KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA

Disusun Oleh : Wahyu Adi Wibowo

D0108150

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO

Keberhasilan dapat diraih dengan ketekunan dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan setiap pekerjaan yang dijalani.

(Penulis)

Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus

memperbaiki dirinya.

(Imam Gozali)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

1. Ibu dan Bapak, atas segala curahan kasih sayang dan perhatian yang tulus,

2. Seseorang yang terkasih yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi,

3. Sahabat-sahabatku yang selalu membuatku tersenyum,

4. Teman-teman pengurus Himagara yang telah memberikan pengalaman berharga dalam hidupku,

5. Teman-teman Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2008 yang telah menjadi teman terbaik.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah tak henti-hentinya terucap kepada ALLAH SWT atas segala kemudahan, kelancaran serta kesuksesan yang diberikan sehingga

Skripsi ini terselesaikan. Skripsi yang berjudul “KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN

RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA ” ini dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan demi mendapatkan gelar Sarjana Sosial.

Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman serta dibantu oleh para pengajar, dihasilkanlah sebuah karya ini. Diiringi dengan halang rintang dan segala kendala dalam menyelesaikannya, keyakinan selalu muncul untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca. Dalam kesempatan ini, ijinkan penulis memberikan ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D selaku Dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membagi waktu,pikiran,pengetahuan,nasehatnya dengan penuh kesabarannya sehingga skripsi ini dapat diselasaikan.

2. Herwan Parwiyanto, S.Sos, M.Si selaku Pembimbing akademis yang banyak memberikan dukungan dalam pengambilan mata kuliah.

3. Bapak Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Kepala Jurusan Ilmu Administrasi,

4. Bapak Prof. Drs. Pawito, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Masyarakat Kota Surakarta atas segala kebaikan hati, keramahan, informasi, kesediaan wakti dan keterbukaab selama penelitian di Bapermas, PP, PA dan KB Kota Surakarta.

6. Bapak FX Sarwono, SH, MM selaku Kepala Pengelola BLUD GLH Kota Surakarta yang telah memberikan kesediaan waktu dan informasi selama penelitian di BLUD GLH Kota Surakarta.

7. Ibu Ade Kusumawardani, ST selaku Staf sub bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan DTK Kota Surakarta yang telah memberikan kesediaan waktu dan informasi selama penelitian di DTK Kota Surakarta.

8. Bapak Suyono, SIP, M.Hum selaku Lurah Kelurahan Kratonan yang telah memberikan ijin penelitian di Kelurahan Kratonan.

9. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberi bekal ilmu pengetahuan sehingga dapat menunjang selesainya penulisan skripsi ini.

10. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak bisa disebut satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi ini karena adanya keterbatasan tehnik dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi ini karena adanya keterbatasan tehnik dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu,

Surakarta, September 2012

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1........................................................................................................ 5 Tabel 5.1........................................................................................................ 68 Tabel 5.2........................................................................................................ 71

ABSTRAKSI

WAHYU ADI WIBOWO. D0108150. Kolaborasi Antar Stakeholder Dalam

Pelaksanaan Program Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Kota Surakarta , Skripsi. Jurusan Ilmu administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polotik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2012.

Masalah kemiskinan menjadi isu sentral yang dialami oleh negara maju maupun nengara berkembang, tidak terlepas Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki masalah kemiskinan yang sangat kompleks. Semakin kompleksnya

masalah kemiskinan perlu dipecahkan secara bersama dengan kolaborasi antar stakeholder agar lebih bisa memberikan pengaruh dalam percepatan program pengentasan kemiskinan.. Salah satu permasalahannya adalah pemukiman kumuh yang ada di Kota Surakarta. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Kota Surakarta melalui Bapermas, PP, PA dan KB melakukan inisiatif untuk warga miskin yang menempati rumah yang tidak layah huni dengan dukungan BLUD, DTK dan Kelurahan melaksanakan program perbaikan rumah tidak layak huni. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kolaborasi antar stakeholder yaitu Bapermas, Badan Layanan Umum Daerah, Dinas Tata Ruang Kota, Kelurahan Kratonan dan masyarakat Kratonan dalam pelaksanaan program perbaikan rumah tidak layak huni Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi yang terdiri dari beberapa metode kualitatif meliputi observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Tehnik pengambilan sampel menggabungkan purposive sampling. Lokasi penelitian di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan Kota Surakarta,

