Peluang Penerapan PP 51 Tahun 2009 Terkait Titik Impas: Studi Kasus Di Apotek Farma Nusantara Dan Kimia Farma 27 Medan.

(1)

PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN

KIMIA FARMA 27 MEDAN

SKRIPSI

OLEH: HILMA AZIZAH

NIM 050804034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN

KIMIA FARMA 27 MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: HILMA AZIZAH

NIM 050804034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Lembar Pengesahan Skripsi

PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN

KIMIA FARMA 27 MEDAN

OLEH: HILMA AZIZAH

NIM 050804034

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: Desember 2010

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Wiryanto, M.S. Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195011171980022001 NIP 195301011983031004

Drs. Wiryanto, M.S. Apt.

Pembimbing II, NIP 195011171980022001

Dra. Juanita Tanuwijaya, Apt. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP: 130 672 239 NIP 195807101986012001

Drs. Ismail, M.Si., Apt.

NIP 195006141980031001

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN KIMIA FARMA 27 MEDAN”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Suparmin dan Ibunda (Almh). Siti Aminah, serta abang dan kakakku tercinta, atas do’a, dukungan, motivasi dan perhatian yang tiada hentinya kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Wiryanto.MS.,Apt. dan Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan tanggung jawab dari awal penelitian hingga menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi

3. Bapak Drs. Agus Cahyana, Apt., selaku manager bisnis sekaligus APA di Apotek Kimia Farma 27 dan Ibu Dra. Sudewi, Apt., selaku APA di Apotek Farma Nusantara.


(5)

4. Dosen-dosen di Fakultas Farmasi yang telah membimbing penulis selama perkuliahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Abang, kakak, adik-adik dan terutama buat teman-teman angkatan 2005 Fakultas Farmasi atas dukungan yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun pada skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan profesi apoteker pada khususnya.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(6)

PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN

KIMIA FARMA 27 MEDAN

ABSTRAK

Penerapan ketentuan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, bahwa Pelayanan Kefarmasian di Apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker, akan membawa konsekuensi lain. Jam kerja apotek yang panjang menuntut adanya apoteker pendamping dan tenaga kerja lainnya yang memadai. Hal ini akan berakibat meningkatnya biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek oleh karena harus memberikan imbalan yang sesuai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian di apotek terkait titik impas.

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif, melalui survei dengan cara penyebaran kuisioner dan analisis dokumen yang bersifat purposive. Penyebaran kuisioner ditujukan kepada peserta seminar pharmacy update di Hotel Inna Darma Deli Medan pada tanggal 13 Maret 2010 dan analisis dokumen dilakukan terhadap biaya operasional Apotek Farma Nusantara Jl. Setia Budi No. 25 dan Apotek Kimia Farma 27 pada bulan Mei tahun 2010.

Hasil survei menunjukkan bahwa omset apotek per hari berkisar antara 1 - 3 juta rupiah. Agar dapat hidup normal, maka apotek harus menggunakan indeks penjualan minimal sebesar 1,15. Dengan demikian indeks penjualan 1,15 dapat dipandang sebagai indeks penjualan yang ideal dan wajar oleh karena selain titik impas dapat tercapai, imbalan apoteker sesuai standar juga dapat terpenuhi. Pada penerapan PP 51 tahun 2009, hasil survei menunjukkan bahwa imbalan yang diharapkan apoteker adalah sebesar 5 juta rupiah. Peningkatan imbalan apoteker dan penyesuaian gaji bagi tenaga kerja lain pada penerapan PP 51 tahun 2009 mengakibatkan peningkatan biaya tetap, yang membawa konsekuensi peningkatan titik impas yaitu sebesar Rp 4.906.720,- per hari. Karena omset apotek per hari saat ini hanya berkisar antara 1 - 3 juta rupiah, maka peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek adalah kecil.


(7)

APPLICATION OPPORTUNITIES RELATED PP 51 IN 2009 BREAK-EVENT POINT: A CASE STUDY at FARMA NUSANTARA PHARMACIES AND

CHEMICAL FARMA 27 MEDAN ABSTRACT

Application of the provisions of Regulation 51 of 2009 on Pharmaceutical Jobs, Pharmaceutical Services at the pharmacy that can only be done by pharmacists, will bring other consequences. Long working hours pharmacy requires a pharmacist assistants and other appropriate labor. This will result in increased fixed costs that must be paid pharmacies by having to provide an appropriate reward. The purpose of this study is to identify the opportunity of applying Regulation 51 year 2009 about work-related pharmacy in pharmacy

break-even point. The research was done with descriptive method, through a survey by

distributing questionnaires and document analysis that is purposive. Distributing questionnaires to participants in a seminar aimed at updating pharmacy at the Hotel Inna Dharma Deli Medan on March 13, 2010 and document analysis conducted on the operational costs Farma Apotek Nusantara Jl. Setia Budi No. Apotek Kimia Farma 25 and 27 in May of 2010.

The survey results indicate that the turnover of pharmacies per day ranged between 1-3 million dollars. To be able to live normal, then the pharmacy must use a minimum sales index of 1.15. Thus the sales index index of 1.15 can be viewed as an ideal and reasonable sales because in addition to break-even point can be reached, compensation standards pharmacist can also be met. On the application of PP 51 of 2009, the survey results show that the expected benefits pharmacist is 5 million dollars. Increased reward pharmacists and salary adjustments for other employees on the application of PP 51 in 2009 resulted in increased fixed costs, the consequences increase in break-even point that is Rp 4,906,720, - per day. Because the turnover of pharmacies per day at this time ranged only between 1-3 million dollars, then the opportunity for the application of PP 51 of 2009 on a job related to pharmacy in pharmacy break-even point is small.

Keywords: PP 51, 2009, the turnover, an index of sales, fixed costs, break-even point.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL...i

LEMBAR PENGESAHAN……….iii

KATA PENGANTAR...iv

ABSTRAK………...vi

ABSTRACT……….vii

DAFTAR ISI………viii

DAFTAR TABEL………...xi

DAFTAR GAMBAR………....xii

DAFTAR LAMPIRAN………xiii

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang………...…...1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ……… 2

1.3 Perumusan Masalah……….…………..3

1.4 Hipotesis………...3

1.5 Tujuan Penelitian………...3


(9)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………..………...4

2.1 Pelayanan Kefarmasian..………...4

2.2 Pekerjaan Kefarmasian...……… 5

2.3 Apotek...……….………...8

2.4 Sumber daya Manusia (SDM)..………...9

2.4.1 Apoteker...………...9

2.4.2 Asisten Apoteker...………..9

2.5 Manajemen Apotek...………...… 10

2.6 Administrasi...………...…… 11

2.7 Analisa Titik Impas...………...…… 12

2.7.1 Pengertian Titik Impas...……….……… 12

2.7.2 Asumsi-asumsi Analisis Titik Impas……… 14

2.7.3 Biaya Tetap (Fixed Cos ) ...……… 15

2.7.4 Biaya Variabel...……….……… 15

2.7.5 Kegunaan dan Kelemahan Analisa Titik Impas…....…16

BAB III METODE PENELITIAN...………..… 17

3.1 Waktu, Tempat dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian....… 17

3.2 Analisa Data...………...……… 17

3.3 Prosedur Kerja ...………...…… 17

3.1 Defenisi Operasional...………..……… 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...……….……… 19


(10)

4.1.1 Apotek Farma Nusantara...……….…… 19

4.1.2 Apotek Kimia Farma 27...………...……… 19

4.2 Hasil Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek... 20

4.2.1 Data Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek...…………...……… 20

4.2.2 Data Analisis Impas Terhadap Biaya Operasional Apotek...…………...……… 21

4.3 Hasil Survei Terhadap Peserta Seminar Pharmacy Update…… 25

4.3.1 Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari...………...……… 26

4.3.2 Distribusi Imbalan yang Diterima Apoteker ...…....… 28

4.3.3 Distribusi Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009...……… 29

4.1 Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima dan Imbalan yang Diharapkan Apoteker Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009...………...……… 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....……… 36

5.1 Kesimpulan...……… 36

5.2 Saran...………...……… 36

DAFTAR PUSTAKA...………...………… 37


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Biaya Tetap Apotek Farma Nusantara Per Bulan ...…………...… 20 Tabel 4.2 Biaya Tetap Apotek Nimia Farma 27 Per Tahun...….……… 21 Tabel 4.3 Analisis Impas dengan Berbagai Asumsi Nilai Indeks pada Apotek

Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma...……… 21

Tabel 4.4 Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari...…...… 26 Tabel 4.5 Distribusi Imbalan Yang Diterima Apoteker dari Apotek...… 28 Tabel 4.6 Distribusi Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan

Penerapan PP 51 Tahun 2009...………..……… 29 Tabel 4.7 Distribusi Kemungkinan Harapan Imbalan dapat Terpenuhi ..…… 30 Tabel 4.8 Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima

Apoteker dan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan

Penerapan PP 51 Tahun 2009...………..……… 32 Tabel 4.9 Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari

Berdasarkan Imbalan yang Diterima Apoteker dan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 200.…… 33


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas Dan Variabel Terikat ..…….… 2

Gambar 2.1 Gambar Analisa Titik Impas antara Indeks vs Omset...……...… 13

Gambar 2.2 Gambar Biaya Tetap antara Jumlah Barang vs Biaya...……...… 15

Gambar 4.1 Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks vs Titik Impas pada Apotek Farma Nusantara...…...…...… 24 Gambar 4.2. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks vs Titik Impas pada

Apotek Kimia Farma 27...…...…...… 24 Gambar 4.3 Grafik Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari.. 27

Gambar 4.4 Grafik Distribusi Imbalan yang Diterima Apoteker dari Apotek... 28

Gambar 4.5 Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks vs Titik Impas

Berdasarkan Imbalan yang Diterima dan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan Penerapan PP 51 Tahun 2009…... 34


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan Analisis Impas dengan Berbagai Nilai Indeks

Penjualan pada Apotek Farma Nusantara ...…...…...… 39

Lampiran 2. Perhitungan Analisis Impas dengan Berbagai Nilai Indeks

Penjualan pada Apotek Kimia Farma 27………..… 40

Lampiran 3. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima Apoteker dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek...…...… 41

Lampiran 4. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009 dengan

Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek...… 42

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian...…...…....… 43

Lampiran 6. Data Biaya Tetap Per Tahun pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27...… 45


(14)

PELUANG PENERAPAN PP 51 TAHUN 2009 TERKAIT TITIK IMPAS: STUDI KASUS DI APOTEK FARMA NUSANTARA DAN

KIMIA FARMA 27 MEDAN

ABSTRAK

Penerapan ketentuan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, bahwa Pelayanan Kefarmasian di Apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker, akan membawa konsekuensi lain. Jam kerja apotek yang panjang menuntut adanya apoteker pendamping dan tenaga kerja lainnya yang memadai. Hal ini akan berakibat meningkatnya biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek oleh karena harus memberikan imbalan yang sesuai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian di apotek terkait titik impas.

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif, melalui survei dengan cara penyebaran kuisioner dan analisis dokumen yang bersifat purposive. Penyebaran kuisioner ditujukan kepada peserta seminar pharmacy update di Hotel Inna Darma Deli Medan pada tanggal 13 Maret 2010 dan analisis dokumen dilakukan terhadap biaya operasional Apotek Farma Nusantara Jl. Setia Budi No. 25 dan Apotek Kimia Farma 27 pada bulan Mei tahun 2010.

Hasil survei menunjukkan bahwa omset apotek per hari berkisar antara 1 - 3 juta rupiah. Agar dapat hidup normal, maka apotek harus menggunakan indeks penjualan minimal sebesar 1,15. Dengan demikian indeks penjualan 1,15 dapat dipandang sebagai indeks penjualan yang ideal dan wajar oleh karena selain titik impas dapat tercapai, imbalan apoteker sesuai standar juga dapat terpenuhi. Pada penerapan PP 51 tahun 2009, hasil survei menunjukkan bahwa imbalan yang diharapkan apoteker adalah sebesar 5 juta rupiah. Peningkatan imbalan apoteker dan penyesuaian gaji bagi tenaga kerja lain pada penerapan PP 51 tahun 2009 mengakibatkan peningkatan biaya tetap, yang membawa konsekuensi peningkatan titik impas yaitu sebesar Rp 4.906.720,- per hari. Karena omset apotek per hari saat ini hanya berkisar antara 1 - 3 juta rupiah, maka peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek adalah kecil.


(15)

APPLICATION OPPORTUNITIES RELATED PP 51 IN 2009 BREAK-EVENT POINT: A CASE STUDY at FARMA NUSANTARA PHARMACIES AND

CHEMICAL FARMA 27 MEDAN ABSTRACT

Application of the provisions of Regulation 51 of 2009 on Pharmaceutical Jobs, Pharmaceutical Services at the pharmacy that can only be done by pharmacists, will bring other consequences. Long working hours pharmacy requires a pharmacist assistants and other appropriate labor. This will result in increased fixed costs that must be paid pharmacies by having to provide an appropriate reward. The purpose of this study is to identify the opportunity of applying Regulation 51 year 2009 about work-related pharmacy in pharmacy

break-even point. The research was done with descriptive method, through a survey by

distributing questionnaires and document analysis that is purposive. Distributing questionnaires to participants in a seminar aimed at updating pharmacy at the Hotel Inna Dharma Deli Medan on March 13, 2010 and document analysis conducted on the operational costs Farma Apotek Nusantara Jl. Setia Budi No. Apotek Kimia Farma 25 and 27 in May of 2010.

The survey results indicate that the turnover of pharmacies per day ranged between 1-3 million dollars. To be able to live normal, then the pharmacy must use a minimum sales index of 1.15. Thus the sales index index of 1.15 can be viewed as an ideal and reasonable sales because in addition to break-even point can be reached, compensation standards pharmacist can also be met. On the application of PP 51 of 2009, the survey results show that the expected benefits pharmacist is 5 million dollars. Increased reward pharmacists and salary adjustments for other employees on the application of PP 51 in 2009 resulted in increased fixed costs, the consequences increase in break-even point that is Rp 4,906,720, - per day. Because the turnover of pharmacies per day at this time ranged only between 1-3 million dollars, then the opportunity for the application of PP 51 of 2009 on a job related to pharmacy in pharmacy break-even point is small.

Keywords: PP 51, 2009, the turnover, an index of sales, fixed costs, break-even point.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian terus berkembang, tidak lagi terbatas hanya pada penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu adanya interaksi antara tenaga kefarmasian dengan pasien dan dengan profesional kesehatan lainnya. Menurut PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pelayanan kefarmasian di apotek, berarti pasien harus dilayani oleh apoteker untuk mendapatkan obat sesuai resep yang dibawanya dan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan penggunaan obat secara tepat serta informasi lainnya (Dhanutirto, 2007). Dengan paradigma seperti di atas maka para apoteker harus berada di apotek untuk dapat melaksanakan tugas pelayanan kefarmasian tersebut. Hal tersebut sesuai dengan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pasal 51 butir 1 menyebutkan “Pelayanan Kefarmasian di Apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”. Penerapan PP 51 tahun 2009 ini tidak mudah oleh karena akan membawa konsekuensi berupa keharusan adanya apoteker selama apotek buka.

Jam kerja apotek yang pada umumnya selama ±12 jam menuntut adanya apoteker pendamping dan tenaga kerja lainnya yang memadai. Hal ini berakibat meningkatnya biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek oleh karena harus memberikan imbalan yang sesuai. Pemberian imbalan yang pantas kepada


(17)

apoteker adalah salah satu kunci untuk menjamin mereka melaksanakan praktek pelayanan farmasi yang baik (good pharmacy practice) (Daris, 2007).

Menurut Seto (2001), pengelola apotek sering sekali dihadapkan pada keputusan yang melibatkan prediksi efek-efek perubahan dalam biaya, harga atau pendapatan atas laba apotek. Apotek dikatakan impas apabila di dalam laporan perhitungan laba-ruginya pada periode waktu tertentu tidak memperoleh laba dan juga tidak menderita kerugian. Dari analisa impas, pengelola apotek dapat mengetahui pada omset berapakah apotek yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh laba.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian analisa impas di Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27 Medan kaitannya dengan peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian di apotek.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan analisa impas untuk mengetahui peluang penerapan PP 51 tahun 2009. Dalam hal ini, titik impas menjadi variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari biaya tetap, omset apotek dan indeks penjualan.

Sebagai kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 di bawah ini.

Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat Variabel Bebas

 Biaya Tetap

 Omset

 Indeks Penjualan

Variabel Terikat Titik Impas

Peluang PP 51 tahun

2009 dapat diterapkan


(18)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah seberapa besar peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek.

1.4 Hipotesis

Peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek adalah kecil.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar peluang penerapan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian sebagai dasar untuk langkah-langkah pembinaan dan pengawasan dalam rangka penerapan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian kaitannya dengan titik impas di apotek.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien berfungsi sebagai (Bahfen, 2006):

1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan obat.

2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. 3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang

berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan.

4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien.

5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.


(20)

6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat.

7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. 8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan.

9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan. 2.2 Pekerjaan Kefarmasian

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan (PP 51, 2009).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan:

a) Nilai Ilmiah adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi.

b) Keadilan adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu.


(21)

c) Kemanusiaan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras.

d) Keseimbangan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat.

e) Perlindungan dan keselamatan adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan pasien.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah untuk:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian.

2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan dan

3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa:

a. Apotek

b. Instalasi farmasi rumah sakit c. Puskesmas


(22)

e. Toko obat atau f. Praktek bersama

Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

2.3 Apotek

Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah (Menkes RI, 2004):

1. Papan nama apotek yang dapat terlihat dengan jelas, memuat nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor izin apotek dan alamat apotek. 2. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien yaitu bersih, ventilasi yang

memadai, cahaya yang cukup, tersedia tempat duduk dan ada tempat sampah.

3. Tersedianya tempat untuk mendisplai obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi pasien berupa brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan.

4. Ruang untuk memberikan konseling bagi pasien. 5. Ruang peracikan.


(23)

6. Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

7. Ruang/tempat penyerahan obat. 8. Tempat pencucian alat.

9. Peralatan penunjang kebersihan apotek. 2.4. Sumber Daya Manusia (SDM)

2.4.1 Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PP 51, 2009).

Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpim dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya (manusia, fisik dan anggaran) secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes RI, 2004).

2.4.2 Asisten Apoteker

Asisten apoteker memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005):

1. Fungsi pembelian meliputi: mendata kebutuhan barang, membuat kebutuhan pareto barang, mendata pemasok, merencanakan dan melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan lain dari APA dan memeriksa harga.

2. Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.


(24)

3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan pelanggan.

2.5 Manajemen Apotek

Manajemen dapat diartikan sebagai salah satu usaha atau kegiatan yang dilaksanakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip-prinsip dasar manajemen dapat dipelajari tetapi hasil yang diperoleh dalam penerapannya masih banyak tergantung pada bakat-bakat perorangan. Manajemen yang baik akan memberikan hasil yang memuaskan sesuai harapan (Anief, 1995).

Menurut Umar (2005), dalam mengelola sebuah apotek berlaku cara mengelola fungsi-fungsi manajemen meliputi:

a. Fungsi perencanaan (planning) yaitu menyusun program kerja untuk mencapai suatu tujuan (sasaran).

b. Fungsi pengorganisasian (organization) yaitu membagi-bagi pekerjaan yang ada di apotek dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pada setiap fungsi.

c. Fungsi Kepemimpinan (actuating) yaitu melaksanakan program kerja sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pekerjaannya serta sasaran yang akan dicapainya.

d. Fungsi pengawasan (controlling) yaitu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan sistem operasional dan sasaran yang dicapai melalui indikator tingkat keberhasilan pada setiap fungsi.


(25)

Apotek dalam mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari pemasok kepada konsumen memiliki 5 fungsi kegiatan (Umar, 2005) yaitu:

a. Pembelian (phurcashing) b. Gudang (ware house)

c. Pelayanan dan penjualan (servicing and selling) d. Keuangan (finanching)

e. Pembukuan (accounting)

Seorang APA selain menguasai ilmu kefarmasian, juga harus dibekali dengan ilmu lainnya seperti ilmu pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (accounting). Sehingga seorang APA dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek tidak hanya sebagai penanggung jawab teknik kefarmasian saja, melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat (Umar, 2005).

2.6 Administrasi

Administrasi merupakan proses pencatatan seluruh kegiatan teknis yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Menurut Anief (1995), administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi:

a. Administrasi pembukuan yaitu pencatatan uang masuk dan uang yang keluar. b. Administrasi penjualan yaitu pencatatan pelayanan resep, penjualan bebas dan

penjualan secara tunai dan kredit.

c. Administrasi pergudangan yaitu pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang.


(26)

d. Administrasi pembelian yaitu pencatatan pembelian harian secara tunai atau kredit.

e. Administrasi piutang yaitu pencatatan penjualan kredit, pelunasan piutang dan penghasilan sisa piutang.

f. Administrasi kepegawaian yaitu pencatatan absensi karyawan dan gaji. 2.7 Analisa Titik Impas

2.7.1 Pengertian Titik Impas

Titik impas dapat diartikan sebagai suatu keadaan impas atau titik dimana volume penjualan tidak rugi dan tidak untung. Analisa titik impas atau analisis pulang pokok atau analisis Break Even Point (BEP) adalah suatu cara atau teknik yang digunakan oleh seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada omset berapakah perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh laba. Analisa ini juga dapat digunakan untuk mengetahui pada omset berapakah suatu perusahaan dapat mencapai laba atau menderita kerugian tertentu (Sigit, 1990).

Ada beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menghitung analisa titik impas, rumus umum untuk menentukan titik impas adalah sebagai berikut:

BT Titik impas =

BV 1 -

penjualan

BT = Biaya tetap yaitu biaya yang besarnya tidak tergantung pada jumlah barang yang terjual.


(27)

yang terjual.

Untuk apotik, BV adalah nilai pembelian dari barang yang terjual.

Penjualan = Nilai penjualan dari barang yang terjual. Nilai penjualan adalah nilai pembelian ditambah margin keuntungan.

Cara perhitungan lain adalah dengan menggunakan indeks, yaitu sebagai berikut: BT

Titik impas =

1 1 -

Indeks

Omset Q

P

O

Indeks

Gambar 2.1. Gambar Analisa Titik Impas antara Indeks Vs Omset Keterangan gambar:

 Garis alas atau garis horizontal paling bawah disebut sumbu x menunjukkan indeks

 Garis vertikal yang disebut sumbu y adalah garis yang menunjukkan omset.

OP merupakan daerah rugi (loss area).

PQ merupakan daerah laba (profit area). Daerah laba

Daerah rugi


(28)

 Dijelaskan dalam grafik bahwa titik impas terjadi di titik P ketika tidak berada pada titik daerah rugi dan titik daerah laba.

2.7.2 Asumsi-asumsi Analisa Titik Impas

Menurut Sigit (1990), di dalam menganalisa titik impas termasuk menghitung dan mengumpulkan angka-angka, analisa titik impas menetapkan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak ada dalam kenyataannya, maka harus diadakan atau dianggap ada atau diperlukan seperti dipersyaratkan. Jadi jika syaratnya tidak ada, dapat dianggap ada. Inilah yang disebut asumsi.

Adapun asumsi-asumsi yang diperlukan agar dapat menganalisa titik impas adalah sebagai berikut:

a. Bahwa biaya-biaya yang terjadi dalam menganalisa titik impas, hanya digunakan dua macam biaya, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost).

b. Bahwa yang ditetapkan sebagai biaya tetap itu akan tetap konstan, tidak mengalami perubahan meskipun volume kegiatan berubah.

c. Bahwa yang ditetapkan sebagai biaya variabel itu akan tetap sama jika dihitung biaya kegiatan. Jika volume kegiatan berubah, biaya variabel itu berubah proposional dalam jumlah seluruhnya, sehingga biaya per unitnya akan tetap sama.

d. Bahwa harga jual per unit akan tetap saja, berapapun banyaknya unit produk yang dijual. Harga jual per unit tidak akan turun meskipun pembeli membeli banyak. Juga sebaliknya harga per unit tidak akan naik, meskipun pembeli hanya membeli dalam jumlah sedikit. Sedikit ataupun banyak yang dibeli, harga jual per unit tidak mengalami perubahan.


(29)

e. Bahwa suatu perusahaan yang bersangkutan menjual hanya satu jenis barang. Jika ternyata menjual lebih dari satu jenis barang, maka barang-barang itu harus dianggap sebagai satu jenis produk dengan kombinasi yang selalu tetap.

