KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19

DI YOGYAKARTA 1966—1980

Tirto Suwondo Siti Ajar Ismiyati Yohanes Adhi Satiyoko BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980 Penulis:

Tirto Suwondo Siti Ajar Ismiyati Yohanes Adhi Satiyoko

Penyunting:

Imam Budi Utomo Dhanu Priyo Prabowo

Cetakan Pertama:

Juni 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh:

BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980/Tirto Suwondo, Siti Ajar Ismiyati, Yohanes Adhi Satiyoko—cet. 1—Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa Yogyakarta, 116 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009

ISBN (10) 979-188-192-8 (13) 978-979-188-192-0 1. Literatur

I. Judul

II. Imam Budi Utomo

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PENGANTAR PENERBIT

Sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra. Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain maka jelas kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra.

Kritik sastra modern di Indo­nesia pertama kali diperkenalkan oleh Angkatan Pujangga Baru. Pada saat itu, terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Dari pole- mik itu kemudian lahirlah konsep dan pandangan mengenai kritik sastra Indonesia. Perdebatan yang terjadi di antara para ahli tersebut, berimbas ke seluruh daerah. Sejak akhir tahun 1960-an, kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha­siswa sastra. Di samping itu, kritik sastra juga berkembang di media massa.

Per­kembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta, didu­kung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta, menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal hingga sekarang. Namun demikian, peranan- nya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta ber- beda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), ada pula yang baru be- berapa tahun kemudian memuat karya sastra.

Buku yang merupakan hasil penelitian Balai Bahasa Yogya- karta ini diterbitkan dengan maksud untuk memberikan sumbang- an yang berarti bagi upaya penelusuran perkembangan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya.

Pada akhirnya, diharapkan buku ini dapat dibaca oleh masya- rakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai ke- beradaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta.

Penerbit

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami (tim peneliti) panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahabesar karena tugas yang dibebankan oleh Balai Bahasa Yogyakarta kepada kami untuk melakukan penelitian berjudul “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966—1980” dapat kami selesaikan dengan baik. Dengan selesainya tugas ini, kami merasa bahwa semua itu tiada lain berkat limpahan kasih-Nya se- hingga kami tidak bisa tidak harus mengucapkan syukur kepada- Nya.

Kami menyadari, tugas ini tidak mungkin dapat kami selesai- kan jika tanpa ada peran, keberadaan, dan keikhlasan berbagai pihak. Untuk itu, dengan rendah hati kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak berikut. Pertama, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta atas hak dan kewenangannya memberikan tugas ini kepada kami. Kedua, konsultan yang telah meluangkan waktu bagi kami untuk berkonsultasi. Ketiga, kepada kawan-kawan pene- liti di Bidang Penelitian dan Pembinaan Sastra Balai Bahasa Yogya- karta yang telah memberikan dorongan moral dan spirit kepada kami. Keempat, kepada semua pihak, yang tidak mungkin kami sebut satu per satu, termasuk para pengetik naskah ini, yang terlibat baik langsung maupun tak langsung sehingga penelitian ini dapat kami wujudkan. Kepada mereka semua, sungguh kami merasa berutang budi, dan semoga budi baik mereka membuahkan pahala yang melimpah dari-Nya.

Kami juga menyadari, penelitian ini masih jauh dari ideal, lebih-lebih sempurna. Oleh sebab itu, demi kesempurnaannya, saran Kami juga menyadari, penelitian ini masih jauh dari ideal, lebih-lebih sempurna. Oleh sebab itu, demi kesempurnaannya, saran

Yogyakarta, Desember 2005 Ketua Tim,

Tirto Suwondo

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Seperti diketahui bahwa perkembangan kritik sastra di Indo- nesia, khususnya kritik sastra Indonesia modern, relatif baru. Dalam kaitan ini Teeuw (1989:73—74) mencatat bahwa yang tampil per- tama kali di bidang kritik sastra adalah Pujangga Baru. Saat itu, lewat Pujangga Baru, terjadi polemik/perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Polemik itulah yang kemudian melahirkan konsep dan pandangan Takdir menge- nai kritik sastra Indonesia yang kemudian dibukukan dalam Ke- bangkitan Puisi Baru Indonesia. Itu pula sebabnya, pada masa beri- kutnya (1950-an dan 1960-an) tampil dua tokoh penting, yakni H.B. Jassin dan A. Teeuw, yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemu- dian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952).

Pada masa berikutnya (akhir 1960-an), terjadi pula polemik antara aliran Rawamangun yang dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasu- tion dan aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempat- kan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem Pada masa berikutnya (akhir 1960-an), terjadi pula polemik antara aliran Rawamangun yang dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasu- tion dan aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempat- kan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem

Seperti diketahui pula bahwa perdebatan yang terjadi sejak Pujangga Baru hingga tahun 1960-an di antara para ahli (H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Huta- galung, S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad) itu mempunyai imbas yang luas (secara nasional). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi kritik sastra Indonesia di berbagai daerah turut berkembang, tidak terkecuali di daerah/ wilayah Yogyakarta. Sebab, sejak akhir tahun 1960-an, selain kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha- siswa sastra, kritik sastra juga berkembang di media-media massa cetak yang terbit di wilayah-wilayah yang bersangkutan.