Hasil dari penelitian ini menggambarkan bagaimana kolaborasi yang berjalan antara Bapermas, BLUD, DTK, Kelurahan dan Masyarakat di Kelurahan Kratonan. Peneliti ini menyimpulkan bahwa kolaborasi antara Bapermas, PP, PA dan KB dengan BLUD GLH, DTK, Kelurahan dan Masyarakat berjalan efektif.

Kata kunci : kemiskinan, kolaborasi, progran perbaikan rumah tidak layak huni

ABSTRACT WAHYU ADI WIBOWO. D0108150. The Collaboration between

Stakeholders in the Implementation of unreasonable-To-Reside House

Repairing Program in Surakarta City, Thesis. Administration Science Department, Social And Political Sciences Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta, 2012.

Poverty problem becomes a central issue both developed and developing countries face. Similarly, Indonesia as a developing country has a very complicated poverty problem. The more complicated poverty problem should be solved collectively in

a collaboration between the stakeholders in order to affect more substantially the poverty alleviation acceleration program. One problem occurring in Surakarta City is slump area. Considering this phenomenon, the Surakarta City government through Bapermas, PP, PA and KB makes an initiative to tell the poor occupying unreasonable-to-reside house to implement the unreasonable-to-reside house repairing program supported by BLUD, DTK and Kelurahan. The objective of research is to describe the collaboration between stakeholders: Bapermas, Local Public Service Agency, City Spatial Layout Service, Kelurahan Kratonan and Kratonan People in implementing the unreasonable-to-reside house repairing program of Surakarta City. This research employed a triangulation ethnography method consisting of several qualitative methods including observation, in-depth interview and document study. The sampling technique used was combined purposive and snowball sampling.

The result of research described how the collaboration worked between the Bapermas, BLUD, DTK, Kelurahan, and People in Kelurahan Kratonan. The author concluded that the collaboration between PP, PA and KB with BLUD GLH, DTK, Kelurahan and community had proceeded effectively.

Keywords: poverty, collaboration, unreasonable-to-reside house repairing

program

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral yang dialami baik oleh negara berkembang maupun negara maju. Negara-negara di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berusaha mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration . Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Poin pertama

MDGs adalah “Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem”, poin ini berisi tentang target yang akan dicapai pada tahun 2015 yaitu jumlah penduduk miskin

dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3 milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.

Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang juga mengalami permasalahan yang sama, yaitu masalah kemiskinan. Program penangulangan kemiskinan yang dimulai sejak Pelita (Pembangunan Lima Tahun) pertama sudah menjangkau seluruh pelosok tanah air. Upaya tersebut telah menghasilkan perkembangan yang positif. Namun demikian, krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah mengecilkan arti berbagai pencapaian Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang juga mengalami permasalahan yang sama, yaitu masalah kemiskinan. Program penangulangan kemiskinan yang dimulai sejak Pelita (Pembangunan Lima Tahun) pertama sudah menjangkau seluruh pelosok tanah air. Upaya tersebut telah menghasilkan perkembangan yang positif. Namun demikian, krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah mengecilkan arti berbagai pencapaian

Semakin kompleksnya penyebab kemiskinan di Indonesia membawa permasalahan baru yang perlu dipecahkan secara bersama-sama. Dengan adanya kerjasama antar stakeholder bisa lebih memberikan pengaruh dalam percepatan program pengentasan kemiskinan. Ketika cara mengelola, menata dan me-manage suatu urusan dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka disinilah konsep collaborative governance antar institusi, termasuk institusi pemerintah maupun non-pemerintah, penting digunakan untuk menganalisis sistem pengelolaan secara bersama.