2.7.3 Biaya tetap (Fixed Cost)

Biaya tetap (dalam bahasa Inggris disebut fixed cost) adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode kerja adalah tetap jumlahnya dan tidak mengalami perubahan. Jika periode kerja itu adalah bulan, maka biaya itu tetap saja setelah dihitung selama satu bulan. Jika dihitung tahunan, biaya itu tetap saja tidak berubah, meskipun dari bulan ke bulan atau dari minggu ke minggu volume kegiatan berubah (Sigit, 1990).

Jadi biaya tetap itu tidak berubah, meskipun volume kegiatan berubah. Contoh biaya tetap adalah seperti gaji, penyusutan aktiva tetap, bunga, sewa atau biaya kantor dan biaya tetap lainnya. Gambar biaya tetap antara jumlah barang vs biaya tetap adalah sebagai berikut:

Biaya

Biaya Tetap

Jumlah Barang

Gambar 2.2. Gambar Biaya Tetap antara Jumlah Barang Vs Biaya 2.7.4 Biaya Variabel (Variabel Cost)

Biaya variabel (Variabel Cost) adalah biaya yang naik dan turun bersamaan dengan volume kegiatan. Bila penjualan bertambah, maka biaya variabel akan bertambah. Bila penjualan turun, maka biaya variabel akan turun.


(30)

2.7.5 Kegunaan dan Kelemahan Analisa Titik Impas

Adapun kegunaan analisa titik impas antara lain (Sigit, 1990):

a. Sebagai dasar atau landasan merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu. Jadi dapat digunakan untuk perencanaan laba atau “profit planning”.

b. Sebagai dasar atau landasan untuk mengendalikan kegiatan operasional atau sebagai alat “controlling”.

c. Sebagai pertimbangan dalam menentukan harga jual, yaitu setelah diketahui hasil-hasil perhitungannya menurut analisa titik impas dan laba yang di targetkan.

d. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang harus dilakukan oleh seorang manajer.

Disamping memiliki kegunaan, analisa titik impas juga memiliki beberapa kelemahan yaitu (Syamsuddin, 2007):

1. Adanya kesulitan dalam mengklasifikasikan biaya karena adanya biaya semivariabel dimana biaya ini tetap sampai dengan tingkat tertentu dan berubah-ubah setelah melewati titik tersebut.

2. Jangka waktu penerapan analisis titik impas terbatas hanya digunakan pada periode wktu tertentu.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif, melalui survei menggunakan kuisioner dan analisis dokumen yang bersifat purposive (Arikunto, 2006).

3.1 Waktu, Tempat dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian Penelitian dilakukan dengan:

1. Pengumpulan data diperoleh dari peserta seminar pharmacy update yang bersedia mengisi dan mengembalikan kuisioner di Hotel Inna Darma Deli Medan pada tanggal 13 Maret 2010.

2. Pengumpulan data biaya operasional apotek melalui analisis dokumen di Apotek Farma Nusantara Jl. Setia Budi No. 25 Medan dan Apotek Kimia Farma 27 Jl. Palang Merah No. 32 Medan pada bulan Mei tahun 2010.

3.2 Analisa Data

Data yang terkumpul kemudian diolah dengan program Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan atau grafik.

3.3 Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Survei terhadap peserta seminar pharmacy update.

1. Menyiapkan lembar kuisioner yang akan diisi responden.

2. Menghadiri acara seminar pharmacy update dan menyebarkan kuisioner kepada peserta seminar.


(32)

4. Mengedit data penelitian dan membuat laporan penelitian.

 Analisis dokumen biaya operasional apotek

1. Mengunjungi Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27 Medan

2. Meminta izin pada APA/PSA untuk melihat dan mencatat data-data biaya operasional apotek.

3. Mengedit data penelitian dan membuat laporan penelitian. 3.4 Definisi Operasional

1. Imbalan apoteker adalah imbalan yang diperoleh apoteker atas pekerjaan profesi yang dilakukan di apotek

2. Peluang penerapan PP 51 tahun 2009 adalah kemungkinan terlaksananya PP 51 tahun 2009 di apotek dengan parameter: pencapaian titik impas apotek pada indeks penjualan yang wajar dan pemenuhan imbalan yang diharapkan apoteker sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009.

3. Indeks penjualan adalah bilangan indeks yang menggabungkan antara indeks pembelian dengan indeks margin.


(33)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Apotek Penelitian

4.1.1 Apotek Farma Nusantara

Apotek Farma Nusantara berada di Jl. Setia Budi No. 25 Medan, terletak di daerah pinggiran kota dan pemukiman yang ramai dengan penduduk yang cukup padat serta mudah dijangkau oleh kendaraan umum.

Apotek Farma Nusantara diresmikan pada bulan Mei 2009. Apotek tersebut melayani pasien selama ±12 jam yaitu melayani penjualan obat bebas, penjualan resep tunai dan penjualan kredit.

Apotek Farma Nusantara merupakan apotek yang dinaungi oleh koperasi IAI yang dikelola oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang membawahi 3 orang karyawan dengan rincian 1 orang apoteker pendamping, 1 orang asisten apoteker dan 1 orang office boy.

4.1.2 Apotek Kimia Farma 27

Apotek Kimia Farma 27 berada di Jl. Palang Merah No. 32 Medan, terletak di daerah perkotaan dan pemukiman yang ramai dengan penduduk yang cukup padat serta mudah dijangkau oleh kendaraan umum, dekat dengan tempat perbelanjaan dan dekat dengan tempat-tempat pelayanan kesehatan lain seperti rumah sakit dan klinik. Lokasi Apotek Kimia Farma 27 dilengkapi dengan praktek dokter umum, dokter spesialis, swalayan farmasi dan laboratorium klinik.

Apotek Kimia Farma 27 melayani pasien selama 24 jam. Apotek Kimia Farma 27 juga melayani penjualan resep tunai dan penjualan kredit. Selain itu Apotek Kimia Farma 27 juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti tempat


(34)

parkir yang luas dengan adanya pos satpam, ATM dan ruang tunggu yang nyaman.

4.2 Hasil Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek

Data pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut ini adalah tabel biaya tetap yang merupakan hasil analisis dokumen terhadap biaya operasional apotek.

4.2.1 Data Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek

Data penelitian pada apotek Farma Nusantara dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan data penelitian pada apotek Kimia Farma 27 dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.1. Biaya Tetap Apotek Farma Nusantara Selama 8 Bulan No. Biaya Tetap Jumlah/8 Bulan (Rp)

1 Gaji 25.550.000

2 Listrik 573.420

3 Telepon 959.000

4 Air 387.450

5 Transportasi 517.500

6 Embalage 434.600

7 Kontrak rumah 20.000.000

8 Retribusi+Reklame 533.000

9 10% Penyusutan 64 juta 6.444.006

10 Biaya tetap lainnya 1.049.750

Jumlah 56.448.726

Biaya tetap per hari 271.388

Biaya tetap (dalam bahasa Inggris disebut fixed cost) adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode kerja adalah tetap jumlahnya dan tidak mengalami perubahan (Sigit, 1990). Data pada Tabel 4.1 adalah data biaya operasional pada Apotek Farma Nusantara yang diperoleh selama 8 bulan dimulai dari apotek buka pada bulan Mei sampai Desember 2009. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa biaya tetap yang harus dikeluarkan Apotek Farma Nusantara per hari adalah Rp


(35)

271.388,-. Dan pada apotek Kimia Farma 27, biaya tetap yang harus dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Biaya Tetap Apotek Kimia Farma 27 Per Tahun

No. Biaya Tetap Jumlah/Tahun (Rp)

1 Gaji + Bonus + Transport 955.000.000

2 Listrik + Telepon + Air 73.000.000

3 Embalage + ATK 34.000.000

4 Retribusi + reklame 13.000.000

5 Perawatan 37.000.000

6 Biaya tetap lainnya 110.000.000

Jumlah 1.222.000.000

Biaya tetap per hari 3.347.945

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa biaya tetap yang harus dikeluarkan Apotek Kimia Farma 27 per hari adalah Rp 3.347.945.