Bertolak dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa per- kembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta jelas didu- kung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit dan menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal hingga sekarang, antara lain, Pusara (terbit pertama tahun 1933, oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa), Pesat (terbit per- tama 21 Maret 1945), Api Merdika (terbit pertama 16 November 1945, oleh Gasemma IPI Cabang Yogyakarta), Arena (terbit pertama April 1946, oleh Himpunan Sastrawan Indonesia Yogyakarta), Suara Mu- hammadiyah (terbit pertama 1915, oleh organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama 27 September 1945), Minggu Pagi (terbit pertama April 1948, di bawah naungan PT BP Kedaulatan Rakyat), Medan Sastra (terbit pertama 1953, oleh Lembaga Seni Sastra Yogyakarta), Darmabakti (terbit pertama April 1950, oleh Dewan Mahasiswa IAIN Yogyakarta), Gadjah Mada (terbit April 1950, oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Pelopor (terbit pertama Januari 1950 di bawah ke- pengayoman Angkatan Bersenjata Republik Indonesia c.q Angkat- an Darat), Basis (terbit pertama Agustus 1951 di bawah Yayasan

Kanisius), Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, terbit per- tama tahun 1954, mendapat surat izin terbit baru pada 28 Maret 1966, oleh Badan Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemuda- pemudi Katolik), Budaya (terbit pertama Februari 1953, oleh Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Ke- budayaan Provinsi DIY), Mercu Suar (terbit pertama tahun 1966, kemudian pada tahun 1972 berubah nama menjadi Masa Kini, dan pada awal 1990-an berubah —dengan manajemen baru di bawah naungan harian nasional Media Indonesia— menjadi Yogya Post), Eksponen (tabloid mingguan, terbit tahun 1970-an hingga 1980-an), dan Berita Nasional (terbit sejak awal 1970-an dan pada tahun 1990- an berubah —dengan manajemen baru di bawah naungan harian nasional Kompas— menjadi Bernas). Hal itu masih ditambah dengan majalah Citra Jogja terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan bebe- rapa majalah kampus seperti Arena (IAIN), Humanitas (Fakultas Sas- tra UGM), Citra (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Muham- madiyah), Gatra (Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma), dan atau majalah/bulletin terbitan sanggar atau kelompok-kelompok studi seniman/sastrawan.

Dilihat dari peranannya terhadap pertumbuhan sastra Indo- nesia di Yogyakarta, beberapa media massa cetak yang disebutkan di atas memang berbeda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), mi- salnya Arena dan Medan Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun kemudian memuat karya sastra, misalnya Pesat, sebuah mingguan politik yang terbit tahun 1945 tetapi sejak tahun 1951 memuat karya sastra, dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 tetapi baru mem- buka rubrik sastra (budaya) pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagai- manapun juga, meskipun berbeda-beda peranannya, media-media massa cetak tersebut cukup memberikan andil positif bagi perkem- bangan sastra Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena pada beberapa dekade awal kemerdekaan hingga tahun 70-an (sebelum tahun 1980) dunia penerbitan buku karya sastra boleh dikata belum berkembang. Oleh karena itu, dunia sastra secara dominan tumbuh melalui koran dan majalah.

Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua media massa cetak yang disebutkan di atas (pernah) memuat karya sastra, Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua media massa cetak yang disebutkan di atas (pernah) memuat karya sastra,

Hilang”. 1 Oleh sebab itu, untuk mengetahui sejauh mana keberada- an karya-karya sastra dalam media-media massa tersebut dan sejauh mana peranannya dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta secara keseluruhan, seluruh karya sastra yang di- muat di dalam media-media tersebut harus diteliti. Akan tetapi, tidaklah mungkin meneliti seluruh karya sastra yang terbit dalam media-media tersebut karena hal tersebut hanya mungkin dilaku- kan jika tersedia waktu, kemampuan, dan tentu saja biaya yang cukup (banyak). Karena penelitian ini serba terbatas, di samping karena waktu dan biaya yang amat terbatas, pembatasan terhadap objek penelitian pun harus dilakukan.