Masalah kemiskinan yang ada di Indonesia sangat beragam, salah satunya adalah permasalahan tentang pemukiman kumuh. Banyaknya pemukiman kumuh yang tersebar di kota-kota besar Indonesia disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat yang rumahnya tidak layak untuk dihuni. Rumah tidak layak huni ini terdiri dari berbagai macam kriteria misalnya saja rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedheg), tripleks, atau papan: sanitasi dan air bersihnya terbatas: lantainya dari tanah dan lembab; tidak ada pembagian ruangan; dan tidak Masalah kemiskinan yang ada di Indonesia sangat beragam, salah satunya adalah permasalahan tentang pemukiman kumuh. Banyaknya pemukiman kumuh yang tersebar di kota-kota besar Indonesia disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat yang rumahnya tidak layak untuk dihuni. Rumah tidak layak huni ini terdiri dari berbagai macam kriteria misalnya saja rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedheg), tripleks, atau papan: sanitasi dan air bersihnya terbatas: lantainya dari tanah dan lembab; tidak ada pembagian ruangan; dan tidak

Dari hal tersebut maka pemerintah membuat program Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni. Program penyediaan hunian sederhana layak huni atau yang disebut Program RTLH merupakan salah satu Program Pemerintah yang dicanangkan sejak Tahun 2006 untuk mengatasi masalah kemiskinan. Program Pembangunan / Perbaikan RTLH ini tersebar di Indonesia, antara lain di Yogyakarta, Pekalongan, Banten, Padang, dan Surakarta. Dari semua kota tersebut, yang paling progresif terhadap program ini adalah kota Surakarta.

Pemberian Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Bagi Masyarakat adalah pemberian bantuan pembangunan / perbaikan rumah yang diberikan oleh Pemerintah Kota kepada masyarakat miskin yang dinyatakan kondisi rumah tidak layak huni dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surakarta.

Pemberian bantuan pembangunan / perbaikan rumah tidak layak huni diberikan kepada masyarakat miskin yang menempati / mempunyai rumah tidak layak huni dengan tujuan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup / derajat kesehatan masyarakat miskin Kota Surakarta. Selain itu program ini juga berupaya untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah agar mampu menempati rumah yang sehat dan layak huni, serta menciptakan kawasan pemukiman yang sehat, serasi, aman, teratur, dan berkesinambungan. Selain itu Pemberian bantuan pembangunan / perbaikan rumah tidak layak huni diberikan kepada masyarakat miskin yang menempati / mempunyai rumah tidak layak huni dengan tujuan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup / derajat kesehatan masyarakat miskin Kota Surakarta. Selain itu program ini juga berupaya untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah agar mampu menempati rumah yang sehat dan layak huni, serta menciptakan kawasan pemukiman yang sehat, serasi, aman, teratur, dan berkesinambungan. Selain itu

miskin yang memiliki rumah. Sasaran kegiatan pemberian bantuan adalah

masyarakat miskin yang menempati rumah tidak layak huni hasil pendataan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA dan KB) Kota Surakarta, rumah tidak layak huni yang belum terdaftar dalam hasil pendataan yang ditetapkan oleh Kepala Kelurahan setempat setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Pelaksana Pembangunan / Perbaikan Rumah Tak Layak Huni Tingkat Kelurahan.

Bantuan yang diberikan adalah stimulan yang di berikan masyarakat sebagai upaya menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan yang bersih sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan dapat digunakan sebagai tempat usaha sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat. Sehingga disini peran dari Bapermas yang sangat menonjol, karena berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat diberdayakan untuk dapat berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dan lingkungan bersih di Kota Surakarta.

