainkan hanya sebagai pembantu yakni diancam dengan hukuman takzir.16

Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku h}ira>bah disyaratkan harus mukalaf, yaitu baligh dan berakal. Hal tersebut merupakan persyaratan umum yang berlaku untuk semua jarimah. Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku h}ira>bah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku h}ira>bah terdapat seorang perempuan maka ia tidak tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi , Imam Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam melakukan tindak pidana perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Adapun menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Zhahiriyah dan Syiah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan, seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain.17

Adapun syarat-syarat pelaku h}ira>bah, yaitu sebagai berikut: 1. Tentang cara pengambilan harta.

“Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.”

16 Ibid. 17 Ibid., 97.


(35)

Kaidah ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul Qadir Audah mengistilahkan h}ira>bah dengan sariqah kubra> (pencurian besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan secara diam-diam disebut dengan sariqah sughra> (pencurian kecil). besar kecil di sini tidak dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil, tetapi membedakan cara pengambilannya.

Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pengambilan harta ini harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah. Hal ini didasarkan atas beberapa definisi di atas yang mengisyaratkan keharusan adanya maksud mengambil harta. Niat pengambilan harta ini menjadi penting, sebab dapat memebedakan penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan seseorang. Pembunuhan yang didasari dengan niat mengambil harta termasuk dalam jarimah hira>bah (hudud), sedangkan pembunuhan yang tidak didasari dengan niat mengambil harta atau mer ampok termasuk dalam jarimah qishash.

2. Tentang tempat perampokan.

Menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah, perampokan di lakukan di luar kota. Kaidah ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan padang pasir. Alasannya, perampokan adalah tindakan menghambat jalan (qath’u al thari>q) yang hanya dapat dilakukan di tempat yang sunyi atau jauh dari tempat meminta pertolongan. Pada tempat yang sunyi tersebut,


(36)

para pengguna jalan hanya menggantungkan keselamatannya kepada Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang menghambat jalan mereka (para pengguna jalan) sama dengan memerangi Allah.

Sementara, jika di jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga mudah meminta pertolongan. Selain itu ada pihak yang berwenang yang menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had h}ira>bah.

Sedangkan menurut pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah, perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam. Menurut Jumhur, perampokan tidak harus selalu dilakukan di jalanan luar kota, di dalam kota pun dikelompokkan sebagai perampokan yang dikenai had. Alasannya, ayat yang menjadi landasan naqli had h}ira>bah bersifat umum, tidak membedakan jalanan di luar kota dengan di dalam kota. Selain itu, perampokan di dalam kota justru menunjukkan adanya pelanggarang yang lebih berat dibanding dengan di luar kota. Sebab, di dalam kota keadaan lebih aman dan mudah mencari pertolongan. Oleh karena itu, mereka yang melakukan di dalam kota menunjukkan adanya keberanian yang besar untuk melanggar hak-hak jama’ah. Perbuatan seperti ini lebih pantas untuk dihukumi sebagai perampok dibanding dengan yang dilakukan di luar kota.

Terlepas dari perbedaan tentang di luar kota atau di dalam kota, ada kesamaan pendapat diantara mereka bahwa perampokan terjadi di jalan sehingga disebut juga dengan qath’u al-thari>q. Menurut Satria Effendi M.


(37)

Zein, pengertian seperti ini hanya dapat diterapkan kepada praktek-praktek pembajakan baik di darat, di laut maupun di udara. Pembatasan ini menyebabkan tindakan pengambilan harta secara paksa di rumah-rumah tidak dapat dapat dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah. Padahal apa yang mungkin terjadi di jalan, mungkin juga terjadi di rumah-rumah atau tempat-tempat lainnya, bahkan bisa lebih menakutkan. Setelah mencermati pendapat sebagian ulama, Satria Effendi menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah h}ira>bah adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja, termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini, perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibandingkan dengan di jalan-jalan.

3. Tentang keharusan menggunakan senjata.

“Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.”

Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah jika para pelakunya menggunakan senjata. Alasannya, perampokan tidak akan terpenuhi kecuali dengan menggunakan senjata untuk menakut-nakuti. Kaidah ini dipegang oleh Jumhur. Sementara menurut Zhahiriyah tidak ada keharusan menggunakan senjata seperti dijelaskan di atas. Sebab, tidak


(38)

adanya dalil yang secara khusus mengharuskan demikian tersebut di atas.18

Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hira>bah ini adalah persyaratan tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam jarimah h}ira>bah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam pencurian. Secara global, syarat tersebut adalah barang yang diambil harus tersimpan (muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada syubhat, dan memenuhi nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hira>bah tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa dalam jarimah h}ira>bah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan demikian, meskipun pembagian harta untuk masing-masing pelaku tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara perorangan. Dengan demikian, apabila harta yang diterima oleh masing-masing pelaku tidak mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta.19

18Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),

(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 153. 19 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 97.