4.2.2 Data Analisis Impas Terhadap Biaya Operasional Apotek

Dari biaya tetap apotek per hari yang diperoleh dari Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27, selanjutnya dilakukan analsis impas dengan berbagai asumsi nilai indeks penjualan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Analisis Impas dengan Berbagai Asumsi Nilai Indeks pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27

Apotek Farma Nusantara Apotek Kimia Farma 27 Indeks Titik Impas (Rp) Indeks Titik Impas (Rp)

1,05 5.701.429 1,05 70.334.979

1,1 2.982.286 1,1 36.790.604

1,15 2.079.601 1,15 25.654.751

1,2 1.628.002 1,2 20.083.653

1,25 1.356.940 1,25 16.739.725


(36)

Dengan berkembangnya dunia usaha dewasa ini, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan di sektor industri, maka persaingan antar perusahaan khususnya yang sejenis semakin meningkat untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan dalam menghadapi persaingan yang ketat tersebut diperlukan penanganan dan pengelolaan yang baik (Anonima, 2008).

Penanganan dan pengelolaan yang baik tersebut hanya dapat dilakukan oleh manajemen yang baik pula. Manajemen memerlukan suatu pedoman berupa perencanaan yang berisikan langkah-langkah yang akan dan harus ditempuh perusahaan dalam mencapai tujuan perencanaan, dapat pula berupa alat ukur dan evaluasi atas hasil sesungguhnya (Anonima, 2008).

Salah satu perencanaan yang dibuat manajemen adalah perencanaan mendapatkan laba. Mendapatkan laba merupakan tujuan utama dari perusahaan karena laba merupakan selisih antara pendapatan yang diterima (dari hasil penjualan) dengan biaya yang dikeluarkan, maka perencanaan laba dipengaruhi oleh perencanaan penjualan dan perencanaan biaya. Perencanaan laba berisikan langkah-langkah yang akan ditempuh perusahaan untuk mencapai besarnya target laba yang diinginkan. Agar perencanaan laba dapat dilakukan secara memadai maka diperlukan alat bantu berupa analisisa titik impas (Anonima, 2008).

Titik impas dapat diartikan sebagai suatu keadaan impas atau titik dimana volume penjualan tidak rugi dan tidak untung. Analisa titik impas atau analisis pulang pokok atau analisis Break Even Point (BEP) adalah suatu cara atau teknik yang digunakan oleh seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada omset berapakah perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh laba (Sigit, 1990).


(37)

Pengelola apotek sering sekali dihadapkan pada keputusan yang melibatkan prediksi efek-efek perubahan dalam biaya, harga atau pendapatan atas laba apotek. Apotek dikatakan impas apabila di dalam laporan perhitungan laba-ruginya pada periode waktu tertentu tidak memperoleh laba dan juga tidak menderita kerugian (Seto, 2001)

Berdasarkan Tabel 4.3 titik impas pada Apotek Farma Nusantara akan dicapai apabila omset berturut-turut sebagai berikut: Rp 5.701.429,- per hari pada indeks penjualan 1,05; Rp 2.982.286,- per hari pada indeks penjualan 1,1; Rp 2.079.601,- per hari pada indeks penjualan 1,15; Rp 1.628.002,- per hari pada indeks penjualan 1,2; Rp 1.356.940,- per hari pada indeks penjualan 1,25 dan Rp 1.175.858,- per hari pada indeks penjualan 1,3.

Sedangkan titik impas pada Apotek Kimia Farma 27 dapat mencapai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Apotek Farma Nusantara. Hal ini dikarenakan jam buka Apotek Farma Nusantara ±12 jam dan berjalan selama 312 hari/tahun seperti jam buka apotek pada umumnya, namun Apotek Kimia Farma adalah apotek yang beroperasi selama 24 jam dan berjalan selama 365 hari/tahun, sehingga biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh Apotek Kimia Farma 27 lebih besar daripada biaya operasional yang harus dikeluarkan Apotek Farma Nusantara.

Adapun titik impas yang harus dicapai yaitu dengan omset berturut-turut sebagai berikut: Rp 70.334.979,- per hari pada indeks penjualan 1,05; Rp 36.790.604,- per hari pada indeks penjualan 1,1; Rp 25.654.751,- per hari pada indeks penjualan 1,15; Rp 20.083.653,- per hari pada indeks penjualan 1,2; Rp


(38)

16.739.725,- per hari pada indeks penjualan 1,25 dan Rp 14.505.827,- per hari pada indeks penjualan 1,3.

Berikut ini ditampilkan titik impas dengan variasi nilai indeks pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27 dalam bentuk grafik line.

-1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00

1,05 1,1 1,15 1,2 1,25 1,3

Inde ks T it ik I m pa s (R p)

Gambar 4.1. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks Vs Titik Impas pada Apotek Farma Nusantara

0 10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 50,000,000 60,000,000 70,000,000 80,000,000

1,05 1,1 1,15 1,2 1,25 1,3

indek s ti ti k i m p as( R p )

Gambar 4.2. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks Vs Titik Impas pada Apotek Kimia Farma 27

Penetapan harga dan indeks penjualan merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk dapat mengetahui titik impas pada suatu perusahaan. Berdasarkan Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 diperoleh gambaran bahwa apabila apotek menggunakan indeks penjualan 1,05 sangat tidak mungkin dan sangat sulit untuk dapat mencapai titik impas karena omset yang harus dihasilkan per hari


(39)

sangat besar. Apabila indeks penjualan ini tetap digunakan maka tidak realistis karena mengingat bahwa jam kerja dan tenaga teknis yang terbatas yang tidak lagi mampu menangani pekerjaan yang ada.

Apabila apotek menggunakan indeks penjualan 1,1; titik impas mungkin dapat tercapai lebih cepat bila dibandingkan dengan menggunakan indeks penjualan 1,05; namun penggunaan indeks penjualan ini dianggap belum ideal bila di bandingkan dengan penggunaan indeks 1,15 yang kemungkinan titik impas dapat tercapai dengan omset yang relatif dapat diperoleh pada jam kerja apotek umumnya dan tenaga teknis yang minimal.

Untuk dapat melalui titik impas selain melalui penjualan tunai langsung, Apotek Farma Nusantara juga melayani pembelian kredit dengan instalasi kesehatan lainnya. Sedangkan untuk menutupi biaya tetap yang relatif besar pada Apotek Kimia Farma 27, Apotek Kimia Farma 27 melakukan usaha-usaha sebagai berikut: melayani penjualan langsung dan melayani resep dokter dan menyediakan pelayanan lain, misalnya praktek dokter, optik dan pelayanan OTC (swalayan) serta pusat pelayanan informasi obat. Apotek Kimia Farma dipimpin oleh tenaga apoteker yang bekerja full timer sehingga dapat melayani informasi obat dengan baik (Anonimb, 2009).

4.3 Hasil Survei Terhadap Peserta Seminar Pharmacy Update

Data berikut ini adalah data yang diperoleh dari peserta pharmacy update yang bersedia mengisi pertanyaan tentang distribusi apotek berdasarkan omset rata-rata per hari dan distribusi imbalan yang diterima apoteker dari apotek dengan jumlah sampel 56 dan distribusi imbalan yang diharapkan sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009 serta kemungkinan imbalan yang diharapkan


(40)

dapat terpenuhi dengan jumlah sampel 78. Jumlah sampel ini sudah cukup memenuhi jumlah sampel minimum. Hal ini sesuai menurut Singarimbun, M dan Effendi, S (1985) yang menyatakan “Beberapa Peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak kurang dari 10% dan peneliti lainnya menyatakan besarnya sampel minimum 5% dari jumlah populasi dengan pertimbangan bahwa populasi tersebut dianggap sama atau homogen.

4.3.1 Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari Tabel 4.4. Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari

No Omset Jumlah

(n =56)

Persen (%)

1 < Rp. 1.000.000,00 4 7,143

2 > Rp. 1.000.000,00 - Rp.2.000.000,00 16 28,571 3 > Rp. 2.000.000,00-Rp. 3.000.000,00 16 28,571 4 > Rp. 3.000.000,00-Rp. 4.000.000,00 6 10,715

5 > Rp. 4.000.000,00 14 25

Jumlah 56 100

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui omset rata-rata apotek perhari. Omset apotek kurang dari 1 juta adalah kelompok omset yang paling sedikit dengan persentase 7,143%, kelompok omset yang paling sedikit ini adalah kemungkinan kelompok apotek yang baru berjalan dan adanya kemungkinan apotek tersebut berada pada daerah yang kurang strategis. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh keuntungan adalah dengan mempertimbangkan daerah atau place tempat produk yang akan dipasarkan. Dengan menimbang dan menganalisis tempat pemasaran, maka akan sangat membantu untuk menentukan strategi apa yang dipakai dalam proses pendistribusian (Endi, 2009).

