Kesesuaian Konsep Tubuh Antara Novel Kinjiki (ç¦è²)Karya Yukio Mishima dan Seni Butoh (èè¸)(Sebuah Pendekatan Hermeneutika).
三島由紀夫
禁色
が舞踏にあたえた影響
美学理論による
身体
の研究
序論
現在
身体表現
身体
自
身体
能性
私
秘
タ
カ
自身
自身
い
離
身体
人
日本
理念 語
舞踏
ほ
草
演
土方
いわ
大
義人
い
独特
様相
手
いう芸術
い
時始
9
年
あ
あ
表
無限
う
可
独自
開
探求
特定
いう芸術
日本
ャン
前衛芸術
禁色
基
初
舞踏
除い
作品
人
暗黒舞踏
いわ
踊
舞踏
岡村
う
身体
空間
臨在
要
本質的
基本
異
う
あ
所作
舞踏
いう
身体
あ
う
い
探求 草
入
芸術
踊
語
あ
い
い
あ
新
現
あ
音楽
舞踏
舞踏
一
適
いい
書い
何
ャン
身体
舞踏
固有
身体表現
舞踏
使う
踊
踊
身体
自身
再構成
島由紀夫
後々
舞踏
わ
い
不自然
舞踏
自
バ
言語
演
科目
鍛え
土方巽
身体
う
他
あ
い
バ
古
一人
演技
手
い
苦
身体
要
最
一大
痛
最
視覚化
身体
化粧
中
表現
確立
い
• タ
チュ
一
舞踏
固定的
9
年代
踊
舞踏
xiii
Universitas Kristen Maranatha
外国
広
練習
自
使
表現
手段
身体
存在
多
劇団
い
禁色
物語
”beauty
and
舞踏
部
あ
ugliness”,
元論
哲学
舞踏
特
“young
death”, いう
描写
基本
基礎
and
持
い
aging”,
筆者
あ 美意識
両者
“life
禁色
and
あ
あ
身体
証
本論
“Beauty
and
美
覚
い
禁色
禁色
少々あ
う
深い意味
醜い美学
あ
舞踏
現代バ
拒絶
彼
見
い
視点
あ
逆
醜悪
持
い
舞踏
人生
心
い
表現
必滅
死
美
い
舞踏
身体
脆
一般
老化
場人物
憎
舞踏
大人
踊
手
美学
理想的
動
え
身体
あ
進歩
動
進
抑え
虐
出
動
解釈
有
あ
動
状況
変化
大人
作家
老化
ニ
起
aging”
探求
あ
至
生
檜俊
あ
死
至
あ
彼
老化
進歩
動
あ
表現
地
演
避
生
落
死
前へ
身体コ
自
自身
内面
変化
人間
問題
表現
い
現象
始
ほ
舞踏
わ
直面
感
固
and
禁色
元々
持
美学
“Young
外見
ugliness”
見
自
自身
あ
xiv
Universitas Kristen Maranatha
“Life
and
物語
俊
向
生
う
強
え自覚
体性
落
感
い
浮
禁色
い
舞踏
生
一
舞踏
恐怖
あ
考え
あ
death”
場人物
死
死
自覚
融合
あ
言
いい
崩壊
況
精神的
柱
読者
調和
舞踏
禁色
創作的
戦争
解
恐怖
使わ
芸術
え
激
持
い
簡単
舞踏
尽
恐怖
強迫観念
対
あ
芸術
死
死
生
言え
死
再び立
人
え
混乱
崩壊
魂
状態
揺
燃え
不安定
一
状
夫
結論
日本
作品
ほ
映
出
例え
巨大
い
日本
孤独
悲劇的
闇
包
芸術家
作品
9
年代
放
新
人
現代日本人
心理状態
破壊的
う
現代読者
あ
生
当時
主義
作品
探
姿
中心
死
一緒
い
う
苦
人
あい
い
う
結局
魂
的
禁色
開放
形
い方向へ文
舞踏
創作的関係
あ
作者
暴力
前進
種
作品
芸術文化
ネ
表
創作的
評論的
形
読者
社会批判
怒
破壊
カタ
作品
建設
創作的
作品
形
怒
状況へ
い
xv
Universitas Kristen Maranatha
筆者
伝え
いい社会
い
以
あ
研究
人生
ほ
禁色
い
いう
単
言葉
恐怖
い
束
舞踏
暴力
い
xvi
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………..
ii
.......................................
iii
................................................
iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
xi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang ….…………………………………………………
1
1.2 Pembatasan Masalah ………………………………………………
7
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….
8
1.4 Pendekatan dan Metode Penelitian ………………………………..
8
1.5 Organisasi Penulisan ………………………………………………
11
BAB II PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI ……………………..
13
2.1 Hermeneutika ……………………………………………………..
13
2.2 Teori Estetika ……………………………………………………..
19
2.2.1
Jerzy Grotowski: Menuju Teater Miskin ……………..
24
2.2.2
Jean-Francois Lyotard: Konsep Seni Avant-Garde …...
27
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI
viii
Universitas Kristen Maranatha
BAB III KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI
...............................................................................
29
3.1 Menilik Dinamika Kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II ……..
29
3.2 Yukio Mishima: Hidup dan Karyanya ……………………………
34
3.3 Butoh, Hijikata dan Perjalanannya ……………………………….
37
BAB IV TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH .........
41
…………..
41
4.1.1
Beauty and Ugliness …………………………………..
42
4.1.2
Youth and Aging ………………………………………
59
4.1.3
Life and Death …………………………………………
72
BAB V SIMPULAN …………………………………………………………
92
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
95
LAMPIRAN ………………………………………………………………….
xii
................................................................................................
xiii
..............................................................
xiv
BUTOH
4.1 Novel Kinjiki yang Mendasari Estetika Tubuh Butoh
SINOPSIS
RIWAYAT HIDUP PENULIS
ix
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Berbagai varian ekspresi wajah Butoh……………………………… 54
Gambar 2. Eksplorasi Butoh pada gerak perkembangan……………………….. 69
Gambar 3. Eksplorasi tubuh sekarat dalam Butoh……………………………… 84
x
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Novel Kinjiki dan Seni Butoh Sebagai Seni Teror………….. 100
Lampiran 2 Beberapa foto pertunjukan Butoh, kondisi Jepang
pasca Perang Dunia, Yukio Mishima, dan poster
pertunjukan Butoh…………………………………………… 108
xi
Universitas Kristen Maranatha
LAMPIRAN
Novel Kinjiki dan Butoh Sebagai Seni Teror
Sebagai bagian masyarakat interpretasi, penulis menyadari bahwa dalam
proses menilai karya seni adanya jurang pemisah antara para seniman dengan
penonton umum; antara akademisi dengan masyarakat; antara intelektualis dengan
penonton dari kalangan biasa. Belum tentu penonton (audience) dari kalangan umum
tersebut mampu membahasakan pesan intrinsik seperti layaknya para akademisi,
seniman atau intelektualis. Acapkali penonton umum hanya melihat pesan dari
permukaan saja—tidak sampai menembus pada hal yang paling fundamental dari seni
itu sendiri. hal yang paling fundamental dari seni berupa pesan moral yang ingin
disampaikan kepada penikmatnya.
Tidak dipungkiri bahwa penikmat seni memiliki latar belakang sosial dan
pendidikan yang berbeda-beda. Interpretasi yang akan munculpun beragam pula.
Disinilah
tantangan
penulis
menempatkan
pendekatan
hermeneutika
untuk
mengimbangi dan mempertemukan dalam satu pandangan khusus. Seperti halnya
dalam penelitian ini, penulis adalah seorang akademisi yang juga berkecimpung
dalam seni teater tubuh, penulis menemukan adanya pengaruh estetik yang diserap
dari novel Kinjiki hingga terefleksikan dalam gerak tubuh Butoh. Secara filosofi dan
melalui teori estetika pun penulis melihat bagaimana tubuh itu dieksplorasi dan
adanya kesamaan dalam sistem pelatihan lakon gaya Grotowski. Demikianlah penulis
meramu dan merumuskan menjadi satu kesatuan yang utuh. Semua telah dikupas
demi melihat tubuh dan filosofi dibalik gerak tubuh itu sendiri.
Untuk menghindari kesenjangan interpretasi dan jurang superioritas kubu
akademisi, seniman dan intelektualis dengan penikmat seni dari kalangan umum,
ilmu penafsiran mampu menjembatani kesenjangan interpretasi tersebut. Stanely Fish
mengajarkan bahwa pembaca merupakan anggota dari komunitas interpretatif—
kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan pemaknaan umum, serta
menggunakannya dalam pembacaan mereka. Dengan demikian, pemaknaan juga
terletak dalam komunitas interpretatif pembaca umum.
Pertama dari novel Kinjiki. Sebagai novel yang mengangkat tema hubungan
sejenis, masyarakat umum dapat mengklaim sebagai sastra subversif karena wacana
homoseksual masih tabu dikalangan umum (setidaknya pada masanya). Sementara
dari isi cerita—kematian, keburukan, kenistaan menjadi sebuah tema yang depresif.
Tingkat sastrawi yang cukup samar, tema homoseksual dan kisah yang depresif itu
bisa saja novel ini dicap sebagai novel yang berisikan banyak ‘terror’ mental bagi
pembacanya.
Tidak berhenti sampai disitu, saat kalangan umum menyaksikan sebuah
pertunjukan seni Butoh, Penonton dari kalangan umum akan disuguhi sebuah seni
yang bersifat keras dan menjadi terror visual baginya. Butoh merupakan tarian
kegelapan, adanya ketelanjangan, gerak liar, keheningan, tanpa kata, menghilangkan
batas estetik yang selama ini mapan oleh dekorasi dan tata panggung, ekspresi
kesakitan, keanehan (grotesque), juga terkadang mengeksplorasi bentuk seksualitas.
Butoh tidak lagi merupakan seni penghibur (entertaiment) melainkan membawa
penontonnya untuk merenung. Semua idiom diatas menjadi semacam kekerasan
visual yang meneror kepada penonton. dalam sub-bab berikutnya penulis akan
menjelaskan bagaimana dan latar belakang seni terror yang dimaksud.
Seni Teror; Seni Untuk Perubahan
Sudah lama para seniman "memanfaatkan kekerasan" sebagai sumber
estetika. Dramawan avant garde Perancis Antonin Artaud (1896-1948) tahun 1932
menuliskan manifesto teaternya, "Manifesto of the Theatre of Cruelty". Artaud
mengangankan bahwa teater di atas panggung tidak lain sebagai bentuk "kekerasan",
semacam teror bagi penonton. Jerzy Grotowski dalam satu kesempatan pernah
mengatakan bahwa:
Suatu tanda mata, kenang-kenangan. Bahwa anarki dan kekacauan
haruslah dihubungkan dengan rasa tertib aturan, yang ia (Artaud) susun
dalam pikiran dan bukan sebagai suatu teknik fisik. Masih pantas untuk
dikutip sebuah frase untuk mereka yang menamakan dirinya murid
Artaud: “cruelty is rigours”, ya, kekejaman itu keras, kasar!1
Setengah abad kemudian, sastrawan dan dramawan negeri ini, Putu Wijaya,
mendeklarasikan hal yang serupa. "Cerita pendek adalah teror mental kepada
manusia," tulis Putu Wijaya dalam kredo penulisan kreatifnya, Gres (Kumpulan
Cerpen, 1982: 9). Kata ‘cerita pendek’ tentu saja bisa diganti dengan kata teater,
novel, naskah drama, atau yang terkait dengan kerja kreatif.
Masih dalam Gres, Putu Wijaya selanjutnya merumuskan "estetika teror"nya sebagai berikut: "Pengertian teror tidak hanya berarti memorak-porandakan apa
yang sudah tersusun rapi. Teror mengacau dan membakar agar jiwa manusia ambruk.
Tetapi, sebuah seni juga adalah teror mental bagi keadaan yang ambruk, keadaan
yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras sehingga akhirnya pada puncaknya
bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada
manusia pembaca dan penikmatnya.”
Kekerasan dalam kaitan sikap estetika, namun dalam model yang lain,
misalnya dilakukan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pangkal kreativitas
Pram adalah "kemarahan". Marah terhadap keadaan, marah terhadap perlakuan tidak
adil, baik yang menimpa dirinya ataupun masyarakatnya, marah terhadap nilai-nilai
budaya yang menindas orang-orang yang termarjinalkan. Semua itu telah
1
Grotowski, Jerzy, Toward Poor Theater, (terjemahan bahasa Indonesia, alih bahasa oleh Max.
Ariffin), MSPI dan arti, Nov 2002, Yogyakarta
menerbitkan "kemarahan kreatif" dalam diri Pram. Jika kemudian "kemarahan" ini
mensublim, maka kemarahan tersebut pun akhirnya berbuah karya kreatif.