(39)

Selain persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam. Seseorang dianggap maksum jika ia seorang muslim atau kafir dzimmi.20

Orang Islam dijamin karena keIslamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’man (mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas musta’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta’man tidak dikenakan hukuman had.21

E. Pembuktian Untuk Jarimah H}ira>bah

Jarimah h}ira>bah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu:22

1. Dengan saksi, dan 2. Dengan pengakuan.

1. Pembuktian dengan saksi

Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah h}ira>bah saksi merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi

20 Abdul Qadir Al Audah, Ensklopedi Hukum Pidana Islam…, 204. 21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 98.


(40)

untuk jarimah h}ira>bah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam melakukan tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat o rang saksi perempuan.

2. Pembuktian dengan pengakuan

Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.23

F. Dasar Hukum H}ira>bah

Hukuman jarimah h}ira>bah tersebut dijelaskan dalam Alquran Surah Almaidah ayat 33 dan 34 yang berbunyi:

َ

نإ

ام

َ

آزج

َ

َ

اؤ

َ

َ

نيذ لا

َ

احي

َ

َ

نوبر

َ

َ

ّ

َ

َ

رو

،هلوس

َ

َ

ن وع سيو

َ

ىف

َ

لا

ىض ر

َ

اسف

َ

اًد

َ

َ

نأ

َ

اوب لصي وأاول تقي

َ

َ

ع طقت وأ

َ

َ

يأ

َ

مه يد

َ

َ

مهلج رأو

َ

َ

ن م

َ

َ

لخ

َ

ف

َ

ا وفني وأ

َ

َ

نم

َ

َ

لا

َ

َ

ض ر

َ

َ

كلذ

َ

مهل

َ

َ

ى زخ

َ

ىف

َ

اي ن

دلا

ُ

َ

َ

مهلو

َ

ىف

َ

َ

لا

ا

َ

ةرخ

َ

َ

باذع

َ

َ

ميظع

.

َ

َ

ّ

إ

َ

َ

ذ لا

َ

َ

ني

َ

َ

ت

ا وبا

َ

َ

نم

َ

َ

ل بق

َ

َ

نأ

َ

َ

د قت

َ

ر

ا و

َ

َ

مه يلع

َ

ا ومل عاف

َ

َ

نأ

َ

َ

ّ

َ

َ

يح ر روفغ

َ

م.

23 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 89.


(41)

Artinya:

“Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang dari negeri tempat mereka tinggal. Yang demikian itu sebagai penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”24

Sewaktu menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa beberapa orang dari suku Ukul datang menghadap Nabi SAW di Madinah berpura-pura bahwa mereka ingin memeluk Islam. Mereka mengeluh kepada Nabi SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi mereka sehingga mereka mengalami gangguan kesehatan. Karena itu Nabi memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madina untuk tinggal di tempat lebih baik bagi mereka dan minum susu dari sapi milik Negara.25

Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa serta sapi tersebut. Ketika masalah tersebut dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau memerintahkan agar mereka dikejar dan dibawa kembali. Dan wahyu (Surah Almaidah ayat 33) dit urunkan pada saat itu.

G. Hukuman atau Sanksi H}ira>bah

Hukuman jarimah ini, seperti halnya telah disebutkan dalam Surah Almaidah ayat 33 t erdiri dari empat macam hukuman. Hal ini berbeda dengan hukuman bagi jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud lainnya, yang

24Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:

CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.


(42)

hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah. Sanksi h}ira>bah yang empat macam itu tidak seluruhnya dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana h}ira>bah yang biasa disebut juga dengan muhrib. Namun hukuman tersebut merupakan hukuman alternatif yang dijatuhkan sesuai dengan macam jarimah yang dilakukan.26

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk jarimah h}ira>bah. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya sebagaimana telah diuraikan di atas.27

Adapun menurut Imam Malik dan Zhahiriyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah Al-Maidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imam Malik membatasi pilihan hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk jenis tindak pidana pembunuhan maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Alasannya adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidaklah tepat apabila tindak pidana pembunuhan dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau pengasingan. Sementara Zhahiriyah dalam menerapkan ayat tersebut menganut khiyar mutlak sehingga memberikan kebebasan penuh kepada

26 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 88. 27 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 99.


