ANALISIS PENGARUH STRUKTUR MODAL LEVERAG

Hotman Tohir Pohan

([email protected])

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Trisakti

Abtract : This study intends to determine whether the capital structure, leverage, systematic risk (beta stocks), business risk (asset beta), income smoothing, and returns influence on sharia stock selection. The background of this research is based on a reasonable doubt investing in stocks sharia by Muslim investors, in addition to that there is no uniform standard for the ratio of debt to equity and debt to assets, the persistence of short selling transactions for stocks listed on the List of Islamic Securities, the measurement of β (systematic risk) remained controversial in its application by the Islamic capital market experts, and the earnings management. The research method applied for this study was descriptive causality, the sample stocks of this study is listed on the Indonesia Stock Exchange and is listed as in stock sharia Securities List, the unit of analysis is the companies that are listed on the list of Shariah Securities, sampling methods with stratified modified with purposive sampling, the amount of sample is calculated by the formula Slovin, methods of data analysis with logistic regression. The results of research wich produced logistic regression model to separate stocks with Islamic sharia by factors are the significant that is debt to asset (capital structure) negative effect on the election syariah stock, stock beta (systematic risk) the negative effect of Islamic stock selection, earning management whit code 1 positive influence on Islamic stock selection.

Key Word: Capital Structure, Leverage, Risk, Income Smoothing, Sharia Stocks

Abstrak : Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah struktur modal, leverage, resiko sistematik (beta saham), resiko usaha (beta aset), perata laba, dan imbal hasil berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah. Latar belakang penelitian ini didasari oleh adanya keraguan berinvestasi pada saham syariah oleh investor muslim, disamping hal tersebut belum ada keseragaman standard untuk rasio debt to equity dan debt to assets, masih adanya transaksi-transaksi short selling untuk saham-saham yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah, ukuran β (resiko sistematis) masih jadi perdebatan dalam penerapannya oleh ahli pasar modal Islam, dan adanya perata laba (manajemen laba). Metode penelitian yang diterapkan adalah deskriptis kausalitas dengan uji hipotesis, sample penelitian ini adalah saham-saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan terdaftar sebagai saham syariah di Daftar Efek Syariah, unit analisis adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada daftar efek Syariah, metode pengambilan sample dengan stratifikasi purposive sampling, jumlah sample dihitung dengan rumus Slovin, metode analisis data dengan regresi logistik. Hasil penelitian menghasilkan model regresi logistik untuk memisahkan saham syariah dengan bukan syariah dengan faktor-faktor pembeda yang signifikan adalah debt to asset (struktur modal) berpengaruh negatip terhadap pemilihan saham syariah, beta saham (resiko sistematik) berpengaruh negatip terhadap pemilihan saham syariah, perata laba berpengaruh positip terhadap pemilihan saham syariah.

Kata-kata Kunci: Struktur Modal, Leverage, Resiko, Perata Laba, Saham Syariah.

Pendahuluan : Di pasar modal Indonesia terdapat dua katagori pasar modal yaitu pasar modal konvensional dan pasar modal yang berdasarkan prinsip syariah, dimana pasar modal syariah berkembang demikian pesat mengikuti perkembangan pasar keuangan Islam yang lebih dulu berkembang, instrumen-instrumen pasar keuangan Islam termasuk didalammya instrumen-instrumen pasar modal, yaitu surat-surat berharga pasar modal, dengan demikian terdapat pula kategori surat berharga yang berdasarkan syariah dan yang tidak berdasarkan syariah. Surat berharga yang di perdagangkan di pasar modal Indonesia adalah Surat Saham dan Obligasi, berdasarkan pengkatagorian tersebut, maka terdapat saham-saham syariah dan Obligasi syariah (Sukuk). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama-sama dengan Dewan Syariah Nasional menentukan mana yang termasuk Saham dan Obligasi syariah mana yang tidak, saham-saham syariah akan menjadi Indeks Syariah yang disebut Jakarta Islamic Index,sekarang menjadi Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).

Proses untuk menjadi saham Syariah dan Sukuk harus melalui seleksi yang ketat dari Dewan Syariah Nasional, berdasarkan data-data kwantitatif dan data – data kwalitatif perusahaan yang mengajukan diri menjadi saham yang berdasarkan Syariah, Huda dan Nasution (2007), data-data kualitatip berupa pemeriksaan core business,pemeriksaan akad-akad, dokumen-dokumen hukum, sedangkan data-data kuantitatip berupa laporan keuangan perusahaan serta pengungkapannya, Rosly, (2010). Dan menseleksi kembali setiap satu semester untuk memastikan apakah saham tersebut masih termasuk sebagai saham syariah, dalam hal ini adalah kekonsistenan saham syariah di dalam anggota DES (Daftar Efek Syariah). Pada tahun 2011 salah satu kriteria Pemilihan dan seleksi saham-saham dan revaluasi kembali menetapkan perbandingan antara utang dan modal sendiri(debt to equity) adalah 82% (http://www.bapepam.go.id/syariah/pengenalan_produk_syariah.html), sedangkan menurut pasar modal di Amerika, suatu saham akan dikelurkan dari DJIM (Dow John Islamic market/New York Stock exchange) perbandingan antara utang dan modal sendiri adalah 33%, Huda dan Nasution (2007), sedangkan di Malaysia perbandingan antara utang dan aset adalah 33% (FTSE/Yasaar), dan perusahaan yang terdaftar di Kuala Lumpur Stock Exchange Shariah Index (KLSESI) sebanyak 44.07% mempunyai rasio gearing (debt to asset atau debt to equity) yang tinggi Rahman, et al., (2010), sedangkan di pasar modal Indonesia tidak jauh berbeda dengan Malaysia yaitu perusahaan yang terdaftar di ISSI mempunyai debt rasio yang tinggi juga,kenyataannya antara prinsip-prinsip syariah yang di jadikan acuan memang ada yang berbeda dengan yang di lapangan yaitu untuk perdagangan margin dan short selling belum ada kesamaan persepsi antara pelaku bursa dengan Dewan Syariah nasional, Team Kajian Fatwa-Bapepem-LK (2011), demikian juga di tingkat dunia berbeda antara satu negara dengan Negara lainnya ,hal ini terjadi karena tidak adanya sentralisasi Dewan Syariah di tingkat dunia muslim mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat yang justru akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidak pastian, Chapra dan Ahmed (2008), tidak ada keseragaman standard untuk rasio tersebut, padahal AAOIFI telah mengeluarkan Syariah Standar Nomer 21 tentang Financial paper (Share dan Bond) yang salah satu isi standarnya adalah diperbolehkannya utang dengan rasio terhadap asetnya setinggi-tinggi 30%, juga perbandingan antara pendapatan bunga dengan pendapatan total perusahaan tidak boleh lebih dari 5 %, juga terdapat ketidakkonsistenan pengungkapan antara Fatwa No. 40 dengan Fatwa No. 20 dari DSN-MUI khususnya terkait rasio utang, yaitu:Fatwa No. 40 menjelaskan secara kualitatif (tanpa menyebut besarnya rasio utang) yaitu hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;Fatwa No. 20 menjelaskan secara kuantitatif besarnya rasio utang terhadap modal harus tidak lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55%).Selain itu, juga terdapat ketidakkonsistenan penjelasan antara Fatwa No. 40 dan Fatwa No. 20 dengan Peraturan Nomor IX.A. 13. Dalam Peraturan Nomor IX.A. 13 diungkapkan dengan jelas bahwa hutang yang dihitung dalam rasio adalah hutang berbasis bunga, sedangkan dalam fatwa tidak dijelaskan apakah semua utang ataukah hanya utang yang bertentangan dengan prinsip syariah yaitu utang ribawi (hutang kepada lembaga keuangan ribawi). Team Kajian Fatwa-Bapepem-LK (2011,hal:56-57).

