Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Faktor yang Berpengaruh pada Hipertensi Lansia di Desa Pingit Kecamatan Pringsurat Kabupaten Temanggung T1 462009081 BAB II
11 2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Udjianti, 2010). JNC (Joint National Commitee On Prevention, Detection, Evaluation, And Treatment Of High Blood Pressure) mendefinisikan sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya (Doengoes, 2005). Menurut WHO, batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg.
(2)
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah sesuai International Society of Hypertension (ISH) For Recently Updated WHO, tahun 2003 (Sumber : Linda Brookes, 2004).
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal <130 < 85
Normal
Tinggi/PraHipertensi 130 – 139 85 – 89 Hipertensi Derajat I 140 – 159 90 – 99 Hipertensi Derajat II 160 – 179 100 – 109 Hipertensi Derajat III ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Hal ini dikarenakan arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, maka pembuluh arteri tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung terpaksa melalui pembuluh darah yang sempit dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada usia lanjut. Dinding arteri menebal dan kaku karena proses arteriosklerosis.Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis (Whiteley, 2004).
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi, hipertensi yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh-pembuluh darah dalam ginjal,
(3)
jantung, dan otak, serta dapat meningkatkan insiden gagal ginjal dan penyakit jantung koroner. Hipertensi yang tidak terkontrol akan menyebabkan kerusakan organ tubuh seperti otak, ginjal, mata dan jantung serta kelumpuhan anggota gerak. Namun kerusakan yang paling sering adalah gagal jantung dan stroke serta gagal ginjal (Lubis, 2008).
Diperlukan upaya penurunan tekanan darah dengan terapi farmakologis untuk dapat mencegah kerusakan/komplikasi pada pembuluh-pembuluh darah dan menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas (Benowitz, 2004). Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang cukup dominan di negara–Negara berkembang. Hipertensi telah menjadi penyakit yang menakutkan bagi masyarakat (Rahayu, 2000).
2.1.2. Gejala dan Penyebab Hipertensi
Gejala hipertensi tergantung tekanan darah, lamanya hipertensi diderita dan komplikasi yang telah terjadi (Ganong, 2000). Biasanya penderita merasakan antara lain tengkuk terasa pegal dan tidak nyaman, detak jantung sangat cepat dan berdebar,telinga berdengung dan vertigo. Namun sebagian besar penderita hipertensi merasakan nyeri dikepala, hingga penglihatan kabur.
(4)
Penyebab hipertensi primer tidak diketahui meskipun telah banyak penyebab yang dapat di identifikasikan. Penyebab terbesar (95%) hipertensi adalah hipertensi esensial, yaitu kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan. Sementara hipertensi sekunder dan disfungsi ginjal, sangat jarang terjadi (Adi, 2008). Penyakit hipertensi terkait banyak faktor aterosklerosis, meningkatnya pemasukan sodium, baroreseptor, renin secretion, renal excretion dari sodium dan air dan faktor genetik dan lingkungan.
Hal tersebut di atas, menyebabkan volume cairan intravaskuler meningkat dan juga meningkatnya resistensi peripheral. Telah jelas bahwa aterosklerosis dan hipertensi saling terkait. Hipertensi akan semakin meningkatkan pembentukan plaque pada vasa darah, dan akibatnya menyebabkan semakin meningkatnya tekanan darah. Dalam beberapa kasus, adanya aterosklerosis arteri dan meningkatnya resistensi peripheral, akan menyebabkan meningkatnya hipertensi (Cowin, 2001).
Hipertensi bisa menimbulkan komplikasi seperti kerusakan pada otak dan jantung, penyakit diabetes mellitus, hiperfungsi kelenjar tiroid, meningkatnya
(5)
rematik, asam urat, dan kolesterol, serta gangguan ginjal (Adi, 2008).
2.1.3. Patofisiologis Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi karena adanya gangguan dalam sistem peredaran darah. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan sirkulasi darah, gangguan keseimbangan cairan dalam pembuluh darahatau komponen dalam darah yang tidak normal. Gangguan tersebut menyebabkan darah tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh dengan lancar.Untuk itu, diperlukan pemompaan yang lebih keras dari jantung. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah atau disebut hipertensi (Price dan Wilson, 2006)
Tekanan darah adalah fungsi berulang-ulang dari cardiac output karena adanya resistensi periferal (resistensi dalam pembuluh darah untuk mengalirkan darah). Diameter pembuluh darah ini sangat mempengaruhi aliran darah. Jika diameter menurun misalnya pada aterosklerosis, resistensi dan tekanan darah meningkat. Jika diameter meningkat misalnya dengan adanya terapi obat vasodilator, resistensi dan tekanan darah menurun.