Dari hasil pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Surakarta pada tahun 2006 dari ± 4.400 ha luas kota terdapat sebanyak 6612 Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang menempati kawasan kumuh seluas ± 41, 607 ha. Kawasan kumuh ini dihuni sebanyak 3421 KK atau 15.850 jiwa. Dari data Dari hasil pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Surakarta pada tahun 2006 dari ± 4.400 ha luas kota terdapat sebanyak 6612 Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang menempati kawasan kumuh seluas ± 41, 607 ha. Kawasan kumuh ini dihuni sebanyak 3421 KK atau 15.850 jiwa. Dari data

Tabel 1.1 Pelaksanaan Rehabilitasi/Renofasi Rumah Tidak Layak Huni sampai tahun 2010

Sumber : Bapermas Surakarta 2011

Berdasarkan hal tersebut, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Kota Surakarta melakukan inisiatif untuk membantu warga miskin Kota Surakarta dengan dukungan lintas sektor antara lain Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Bappeda, Badan Informasi dan Komunikasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Pertanahan, Bag. Hukum dan HAM, Camat, usur LPMK Tingkat Kota dan LSM. Program ini dikoordinir oleh Bapermas, PP, PA dan KB sebagai Leading Sector. Inisiatif yang didukung penuh oleh Walikota Surakarta tersebut berupa Pemberian Bantuan Pembangunan atau Perbaikan RTLH di Kota Surakarta.

Dalam menangani, mengelola, dan menata suatu masalah publik, sering

530 14 82 121 157 210 3 PASAR KLIWON

KOTA SURAKARTA

6.612 225 1.000 1.500 1.500 550

KELUARGA DENGAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI NO

KECAMATAN

institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya masyarakat lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian mereka masing-masing, paguyuban- paguyuban komunitas tertentu, masyarakat setempat dan asosiasi-asosiasi tertentu lainnya.

Untuk kelancaran pelaksanaan pemberian Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta, maka dibentuk Panitia Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota dan Kelurahan serta Kelompok Kerja Penerima Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni. Panitia Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota ditetapkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Kota Surakarta yang beranggotakan unsur dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Kota, Bappeda, Badan Informasi dan Komunikasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Pertanahan, Bag. Hukum dan HAM, Camat, usur LPMK Tingkat Kota dan LSM Kota Surakarta. Panitia Pelaksana Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kelurahan ditetapkan oleh Kepala Kelurahan, dengan anggota minimal 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur Kelurahan, LPMK, Tokoh Masyarakat, petugas fungsional Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana tingkat Untuk kelancaran pelaksanaan pemberian Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta, maka dibentuk Panitia Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota dan Kelurahan serta Kelompok Kerja Penerima Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni. Panitia Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota ditetapkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Kota Surakarta yang beranggotakan unsur dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Kota, Bappeda, Badan Informasi dan Komunikasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Pertanahan, Bag. Hukum dan HAM, Camat, usur LPMK Tingkat Kota dan LSM Kota Surakarta. Panitia Pelaksana Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kelurahan ditetapkan oleh Kepala Kelurahan, dengan anggota minimal 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur Kelurahan, LPMK, Tokoh Masyarakat, petugas fungsional Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana tingkat

Disini peneliti ingin meneliti pelaksanaan program RTLH di Kota Surakarta yang dilaksanakan oleh Bapermas yang bekerjasama dengan BLUD, DTK, Kelurahan Kratonan dan Masyarakat (Pokja). Bagaimana proses kolaborasi yang dilakukan oleh stakeholder dalam pelaksanaan program rehabilitasi rumah tidak layak huni. Sehingga dari permasalahan ini peneliti mengambil judul penelitian

“KOLABORASI

ANTAR

STAKEHOLDER DALAM

PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA ”

B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kolaborasi yang dibangun Bapermas dengan BLUD, DTK, Kelurahan dan Masyarakat (Pokja) dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi 1. Bagaimana kolaborasi yang dibangun Bapermas dengan BLUD, DTK, Kelurahan dan Masyarakat (Pokja) dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan Kolaborasi Antar Stakeholder pada Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta, serta efeknya terhadap stakeholder dan masyarakat yang terlibat.

2. Mengetahui efektivitas kolaborasi antar stakeholder pada Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta.

3. Memberikan rekomendasi tentang kebijakan perbaikan rumah tidak layak huni di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui bagaimana proses kolaborasi yang dilakukan dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta?

