Pengaruh Persepsi Pasien tentang Mutu Pelayanan Rumah Sakit terhadap Keputusan Berobat Kembali di Rumah Sakit Dr. Abdul Malik TNI AU Medan Tahun 2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Persepsi

Persepsi adalah akal manusia yang sadar meliputi proses fisik, fisiologis dan psikologis yang mengolah bermacam-macam input sebagai penggambaran lingkungan. Persepsi merupakan perlakuan melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, didengar, dialami atau dibaca sehinggga persepsi memengaruhi tingkah laku, percakapan, serta perasaan seseorang (Koentjaraningrat, 1981). Penjelasan ini ditambahkan oleh Yusuf (1991) yang menyatakan bahwa persepsi merupakan pemberian makna hasil pengamatan yang dilakukan oleh individu terhadap suatu objek.

Menurut Scheerer dalam Niven (2002), persepsi adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan proksimal. Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses psikologis).

Atkinson dan Hilgard dalam Rakhmat (2007), mengemukakan persepsi itu adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Sementara Gibson dan Donely menjelaskan persepsi adalah proses


(2)

pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu (Gibson dan Donely, 1996).

Persepsi berhubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indra. Persepsi juga di artikan sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Caplin, 2006). Persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan akan suatu hal/objek melalui penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih tinggi (Sarwono, 1992).

2.1.1. Proses Persepsi

Luthans (2006) mengatakan bahwa ada tiga mekanisme pembentukan persepsi yaitu selectivity, closure, dan interpretation. Dimana proses selectivity terjadi apabila seseorang menerima pesan maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan yang dianggap penting dan tidak penting yang diperoleh dengan cara menyimpulkan dan menafsirkan pesan. Proses closure akan menyeleksi hasil kesimpulan kemudian disusun suatu kesatuan kumpulan pesan atau stimuli dan yang terakhir interpretation terjadi bila pesan tersebut diinterpretasikan atau penafsiran pola stimulus secara menyeluruh kedalam lingkungan individu.

Thoha (1999) mengemukakan bahwa proses pembentukan persepsi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda. Pembentukan persepsi tergantung pada berbagai faktor yang memengaruhinya, baik faktor internal seperti: pengalaman, keinginan, proses belajar, pengetahuan, motivasi, pendidikan, maupun faktor


(3)

eksternal, seperti: lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, faktor sosial budaya, lingkungan fisik dan hayati dimana seseorang itu bertempat tinggal.

Menurut Kotler dan Amstrong (2001), seseorang dapat membentuk persepsi yang berbeda-beda mengenai rangsangan yang sama karena ada tiga macam proses penerimaan indera, yaitu:

a. Perhatian selektif, yaitu kecenderungan seseorang untuk menyaring sebagian besar informasi yang dihadapi, sehingga membuat para marketer harus bekerja sangat keras untuk menarik perhatian konsumen. Pesan marketer akan hilang bila diberikan pada orang-orang yang tidak berada dalam pasaran produk.

b. Distorsi selektif, yaitu menguraikan kecenderungan orang untuk menginterpretasi informasi dengan cara yang akan mendukung apa yang telah diyakini.

c. Retensi selektif, yaitu kecenderungan untuk mempertahankan informasi yang mendukung sikap dan kepercayaan individu..

Menurut Rakhmat (2007), Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respons terhadap stimuli.

Menurut Wexley (2003), seseorang memberikan reaksi atau tanggapan sesuai persepsi dirinya terhadap dunianya daripada kondisi-kondisi objektif dimana sebenarnya mereka berada. Sudjana (1995) menyatakan bahwa reaksi dari persepsi terhadap suatu stimulus/rangsangan dapat terjadi dalam bentuk:


(4)

a. Penerimaan (receiving/attending) yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dalam bentuk masalah, situasi, dan gejala. Tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala/rangsangan.

b. Jawaban (respons) yaitu reaksi yang diberikan seseorang terhadap seseorang stimulus yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, dan kepuasaan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya.

c. Penilaian (valuing) yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan nilai tersebut.

d. Organisasi yaitu perkembangan dari nilai ke dalam suatu sistem organisasi termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemanfaatan, dan prioritas nilai yang dimiliki termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai.

e. Karakteristik nilai/internalisasi nilai yaitu keterpaduan semua sistem nilai yang dimiliki seseorang yang memengaruhi nilai dan karakteristiknya.

2.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi

Joewono (2003), mengatakan bahwa persepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor fisikal, yang melibatkan panca indra.

b. Faktor psikologis, melibatkan daya ingat, pengetahuan produk, kepercayaan, dan nilai yang diterima konsumen.