(6)
Ada dua mekanisme yang mengontrol homeostatik dari tekanan darah, yaitu:
1. Short term control (sistem saraf simpatik).
Mekanisme ini sebagai respon terhadap penurunan tekanan, sistem saraf simpatetik mensekresikan
norepinephrine yang merupakan suatu
vasoconstrictor yang akan bekerja pada arteri kecil dan arteriola untuk meningkatkanresistensi peripheral sehingga tekanan darah meningkat. 2. Long term control (ginjal).
Ginjal mengatur tekanan darah dengan cara mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin yang akan mengaktivasi sistem renin dan angiotensin (Price dan Wilson, 2006)
(7)
Bagan 2.1.3 Patofisiologis Hipertensi
Sumber: Price dan Wilson (2006)
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Hipertensi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pertama faktor yang melekat atau tidak dapat diubah seperti jenis kelamin, umur, etnis dan genetik. Sedangkan yang kedua adalah faktor yang dapat diubah seperti pola makan, kebiasaan olah raga, stress, alkoholik dan merokok.
(8)
Terjadinya hipertensi perlu peran faktor-faktor risiko tersebut secara bersama-sama (common underlying risk factor).
1. Umur
Faktor ini tidak bisa dikendalikan. Penelitian
menunjukkan bahwa seraya usia seseorang
bertambah, tekanan darah pun akan meningkat (Andra, 2007). bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun (Nurkhalida, 2003)
Penyakit tidak menular tertentu seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, dan lain-lain erat kaitannya dengan umur. Semakin tua seseorang maka semakin besar risiko terserang penyakit tersebut (Gunawan, 2005). Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi dan penyakit DM. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun (Nurkhalida, 2003). Dalam hal ini arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta
(9)
bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur limapuluhan dan enampuluhan (Price dan Wilson, 2006). Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan risiko hipertensi. Hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada usia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya biasa saja bila tekanan darah kita sedikit meningkat dengan bertambahnya umur. Ini sering disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Hanya saja bila perubahan ini disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi (Mansjoer, 2001).
2. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya penyakit tidak menular tertentu, yang banyak dicetuskan oleh hipertensi dimana pria lebih banyak 30 menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (Gunawan, 2005). Sedangkan menurut Arif Mansjoer pria dan wanita menapouse berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Penelitian lain mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang relatif sama menderita hipertensi (Mansjoer, 2001).
(10)
3. Merokok
Faktor berikutnya merokok dapat merusak dinding pembuluh darah dan mempercepat proses pengerasan pembuluh darah arteri. Penelitian terhadap lansia di poliklinik geriatri RSCM menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi. Lansia yang hipertensi lebih banyak didapatkan dengan kebiasaan merokok yakni sebesar 84,4% dibandingkan dengan yang tidak merokok yakni sebesar 60,9%. Sedangkan minuman berakohol dapat meningkatkan tekanan darah. Alkohol mengandung kalori sehingga dapat mengganggu program diet yang telah diatur jumlah kalorinya perhari (Sanusi, 2002). 4. Konsumsi Alkohol
Alkohol dapat menaikkan tekanan darah,
memperlemah jantung, mengentalkan darah dan menyebabkan kejang arteri (Susanto, 2010). Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan
(11)
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes, 2006). Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel, 2004).
5. Konsumsi Buah dan Sayur
Mengkonsumsi buah dan sayur satiap hari sangat penting, karena mengandung vitamin dan mineral, yang mengatur pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi (Depkes, 2008). Asupan serat yang cukup dapat menetralisir kenaikan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserid, LDL, HDL) dapat mengangkut asam empedu, selain itu, serat juga dapat mengatur kadar gula darah dan menurunkan tekanan darah (Susanto, 2010) dan (Iqbal, 2008). Menurut Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati, tingkat konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia saat ini masih rendah. Bahkan masih jauh dari standar konsumsi yang direkomendasikan oleh
(12)
Food and Agriculture Organization (FAO) (Pikiran Rakyat, 2010). Selain faktor budaya, rendahnya konsumsi sayuran dikarenakan belum munculnya
kesadaran yang masif di masyarakat untuk
mengkonsumsi sayuran agar menyehatkan tubuh. Menu utama masih didominasi nasi (Kompas, 2011). 6. Konsumsi Lemak
Bila mengkonsumsi makanan berlemak, maka didalam usus makanan tersebut akan diubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya ateroklerosis yaitu suatu kondisi dimana kolesterol menumpuk di dinding pembuluh darah arteri. Pembentukan ateroklerosis diawali dengan rusaknya pembuluh darah. Setelah pembuluh darah rusak, maka kolesterol yang dibawa LDL terperangkap pada dinding pembuluh darah tersebut dalam waktu bertahun-tahun Maka terjadilah pembentukan plak sehingga pembuluh darah makin sempit dan elastisitasnya berkurang (Cahyono, 2008).