Tentu saja dalam hal ini penulis bukan hendak masuk kedalam pandangan
Antonin Artaud, Putu Wijaya atau Pram tetapi, yang terpenting hendak penulis soroti,
bagaimana dalam hal ini, kekerasan juga dibutuhkan dalam kehidupan, tinggal
bagaimana manusia me-manage-nya. Dalam tradisi filsafat, misalnya, juga dikenal
adanya ‘metode dekonstruksi’. Apabila sebuah bangunan (konstruksi) sudah usang,
rusak, yang sudah tidak mungkin lagi dibangun ulang (rekonstruksi), atau setidaknya
jika dibangun lagi akan memakan biaya yang jauh lebih mahal, tentu pilihan yang
lebih tepat adalah dirobohkan (dekonstruksi) agar bisa dibuat bangunan yang baru di
lokasi yang sama.
Pada akhirnya, dalam kaitan proses kreatif seperti dalam konteks ini tubuh
dalam novel Kinjiki dan seni butoh—karya seni bagi penciptanya bisa berfungsi
menjadi semacam bentuk katarsis, pelepasan jiwa, sehingga "bakat-bakat kekerasan"
dalam diri senimannya tidak lagi terekspresikan secara verbal dalam bentuk
perusakan-perusakan, vandalisme, tetapi menjadi suatu yang konstruktif dan bernilai
positif bagi perkembangan peradaban. Bagi pembaca, kemarahan kreatif ini mewujud
dalam bentuk penikmatan seni bernuansa kritik sosial, karena pada hakikatnya
"kemarahan terhadap keadaan" tersebut, jika diekspresikan dalam bentuk karya
kreatif, jadilah seni kritik sosial.
Karena itu, pada hakikatnya setiap karya seni adalah kritik sosial. Hal
tersebut terjadi karena pangkal setiap karya seni pada hakikatnya terlahir hanya dari
dua sisi kemungkinan sikap seniman, yaitu "takjub" atau "marah" terhadap keadaan.
Jika karya seni terlahir dari "ketakjuban", maka lahir karya-karya penuh pujaan,
romantik dan serba indah. Sebaliknya, jika karya seni terlahir dari "kemarahan",
maka akan menjelma seni protes. Dan, seni protes pun tidak selalu bersifat eksplisit
sehingga harus selalu berbentuk seni slogan. Tetapi, protes tersebut bersifat sublim,
tidak langsung, hanya bisa ditangkap dengan penghayatan yang serius dan mendalam.
Seperti contohnya, melalui media massa sering dijumpai, bagaimana bangsa
ini cenderung mengekspesikan kemarahan-kemarahannya dalam bentuk verbal.
Demonstrasi acap kali diikuti dengan perusakan-perusakan. Ketidakpuasan terhadap
keadaan atau sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengeboman. Bagi penulis jawaban
terhadap pertanyaan ini bisa beraneka ragam. Bisa diinterpretasikan karena
masyarakat mengalami frustrasi sosial yang demikian akut. Bisa juga karena ekspresiekspresi yang dibungkam oleh kekuasaan yang tidak apresiatif terhadap kebebasan.
Seni terror hadir dan merangsang masyarakat untuk "mengelola kemarahan" secara
lebih berbudaya. Lewat karya kreatif salah satunya.
Sama halnya di Jepang, aliran seni Butoh dan Novel Kinjiki adalah karya
kreatif yang terlahir di dekade 50-an. latar belakang sosial politik saat itu tengah
mencari pegangan terhadap bentuk humanisme baru pasca perang dunia. Karya seni
yang lahir dalam masa kesenian pasca perang dunia itu mencerminkan lahirnya
kebudayaan baru dari sebuah generasi yang hendak bebas dari trauma perang dunia.
Maka tak ayal memalui wajah Jepang modernis dengan masyarakatnya yang bergerak
menuju masyarakat perkotaan, kondisi-kondisi kejiwaan individu modern Jepang
seperti kesendirian, gambaran tragedis dan terkadang bersifat destruktif diangkat
sebagai tema-tema sentral karya seni oleh para seniman-seniman generasi baru.
Seolah dalam keadaan manusia sekarat, manusia dikuasai oleh kosmik kegelapan.
Seolah wujud keinginan untuk berbagi perasaan getir dengan penikmatnya (audience)
yang juga menghadapi pergolakan yang secara sama dihadapi masyarakat modern.
Dan seni dipakai untuk mengungkapkan kegelapan jiwa tersebut. Karya kreatif
berperan untuk membebaskan manusia dari kungkungannya. Kondisi tersebut
tereflesikan dalam kutipan berikut:
His first public performances were wild, primal and sexually explicit.
They quite naturally shocked the conservative Japanese dance
community, and he was banned from appearing at future organized
events. This was the spark that gave birth to butoh. Many of Japan's
dancers, poets, visual artists and theatre performers rallied around this
exciting and dangerous new art form. Underground performances
became increasingly popular, and soon there were numerous groups
being formed in the Tokyo area. Musicians, photographers and writers
including Japan's leading novelist, Yukio Mishima joined Hijikata to
collaborate on spectacular underground performances. 2
Pertunjukan pertama [Hijikata] begitu liar, primal dan eksplisit secara
seksual. Mereka secara alamiah mengejutkan komunitas tari konservatif
Jepang, dan ia dilarang untuk tampil di acara-acara terorganisir di masa
depan. Ini adalah percikan yang melahirkan Butoh. Banyak penari
Jepang, penyair, seniman visual dan pemain teater berunjuk rasa sebagai
bentuk berkesenian yang baru, menarik namun berbahaya. Pertunjukan
bawahtanah menjadi semakin populer, dan cepat meluas dari kelompok
yang dibentuk di daerah Tokyo ini. Musisi, fotografer dan penulis
termasuk novelis terkemuka Jepang, Yukio Mishima bergabung bersama
Hijikata untuk berkolaborasi pada pertunjukan spektakuler bawah tanah.
Penulis juga menemukan bukti bahwa Yukio Mishima pernah terlibat secara
langsung dalam gerakan kesenian Butoh bersama Hijikata, dimana dalam buku
Butoh—Shades of Darkness karangan Jean Viala, Nourit Masson-Sekine, Mishima
Yukio pernah berbicara tentang kesannya terhadap Hijikata:
Mr. Tatsumi Hijikata has just secretly informed me that he will once again
celebrate an heretical ceremony. I look forward to attending it, and for the
occasion am preparing a black mask and mysterious perfumes for myself.
Classical and avant-garde literature are in a state of crisis. But I can
always find a symbolic, modern language in his work”—Mishima Yukio
Tuan Tatsumi Hijikata baru saja diam-diam memberitahu saya bahwa ia
akan sekali lagi merayakan upacara sesat. Saya berharap untuk bisa
2
http://www.zenbutoh.com/history.htm
menghadirinya, dan untuk acara tersebut sedang dipersiapkan topeng hitam
dan parfum misterius untuk diriku sendiri. Klasik dan sastra avant-garde
berada dalam keadaan krisis. Tapi aku selalu bisa menemukan bahasa,
simbolik, bahasa modern dalam karyanya "—Mishima Yukio
Dengan demikian novel Kinjiki dan genre seni Butoh merupakan keragaman
yang termasuk karya avant-garde, peran avant-garde pada zamannya menjadi teror
dan provokator dalam menentang segala bentuk tradisi dan institusi seni yang
mengekang. Avant-garde tampil untuk mendekonstruksi apa yang menjadi cacatcacat estetika modern. Avant-garde selalu punya kemampuan untuk membuat kita
berpikir secara baru. Karya seni tidak terbatas di atas landasan realisme, tetapi justru
berdiri di dalam realitas yang senantiasa beragam. Dimana karya seni avant-garde
selalu mengoncang dan karakteristik karya berupa pemberontakan terhadap nilai-nilai
dan aturan-aturan yang mapan sebelumnya, yaitu sebagai seruan penolakan terhadap
bentuk tradisi. Hal ini dapat dicermati melalui gaya penulisan Yukio Mishima yang
meninggalkan cara penulisan sastra tradisional menuju gaya modern dan Kinjiki yang
memuat kisah homoseksual sebagai idiom tabu; seni Butoh yang meninggalkan batas
artistik yang selama ini bercitra rasa ‘cantik’ menuju ‘aesthetic of ugliness’;
sementara Grotowski dengan konsep ‘teater miskin’ sebagai upaya lepas
ketergantungan seni tinggi atau seni kaya yang telah ‘diperbudak’ oleh teknologi
artistik.
Demikianlah yang ingin dituju oleh penulis, penelitian ini diharapkan tidak
hanya sebagai rangkaian kata semata, lebih dari itu diharapkan segala ‘teror’ yang
bermuara dari tubuh lantas mengendap dalam novel Kinjiki dan ‘kekerasan’ visual
yang disuguhkan oleh seni butoh dapat ditangkap secara positif demi, untuk dan atas
nama kehidupan sosial yang lebih baik.
LAMPIRAN FOTO
First Performance of Kinjiki (Forbidden Colors)
(May 24, 1959)
"The boy survives violation by the old male prostitute of the Mishima's original 'Forbidden
Colors,' who leads a life of darkness until death. "Forbidden Colors in Two Parts" presents
Hijikata's pursuit of life's harsh realities."
Source:
https://eee.uci.edu/clients/sbklein/images/MODTHEATER/butoh/pages/01kinjiki01.htm
June 15, 1960: A protest at the Diet against
revision of the Japan-U.S. Security Treaty
turned violent and resulted in the death of a
22-year-old college student on June 15, 1960.
Protests continued outside the Diet until Prime
Minister Nobusuke Kishi announces his
resignation.
Student protesters clash
with police outside the Diet
on June 15, 1960, after the
government railroaded the
revised Japan-U.S. Security
Treaty through the Lower
House by physically
removing members of the
opposition parties who
were trying to block a vote
on the treaty.
Massive protests continue in
Tokyo. The confusion leads to U.S.
President Dwight Eisenhower
canceling a scheduled trip to Japan.
Prime Minister Nobusuke Kishi
takes responsibility for the
confusion and resigns in July.
Kishi's successor, Hayato Ikeda,
takes a more low-key approach and
focuses on doubling the national
income.
Source: http://ajw.asahi.com/reliving_the_past/leaf/AJ201206150034
Hakutoboh (White Peach Company)
Ashikawa Yoko and Kobayashi Saga, 1970
An example of the kind of public dance performances and improvisations that were
performed by Hijikata and associated dancers in the 1960s and 70s.
Photo of Hijikata with Self-Defense Forces (on their way to a
demonstration), 1969
Photo: Masahisa Fukase
Source:
https://eee.uci.edu/clients/sbklein/images/MODTHEATER/butoh/pages/03hakutoboh.htm
A famous image of Mishima posing as St. Sebastian. An image that caused the first erotic
impulse in Mishima when he was a child.
Source:
http://news.3yen.com/2009-07-02/saint-mishima-now-on-sale/
Butoh Performance by: Dennis Pamungkas
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat pada tanggal
02 Juli 1985 dari ayah yang bernama Dadang Kusnandar
dan ibu bernama Inge Hany Gany. Penulis merupakan anak
bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas
di kota Batam, penulis hijrah ke Bandung untuk
melanjutkan studi dan diterima di Fakultas sastra Jepang
Universitas Kristen Maranatha dan tamat tanggal 14 Juni
tahun 2013.
Selama masa perkuliahan, penulis mengisi dengan berbagai kegiatan diantaranya,
(2003) Anggota Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang Maranatha, sebagai pengurus
Hima dengan Jabatan Seksi Kebudayaan; (2004) Anggota Teater Topeng Maranatha
divisi Teater Tubuh; (2004) Duta Bandung dari Universitas Maranatha dalam acara
Performing Art di Bali; (2006) Penulis Rubrik Humaniora dan Redaktur Pers
Mahasiswa Maranatha; (2007) Pemeran utama Drama Jepang ‘Kanatsubo Oyaji No
Tatehiki’. Dan hingga kini kecintaannya pada sastra disalurkan dalam karya-karya
esai, puisi dan naskah lakon.
BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini wacana tubuh telah masuk sebagai salah satu agenda penting dalam
kajian budaya, tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia adalah
medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri.
Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak
terbatas untuk memamerkan segala jenis bentuk identitas diri. Tubuh juga bisa
dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang; ia terus menerus dibongkarbongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besarbesaran, didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek
gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. Namun itulah
pandangan tubuh dalam khazanah kebudayaan Konsumen, lantas bagaimana tubuh
jika dilihat dari wilayah kesenian khususnya seni pertunjukan?
Tubuh dalam seni pertunjukan merupakan modal utama atau bahan dasar
dari aktor yang memainkan tokoh yang ada pada naskah. Tubuh menjadi tehnik
medium untuk mengungkap peristiwa melalui dialog antar tokoh. Aktor harus dapat
mencapai titik kematangan tubuh seperti kepala hingga kaki sehingga aktor tersebut
1
Universitas Kristen Maranatha
mempunyai ketrampilan khusus dalam menyampaikan dialognya. Selain itu juga
melatih alat ucapnya seperti mulut, lidah dan tenggorokan serta pernafasan.