Omset antara 1 juta sampai 3 juta adalah kelompok omset terbanyak yang diperoleh apotek per hari dengan persentase 28,571%. Omset apotek antara 1 juta


(41)

sampai 3 juta adalah omset yang dapat dicapai apotek yang pada umumnya dikelola secara konvensional (standing alone) di kota Medan (Wiryanto, 2005).

Sedangkan apotek yang memperoleh omset antara 3 juta sampai lebih besar dari 4 juta per hari adalah apotek yang kemungkinan tidak hanya melayani penjualan langsung seperti melayani resep dokter dan penjualan obat bebas lainnya tetapi juga menyediakan pelayanan lainnya seperti praktek dokter, optik dan pelayanan OTC /swalayan (Anonimb, 2009).

Berikut ini ditampilkan distribusi apotek berdasarkan omset rata-rata per hari dalam bentuk grafik batang.

0 5 10 15 20 25 30

1,0 >1,0-2,0 >2,0-3,0 >3,0-4,0 >4,0

Omset (juta)

P

ers

en

(%

)

Gambar 4.3. Grafik Distribusi Apotek Berdasarkan Omset Rata-rata Per Hari Pada grafik di atas menunjukkan bahwa secara umum omset rata-rata apotek per hari 1 juta sampai 3 juta adalah kelompok omset dengan persentase tertinggi yaitu 28,571% bila dibandingkan dengan apotek yang memperoleh omset antara 3 juta sampai 4 juta dengan persentase 10,715%. Pada umumnya apotek mengalami kesulitan untuk dapat meningkatkan omset, kemungkinan kesulitan tersebut disebabkan oleh jumlah apotek yang terus bertambah, adanya persaingan yang tidak sehat antara sesama apotek (indeks penjualan <10%), jumlah item obat yang semakin banyak dan semakin sedikitnya jumlah resep yang masuk (±10


(42)

4.3.2 Distribusi Imbalan yang Diterima Apoteker dari Apotek

Distribusi Imbalan yang diterima apoteker dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut ini.

Tabel 4.5. Distribusi Imbalan yang Diterima Apoteker dari Apotek

No Imbalan Jumlah

(n = 56)

Persen (%)

1 < Rp. 1.000.000,00 2 3,571

2 > Rp. 1.000.000,00 - Rp.2.000.000,00 41 73,214 3 > Rp. 2.000.000,00 - Rp. 3.000.000,00 8 14,286

4 > Rp. 3.000.000,00 5 8,929

Jumlah 56 100

Berikut ini ditampilkan pula distribusi imbalan yang diterima apoteker dari apotek dalam bentuk grafik batang.

0 20 40 60 80

1,0 >1,0-2,0 >2,0-3,0 >3,0

Imbalan Yang Diterima (juta)

P

ersen

(%

)

Gambar 4.4. Grafik Distribusi Imbalan yang Diterima Apoteker dari Apotek Berdasarkan Tabel 4.5 dan Gambar 4.4 dapat diketahui imbalan yang diterima apoteker dari apotek yaitu antara lain imbalan antara 1 juta sampai 2 juta adalah kelompok imbalan terbanyak yang diberikan kepada apoteker dengan persentase 73,214% dan 14,286% imbalan yang diberikan apotek sebesar 2 juta sampai 3 juta, kemudian 8,929% imbalan yang diberikan apotek lebih besar dari 3 juta. Pemberian imbalan lebih sedikit dari 1 juta adalah persentase pemberian


(43)

Walaupun merupakan persentase pemberian imbalan yang terendah pemberian imbalan kurang dari 1 juta adalah suatu pemberian yang dianggap kurang pantas untuk sebuah jasa profesi apoteker karena suatu pemberian imbalan yang pantas pada apoteker adalah kunci untuk menjamin mereka melaksanakan praktek pekerjaan kefarmasian yang baik / good pharmacy practice (Daris, 2007). Hal ini mengacu pada kesepakatan bersama antara PD ISFI Sumut dan Gabungan Perusahaan Farmasi Sumut tahun 1993 yaitu minimum imbalan bulanan bagi Apoteker adalah 2,5 kali Upah Minimun Regional (UMR) sebesar Rp. 2.262.500,. 4.3.3 Distribusi Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan Penerapan

PP 51 Tahun 2009

Distribusi Imbalan yang diharapkan sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6. Distribusi Imbalan yang Diharapkan Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009

No Imbalan Jumlah (n = 78)

Persen (%) 1 Rp. 2.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 12 15,385 2 > Rp. 3.000.000,00 - Rp.4.000.000,00 17 21,795 3 > Rp. 4.000.000,00 - Rp. 5.000.000,00 24 30,769

4 > Rp. 5.000.000,00 25 32,051

Jumlah 78 100

Berkaitan dengan imbalan bagi APA, sejak tahun 1993 BPD ISFI Sumut telah mengadakan kesepakatan dengan Pengda GP Farmasi Sumut, untuk membuat suatu Pedoman Perjanjian Kerja Sama antara APA dan PSA. Dalam pedoman tersebut antara lain ditetapkan besarnya Imbalan Minimal bagi APA yang terdiri dari 4 komponen: Imbalan Bulanan sebesar 2½ kali UMP (Upah Minimum Provinsi), Imbalan Harian, Imbalan Tahunan berupa THR/TTB sebesar


(44)

1½ kali Imbalan Bulanan dan Imbalan Tahunan berupa bonus atas keuntungan sebesar 2 kali Imbalan Bulanan.

Ketentuan Imbalan Minimal ini dapat terpenuhi dengan baik pada awal ditetapkan, namun dari tahun ke tahun terjadi penurunan kemampuan bayar mayoritas apotek sehingga ketentuan imbalan minimal tersebut tidak dapat lagi terpenuhi. Pada kenyataan yang seperti itu akan sangat sulit untuk dapat mencapai imbalan yang diharapkan.

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa imbalan yang diharapkan oleh seorang apoteker sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009 adalah lebih besar dari 5 juta yang merupakan kelompok imbalan dengan persentase tertinggi yaitu 32,051%, imbalan yang diharapkan antara 4 juta sampai 5 juta mencapai persentase 30%, kemudian imbalan yang diharapkan antara 3 juta sampai 4 juta mencapai persentase 30,769% dan imbalan yang diharapkan antara 2 juta sampai 3 juta hanya mencapai persentase 21,795%. Persentase mungkin atau tidak mungkin imbalan yang diharapkan sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009 dapat terpenuhi dapat dilihat pada Tabel 4.7 di bawah ini.

Tabel 4.7. Distribusi Kemungkinan Harapan Imbalan dapat Terpenuhi No Kemungkinan Harapan imbalan dapat

terpenuhi

Jumlah (n = 78)

Persen (%)

1 Mungkin 65 83,333

2 Tidak mungkin 13 16,667

Jumlah 78 100

Dari tabel di atas persentase adanya kemungkinan untuk mendapatkan imbalan ideal dapat terpenuhi merupakan persentase tertinggi yaitu 83,333%


(45)

apabila dibandingkan dengan persentase tidak mungkin yang hanya mencapai 16,667%. Ini menunjukkan bahwa adanya optimisme harapan yang besar untuk mendapatkan imbalan yang pantas dari sebuah profesi apoteker mengingat tanggung jawab yang besar yang harus diemban oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab dalam pelayanan kefarmasian baik Apotek, PBF, Instalasi Farmasi RS, Klinik maupun Puskesmas, dan peran sertanya dalam pembangunan kesehatan di tingkat Kabupaten maupun Propinsi.

4.3.4 Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima dan Imbalan yang Diharapkan Apoteker Sehubungan dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009

Data pada Tabel 4.8 berikut ini adalah asumsi data biaya tetap per hari yang harus dikeluarkan apotek yang beroperasi selama ±12 jam dengan menggunakan data biaya tetap selain gaji di Apotek Farma Nusantara sedangkan data gaji diperoleh berdasarkan imbalan rata-rata yang diterima apoteker(pada kolom biaya tetap berdasarkan imbalan) dan imbalan yang diharapkan (pada kolom biaya tetap berdasarkan imbalan yang diharapkan).


