Profil Keterlaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian dan Kepuasan Konsumen di Apotek: Studi Kasus pada Apotek Kimia Farma No.27 Medan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dan yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah untuk:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian


(2)

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan

c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa:

a. Apotek

b. Instalasi farmasi rumah sakit c. Puskesmas

d. Klinik e. Toko obat

f. Praktek bersama

Permenkes No. 35 tahun 2014 merupakan standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi: pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik.

a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

meliputi:

i. Perencanaan ii. Pengadaan iii. Penerimaan iv. Penyimpanan

v. Pemusnahan vi. Pengendalian


(3)

vii. Pencatatan dan pelaporan b. Pelayanan farmasi klinik meliputi:

i. Pengkajian resep ii. Dispensing

iii. Pelayanan Informasi obat (PIO) iv. Konseling

v. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care) vi. Pemantauan terapi obat (PTO)

vii. Monitoring efek samping obat (MESO) (Menkes, RI., 2014). Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek adalah:

a. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat.

b. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek.

c. Apotek harus dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.

d. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

e. Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.

f. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya, apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga.


(4)

g. Apotek mempunyai suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

h. Apotek harus memiliki:

i. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien

ii. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi

iii. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien iv. Ruang racikan

v. Tempat pencucian alat

i. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (Menkes, RI., 2004).

2.2Standar Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya surat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014. Tujuan diterbitkannya peraturan adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).


(5)

2.3Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes, RI., 2014). Pelayanan kefarmasian merupakan proses kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Situmorang, 2000).

Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien, berfungsi sebagai (Bahfen, 2006):

a. Menyediakan informasi tentang obat – obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat, dan menentukan metode penggunaan obat.

b. Mendapat rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang

berlawanan, keracunan, dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan.

d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien.

e. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.

f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat – obatan untuk pelayanan gawat darurat.


(6)

g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan.

i. Menyediakan pendidikan mengenai obat – obatan untuk tenaga kesehatan.

2.3.1 Pelayanan resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014).

Persedur tetap pelayanan resep: a. Skrining resep

i. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor izin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau para dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

ii. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara, dan lama pemberian obat.

iii. Mengkaji aspek klinis yaitu : adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), membuatkan kartu pengobatan pasien (medication record).

iv. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan. b. Penyiapan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

i. Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan pada resep.


(7)

iii. Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan/alat/spatula/sendok.

iv. Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat semula.

v. Meracik obat (timbang, campur, kemas).

vi. Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum.

vii. Menyiapkan etiket.

viii. Menuliskan nama dan cara pemakaian obat pada etikat sesuai dengan permintaan pada resep.

c. Penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

i. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan ii. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

iii. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

iv. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

v. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker.

vi. Menyimpan salinan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan (Menkes, RI., 2004).

2.3.2 Pelayanan informasi obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan


(8)

obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes, RI., 2014).

Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek meliputi: a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan

b. Membuat dan menyebarkan bulletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan)

c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien

d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi

e. Melakukan penelitian penggunaan obat

f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah g. Melakukan program jaminan mutu (Menkes, RI., 2014).

2.3.3 Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien rendah, perlu dilanjutkan dengan metode health belief. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien memahami obat yang digunakan (Menkes, RI., 2014).


(9)

2.3.4 Pemantauan terapi obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Hal-hal yang dilakukan adalah:

a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

Kriteria pasien yang perlu dipantau terapi obatnya adalah: i. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui ii. Menerima obat lebih dari 5 jenis

iii. Adanya multidiagnosis

iv. Pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal v. Menerima obat dengan indeks terapi sempit

vi. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan.

b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi. c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat adalah

adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat. d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan


(10)

e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat (Menkes, RI., 2014).

2.3.5 Monitoring efek samping obat (MESO)

Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau modifikasi fisiologis.

Kegiatan yang dilakukan adalah:

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat.

b. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO) c. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional.

2.3.6 Pelayanan konsumen

Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005).


(11)

Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu (Supranto, 2006):

a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan.

c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau

assurance.

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.

e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi.