(43)

hakim untuk memilih hukuman apa saja yang sesuai menurut pandangannya dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis perbuatan t ersebut.28

Bentuk jarimah h}ira>bah terdapat empat macam sebagaimana disebutkan di atas, sesuai dengan banyaknya sanksi yang tersedia di dalam Al-Qur’an. Sanksi hukum bagi pelaku pidana h}ira>bah adalah lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian, yaitu dibunuh, atau disalib, dipotong tangan dan kakinya, atau dibuang.29

Perselisihan pendapat para ulama dalam menentukan jenis hukuman bagi pelaku jarimah h}ira>bah ini, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam memahami kata “aw” yang berarti atau. Dalam bahasa Arab, kata “aw” bisa diartikan sebagai penjelasan dan uraian atau dalam istilah Arab bayan wattafshil (penjelasan dan rincian). Menurut versi Imam Asy-Syafi’i beserta kawan-kawan, “aw” merupakan penjelasan dan rincian. Dengan demikian, menurut mereka hukuman-hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan berat ringannya perbuatan (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku perampokan. Menurut versi lain yang dimotori oleh Imam Malik dan Zhahiriyah, mereka berpendapat bahwa kata “aw” yang berarti atau itu bermakna littaksyir untuk memilih. Oleh karena itu, beliau memilih arti kedua sehingga mengartikan jumlah hukuman yang empat macam tersebut sebagai alternatif dan penguasa akan menjatuhkannya sesuai kemaslahatan.30

28 Ibid., 99-100.

29 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 70. 30 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 89-90.


(44)

Sesuai dengan bentuk perbuatan perampokan, sebagaimana telah disebutkan di atas, di bawah ini akan jelaskan mengenai rincian hukuman untuk masing-masing perbuatan tersebut.31

1. Hukuman untuk menakut-nakuti

Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang ini adalah pengasingan (an-nafyu). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Syi’ah Zaidiyah, hukumannya adalah takzir atau pengasingan, karena kedua jenis hukuman ini dianggap sama.

Pengertian pengasingan tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama. Menurut Malikiyah, pengasingan adalah dipenjarakan di tempat lain, bukan di tempat terjadinya jarimah perampokan. Hanafiyah mengartikan pengasingan dengan dipenjarakan, tetapi tidak mesti di luar daerah terjadinya perampokan. Pendapat mazhab Syafi’i mengartikan pengasingan dengan penahanan, baik di daerahnya sendiri, tetapi lebih utama di daerah lain. Imam Ahmad berpendapat bahwa pengertian pengasingan adalah pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak diperbolehkan untuk kembali, sampai ia jelas telah bertobat.

Mengenai lamanya pengasingan karena tidak dijelaskan dalam Surah Almaidah ayat 33, hal ini melahirkan beberapa pendapat.32 Lamanya

31 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 101. 32 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 94.


(45)

penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i tidak terbatas. Artinya, tidak ada batas waktu tertentu untuk penahanan seorang pelaku perampokan.33 Namun sebagian besar ulama berpendapat

bahwa lamanya masa pengasingan untuk pelaku perampokan adalah sama dengan sanksi pengasingan pada jarimah zina, yaitu satu tahun.34

2. Hukuman untuk mengambil harta tanpa membu nuh

Untuk jenis perampokan yang kedua ini, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukumannya adalah di potong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa sesuai dengan penafsiran huruf “aw” dalam Surah Almaidah ayat 33, hukuman untuk pelaku perampokan dalam pengambilan harta ini diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman yang terdapat dalam Surah Almaidah ayat 33, asal jangan pengasingan. Hal ini karena karena h}ira>bah adalah pencurian berat, sedangkan hukuman pokok untuk pencurian adalah potong tangan. Oleh sebab itu, untuk perampokan jenis kedua ini tidak boleh lebih ringan dari potong tangan. Begitu juga dengan Zhahiriyah yang menganut alternatif (khiyar) mutlak, sehingga hakim diperbolehkan untuk memilih hukuman apa saja dari empat jenis hukuman yang tercantum dalam Surah Almaidah ayat 33 t ersebut.35

33 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 101. 34 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 94. 35 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 102.