Selanjutnya mengenai resiko yang terkait dengan investasi di pasar modal, prinsip syariah mengakui dan membolehkan adanya manajemen resiko yaitu yang tercermin pada ayat al-Quran::

Dan Yaqub berkata: Hai,anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang,dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lainan;namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari takdir Allah.Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah,kepadanyalah aku bertawakkal dan hendaklah hanya kepada Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.”(Yusuf:67), dari ayat tercermin adanya prinsip diversifikasi untuk mengurangi atau menghindari resiko,dalam ayat diatas agar jangan diinterogasi atau ditangkap oleh tentera Mesir, sehubungan dengan resiko di pasar modal dari sudut pandang konvensional adalah resiko yang berasal dari dalam perusahaan yaitu resiko keuangan,resiko bisnis, resiko manajemen dan resiko naik turunnya harga saham di pasar sekunder yaitu resiko pasar, yang justru dimanfaatkan oleh spekulator untuk mendapat keuntungan, sedangkan tindakan atau kegiatan spekulasi dilarang dalam prinsip syariah, sedangkan dari sudut pandangan syariah resiko dalam berinvestasi adalah dibagi menjadi dua jenis yaitu satu resiko yang berasal dari ketidak sesuaian dengan syariah dalam berinvestasi terhadap saham perusahaaan seperti perusahaan yang mempunyai debt-equity rasio lebih dari 33%,dan pendapatan bunga dibanding total pendapatan melebihi 5%, Tim Kajian Fatwa, (2011), sedangkan yang kedua adalah kurangnya standar peraktek, peraturan dan akad-akad antara pasar keuangan Islam umumnya dan pasar modal khususnya dengan pembuat peraturan dengan demikian ketidaksesuaian dengan prinsip syariah dan kompromi terhadap hal-hal yang belum jelas merupakan resiko dalam investasi yang berprinsip syariah. Prinsip Syariah mengenai resiko tercantum jelas dalam pelarangan aktivitas yang mengandung taghrir (ketidak pastian) baik kualitas maupun kuantitas, Achsien, (2000). Pada umumnya ketidakpastian muncul karena adanya asimetric information,baik untuk si penjual maupun si pembeli ataupun salah satu diantara keduanya.Untuk mengukur resiko pasar dalam pasar modal konvensional di hitung dengan kovarian hasil pasar dengan hasil saham yang bersangkutan dibagi dengan varian hasil pasar, ukuran ini di sebut beta saham.Berbicara mengenai beta saham akan terkait langsung dengan Teori Capital Asset Pricing Model (CAPM) dari Willian Sharpe,dimana return suatu saham berbanding lurus dengan resiko pasarnya yaitu beta, dan risk free rate/return,risk free return ini tidak diterima dalam literature keuangan Islam,oleh karenanya CAPM tradisional tidak cocok untuk menilai sekuritas investasi yang sesuai syariah, Hanif, Javaid Dar (2011), dan juga ukuran beta ini tidak dapat memberi petunjuk mana yang gharar mana yang bukan, dimana gharar adalah “simply zero sum game with uncertain payoffs”, Achsien, (2000). Akan tetapi tidak semua ahli keuangan Islam menolak teori CAPM dan turunannya seperti menilai kinerja portfolio dengan menggunakan indeks Treynor, indek Sharpe dan Alpha Jensen, Achsien (2000), Huda dan Nasution (2007), dan ada yang membuat suatu revisi dan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu dengan mengganti risk free rate dengan rate sukuk ijarah, Obaidullah, (2006), Aruzzi dan Bandi (2003), dalam penelitian mereka terhadap saham-saham yang termasuk dalam JII periode 2001-2002, menunnjukkan beta saham yang diukur dengan model pasar menunjukkan angka 1,66, hal ini menunjukkan bahwa secara umum saham-saham perusahaan yang tergabung dalam JII termasuk saham yang agressif, yang cenderung sensitive terhadap perubahan return pasar pada periode tersebut. Berdasarkan fakta-fakta dan kesenjangan seperti yang disebutkan, maka penelitian ini mengajukan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh struktur modal terhadap pemilihan saham syariah ?. 2. Apakah terdapat pengaruh Leverage terhadap pemilihan saham syariah ? 3. Apakah terdapat pengaruh resiko sistematik (beta) terhadap pemilihan saham syariah ? 4. Apakah terdapat pengaruh resiko usaha terhadap pemilihan saham syariah ?. 5. Apakah terdapat pengaruh perata laba terhadap pemilihan saham syariah ?. 6. Apakah terdapat pengaruh imbal hasil (return terhadap saham syaraiah) ?

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui struktur Modal berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah; leverage berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah; resiko sistematik (beta) saham berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah; resiko usaha berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah; perata laba berpengaruh terhadap pemilihan saham syariah;imbal hasil (return terhadap saham syaraiah). Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menghilangkan keraguan atau ketidak jelasan antara instrumen-instrumen syariah dengan yang bukan syariah, sehingga para investor muslim dapat berinvestasi dengan tenang tanpa di ikuti perasaan sak wasangka telah melakukan perbuatan syubhat yang dianjurkan oleh Rasul SAW untuk ditinggalkan dan mendapat manfaat dan keuntungan dunia dan akhirat.