Kandungan lemak yang dapat mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier, 2006). Secara umum, asam lemak jenuh cenderung
(13)
meningkatkan kolesterol darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh, diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg/dL kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua orang. Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa, santan dan semua minyak lain seperti minyak jagung, minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-ulang.
Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan
peningkatan kadar LDL kolesterol. Sedangkan lemak tidak jenuh, meskipun mengkonsumsinya kadar kolesterol tidak meningkat dan tetap stabil (Almatsier, 2006).
Berikut ini merupakan contoh bahan-bahan makanan yang mengandung lemak sedang sampai lemak yang cukup tinggi antara lain meliputi: ayam dengan kulit, bebek, corned beef, daging babi, kuning telur ayam, sosis, bakso, daging kambing, daging sapi, hati ayam, hati sapi, otak, telur ayam, telur bebek, usus sapi, susu kerbau, susu kental manis, sarden dalam kaleng, kelapa, lemak babi/sapi, mentega, minyak kelapa, santan (Almatsier, 2006). Penelitian Hasirungan (2002)
(14)
didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara konsumsi lemak dengan hipertensi. Namun, hasil penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkonsumsi lemak jenuh mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebasar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh. 7. Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga yang teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu (Suryono, 2001). Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan natrium juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Sheps, 2005).
Selama 10 tahun terakhir, jumlah penderita hipertensi di rumah sakit Semarang meningkat lebih dari 10 kali lipat (Sunarta Ann, 2005). Satu dari lima pria berusia antara 35-44 tahun memiliki tekanan darah yang
(15)
tinggi.Angka prevalensi tersebut menjadi dua kali lipat pada usia antara 45-54 tahun. Separuh dari mereka yang berusia 55-64 tahun mengidap penyakit ini. Pada usia 65-74 tahun, prevalensi menjadi lebih tinggi lagi, sekitar 60%.
Hal ini dikarenakan pada usia lanjut kelenturan arteri berkurang dan terjadi kekakuan dinding arteri akibat arteriosklerosis sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi dibandingkan wanita. Tetapi diatas usia tersebut, justru
wanita (setelah mengalami menopouse) yang
berpeluang lebih besar.
Fenomena ini disebabkan karena perubahan gaya hidup masyarakat secara global, seperti semakin mudahnya mendapatkan makanan siap saji. Demikian juga konsumsi sayuran segar dan serat yang berkurang serta konsumsi natrium, lemak, gula, dan kalori yang terus meningkat. Hal ini berperan besar dalam meningkatkan angka kejadian hipertensi.Makanan yang dimakan, secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kestabilan tekanan darah. Kandungan zat gizi seperti lemak dan sodium memiliki kaitan yang erat dengan munculnya hipertensi.
(16)
8. Stress
Selain itu, faktor stress juga berpengaruh pada kenaikan tekanan darah secara bertahap karena dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis. Stres tinggi berpeluang 3,89 kali dan stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi dibandingkan dengan stres rendah (Depkes, 2006).
2.1.5. Penanganan Hipertensi 2.5.1. Terapi Farmakologis
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung, sehingga tahanan perifer menurun. Setelah 6-8 minggu, curah jantung kembali normal karena tahanan vaskular perifer menurun
Natrium dapat menyebabkan naiknya
tahanan vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf yang diduga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pertukaran natrium-kalsium dengan hasil akhir peningkatan kalsium intraseluler. Efek tersebut dapat dikurangi
(17)
dengan pemberian diuretik dan pengurangan natrium.
Contoh obat diuretik yang sering digunakan
untuk menurunkan hipertensi adalah:
spironolactone, furosemide dan hydrochlorothiazide (thiazide) yang mempunyai efek cukup kuat sebagai diuretik dan efektif untuk menurunkan tekanan darah dalam dosis yang rendah (Benowitz, 2004). Obat Simpatoplegik
Obat ini empunyai mekanisme kerja
menurunkan tekanan darah dengan cara
menurunkan inotropik jantung dan menurunkan tahanan perifer dan meningkatkan pengumpulan darah didalam pembuluh darah. Dua efek terakhir ini menyebabkan penurunan curah jantung. Contoh obat golongan ini adalah: Methyldopa dan Clonidine (Benowitz, 2004).