Aktor di atas panggung dalam mengungkapkan peran akan selalu
berhadapan dengan berbagai masalah yang menyangkut masalah tubuh. Sehingga
dalam hal ini sangat penting dilakukan oleh aktor adalah mengolah peralatan
tubuhnya sehingga tubuh aktor benar-benar terlatih secara teknis maupun
penjiwaannya. Max Arifin mengatakan “Seorang aktor tidak akan mengulangi dua
kali gesture yang sama, tetapi ia menggerak-gerakan tangan, bergerak dan walaupun
ia melebih-lebihkan bentuk seakan-akan ia merusaknya sambil memproduksi
kelanjutannya” (Max Arifin, 68: 2009).
Dalam perkembangan teater pada masa kini, tubuh tidak hanya digunakan
sebagai media untuk menyatakan dialog yang ada pada naskah. Saat ini banyak
kelompok teater yang melahirkan bentuk teater yang memanfaatkan tubuh sebagai
media utama penyampaian peristiwa, kata-kata yang lahir dari teater ini adalah tubuh
yang memproduksi makna-makna di panggung.
Dalam konteks ini, tubuh bukan seperti tari, karena dasar gerak yang sering
dipakai dalam kelompok teater tubuh adalah eksplorasi gerak yang tidak sama dengan
eksplorasi gerak tari. Hasil akhir gerak bukanlah bentuk gerak tubuh, karena
eksplorasi yang dilakukan tidak dengan hitungan untuk mengejar irama, juga pola
lantai tidak untuk membuat koreografi. Proses eksplorasi tubuh pada kelompok teater
2
Universitas Kristen Maranatha
ini tidak mengejar bentuk gerak sebagai hasil akhir dari gerak tubuh, melainkan
menekankan pada proses lahirnya gerak.
Tubuh sebagai proses dialog menjadi sebuah eksplorasi yang tidak pernah
selesai dari beberapa kelompok teater yang memilih proses ini. Dalam pertunjukan
hampir tidak ada dialog yang keluar dari mulut aktor, kalaupun ada hanya sebagai
hasil dari ekspresi tubuh. Kekuatan, kelenturan dan keseimbangan tubuh menjadi
dasar-dasar latihan yang dipakai oleh kelompok teater yang memilih tubuh sebagai
proses dialog, bukan alat penyampai dialog naskah. Tubuh menjadi tujuan itu sendiri,
maka tidak diperlukan lagi cerita yang baku, karena tubuh itu sendiri adalah naskah,
yang di dalamnya ada plot, karakter, konflik, stuktur, irama bahkan pernyataanpernyataan, maka proses ini akan menemukan ‘bahasa’ tubuh.
Bahasa tubuh di sini tubuh sebagai ekspresi untuk melahirkan pengalaman
personal pada setiap penonton, membebaskan setiap orang untuk melanjutkan
imajinasinya sehingga akan melahirkan pengalaman spiritual dari tubuh itu sendiri.
Tubuh di sini hanyalah pancaran energi untuk membangkitkan penghayatan yang ada
pada penonton yang hanya akan diketahui sampai lakon itu berakhir, dari sini muncul
presepsi dalam diri penonton yang pastinya berbeda-beda.
Di Bandung sendiri, kita mengenal kelompok Teater Payung Hitam yang
digagasi oleh Tony Broer, sebuah kelompok teater yang memanfaatkan tubuh sebagai
3
Universitas Kristen Maranatha
media utama menyampaikan gagasan dalam setiap pementasannya. Menurut Tony
Broer dalam GONG—majalah Seni dan Budaya, mengatakan;
Tubuh adalah refleksi dari ekspresi personal untuk menumbuhkan suatu
interpretasi pembaca terhadap penonton. Tafsir terhadap ini tentu akan
berbeda dari setiap kepala. Sehingga pembacaan dari media ini akan
sangat tergantung dari tema apapun, isu-isu yang sebelumnya telah
ditawarkan pada penonton, mind-set penontonpun terbentuk sebelumnya
untuk kemudian merangkai ekspresi tubuh sebagai bahasa atau paling
tidak mendapat suatu impresi.
(Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer: 2009, p.24)
Tubuh yang bebas, sebenarnya tidak bebas. Kebebasan itu sendiri juga
terikat. Teater tubuh adalah juga teater verbal dan konvensional, bila bahasa dan
seluruh idiomnya pada suatu saat mulai mapan. Teater bukan hanya pertunjukan yang
bertutur dengan bahasa yang dikenal sebagai drama, tetapi juga pertunjukan yang
“berbahasa” dengan tubuh, rupa dan bunyi. (Putu Wijaya, 23: 2008)
Jika di Bandung kita mengenal Teater Payung Hitam yang memanfaatkan
‘bahasa’ tubuh sebagai media utama penyampai gagasan, maka di Jepang kita
mengenal Butoh (舞踏). Sebagai satu aliran, Butoh belum terlalu tua, Ia baru lahir
tahun 1960-an di Jepang di bawah payung yang disebut avant-garde.1 Pada tahun
1959, Tatsumi Hijikata— salah satu penggagas dan pelopor dalam gerakan ini –
untuk pertama kalinya menampilkan tari Butoh yang terinspirasi dari novel Yukio
1
Secara garis besar Avant-Garde adalah golongan perintis terutama dalam bidang seni. Avant-Garde
menciptakan karya seni yang tidak terikat pada bentuk-bentuk konsensus estetika yang sudah baku.
Bahkan, karya seni mereka dapat dikatagorikan sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai dan
aturan yang sebelumnya, sebagai seruan penolakan terhadap aneka bentuk tradisi.
4
Universitas Kristen Maranatha
Mishima yaitu Karyanya yang bertajuk “Kinjiki” (Forbidden Colors). berangkat dari
nama yang sama, dalam pertunjukan itu ia menghilangkan sama sekali unsur musik
dan teknik-teknik tari yang dianggap tidak natural bagi tubuh.2 Dimana karya tersebut
dimainkan oleh dua penari, Hijikata dan Yoshito Ohno. Dikemudian hari, di bawah
bendera Avant-garde, aliran tari itu dinamakan ‘Ankoku Butoh’ (Dark Dance of The
Soul). Dan sekarang aliran tari ini dikenal dengan nama ‘Butoh’.
Gerakan kesenian Butoh menjadi pelopor dari munculnya semangat
eksplorasi pada tubuh dimana Butoh tidak menjadi sebuah tarian yang baku. Butoh
menjadi bentuk seni pertunjukan yang baru pada waktu itu. Sekitar tahun 70-an,
butoh mulai di kenal diluar Jepang dan sampai sekarang menjadi metode eksplorasi
tubuh dan digunakan sebagai dasar latihan kelompok teater yang memilih bentuk
tubuh sebagai media ekspresi.
Dalam dunia tari, tubuh menjadi dasar seorang penari, karena peristiwa
disampaikan dengan tubuh yang sudah dibentuk dengan pola-pola gerakan tertentu
sesuai dengan tema yang akan disampaikan, seperti yang dikatakan Lois Ellfeldt,
bahwa tari sebagai ekspresi seni menciptakan imange gerak yang membuat kita
menjadi lebih sensitif terhadap realitas… (Iyus Rusliana, 2001: 7), penyampaian tema
melalui tubuh yang telah dipola dan gerak yang telah ditentukan, menyebabkan tema
yang akan disampaikan bisa dinikmati dari gerakan tubuh.
Kembali melihat Yukio Mishima dan salah satu karyanya yang dikatakan
2
Lihat http://www.lebur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=144
5
Universitas Kristen Maranatha
memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya seni Butoh, Kinjiki 禁色 merupakan
ungkapan pelembutan kata yang diarahkan kepada hubungan homoseksualitas. Kanji
禁 berarti “Forbidden” sementara 色 pada konteks ini berarti “erotic love”, juga
dapat diartikan sebagai “color”. Kata “kinjiki” juga dapat ditafsirkan dimana warnawarna terlarang menjadi representasi keletihan masyarakat Jepang pada berbagai nilai
sosial.
Novel kinjiki juga memiliki elemen tematis yang fundamental terhadap
dikotomi antara indah dan jelek; muda dan tua; kehidupan dan kematian. Dan secara
umum keseluruhan karya-karya Mishima banyak mengangkat tema pertentangan
konseptual antara nilai tradisional Jepang dan ketandusan spiritualisme pada
kehidupan kontemporer.
Yukio Mishima ( 三 島 由 紀 夫 ) lahir di Tokyo (1925-1970). Ia pernah
mencoba menjadi pasukan militer pada saat perang dunia II namun gagal, lantas
sebagai gantinya ia bekerja di perusahaan maskapai.
Setelah perang usai, ia
melanjutkan studinya di bidang hukum dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu di
departemen keuangan. Novel perdana Mishima adalah Confessions of a Mask (仮面の
告白, Kamen no kokuhaku) yang lahir tahun 1945, sebuah novel autobiografis yang
cukup sukses yang sepenuhnya menghantarkan ia menjadi seorang penulis.
Sementara tahun 1956 Mishima dengan novel The Temple of the Golden Pavilion (金
6
Universitas Kristen Maranatha
閣寺 Kinkakuji) mengajak pembaca dengan lukisan kata tentang seorang muda yang
terobsesi antara agama dan keindahan. Selanjutnya The Sailor Who Fell from Grace
with the Sea (午後の曳航, Gogonoeikō) tahun 1963, adalah kisah yang mengerikan
tentang kecemburuan anak remaja. Serta empat volume novel epik yakni Spring Snow
(春の雪, Haru no yuki), Runaway Horses (奔馬, Honba), The Temple of Dawn dan
Decay to the Angel (天人五 , Tenjingosui) adalah mengenai transformasi Jepang
menuju sebuah modernisme namun yang ada hanyalah kemandulan masyarakatnya
saja.3 Mishima adalah salah seorang dari deretan penulis yang memilih jalan bunuh
diri, kematian dengan Seppuku-nya merupakan salam akhir dari protes melawan
lemahnya modernisme Jepang yang saat itu sedang berlangsung.
1.2 Pembatasan Masalah
Karya sastra dan seni performa sebagai dua objek penelitian yang
multidimensi dalam artian dapat ditinjau dan diamati dari berbagai sisi dan sudut
pandang, tentunya memerlukan pembatasan-pembatasan agar penelitian tetap berjalan
dalam sebuah kerangka berpikir yang jelas dan membantu seorang peneliti agar lebih
terarah dan mencapai hasil yang semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan penelitian
tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan penelitian dan mengkerucut
permasalahan, kajian dibatasi pada pemaparan gambaran tubuh melalui teks-teks
3
Lihat Yukio Mishima, Microsoft Encarta 2008, multimedia encyclopedia
7
Universitas Kristen Maranatha
yang termuat dalam dialog, monolog maupun narasi. Langkah berikutnya penulis
melakukan interpretasi studi tubuh dari novel ‘Kinjiki’ tersebut lantas mengkaitkan
kepada idiom dan falsafah ‘bahasa’ tubuh pada seni Butoh.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pokok penulisan adalah menemukan, mengembangkan atau menguji
kebenaran suatu pengetahuan secara empiris berdasarkan data dan fakta. Suatu
penelitian disusun untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang diharapkan.
Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah memecahkan persoalan seperti apakah
gambaran tubuh dan falsafah seni Butoh yang terefleksikan dalam novel Kinjiki bila
ditinjau melalui teori Estetika?
1.4 Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hermeneutika sebagai metode interpretasi sastra. Hermeneutika menurut pandangan
kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan
diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermeneutika tepat bagi pembacaan
karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu
aktivitas yakni interpretasi atau penafsiran. Kegiatan apresiasi sastra, pada awal dan
akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan
dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan
8
Universitas Kristen Maranatha
peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang
fundamental dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah penulis melihat
hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh
pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa
interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh
permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna dan
simbol” yang terkandung di dalamnya. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode
pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu
syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para
ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat
dipandang sebagai metode yang paling memadai. Ricoeur menyatakan bahwa:
Hermeneutics is a theory that deals with text interpretation. This theory is
commonly used as a method to understand a text although Hermeneutics
itself does not explicitly formulate the practical steps to understand a
text. Among the theories of interpretation, Hermeneutics has various subinterpretation theories. In the perspective of Hermeneutics, the initial
stage of interpretation involves the objective interpretation of a text
before symbolization is made. The message of the text is then related to
the other elements of the texts such as the sender of the text, other related
disciplines, and socio-cultural aspect of the text. The understanding of a
text will eventually be identical with the quality improvement of the
interpreter’s own self. However, in practice, Hermeneutics can be used to
intrepret various texts.
(Ricoeur: 1981, p.14)
(Hermeneutika adalah teori yang berhubungan dengan interpretasi teks.
Teori ini umum digunakan sebagai metode dalam memahami teks
meskipun hermeneutika itu sendiri tidak secara eksplisit merumuskan
langkah-langkah praktis untuk memahami teks. Di antara teori
interpretasi, hermeneutika memiliki berbagai sub-teori interpretasi.