2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Tim Koordinasi Program RTLH dalam melaksanakan Program sebagai tim yang dibentuk oleh pemerintah bagi keluarga miskin yang memiliki rumah tidak layak huni di Kota Surakarta.

terhadap terwujudnya pelaksanaan Program RTLH di Kota Surakarta.

4. Bagi peneliti, digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana (S1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kolaborasi

1. Pendahuluan

Teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini banyak mengambil dari karya-karya penelitian Sudarmo, hal ini dikarenakan teori-teori yang ada sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam penelitian skripsi ini.

Suatu masalah yang dirasakan orang atau kelompk orang, mungkin berbeda dengan kelompok lainnya bahkan tidak dirasakan oleh kelompok lainnya. Namun sangat mungkin persoalan yang terjadi di kelompok tertentu akan berdampak bagi kelompok lainnya, demikian seterusnya sehingga kelompok yang pertama merasakan bahwa kemungkinan mereka akan semakin banyak beban ketika masalah dari pihak lainnya menimpa padanya. Dalam menangani, mengelola dan menata suatu masalah publik, sering tidak cukup hanya dilakukan oleh unit-unit institusi-institusi pemerintah setempat baik secara terpadu atau terikat, melainkan tidak jarang memerlukan keterlibatan institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian mereka masing-masing. Ketika cara mengelola, menata dan memanage suatu urusan adalah dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka disinilah konsep collaborative governance antar institusi, termasuk institusi pemerintah maupun non-pemerintah, penting digunakan untuk menganalisis sistem pengelolaan secara bersama.

maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya didalamnya telah tercakup konsep collaborative governance karena paradigma administrasi publik yang menekankan nilai-nilai citizenship dan atau demokrasi secara tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekkan governance, meskipun dimungkinkan juga stakeholder tertentu tidak dilibatkan secara fisik tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini stakeholder bisa didefinisikan sebagai pihak (atau orang atau kelompok) yang terpengaruh atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau pihak yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan suatu pemecahan suatu persoalan bersama.

Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi publik, mengingat banyak persoalan publik yang mempunyai implikasi luas yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja. Melalui kolaborasi ini diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi bisa diatasi atau paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan.

Menurut Sudarmo, Collaborative governance muncul dan dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan konflik-konflik bernuansa politik atau persoalan-persoalan yang menuntut diadopsinya nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum diinspirasikan oleh filosofi politis atau teori tertentu(2011:100). Dengan kata Menurut Sudarmo, Collaborative governance muncul dan dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan konflik-konflik bernuansa politik atau persoalan-persoalan yang menuntut diadopsinya nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum diinspirasikan oleh filosofi politis atau teori tertentu(2011:100). Dengan kata

2. Pengertian Kolaborasi

Kolaborasi dilakukan karena ada persoalan yang memang tidak bisa dihadapi atau ditangani hanya oleh satu institusi saja, dan dengan melakukan kolaborasi ini diharapkan persoalan yang dihadapi bisa diatasi. Kolaborasi dalam sebuah tim penting karena terbatasnya sumber daya dapat dimanfaatkan secara tepat dengan berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada akhirnya meningkatkan kesuksesan tim tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah.

Menurut Ansell dan Gash (dalam Sudarmo, 2011:101) kolaborasi secara umum dibedakan ke dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi dalam arti normative. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur / mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi pemerintah maupun non-pemerintah (termasuk lembaga- lembaga swadaya masyarakat setempat atau lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja, atau bisa juga mencakup institusi yang berafiliasi ke pemerintah berkolaborasi Menurut Ansell dan Gash (dalam Sudarmo, 2011:101) kolaborasi secara umum dibedakan ke dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi dalam arti normative. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur / mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi pemerintah maupun non-pemerintah (termasuk lembaga- lembaga swadaya masyarakat setempat atau lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja, atau bisa juga mencakup institusi yang berafiliasi ke pemerintah berkolaborasi

Sedangkan kolaborasi dalam arti normative merupakan aspirasi atau tujuan –tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan parsa partner atau mitranya. Memang collaborative governance bisa merupakan bukan institusi formal tetapi bisa juga merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan ke dalam manajemen publik pada suatu periode (Sudarmo, 2011).