Obat Vasodilator Langsung
Semua vasodilator yang digunakan untuk hipertensi merelaksasi otot polos arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vaskular sistemik. Penurunan tahanan arteri dan rata-rata penurunan tekanan darah arteri, menimbulkan respon
(18)
kompensasi, yang dilakukan oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis, seperti halnya renin angiotensin dan aldosteron. Respon-respon kompensasi tersebut melawan efek anti hipertensi vasodilator. Vasodilator bekerja dengan baik apabila dikombinasikan dengan obat anti hipertensi
lain yang melawan respon kompensasi
kardiovaskular. Contoh obat–obat vasodilator adalah; Hydralazine dan Minoxidil (Benowitz, 2004).
Obat yang menyekat produksi/efek
angiotensin renin bekerja terhadap angiotensin untuk melepaskan angiotensin I dekapeptida yang tidak aktif. Angiotensin I kemudian dikonversi, terutama oleh enzim pengubah angiotensin endothelial (endothelial angiotensin-converting enzyme/ACE),menjadi oktapeptida angiotensin II vasokonstriktor arterial, yang akan dikonversi menjadi angiotensin III didalam kelenjar adrenal. Angiotensin II mempunyai aktifitas vasokonsriktor dan retensi natrium. Angiotensin II dan III menstimulasi rilis aldosteron. Aldosteron akan dikonversi menjadi angiotensin lll sehingga menurunkan tekanan darah. Contoh obat golongan
(19)
ini adalah ; Captopril, Enalapril dan Lisinopril (Benowitz, 2004).
Terapi Non Farmakologis
Langkah awal dalam mengobati hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologis. Pelaksaanaan diet yang teratur dapat menormalkan hipertensi, yaitu dengan mengurangi makanan dengan tinggi natrium, makanan yang berlemak, mengonsumsi makanan yang tinggi serat dan melakukan aktivitas olah raga (Julianti, 2005).
Pembatasan asupan natrium dapat
merupakan pengobatan efektif bagi banyak pasien dengan hipertensi ringan. Diet rata-rata orang Amerika mengandung sekitar 200 mg natrium setiap harinya. Diet yang dianjurkan untuk pengobatan hipertensi adalah 70-100 mg natrium setiap harinya. Hal ini dapat dicapai dengan tidak memberi natrium pada makanan selama atau sesudah memasak dan menghindari makanan yang diawetkan dengan kandungan natrium besar. Kepatuhan dalam pembatasan natrium dapat ditentukan dengan mengukur ekskresi natrium urine setiap 24 jam. Pengukuran ini dapat memperkirakan
(20)
masukan natrium sebelum dan sesudah petunjuk untuk melakukan diet. Diet yang kaya buah dan sayuran dengan sedikit produk rendah lemak efektif dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini diduga berkaitan dengan tinggi kalium dan kalsium pada diet tersebut.
Pengurangan berat badan, walaupun tanpa pembatasan natrium, telah terbukti dapat menormalkan tekanan darah sampai dengan 75% pada pasien kelebihan berat dengan hipertensi ringan hingga sedang. Olah raga teratur juga telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Jika kurang berolah raga akan cenderung meningkatkan resiko penyempitan atau penyumbatan di pembuluh darah (Benowitz, 2004). 2.2. HIPOTESA
HO : Tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia di desa Pingit, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.
H1 : Ada faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia di desa Pingit, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.
(21)
2.3. KERANGKA KONSEPTUAL
VARIABEL BEBAS
Faktor tidak dapat dimodifikasi: 1. Umur
2. Jenis kelamin
Faktor dapat dimodifikasi: 3. Merokok
4. Konsumsi Alkohol
5. Konsumsi Buah dan Sayur 6. Konsumsi Lemak
7. Olahraga 8. Stress
VARIABEL TERIKAT Hipertensi
(1)
8. Stress
Selain itu, faktor stress juga berpengaruh pada kenaikan tekanan darah secara bertahap karena dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis. Stres tinggi berpeluang 3,89 kali dan stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi dibandingkan dengan stres rendah (Depkes, 2006).
2.1.5. Penanganan Hipertensi 2.5.1. Terapi Farmakologis
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung, sehingga tahanan perifer menurun. Setelah 6-8 minggu, curah jantung kembali normal karena tahanan vaskular perifer menurun
Natrium dapat menyebabkan naiknya tahanan vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf yang diduga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pertukaran natrium-kalsium dengan hasil akhir peningkatan kalsium intraseluler. Efek tersebut dapat dikurangi
(2)
dengan pemberian diuretik dan pengurangan natrium.
