T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP terhadap Permainan Dadu Gurak dalam Upacara Adat Wara di Barito Selatan T1 BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Tinjuan Pustaka

1. Tinjauan Mengenai Perjudian

a. Pengertian Perjudian

  Segala bentuk perjudian pada hakekatnya adalah suatu perbuatan dimana didalamnya ada pertaruhan antara menang dan

  kalah dengan mengacu kepada untung – untungan para pemainnya. 1 Pada umumnya dalam perjudian yang dijadikan sebagai taruhan

  adalah berupa uang dengan nominal yang tidak menentu bahkan tidak ada batasnya berapa nominal uang yang akan dipertaruhkan. Perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan Negara ditinjau dari kepentingan nasional.

  Perjudian atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1989) adalah:

  Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan. Berjudi adalah memperatuhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah

  1 Wikipedia Indonesia, Perjudian, diakses dari https:id.wikipedia.orgwikiPerjudian (pada tanggal 6 Maret 2017) 1 Wikipedia Indonesia, Perjudian, diakses dari https:id.wikipedia.orgwikiPerjudian (pada tanggal 6 Maret 2017)

  Dalam presfektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubung dengan itu, dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

  Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang dikatakan permainan judi ialah:

  Tiap – tiap permaianan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain – lainnya yang tidak diadakannya antara mereka yang turut berlomba atau bermain,

  demikian juga segala pertaruhan lainnya. 3

  Adapun yang dihukum menurut Pasal ini ialah :

  a. Mengadakan atau memberi kesempatan main judi tersebut sebagai pencaharian. Seorang Bandar atau orang lain yang sebagai perusahaan membuka perjudian, orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Di sini tidak perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum, meskipun di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup sudah cukup, asal perjudian itu belum mendapat izin dari yang berwajib;

  b. Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Di sini tidak perlu sebagai pencaharian, tetapi harus di tempat umum

  2 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http:kbbi.web.idjudi

  (diakses tanggal 6 Maret 2017)

  3 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Permata Press, hlm. 105.

  atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Inipun apabila telah ada izin dari yang berwajib, maka tidak di hukum;

  c. Turut main judi sebagai pencaharian. 4

  Di Indonesia, selain permainan judi dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, permainan judi juga dipandang sebagai suatu hal yang dapat membahayakan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat Bangsa dan Negara. Adanya larangan permainan judi ditingkatkan menjadi kejahatan dengan ancaman pidana yang sangat berat, oleh karena itu menjadi kewajiban semua pihak untuk ikut berperan aktif dalam menanggulangi, memberantas, dan paling tidak mencegah timbulnya perjudian tersebut.

b. Unsur – Unsur Perjudian dalam KUHP

  Berkaitan dengan masalah judi atau perjudian yang menjadi salah satu rangkaian ritual adat, hal ini bukan lagi dianggap masalah yang sepele. Judi atau perjudian merupakan suatu tindak pidana yang sudah jelas tercantum didalam Pasal 303 KHUP dan 303 bis KUHP. Tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 memiliki unsur subjektif dan unsur – unsur objektif.

  Unsur subjektif adalah unsur – unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur – unsur yang ada hubungannya dengan keadaan – keadaan, yaitu di dalam keadaan –

  4 Dali Mutarani, Tafsiran KUHP, Restu Agung, Bandung, hlm. 205.

  keadaan mana tindakan – tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 5

  Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal 303 KHUP adalah sebagai berikut :

  1. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP melarang dilakukannya dua macam perbuatan, masing – masing yakni:

  a. Kesengajaan melakukan sebagai usaha yakni perbuatan –

  perbuatan menawarkan

  atau

  memberikan kesempatan untuk bermain judi;

  b. Kesengajaan turut serta sebagai usaha dalam usaha menawarkan atau memberikan kesempatan untuk

  bermain judi. 6

  1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam

  ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai hak untuk itu’,‘melakukan sebagai usaha’, ‘menawarkan atau memberikan kesempatan’,

  ‘untuk bermain judi’. 7

  a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’, oleh pembentuk undang – undang telah diletakkan

  didepan unsur – unsur objektif. 8 Untuk memenuhi unsur kesengajaan tersebut, kepada

  pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang : (1) Adanya kehendak atau maksud pelaku

  untuk menjadikan kesengajaan menawarkan

  5 P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 193

  6 P.A.F. Lamintang, Delik – Delik Khusus Tindak Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 319.

  7 Ibid., hlm. 320.

  8 Ibid.

  atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha;

  (2) Adanya kehendak atau maksud pelaku

  untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi;