Dalam perspektif Hermeneutika, tahap penafsiran meliputi tujuan
9
Universitas Kristen Maranatha
interpretasi teks sebelum simbolisasi dibuat. Pesan teks kemudian terkait
dengan unsur-unsur lain dari teks-teks seperti penyampai teks, terkait
oleh disiplin ilmu lainya, dan aspek teks sosial-budaya. Pemahaman teks
akhirnya identik dengan peningkatan kualitas diri sendiri sebagai
penafsir. Namun, dalam praktiknya, Hermeneutika dapat digunakan
untuk intrepret berbagai teks.)
Dengan demikian pendekatan Hermeneutika
sangat
mempersoalkan
bagaimana interpretasi berfungsi menunjuk arti, mengkatakan, menuturkan,
mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan sesuatu yang merupakan
pesan realitas. Sementara landasan teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika.
Estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan
keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Dengan kata lain, estetika dapat
disebut sebagai suatu paparan mengenai pengalaman subjek tentang suatu yang indah,
apakah itu keindahan alam ataupun keindahan sebuah karya cipta manusia. Teoriteori dalam estetika mengenai objek dan pengalaman keindahan dapat diterapkan,
baik untuk objek-objek alam maupun untuk karya seni. Tapi umumnya apresiasi seni
biasanya hanya berlaku untuk karya seni sebagai objek filsafat keindahan atau
estetika.
Konsepsi mengenai seni memiliki keragaman sudut pandang yang berbedabeda dari tiap pemikir, tetapi umumnya menyangkut hal-hal seperti proses kreatif,
artefak yang estetis dan pengalaman yang estetis. Keragaman sudut pandang dalam
estetika itu menjadi salah satu tugas besar bagi penulis dalam mencari korelasi,
merumuskan dan mengaplikasikan terhadap wacana tubuh. Maka sebagai teknik
10
Universitas Kristen Maranatha
penelitian ini, penulis menerapkan teori estetika yang bersifat holistik, yakini
mengambil sudut pandang beberapa pemikir hingga membentuk bagunan teori yang
bersentuhan dengan tema yang diangkat yaitu studi tubuh yang dilihat dari novel
‘kinjiki’ karya Mishima Yukio terhadap seni butoh
1.5 Organisasi Penulisan
Agar karya tulis yang dihasilkan menjadi sistematis, penulis menguraikan
penulisannya menjadi beberapa bab, subbab dan anak subbab dalam organisasi
penulisan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini dibagi menjadi lima subbab yaitu latar belakang masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, pendekatan dan metode
penelitian dan organisasi penulisan.
BAB II
PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI
Bab ini dibagi beberapa subbab yaitu, pertama mengenai pengertian
Hermeneutika sebagai pendekatan interpretasi teks sastra. Lalu
disubbab selanjutnya mengenai teori Estetika. Dalam sub-bab ini akan
dipecah lagi mencadi tiga anak sub-bab mengenai tokoh teori estetika
yakni Jerzy Grotowski: dengan konsep Menuju Teater Miskin-nya;
dan Jean-Francois Lyotard: Konsep Seni Avant-Garde.
11
Universitas Kristen Maranatha
BAB III
KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI
BUTOH
Bab ini dibagi menjadi tiga subbab, yaitu Melihat bagaimana dinamika
kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II, kedua mencermati Mishima
Yukio: Hidup dan Karyanya. Sementara subbab ketiga mengenai seni
Butoh dan perjalanan Hijikata sebagai pendirinya.
BAB IV
TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH
Bab ini dibagi dua bab yaitu tentang novel “Kinjiki” lalu masuk pada
bab selanjutnya yang paling penting yaitu Analisa Estetika Tubuh
Butoh yang Didasari Novel Kinjiki, lantas dibagi menjadi tiga subbab
dari tema besar dalam Kinjiki yakni tentang Beauty and Ugliness;
Youth and Aging; dan Life and Death.
BAB V
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SINOPSIS
RIWAYAT HIDUP PENULIS
12
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai
kesesuaian konsep tubuh antara Novel Kinjiki dan seni Butoh, bahwa narasi dalam
teks novel Kinjiki dan seni Butoh memiliki kesesuaian, khususnya dalam hal
keberadaan tubuh. Keduanya memiliki tiga elemen tematis atas dualisme antara
beauty and ugliness; young and aging; life and death. Penulis telah melakukan proses
interpretasi di bab analisa dan melalui interpretasi tersebut, penulis membatasi
penelitian hanya kepada penafsiran gerak tubuh dalam ruang lingkup teori estetika.
Bagaimana eksprorasi tubuh Butoh tersebut dapat didekatkan melalui teori
estetikayang dikembangkan oleh Jerzy Grotowski.
Seni apapun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktifitas yakni interpretasi
dan
penafsiran. Dengan demikian hermeneutika berfungsi
menunjuk arti,
mengatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan
sesuatu yang merupakan pesan realitas. Maka dalam penelitian ini, penulis dapat
menjabarkan simpulan sebagai berikut.
Pertama dari sudut pandang Beauty and ugliness; novel Kinjiki memiliki
pandangan tersendiri terhadap apa yang disebut indah. Kualitas keindahan yang
diterima oleh umum terkadang bersifat banal. Malah sebaliknya, kejelekan
92
Universitas Kristen Maranatha
mengandung sisi yang mendalam karena mengendapkan sisi-sisi kehidupan yang
tidak termanifestasikan. Selaras dengan apa yang diserap Butoh, estetika tubuh
seorang penari butoh adalah aesthetic of ugliness. Gerakan Butoh menolak standar
keindahan modern, termasuk idealisme tubuh. Berlawanan dengan keanggunan dan
keelokan tubuh, justru yang mereka tonjolkan adalah sisi kelam tubuh. Novel Kinjiki
dan seni Butoh dapat diinterpretasikan bahwa keduanya berupaya untuk menelanjangi
diri manusia agar bisa memahami dirinya sendiri dan dunia yang melingkupinya,
dengan jalan membongkar segala keburukan dan kejelekan dari diri manusia, baik
yang sifatnya fisik maupun yang non fisik. Dari proses pembongkaran ini maka
manusia dibawa ke dunia transendental, yang akhirnya akan melahirkan jawaban atas
pertanyaan mengenai esensi dan eksistensi kehidupan. Dengan kata lain ‘idea of
beauty’ dalam novel Kinjiki dan Butoh, adalah upaya bagaimana memahami dan
merasakan ‘sesuatu diluar dirinya’.
Kedua dari sudut pandang Young and Aging; tokoh Shinsuke Hinoki dalam
Novel Kinjiki adalah seorang penulis tersohor yang digambarkan memiliki kebencian
usia tua dan menghindari pembusukan umur akan usia tua itu sendiri. Seperti halnya
dalam Butoh, secara umum gestural yang dieksplorasi merupakan gerak
perkembangan. Yakni dari lahir, perlahan beranjak dewasa lantas menunduk lagi
sebagai ekspresi menua dan terjatuh ke lantai seolah dalam kematian. Butoh dapat
diinterpretasikan sebagai eksplorasi kode kinetis yang menguak situasi terhempit dan
tertindas akan sebuah kemajuan; suatu representasi dari pergumulan manusia
93
Universitas Kristen Maranatha
menghadapi perubahan dalam dirinya serta pergulatan dengan perubahan-perubahan
yang berlangsung di luar melalui gerak tubuh yang bermuara dari kelahiran-menjadi
muda-beranjak dewasa-hari tua-hingga kematian.
Ketiga dari sudut pandang Life and Death; Seperti halnya saat narasi
mengarah pada Shunsuke, seorang tokoh dalam novel ini yang terobsesi oleh
kematian dan menganggap bahwa kematian terasa lebih kuat daripada hidup itu
sendiri. Ia beranggapan bahwa tidak ada satupun yang membuat kita lebih kuat pada
kesadaran akan kehidupan apabila kita tidak memiliki kesadaran akan kematian.
senada dengan Butoh wacana kehidupan dan kematian dalam kaitannya dengan seni
Butoh, merupakan perpaduan antara mati dan hidup. Alasannya, kematian itu
posisinya melayang maupun terjatuh, tapi dalam Butoh bisa kembali berdiri. Dan
wacana kematian yang mengendap dalam novel Kinjiki dan seni Butoh adalah sebuah
renungan dimana seseorang bisa tampak secara telanjang dan kita berkesempatan
melihat wajah hakikinya, manusia menjadi tulus, murni, dan suci. Di saat kematian
itulah, setiap orang adalah dirinya sendiri.
94
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Arifin, Max. (2009), Teater dan Kembaranya, Antonin Artaurd. Surabaya: Dewan
kesenian Jawa Timur.
Banes, Sally. (1987). Terpsichore in sneakers—Post-Modernism Dance. USA:
Wesleyan University Press.
Chodorow, Joan. (1991). Dance Therapy And Depth Psychology, The Moving
Imagination. London and New York: Routledge
Edwards, Paul (1960) Encyclopedia of Philosophy vol. VII Chicago The Encyclopedia
Britanica Inc.
Feitosa, Charles & (2001) Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness (Ken-ichi
Sasaki, Editor) Journal International Yearbook Of Aesthetics, Volume 5)
Grotowski, Jerzy. (2002). Toward Poor Theater, Menuju Teater Miskin. (Max
Ariffin, Penerjemah). Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.
Gaut, Berys, & Lopes, Dominic Mclver (Ed). (2002). The Routledge Companion to
Aesthetics. London & New York: Routledge
Hoffmann, Yoel, (1998). Japanese Death Poems, Written by Zen Monks and Haiku
Poets on the Verge of Death. Routland, Vermont and Tokyo, Japan: Charles E.
Tuttle Company.
Hikaru, Suzuki. (2003). The Japanese Way of Death. Dalam Handbook of Death and
Dying. edisi 2, oleh Clifton D. Bryant. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Hospers, John. (1967). Aesthetics, Problem of, dalam Paul Edwards (ed.), New York:
The Encyclopedia of Philosophy.
Klein, Susan Blakeley. (1987). Ankoku Butō: The Premodern and Postmodern
Influences on the Dance of Utter Darkness. New York. East Asia Program:
Cornell University
95
Universitas Kristen Maranatha
Kapland, David. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kasai, Toshiharu. (1999). A Butoh Dance Methode for Psychosomatic Exploration,
memoirs of the Hokkaido Institute of Technology, No.27.
Mishima, Yukio. (1964). 禁色. Japan: Iichirou Mishima
Mishima, Yukio. (2008). Forbidden Colors, England: Penguin Books.
Mitter, Shommit. (2002). SISTEM PELATIHAN LAKON. Stanilavsky, Brecht,
Grotowski, Brook. Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.
Poespoprodjo. (2001). Hermeneutika, Bandung: Penerbit Pustaka Setia.
Rusliana, Iyus (2001), Khazanah Tari Wayang, Bandung: Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on Language,
Action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
Sumaryono. (1999). Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Synnott, Anthony. (2003). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat,
Yogyakarta, Jalasutra.
Sutrisno, Mudji, dkk. (2005). Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta:
Galangpress.
Subana, M, Sudrajat.S. (2001). Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV
Pustaka Setia
Surakhmad, Winarno. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Penerbit
Tarsito
Sasaki, Ken-ichi (Ed). (2001). ‘Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness’ oleh
Charles Feitosa, Jurnal International Yearbook of Aesthetics, Volume 5.
Viala, Jean and Masson-Sékiné, Nourit. (1991). BUTOH Shade of Darkness. Japan:
Shuffunotomo Co. Ltd.