Berkenaan dengan hal di atas, penelitian ini hanya akan mem- bahas salah satu di antara sekian banyak aspek di bidang sastra, yaitu kritik sastra Indonesia dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Pembatasan ha- nya pada kritik sastra tidak berarti bahwa karya-karya lain (puisi, cerpen, novel, drama dll.) tidak penting, tetapi semata karena karya-karya lain itu sudah diteliti oleh para peneliti lain, misalnya puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004), cerita pendek oleh Triyono dkk. (2004), dan novel (cerita bersambung) oleh Mardianto dkk. (2004). Di samping itu, pembatasan media hanya pada Minggu Pagi, Ke- daulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Mu- hammadiyah, dan Pelopor juga tidak berarti bahwa media-media

1 Setelah dimuat Minggu Pagi pada tahun 1960, cerita bersambung tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku (novel) oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963,

kemudian oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1977, bahkan juga diterjemahkan oleh Dr. Farida L’abrouse ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan oleh Puraimond, Paris, dalam “Collection Unesco Doeuvres Representative” Serie Indonesienne tahun 1976. Pada tahun 1993 novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.

lainnya tidak penting, tetapi karena memang media-media itulah yang pada kurun waktu itu (1966—1980) masih hidup dan dimung- kinkan menjadi media publikasi karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sementara itu, pembatasan waktu penelitian hanya pada tahun 1966 hingga 1980 juga tidak berarti tahun-tahun di luar itu diabaikan, tetapi karena esai/kritik sastra yang terbit pada tahun 1945 hingga 1965 telah diteliti oleh Suwondo dkk. (2004), sedangkan esai/kritik sastra yang terbit sesudah tahun 1980 akan diteliti kemudian (tahun 2006). Oleh karena itu, cukup beralasan jika penelitian ini hanya membatasi objek penelitian berupa karya- karya kritik sastra pada Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor.

Perlu dikemukakan di sini bahwa alasan perlu ditelitinya kri- tik sastra ialah karena sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki keduduk- an yang penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra (Wellek dan Warren, 1968). Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu (teori, sejarah, dan kritik) saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain, jelaslah bah- wa kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Oleh sebab itu, perkembangan kritik sastra di suatu wilayah tertentu, misalnya, secara tidak terelakkan akan menjadi bagian dari para- meter perkembangan atau perjalanan sejarah dan teori sastra di wilayah yang bersangkutan. Demikian pula kiranya perkembang- an kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.

Sebagaimana kehidupan kritik sastra pada umumnya, ke- hidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga tidak begitu saja turun dari langit karena kritik sastra berhubungan erat dengan karya sastra, pengarang, pembaca, dan dunia akademik yang men- jadi faktor pengembang ilmu (dan dunia) sastra. Dengan demikian, di satu sisi kritik sastra berada dalam suatu sistem yang otonom (mandiri), tetapi di sisi lain juga senantiasa bergerak di tengah elemen-elemen yang menjadi lingkungan terdekatnya. Jadi, dapat diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang turut berperan dan Sebagaimana kehidupan kritik sastra pada umumnya, ke- hidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga tidak begitu saja turun dari langit karena kritik sastra berhubungan erat dengan karya sastra, pengarang, pembaca, dan dunia akademik yang men- jadi faktor pengembang ilmu (dan dunia) sastra. Dengan demikian, di satu sisi kritik sastra berada dalam suatu sistem yang otonom (mandiri), tetapi di sisi lain juga senantiasa bergerak di tengah elemen-elemen yang menjadi lingkungan terdekatnya. Jadi, dapat diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang turut berperan dan

Berdasarkan pengamatan sementara dapat dikatakan bahwa esai/kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul dalam Ming- gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor tahun 1966 hingga 1980 cukup beragam, dalam arti kritik tersebut tidak hanya ditujukan kepada karya sastra (secara objektif, secara mikro sastra), tetapi juga di- tujukan kepada elemen-elemen lain di luar karya sastra (secara ma- kro, cenderung sosiologis), misalnya kepada para pengarang (sang pencipta, penulis, kreator), kepada penerbit (termasuk di dalamnya pengayom), kepada para pembaca (selaku penikmat, audiens, apre- siator), dan bahkan kepada kritik itu sendiri (yang berupa diskusi terbuka atau polemik). Selain itu, kritik sastra dalam beberapa media cetak tersebut juga tidak hanya muncul di dalam rubrik yang secara eksplisit diberi nama “kritik”, “seni-budaya”, atau “sastra- budaya”, tetapi dapat muncul dalam rubrik lain, misalnya rubrik surat pembaca, ulasan, resensi atau bedah buku, dan lain-lain. Oleh sebab itu, penelitian ini akan membahas berbagai orientasi esai/ kritik sastra dengan mengesampingkan pembedaan rubrik yang ada di dalam masing-masing media massa cetak tersebut (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor).

1.1.2 Masalah

Sebagaimana dikemukakan di dalam latar belakang bahwa penelitian ini akan membahas karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, khususnya yang telah dipubli- kasikan di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Mu- hammadiyah, dan Pelopor). Sehubungan dengan hal itu, pokok masa- lah yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimana dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, (2) apa jenis kritiknya, dan (3) bagaimana orientasi karya-karya kritik tersebut.