Bagi dunia akademik, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan untuk perkembangan ilmu keuangan syariah,khususnya pasar modal syariah di tanah air.

KAJIAN TEORI

Teori-Teori Struktur Modal Perusahaan. Perkembangan yang pesat mengenai teori dan penelitian mengenai struktur modal perusahaan yang modern dimulai sejak munculnya penelitian oleh Modigliani dan Miller (MM) (1958), dalam Manurung, (2011), yaitu bahwa pilihan pembelanjaan perusahaan antara utang dan modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan, penelitian mereka juga menyimpulkan bahwa debt equity rasio dan cost of debt menentukan cost of equity, Ahmed, (2007). MM mempunyai dua preposisi yaitu, preposisi I menyatakan bahwa sebuah perusahaan tidak dapat merubah nilai total saham perusahaannya yang beredar dengan merubah proporsi struktur modalnya, preposisi yang kedua menyatakan bahwa biaya modal (cost of equity) adalah fungsi linear dari rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio). Sejak saat tersebut bermunculan teori-teori mengenai struktur modal, yaitu Tradeoff Theory yang merupakan pengembangan atau preposisi II dari teori MM, dimana pada teori ini struktur modal dijelaskan dengan melihat sebagai aspek cost–benefit dari debt.Pembayaran bunga dapat dikurangkan dari keuntungan perusahaan sebagai biaya, tetapi deviden tidak dapat mengurangi sebagai biaya. Dengan menambah utang kepada struktur modal, suatu perusahaan dapat merendahkan taksiran utang pajak perseroannya dan meningkatkan arus kas masuk atau keuntungan, dalam penerapannya banyak perusahaan memilih untuk meningkatkan utang (high leverage ratio) untuk mendapatkan keuntungan pajak (tax shield). Akan tetapi banyak perusahaan menunjukkan rasio utang yang moderat, hal ini dapat diterangkan dengan mempertimbangkan sisi biaya dari utang. Menambah utang terhadap struktur modal meningkatkan kemungkinan kesulitan keuangan (financial distress) dan meningkatkan biaya-biaya peningkatan dana. Dengan demikian tradeoff theory mempertimbangkan keuntungan dan biaya penambahan utang terhadap struktur modal.Teori ini menyarankan bahwa optimal utang dalam struktur modal adalah titik dimana keuntungan pajak dari penambahan unit utang sama dengan pertambahan dalam taksiran biaya-biaya kesulitan keuangan, Ahmed (2007). Catatan bahwa trade off theory tidak membedakan antara modal dari laba ditahan atau pengeluaran saham.

Selanjutnya adalah teori struktur modal yang terkenal dengan nama“Signaling Theory”. Teori ini menjelaskan mengenai biaya informasi (information cost) yang dihasilkan oleh masalah-masalah informasi yang tidak lengkap (asymmetric information problems). Dalam teori ini manajer dianggap lebih memiliki informasi yang lebih baik tentang perusahaan dibandingkan pemegang saham, Ahmed (2007). Teori Sinyal mengatakan bahwa pemilihan utang dan modal untuk membiayai investasi memunculkan sinyal yang berbeda kepada para investor. Pertambahan utang memberikan suatu sinyal bahwa perusahaan mengharapkan suatu aliran kas yang tinggi dimasa yang akan datang dari jasa-jasa pengambilan utang tersebut dengan sendirinya pengambilan utang merupakan sinyal positip. Sinyal dari pengeluaran saham adalah berbeda yaitu menghasilkan sinyal yang yang negatif terhadap investor.Manajer tahu nilai yang sebenarnya dari saham dibandingkan dengan nilai pasar saham. Jika harga saham overvalue atau tinggi, kemudian saham tersebut menarik untuk mengeluarkan saham baru, sebagai transfer nilai dari investor baru kepada investor lama, jika sebaliknya, yaitu harga pasar saham undervalue (rendah), kemudian manajer akan memilih utang, bukan mengeluarkan saham, maka sinyal adalah positif.Mengeluarkan saham baru akan menurunkan nilai atau harga saham lama (dilution), penurunan harga saham ini adalah biaya informasi (information cost) dari peningkatan modal, Barclay dan Smith dalam Ahmed, (2007). Pasar mengambil sinyal negatif dari penilaian yang tinggi terhadap perusahaan (overvaluation of firm) dari pengeluaran saham baru, beberapa perusahaan yang baik dengan penilaian asset yang lebih rendah tidak mengeluarkan saham untuk menghindari biaya informasi dan malahan memilih utang. Teori yang ketiga adalah terkenal dengan nama “Pecking Order Theory” yang dikembangkan oleh Stewart Myers (1984), dalam Ahmed, (2007). Pecking Order Theory juga menggunakan konsep biaya informasi untuk mengurutkan garis besar pembelanjaan yang lebih utama dan penentuan struktur modal perusahaan. Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan lebih menyukai model pembelanjaan yang aman (dalam hal biaya) dan bergerak ketingkat berikutnya jika dana dari suatu model pembelanjaan tertentu telah melemah. Sesuai dengan teori tersebut perusahaan akan berpindah dari pembelanjaan dari dalam yang lebih disukai menuju pembelanjaan keluar sebagai yang lebih dahulu memiliki biaya informasi yang rendah. Dimulai dari laba ditahan, yang berikutnya diikuti dengan pinjaman atau utang dan akhirnya pembelanjaan dengan mengeluarkan saham. Dalam teori Pecking Orderasymmetric information” masih tetap sebagai penjelas bagaimana manajer memilih pembelanjaan yang lebih disukai. Dan yang terakhir adalah teori struktur modal yang bernama “Agency Cost” atau “Contracting or Organizational Theory of capital Structur”, Ahmed, (2007). Sehubungan dengan teori keagenan dari perusahaan yaitu seorang manajer adalah agen dan pemegang saham adalah pemilik perusahaan “principal”, antara manajer dan principal dan pihak-pihak yang terkait terdapat kontrak untuk perjanjian