Ansel and Gash dalam Journal of Public Administration Research memberikan definisi kolaborasi sebagai berikut ( “We define collaborative governance as follows a governing

arragement where one more public agencies directly engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aim to make or implement public policy or manage public programs or assets ”. This definition stresses six important criteria: (1) the forum is initiated by public agencies or institutions, (2) participant in the forum include nonstate actors, (3) participants engage directly in decision making and are not morely “consulted” by public agencies, (4) the forum is formally organized and meets collectively, (5) the forum aims to make decisions by consensus (even if consensus is not achieved in practice), and (6) the focus of collaboration is on public policy or public

management). (“Kami mendefinisikan Tata Pemerintahan kolaboratif sebagai berikut: adanya kerjasama yang mengatur di mana satu atau lebih lembaga publik dengan campur tangan stakeholders non- pemerintah secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah dan yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik atau mengelola program publik atau aset ". Definisi ini menekankan enam kriteria penting: (1) forum yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga publik atau lembaga, (2) peserta dalam forum management). (“Kami mendefinisikan Tata Pemerintahan kolaboratif sebagai berikut: adanya kerjasama yang mengatur di mana satu atau lebih lembaga publik dengan campur tangan stakeholders non- pemerintah secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah dan yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik atau mengelola program publik atau aset ". Definisi ini menekankan enam kriteria penting: (1) forum yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga publik atau lembaga, (2) peserta dalam forum

Dalam hal perbaikan rimah tidak layak huni ini kolaborasi yang dilakukan Bapermas dengan, Dinas Tata Kota, usur LPMK Tingkat Kota dan Masyarakat bisa dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam arti proses. Karena dalam pelaksanaan program RTLH ini setiap unsur terlibat baik langsung maupun tidak langsung dan memiliki peran masing-masing dalam tujuannya mengurangi jumlah rumah yang tidak layak huni.

Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya, kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas, sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah menjadi isu tersebut, namun demikian pemerintah tetap harus menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya, kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas, sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah menjadi isu tersebut, namun demikian pemerintah tetap harus menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks

Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan tidak jelas, yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran (standar-standar) dan relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya secara berbeda- beda. Dengan demikian, siapa/stakeholder mana saja yang dilibatkan atau harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses kolaborasi dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu tertentu ke isu lain dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggarisbawahi bahwa kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka kemiskinan atau pedangang kaki lima misalnya, tentu berbeda dengan stakeholder mana saja yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasinya dalam isu-isu kesejahteraan petani padi, perdagangan anak, pelacuran, dan isu tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri.

Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan, namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik, seiring dengan pergeseran paradigma Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan, namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik, seiring dengan pergeseran paradigma

Terkait dengan konsepsi kolaborasi, sejumlah pemerhati mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas wilayah pemerintah untuk mendapatkan saran-saran atau nasihat ahli dan mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa kolaborasi yang sifatnya non-hirarkis dan non-birokratis pada dasarnya berkebalikan dari apa yang secara tradisional (hirarkis dan birokratis) telah diperlihatkan pemerintah, dan cenderung bersifat top-down terhadap mitranya.

Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut harus mengadopsi kesepakatan governance yang cepat agar efektif namun bisa diterima oleh semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, maka melakukan kolaborasi dengan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut harus mengadopsi kesepakatan governance yang cepat agar efektif namun bisa diterima oleh semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, maka melakukan kolaborasi dengan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan

Dapat disimpulkan bahwa collaborative governance merupakan bentuk kerjasama baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan stakeholder baik itu instansi pemerintah dengan instansi pemerintah lain, pemerintah dengan swasta (LSM), maupun pemerintah dengan masyarakat dalam rangka mengelola, mengatur, menata, atau menangani suatu isu atau persoalan yang menjadi perhatian administrasi negara.