96
Universitas Kristen Maranatha
II. ARTIKEL MAJALAH
GONG, Majalah Seni Budaya. Putu Wijaya: Teater Tubuh, Erotika dan Raga, edisi
102/IX/2008
GONG, Majalah Seni Budaya. Edisi 106/X/2009
GONG, Majalah Seni Budaya, Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer
Edisi 108/X/2009
GONG, Majalah Seni Budaya, Min Tanaka: The Meaning of Dance Oleh Anastasia
Melati, Edisi No. 106/X/2009
III. KARYA NONCETAK
Pina (2011). (directed by Wim Wenders). (DVD Movie)
Butoh Dance of Darkness (a documentary). (MP4 Video)
細江英公 / へそと原爆
(1960) (Eikoh Hosoe's film Navel and A-Bomb, featuring
Hijikata Tatsumi). (MP4 Video)
Mishima - a Life in Four Chapters (1985). (DivX Video)
IV. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Art, Anti-Art, Non-Art: Experimentations in the Public Sphere in Postwar Japan,
1950-1970. (diakses 2011) March 6–June 3, 2007 at the Getty Center
http://www.getty.edu/art/exhibitions/postwar_japan/
Yukio Mishima (1925-1970) - Pseudonym for Hiraoka Kimitake. (diakses 2011)
http://www.kirjasto.sci.fi/mishima.htm
舞踏論
岡村唯史 (diakses 2011)
http://homepage2.nifty.com/abeni/butoh.htm
Sankai Juku dan Kazuo Ohno (diakses 2011)
97
Universitas Kristen Maranatha
http://freedominstitute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=367
Bergmark, Johannes. Butoh - Revolt of the Flesh in Japan and a Surrealist Way to
Move (diakses 2011)
http://www.surrealistgruppen.org/bergmark/butoh.html
Prasojo, Galih. (diakses 2011) Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=55
Pandhuagie, FG. The Life of Butoh (diakses 2011)
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=42
Untoro, Ons. "EMPTINE
禁色
が舞踏にあたえた影響
美学理論による
身体
の研究
序論
現在
身体表現
身体
自
身体
能性
私
秘
タ
カ
自身
自身
い
離
身体
人
日本
理念 語
舞踏
ほ
草
演
土方
いわ
大
義人
い
独特
様相
手
いう芸術
い
時始
9
年
あ
あ
表
無限
う
可
独自
開
探求
特定
いう芸術
日本
ャン
前衛芸術
禁色
基
初
舞踏
除い
作品
人
暗黒舞踏
いわ
踊
舞踏
岡村
う
身体
空間
臨在
要
本質的
基本
異
う
あ
所作
舞踏
いう
身体
あ
う
い
探求 草
入
芸術
踊
語
あ
い
い
あ
新
現
あ
音楽
舞踏
舞踏
一
適
いい
書い
何
ャン
身体
舞踏
固有
身体表現
舞踏
使う
踊
踊
身体
自身
再構成
島由紀夫
後々
舞踏
わ
い
不自然
舞踏
自
バ
言語
演
科目
鍛え
土方巽
身体
う
他
あ
い
バ
古
一人
演技
手
い
苦
身体
要
最
一大
痛
最
視覚化
身体
化粧
中
表現
確立
い
• タ
チュ
一
舞踏
固定的
9
年代
踊
舞踏
xiii
Universitas Kristen Maranatha
外国
広
練習
自
使
表現
手段
身体
存在
多
劇団
い
禁色
物語
”beauty
and
舞踏
部
あ
ugliness”,
元論
哲学
舞踏
特
“young
death”, いう
描写
基本
基礎
and
持
い
aging”,
筆者
あ 美意識
両者
“life
禁色
and
あ
あ
身体
証
本論
“Beauty
and
美
覚
い
禁色
禁色
少々あ
う
深い意味
醜い美学
あ
舞踏
現代バ
拒絶
彼
見
い
視点
あ
逆
醜悪
持
い
舞踏
人生
心
い
表現
必滅
死
美
い
舞踏
身体
脆
一般
老化
場人物
憎
舞踏
大人
踊
手
美学
理想的
動
え
身体
あ
進歩
動
進
抑え
虐
出
動
解釈
有
あ
動
状況
変化
大人
作家
老化
ニ
起
aging”
探求
あ
至
生
檜俊
あ
死
至
あ
彼
老化
進歩
動
あ
表現
地
演
避
生
落
死
前へ
身体コ
自
自身
内面
変化
人間
問題
表現
い
現象
始
ほ
舞踏
わ
直面
感
固
and
禁色
元々
持
美学
“Young
外見
ugliness”
見
自
自身
あ
xiv
Universitas Kristen Maranatha
“Life
and
物語
俊
向
生
う
強
え自覚
体性
落
感
い
浮
禁色
い
舞踏
生
一
舞踏
恐怖
あ
考え
あ
death”
場人物
死
死
自覚
融合
あ
言
いい
崩壊
況
精神的
柱
読者
調和
舞踏
禁色
創作的
戦争
解
恐怖
使わ
芸術
え
激
持
い
簡単
舞踏
尽
恐怖
強迫観念
対
あ
芸術
死
死
生
言え
死
再び立
人
え
混乱
崩壊
魂
状態
揺
燃え
不安定
一
状
夫
結論
日本
作品
ほ
映
出
例え
巨大
い
日本
孤独
悲劇的
闇
包
芸術家
作品
9
年代
放
新
人
現代日本人
心理状態
破壊的
う
現代読者
あ
生
当時
主義
作品
探
姿
中心
死
一緒
い
う
苦
人
あい
い
う
結局
魂
的
禁色
開放
形
い方向へ文
舞踏
創作的関係
あ
作者
暴力
前進
種
作品
芸術文化
ネ
表
創作的
評論的
形
読者
社会批判
怒
破壊
カタ
作品
建設
創作的
作品
形
怒
状況へ
い
xv
Universitas Kristen Maranatha
筆者
伝え
いい社会
い
以
あ
研究
人生
ほ
禁色
い
いう
単
言葉
恐怖
い
束
舞踏
暴力
い
xvi
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………..
ii
.......................................
iii
................................................
iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
xi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang ….…………………………………………………
1
1.2 Pembatasan Masalah ………………………………………………
7
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….
8
1.4 Pendekatan dan Metode Penelitian ………………………………..
8
1.5 Organisasi Penulisan ………………………………………………
11
BAB II PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI ……………………..
13
2.1 Hermeneutika ……………………………………………………..
13
2.2 Teori Estetika ……………………………………………………..
19
2.2.1
Jerzy Grotowski: Menuju Teater Miskin ……………..
24
2.2.2
Jean-Francois Lyotard: Konsep Seni Avant-Garde …...
27
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI
viii
Universitas Kristen Maranatha
BAB III KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI
...............................................................................
29
3.1 Menilik Dinamika Kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II ……..
29
3.2 Yukio Mishima: Hidup dan Karyanya ……………………………
34
3.3 Butoh, Hijikata dan Perjalanannya ……………………………….
37
BAB IV TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH .........
41
…………..
41
4.1.1
Beauty and Ugliness …………………………………..
42
4.1.2
Youth and Aging ………………………………………
59
4.1.3
Life and Death …………………………………………
72
BAB V SIMPULAN …………………………………………………………
92
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
95
LAMPIRAN ………………………………………………………………….
xii
................................................................................................
xiii
..............................................................
xiv
BUTOH
4.1 Novel Kinjiki yang Mendasari Estetika Tubuh Butoh
SINOPSIS
RIWAYAT HIDUP PENULIS
ix
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Berbagai varian ekspresi wajah Butoh……………………………… 54
Gambar 2. Eksplorasi Butoh pada gerak perkembangan……………………….. 69
Gambar 3. Eksplorasi tubuh sekarat dalam Butoh……………………………… 84
x
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Novel Kinjiki dan Seni Butoh Sebagai Seni Teror………….. 100
Lampiran 2 Beberapa foto pertunjukan Butoh, kondisi Jepang
pasca Perang Dunia, Yukio Mishima, dan poster
pertunjukan Butoh…………………………………………… 108
xi
Universitas Kristen Maranatha
LAMPIRAN
Novel Kinjiki dan Butoh Sebagai Seni Teror
Sebagai bagian masyarakat interpretasi, penulis menyadari bahwa dalam
proses menilai karya seni adanya jurang pemisah antara para seniman dengan
penonton umum; antara akademisi dengan masyarakat; antara intelektualis dengan
penonton dari kalangan biasa. Belum tentu penonton (audience) dari kalangan umum
tersebut mampu membahasakan pesan intrinsik seperti layaknya para akademisi,
seniman atau intelektualis. Acapkali penonton umum hanya melihat pesan dari
permukaan saja—tidak sampai menembus pada hal yang paling fundamental dari seni
itu sendiri. hal yang paling fundamental dari seni berupa pesan moral yang ingin
disampaikan kepada penikmatnya.
Tidak dipungkiri bahwa penikmat seni memiliki latar belakang sosial dan
pendidikan yang berbeda-beda. Interpretasi yang akan munculpun beragam pula.
Disinilah
tantangan
penulis
menempatkan
pendekatan
hermeneutika
untuk
mengimbangi dan mempertemukan dalam satu pandangan khusus. Seperti halnya
dalam penelitian ini, penulis adalah seorang akademisi yang juga berkecimpung
dalam seni teater tubuh, penulis menemukan adanya pengaruh estetik yang diserap
dari novel Kinjiki hingga terefleksikan dalam gerak tubuh Butoh. Secara filosofi dan
melalui teori estetika pun penulis melihat bagaimana tubuh itu dieksplorasi dan
adanya kesamaan dalam sistem pelatihan lakon gaya Grotowski. Demikianlah penulis
meramu dan merumuskan menjadi satu kesatuan yang utuh. Semua telah dikupas
demi melihat tubuh dan filosofi dibalik gerak tubuh itu sendiri.
Untuk menghindari kesenjangan interpretasi dan jurang superioritas kubu
akademisi, seniman dan intelektualis dengan penikmat seni dari kalangan umum,
ilmu penafsiran mampu menjembatani kesenjangan interpretasi tersebut. Stanely Fish
mengajarkan bahwa pembaca merupakan anggota dari komunitas interpretatif—
kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan pemaknaan umum, serta
menggunakannya dalam pembacaan mereka. Dengan demikian, pemaknaan juga
terletak dalam komunitas interpretatif pembaca umum.
Pertama dari novel Kinjiki. Sebagai novel yang mengangkat tema hubungan
sejenis, masyarakat umum dapat mengklaim sebagai sastra subversif karena wacana
homoseksual masih tabu dikalangan umum (setidaknya pada masanya). Sementara
dari isi cerita—kematian, keburukan, kenistaan menjadi sebuah tema yang depresif.
Tingkat sastrawi yang cukup samar, tema homoseksual dan kisah yang depresif itu
bisa saja novel ini dicap sebagai novel yang berisikan banyak ‘terror’ mental bagi
pembacanya.
Tidak berhenti sampai disitu, saat kalangan umum menyaksikan sebuah
pertunjukan seni Butoh, Penonton dari kalangan umum akan disuguhi sebuah seni
yang bersifat keras dan menjadi terror visual baginya. Butoh merupakan tarian
kegelapan, adanya ketelanjangan, gerak liar, keheningan, tanpa kata, menghilangkan
batas estetik yang selama ini mapan oleh dekorasi dan tata panggung, ekspresi
kesakitan, keanehan (grotesque), juga terkadang mengeksplorasi bentuk seksualitas.
Butoh tidak lagi merupakan seni penghibur (entertaiment) melainkan membawa
penontonnya untuk merenung. Semua idiom diatas menjadi semacam kekerasan
visual yang meneror kepada penonton. dalam sub-bab berikutnya penulis akan
menjelaskan bagaimana dan latar belakang seni terror yang dimaksud.
Seni Teror; Seni Untuk Perubahan
Sudah lama para seniman "memanfaatkan kekerasan" sebagai sumber
estetika. Dramawan avant garde Perancis Antonin Artaud (1896-1948) tahun 1932
menuliskan manifesto teaternya, "Manifesto of the Theatre of Cruelty". Artaud
mengangankan bahwa teater di atas panggung tidak lain sebagai bentuk "kekerasan",
semacam teror bagi penonton. Jerzy Grotowski dalam satu kesempatan pernah
mengatakan bahwa:
Suatu tanda mata, kenang-kenangan. Bahwa anarki dan kekacauan
haruslah dihubungkan dengan rasa tertib aturan, yang ia (Artaud) susun
dalam pikiran dan bukan sebagai suatu teknik fisik. Masih pantas untuk
dikutip sebuah frase untuk mereka yang menamakan dirinya murid
Artaud: “cruelty is rigours”, ya, kekejaman itu keras, kasar!1
Setengah abad kemudian, sastrawan dan dramawan negeri ini, Putu Wijaya,
mendeklarasikan hal yang serupa. "Cerita pendek adalah teror mental kepada
manusia," tulis Putu Wijaya dalam kredo penulisan kreatifnya, Gres (Kumpulan
Cerpen, 1982: 9). Kata ‘cerita pendek’ tentu saja bisa diganti dengan kata teater,
novel, naskah drama, atau yang terkait dengan kerja kreatif.
Masih dalam Gres, Putu Wijaya selanjutnya merumuskan "estetika teror"nya sebagai berikut: "Pengertian teror tidak hanya berarti memorak-porandakan apa
yang sudah tersusun rapi. Teror mengacau dan membakar agar jiwa manusia ambruk.
Tetapi, sebuah seni juga adalah teror mental bagi keadaan yang ambruk, keadaan
yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras sehingga akhirnya pada puncaknya
bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada
manusia pembaca dan penikmatnya.”
Kekerasan dalam kaitan sikap estetika, namun dalam model yang lain,
misalnya dilakukan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pangkal kreativitas
Pram adalah "kemarahan". Marah terhadap keadaan, marah terhadap perlakuan tidak
adil, baik yang menimpa dirinya ataupun masyarakatnya, marah terhadap nilai-nilai
budaya yang menindas orang-orang yang termarjinalkan. Semua itu telah
1
Grotowski, Jerzy, Toward Poor Theater, (terjemahan bahasa Indonesia, alih bahasa oleh Max.
Ariffin), MSPI dan arti, Nov 2002, Yogyakarta
menerbitkan "kemarahan kreatif" dalam diri Pram. Jika kemudian "kemarahan" ini
mensublim, maka kemarahan tersebut pun akhirnya berbuah karya kreatif.