Teori Struktur Modal Perusahaan Dalam Perspektif Islam. Dari teori keuangan konvensional, kita mengetahui bahwa struktur keuangan adalah komposisi sebelah kredit neraca, yaitu bagaimana dan dari sumber mana perusahaan didanai, pendanaan perusahaan bersumber dari utang (debt) dan kekayaan (equity) perusahaan atau modal sendiri, Ahmed, (2007), sedangkan sebelah debet neraca adalah sumber-sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan( assets), yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan.Utang digolongkan menjadi utang lancar dan utang jangka panjang, sedangkan modal sendiri, untuk perusahaan terdiri dari jumlah kekayaan pemegang saham (total shareholder equity) dan laba ditahan (retained earning).Struktur modal perusahaan berhubungan dengan masalah jangka panjang dalam penentuan rasio atau perbandingan debt dengan equity (debt/equity) dalam neraca, Ahmed, (2007). Suatu pembatasan diterapkan untuk penggunaan utang dalam operasi perusahaaan dibawah prinsip-prinsip Islam, suatu utang harus didukung oleh harta (asset backed), suatu perusahaan yang beroperasi dibawah prinsip-prinsip Islam tidak dapat memiliki utang melebihi harta yang berwujud. Secara persamaan adalah sebagai berikut: , yaitu utang harus lebih kecil dari harta berwujud, jika persamaan dibagi dengan total asset, maka akan didapat suatu persamaan baru yang menunjukkan rasio, yaitu , dimana Leverage rasio harus lebih kecil dari rasio tangible asset terhadap total asset.Implikasinya adalah suatu perusahaan dengan asset berwujud yang kecil atau kurang akan memiliki debt ratio yang rendah. Ini adalah prinsip struktur modal dalam operasi perusahaan dibawah prinsip-prinsip Islam.Teori modern Struktur Modal yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Islam adalah Teori Struktur Modal “Pecking Order Theory” (POT), Ahmed (2007), dimana tingkatan sumber-sumber pendanaan perusahaan dimulai dan lebih disukai yang berasal dari dalam perusahaan (internal financing) yaitu laba ditahan berangsur-berangsur menuju external financing yaitu utang jangka panjang.Sedangkan sumber-sumber pendanaan yang murni mengikuti prinsip-prinsip Islam adalah dibagi menjadi dua bagian besar yaitu, prinsip profit/loss-sharing dengan instrumen Musyarakah (partnership) dan Mudharabah, dan sale –base instrument yaitu, murabahah (cost-plus or mark-up sale), bai muajjal, salam, istisna, dan ijarah.

Resiko Sistematik. Secara teori, total resiko dari suatu investasi diukur dengan ukuran statistik varian (Var) atau standar deviasi ( ), Sharpe (1970), Elton, Gruber (1981), Francis (1991). Standard deviasi dan variance kedua-duanya diterima dan diakui sebagai konsep untuk mengukur total resiko asset, tapi standar deviasiatau varian yang digunakan untuk mengukur resiko financial asset.Total resiko dari suatu financial asset dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : resiko yang dapat dihilangkan atau dikurangi dengan diversifikasi pemilikan surat berharga (diversifiable risk), dan resiko yang tak dapat dihilangkan dengan diversifikasi surat berharga (undiversifiable risk). Pergerakan harga suatu saham di pasar modal yaitu naik atau turunnya harga saham mencerminkan dinamika pasar yang disebabkan oleh faktor-faktor fundamental dan tehnikal, fluktuasi atau volatilitas suatu saham juga menunjukkan adanya ketidak pastian atau resiko, hal ini adalah sifat pasar modal konvensional.Resiko tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu resiko yang tak dapat dihilangkan, terkenal dengan nama systematic risk dan resiko yang dapat dikurangi atau diperkecil yaitu unique risk.

Resiko yang dapat diversifikasi unik terhadap perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut, seperti masalah buruh dan PHK, kesalahan manajemen dalam mengurus perusahaan, penemuan-penemuan yang gagal, kampanye advertising, perubahan selera konsumen, dan masalah-masalah hukum dan peradilan yang menimpa perusahaan menyebabkan terjadinya penyimpanan yang tidak sistematik terhadap nilai pasar asset. Disamping hal tersebut resiko yang berasal dari perusahaan tersebut adalah resiko yang timbul dari kesulitan untuk membayar bunga dan atau pokoknya (financial risk) untuk perusahaan non syariah.Resiko yang tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasi adalah bagian dari jumlah variabiliti pendapatan yang disebabkan oleh faktor-faktor pasar, di mana pengaruhnya seragam terhadap semua harga saham, sifat sistematik perubahan harga saham-saham tersebut membuat mereka tidak dapat saling menghilangkan resiko tersebut, walaupun telah di kombinasikan diantara saham-saham tersebut, oleh karenanya resiko sistematik disebut juga resiko yang tidak dapat di diversifikasi.Perubahan-perubahan dalam perekonomian, politik, sosial dan lingkungan akan mempengaruhi pasar modal, dan itulah sumber dari resiko sistematik, Sharpe (1970), Elton, Gruber (1981), Francis (1991).

Untuk mengukur sensivitas suatu saham terhadap pasar digunakan resiko sistematik yang diukur dengan covarian return suatu saham dengan return pasar ( ) dibagi dengan varian pasar ( ), yang dilambangkan dengan .Beta menunjukkan indeks resiko sistematik karena menunjukkan hubungan antara perubahan suatu return saham dengan perubahan return pasar, beta koefisien dapat digunakan untuk meranking sistematik risk dari saham-saham yang berbeda.Pada penelitian Lau; Lee; McInish (1999), di pasar modal Singapura dan Malaysia terdapat hubungan positip antara beta saham dan pengembalian saham.

Apabila beta lebih besar dari satu betha > 1, maka saham tersebut akan berubah returnnya melebihi rata-rata perubahan return pasar dan saham-saham jenis ini disebut : aggresive asset atau stock. Apabila beta sama dengan satu : beta = 1, maka perubahan return saham-saham tersebut akan sebanding dengan rata-rata perubahan return pasar. Apabila beta lebih kecil dari satu : beta < 1, maka perubahan return saham tersebut akan lebih kecil dari perubahan rata-rata return pasar, saham seperti ini disebut : defensive. Apabila beta sama dengan nol, beta = 0, maka perubahan return saham tersebut berlawanan arah dengan perubahan rata-rata return pasar, saham seperti ini disebut :super defensive, Husnan, (1993).