(5)

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, Velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimuli munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi yaitu dorongan untuk merespons sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan dari pada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumtions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain (Robbins, 2005).

Berikut ini adalah penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persespsi:

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal/objek (Azwar, 2005). Poedjawijatna (2004) menjelaskan orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2002).


(6)

Menurut Bloom yang di jabarkan oleh Notoatmodjo (2002), pengetahuan mencakup enam tingkatan :

1. Tahu (Know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (Comprehension) yang diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Application) yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

4. Analisis (Analysis) yakni kemampuan untuk menjabarkan materi yang ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis) yakni menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluastion) yakni yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

b. Pengalaman

Pengalaman adalah segala sesuatu yang dirasakan atau dialami seseorang pada masa lalu terhadap suatu hal/objek (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Masa


(7)

lalu membawa pengaruh yang besar sekali terhadap masa yang akan datang. Menurut Freud dalam Setiadi (2008), mengatakan secara ekstrim setiap masalah di sebabkan oleh pengalaman, baik pengalaman positif maupun negatif, yang seolah-olah seperti menjadi batu penjuru dan penentu kehidupan di masa yang akan datang.

Menurut Assael (2001), orang yang menerima informasi akan menjadi suatu pengalaman, meskipun bukan diri sendiri yang mengalaminya, melainkan hanya melalui pengalaman orang lain yang disebarkan dari mulut ke mulut. Pengalaman itu akan membentuk persepsi.

Setiap pengalaman yang di tekan di bawah alam sadar biasanya akan muncul secara sadar sebagai mekanisme pertahanan diri, seperti; proyeksi, rasionalisasi, dan reaksi formasi (Setiadi, 2008). Masa lalu yang pahit jangan di tutup-tutupi karena secara psikologis maupun rohani akan mempengaruhi pertumbuhan fisik yang tidak sehat dan tidak normal (Setiadi, 2008).

c. Kebutuhan

Menurut Maslow dalam Luthans (2006), apabila suatu kebutuhan terpenuhi, maka kebutuhan itu tidak lagi merupakan motivator perilaku. Kebutuhan-kebutuhan dengan kekuatan tinggi yang telah terpenuhi di nyatakan seseorang sebagai kebutuhan ”satisfied” yaitu kebutuhan yang terpenuhi dalam kadar tertentu sehingga kebutuhan lain lebih potensial. Hurlock (1995) menyatakan bahwa kebutuhan merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih.


(8)

Kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, bila ada di antara kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka manusia merasa tidak akan sejahtera atau kurang sejahtera. Kebutuhan juga merupakan suatu aspek psikologis yang menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas dan menjadi dasar atau alasan untuk berusaha (Caplin, 2006).

d. Harapan

Harapan adalah kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam tata cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut (Robbin, 1996). Menurut Snyder dalam Luthans (2006), harapan yaitu keadaan motivasi positif yang didasarkan pada rasa keberhasilan (1) agensi (energi terarah pada tujuan) (2) jalan (rencana mencapai tujuan).

Vroom mengatakan bahwa harapan terbentuk oleh karena adanya kekuatan motivasional (valensi), yaitu kekuatan preferensi individu untuk memperoleh hasil akhir tertentu. agar valensi menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak memperolehnya sama sekali. Valensi nol terjadi saat individu mengabaikan hasil, valensi akan negatif saat individu lebih suka tidak memperoleh hasil dari pada memperolehnya.

2.2. Mutu Pelayanan

Mutu pelayanan sangatlah sulit didefinisikan dengan tepat, akan tetapi umumnya mutu dapat dirinci. Konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif


(9)

kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Nilai yang diberikan pelanggan sangat kuat didasari oleh faktor mutus jasa, dimana mutu jasa adalah sejauh mana produk (jasa ) memenuhi spesifikasi-spesifikasinya.

Menurut Wyckof dan Lovelock dalam Sugiarto (2002) mutu adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memmenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada faktor utama yang mempengaruhi mutu jasa , yaitu expected service dan perceived service. Jika mutu yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, kualitas tersebut akan dianggap baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan, mutu pelayanan tersebut dipandang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan mutu pelayanan tersebut dianggap buruk. Jadi baik buruknya mutu pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.