3. Alasan Melakukan Kolaborasi

Menurut Ansel and Gash (dalam Sudarmo, 2011:104) secara umum collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut: (1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik. Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative Menurut Ansel and Gash (dalam Sudarmo, 2011:104) secara umum collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut: (1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik. Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative

Dalam menjalan kolaborasi pemerintah juga membutuhkan partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat disini bisa sebagai kelompok sasaran yaitu warga miskin ataupun kaum marginal yang menjadi sasaan dari program RTLH ini. Nasikun (dalam Sudarmo 2009b) mendefinisikan partisipasi dalam tiga kategori sebagai berikut:

(“The first category is where “participation requires the involvement of the poor citizen in the process of decision making which is represented by their representatives in coalition together with the government agents and non-government organizations, and other

leaders of interest groups”. The second category is where “participation means the poor citizen is placed as the main consumer of

a development program and therefore their interests and advisory must

be heard and considered by policy makers.” The third category, what Nasikun calls „radical participation‟, is where “the poor people are seen as the constituency of a development program which is politically

“powerless” and “therefore they need stimulation and support.”) (“kategori pertama adalah bahwa “partisipasi memerlukan keterlibatan

warga Negara miskin dalam pembuatan keputusan yang diwakili oleh wakil-wakil mereka dalam koalisi bersama institusi-institusi pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah, serta pemimpin-pemimpin lain dari kelompok- kelompok kepentingan”. Kategori kedua adalah bahwa “partisipasi berarti warga negara ditempatkan sebagai pelanggan

utama dari program pembangunan dan oleh karena itu kepentingan mereka dan pendapat-pendapatnya harus didengar dan dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan”. Kategori ketiga adalah apa yang disebut sebagai ’radica participation’, yaitu bahwa “orang-orang miskin

dipandang sebagai konstituensi dari program pembangunan yang secara politik mereka ini “powerless” dan oleh karenanya mereka

Dari definisi diatas, partisipasi masyarakat sangat penting karena kebutuhan dan keinginan masyarakat miskin perlu untuk dipenuhi sehingga masyarakat miskin dianggap sebagai pelanggan utama dari program pembangunan pemerintah. Hal ini juga berkaitan denga program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni yang menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat diberdayakan untuk membangun rumahnya dengan didampingi oleh SKPD terkait sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mendapatkan bantuan.

Menurut Ansel and Gash (dalam Sudarmo, 2011:105) terdapat banyak argumen tentang pentingnya melakukan collaborative governance, antara lain adalah karena: (1) kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan, (2) ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan regim- regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan, (3) mobilisasi kelompok kepentingan, dan (4) tingginya biaya dan politisasi regulasi. Disamping empat alasan tersebut diatas, terdapat dua alasan lain atas kemunculan dan dikembangkannya collaborative governance , yakni: (1) pikiran-pikiran yang semakin luas tentang pluralism kelompok kepentingan, dan (2) adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi) dan kegagalan implementasinya.

Kecenderungan dilakukannya collaborative governance adalah dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan tumbuhnya pengetahuan

bekerja dalam rentang waktu tertentu. Ketika pengetahuan semakin terspesialisasi dan terdistribusi, dan ketika infrastruktur institusi bagi pemecahan masalah dan deliberisasi semakin berkembang, kompleks dan padat, maka tuntutan dan permintaan kolaborasi antar bagian atau institusi meningkat pula mengingat sebuah masalah sering berdampak bagi semua bagian atau sejumlah institusi atau masalah sejenis menjadi fokus perhatian dari berbagai institusi yang memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka memiliki keahlian berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer. Dengan demikian, pemecahan masalah secara kolaborasi antar institusi menjadi hal yang lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang.