Resiko Usaha. Manfaat lainnya yang diperoleh dari beta saham disamping pengukur resiko saham adalah untuk mencari beta asset atau beta perusahaan (firm beta), Horne (1992), yaitu beta yang lebih bermanfaat untuk penganggaran modal, beta yang di peroleh dari characteristic line adalah beta saham atau beta modal, rumus untuk mencari beta asset/firm adalah sebagai berikut :

Beta dari utang pada dasarnya hampir mendekati nol, Brealy dan Myers (1986), sangat mendekati, sehingga bagi perusahaan besar banyak analis keuangan hanya menganggap beta utang sama dengan 0, atau beta utang dapat di assumsikan sama dengan rasio utang terhadap modal, Weston dan Copeland (1986), maka akan dapat di hitung beta saham atau beta perusahaan. Beta asset suatu perusahaan mencerminkan resiko usaha (business risk), sedangkan perbedaan antara beta saham/modal dengan beta aktiva mencerminkan resiko keuangan (financial risk/leverage), lebih banyak hutang berarti lebih besar resiko keuangan, beta saham merupakan fungsi dari debt equity ratio (D/E). Makin besar rasio tersebut makin tinggi beta saham, Beta saham naik dengan kenaikan hutang, dan turun dengan penurunan hutang, artinya resiko keuangan bergantung kepada model pembelanjaan perusahaan (D/E), dengan assumsi pajak tidak berpengaruh, sedangkan resiko usaha tetap dengan kenaikan hutang, karena resiko usaha tergantung kepada faktor-faktor ekonomi, industri dan pasar (sistematik), Brealy dan Myers (1986).

Beta saham atau beta equity berhubungan erat dengan beta asset, beta asset dari suatu perusahaan mencerminkan resiko usaha (business risk), Horne (1992), untuk hal tersebut perlu dihitung beta asset atau resiko perusahaan sebagai pemdamping beta saham, perbedaan beta saham dengan beta asset mencerminkan resiko keuangan (financial risk), artinya lebih banyak utang berarti lebih besar resiko keuangannya, tanpa adanya utang beta modal akan sama dengan beta saham, Brealy dan Myers (1984), dengan demikian beta asset dapat di tetapkan sebagai indikator resiko/taghrir kedua antara saham syariah dengan saham non syariah. Beta saham dan beta Asset menjadi indikator atau pengukur resiko saham-saham yang mendeklarasikan sebagai saham syariah.

Perata Laba (Income Smoothing). Scott (2006), mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen :

  1. Taking a bath (big bath), mandi besar, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.

  2. Income minimization, mengecilkan laba, dilakukan saat perusahaan memperoleh keuntungan yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan diambil bisa berupa pembebanan biaya iklan, riset dan pengembangan dan sebagainya.

  3. Income maximization, yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian juga dengan perusahaan yang cenderung mendekati pelanggaran kontrak utang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk memaksimimkan laba.

  4. Income smoothing, perataan laba merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling popular. Melalui income smoothing manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi .

Untuk mengukur ada tidaknya suatu manajemen laba adalah dengan cara menerapkan indeks Eckels, yaitu suatu cara untuk mengetahui apakah suatu perusahaan melakukan pergeseran atau alokasi laba antar periode (income smoothing).

Dalam mendeteksi adanya suatu pergeseran pencatatan laba, maka dimulai dengan mencari rata-rata perubahan laba dan rata-rata perubahan penjualan serta standar deviasi masing-masing, kemudian dihitung koefisien variasi dari laba dan koefisien variasi penjualan, untuk hal tersebut diperlukan data laba dan penjualan untuk paling sedikit lima periode yang perubahannya dirata-ratakan (average) dan standar deviasinya, untuk menghitung indeks maka koefisien variasi perubahan laba pada suatu periode dibagi dengan koefisien variasi perubahan penjualan pada suatu periode yang sama, apabila hasilnya lebih besar dari satu maka diindikasikan tidak terjadi pergerseran laba, apabila hasil lebih kecil dari satu diindikasikan terjadi pergeseran laba, She Jin dan Machfoedz (1998). Dengan demikian perataan laba adalah indikator untuk mengukur apakah ada atau tidak manipulasi laba di dalam perusahaan yang mengeluarkan saham syariah dan saham konvensional.

Konsep Saham. Konsep saham dapat di dekati dari perpektif sejarah perekonomian, yaitu dimana mulai berkembangnya zaman Merkantilisme yaitu berkisar pada tahun 1500 sampai tahun 1750 dimana pada saat itu perkembangan yang pesat dalam bidang produksi, perdagangan dan jasa-jasa di Benua Eropa dan Timur Tengah, Wijaya dan Hadiwigeno (1991). Pada waktu tersebut timbullah para produsen yang sekaligus sebagai pemilik perusahaan yang dapat berbentuk persekutuan, yang mempunyai sifat tergantung pada persetujuan yang dibuat, dan di lindungi serta diatur oleh hukum yang berkembang dalam tersebut.

Di samping persekutuan, terbentuk juga joint stock companyyaitu suatu perusahaan yang terdiri dari individu-individu yang terorganisasi untuk melaksanakan suatu usaha yang memperoleh keuntungan dan memiliki suatu modal saham bersama (joint stock of capital) yang dinyatakan dengan kepemilikan individu lembar saham oleh anggota dan dapat dipindahkan tanpa persetujuan dari kelompok, Solomom, Solomom (2004), bentuk ini mirip dengan bentuk perusahaan modern, tiap orang yang membeli saham memikul sebagian resiko dan dijamin ikut menikmati laba perusahaan jika usahanya berhasil, selain itu saham-saham biasanya dikeluarkan dengan nilai nominal seragam, sedangkan harga pasarnya dapat berubah-ubah tiap hari, namun pada tanggal pengeluran saham-saham mempunyai nilai sama.Pemilik saham dapat menjual kepada orang lain, dengan demikian umur perusahaan tidak tegantung pada umur pemegang saham. Jika pemegang saham meninggal, saham-saham menjdi milik ahli-ahli waris.Penjualan saham joint stock company menjadi aspek penting dalam kehidupan keuangan Eropa dalam zaman 1500-1750, Wijaya dan Hadiwigeno (1991).

Saham atau modal saham (share or share capital/ stock or capital stock) adalah keseluruhan dari kepemilikan modal perusahaan, hal tersebut ditunjukkan dalam perkiraan modal saham, dimana biasanya menunjukkan nilai uang pembayaran untuk kepemilikan modal individual, kepemilikan modal individual ini menunjukkan kepemilikan perusahaan, bukan kepemilikan harta, perusahaanlah yang memiliki harta. Saham atau modal saham dibagi menjadi unit-unit atau kelompok-kelompok yang disebut bagian atau lembar saham atau disebut share, lembar-lembar saham tersebut dinyatakan dengan instrumen tertulis yang disebut sertifikat saham, setiap pemegang saham adalah ditandai dengan menunjukkan sertifikat saham yang dimiliki, dan pemegang saham dapat memperjual belikan tanda kepemilikan tersebut, Husband dan Dockeray (1964), Kusnadi; Syamsudin; Kertahadi, (2000).