Sesuai dengan peranan yang dimiliki oleh masing-masing unsur pelayanan kesehatan, standar dalam menjaga program mutu pelayanan secara umum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

1. Standar Persyaratan Minimal

Yang dimaksud dengan standar persyaratan minimal disini adalah yang menunjuk pada keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu. Standar persyaratan minimal ini dibedakan menjadi 3 macam, yaitu yang pertama standar masukan,


(10)

yang mengacu pada unsur masukan yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bemutu yakni jenis, jumlah dan kualifikasi tenaga pelaksana, jenis, jumlah dan spesifikasi sarana, serta jumlah dana (modal). Yang kedua adalah standar lingkungan, yang mengacu pada unsur lingkungan yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bemutu, yakni garis-garis besar kebijakan, pola organisasi serta sistem manajemen yang harus dipatuhi oleh setiap pelaksana pelayanan kesehatan. Yang ketiga adalah standar proses, yang mengacu pada unsur proses yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bemutu, yakni tindakan medis dan tindakan non medis pelayanan kesehatan (Azwar, 1996).

2. Standar Penampilan Minimal

Yang dimaksud dengan standar penampilan minimal adalah yang menunjukkan pada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diterima. Standar ini menunjuk pada unsur keluaran (standar keluaran). Untuk mengetahui apakah mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan masih dalam batas-batas yang wajar atau tidak, perlulah ditetapkan standar keluaran (Azwar, 1996).

2.2.1 Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Sekretariat Negara, 2009). Azwar (1996) yang mengutip pendapat Wolper (2001) menjelaskan rumah sakit merupakan tempat dimana orang sakit mencari dan


(11)

menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.

Di Indonesia berdasarkan aturan hukum yang ada rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Sekretariat Negara, 2009).

Pelayanan rumah sakit tentunya harus diatur penyelenggarannya untuk tujuan: (1) mempermudah akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, (2) memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit, (3) meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, dan (4) memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit (Sekretariat Negara, 2009).

Tugas rumah sakit sebenarnya adalah memberikan pelayanan kesehatan secara paripurna dan dalam menjalankan tugas tersebur hendaknya rumah sakit berfungsi sebagai: (1) penyelenggara pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, (2) pemeliharaan dan peningkatan


(12)

kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis, (3) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan (4) penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Sekretariat Negara, 2009).

Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit sementara Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya (Sekretariat Negara, 2009).

Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit privat. Rumah Sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba sementara Rumah Sakit privat rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero (Sekretariat Negara, 2009).

Komponen pelayanan di rumah sakit mencakup 20 pelayanan sebagai berikut: (1) administrasi dan manajemen, (2) pelayanan medis, (3) pelayanan gawat darurat, (4) kamar operasi, (5) pelayanan intensif, (6) pelayanan perinatal risiko tinggi, (7)


(13)

pelayanan keperawatan, (8) pelayanan anastesi, (9) pelayanan radiologi, (10) pelayanan farmasi, (11) pelayanan laboratorium, (12) pelayanan rehabilitasi medis, (13) pelayanan gizi, (14) rekam medis,(15) pengendalian infeksi di rumah sakit, (16) pelayanan sterilisasi sentral, (17) keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana alam, (18) pemeliharaan sarana, (19) pelayanan lain, dan (20) perpustakaan. 2.2.2 Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 2000). Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1996).

Ukuran-ukuran pelayanan kesehatan yang bermutu lebih bersifat luas, karenanya didalamnya tercakup penilaian terhadap kepuasan pasien mengenai:

a. Ketersediaan Pelayanan Kesehatan (Available)

Untuk dapat menimbulkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan, maka syarat yang harus dipenuhi adalah ketersediaan pelayanan kesehatan tersebut, sehingga sering disebutkan, suatu pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut tersedia di masyarakat.


(14)

b. Kewajaran Pelayanan Kesehatan (Appropriate)

Pelayanan kesehatan sebagai pelayanan bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat wajar, dalam arti dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. c. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan (Continue)

Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah apabila pelayanan kesehatan tersebut bersifat berkesinambungan, dalam arti tersedia setiap saat, baik menurut waktu atau apapun kebutuhan pemakai jasa pelayanan kesehatan.

d. Penerimaan Pelayanan Kesehatan (Acceptable)

Pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diupayakan diterima oleh pemakai jasa. e. Ketercapaian Pelayanan Kesehatan (Accessible)

Pelayanan kesehatan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari daerah tempat tinggal sehingga dapat dicapai oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan

f. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan (Affordable)

Pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak akan dapat dijangkau oleh semua pemakai jasa pelayanan kesehatan, dan karenanya tidak akan memuaskan pasien. Sebagai jalan keluarnya, disarankanlah perlunya mengupayakan pelayanan kesehatan yang biayanya sesuai dengan kemampuan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Karena keterjangkauan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kepuasan pasien, dan kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan, maka suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan yang bermutu apabila pelayanan dapat dijangkau oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.