Tentu saja dalam hal ini penulis bukan hendak masuk kedalam pandangan
Antonin Artaud, Putu Wijaya atau Pram tetapi, yang terpenting hendak penulis soroti,
bagaimana dalam hal ini, kekerasan juga dibutuhkan dalam kehidupan, tinggal
bagaimana manusia me-manage-nya. Dalam tradisi filsafat, misalnya, juga dikenal
adanya ‘metode dekonstruksi’. Apabila sebuah bangunan (konstruksi) sudah usang,
rusak, yang sudah tidak mungkin lagi dibangun ulang (rekonstruksi), atau setidaknya
jika dibangun lagi akan memakan biaya yang jauh lebih mahal, tentu pilihan yang
lebih tepat adalah dirobohkan (dekonstruksi) agar bisa dibuat bangunan yang baru di
lokasi yang sama.
Pada akhirnya, dalam kaitan proses kreatif seperti dalam konteks ini tubuh
dalam novel Kinjiki dan seni butoh—karya seni bagi penciptanya bisa berfungsi
menjadi semacam bentuk katarsis, pelepasan jiwa, sehingga "bakat-bakat kekerasan"
dalam diri senimannya tidak lagi terekspresikan secara verbal dalam bentuk
perusakan-perusakan, vandalisme, tetapi menjadi suatu yang konstruktif dan bernilai
positif bagi perkembangan peradaban. Bagi pembaca, kemarahan kreatif ini mewujud
dalam bentuk penikmatan seni bernuansa kritik sosial, karena pada hakikatnya
"kemarahan terhadap keadaan" tersebut, jika diekspresikan dalam bentuk karya
kreatif, jadilah seni kritik sosial.
Karena itu, pada hakikatnya setiap karya seni adalah kritik sosial. Hal
tersebut terjadi karena pangkal setiap karya seni pada hakikatnya terlahir hanya dari
dua sisi kemungkinan sikap seniman, yaitu "takjub" atau "marah" terhadap keadaan.
Jika karya seni terlahir dari "ketakjuban", maka lahir karya-karya penuh pujaan,
romantik dan serba indah. Sebaliknya, jika karya seni terlahir dari "kemarahan",
maka akan menjelma seni protes. Dan, seni protes pun tidak selalu bersifat eksplisit
sehingga harus selalu berbentuk seni slogan. Tetapi, protes tersebut bersifat sublim,
tidak langsung, hanya bisa ditangkap dengan penghayatan yang serius dan mendalam.
Seperti contohnya, melalui media massa sering dijumpai, bagaimana bangsa
ini cenderung mengekspesikan kemarahan-kemarahannya dalam bentuk verbal.
Demonstrasi acap kali diikuti dengan perusakan-perusakan. Ketidakpuasan terhadap
keadaan atau sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengeboman. Bagi penulis jawaban
terhadap pertanyaan ini bisa beraneka ragam. Bisa diinterpretasikan karena
masyarakat mengalami frustrasi sosial yang demikian akut. Bisa juga karena ekspresiekspresi yang dibungkam oleh kekuasaan yang tidak apresiatif terhadap kebebasan.
Seni terror hadir dan merangsang masyarakat untuk "mengelola kemarahan" secara
lebih berbudaya. Lewat karya kreatif salah satunya.
Sama halnya di Jepang, aliran seni Butoh dan Novel Kinjiki adalah karya
kreatif yang terlahir di dekade 50-an. latar belakang sosial politik saat itu tengah
mencari pegangan terhadap bentuk humanisme baru pasca perang dunia. Karya seni
yang lahir dalam masa kesenian pasca perang dunia itu mencerminkan lahirnya
kebudayaan baru dari sebuah generasi yang hendak bebas dari trauma perang dunia.
Maka tak ayal memalui wajah Jepang modernis dengan masyarakatnya yang bergerak
menuju masyarakat perkotaan, kondisi-kondisi kejiwaan individu modern Jepang
seperti kesendirian, gambaran tragedis dan terkadang bersifat destruktif diangkat
sebagai tema-tema sentral karya seni oleh para seniman-seniman generasi baru.
Seolah dalam keadaan manusia sekarat, manusia dikuasai oleh kosmik kegelapan.
Seolah wujud keinginan untuk berbagi perasaan getir dengan penikmatnya (audience)
yang juga menghadapi pergolakan yang secara sama dihadapi masyarakat modern.
Dan seni dipakai untuk mengungkapkan kegelapan jiwa tersebut. Karya kreatif
berperan untuk membebaskan manusia dari kungkungannya. Kondisi tersebut
tereflesikan dalam kutipan berikut:
His first public performances were wild, primal and sexually explicit.
They quite naturally shocked the conservative Japanese dance
community, and he was banned from appearing at future organized
events. This was the spark that gave birth to butoh. Many of Japan's
dancers, poets, visual artists and theatre performers rallied around this
exciting and dangerous new art form. Underground performances
became increasingly popular, and soon there were numerous groups
being formed in the Tokyo area. Musicians, photographers and writers
including Japan's leading novelist, Yukio Mishima joined Hijikata to
collaborate on spectacular underground performances. 2
Pertunjukan pertama [Hijikata] begitu liar, primal dan eksplisit secara
seksual. Mereka secara alamiah mengejutkan komunitas tari konservatif
Jepang, dan ia dilarang untuk tampil di acara-acara terorganisir di masa
depan. Ini adalah percikan yang melahirkan Butoh. Banyak penari
Jepang, penyair, seniman visual dan pemain teater berunjuk rasa sebagai
bentuk berkesenian yang baru, menarik namun berbahaya. Pertunjukan
bawahtanah menjadi semakin populer, dan cepat meluas dari kelompok
yang dibentuk di daerah Tokyo ini. Musisi, fotografer dan penulis
termasuk novelis terkemuka Jepang, Yukio Mishima bergabung bersama
Hijikata untuk berkolaborasi pada pertunjukan spektakuler bawah tanah.
Penulis juga menemukan bukti bahwa Yukio Mishima pernah terlibat secara
langsung dalam gerakan kesenian Butoh bersama Hijikata, dimana dalam buku
Butoh—Shades of Darkness karangan Jean Viala, Nourit Masson-Sekine, Mishima
Yukio pernah berbicara tentang kesannya terhadap Hijikata:
Mr. Tatsumi Hijikata has just secretly informed me that he will once again
celebrate an heretical ceremony. I look forward to attending it, and for the
occasion am preparing a black mask and mysterious perfumes for myself.
Classical and avant-garde literature are in a state of crisis. But I can
always find a symbolic, modern language in his work”—Mishima Yukio
Tuan Tatsumi Hijikata baru saja diam-diam memberitahu saya bahwa ia
akan sekali lagi merayakan upacara sesat. Saya berharap untuk bisa
2
http://www.zenbutoh.com/history.htm
menghadirinya, dan untuk acara tersebut sedang dipersiapkan topeng hitam
dan parfum misterius untuk diriku sendiri. Klasik dan sastra avant-garde
berada dalam keadaan krisis. Tapi aku selalu bisa menemukan bahasa,
simbolik, bahasa modern dalam karyanya "—Mishima Yukio
Dengan demikian novel Kinjiki dan genre seni Butoh merupakan keragaman
yang termasuk karya avant-garde, peran avant-garde pada zamannya menjadi teror
dan provokator dalam menentang segala bentuk tradisi dan institusi seni yang
mengekang. Avant-garde tampil untuk mendekonstruksi apa yang menjadi cacatcacat estetika modern. Avant-garde selalu punya kemampuan untuk membuat kita
berpikir secara baru. Karya seni tidak terbatas di atas landasan realisme, tetapi justru
berdiri di dalam realitas yang senantiasa beragam. Dimana karya seni avant-garde
selalu mengoncang dan karakteristik karya berupa pemberontakan terhadap nilai-nilai
dan aturan-aturan yang mapan sebelumnya, yaitu sebagai seruan penolakan terhadap
bentuk tradisi. Hal ini dapat dicermati melalui gaya penulisan Yukio Mishima yang
meninggalkan cara penulisan sastra tradisional menuju gaya modern dan Kinjiki yang
memuat kisah homoseksual sebagai idiom tabu; seni Butoh yang meninggalkan batas
artistik yang selama ini bercitra rasa ‘cantik’ menuju ‘aesthetic of ugliness’;
sementara Grotowski dengan konsep ‘teater miskin’ sebagai upaya lepas
ketergantungan seni tinggi atau seni kaya yang telah ‘diperbudak’ oleh teknologi
artistik.
Demikianlah yang ingin dituju oleh penulis, penelitian ini diharapkan tidak
hanya sebagai rangkaian kata semata, lebih dari itu diharapkan segala ‘teror’ yang
bermuara dari tubuh lantas mengendap dalam novel Kinjiki dan ‘kekerasan’ visual
yang disuguhkan oleh seni butoh dapat ditangkap secara positif demi, untuk dan atas
nama kehidupan sosial yang lebih baik.
LAMPIRAN FOTO
First Performance of Kinjiki (Forbidden Colors)
(May 24, 1959)
"The boy survives violation by the old male prostitute of the Mishima's original 'Forbidden
Colors,' who leads a life of darkness until death. "Forbidden Colors in Two Parts" presents
Hijikata's pursuit of life's harsh realities."
Source:
https://eee.uci.edu/clients/sbklein/images/MODTHEATER/butoh/pages/01kinjiki01.htm
June 15, 1960: A protest at the Diet against
revision of the Japan-U.S. Security Treaty
turned violent and resulted in the death of a
22-year-old college student on June 15, 1960.
Protests continued outside the Diet until Prime
Minister Nobusuke Kishi announces his
resignation.
Student protesters clash
with police outside the Diet
on June 15, 1960, after the
government railroaded the
revised Japan-U.S. Security
Treaty through the Lower
House by physically
removing members of the
opposition parties who
were trying to block a vote
on the treaty.
Massive protests continue in
Tokyo. The confusion leads to U.S.
President Dwight Eisenhower
canceling a scheduled trip to Japan.
Prime Minister Nobusuke Kishi
takes responsibility for the
confusion and resigns in July.
Kishi's successor, Hayato Ikeda,
takes a more low-key approach and
focuses on doubling the national
income.
Source: http://ajw.asahi.com/reliving_the_past/leaf/AJ201206150034
Hakutoboh (White Peach Company)
Ashikawa Yoko and Kobayashi Saga, 1970
An example of the kind of public dance performances and improvisations that were
performed by Hijikata and associated dancers in the 1960s and 70s.
Photo of Hijikata with Self-Defense Forces (on their way to a
demonstration), 1969
Photo: Masahisa Fukase
Source:
https://eee.uci.edu/clients/sbklein/images/MODTHEATER/butoh/pages/03hakutoboh.htm
A famous image of Mishima posing as St. Sebastian. An image that caused the first erotic
impulse in Mishima when he was a child.
Source:
http://news.3yen.com/2009-07-02/saint-mishima-now-on-sale/
Butoh Performance by: Dennis Pamungkas
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat pada tanggal
02 Juli 1985 dari ayah yang bernama Dadang Kusnandar
dan ibu bernama Inge Hany Gany. Penulis merupakan anak
bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas
di kota Batam, penulis hijrah ke Bandung untuk
melanjutkan studi dan diterima di Fakultas sastra Jepang
Universitas Kristen Maranatha dan tamat tanggal 14 Juni
tahun 2013.
Selama masa perkuliahan, penulis mengisi dengan berbagai kegiatan diantaranya,
(2003) Anggota Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang Maranatha, sebagai pengurus
Hima dengan Jabatan Seksi Kebudayaan; (2004) Anggota Teater Topeng Maranatha
divisi Teater Tubuh; (2004) Duta Bandung dari Universitas Maranatha dalam acara
Performing Art di Bali; (2006) Penulis Rubrik Humaniora dan Redaktur Pers
Mahasiswa Maranatha; (2007) Pemeran utama Drama Jepang ‘Kanatsubo Oyaji No
Tatehiki’. Dan hingga kini kecintaannya pada sastra disalurkan dalam karya-karya
esai, puisi dan naskah lakon.
BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini wacana tubuh telah masuk sebagai salah satu agenda penting dalam
kajian budaya, tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia adalah
medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri.
Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak
terbatas untuk memamerkan segala jenis bentuk identitas diri. Tubuh juga bisa
dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang; ia terus menerus dibongkarbongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besarbesaran, didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek
gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. Namun itulah
pandangan tubuh dalam khazanah kebudayaan Konsumen, lantas bagaimana tubuh
jika dilihat dari wilayah kesenian khususnya seni pertunjukan?
Tubuh dalam seni pertunjukan merupakan modal utama atau bahan dasar
dari aktor yang memainkan tokoh yang ada pada naskah. Tubuh menjadi tehnik
medium untuk mengungkap peristiwa melalui dialog antar tokoh. Aktor harus dapat
mencapai titik kematangan tubuh seperti kepala hingga kaki sehingga aktor tersebut
1
Universitas Kristen Maranatha
mempunyai ketrampilan khusus dalam menyampaikan dialognya. Selain itu juga
melatih alat ucapnya seperti mulut, lidah dan tenggorokan serta pernafasan.