Pasar Modal Syariah. Pasar Modal Syariah ialah : Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten,jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah sesuai dengan syariah, apabila telah memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah, (DSN No:40/DSN-MUI/X/2003). Fungsi utama pasar modal dalam Islam, Metwally (1995), tidak banyak berbeda dengan pasar modal konvensional yaitu untuk memfasilitasi aliran dana dari unit-unit yang surplus kepada yang defisit, akan tetapi beliau menyarankan pasar modal Islam harus mempunyai fungsi-fungsi dan sifat sebagai berikut:

  1. Memungkinkan investasi pada saham tersebut ditentukan oleh kinerja kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham;

  2. Komite manajemen pasar modal menetapkan harga saham tertinggi (HST) tiap-tiap perusahaan dengan interval tidak lebih dari 3 bulan sekali;

  3. Saham tidak boleh diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi dari HST;

  4. Saham dapat dijual dengan harga dibawah HST;

  5. HST ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:

  1. Perdagangan saham hanya berlangsung dalam periode perdagangan setelah penentuan HST;

  2. Perusahaan hanya dapat menerbitkan saham baru dalam periode perdagangan, dan dengan harga HST.Usulan ini memenuhi syarat-syarat bursa efek dalam ekonomi Islam yaitu dapat menjual sahamnya dan adanya likiditas setelah jangka waktu 3 bulan dan terhindarnya aktivitas spekulasi karena harga saham dibatasi harganya sampai jumlah tertentu yang tidak melebihi HST.

Landasan Investasi Syariah (Prinsip-Prinsip Syariah) Dalam Pasar Modal. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Syariah.Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Syariah antara lain:

  1. perjudian dan permainan yang tergolong atau perdagangan yang dilarang

  2. lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

  3. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram,dan

  4. produsen, distributor, dan/atau penyedia barang–barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat;

  5. melakukan investasi pada emiten (perusahan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.

Selanjutnya adalah Prinsip-Prinsip Syariah pada pasar Perdana yaitu, Pontjowinoto (2001), dalam Harahap (2001):

  1. Semua efek harus berbasis pada asset atau transaksi riel

  2. Tidak boleh menerbitkan efek utang untuk membayar kembali utang (bai al dayn bi al dayn)

  3. Dana atau hasil penjualan efek akan diterima oleh perusahaan.

  4. Hasil investasi akan diterima pemodal (shohibul mal) yang merupakan fungsi dari manfaat yang diterima perusahaan dari dana atau hasil penjualan efek.

  5. Tidak boleh memberikan jaminan hasil yang semata.-mata merupakan fungsi dari waktu.

Untuk pasar sekunder ada beberapa tambahan dari prinsip dasar pasar perdana yaitu:

  1. Tidak boleh membeli efek berbasis trend (Derivatif).

  2. Suatu efek dapat diperjualbelikan namun hasil (manfaat) yang diperoleh dari efek tersebut (kupon/deviden) tidak boleh diperjualbelikan.

  3. Tidak boleh melakukan suatu transaksi murabahah dengan menjadikan objek transaksi.

Selanjutnya Pontjowinoto (2003) dalam Huda dan Nasution (2007) memaparkan beberapa prinsip Syariah dalam berinvestasi yaitu:

  • Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan manfaat dan menghindari setiap transaksi yang zalim.

  • Setiap transaksi yang menberikan manfaat akan dilakukan bagi hasil

  • Uang sebagai alat pertukaran bukan komoditas perdagangan di mana fungsinya adalah sebagai alat pertukaran nilai yang menggambarkan daya beli suatu barang atau harta. Sedangkan manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya berdasarkan atas pemakaian barang atau harta yang dibeli dengan uang tersebut.

  • Setiap transaksi harus transparan, tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan di salah satu pihak baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

  • Resiko yang mungkin timbul harus dikelola, sehingga tidak menimbulkan risiko yang besar atau melebihi kemampuan menanggung resiko.

  • Dalam Islam setiap transaksi yang mengharapkan hasil harus bersedia menanggung resiko.

  • Manajemen yang diterapkan adalah manajemen Islami yang tidak mengandung unsur spekulatif dan menghormati hak azasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.

Berdasarkan Al Quran dan hadis nabi telah jelas yang halal dan yang haram, tapi diantara keduanya memang terdapat daerah ragu-ragu atau grey area, dalam kaitannya dengan pasar modal umumnya dan saham khususnya masih banyak ummat Islam yang meragukannya ,walaupun fatwa telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah nasional, untuk menghilangkan keraguan tersebut penulis mencoba untuk mengemukakan suatu pemikiran mengenai metode untuk membedakannya berdasarkan teori-teori dan peneletian-penelitian yang sudah di lakukan terlebih dahulu.

Masalah screening atau filtering antara saham saham syariah dan non syariah, yang menjadi acuan utama di pasar modal syariah Indonesia adalah apakah perusahaan mempunyai utang dibandingkan harta atau utang tidak melebihi rasio 45 % untuk rasio utang dengan harta (45:100) atau 82 % untuk rasio utang terhadap modal sendiri (45: 55), padahal rasio 45% atau 82 % tersebut adalah rasio yang relative tinggi, tidak ada standar atau aturan tentang wajarnya rasio tersebut di teori keuangan konvensional rasio tersebut bervariasi menurut kategori industrinya, Rianto (2001), Ahmed, (2007), selanjutnya Rianto (2001), mengatakan perbandingan antara modal asing dengan modal sendiri tidak boleh melebihi 1:1 artinya utang tidak boleh lebih besar dari modal sendiri atau dapat juga di katakan rasio antara total utang dengan total asset tidak boleh melebihi 50%, dalam standar AAOIFI ditentukan 30%, Dow Jones dan FTSE adalah 33% ( debt 33 : asset 100) atau (debt 25 : equity 75), angka ini juga mengacu kepada syariah Islam dengan mengutip hadis nabi mengenai sedekah yang diberikan cukup 33% atau sepertiga dari harta, Hassan dan Mahlknecht, (2011). Dengan demikian Debt to asset menjadi indikator variable leverage, sedangkan debt to equity menjadi indikator struktur modal, kedua indikator tersebut secara bersama-sama mendefenisikan variable laten struktur modal atau sumber modal yang subhat atau mengandung keraguan. Dengan adanya debt equity yang tinggi, secara teori akan mengakibatkan resiko pasar (beta) yang tinggi juga, dengan demikian beta yang tinggi menyebabkan saham sangat volatile, Horne, (1992). Saham-saham yang fluktuasi (naik- turun) harganya sering terjadi merupakan sasaran atau buruan para spekulator saham, hal ini dilarang dalam aktivitas perdagangaan saham secara Islami, Mannan, (1993). Saham-saham yang mempunyai sensivitas tinggi terhadap pasar (agressif) umumnya mempunyai nilai beta diatas 1 dan diindikasikan saham-saham yang mempunyai beta saham lebih besar dari 1 adalah saham-saham taghrir,sedangkan saham-saham yang mempunyai nilai beta di bawah satu adalah saham-saham defensive atau relatif stabil, Husnan, (1993). Dengan demikian indikator resiko sistematik dalam penelitian ini dapat ditentukan yaitu beta saham yang lebih besar dari satu dan beta saham yang lebih kecil dari satu.Saham-saham yang mempunyai Beta saham yang lebih besar dari satu dikeluarkan dari kategori saham syariah. Untuk mengukur resiko usaha diproxi dengan beta asset yang dihitung sebagai berikut:

Beta asset suatu perusahaan mencerminkan resiko usaha (business risk), sedangkan perbedaan antara beta saham/modal dengan beta aktiva/asset mencerminkan resiko keuangan (financial risk/leverage), lebih banyak hutang berarti lebih besar resiko keuangan.

Perataan laba (income smoothing) adalah bagian dari manajemen laba, melalui income smoothing manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.

Untuk mengukur ada tidaknya suatu manajemen laba adalah dengan cara menerapkan indeks

Eckels, yaitu suatu cara untuk mengetahui apakah suatu perusahaan melakukan pergeseran atau alokasi laba antar periode (income smoothing).

Apabila melakukan perata laba atau ada indikasi perataan laba, maka saham tersebut bukan saham syariah.

Imbal hasil atau return suatu saham adalah selisih antara harga beli dengan harga jual dibagi dengan harga beli ditambah dengan jumlah pembagian deviden (jika ada), istilah yang digunakan secara umum adalah keuntungan modal atau capital gain.

Struktur modal adalah masalah yang sangat penting dalam teori keuangan modern, struktur modal adalah perbandingan antara utang dengan modal atau antara utang dengan asset, dari ajaran Islam dapat diketahui bahwa berutang dengan adanya tambahan tidak dibenarkan untuk dilakukan (haram), kaidah fikih mengatakan “Setiap utang yang membawa manfaat, maka ia adalah haram”, Azzam (2010). Dalam ekonomi konvensional “utang yang memberi manfaat” tak dapat dielakkan (u’mum balwa), maka perusahaan –perusahaan pada masa sekarang baik yang dimiliki oleh non muslim maupun muslim selalu terlibat dengan utang piutang yang bermanfaat (utang ribawi). Harahap (2001), lebih lanjut bahwa rasio hutang terhadap modal (debt to equity ratio) atau rasio hutang terhadap harta (debt to total asset) dapat menimbulkan kondisi gharar dan maysir yang dilarang, Ahmed (2007), karena menimbulkan resiko peningkatan ketidak pastian transaksi dan kehalalan pemilikan saham perusahaan. Kaitan antara debt to equity rasio terhadap return saham di teliti oleh Sari dan Hutagaol (2009), yaitu terdapat hubungan positip antara debt to equity rasio terhadap return saham, akan tetapi hubungan tersebut tidak signifikan. Sedangkan hubungan antara leverage dengan return saham antara lain di teliti oleh Muradoglu dan Sivaprasad (2008) yang menunjukkan terdapat hubungan positip antara leverage yang diukur dengan debt to assets dengan return saham.

AAOIFI (2004), telah mengeluarkan standar yang mengatur toleransi tentang struktur modal perusahaan yang ingin mengeluarkan saham yang berprinsip Islam yaitu, debt to asset tidak melebihi 30% atau debt to equity tidak melebihi 33%. (25:75), hal tersebut memunculkan keragu-raguan struktur modal perusahaan Islami dalam memilih saham syariah karena tidak adanya standar yang mengatur secara tegas karena adanya toleransi, (u’mum balwa), Security Commision Resolution (SCR), (2006). Dengan demikian ada pengaruh struktur Modal dan Leverage terhadap pemilihan saham Syariah.

Masalah resiko selalu terkait dengan usaha dan juga hasil, tidak ada hasil tanpa ada resiko atau hasil usaha muncul bersama dengan biaya atau pengorbanan (al-ghunmu bil ghurmi, al-kharaj bil dhaman), Karim (2007), Islam mengakui adanya resiko dan mengajarkan bagaimana mengelola resiko, seperti yang telah tertulis dalam Al-Quran mengenai nasihat Nabi Yaqub kapada anak-anaknya ketika memasuki pintu gerbang Mesir, al-Quran surat Yusuf ayat 67, yang di haramkan oleh Islam adalah memindahkan pembebanan kepada pihak lain yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain (zero sum game), dimana gharar adalah “simply zero sum game with uncertain payoffs”, Karim, (2007), Achsien (2000). Untuk mengukur sensivitas suatu saham terhadap pasar digunakan resiko sistematik yang diukur dengan covarian return suatu saham dengan return pasar( ) dibagi dengan varian pasar ( ), yang dilambangkan dengan , Beta menunjukkan indeks resiko sistematik karena menunjukkan hubungan antara perubahan suatu return saham dengan perubahan return pasar, beta koefisien dapat digunakan untuk meranking sistematik risk dari saham-saham yang berbeda. Terdapat hubungan yang positip antara risk dan return, Fama dan Macbeth, (1973). Aruzzi dan Bandi (2003) menemukan dalam penelitian mereka terhadap saham-saham yang termasuk dalam JII periode 2001-2002, menunjukkan beta saham yang diukur dengan model pasar menunjukkan angka 1,66, hal ini menunjukkan bahwa secara umum saham-saham perusahaan yang tergabung dalam JII termasuk saham yang agressif, yang cenderung sensitive terhadap perubahan return pasar pada periode tersebut. Pada penelitian Lau et al., (1999), di pasar modal Singapura dan Malaysia terdapat hubungan positip antara beta saham dan pengembalian saham, Hakim; Sam; Rashidian Manochehr (2002), Hasyim, (2008). Dengan demikian ada pengaruh resiko sistematik dengan pemilihan saham syariah.