(15)

g. Efisiensi Pelayanan Kesehatan (Efficient)

Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan secara efisien. h. Mutu Pelayanan Kesehatan (Quality)

Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksudkan disini adalah yang menunjuk pada kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan, yang apabila berhasil diwujudkan pasti akan memuaskan pasien. Bertitik tolak dari pendapat adanya kaitan antara mutu denga kepuasan, maka suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan bermutu apabila pelayanan tersebut dapat menyembuhkan pasien serta tindakan yang dilakukan adalah aman.(Azwar, 1996)

Menurut Evan (2000) kebutuhan hidup manusia dalam pelayanan kesehatan mempunyai tiga ciri utama yang terjadi sekaligus dan unik yaitu : uncertainty, asymetri of information dan externality. Ketiga ciri utama tersebut menyebabkan pelayanan kesehatan sangat unik dibandingkan dengan produk atas jasa lainnya. a. Uncertainty

Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahawa kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak bisa pasti, baik waktu, tempat maupun besarnya biaya yang dibutuhkan. Dengan ketidakpastian ini sulit bagi seseorang untuk menganggarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatannya. Penduduk yang penghasilannya rendah tidak mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak diketahui datangnya, bahkan penduduk yang relatif berpendapatan memadai sekalipun seringkali tidak sanggup memenuhi kecukupan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan medisnya. Maka


(16)

dalam hal ini seseorang yang tidak miskin dapat menjadi miskin atau bangkrut mana kala seseorang menderita sakit.

b. Asymetri of Information

Sifat kedua asymetry of Information menunjukkan bahwa konsumen palayanan kesehatan berada pada posisi yang lemah sedangkan provider (dokter dan petugas kesehatan lainnya) mengetahui jauh lebih banyak tentang manfaat dan kualitas pelayanan yang dijualnya. Ciri ini juga ditemukan oleh para ahli ekonomi kesehatan lain seperti Feldstein, Jacos, Rappaport, dan Phelps. Dalam pelayanan kesehatan, misalnya kasus ekstrim pembedahan, pasien hampir tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan pelayanan tersebut atau tidak.

Kondisi ini sering dikenal dengan consumen ignorence atau konsumen yang bodoh. Pasien tidak mengetahui berapa harga dan berapa banyak tindakan medis yang diperlukan, ataupun pasien yang memerlukan tindakan bedah saja tidak sanggup dilakukan meskipun pasien mungkin seorang profesor.

c. Externality

Externality menunjukkan bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak saja memengaruhi pembeli tetapi juga bukan pembeli. Sebagai contoh adalah konsumsi rokok yang mempunyai risiko besar bukan pada perokok, akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi dalam berbagai bentuk, oleh karena pembiayaan pelayanan kesehatan tidak saja menjadi tanggung jawab diri sendiri, akan tetapi perlunya digalang tanggung jawab bersama (public). Ciri unik


(17)

tersebut juga dikemukakan oleh beberapa ahli ekonomi kesehatan seperti Feldstein.

Keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan merupakan proses yang mencari dan memanfaatkan pelayanan kesehatan oleh seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Keputusan tersebut merupakan proses yang melibatkan keputusan individual dan sosial yang dipengaruhi oleh profesionalisme kesehatan (Miller, 1997).

Menurut Parasuraman dalam Irawan (2008), kualitas pelayanan kesehatan didalam sistem kesehatan nasional diartikan sebagai upaya pelayanan kesehatan yang bersifat terpadu, meyeluruh, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Berry, Zeithaml dan Parasuraman atau biasa dikenal dengan teori SERVQUAL terdapat lima dimensi yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas pelayanan kesehatan, yaitu dapat diraba (tangibles), kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance) dan empathy.

a. Bukti Fisik (Tangibles) yaitu kemampuan suatu instansi pelayanan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal.

b. Kehandalan (Reliability) yaitu kemampuan instansi pelayanan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

c. Ketanggapan (Responsiveness) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas.


(18)

d. Jaminan (Assurance) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menimbulkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan.

e. Perhatian (Emphaty) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen.

Menurut Parasuraman dan kawan-kawan menemukan bahwa sepuluh dimensi yang mempengaruhi pelayanan (Tjiptono, 2006) yang kemudian disederhanakan menjadi lima dimensi seperti yang diuraikan sebelumnya. Kesepuluh dimensi kualitas pelayanan tersebut adalah :

a. Reliability mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja yaitu performance dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati.

b. Responsiveness yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan

jasa yang dibutuhkan pelanggan.

c. Competence setiap orang dalam satu perusahaan memiliki ketrampilan dan

pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.

d. Acces meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi.