(46)

3. Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta

Untuk jenis perampokan yang ketiga ini, apabila pelaku perampokan hanya membunuh korban tanpa mengambil harta maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati) sebagai hukuman had tanpa disalib. Sedangkan menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan salah satu pendapat Syi’ah Zaidiyah di samping hukuman mati, pelaku juga harus disalib. Hukuman mati ini pun tergolong hukuman hudud dan bukan hukuman qishash. Oleh karena itu, tidak dapat dimaafkan. Di samping itu, pembunuhan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan harta atau perampokan. Si pelaku tidak mengambil harta korban bisa jadi karena ia belum sempat mengambilnya atau karena berbagai kemungkinan lain.36

4. Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta

Mengenai hukuman untuk jenis perampokan jenis ini, menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad dari kelompok Hanafiyah, hukumannya adalah di bunuh (hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong tangan dan kaki. Sedangkan Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa mengenai kasus yang ini, hakim diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternatif hukuman, yakni pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau disalib,


(47)

kedua, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki, dan ketiga, disalib kemudian dibunuh.37

Mengenai pelaksanaan hukuman mati dan disalib ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan hukuman salib didahulukan, kemudian hukuman mati. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, bahwa hukuman mati didahulukan kemudian hukuman salib. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memilih pelaksanaan yang pertama, yaitu mendahulukan hukuman salib kemudian hukuman mati. Menurut mereka, penyaliban merupakan suatu bentuk hukuman yang harus dirasakan pelaku dan hal itu hanya dapat dirasakan apabila pelaku masih hidup. Sebab, apabila hukuman mati tersebut didahulukan, maka hukuman salib tidak berpengaruh apapun bagi si pelaku. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat sebaliknya, yaitu mendahulukan hukuman mati kemudian salib. Menurut mereka, mendahulukam hukuman mati kemudian hukuman salib tersebut sesuai dengan ayat Alquran yang mendahulukan hukuman mati daripada salib. Disamping itu, mendahulukan tindakan penyiksaan yang melampaui batas tidak seharusnya terjadi.38

Lamanya penyaliban juga tidak ada ketentuan yang pasti dan oleh karenanya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut Hanabilah lamanya penyaliban itu tergantung kepada penyebarluasan

37 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 102. 38 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 91.


(48)

berita penyaliban itu di kalangan masyarakat. Akan tetapi , menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah, penyaliban itu dibatasi maksimal hanya sampai tiga hari. Pembatasan waktu penyaliban sampai tiga hari tersebut merupakan pendapat yang tepat, karena manusia yang telah meninggal dunia apabila lebih dari tiga hari, ia akan membusuk, dan hal tersebut tentu saja akan menimbulkan gangguan dan bahaya bagi manusia yang masih hidup di sekitarnya.39

H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Hukuman Had H}ira>bah

Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman had h}ira>bah adalah sebagai berikut:40

1. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai pengakuan pelaku perampokan atas perbuatan perampokannya.

2. Para pelaku perampokan mencabut kembali pengakuannya.

3. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai para saksi.

4. Pelaku perampokan berupaya memiliki barang yang dirampoknya secara sah, sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut

39 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 104. 40 Ibid.


(49)

ulama-ulama yang lain, upaya tersebut tidak dapat mengubah status hukum pelaku, sehingga ia tetap harus dikenakan hukuman had.

5. Karena tobatnya pelaku perampokan sebelum mereka ditangkap oleh penguasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 34:

َ

ّ

إ

َ

َ

ذ لا

َ

َ

ني

َ

ا وبات

َ

َ

نم

َ

َ

ل بق

َ

َ

نأ

َ

َ

د قت

ا ور

َ

َ

مه يلع

َ

ا ومل عاف

َ

َ

نأ

َ

َ

ّ

َ

َ

م يح ر روفغ

.

Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Almaidah: 34).41

Apabila pelaku perampokan bertobat sebelum mereka ditangkap oleh pihak penguasa maka hukuman-hukuman yang telah disebutkan di atas menjadi gugur, baik hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki, maupun pengasingan. Meskipun demikian, tobat tersebut tidak dapat menggugurkan hak-hak individu yang dilanggar dalam tindak pidana perampokan tersebut, seperti pengambilan harta. Apabila harta yang diambil itu masih ada, maka barang tersebut harus dikembalikan. Akan tetapi , apabila barang-barang tersebut sudah tidak ada di tangan pelaku maka ia wajib menggantinya, baik dengan harganya (uang) maupun dengan barang yang sejenis. Demikian pula tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan atau penganiayaan, tetap di berlakukan hukuman qishas atau diyat.42

41Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:

CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.


(50)

Apabila tobat dilakukan setelah pelaku perampokan ditangkap oleh penguasa maka semua hukuman tetap harus dilaksanakan, baik yang menyangkut hak masyarakat maupun hak manusia (individu). Hal ini karena nas tentang tobat dalam Alquran Surah Almaidah ayat 34, jelas dikaitkan dengan ditangkapnya pelaku.