Aktor di atas panggung dalam mengungkapkan peran akan selalu
berhadapan dengan berbagai masalah yang menyangkut masalah tubuh. Sehingga
dalam hal ini sangat penting dilakukan oleh aktor adalah mengolah peralatan
tubuhnya sehingga tubuh aktor benar-benar terlatih secara teknis maupun
penjiwaannya. Max Arifin mengatakan “Seorang aktor tidak akan mengulangi dua
kali gesture yang sama, tetapi ia menggerak-gerakan tangan, bergerak dan walaupun
ia melebih-lebihkan bentuk seakan-akan ia merusaknya sambil memproduksi
kelanjutannya” (Max Arifin, 68: 2009).
Dalam perkembangan teater pada masa kini, tubuh tidak hanya digunakan
sebagai media untuk menyatakan dialog yang ada pada naskah. Saat ini banyak
kelompok teater yang melahirkan bentuk teater yang memanfaatkan tubuh sebagai
media utama penyampaian peristiwa, kata-kata yang lahir dari teater ini adalah tubuh
yang memproduksi makna-makna di panggung.
Dalam konteks ini, tubuh bukan seperti tari, karena dasar gerak yang sering
dipakai dalam kelompok teater tubuh adalah eksplorasi gerak yang tidak sama dengan
eksplorasi gerak tari. Hasil akhir gerak bukanlah bentuk gerak tubuh, karena
eksplorasi yang dilakukan tidak dengan hitungan untuk mengejar irama, juga pola
lantai tidak untuk membuat koreografi. Proses eksplorasi tubuh pada kelompok teater
2
Universitas Kristen Maranatha
ini tidak mengejar bentuk gerak sebagai hasil akhir dari gerak tubuh, melainkan
menekankan pada proses lahirnya gerak.
Tubuh sebagai proses dialog menjadi sebuah eksplorasi yang tidak pernah
selesai dari beberapa kelompok teater yang memilih proses ini. Dalam pertunjukan
hampir tidak ada dialog yang keluar dari mulut aktor, kalaupun ada hanya sebagai
hasil dari ekspresi tubuh. Kekuatan, kelenturan dan keseimbangan tubuh menjadi
dasar-dasar latihan yang dipakai oleh kelompok teater yang memilih tubuh sebagai
proses dialog, bukan alat penyampai dialog naskah. Tubuh menjadi tujuan itu sendiri,
maka tidak diperlukan lagi cerita yang baku, karena tubuh itu sendiri adalah naskah,
yang di dalamnya ada plot, karakter, konflik, stuktur, irama bahkan pernyataanpernyataan, maka proses ini akan menemukan ‘bahasa’ tubuh.
Bahasa tubuh di sini tubuh sebagai ekspresi untuk melahirkan pengalaman
personal pada setiap penonton, membebaskan setiap orang untuk melanjutkan
imajinasinya sehingga akan melahirkan pengalaman spiritual dari tubuh itu sendiri.
Tubuh di sini hanyalah pancaran energi untuk membangkitkan penghayatan yang ada
pada penonton yang hanya akan diketahui sampai lakon itu berakhir, dari sini muncul
presepsi dalam diri penonton yang pastinya berbeda-beda.
Di Bandung sendiri, kita mengenal kelompok Teater Payung Hitam yang
digagasi oleh Tony Broer, sebuah kelompok teater yang memanfaatkan tubuh sebagai
3
Universitas Kristen Maranatha
media utama menyampaikan gagasan dalam setiap pementasannya. Menurut Tony
Broer dalam GONG—majalah Seni dan Budaya, mengatakan;
Tubuh adalah refleksi dari ekspresi personal untuk menumbuhkan suatu
interpretasi pembaca terhadap penonton. Tafsir terhadap ini tentu akan
berbeda dari setiap kepala. Sehingga pembacaan dari media ini akan
sangat tergantung dari tema apapun, isu-isu yang sebelumnya telah
ditawarkan pada penonton, mind-set penontonpun terbentuk sebelumnya
untuk kemudian merangkai ekspresi tubuh sebagai bahasa atau paling
tidak mendapat suatu impresi.
(Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer: 2009, p.24)
Tubuh yang bebas, sebenarnya tidak bebas. Kebebasan itu sendiri juga
terikat. Teater tubuh adalah juga teater verbal dan konvensional, bila bahasa dan
seluruh idiomnya pada suatu saat mulai mapan. Teater bukan hanya pertunjukan yang
bertutur dengan bahasa yang dikenal sebagai drama, tetapi juga pertunjukan yang
“berbahasa” dengan tubuh, rupa dan bunyi. (Putu Wijaya, 23: 2008)
Jika di Bandung kita mengenal Teater Payung Hitam yang memanfaatkan
‘bahasa’ tubuh sebagai media utama penyampai gagasan, maka di Jepang kita
mengenal Butoh (舞踏). Sebagai satu aliran, Butoh belum terlalu tua, Ia baru lahir
tahun 1960-an di Jepang di bawah payung yang disebut avant-garde.1 Pada tahun
1959, Tatsumi Hijikata— salah satu penggagas dan pelopor dalam gerakan ini –
untuk pertama kalinya menampilkan tari Butoh yang terinspirasi dari novel Yukio
1
Secara garis besar Avant-Garde adalah golongan perintis terutama dalam bidang seni. Avant-Garde
menciptakan karya seni yang tidak terikat pada bentuk-bentuk konsensus estetika yang sudah baku.
Bahkan, karya seni mereka dapat dikatagorikan sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai dan
aturan yang sebelumnya, sebagai seruan penolakan terhadap aneka bentuk tradisi.
4
Universitas Kristen Maranatha
Mishima yaitu Karyanya yang bertajuk “Kinjiki” (Forbidden Colors). berangkat dari
nama yang sama, dalam pertunjukan itu ia menghilangkan sama sekali unsur musik
dan teknik-teknik tari yang dianggap tidak natural bagi tubuh.2 Dimana karya tersebut
dimainkan oleh dua penari, Hijikata dan Yoshito Ohno. Dikemudian hari, di bawah
bendera Avant-garde, aliran tari itu dinamakan ‘Ankoku Butoh’ (Dark Dance of The
Soul). Dan sekarang aliran tari ini dikenal dengan nama ‘Butoh’.
Gerakan kesenian Butoh menjadi pelopor dari munculnya semangat
eksplorasi pada tubuh dimana Butoh tidak menjadi sebuah tarian yang baku. Butoh
menjadi bentuk seni pertunjukan yang baru pada waktu itu. Sekitar tahun 70-an,
butoh mulai di kenal diluar Jepang dan sampai sekarang menjadi metode eksplorasi
tubuh dan digunakan sebagai dasar latihan kelompok teater yang memilih bentuk
tubuh sebagai media ekspresi.
Dalam dunia tari, tubuh menjadi dasar seorang penari, karena peristiwa
disampaikan dengan tubuh yang sudah dibentuk dengan pola-pola gerakan tertentu
sesuai dengan tema yang akan disampaikan, seperti yang dikatakan Lois Ellfeldt,
bahwa tari sebagai ekspresi seni menciptakan imange gerak yang membuat kita
menjadi lebih sensitif terhadap realitas… (Iyus Rusliana, 2001: 7), penyampaian tema
melalui tubuh yang telah dipola dan gerak yang telah ditentukan, menyebabkan tema
yang akan disampaikan bisa dinikmati dari gerakan tubuh.
Kembali melihat Yukio Mishima dan salah satu karyanya yang dikatakan
2
Lihat http://www.lebur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=144
5
Universitas Kristen Maranatha
memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya seni Butoh, Kinjiki 禁色 merupakan
ungkapan pelembutan kata yang diarahkan kepada hubungan homoseksualitas. Kanji
禁 berarti “Forbidden” sementara 色 pada konteks ini berarti “erotic love”, juga
dapat diartikan sebagai “color”. Kata “kinjiki” juga dapat ditafsirkan dimana warnawarna terlarang menjadi representasi keletihan masyarakat Jepang pada berbagai nilai
sosial.
Novel kinjiki juga memiliki elemen tematis yang fundamental terhadap
dikotomi antara indah dan jelek; muda dan tua; kehidupan dan kematian. Dan secara
umum keseluruhan karya-karya Mishima banyak mengangkat tema pertentangan
konseptual antara nilai tradisional Jepang dan ketandusan spiritualisme pada
kehidupan kontemporer.
Yukio Mishima ( 三 島 由 紀 夫 ) lahir di Tokyo (1925-1970). Ia pernah
mencoba menjadi pasukan militer pada saat perang dunia II namun gagal, lantas
sebagai gantinya ia bekerja di perusahaan maskapai.
Setelah perang usai, ia
melanjutkan studinya di bidang hukum dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu di
departemen keuangan. Novel perdana Mishima adalah Confessions of a Mask (仮面の
告白, Kamen no kokuhaku) yang lahir tahun 1945, sebuah novel autobiografis yang
cukup sukses yang sepenuhnya menghantarkan ia menjadi seorang penulis.
Sementara tahun 1956 Mishima dengan novel The Temple of the Golden Pavilion (金
6
Universitas Kristen Maranatha
閣寺 Kinkakuji) mengajak pembaca dengan lukisan kata tentang seorang muda yang
terobsesi antara agama dan keindahan. Selanjutnya The Sailor Who Fell from Grace
with the Sea (午後の曳航, Gogonoeikō) tahun 1963, adalah kisah yang mengerikan
tentang kecemburuan anak remaja. Serta empat volume novel epik yakni Spring Snow
(春の雪, Haru no yuki), Runaway Horses (奔馬, Honba), The Temple of Dawn dan
Decay to the Angel (天人五 , Tenjingosui) adalah mengenai transformasi Jepang
menuju sebuah modernisme namun yang ada hanyalah kemandulan masyarakatnya
saja.3 Mishima adalah salah seorang dari deretan penulis yang memilih jalan bunuh
diri, kematian dengan Seppuku-nya merupakan salam akhir dari protes melawan
lemahnya modernisme Jepang yang saat itu sedang berlangsung.
1.2 Pembatasan Masalah
Karya sastra dan seni performa sebagai dua objek penelitian yang
multidimensi dalam artian dapat ditinjau dan diamati dari berbagai sisi dan sudut
pandang, tentunya memerlukan pembatasan-pembatasan agar penelitian tetap berjalan
dalam sebuah kerangka berpikir yang jelas dan membantu seorang peneliti agar lebih
terarah dan mencapai hasil yang semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan penelitian
tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan penelitian dan mengkerucut
permasalahan, kajian dibatasi pada pemaparan gambaran tubuh melalui teks-teks
3
Lihat Yukio Mishima, Microsoft Encarta 2008, multimedia encyclopedia
7
Universitas Kristen Maranatha
yang termuat dalam dialog, monolog maupun narasi. Langkah berikutnya penulis
melakukan interpretasi studi tubuh dari novel ‘Kinjiki’ tersebut lantas mengkaitkan
kepada idiom dan falsafah ‘bahasa’ tubuh pada seni Butoh.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pokok penulisan adalah menemukan, mengembangkan atau menguji
kebenaran suatu pengetahuan secara empiris berdasarkan data dan fakta. Suatu
penelitian disusun untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang diharapkan.
Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah memecahkan persoalan seperti apakah
gambaran tubuh dan falsafah seni Butoh yang terefleksikan dalam novel Kinjiki bila
ditinjau melalui teori Estetika?
1.4 Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hermeneutika sebagai metode interpretasi sastra. Hermeneutika menurut pandangan
kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan
diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermeneutika tepat bagi pembacaan
karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu
aktivitas yakni interpretasi atau penafsiran. Kegiatan apresiasi sastra, pada awal dan
akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan
dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan
8
Universitas Kristen Maranatha
peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang
fundamental dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah penulis melihat
hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh
pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa
interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh
permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna dan
simbol” yang terkandung di dalamnya. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode
pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu
syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para
ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat
dipandang sebagai metode yang paling memadai. Ricoeur menyatakan bahwa:
Hermeneutics is a theory that deals with text interpretation. This theory is
commonly used as a method to understand a text although Hermeneutics
itself does not explicitly formulate the practical steps to understand a
text. Among the theories of interpretation, Hermeneutics has various subinterpretation theories. In the perspective of Hermeneutics, the initial
stage of interpretation involves the objective interpretation of a text
before symbolization is made. The message of the text is then related to
the other elements of the texts such as the sender of the text, other related
disciplines, and socio-cultural aspect of the text. The understanding of a
text will eventually be identical with the quality improvement of the
interpreter’s own self. However, in practice, Hermeneutics can be used to
intrepret various texts.
(Ricoeur: 1981, p.14)
(Hermeneutika adalah teori yang berhubungan dengan interpretasi teks.
Teori ini umum digunakan sebagai metode dalam memahami teks
meskipun hermeneutika itu sendiri tidak secara eksplisit merumuskan
langkah-langkah praktis untuk memahami teks. Di antara teori
interpretasi, hermeneutika memiliki berbagai sub-teori interpretasi.
Dalam perspektif Hermeneutika, tahap penafsiran meliputi tujuan
9
Universitas Kristen Maranatha
interpretasi teks sebelum simbolisasi dibuat. Pesan teks kemudian terkait
dengan unsur-unsur lain dari teks-teks seperti penyampai teks, terkait
oleh disiplin ilmu lainya, dan aspek teks sosial-budaya. Pemahaman teks
akhirnya identik dengan peningkatan kualitas diri sendiri sebagai
penafsir. Namun, dalam praktiknya, Hermeneutika dapat digunakan
untuk intrepret berbagai teks.)