Dalam pokok masalah (1) akan dilihat bagaimana mobilitas sosial yang terjadi dan berpengaruh pada kehidupan kritik sastra Indonesia, bagaimana tradisi kritik yang terbangun, siapa saja para Dalam pokok masalah (1) akan dilihat bagaimana mobilitas sosial yang terjadi dan berpengaruh pada kehidupan kritik sastra Indonesia, bagaimana tradisi kritik yang terbangun, siapa saja para

ga 1980. Dalam pokok masalah (2) akan dilihat apa saja jenis kritik- nya berdasarkan metode penggarapan atau penyampaiannya. Se- mentara itu, dalam pokok masalah (3) akan dilihat bagaimana fo- kus perhatian kritik; terhadap apa saja kritik itu ditujukan, apakah terhadap pengarang, karya, penerbit/pengayom, pembaca, kritik, atau terhadap hal lain yang berada di dalam lingkaran sistem kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dipapar- kan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa

tujuan yang mencakupi tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam kaitannya dengan tujuan umum, penelitian ini bermaksud mem- bantu memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya penelusur- an perkembangan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya, di samping memberikan dan atau menye- diakan data deskriptif yang dapat dibaca oleh masyarakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai keberadaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta.

Di samping itu, dalam kaitannya dengan tujuan khusus, pene- litian ini bermaksud mengetahui keberadaan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 khususnya dalam media massa cetak Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Lebih khusus lagi, penelitian ini bermaksud mendeskripsi dan menginventarisasi berbagai hal yang berhubungan dengan jenis dan orientasi kritik sastra yang muncul dalam media-media tersebut beserta kecen- derungan dominannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan melihat seberapa besar peranan media-media massa cetak itu da- lam konteks perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.

1.3 Landasan Teori

Telah dikemukakan di depan bahwa pokok masalah yang dibahas di dalam penelitian ini adalah kritik sastra Indonesia di

Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 dan lingkup kajiannya dipusat- kan pada karya-karya kritik sastra Indonesia yang telah dipubli- kasikan dalam media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Ming- gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). Karena karya-karya kritik sastra tersebut —yang berupa esai, artikel, ulasan, resensi, dll.— pada hakikatnya merupakan suatu kristalisasi tanggapan atau sambutan pembaca, khususnya pembaca canggih (sophisticated reader) atau kritikus, teori yang paling tepat untuk digunakan sebagai landasan analisis ialah resepsi sastra seperti yang telah dirumuskan secara bersistem oleh Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) dengan prinsip da- sarnya yang terkenal, yaitu “horizon harapan” (horizon of expecta- tion ) dan “tempat terbuka” (blank, apenness).

Teori resepsi sastra antara lain berpandangan bahwa pembaca (reader) merupakan variabel penting sebagai pemberi makna karya sastra; dan oleh karenanya, dalam suatu penelitian sastra, tang- gapan pembaca terhadap sastra yang antara lain terwujud dalam bentuk karya-karya kritik dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak pem- bahasan. Namun, karena penelitian ini bermaksud mendeskripsi- kan tanggapan pembaca lewat karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang berkembang pada kurun waktu tertentu (1966— 1980), konsep teori resepsi yang diajukan oleh Jauss dan Iser akan diterapkan ke dalam beberapa kategori kritik seperti yang dikemu- kakan oleh Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981).

Tanaka (1976:49—50) berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan sistem mikro dan makro sastra, kritik sastra dibedakan men- jadi dua kategori sistem, yaitu sistem kritik akademik (the academic critic system ) dan sistem kritik umum (the general critic system). Kritik akademik adalah kritik yang berkembang di lingkungan akademik dan kategori kritik ini dikembangkan oleh para akademisi; dan kritik umum adalah kritik yang berkembang dalam masyarakat umum dan biasanya media yang digunakan adalah media massa umum. Sasaran yang dituju oleh kritik akademik adalah khalayak terbatas, kecuali jika kritik tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum; sedang- kan kritik umum sejak awal memang ditujukan kepada khalayak umum (luas).

Di samping itu, Said (Damono, 1998/1999) membagi kritik sastra menjadi empat bentuk, yaitu (1) kritik sastra praktis/umum (practical criticism), (2) sejarah sastra/akademik (academic literary history ), (3) apresiasi dan interpretasi sastra (literary appreciation and interpretation ), dan (4) teori sastra (literary theory). Walaupun di- klasifikasikan menjadi empat bentuk, pengertian atau batasan yang diajukan Said pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan oleh Tanaka. Pengertian bentuk kritik (1) model Said sama dengan pengertian kritik umum model Tanaka; bentuk kritik (2) dan (4) model Said sama dengan kritik akademik model Tanaka; dan bentuk kritik (3) model Said lebih luwes, dalam arti kritik tersebut dapat dikategorikan baik sebagai kritik akademik maupun kritik umum model Tanaka.