Contoh obat diuretik yang sering digunakan untuk menurunkan hipertensi adalah: spironolactone, furosemide dan hydrochlorothiazide (thiazide) yang mempunyai efek cukup kuat sebagai diuretik dan efektif untuk menurunkan tekanan darah dalam dosis yang rendah (Benowitz, 2004).
Obat Simpatoplegik
Obat ini empunyai mekanisme kerja menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan inotropik jantung dan menurunkan tahanan perifer dan meningkatkan pengumpulan darah didalam pembuluh darah. Dua efek terakhir ini menyebabkan penurunan curah jantung. Contoh obat golongan ini adalah: Methyldopa dan Clonidine (Benowitz, 2004).
Obat Vasodilator Langsung
Semua vasodilator yang digunakan untuk hipertensi merelaksasi otot polos arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vaskular sistemik. Penurunan tahanan arteri dan rata-rata penurunan tekanan darah arteri, menimbulkan respon
(3)
kompensasi, yang dilakukan oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis, seperti halnya renin angiotensin dan aldosteron. Respon-respon kompensasi tersebut melawan efek anti hipertensi vasodilator. Vasodilator bekerja dengan baik apabila dikombinasikan dengan obat anti hipertensi lain yang melawan respon kompensasi kardiovaskular. Contoh obat–obat vasodilator adalah; Hydralazine dan Minoxidil (Benowitz, 2004).
Obat yang menyekat produksi/efek angiotensin renin bekerja terhadap angiotensin untuk melepaskan angiotensin I dekapeptida yang tidak aktif. Angiotensin I kemudian dikonversi, terutama oleh enzim pengubah angiotensin endothelial (endothelial angiotensin-converting enzyme/ACE),menjadi oktapeptida angiotensin II vasokonstriktor arterial, yang akan dikonversi menjadi angiotensin III didalam kelenjar adrenal. Angiotensin II mempunyai aktifitas vasokonsriktor dan retensi natrium. Angiotensin II dan III menstimulasi rilis aldosteron. Aldosteron akan dikonversi menjadi angiotensin lll sehingga menurunkan tekanan darah. Contoh obat golongan
(4)
ini adalah ; Captopril, Enalapril dan Lisinopril (Benowitz, 2004).
Terapi Non Farmakologis
Langkah awal dalam mengobati hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologis. Pelaksaanaan diet yang teratur dapat menormalkan hipertensi, yaitu dengan mengurangi makanan dengan tinggi natrium, makanan yang berlemak, mengonsumsi makanan yang tinggi serat dan melakukan aktivitas olah raga (Julianti, 2005).
Pembatasan asupan natrium dapat merupakan pengobatan efektif bagi banyak pasien dengan hipertensi ringan. Diet rata-rata orang Amerika mengandung sekitar 200 mg natrium setiap harinya. Diet yang dianjurkan untuk pengobatan hipertensi adalah 70-100 mg natrium setiap harinya. Hal ini dapat dicapai dengan tidak memberi natrium pada makanan selama atau sesudah memasak dan menghindari makanan yang diawetkan dengan kandungan natrium besar. Kepatuhan dalam pembatasan natrium dapat ditentukan dengan mengukur ekskresi natrium urine setiap 24 jam. Pengukuran ini dapat memperkirakan
(5)
masukan natrium sebelum dan sesudah petunjuk untuk melakukan diet. Diet yang kaya buah dan sayuran dengan sedikit produk rendah lemak efektif dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini diduga berkaitan dengan tinggi kalium dan kalsium pada diet tersebut.
Pengurangan berat badan, walaupun tanpa pembatasan natrium, telah terbukti dapat menormalkan tekanan darah sampai dengan 75% pada pasien kelebihan berat dengan hipertensi ringan hingga sedang. Olah raga teratur juga telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Jika kurang berolah raga akan cenderung meningkatkan resiko penyempitan atau penyumbatan di pembuluh darah (Benowitz, 2004). 2.2. HIPOTESA
HO : Tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia di desa Pingit, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.
H1 : Ada faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia di desa Pingit, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.
(6)
2.3. KERANGKA KONSEPTUAL
VARIABEL BEBAS
Faktor tidak dapat dimodifikasi: 1. Umur
2. Jenis kelamin
Faktor dapat dimodifikasi: 3. Merokok
4. Konsumsi Alkohol
5. Konsumsi Buah dan Sayur 6. Konsumsi Lemak
7. Olahraga 8. Stress
VARIABEL TERIKAT Hipertensi