(19)

e. Courtesy meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para contact personnel (resepsionis, operator telepon dan lainnya)

f. Communication artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa

yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.

g. Credibility yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi dan interaksi dengan pelanggan.

h. Security yaitu aman dari bahaya, risika atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (Physical safety), keamanan finansial (financial security), dan kerahasiaan (confidentiality).

i. Understanding/Knowing the customer yaitu usaha untuk memahami kebutuhan

pelanggan.

j. Tangibles yaitu bukti fisik dari jasa , bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa.

Wijono (2000) menjelasakan bahwa kualitas pelayanan agak sulit diukur karena umumnya bersifat subyektif dan menyangkut kepuasan seseorang. Hal ini tergantung pada persepsi, label, sosial ekonomi, norma, pendidikan dan kepribadian. Gambaran pasien mengenai kualitas pelayanan adalah (a) Dokter terlatih baik (b) Perhatian pribadi dokter terhadap pasien (c) Privacy dalam diskusi penyakit (d) Biaya klinik terbuka (e) Waktu tunggu dokter yang singkat (f) Informasi dari dokter (g)


(20)

Ruang periksa yang baik (h) Staf yang menyenangkan (i) Ruang tunggu yang nyaman.

Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien merupakan nilai subyektif, namun tetap ada dasar obyektif yang dilandasi oleh pengalaman masa lalu, pendidikan, situasi psikis waktu pelayanan dan pengaruh lingkungan. Khususnya mengenai penilaian performance pemberi jasa pelayanan kesehatan terdapat dua elemen yang perlu diperhatikan yaitu teknis medis dan hubungan interpersonal. Hal ini meliputi penjelasan dan pemberian informasi kepada pasien tentang penyakitnya serta tindakan yang akan dilakukan atas dirinya. Hubungan interpersonal ini berhubungan dengan pemberian informasi, empati, kejujuran, ketulusan hati, kepekaan dan kepercayaan dengan memperhatikan privacy pasien (Wijono, 2000).

Kualitas pelayanan kesehatan bagi seorang pasien tidak lepas dari rasa puas bagi seseorang terhadap pelayanan yang diterima, kualitas yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, peningkatan derajat kesehatan, kecepatan pelayanan, lingkungan pelayanan yang menyenangkan, keramahan petugas, kemudahan prosedur, kelengkapan alat, obat-obatan dan biaya yang terjangkau (Irawan, 2008).

Gifari (2000), konsumen pelayanan kesehatan akan membandingkan pelayanan kesehatan yang diterima dengan harapan terhadap pelayanan yang diberikan sehingga membentuk kepuasan kualitas pelayanan. Hasil dari membandingkan tersebut dapat berupa (1) Jika harapan itu terlampaui, maka pelayanan tersebut dirasakan sebagai kualitas pelayanan yang luar biasa (2) Jika


(21)

harapan sama dengan pelayanan yang dirasakan, maka kualitas memuaskan (3) Jika harapan tidak sesuai atau tidak terpenuhi maka kualitas pelayanan tersebut dianggap tidak dapat diterima atau mengecewakan pasien.

2.3.Keputusan Berobat Kembali

Keputusan berobat kembali pasien merupakan pengambilan keputusan oleh konsumen/pasien. Pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pembelajaran untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu di antaranya (Setiadi, 2008).

Menurut Suryani (2008), ada lima peranan yang terlibat dalam mengambil keputusan melakukan kunjungan ulangan.

Kelima peran tersebut meliputi :

a. Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyarankan ide untuk membeli suatu barang/jasa.

b. Pembawa pengaruh (influencer), yaitu orang yang memiliki pandangan atau nasihat yang mempengaruhi keputusan.

c. Pengambilan keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan. d. Pembeli (buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian secara nyata.

e. Pemakai (user), yaitu orang yang mengonsumsi dan menggunakan barang/jasa. Suryani (2008) juga mengatakan bahwa dilihat dari proses pengambilan keputusan, proses keputusan sangat bervariasi. Ada yang sederhana dan ada pula


(22)

yang komplek. Ada dua dimensi yaitu tingkat pengambilan keputusan dan derajat keterlibatan saat menggunakan jasa. Pada dimensi pertama, konsumen dibedakan berdasarkan tingkat pengambilan keputusan. Konsumen sering melakukan pencarian informasi dan evaluasi terhadap jasa sebelum keputusan diambil. Dilain pihak ada pula konsumen yang jarang mencari informasi tambahan, karena konsumen ini telah terbiasa membeli jasa tersebut. Pada dimensi ke dua, konsumen dibedakan berdasarkan tingkat keterlibatan saat memilih suatu jasa. Pada saat itu konsumen tidak jarang terlibat terlalu dalam, hal ini dapat terjadi karena ; (a) Produk sangat penting bagi konsumen sebab image pribadi dari konsumen terkait dengan produk (b) Adanya keterkaitan secara terus menerus dengan konsumen (c) Mengandung resiko yang cukup tinggi (d) Pertimbangan emosional (e) Pengaruh dari norma group.