Sehubungan dengan hal di atas, Abrams (1981:36—37) me- nyatakan bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah menjadi dua jenis, yaitu kritik judisial (judicial criticism) dan kritik impresionistik (impressionistic criticism); sedangkan berdasarkan pendekatan dan atau orientasinya kritik sastra dibedakan menjadi kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criti- cism ), kritik ekspresif (expressive criticism), dan kritik objektif (objec- tive criticism ). Kritik judisial adalah kritik yang di dalam penilai- annya menggunakan standar (konsep, teori, aturan) tertentu, se- dangkan kritik impresionistik sebaliknya, tidak menggunakan standar tertentu tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus terhadap karya sastra (bdk. Pradopo, 1988:28—30). Sementara itu, kritik mimetik berorientasi pada tiruan atau gambaran ide (alam, dunia, kehidupan), kritik pragmatik berorientasi pada pembaca atau penikmat, kritik ekspresif berorientasi pada pengarang atau pencipta, dan kritik objektif berorientasi pada karya sastra (bdk. Pradopo, 2002:40—46).

Meskipun Abrams membagi kritik sastra menjadi beberapa kategori seperti di atas, pada dasarnya beberapa kategori itu juga tidak bertentangan dengan pembagian yang dilakukan oleh Tanaka dan Said. Misalnya, kritik judisial model Abrams sesuai dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik teori sastra model Said; kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan Meskipun Abrams membagi kritik sastra menjadi beberapa kategori seperti di atas, pada dasarnya beberapa kategori itu juga tidak bertentangan dengan pembagian yang dilakukan oleh Tanaka dan Said. Misalnya, kritik judisial model Abrams sesuai dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik teori sastra model Said; kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan

Karena beberapa kategori kritik yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak saling bertentangan, tetapi justru saling meleng- kapi, dalam penelitian “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966 hingga 1980” ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut tidak akan dipisahkan secara tegas, tetapi justru akan dipadukan. Dalam arti bahwa penggolongan oleh beberapa tokoh tersebut akan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan data yang dianalisis.

1.4 Metode dan Teknik

Sesuai dengan konsep teori seperti yang telah dikemukakan di atas, yakni teori resepsi Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) yang dimodifikasikan dengan konsep Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981), sebenarnya ada tiga metode yang dapat diterapkan di dalam penelitian ini. Pertama, metode penelitian resepsi secara eksperimental. Kedua, metode penelitian resepsi lewat kritik sastra. Ketiga, metode penelitian resepsi intertekstual. Namun, karena pe- nelitian ini hanya bermaksud meneliti berbagai sambutan pembaca yang telah dituangkan dalam bentuk karya-karya kritik (sastra), metode yang kemudian dipilih adalah metode kedua, yaitu metode penelitian resepsi sastra lewat kritik sastra. Walaupun di dalam pelaksanaan suatu penelitian metode ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara sinkronik dan cara diakronik, yang ditetapkan sebagai pedoman di dalam penelitian ini adalah cara sinkronik ka- rena objek yang diteliti adalah karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul pada kurun waktu tertentu (1966— 1980).

Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang dipergunakan adalah studi pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Melalui metode studi pustaka dibaca dan dicatat berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Ber- Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang dipergunakan adalah studi pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Melalui metode studi pustaka dibaca dan dicatat berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Ber-

1.5 Data Penelitian

Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980, khususnya Minggu Pagi (surat ka- bar mingguan), Kedaulatan Rakyat (surat kabar harian), Masa Kini (surat kabar harian), Basis (majalah bulanan), Semangat (majalah bulanan), Suara Muhammadiyah (majalah dwimingguan), dan Pelo- por (surat kabar mingguan) adalah media massa umum. Sebagai media massa cetak umum, tentu saja beberapa media tersebut me- muat berbagai masalah umum yang menyangkut berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, beberapa media massa itu juga tidak hanya memuat kebudayaan Indonesia, tetapi juga kebudayaan daerah dan asing. Bahkan, kebudayaan yang berkaitan dengan seni, ia (media-media tersebut) tidak hanya memuat seni-sastra, tetapi juga seni pada umumnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, data yang diangkat dan dijadi- kan objek penelitian ini tidak mencakupi keseluruhan karya (kritik) yang berkaitan dengan seluruh bidang seni dan kebudayaan seba- gaimana disebutkan di atas, tetapi khusus karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Data-data karya kritik sastra Indo- nesia tersebut dapat berupa karya-karya esai, artikel, kritik, resensi, ulasan, surat pembaca, kronik, dan lain-lain.

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan (dilaporkan) dengan sistematika seba- gai berikut. Bab pertama (pendahuluan) memuat latar belakang Penelitian ini disajikan (dilaporkan) dengan sistematika seba- gai berikut. Bab pertama (pendahuluan) memuat latar belakang

Bab ketiga (jenis dan orientasi kritik sastra Indonesia di Yog- yakarta) memuat uraian deskriptif mengenai apa saja jenis kritik dan kepada apa/siapa kritik tersebut ditujukan, apakah kepada pengarang, kepada karya (sastra), kepada penerbit atau pengayom, kepada pembaca, dan atau kepada kritik itu sendiri. Sementara itu, bab keempat (penutup) memuat simpulan atau generalisasi dari seluruh pembahasan yang telah disajikan dalam bab-bab sebe- lumnya. Setelah itu, di akhir penelitian disajikan daftar pustaka.