(51)

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO.

98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

Nama : Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

Alamat : Jl. Prof. DR. Sri Soedewi MS, SH., Kec. Bram Itam,

Kuala Tungkal, Jambi 36510

Telp/Fax : 0742-7351000

Alamat situs : http://pn-kualatungkal.go.id

Email : pn_kualatungkal@yahoo.co.id

Visi : Terwujudnya peradilan yang agung dalam wilayah hukum

Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Misi :

1. Memproses dan menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;

2. Menjaga kemandirian badan peradilan, netralitas dan

profesionalisme dalam menangani setiap perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;


(52)

3. Memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;

4. Meningkatkan kualitas kepemimpinan dan skill

sumberdaya manusia yang dimiliki Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;

5. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan

peradilan di segala bidang dalam memberikan pelayanan publik.

B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Pembajakan Di Tepi Laut dalam Putusan

No. 98/Pid.B/PN.Ktl

Deskripsi kasus sebagaimana terdapat dalam dokumen putusan No. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl adalah bahwa terdakwa Komarudin alias Kama Bin Mading bersama dengan teman-temannya pada hari Minggu tanggal 13 Agustus 2006 pada pukul 03.00 WIB di bulan Agustus 2006, di Perairan Kuala Simbur Naik Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung Timur atau sekitarnya telah melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di atasnya di perairan Indonesia.

Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:1

Pada hari Sabtu tanggal 12 Agustus 2006 pukul 23.00 WIB, terdakwa bersama teman-temannya bertempat di Parit 4 Desa Simbur Naik Kec. Muara


(53)

Sabak Timur sedang berkumpul di tempat ronda. Dan pada saat itulah awal mula salah satu teman terdakwa, yakni Bakri mengajak untuk turun ke laut dengan memakai pompong milik saudaranya Bakri. Setelah pompong yang terdakwa tumpangi bersama dengan teman-temannya berada di luar Desa Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) Kapal Motor jaring ikan sedang bertambat, melihat hal tersebut mereka mulai mendekatkan pompong ke arah motor jaring tersebut. Setelah pompong yang ditumpangi terdakwa merapat di salah satu kapal motor tersebut, terdakwa bersama dengan teman-temannya meloncat ke kapal motor kemudian langsung mematikan lampu kapal motor dengan cara memecahkannya, selanjutnya Bakri segera menodongkan senjata api kepada para ABK. Begitu juga dengan terdakwa yang menggunakan badik melakukan pengancaman kepada para ABK. Dan kemudian terdakwa mengangkat fiber yang berisi ikan dari kapal motor menuju ke pompong yang terdakwa tumpangi, sedangkan Kemang dengan mempergunakan pistol mainan memaksa para awak kapal untuk membuka mesin diesel yang berada di pompong dan mengambil Aki 100 ampere, drum kecil tempat air, fiber tempat ikan serta 2 (dua) buah lampu suar untuk selanjutnya dibawa ke dalam pompong.

Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bersama teman-temannya tersebut, korban Kaharudin SH selaku pemilik dari pompong yang dirampok oleh terdakwa menderita kehilangan barang-barang yang jika dinilai dengan jumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Dan atas perbuatan


(54)

terdakwa tersebut, sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana telah

melanggar Pasal 439 KUHP.2

C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti

1. Keterangan Saksi

Untuk membuktikan dakwaannya, oleh Jaksa Penuntut Umum telah dihadirkan 5 (lima) orang saksi yang didengar keterangannya di sidang di bawah sumpah, di persidangan menerangkan pada pokoknya sebagai

berikut:3

1. Saksi Ridek Bin Muhammad Kaming pada pokonya memberikan

keterangan bahwa saksi adalah pemilik kapal yang digunakan oleh terdakwa untuk merompak. Saksi melihat terakhir kali pompong milik saksi sekitar jam 21.00 WIB yang pada saat itu ia menimba air dari dalam pompong tersebut. Namun saat saksi melihat ke tempat pompong sekitar jam 06.30 WIB, pompong milik saksi sudah tidak berada di tempat lagi. Saksi pun mencari pompong milik saksi hingga 500 meter ke arah ilir namun tidak melihat pompong milik saksi dan ketika kembali ke tempat asal ternyata pompong telah berada di tempat semula. Dan yang membawa pompong milik saksi ternyata adalah adik saksi yang bernama Bakri. Adapun saksi baru mengetahui

2 Ibid., 5. 3 Ibid., 6.


(55)

bila pompong milik saksi digunakan oleh Bakri dan terdakwa untuk merompak dari anggota kepolisian.