2.4Evaluasi Mutu Pelayanan

Evaluasi mutu pelayanan merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi penilaian terhadap mutu manajerial dan mutu pelayanan farmasi klinik (Menkes, RI., 2014).

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan di apotek antara lain (Menkes, RI., 2014):

a. Kesesuaian proses terhadap standar b. Efektifitas dan efisiensi

c. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero defect dari medication error

d. Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk menjamin mutu pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan


(12)

e. Lama waktu pelayanan resep antara 15-30 menit

f. Manfaat pelayanan kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit.

Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan cara angket (Menkes, RI., 2004).

2.5 Kepuasan Konsumen

Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka konsumen akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan konsumen akan baik. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan konsumen akan sangat baik. Harapan konsumen dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Konsumen yang baik akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang apotek (Supranto, 2006).

Analisis kepuasan konsumen tergambar dalam diagram kertesius. Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi


(13)

merupakan rata-rata dari skor tingkat pelaksanaan atau kepuasan dan rata-rata dari skor tingkat kepentingan yang mempengaruhi kepuasan pelanggan (Supranto, 2006).

Tingkat unsur-unsur tersebut dijabarkan dan dibagi menjadi empat bagian ke dalam diagram kartesius (Supranto, 2006):

a. Prioritas utama, menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun manajemen belum melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan. Sehingga mengecewakan/tidak baik.

b. Pertahankan prestasi, menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan, untuk itu wajib dipertahankannya. Dianggap sangat penting dan sangat memuaskan.

c. Prioritas rendah, menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan, pelaksaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang penting dan kurang memuaskan.

d. Berlebihan, menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting akan tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan.

Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhikebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan public. Tingkat


(14)

kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).


(1)

2.3.4 Pemantauan terapi obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Hal-hal yang dilakukan adalah:

a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

Kriteria pasien yang perlu dipantau terapi obatnya adalah: i. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui ii. Menerima obat lebih dari 5 jenis

iii. Adanya multidiagnosis

iv. Pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal v. Menerima obat dengan indeks terapi sempit

vi. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan.

b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi. c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat adalah

adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat. d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan


(2)

e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat (Menkes, RI., 2014).

2.3.5 Monitoring efek samping obat (MESO)

Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau modifikasi fisiologis.

Kegiatan yang dilakukan adalah:

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat.

b. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO) c. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional.

2.3.6 Pelayanan konsumen

Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005).


(3)

Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu (Supranto, 2006):

a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan.

c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau

assurance.

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.

e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi.

2.4Evaluasi Mutu Pelayanan

Evaluasi mutu pelayanan merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi penilaian terhadap mutu manajerial dan mutu pelayanan farmasi klinik (Menkes, RI., 2014).

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan di apotek antara lain (Menkes, RI., 2014):

a. Kesesuaian proses terhadap standar b. Efektifitas dan efisiensi

c. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero defect dari medication error d. Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk menjamin mutu pelayanan


(4)

e. Lama waktu pelayanan resep antara 15-30 menit

f. Manfaat pelayanan kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit.

Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan cara angket (Menkes, RI., 2004).

2.5 Kepuasan Konsumen

Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka konsumen akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan konsumen akan baik. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan konsumen akan sangat baik. Harapan konsumen dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Konsumen yang baik akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang apotek (Supranto, 2006).

Analisis kepuasan konsumen tergambar dalam diagram kertesius. Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi


(5)

merupakan rata-rata dari skor tingkat pelaksanaan atau kepuasan dan rata-rata dari skor tingkat kepentingan yang mempengaruhi kepuasan pelanggan (Supranto, 2006).

Tingkat unsur-unsur tersebut dijabarkan dan dibagi menjadi empat bagian ke dalam diagram kartesius (Supranto, 2006):

a. Prioritas utama, menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun manajemen belum melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan. Sehingga mengecewakan/tidak baik.

b. Pertahankan prestasi, menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan, untuk itu wajib dipertahankannya. Dianggap sangat penting dan sangat memuaskan.

c. Prioritas rendah, menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan, pelaksaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang penting dan kurang memuaskan.

d. Berlebihan, menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting akan tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan.

Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhikebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan public. Tingkat


(6)

kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).