1.7 Ejaan

Laporan penelitian ini ditulis dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia sesuai dengan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1991), edisi kedua, yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendi- dikan dan Kebudayaan, Jakarta. Secara keseluruhan laporan pene- litian ini ditulis sesuai dengan pedoman ejaan tersebut, kecuali penulisan nama diri.

BAB II DINAMIKA KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA

Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980 tidak dapat terlepas dari dan bahkan selalu terikat oleh kondisi dan realitas sosial-budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam bab ini, sebelum disajikan pembahasan mengenai dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut, terlebih dulu disajikan bahasan mengenai mobilitas sosial yang sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan kritik sastra. Maka, bab ini dibagi menjadi empat subbab, yaitu (1) mobilitas sosial, (2) tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, (3) para kritikus yang ber- peran dalam kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, dan (4) berbagai media yang mempublikasikan karya-karya kritik sas- tra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980.

2.1 Mobilitas Sosial

Pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya dalam konteks ini —termasuk perubahan situasi politik dan ekonomi— dibatasi pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1966 hingga 1980. Akan tetapi, pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya tersebut tidak dibatasi hanya pada wilayah tertentu (Yogyakarta), tetapi men- cakupi wilayah yang lebih luas (Indonesia). Hal demikian dilaku- kan karena dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di Indonesia tidak bersifat kedaerahan, tetapi bersifat nasional. Ka- Pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya dalam konteks ini —termasuk perubahan situasi politik dan ekonomi— dibatasi pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1966 hingga 1980. Akan tetapi, pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya tersebut tidak dibatasi hanya pada wilayah tertentu (Yogyakarta), tetapi men- cakupi wilayah yang lebih luas (Indonesia). Hal demikian dilaku- kan karena dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di Indonesia tidak bersifat kedaerahan, tetapi bersifat nasional. Ka-

Seperti diketahui bahwa tahun 1966 merupakan penanda waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari sebuah rezim yang disebut Orde Lama (di bawah kekuasaan Soekarno) ke rezim Orde Baru (di bawah kekuasaan Soeharto). Peristiwa tumbangnya ke- kuasaan Orde Lama dan berkuasanya kekuasaan Orde Baru melalui peristiwa “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret) tersebut tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dilatarbelakangi oleh beragam masalah yang berkaitan dengan praktik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Menurut pemerintahan Orde Baru, di dalam pemerintahan Orde Lama korupsi terjadi di mana-mana, laju pertumbuhan penduduk demikian cepat, jumlah penganggur- an membengkak, tindak kejahatan merajalela, dan kebutuhan rak- yat akan sandang dan pangan tidak tercukupi. Hal itu terjadi kare- na pada waktu itu pemerintah bertindak sangat otoriter dengan menjadikan “politik” sebagai “panglima” sehingga segalanya di- kuasai pemerintah.

Terjadinya situasi seperti di atas, antara lain, disebabkan oleh terlalu cepatnya pertumbuhan penduduk (sejak 1950-an hingga 1960-an), tidak cukupnya produksi pangan bagi rakyat, di samping banyaknya rakyat yang buta huruf dan miskin. Berkaitan dengan hal ini Ricklefs (de Vries, 1985:45) mendata bahwa pada 1950 jumlah penduduk Indonesia mencapai 77,2 juta jiwa; pada 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut sensus penduduk 1961, jumlah pendu- duk Indonesia meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Kendati saat itu produksi pangan meningkat, ternyata kebutuhan penduduk yang juga terus meningkat tetap tidak tercukupi. Hal tersebut terbukti melalui kenyataan bahwa pada saat itu pemerintah terus melaku- kan impor beras meskipun pada 1956 produksi beras meningkat 26% jika dibandingkan produksi beras pada 1950. Karena itu, kekurangan pangan dan kemiskinan yang terjadi di beberapa dae- rah di pulau Jawa sejak 1930-an masih terus berlangsung. Kondisi itu lebih memprihatinkan lagi karena pemerintah membangun Terjadinya situasi seperti di atas, antara lain, disebabkan oleh terlalu cepatnya pertumbuhan penduduk (sejak 1950-an hingga 1960-an), tidak cukupnya produksi pangan bagi rakyat, di samping banyaknya rakyat yang buta huruf dan miskin. Berkaitan dengan hal ini Ricklefs (de Vries, 1985:45) mendata bahwa pada 1950 jumlah penduduk Indonesia mencapai 77,2 juta jiwa; pada 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut sensus penduduk 1961, jumlah pendu- duk Indonesia meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Kendati saat itu produksi pangan meningkat, ternyata kebutuhan penduduk yang juga terus meningkat tetap tidak tercukupi. Hal tersebut terbukti melalui kenyataan bahwa pada saat itu pemerintah terus melaku- kan impor beras meskipun pada 1956 produksi beras meningkat 26% jika dibandingkan produksi beras pada 1950. Karena itu, kekurangan pangan dan kemiskinan yang terjadi di beberapa dae- rah di pulau Jawa sejak 1930-an masih terus berlangsung. Kondisi itu lebih memprihatinkan lagi karena pemerintah membangun