Menurut Gronroos dalam Tjiptono (2006) merumuskan dimensi atau faktor-faktor yang dipergunakan konsumen dalam menilai kualitas jasa dinyatakan dalam tiga kriteria pokok, yaitu outcome-related, process-related, dan image-related criteria. Ketiga kriteria tersebut masih dapat dijabarkan menjadi enam unsur, yaitu : a. Professionalism and Skill

Kriteria yang pertama ini merupakan outcome-related criteria, dimana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa , karyawan, sistem operasional, dan sumber daya fisik memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional.


(23)

b. Attitudes and Behavior

c. Kriteria ini adalah process-related criteria. pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati.

d. Accessibility and Flexibility

Kriteria ini termasuk dalam process-related criteria. pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedekian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Slain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.

e. Reliability and Trustworthiness

Kriteria ini termasuk dalam process-related criteria. pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya.

f. Recovery

Recovery termasuk dalam process-related criteria. Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat.


(24)

g. Reputation and Credibility

Kriteria ini termasuk dalam image-related criteria. Pelanggan menyakini bahwa operasi dari peyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.

Assael (2001) menjelaskan model stimulus-organism response. Ada dua faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan yang selanjutnya akan menentukan respon konsumen. Pertama adalah konsumen itu sendiri. Ada dua unsur dari konsumen yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yaitu pikiran konsumen yang meliputi kebutuhan, motivasi, persepsi, sikap, dan karakteristik konsumen yang meliputi demografi, gaya hidup dan kepribadian konsumen. Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan yang terdiri atas nilai budaya, pengaruh sub dan lintas budaya, kelas sosial, dan situasi lain yang menentukan.

Pada pengambilan keputusan terdapat peran-peran tertentu yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga. Menurut Schiffman dan Kanuk yang dikutip oleh Suryani (2008) terdapat delapan peran yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga, antara lain (1) Penjaga pintu (gatekeepers), perannya adalah mengatur dan mengendalikan informasi yang akan masuk ke keluarga (2) Pemberi Pengaruh (influencer), perannya adalah memberi pengaruh kepada anggota keluarga yang lain, untuk mengambil keputusan (3) Pengambilan keputusan (decision maker), perannya adalah memutuskan produk/jasa yang akan dibeli (4) Pembeli (buyer), perannya adalah membeli atau melakukan transaksi atas barang atau jasa (5) Penyiap (preparer), perannya menyiapkan segala sesuatunya sehingga produk atau jasa siap


(25)

digunakan (6) Pengguna (user), perannya memakai produk atau menggunakan produk (7) Pemelihara (maintainer), perannya adalah merawat dan melakukan usaha-usaha yang memungkinkan produk atau jasa dapat digunakan dan dapat berfungsi dengan baik (8) Pembuang (disposer), perannya adalah berinisiatif menghentikan atau tidak melanjutkan penggunaan produk atau jasa yang digunakan oleh keluarga.

2.3.1. Konsep Loyalitas

Niat berobat kembali dapat juga diartikan sebagai bagian dari tahapan loyalitas konsumen seperti diungkapkan oleh Oliver dalam Setiawati B (2006) bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan prilaku.

Griffin (1995) berpendapat bahwa seseorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberikan kepuasan pelanggan dilakukan untuk mempengaruhi sikap pelanggan, sedangkan konsep loyalitas pelanggan lebih berkaitan dengan perilaku pelanggan daripada sikap dari pelanggan.

Pemahaman loyalitas pelanggan sebenarnya tidak hanya dilihat dari transaksinya saja atau pembelian berulang (repeat customer). Ada beberapa ciri sebuah pelanggan bisa dianggap loyal. Antara lain ; (1) Pelanggan yang melakukan pembelian ulang secara teratur, (2) Pelanggan yang membeli untuk produk yang lain


(26)

ditempat yang sama, (3) Pelanggan yang mereferensikan kepada orang lain, dan (4) Pelanggan yang tidak dapat dipengaruhi oleh pesaing untuk pindah.

Menurut Azwar (1996) suatu pelayanan harus mempunyai persyaratan pokok, hal ini dimaksudkan adalah persyaratan pokok itu dapat memberi pengaruh kepada pasien dalam menentukan keputusannya terhadap penggunaan ulang pelayanan kesehatan. Persyaratan tersebut adalah

1. Tersedia dan Berkesinambungan

Syarat pokok pertama pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat (acceptable) serta bersifat berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan.

2. Dapat Diterima dan Wajar

Syarat pokok kedua pelayanan yang baik adalah yang dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan kenyakinan dan kepercayaan masyarakat. pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan kenyakinan , adat istiadat, kebudayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.