(46)

Tabel 4.8. Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima Apoteker dan Imbalan yang Diharapan Sehubungan Dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009

No Biaya Tetap Biaya Tetap Berdasarkan Imbalan yang

Diterima

Biaya Tetap Berdasarkan Imbalan

yang Diharapkan Jumlah/ Tahun (Rp) Jumlah/Tahun (Rp)

1 Gaji 64.860.000 166.860.000

2 Listrik 860.136 860.136

3 Telepon 1.438.500 1.438.500

4 Air 581.172 581.172

5 Transportasi 776.256 776.256

6 Embalage 651.900 651.900

7 Kontrak rumah 20.000.000 20.000.000

8 Retribusi+Reklame 595.500 595.500

9 10% Penyusutan

64 juta 6.444.006 6.444.006

10 Biaya tetap lainnya 1.574.628 1.574.628

Jumlah 97.782.098 199.782.098

Biaya tetap per hari 313.404 640.327

Dari tabel di atas terlihat bahwa pada umumnya biaya tetap apotek per hari berdasarkan pemberian imbalan 1,5 juta apotek per hari adalah Rp 371.096.-. Sedangkan biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek setelah penerapan PP 51 tahun 2009 dengan harapan imbalan sebesar 5 juta adalah Rp 640.327,-.

Dari tabel di atas diketahui bahwa pada umumnya apotek harus mengeluarkan biaya tetap 2x lebih besar bila dibandingkan biaya tetap dengan harapan imbalan setelah penerapan PP 51 tahun 2009. Hal ini menuntut adanya usaha yang lebih keras untuk mendapatkan omset yang lebih besar guna pencapaian titik impas apotek. Usaha-usaha yang dapat dilakukan apotek untuk dapat mencapai titik impas selain melalui penjualan tunai berupa resep dokter dan penjualan obat bebas adalah menambah jam buka apotek, melengkapi persediaan


(47)

obat, meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian untuk memaksimalkan tingkat kepuasan pasien.

Selanjutnya dilakukan analsa titik impas dengan berbagai nilai indeks penjualan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut ini.

Tabel 4.9. Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima dan Imbalan yang Diharapan Sehubungan Dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009 dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek.

Analisis Impas Pada Biaya Tetap Berdasarkan Imbalan

Analisis Impas Pada Biaya Tetap Berdasarkan Imbalan yang Diharapkan Indeks Titik Impas (Rp) Indeks Titik Impas (Rp)

1,05 6.584.117 1,05 13.452.248

1,1 3.444.000 1,1 7.036.560

1,15 2.401.563 1,15 4.906.720

1,2 1.880.048 1,2 3.841.194

1,25 1.567.020 1,25 3.201.635

1,3 1.357.903 1,3 2.774.380

Berdasarkan Tabel 4.9 titik impas apotek berdasarkan imbalan yang diterima akan dicapai apabila omset berturut-turut sebagai berikut: Rp 6.584.117,- per hari pada indeks penjualan 1,05; Rp 3.444.000,- per hari pada indeks penjualan 1,1; Rp 2.401.563,- per hari pada indeks penjualan 1,15; Rp 1.880.048,- per hari pada indeks penjualan 1,2; Rp 1.567.020,- per hari pada indeks penjualan 1,25 dan Rp 1.357.903,- per hari pada indeks penjualan 1,3.

Titik impas yang harus dicapai akan lebih besar apabila digunakan biaya tetap berdasarkan imbalan yang diharapkan sehubungan penerapan PP 51 tahun 2009 walaupun biaya tetap diluar gaji dianggap sama untuk sebagian besar apotek pada umumnya.

Apabila suatu perusahaan harus mengeluarkan biaya-biaya yang cukup besar sehingga mempengaruhi biaya tetap yang harus di keluarkan, maka sebagai


(48)

akibatnya omset yang harus dicapai untuk dapat mencapai titik impas menurut analisa titik impas akan semakin bertambah besar juga (Syamsuddin, 2007).

Berikut ini ditampilkan analisis titik impas dengan variasi nilai indeks berdasarkan imbalan yang diterima dan imbalan yang diharapkan sehubungan penerapan PP 51 tahun 2009 dalam bentuk grafik line.

-2,000,000.00 4,000,000.00 6,000,000.00 8,000,000.00 10,000,000.00 12,000,000.00 14,000,000.00 16,000,000.00

1,05 1,1 1,15 1,2 1,25 1,3

Indeks Penjualan

T

it

ik I

m

pas

(

R

p

) Imbalan

Yang Diterima

Imbalan Yang Diharapkan

Gambar 4.5. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks Vs Titik Impas Berdasarkan Imbalan yang Diterima dan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan Penerapan PP 51 Tahun 2009

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat diketahui bahwa titik impas berdasarkan imbalan yang diterima dan imbalan yang diharapkan dengan menggunakan indeks 1,05 akan sangat sulit untuk dicapai karena diperlukannya omset yang terlalu besar yaitu sebesar Rp 6.584.117,- dan Rp 13.452.248,- per hari.

Apabila menggunakan indeks 1,1 kemungkinan titik impas dapat tercapai bisa lebih cepat bila dibandingkan dengan penggunaan indeks 1,05 yaitu dengan omset sebesar Rp 3.444.000 ,- dan Rp 7.036.560,- per hari, namun pada indeks 1,1 ini masih dianggap sulit untuk bisa mencapai titik impas karena dengan bertambahnya jumlah apotek saat ini mengakibatkan distribusi pasien yang datang ke apotek akan menurun, selain itu adanya persaingan yang tidak sehat antara


(49)

dan semakin sedikitnya jumlah resep yang masuk (±10 lembar/hari) sehingga omset juga akan menurun (Wiryanto, 2005).

Penggunaan indeks penjualan minimal 1,15 pada analisis titik impas biaya tetap yang berdasarkan imbalan yang diterima dianggap sebagai indeks minimum yang ideal untuk dapat digunakan, karena dengan penggunaan indeks ini maka omset yang harus didapat apotek per hari untuk mencapai titik impas tidak terlalu besar dan pemberian imbalan yang sesuai standar dapat diterima apoteker.

Namun apabila penggunaan indeks ini dipakai sesuai imbalan yang diharapkan apoteker sehubungan dengan penerapan PP 51 tahun 2009 masih sangat sulit untuk dapat mencapai titik impas karena omset yang harus diperoleh apotek relatif besar yaitu sebesar Rp 4.906.720,- per hari. Untuk mendapatkan omset hampir 5 juta per hari akan sangat sulit bila melihat persaingan saat ini.


(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari data hasil penelitian diperoleh omset rata-rata apotek per hari adalah sebesar 1 - 3 juta, imbalan rata-rata yang diterima sebesar 1 - 2 juta dan titik impas yang harus dicapai dengan menggunakan asumsi nilai indeks penjualan 1,15 adalah sebesar Rp 2.401.563,- per hari. Penggunaan indeks penjualan 1,15 adalah penggunaan indeks yang dianggap ideal dan wajar karena selain titik impas dapat tercapai sesuai dengan omset rata-rata apotek per hari, imbalan minimum apoteker juga dapat terpenuhi.

Pada penerapan PP 51 tahun 2009, imbalan yang diharapkan apoteker adalah sebesar 4 - >5 juta, hal ini menuntut pencapaian titik impas dengan omset yang relatif besar yaitu Rp.4.906.720,- per hari dengan menggunakan asumsi nilai indeks 1,15. Pencapaian titik impas dengan omset tersebut masih sulit untuk diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan peluang penerapan PP 51 tahun 2009 ditinjau dari pencapaian titik impas sesuai imbalan yang di harapkan masih kecil. 5.2 Saran

 Disarankan agar persyaratan berdirinya apotek dapat di terapkan secara konsisten serta adanya pembinaan dan pengawasan kepada pemilik modal dan APA (Apoteker Pengelola Apotek)

 Disarankan kepada organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) agar adanya penetapan indeks penjualan yang sewajarnya di apotek


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2009).Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 74

Anief, M. (1995). Manajemen Farmasi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 78-87

Anonima, (2008). Peranan Analisis Break Even Sebagai Alat Bantu Bagi Manajemen Dalam Menunjang Efektifitas Laba Perusahaan (Studi Kasus

pada PT MBT Utama). Jurnal Skripsi Akuntansi. Tanggal Akses: 01

Nopember 2010. http://www.bankskripsi.com/peranan-analisis-break- even-sebagai-alat-bantu-bagi-manajemen-dalam-menunjang-efektivitas-laba-perusahaan-studi.