Bertolak dari kenyataan itulah pemulihan ekonomi dimulai dengan mengubah struktur ekonomi yang semula berpola kolonial ke pola yang bersifat nasional. Langkah yang dilakukan pemerin- tah pada awalnya adalah menumbuhkembangkan pengusaha pri- bumi. Para pengusaha Indonesia yang umumnya kekurangan modal diberi hak dan kesempatan untuk ikut membangun ekonomi nasio- nal melalui Program Benteng yang pada 1950 hingga 1953 mem- berikan bantuan kredit kepada sekitar 700 perusahaan. Program itu bertujuan melindungi perusahaan pribumi, membentuk ke- lompok pengusaha yang tangguh, yaitu dengan memberikan lisensi impor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan ke- untungan yang tinggi. Sebab, pada saat itu terjadi perbedaan kurs mata uang resmi dengan yang tidak resmi atau yang berada di pasar gelap (Budiman, 1991:31).

Usaha di atas sebenarnya cukup memuaskan karena jumlah pengusaha pribumi meningkat. Pada Juni 1953 tercatat jumlah importir nasional melonjak dari 800 menjadi 3.500 (bahkan ada yang menyebut 6.000 hingga 9.000 importir). Akan tetapi, yang ter- jadi kemudian tidaklah seperti yang diharapkan. Sebab, Program Benteng ternyata justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia itu sendiri. Hal demikian terjadi karena ternyata para pengusaha Indonesia lebih suka menjual lisensinya kepada perusahaan asing (Cina dan lain-lain) dengan “kedok” melakukan kerja sama (Budiman, 1991:31).

Setelah terjadi pergantian kekuasaan, Orde Baru dengan slo- gan politisnya (“pembangunan”) ingin melakukan perubahan di bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) sehingga terwujudlah program, antara lain, program pengentasan kemiskinan. Ketika

Orde Baru berkuasa, kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang berorientasi ke luar. Strategi itu memberi peluang bagi swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu di- harapkan segera dapat memberikan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990:116— 117). Hal itu setidaknya dapat dicermati dari diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya di bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penundaan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanam- an modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk turut membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, mem- bantu usaha peningkatan kerja, dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.

Alasan dipilihnya strategi tersebut tampaknya ada dua hal. Pertama, memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang dan pangan. Strate- gi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam usaha melumpuhkan kekuatan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan karena sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta ketidakmampuan peme- rintah membayar utang luar negeri telah mempersulit pemerintah dalam upaya mencari bantuan dan penanaman modal asing. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah Orde Baru bersedia mene- rima usulan IMF (International Monetary Fund) mengenai perlu dicip- takan iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya investasi asing dan perlu diintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke da- lam sistem kapitalis internasional (Mas’oed, 1990:118). Hal itu men- cerminkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekono- mi yang dianggap merupakan landasan untuk merancang kehidup- an politik yang dilakukan pemerintah (Setiawan, 1998:108). Rehabi- litasi ekonomi itu berkait erat dengan upaya Indonesia untuk memi- sahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan hubung- Alasan dipilihnya strategi tersebut tampaknya ada dua hal. Pertama, memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang dan pangan. Strate- gi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam usaha melumpuhkan kekuatan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan karena sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta ketidakmampuan peme- rintah membayar utang luar negeri telah mempersulit pemerintah dalam upaya mencari bantuan dan penanaman modal asing. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah Orde Baru bersedia mene- rima usulan IMF (International Monetary Fund) mengenai perlu dicip- takan iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya investasi asing dan perlu diintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke da- lam sistem kapitalis internasional (Mas’oed, 1990:118). Hal itu men- cerminkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekono- mi yang dianggap merupakan landasan untuk merancang kehidup- an politik yang dilakukan pemerintah (Setiawan, 1998:108). Rehabi- litasi ekonomi itu berkait erat dengan upaya Indonesia untuk memi- sahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan hubung-

Ricklefs (1994:433) menjelaskan bahwa sejak semula memang pemerintah Orde Baru berupaya untuk menjalankan kebijakan- kebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejah- teraan sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang dilakukan ialah, di samping upaya seperti yang telah dijelaskan di atas, berdasarkan Kepres No. 319/1969, pemerintah mencanang- kan strategi pembangunan yang disebut Pelita yang dimulai sejak 1969 (Harnoko dkk., 2003:76—77). Strategi itulah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan yang mengarah pada pemba- ngunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya, swakarya, dan swasembada). Konsep itu dinilai tepat karena pada saat itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa itu pemerin- tah berusaha meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menerap- kan program seperti Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Kabupa- ten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, dan Kredit Investasi Kecil. Melalui program-program tersebut akhirnya terbukti kondisi masyarakat Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat pada masa Orde Lama.