2. Saksi Ramli Azhari Bin Nurdin pada pokonya memberikan keterangan

bahwa peristiwa perampasan barang-barang yang ada di kapal dan dinahkodai oleh saksi. Dan sepengetahuan saksi, pelaku yang melakukan perompakan di kapal motor tersebut sebanyak 7 (tujuh) orang pelaku. Adapun kapal motor yang dinahkodai oleh saksi adalah milik dari H. Alimudin/Kaharudin dan kapal motor tersebut bernama KM. KASMAWATI. Setahu saksi para pelaku melakukan aksinya dengan membawa senjata tajam jenis badik dan dua orang diantaranya ada yang menggunakan pistol.Saat melakukan aksi mereka, para pelaku terlebih dahulu mematikan lampu-lampu yang ada di kapal motor dengan cara memecahkannya sehingga saat itu kapal motor dalam keadaan gelap dan saksi tidak mampu mengenali wajah para pelaku dengan jelas.

3. Saksi Dayat Bin Majri pada pokonya memberikan keterangan bahwa

peristiwa perampasan barang-barang yang ada di kapal tempat saksi bekerja, pelaku yang melakukan perampasan tersebut sebanyak 6 (enam) orang dan 2 (dua) orang diantaranya menggunakan pistol sedangkan pelaku yang lain menggunakan badik. Saat terjadinya perampasan tersebut, kapal motor tempat saksi bekerja sedang jatuh jangkar di perairan Kuala Simbur Naik dengan posisi memanjang dengan kapal motor lain yang dinahkodai oleh Iskandar, yang pada


(56)

saat itu para ABK maupun para nahkoda sedang istirahat. Saksi ditodong dengan pisau dan diminta untuk membongkar barang-barang. Para pelaku naik dari arah belakang kapal. Saksi tidak melihat wajah yang menodongkan pisau pada saksi karena saat itu dalam keadaan gelap walaupun wajah para perompak tidak ditutup. Yang melakukan penodongan berkata pada saksi agar saksi jangan melawan. Para pelaku melakukan pembongkaran di kapal ±2 (dua) jam dan saksi serta teman-teman saksi tidak diikat oleh para pelaku.

4. Saksi Ian Bin Amat pada pokonya memberikan keterangan bahwa

peristiwa perampasan barang-barang yang ada di kapal tempat saksi bekerja, saksi dan teman saksi sedang tidur di kapal tempat saksi bekerja dan saat itu lampu memang dimatikan. Saksi tidak tahu berapa banyak pelaku yang naik ke atas kapal. Adapun saksi telah diancam dengan menggunakan badik, ada pula pelaku yang menggunakan pistol sebanyak 2 (dua) orang namun saksi tidak tahu apakah pistol yang digunakan adalah pistol sebenarnya atau pistol mainan karena saksi tidak dapat melihat. Yang melakukan pemindahan barang dari kapal tempat saksi bekerja ke perahu para pelaku adalah saksi, saksi Nurhidayatullah dan saksi Ramli Ashari kurang lebih selama 2 (dua) jam.

5. Saksi Kahar Bin H. Alimudin pada pokonya memberikan keterangan

bahwa saksi mengetahui peristiwa perompakan tersebut setelah anak buah saksi melaporkan kejadian tersebut pada sore harinya. Saksi


(57)

memiliki 2 (dua) buah kapal motor yang bernama KASMAWATI dan keduanya sama-sama dibajak. Setelah mengetahui kejadian tersebut saksi melapor pada Polisi Air.

6. Saksi Bakri alias Iwan Bin M. Taming memberikan keterangan bahwa

yang melakukan perompakan adalah terdakwa dan saksi. Sebelum merompak, saksi sedang meronda dengan teman-teman saksi dan kemudian didatangi oleh Acang dan Acek yang mengajak saksi dan teman-teman saksi untuk turun ke Kuala dan merompak. Namun saksi tidak menolak saat diajak merompak oleh Acang dan Acek. Dan pada saat meronda, saksi dan teman-teman saksi memang telah membawa badik dan parang. Saksi sendiri membawa pistol mainan untuk korek api yang dibeli oleh saksi di Jambi.

7. Saksi Rafik Bin Kayong memberikan keterangan bahwa saat

melakukan perompakan tersebut, saksi dan temannya membawa sebilah badik, sedangkan Bakri membawa senjata api dan Herman menggunakan pistol. Tugas saksi saat itu adalah mengikat tali pompong dan tinggal di pompong.