Anonimb, (2009). PT. Kimia farma (Persero) Tbk. Tanggal Akses: 05 Juni 2010. http://www.kimiafarma.co.id

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Cetakan ke

Tiga Belas. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 111

Bahfen, F. (2006). Aspek Legal Layanan Farmasi Komunitas Konsep Pharmaceutical Care. Majalah Medisinal. 1(1):20

Daris, A. (2007). Perkembangan Praktik Kefarmasian. Majalah Medisinal. 3 (1): 11-17

Dhanutirto, H. (2007). Apotik Masa kini dan Masa Depan. Majalah Medisinal. 3 (1): 3-6

Endi, (2009). Manajemen Pemasaran. Tanggal Akses: 01 Nopember 2009. http://www.go-kerja.com

Menteri Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Pemerintah RI. (2009). PP 51 Tahun 2009 [On-Line]. Tanggal Akses: 19 Maret 2010. http://www.skpd.batamkota.go.id

Riduwan, (2009). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Cetakan Keenam. Bandung: Alfabeta. Hal. 25-26

Seto, S. (2001). Manajemen Apoteker. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 59

Seto, S & Yunita, N. (2002). Dasar-dasar Akuntansi Untuk Apotek. Edisi Kedua. Surabaya: airlangga University Press. Hal. 12-13


(52)

Seto, S., Yunita, N.& Lily, T. (2004). Manajemen Farmasi. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University. Hal. 25

Sigit, S. (1990). Analisa Break Even. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE. Hal. 1-15

Syamsuddin, L. (2007). Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi Kesembilan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 106-107.

Umar, M. (2005). Manajemen Apotek Praktis. Solo: CV Ar-Rahman, Hal.29-30. Wiryanto, (2005). Analisis Impas: Peluang Penerapan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotik. Media Farmasi, An Indonesian Pharmaceutical


(53)

Lampiran 1. Perhitungan Analisis Impas Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan pada Apotek Farma Nusantara

 Indeks 1,05 = .5.701.429 05 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  

 Indeks 1,1 = .2.982.286 1 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  

 Indeks 1,15 = .2.079.601 15 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = .1.628.002 2 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = .1.356.940 25 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = .1.175.858 3 , 1 1 1 388 . 271 . Rp Rp  


(54)

Lampiran 2. Perhitungan Analisis Impas Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan pada Apotek Kimia Farma 27

 Indeks 1,05 = .70.334.979 05 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,1 = .36.790.604 1 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,15 = .25.654.751 15 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = .20.083.653 2 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = .16.739.725 25 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = .14.505.827 3 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  


(55)

Lampiran 3. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima Apoteker Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek.

 Indeks 1,05 = .

05 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp   6.584.117 

 Indeks 1,1 = RpRp  1 , 1 1 1 404 . 313 . 3.444.000

 Indeks 1,15 = 2.401.563

15 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = 1.880.048

2 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = 1.567.020

25 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = 1.357.903

3 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  


(56)

Lampiran 4. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan Dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009 Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek.

 Indeks 1,05 = .13.452.248 05 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,1 = .7.036.560 1 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,15 = .4.906.720 15 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = .3.841.194 2 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = .3.201.635 25 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = .2.774.380 3 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  


(57)

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian

KUISIONER

Untuk menata profesi apoteker ke depan, mohon kiranya kuisioner dibawah ini dapat di isi.

1. Pernahkah anda membaca PP 51 tahun 2009? a.Pernah b. Belum pernah Bila pernah, apa komentar

anda?... ……… ……… 2. Berapakah omset rata-rata apotek anda per hari?

a.< Rp. 1.000.000

b.> Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000 c.> Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 d.> Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000 e.> Rp. 4.000.000

3. Berapakah imbalan yang anda terima dari apotek tempat anda bekerja? a.< Rp. 1.000.000

b.> Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000 c.> Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 d.> Rp. 3.000.000

4. Berapakah imbalan ideal yang anda inginkan sehubungan dengan penerapan penerapan PP51/2009?

a.Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 b.> Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000 c.> Rp. 4.000.000 - Rp. 5.000.000 d.> Rp. 5.000.000

5. Apakah menurut anda imbalan ideal tersebut mungkin terpenuhi? a. Mungkin

b. Tidak mungkin


(58)

……… 6. Seandainya apotek anda tidak dapat memenuhi imbalan ideal yang anda

harapkan, apa saran anda?... ………

……… ……… 7. Apa yang anda harapkan dari Organisasi Profesi Ikatan Apoteker

Indonesia?

... ... ... ... 8. Darimanakah anda mengetahui informasi tentang seminar ini?

... ... ...


(59)

Lampiran 6. Data Biaya Tetap Per Tahun pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27

No. Biaya Tetap Jumlah / Tahun

1 Gaji 2 Listrik 3 Telepon 4 Air 5 Transportasi 6 Embalage 7 Kontrak rumah 8 Retribusi+Reklame 9 10% Penyusutan 64 juta 10 Biaya tetap lainnya Jumlah


(1)

Lampiran 2. Perhitungan Analisis Impas Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan pada Apotek Kimia Farma 27

 Indeks 1,05 = .70.334.979 05 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,1 = .36.790.604 1 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,15 = .25.654.751 15 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = .20.083.653 2 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = .16.739.725 25 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = .14.505.827 3 , 1 1 1 945 . 347 . 3 . Rp Rp  


(2)

Lampiran 3. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diterima Apoteker Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek.

 Indeks 1,05 = .

05 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp   6.584.117 

 Indeks 1,1 = RpRp

 1 , 1 1 1 404 . 313 . 3.444.000

 Indeks 1,15 = 2.401.563

15 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = 1.880.048

2 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = 1.567.020

25 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = 1.357.903

3 , 1 1 1 404 . 313 . Rp Rp  


(3)

Lampiran 4. Perhitungan Analisis Impas Menggunakan Data Biaya Tetap Apotek Per Hari Berdasarkan Imbalan yang Diharapkan Sehubungan Dengan Penerapan PP 51 Tahun 2009 Dengan Berbagai Nilai Indeks Penjualan di Apotek.

 Indeks 1,05 = .13.452.248 05 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,1 = .7.036.560 1 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,15 = .4.906.720 15 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,2 = .3.841.194 2 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,25 = .3.201.635 25 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  

 Indeks 1,3 = .2.774.380 3 , 1 1 1 327 . 640 . Rp Rp  


(4)

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian

KUISIONER

Untuk menata profesi apoteker ke depan, mohon kiranya kuisioner dibawah ini dapat di isi.

1. Pernahkah anda membaca PP 51 tahun 2009? a. Pernah b. Belum pernah Bila pernah, apa komentar

anda?... ……… ……… 2. Berapakah omset rata-rata apotek anda per hari?

a. < Rp. 1.000.000

b.> Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000 c. > Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 d.> Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000 e. > Rp. 4.000.000

3. Berapakah imbalan yang anda terima dari apotek tempat anda bekerja? a. < Rp. 1.000.000

b.> Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000 c. > Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 d.> Rp. 3.000.000

4. Berapakah imbalan ideal yang anda inginkan sehubungan dengan penerapan penerapan PP51/2009?

a. Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 b.> Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000 c. > Rp. 4.000.000 - Rp. 5.000.000 d.> Rp. 5.000.000

5. Apakah menurut anda imbalan ideal tersebut mungkin terpenuhi? a. Mungkin


(5)

……… 6. Seandainya apotek anda tidak dapat memenuhi imbalan ideal yang anda

harapkan, apa saran anda?... ………

……… ……… 7. Apa yang anda harapkan dari Organisasi Profesi Ikatan Apoteker

Indonesia?

... ... ... ... 8. Darimanakah anda mengetahui informasi tentang seminar ini?

... ... ...


(6)

Lampiran 6. Data Biaya Tetap Per Tahun pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27

No. Biaya Tetap Jumlah / Tahun

1 Gaji 2 Listrik 3 Telepon 4 Air 5 Transportasi 6 Embalage 7 Kontrak rumah 8 Retribusi+Reklame 9 10% Penyusutan 64 juta 10 Biaya tetap lainnya Jumlah