3. Mudah di Capai

Syarat pokok ke tiga adalah mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan


(27)

demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Bila fasilitas ini mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat penggunaan dimasa lalu dan kecendrungan merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa yang akan datang.

4. Terjangkau

Syarat pokok keempat pelayanan yang baik adalah terjangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini terutama dari sudut biaya untuk dapat mewujudkan harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh sebahagian masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan yang baik.

5. Bermutu

Syarat pokok kelima pelayanan yang baik adalah bermutu (Quality) yaitu yang menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan dipihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai kode etik serta standar yang telah ditetapkan.


(28)

2.4. Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka, maka peneliti dapat merumuskan beberapa landasan teori yang relevan dengan tujuan penelitian.

Menurut Rakhmat (2007), persepsi adalah pengalaman tentang peristiwa atau hubungan-hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sementara Kotler dan Amstrong (2001) menjelaskan persepsi merupakan proses seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran yang berarti mengenai dunia. Mangkunegara (2002) mendefenisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan impresi sensorinya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya, meskipun persepsi sangat dipengaruhi oleh pengobyekan indra maka dalam proses ini dapat terjadi penyaringan kognitif atau terjadi modifikasi data. Persepsi diri dalam bekerja mempengaruhi sejauh mana pekerjaan tersebut memberikan tingkat kepuasaan dalam dirinya.

Luthans (2006) mengatakan bahwa ada tiga mekanisme pembentukan persepsi yaitu selectivity, closure, dan interpretation. Dimana proses selectivity terjadi apabila seseorang menerima pesan maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan yang dianggap penting dan tidak penting yang diperoleh dengan cara menyimpulkan dan menafsirkan pesan, proses closure akan menyeleksi hasil kesimpulan kemudian disusun suatu kesatuan kumpulan pesan atau stimuli dan yang terakhir interpretation terjadi bila pesan tersebut diinterpretasikan atau penafsiran pola stimulus secara menyeluruh kedalam lingkungan individu.


(29)

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, Velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimuli munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi yaitu dorongan untuk merespons sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan dari pada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumtions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain (Robbins, 2005).

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Sekretariat Negara, 2009). Azwar (1996) yang mengutip pendapat Wolper (2001) menjelaskan rumah sakit merupakan tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.

Menurut Parasuraman dalam Irawan (2008), kualitas pelayanan kesehatan didalam sistem kesehatan nasional diartikan sebagai upaya pelayanan kesehatan yang bersifat terpadu, meyeluruh, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Berry, Zeithaml dan Parasuraman atau biasa dikenal dengan teori


(30)

SERVQUAL terdapat lima dimensi yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas pelayanan kesehatan, yaitu dapat diraba (tangibles), kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance) dan empathy.

a. Bukti fisik (Tangibles) yaitu kemampuan suatu instansi pelayanan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberkan oleh pember jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi) serta penampilan pegawainya.

b. Kehandalan (Reliability) yaitu kemampuan instansi pelayanan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

c. Ketanggapan (Responsiveness) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.

d. Jaminan (Assurance) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menimbulkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi


(31)

(communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence) dan sopan santun (courtesy).

e. Perhatian (Emphaty) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

Keputusan berobat kembali pasien merupakan pengambilan keputusan oleh konsumen/pasien. Pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pembelajaran untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu di antaranya (Setiadi, 2008). Niat berobat kembali dapat juga diartikan sebagai bagian dari tahapan loyalitas konsumen seperti diungkapkan oleh Oliver dalam Setiawati B (2006) bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan prilaku.

Menurut Suryani (2008), ada lima peranan yang terlibat dalam mengambil keputusan melakukan kunjungan ulangan. Kelima peran tersebut meliputi :

a. Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyarankan ide untuk membeli suatu barang/jasa.


(32)

b. Pembawa pengaruh (influencer), yaitu orang yang memiliki pandangan atau nasihat yang mempengaruhi keputusan.

c. Pengambilan keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan. d. Pembeli (buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian secara nyata.

e. Pemakai (user), yaitu orang yang mengonsumsi dan menggunakan barang/jasa.

2.5. Kerangka Konsep

Konsep pokok dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi pasien tentang mutu pelayanan rumah sakit terhadap keputusan berobat kembali di Rumah Sakit Abdul Malik TNI AU Medan Tahun 2012.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian PERSEPSI PASIEN

Mutu Pelayanan RS

KEPUTUSAN BEROBAT KEMBALI 1. Bukti Fisik

(Tangibles) 2. Kehandalan

(Reliability) 3. Ketanggapan

(Responsivness) 4. Jaminan

(Assurance) 5. Perhatian


(1)

demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Bila fasilitas ini mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat penggunaan dimasa lalu dan kecendrungan merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa yang akan datang.