8. Saksi Kemang Bin Kilek memberikan keterangan bahwa saksi

melakukan perompakan tersebut bersama dengan teman-temannya. Pada saat melakukan perompakan, saksi dan Bakri menggunakan sebo (penutup wajah). Bahwa saat melihat ada dua buah kapal motor jaring yang sedang bertambat, dengan dikomandoi oleh Bakri, Acek mendekatkan pompong ke salah satu kapal motor jaring tersebut.


(58)

Saksi melihat Bakri mengeluarkan senjata api yang terselip di pinggang dan menodongkan senjata api tersebut kepada orang yang ada di Kapal Motor Jaring tersebut. Badik yang terbuat dari kayu pada gagangnya terdapat tali berwarna hitam yang dijadikan barang bukti adalah milik saksi.

2. Keterangan Terdakwa

Terdakwa Komarudin alias Kama Bin Mading di persidangan memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa lokasi perompakan masih di pinggir laut dan sebelum melakukan perompakan, terdakwa dan teman-teman terdakwa sedang melakukan ronda dan minum kopi di depan rumah Pak RT kemudian didatangi oleh Bakri yang

mengajak terdakwa dan teman-teman terdakwa untuk merompak.4

Adapun ketika merompak, terdakwa melakukan pengancaman kepada awak kapal dengan menggunakan badik. Kapal yang dirompak sebanyak 2 kapal motor yang letaknya berdekatan. Hasil merompak terdakwa salah satunya yaitu berupa ikan kemudian dijual seharga Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan dibagi rata dengan teman-teman terdakwa sejumlah Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

3. Barang Bukti

Adapun barang bukti yang diajukan di persidangan yaitu:5

1. 1 (satu) unit mesin Dongdong 26 PK;

2. 4 (empat) buah drum plastik kecil berwarna hitam;

4 Ibid., 20. 5 Ibid., 21.


(59)

3. 1 (satu) Piber tempat ikan berwarna oranye;

4. 2 (dua) buah tutup drum plastik kecil berwarna hitam;

5. 1 (satu) buah Accu/Baterai merk Incone;

6. 2 (dua) buah lampu suar kapal motor;

7. 1 (satu) bilah badik bergagang terbuat dari kayu dan bersarung yang

terbuat dari kayu yang dililit dengan isolatif warna hitam;

8. 1 (satu) unit kapal motor pompong.

D. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tindak Pidana Pembajakan di Tepi

Laut dalam Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Hakim dalam putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl, terdakwa melanggar Pasal 439 KUHP, yaitu

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:6

1. Unsur Barang Siapa

Unsur barang siapa, menunjuk kepada subjek hukum pelaku delik dalam surat dakwaan, karena itu perlu di cocokkan apakah pelaku delik dalam surat dakwaan, sama dengan yang dihadapkan sebagai terdakwa di muka sidang. Dalam perkara ini, di muka sidang telah dihadirkan terdakwa, lengkap dengan segala identitasnya mengaku bernama Komarudin Als Kama Bin Mading, yang setelah dicocokkan dengan alat-alat bukti lainnya, ternyata antara identitas dengan diri orangnya telah cocok dan sesuai satu sama lain, sehingga dengan


(60)

demikian maka terdakwa inilah, orang yang dimaksud dalam surat dakwaan. Atas dasar pertimbangan hukum diatas, unsur ke-1 pasal ini, telah dapat terpenuhi menurut hukum.

2. Unsur Dengan Memakai Kapal

Bahwa yang dimaksud dengan kapal adalah alat transportasi/alat pengangkutan lalu lintas air dapat berupa perahu ataupun pompon. Berdasarkan kronologis peristiwa yang telah disebutkan oleh para saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti, didapatkan fakta bahwa terdakwa saat mendatangi Kapal Motor Jaring Ikan KASMAWATI dengan menggunakan pompong yaitu kapal yang terbuat dari kayu dan menggunakan mesin untuk menggerakkan pompong tersebut. Pompong yang digunakan oleh terdakwa dan teman-teman terdakwa juga digunakan sebagai alat pengangkut barang-barang yang telah diambil oleh terdakwa dan teman-teman terdakwa dari KM. KASMAWATI. Atas dasar pertimbangan fakta-fakta diatas, unsur ke-2 pasal ini, telah dapat terpenuhi menurut hukum.