Khusus di bidang kesehatan, misalnya, pada masa pemerin- tahan kolonial (sekitar 1930) hanya terdapat sekitar 1.030 dokter, padahal jumlah penduduk pada waktu itu mencapai 60,7 juta se- hingga setiap 59.000 jiwa hanya tersedia seorang dokter. Pada 1974 terdapat 6.221 dokter, sedangkan jumlah penduduk sekitar 130 juta sehingga setiap 20,9 ribu penduduk tersedia seorang dokter. Keadaan ini meningkat pada 1980-an karena tercatat satu orang dokter hanya melayani 11,4 ribu penduduk. Data-data itu jelas menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal. Sementara itu, produksi pangan juga mengalami peningkatan karena keterse- diaan bibit unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Karena itu, sikap pesimis mengenai terjadinya kekurangan pangan di Indo- nesia (mestinya sangat) tidak beralasan. Keadaan itu juga terlihat Khusus di bidang kesehatan, misalnya, pada masa pemerin- tahan kolonial (sekitar 1930) hanya terdapat sekitar 1.030 dokter, padahal jumlah penduduk pada waktu itu mencapai 60,7 juta se- hingga setiap 59.000 jiwa hanya tersedia seorang dokter. Pada 1974 terdapat 6.221 dokter, sedangkan jumlah penduduk sekitar 130 juta sehingga setiap 20,9 ribu penduduk tersedia seorang dokter. Keadaan ini meningkat pada 1980-an karena tercatat satu orang dokter hanya melayani 11,4 ribu penduduk. Data-data itu jelas menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal. Sementara itu, produksi pangan juga mengalami peningkatan karena keterse- diaan bibit unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Karena itu, sikap pesimis mengenai terjadinya kekurangan pangan di Indo- nesia (mestinya sangat) tidak beralasan. Keadaan itu juga terlihat

Kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi dan pangan mendo- rong pula meningkatnya penyediaan sarana pendidikan. Penyedia- an sarana pendidikan meningkat jauh melebihi penyediaan sarana pendidikan pada masa kolonial yang tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk melek huruf (Ricklefs, 1994:434). Pada 1930 jum- lah penduduk yang melek huruf hanya 7,4% (13,2% pria dan 2,3% wanita). Pada 1971 angka-angka itu naik menjadi 72% pria dan 50,3% wanita, dan pada 1980 masing-masing adalah 80,4% pria dan 63,6% wanita. Lebih jauh Ricklefs mencatat bahwa keuntung- an-keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia tidak hanya terlihat dari jumlah penduduk yang melek huruf, te- tapi juga meliputi peningkatan jumlah penduduk yang dapat meng- gunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.

Di wilayah pedesaan, dampak kemelekhurufan tersebut mam- pu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi mereka dengan dunia luar sehingga budaya nasional lebih eksis dibanding budaya lokal. Contoh mengenai pergeseran ini dapat dilihat pada masuknya lembaga-lembaga nasional ke pedesaan (Kuntowijoyo, 1994:74—75). Kenyataan itu mengisyarat- kan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa “desa” semua digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasio- nal seperti perayaan 17-an, misalnya, menggantikan acara-acara desa seperti suran, nyadran, dan sejenisnya. Perayaan-perayaan desa dipenuhi oleh pesan-pesan nasional mulai dari persoalan kesehatan, penataan lingkungan, sampai pada persoalan KB. Kesenian desa diganti oleh televisi, nyanyian desa pun digeser lagu-lagu nasional dan Barat. Mitologi cikal bakal desa juga tidak lagi memenuhi pikir- an anak-anak muda karena pahlawan-pahlawan nasional sudah memenuhi pikiran mereka. Pergeseran tersebut menimpa pula Di wilayah pedesaan, dampak kemelekhurufan tersebut mam- pu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi mereka dengan dunia luar sehingga budaya nasional lebih eksis dibanding budaya lokal. Contoh mengenai pergeseran ini dapat dilihat pada masuknya lembaga-lembaga nasional ke pedesaan (Kuntowijoyo, 1994:74—75). Kenyataan itu mengisyarat- kan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa “desa” semua digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasio- nal seperti perayaan 17-an, misalnya, menggantikan acara-acara desa seperti suran, nyadran, dan sejenisnya. Perayaan-perayaan desa dipenuhi oleh pesan-pesan nasional mulai dari persoalan kesehatan, penataan lingkungan, sampai pada persoalan KB. Kesenian desa diganti oleh televisi, nyanyian desa pun digeser lagu-lagu nasional dan Barat. Mitologi cikal bakal desa juga tidak lagi memenuhi pikir- an anak-anak muda karena pahlawan-pahlawan nasional sudah memenuhi pikiran mereka. Pergeseran tersebut menimpa pula