Justru karena collaborative governance, kemunculannya dan perkembangan sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu permasalahan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka kemungkinan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunikasi, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Menurut Danahue (dalam Sudarmo, 2011:106) dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas- batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat formalitasnya, (2) tingkat durasinya, (3) tingkat fokusnya, (4) tingkat Justru karena collaborative governance, kemunculannya dan perkembangan sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu permasalahan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka kemungkinan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunikasi, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Menurut Danahue (dalam Sudarmo, 2011:106) dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas- batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat formalitasnya, (2) tingkat durasinya, (3) tingkat fokusnya, (4) tingkat

Terkait dengan sifat kolaborasi, hubungan collaborative governance bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga collaborative relationships bisa berjalan melalui kesepakatan informal. Memang sekarang telah banyak hubungan kolaboratif melalui kontrak atau kesepakatan formal sehingga mudah menjelaskan, mendiskripsikan para partisipannya, mudah menggambarkan atau menjelaskan prosedurnya, dan mudah menjelaskan tujuannya. Namun demikian, sebaliknya jika hubungan kolaboratif dilakukan melalui kesepakatan informal maka cenderung lebih sulit untuk menganalisis meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok marginal dan Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun demikian, jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab keuangan yang harus disetorkan pedagang kaki lima (PKL) misalnya, ke pihak-pihak tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka hubungan kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak formal agar jelas garis tanggung jawabnya.(Sudarmo, 2011:106)

Durasi atau waktu berjalannya kolaborasi bisa bersifat pemanen atau sementara. Kolaborasi bersifat permanen antara kelompok marginal dan pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua stakeholder . Contohnya, Bapermas yang pada prakteknya memerlukan Durasi atau waktu berjalannya kolaborasi bisa bersifat pemanen atau sementara. Kolaborasi bersifat permanen antara kelompok marginal dan pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua stakeholder . Contohnya, Bapermas yang pada prakteknya memerlukan

Fokus collaborative governance juga bervariasi, ada yang cukup luas ada juga yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus kolaborasi maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsure-unsur yang akan dianalisis sifatnya khusus dan terfokus. Sebaliknya jika fokus kolaborasi terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena terlalu banyak bagian yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian yang amat tinggi untuk mendapatkan hasil yang tajam, dalam dan komprehensif. Collaborative governance terhadap kaum marginal pada dasarnya cukup spesifik, namun analisis bisa meluas tergantung pada seberapa kompleks hubungan mereka dan stakeholder lainnya dalan governance. Collaborative governance memerlukan sejumlah institusi (kelompok beserta para pemukanya) yang berpartisipasi dalam governance (penataan, penertiban, pembinaan, pemberdayaan atau pengelolaan kelompok marginal) yang semuanya ikut dianalisis terkait dengan perannya dan kontribusinya masing-masing dalam menangani persoalan terkait dengan masalah yang dihadapi stakeholder lainnya terutama pihak pemerintah setempat (Sudarmo, 2009a).

Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan bersama-sama dalam Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan bersama-sama dalam

Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa inisiatif dari masing-masing institusi (stakeholder) dalam menentukan / mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan perubahan, dan sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi (atau mengajak) kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang memulai melakukan inisiatif bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama, inisiatif pasti bermula dari pemain / pelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat yang sudah sangat demokratis dan berjalan secara optimal tingkat demokrasinya, semua pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses kolaborasi tentunya bisa dinilai. Namun demikian, dalam keadaan demokrasi sangat lemah atau pemerintahannya itu sendiri tidak demokratis (misalnya tidak bersih/korup) atau bahkan tidak ada pemerintah, maka menilai hasil kolaborasi sangat tidak masuk akal dan bahkan dalam secara umum bisa controversial, karena persyaratan yang diperlukan tidak dipenuhi.

harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Menurut Donahue (dalam Sudarmo, 2011:109) jika ternyata institusi lain hanya berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku dominan (atau pelaku utama) maka hubungan yang tercipta pasti bukan hubungan collaborative governance, tetapi bentuk hubungan yang lain bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance. (Sudarmo, 2011:109).