Dengan demikian pendekatan Hermeneutika
sangat
mempersoalkan
bagaimana interpretasi berfungsi menunjuk arti, mengkatakan, menuturkan,
mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan sesuatu yang merupakan
pesan realitas. Sementara landasan teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika.
Estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan
keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Dengan kata lain, estetika dapat
disebut sebagai suatu paparan mengenai pengalaman subjek tentang suatu yang indah,
apakah itu keindahan alam ataupun keindahan sebuah karya cipta manusia. Teoriteori dalam estetika mengenai objek dan pengalaman keindahan dapat diterapkan,
baik untuk objek-objek alam maupun untuk karya seni. Tapi umumnya apresiasi seni
biasanya hanya berlaku untuk karya seni sebagai objek filsafat keindahan atau
estetika.
Konsepsi mengenai seni memiliki keragaman sudut pandang yang berbedabeda dari tiap pemikir, tetapi umumnya menyangkut hal-hal seperti proses kreatif,
artefak yang estetis dan pengalaman yang estetis. Keragaman sudut pandang dalam
estetika itu menjadi salah satu tugas besar bagi penulis dalam mencari korelasi,
merumuskan dan mengaplikasikan terhadap wacana tubuh. Maka sebagai teknik
10
Universitas Kristen Maranatha
penelitian ini, penulis menerapkan teori estetika yang bersifat holistik, yakini
mengambil sudut pandang beberapa pemikir hingga membentuk bagunan teori yang
bersentuhan dengan tema yang diangkat yaitu studi tubuh yang dilihat dari novel
‘kinjiki’ karya Mishima Yukio terhadap seni butoh
1.5 Organisasi Penulisan
Agar karya tulis yang dihasilkan menjadi sistematis, penulis menguraikan
penulisannya menjadi beberapa bab, subbab dan anak subbab dalam organisasi
penulisan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini dibagi menjadi lima subbab yaitu latar belakang masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, pendekatan dan metode
penelitian dan organisasi penulisan.
BAB II
PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI
Bab ini dibagi beberapa subbab yaitu, pertama mengenai pengertian
Hermeneutika sebagai pendekatan interpretasi teks sastra. Lalu
disubbab selanjutnya mengenai teori Estetika. Dalam sub-bab ini akan
dipecah lagi mencadi tiga anak sub-bab mengenai tokoh teori estetika
yakni Jerzy Grotowski: dengan konsep Menuju Teater Miskin-nya;
dan Jean-Francois Lyotard: Konsep Seni Avant-Garde.
11
Universitas Kristen Maranatha
BAB III
KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI
BUTOH
Bab ini dibagi menjadi tiga subbab, yaitu Melihat bagaimana dinamika
kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II, kedua mencermati Mishima
Yukio: Hidup dan Karyanya. Sementara subbab ketiga mengenai seni
Butoh dan perjalanan Hijikata sebagai pendirinya.
BAB IV
TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH
Bab ini dibagi dua bab yaitu tentang novel “Kinjiki” lalu masuk pada
bab selanjutnya yang paling penting yaitu Analisa Estetika Tubuh
Butoh yang Didasari Novel Kinjiki, lantas dibagi menjadi tiga subbab
dari tema besar dalam Kinjiki yakni tentang Beauty and Ugliness;
Youth and Aging; dan Life and Death.
BAB V
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SINOPSIS
RIWAYAT HIDUP PENULIS
12
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai
kesesuaian konsep tubuh antara Novel Kinjiki dan seni Butoh, bahwa narasi dalam
teks novel Kinjiki dan seni Butoh memiliki kesesuaian, khususnya dalam hal
keberadaan tubuh. Keduanya memiliki tiga elemen tematis atas dualisme antara
beauty and ugliness; young and aging; life and death. Penulis telah melakukan proses
interpretasi di bab analisa dan melalui interpretasi tersebut, penulis membatasi
penelitian hanya kepada penafsiran gerak tubuh dalam ruang lingkup teori estetika.
Bagaimana eksprorasi tubuh Butoh tersebut dapat didekatkan melalui teori
estetikayang dikembangkan oleh Jerzy Grotowski.
Seni apapun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktifitas yakni interpretasi
dan
penafsiran. Dengan demikian hermeneutika berfungsi
menunjuk arti,
mengatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan
sesuatu yang merupakan pesan realitas. Maka dalam penelitian ini, penulis dapat
menjabarkan simpulan sebagai berikut.
Pertama dari sudut pandang Beauty and ugliness; novel Kinjiki memiliki
pandangan tersendiri terhadap apa yang disebut indah. Kualitas keindahan yang
diterima oleh umum terkadang bersifat banal. Malah sebaliknya, kejelekan
92
Universitas Kristen Maranatha
mengandung sisi yang mendalam karena mengendapkan sisi-sisi kehidupan yang
tidak termanifestasikan. Selaras dengan apa yang diserap Butoh, estetika tubuh
seorang penari butoh adalah aesthetic of ugliness. Gerakan Butoh menolak standar
keindahan modern, termasuk idealisme tubuh. Berlawanan dengan keanggunan dan
keelokan tubuh, justru yang mereka tonjolkan adalah sisi kelam tubuh. Novel Kinjiki
dan seni Butoh dapat diinterpretasikan bahwa keduanya berupaya untuk menelanjangi
diri manusia agar bisa memahami dirinya sendiri dan dunia yang melingkupinya,
dengan jalan membongkar segala keburukan dan kejelekan dari diri manusia, baik
yang sifatnya fisik maupun yang non fisik. Dari proses pembongkaran ini maka
manusia dibawa ke dunia transendental, yang akhirnya akan melahirkan jawaban atas
pertanyaan mengenai esensi dan eksistensi kehidupan. Dengan kata lain ‘idea of
beauty’ dalam novel Kinjiki dan Butoh, adalah upaya bagaimana memahami dan
merasakan ‘sesuatu diluar dirinya’.
Kedua dari sudut pandang Young and Aging; tokoh Shinsuke Hinoki dalam
Novel Kinjiki adalah seorang penulis tersohor yang digambarkan memiliki kebencian
usia tua dan menghindari pembusukan umur akan usia tua itu sendiri. Seperti halnya
dalam Butoh, secara umum gestural yang dieksplorasi merupakan gerak
perkembangan. Yakni dari lahir, perlahan beranjak dewasa lantas menunduk lagi
sebagai ekspresi menua dan terjatuh ke lantai seolah dalam kematian. Butoh dapat
diinterpretasikan sebagai eksplorasi kode kinetis yang menguak situasi terhempit dan
tertindas akan sebuah kemajuan; suatu representasi dari pergumulan manusia
93
Universitas Kristen Maranatha
menghadapi perubahan dalam dirinya serta pergulatan dengan perubahan-perubahan
yang berlangsung di luar melalui gerak tubuh yang bermuara dari kelahiran-menjadi
muda-beranjak dewasa-hari tua-hingga kematian.
Ketiga dari sudut pandang Life and Death; Seperti halnya saat narasi
mengarah pada Shunsuke, seorang tokoh dalam novel ini yang terobsesi oleh
kematian dan menganggap bahwa kematian terasa lebih kuat daripada hidup itu
sendiri. Ia beranggapan bahwa tidak ada satupun yang membuat kita lebih kuat pada
kesadaran akan kehidupan apabila kita tidak memiliki kesadaran akan kematian.
senada dengan Butoh wacana kehidupan dan kematian dalam kaitannya dengan seni
Butoh, merupakan perpaduan antara mati dan hidup. Alasannya, kematian itu
posisinya melayang maupun terjatuh, tapi dalam Butoh bisa kembali berdiri. Dan
wacana kematian yang mengendap dalam novel Kinjiki dan seni Butoh adalah sebuah
renungan dimana seseorang bisa tampak secara telanjang dan kita berkesempatan
melihat wajah hakikinya, manusia menjadi tulus, murni, dan suci. Di saat kematian
itulah, setiap orang adalah dirinya sendiri.
94
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Arifin, Max. (2009), Teater dan Kembaranya, Antonin Artaurd. Surabaya: Dewan
kesenian Jawa Timur.
Banes, Sally. (1987). Terpsichore in sneakers—Post-Modernism Dance. USA:
Wesleyan University Press.
Chodorow, Joan. (1991). Dance Therapy And Depth Psychology, The Moving
Imagination. London and New York: Routledge
Edwards, Paul (1960) Encyclopedia of Philosophy vol. VII Chicago The Encyclopedia
Britanica Inc.
Feitosa, Charles & (2001) Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness (Ken-ichi
Sasaki, Editor) Journal International Yearbook Of Aesthetics, Volume 5)
Grotowski, Jerzy. (2002). Toward Poor Theater, Menuju Teater Miskin. (Max
Ariffin, Penerjemah). Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.
Gaut, Berys, & Lopes, Dominic Mclver (Ed). (2002). The Routledge Companion to
Aesthetics. London & New York: Routledge
Hoffmann, Yoel, (1998). Japanese Death Poems, Written by Zen Monks and Haiku
Poets on the Verge of Death. Routland, Vermont and Tokyo, Japan: Charles E.
Tuttle Company.
Hikaru, Suzuki. (2003). The Japanese Way of Death. Dalam Handbook of Death and
Dying. edisi 2, oleh Clifton D. Bryant. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Hospers, John. (1967). Aesthetics, Problem of, dalam Paul Edwards (ed.), New York:
The Encyclopedia of Philosophy.
Klein, Susan Blakeley. (1987). Ankoku Butō: The Premodern and Postmodern
Influences on the Dance of Utter Darkness. New York. East Asia Program:
Cornell University
95
Universitas Kristen Maranatha
Kapland, David. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kasai, Toshiharu. (1999). A Butoh Dance Methode for Psychosomatic Exploration,
memoirs of the Hokkaido Institute of Technology, No.27.
Mishima, Yukio. (1964). 禁色. Japan: Iichirou Mishima
Mishima, Yukio. (2008). Forbidden Colors, England: Penguin Books.
Mitter, Shommit. (2002). SISTEM PELATIHAN LAKON. Stanilavsky, Brecht,
Grotowski, Brook. Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.
Poespoprodjo. (2001). Hermeneutika, Bandung: Penerbit Pustaka Setia.
Rusliana, Iyus (2001), Khazanah Tari Wayang, Bandung: Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on Language,
Action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
Sumaryono. (1999). Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Synnott, Anthony. (2003). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat,
Yogyakarta, Jalasutra.
Sutrisno, Mudji, dkk. (2005). Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta:
Galangpress.
Subana, M, Sudrajat.S. (2001). Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV
Pustaka Setia
Surakhmad, Winarno. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Penerbit
Tarsito
Sasaki, Ken-ichi (Ed). (2001). ‘Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness’ oleh
Charles Feitosa, Jurnal International Yearbook of Aesthetics, Volume 5.
Viala, Jean and Masson-Sékiné, Nourit. (1991). BUTOH Shade of Darkness. Japan:
Shuffunotomo Co. Ltd.
96
Universitas Kristen Maranatha
II. ARTIKEL MAJALAH
GONG, Majalah Seni Budaya. Putu Wijaya: Teater Tubuh, Erotika dan Raga, edisi
102/IX/2008
GONG, Majalah Seni Budaya. Edisi 106/X/2009
GONG, Majalah Seni Budaya, Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer
Edisi 108/X/2009
GONG, Majalah Seni Budaya, Min Tanaka: The Meaning of Dance Oleh Anastasia
Melati, Edisi No. 106/X/2009
III. KARYA NONCETAK
Pina (2011). (directed by Wim Wenders). (DVD Movie)
Butoh Dance of Darkness (a documentary). (MP4 Video)
細江英公 / へそと原爆
(1960) (Eikoh Hosoe's film Navel and A-Bomb, featuring
Hijikata Tatsumi). (MP4 Video)
Mishima - a Life in Four Chapters (1985). (DivX Video)
IV. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Art, Anti-Art, Non-Art: Experimentations in the Public Sphere in Postwar Japan,
1950-1970. (diakses 2011) March 6–June 3, 2007 at the Getty Center
http://www.getty.edu/art/exhibitions/postwar_japan/
Yukio Mishima (1925-1970) - Pseudonym for Hiraoka Kimitake. (diakses 2011)
http://www.kirjasto.sci.fi/mishima.htm
舞踏論
岡村唯史 (diakses 2011)
http://homepage2.nifty.com/abeni/butoh.htm
Sankai Juku dan Kazuo Ohno (diakses 2011)
97
Universitas Kristen Maranatha
http://freedominstitute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=367
Bergmark, Johannes. Butoh - Revolt of the Flesh in Japan and a Surrealist Way to
Move (diakses 2011)
http://www.surrealistgruppen.org/bergmark/butoh.html
Prasojo, Galih. (diakses 2011) Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=55
Pandhuagie, FG. The Life of Butoh (diakses 2011)
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=42
Untoro, Ons. "EMPTINE