Beta saham atau beta equity berhubungan erat dengan beta asset, beta asset dari suatu perusahaan mencerminkan resiko usaha (business risk), Horne (1992), untuk hal tersebut perlu dihitung beta asset atau resiko perusahaan sebagai pemdamping beta saham, perbedaan beta saham dengan beta asset mencerminkan resiko keuangan (financial risk), artinya lebih banyak utang berarti lebih besar resiko keuangannya, tanpa adanya utang beta modal akan sama dengan beta saham, Brealy dan Myers (1984). Dengan demikian ada pengaruh resiko usaha terhadap pemilihan saham syariah.

Dalam teori ekonomi konvensional fungsi utama suatu perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan biaya, etika dan moral adalah hal yang kedua, Azid; Asutay; Burki, (2007), sedangkan dalam perspektif Islam fungsi perusahaan adalah untuk kesejahteraan sosial atau kemashlahatan ummat, tujuan perusahaan menghasilkan kesejahteraan untuk pemegang saham dilakukan setelah semua kewajiban untuk pekerja telah diselesaikan, melindungi hak dan kepentingan konsumen, dan menyediakan produk yang berkualitas dengan harga yang layak. Manajer yang bekerja di perusahaan haruslah menjalankan amanah dan kepercayaan yang telah diberikan oleh pemilik modal, jangan ada moral hazard dan asymetri information, apa yang tercantum didalam laporan keuangan adalah benar-benar merupakan wujud pertanggung jawaban dari manajer terhadap pemilik dana. Salah satu tindakan manajer yang sering disorot adanya manajemen laba, dimana salah satu bentuknya adalah perataan laba, yaitu tindakan dari manajemen untuk mengatur laba sedemikian rupa, sehingga laba tidak berfluktuasi secara tinggi, hal ini bertujuan untuk menunjukkan kepada yang berkepentingan bahwa laba perusahaan terlihat stabil dari priode ke priode. Dengan demikian dari sudut pandangan Islam manajemen laba dalam hal ini perataan laba adalah suatu tindakan yang tidak etis, karena mencatat/mengakui yang tidak seharusnya atau tidak mencatat/mengakui yang seharusnya dicatat/diakui. Dengan demikian ada pengaruh perata laba terhadap pemilihan saham syariah.

Saham Syariah adalah saham yang telah di kelompokkan berdasarkan kepatuhan kepada prinsip-prinsip syariah, saham-saham ini masuk dalam daftar efek syariah yang dikelurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan dievaluasi setiap enam bulan sekali. Pengukuran saham-saham syariah dengan imbal hasil (return) saham syariah tersebut yaitu , jika tidak ada deviden maka, , Hasyim, (2008), diukur dengan skala rasio. Sedangkan Price to book value adalah perbandingan antara harga pasar saham saat penutupan dengan nilai buku per saham diukur dengan skala rasio. Subramanyam, (2010), menyatakan terdapat hubungan atau pengaruh return dan price to book value dengan strategi pemilihan nilai perusahaan yaitu harga saham. Dengan demikian ada pengaruh imbal hasil dan nilai buku per saham terhadap pemilihan saham syariah.

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kausalitas dan deskriptip kwantitatif, dimana akan diteliti pengaruh faktor-faktor (independen variable) terhadap variable dependennya yaitu saham-saham syariah dan non syariah, yaitu dengan menggunakan analisa regresi logistik, yang dapat di pakai sebagai referensi untuk menetapkan kesyariahan suatu saham.

Dua kelompok sample yaitu saham syariah dan non syariah di tentukan berdasarkan aturan-aturan pasar Modal Indonesia dan berdasarkan aturan syariah, yaitu termasuk saham syariah dan non syariah. Dalam penelitian ini, untuk model logistik regressi variable dependennya adalah saham-saham dari perusahaan yang go publik dikategorikan saham syariah dan saham non syariah. Sample Saham di pilih dari Daftar Efek Syariah yang dirilis oleh BEI, dari DES dilakukan seleksi berdasarkan kriteria penelitian ini.

  1. Debt to Equity, adalah perbandingan antaratotal utang dengan modal sendiri, rasio ini adalah komposisi struktur modal perusahaan, juga mengukur kesehatan keuangan perusahaan jangka panjang. Diukur dengan skala rasio

  2. Debt to Asset, adalah perbandingan antara total utang dengan total asset,rasio ini adalah pengukuran untuk leverage perusahaan. Diukur dengan skala rasio

  3. Beta saham, adalah ukuran sensivitas saham suatu perusahaan terhadap pergerakan pasar secara keseluruhan,beta saham menunjukkan ukuran agressivitas, dan defensif suatu saham. Diukur dengan skala rasio

  4. Beta Asset atau beta aktiva adalah beta yang dihitung dari rata-rata tertimbang antara beta utang dengan beta saham.Beta asset menunjukkan resiko bisnis suatu perusahaan,dengan demikian dapat di pakai sebagai indikator ketidak pastian (resiko). Makin besar angka ini makin berisikonya.Diukur dengan skala rasio.

  5. Perata laba (Income Smoothing), adalah suatu aktivitas manajemen perusahaan untuk mengatur laba sedemikian rupa, agar terhindar dari fluktuasi-fluktuasi yang membuat harga saham tidak stabil. Perata Laba adalah termasuk aktivitas manajemen yang a symmetric information, aktivitas yang termasuk memanipulasi laba, Belkaoui (2000). Dengan demikian perata laba adalah indikator adanya pendapatan haram atau pendapatan atau laba yang tidak benar. Pengukuran dengan dikotomi yaitu perusahaan yang terindikasi meratakan laba diberi label 1, sedangkan perusahaan yang tidak terindikasi meratakan laba diberi label 0. She Jin dan Machfoedz (1998).

  6. Imbal hasil Saham Syariah adalah saham yang telah di kelompokkan berdasarkan kepatuhan kepada prinsip-prinsip syariah. Pengukuran saham-saham syariah dengan imbal hasil(return) saham syariah tersebut yaitu , jika tidak ada deviden maka, , Hasyim, (2008), diukur dengan skala rasio.

  7. Saham Syariah dan sahan non syariah, adalah variable dependen dikotomi yang diukur dengan Symbol 1 untuk saham syariah, symbol 0 untuk saham non syariah.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder, yaitu yang diperoleh dari perusahaan dan dari Institusi lain. Sample saham-saham perusahaan adalah saham-saham yang terdaftar di BEI dan dari Jakarta Islamic Index (ISSI). Jumlah sample dihitung berdasarkan rumus Slovin yaitu: .Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI per tanggal 22 Juni 2012 adalah 442 emiten. Jumlah sample dihitung berdasarkan rumus Slovin, Suliyanto, (2006). Diperoleh 82, Dibulatkan menjadi 100 perusahaan.