4. Terjangkau

Syarat pokok keempat pelayanan yang baik adalah terjangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini terutama dari sudut biaya untuk dapat mewujudkan harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh sebahagian masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan yang baik.

5. Bermutu

Syarat pokok kelima pelayanan yang baik adalah bermutu (Quality) yaitu yang menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan dipihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai kode etik serta standar yang telah ditetapkan.


(2)

2.4. Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka, maka peneliti dapat merumuskan beberapa landasan teori yang relevan dengan tujuan penelitian.

Menurut Rakhmat (2007), persepsi adalah pengalaman tentang peristiwa atau hubungan-hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sementara Kotler dan Amstrong (2001) menjelaskan persepsi merupakan proses seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran yang berarti mengenai dunia. Mangkunegara (2002) mendefenisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan impresi sensorinya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya, meskipun persepsi sangat dipengaruhi oleh pengobyekan indra maka dalam proses ini dapat terjadi penyaringan kognitif atau terjadi modifikasi data. Persepsi diri dalam bekerja mempengaruhi sejauh mana pekerjaan tersebut memberikan tingkat kepuasaan dalam dirinya.

Luthans (2006) mengatakan bahwa ada tiga mekanisme pembentukan persepsi yaitu selectivity, closure, dan interpretation. Dimana proses selectivity terjadi apabila seseorang menerima pesan maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan yang dianggap penting dan tidak penting yang diperoleh dengan cara menyimpulkan dan menafsirkan pesan, proses closure akan menyeleksi hasil kesimpulan kemudian disusun suatu kesatuan kumpulan pesan atau stimuli dan yang terakhir interpretation

terjadi bila pesan tersebut diinterpretasikan atau penafsiran pola stimulus secara menyeluruh kedalam lingkungan individu.


(3)

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, Velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimuli munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi yaitu dorongan untuk merespons sesuatu,

interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan dari pada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumtions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain (Robbins, 2005).

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Sekretariat Negara, 2009). Azwar (1996) yang mengutip pendapat Wolper (2001) menjelaskan rumah sakit merupakan tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.

Menurut Parasuraman dalam Irawan (2008), kualitas pelayanan kesehatan didalam sistem kesehatan nasional diartikan sebagai upaya pelayanan kesehatan yang bersifat terpadu, meyeluruh, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Berry, Zeithaml dan Parasuraman atau biasa dikenal dengan teori


(4)

SERVQUAL terdapat lima dimensi yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas pelayanan kesehatan, yaitu dapat diraba (tangibles), kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance) dan empathy.

a. Bukti fisik (Tangibles) yaitu kemampuan suatu instansi pelayanan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberkan oleh pember jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi) serta penampilan pegawainya.

b. Kehandalan (Reliability) yaitu kemampuan instansi pelayanan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

c. Ketanggapan (Responsiveness) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.

d. Jaminan (Assurance) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menimbulkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi


(5)

(communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence) dan sopan santun (courtesy).

e. Perhatian (Emphaty) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

Keputusan berobat kembali pasien merupakan pengambilan keputusan oleh konsumen/pasien. Pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pembelajaran untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu di antaranya (Setiadi, 2008). Niat berobat kembali dapat juga diartikan sebagai bagian dari tahapan loyalitas konsumen seperti diungkapkan oleh Oliver dalam Setiawati B (2006) bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan prilaku.

Menurut Suryani (2008), ada lima peranan yang terlibat dalam mengambil keputusan melakukan kunjungan ulangan. Kelima peran tersebut meliputi :

a. Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyarankan ide untuk membeli suatu barang/jasa.


(6)

b. Pembawa pengaruh (influencer), yaitu orang yang memiliki pandangan atau nasihat yang mempengaruhi keputusan.

c. Pengambilan keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan. d. Pembeli (buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian secara nyata.

e. Pemakai (user), yaitu orang yang mengonsumsi dan menggunakan barang/jasa.

2.5. Kerangka Konsep

Konsep pokok dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi pasien tentang mutu pelayanan rumah sakit terhadap keputusan berobat kembali di Rumah Sakit Abdul Malik TNI AU Medan Tahun 2012.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian PERSEPSI PASIEN

Mutu Pelayanan RS

KEPUTUSAN BEROBAT KEMBALI 1. Bukti Fisik

(Tangibles)

2. Kehandalan (Reliability) 3. Ketanggapan

(Responsivness) 4. Jaminan

(Assurance) 5. Perhatian