3. Unsur Melakukan Perbuatan Kekerasan Terhadap Kapal Lain atau

Terhadap Orang Atau Barang Di Atasnya

Yang dimaksud dengan kekerasan berdasarkan Pasal 90 KUHP adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Terdakwa saat mendatangi Kapal Motor Jaring Ikan KASMAWATI datang bersama dengan teman-temannya dengan memegang senjata. Terdakwa


(1)

nusakambangan. Adapun dalam penjatuhan hukuman, hakim memiliki kewenangan penuh dalam menentukan hukuman yang kiranya dapat dianggap adil dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Begitu pula dengan lamanya pengasingan yang dijatuhkan kepada terdakwa. Namun sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa hukuman jenis pengasingan tersebut, apabila diterapkan pada terdakwa pelaku kejahatan perompakan yang mengambil harta tanpa membunuh tidaklah tepat. Sebab hukuman pengasingan sebagaimana yang telah ditentukan, para ulama sepakat untuk menjatuhkan hukuman pengasingan yakni hukuman paling ringan yang menurut hukum pidana Islam hanya untuk diterapkan kepada


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan hasil penelitian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum yang digunakan hakim berdasar pada pasal 439 KUHP tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut dalam putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl yakni yang memuat beberapa unsur yaitu unsur barang siapa dan unsur pembajakan di tepi laut dimana tindakan yang dilakukan oleh terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur tersebut. Sehingga dengan dasar tersebut dan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan hakim menjatuhan hukuman pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan ancaman pidana selama 12 (dua belas tahun) penjara. Adapun hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa adalah sebagai berikut:

1. Terdakwa menyesali perbuatannya dan telah mengakui secara terus terang perbuatannya;

2. Terdakwa adalah tulang punggung keluarga;

3. Terdakwa masih berusia muda dan belum pernah dihukum.

2. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pembajakan di tepi laut sebagaimana dalam perkara No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl merupakan tindak


(3)

pidana perampokan (h{ira>bah) dan sanksi yang dapat diterapkan adalah pemotongan tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang. Hukuman tersebut merupakan hukuman bagi perompak yang melakukan tindakan mengambil harta tanpa membunuh korban. Sanksi itu diterapakan guna untuk memberikan pencegahan terhadap orang-orang yang hendak melakukan tindak pidana pembajkan di tepi laut, memberikan efek jera terhadap pelaku pembajakan di tepi laut serta memberikan pendidikan terhadap pelaku. Namun terkait hukuman yang dijatuhakan kepada terdakwa yakni hukuman penjara, dalam hukum pidana Islam tidak tepat jika diterapkan. Sebab, mengenai hukuman penjara atau dalam Islam disebut sebagai pengasingan, hal tersebut hanya diterapkan kepada pelaku h}ira>bah yang hanya menakut-nakuti saja.

B.Saran

Berdasarkan dasar hukum yang digunakan yakni Undang-undang yang telah ada, diharapkan para pemerintah lebih memberikan pandangan terhadap tindak pidana pembajakan di laut, karena tindak pidana ini dapat meresahkan masyarakat pada umumnya dan para nelayan pada khususnya. Sehingga menimbulkan rasa takut pada para nelayan untuk pergi melaut.

Para hakim dalam memutus perkara hendaknya lebih mengutamakan kemaslahatan umum dengan mendasarkan segala keputusannya kepada UU yang mengatur tindak pidana seseorang, karena Negara Indonesia adalah Negara hukum yang menganut asas legalitas, sewajarnya para hakim memutus


(4)

segala perkara sesuai dengan UU yang mengaturnya. Dan sudah selayaknya hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan dengan tindak kejahatan yang sudah dilakukan. Hakim harus memberikan hukuman secara adil, sesuai dengan porsi kejahatan, yakni hukuman harus sesuai dengan berat ringannya kejahatan tersebut.


(5)

76

DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Audah Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Ahsin Sakho Muhammad dkk), Jilid V. Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008.

B. Lapian Adrian. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Chazawi Adam. Kejahatan-Kejahatan Tertentu di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2010.

Damn Syamsumar. Politik Kelautan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Djazuli A. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Doi Abdur Rahman I. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Faizal Enceng Arif dan Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Irfan Nurul, Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.

Marwan M. dan Jimmy P. Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.

Munajat Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: LkiS, 2001. Munajat Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung

Pustaka, 2004.

Muslich Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Muslich Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Prodjodikoro Widjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Ed. 2, Cet. 4, Bandung: Eresco, 1986.

Purnomo Bambang. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Amartha Buku, 1988.


(6)

Purwaka Tommy H. Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah Dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Rahman Abdur. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.

Soedarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Soesilo R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Politea, 1991. Syabiq Sayid. Fiqh Sunnah IX. Bandung: Alma’arif, 1990.

Utrech U. Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin). Semarang: CV. Asy-Syifa’, t.t.

Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: t.p., 2015.