  (3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang ia

  tawarkan atau yang kesempatannya ia berikan itu adalah untuk bermain judi. 9

  b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

  menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

  pidana tersebut; 10

  c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi; 11

  d) Unsur objektif ‘melakukan sebagai suatu

  usaha’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang membuat

  perbuatan atau kegiatanya menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk

  mendapatkan keuntungan material; 12

  e) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan kesempatan’ untuk bermain judi, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang terbukti melakukan perbuatan atau kegiatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi, padahal dia tidak memiliki izin dari kekuasaan yang berwenang untuk melakukan perbuatan atau

  kegiatan tersebut sebagai usaha; 13

  9 Ibid.

  10 Ibid., hlm. 321.

  11 Ibid.

  12 Ibid., hlm. 322.

  13 Ibid.

  f) Unsur objektif ‘untuk bermain judi’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang melakukan sebagai usaha, yakni perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada orang untuk

  bermain judi. 14

  2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam

  ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah kesengajaan turut serta melakukan sesuatu dalam usaha orang lain menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur ‘barangsiapa’,‘tanpa mempunyai hak’, ’turut dengan melakukan sesuatu’, ’dalam usaha orang lain tanpa hak menawarkan atau memberikan

  kesempatan untuk bermain judi’. 15

  a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh pembentuk undang – undang ditempatkan di depan unsur – unsur turut serta, melakukan sesuatu dan daartoe, yang menunjukan pada usaha orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dengan sengaja telah dilakukan tanpa

  hak. 16 Untuk memenuhi unsur dengan sengaja

  tersebut, kepada pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang : (1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;

  (2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan

  sesuatu; (3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang

  dilakukan orang lain itu merupakan suatu

  14 Ibid., hlm. 323.

  15 Ibid., hlm. 324.

  16 Ibid., hlm. 325.

  kesengajaan menawarkan atau member kesempatan untuk bermain judi, yang telah dilakukannya sebagai suatu usaha dan tanpa

  hak. 17

  b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

  menunjukan orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut; 18

  c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau

  memberikan kesempatan untuk bermain judi; 19

  d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan

  sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang dengan melakukan sesuatu tindakan tertentu telah memungkinkan para bandar judi tanpa hak menawarkan atau memberi

  kesempatan untuk bermain judi; 20

  e) Unsur objektif ‘daartoe atau kesengajaan tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bemain judi’, unsur ini menunjukan bahwa objek dari keturutsertaan pelaku yang merupakan suatu kesengajaan tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dilakukan oleh orang

  20 Ibid., hlm. 326.

  21 Ibid., hlm. 328.

  2. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP melarang dilakukannya dua macam perbuatan, 22 masing – masing yakni:

  a. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kesempatan pada khalayak ramai untuk bermain judi;

  b. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja turut serta dalam perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain

  judi dengan melakukan sesuatu. 23

  1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam

  ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai hak’, ‘menawarkan atau memberikan kesempatan

  untuk bermain judi kepada khalayak ramai’. 24

  a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh pembentuk undang – undang ditempatkan di depan unsur – unsur menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi

  dan kepada khalayak ramai. 25 Untuk memenuhi unsur kesengajaan tersebut, kepada pelaku maka

  harus dapat dibuktikan tentang : (1) Tentang adanya kehendak pelaku untuk

  menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi;

  (2) Tentang adanya kehendak atau setidak –

  tidaknya tentang adanya pengetahuan

  22 Ibid.

  23 Ibid.

  24 Ibid., hlm. 330.

  25 Ibid.

  pelaku, bahwa penawaran atau kesempatan untuk bermain judi itu telah ia berikan

  kepada khalayak ramai. 26

  b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

  menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

  pidana tersebut; 27

  c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan

  menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai; 28

  d) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan

  kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai’, unsur ini menunjukan bahwa

  pelaku harus terbukti merupakan orang yang menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai. 29

  2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam

  ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai hak’, ‘turut serta dengan melakukan sesuatu’, ‘dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk

  bermain judi kepada khalayak ramai’. 30

  a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh pembentuk undang – undang ditempatkan

  26 Ibid., hlm. 331.

  30 Ibid., hlm. 332 – 333.

  didepan unsur – unsur turut serta, melakukan sesuatu dan daartoe. 31 Untuk memenuhi unsur

  dengan sengaja tersebut, kepada pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang : (1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;

  (2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan

  sesuatu; (3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia telah

  turut serta dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk

  bermain judi. 32

  b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

  menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

  pidana tersebut; 33

  c) Unsur objektif “tanpa mempunyai hak”, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan

  menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai; 34

  d) Unsur objektif “turut serta dengan melakukan

  sesuatu”, unsur ini menunjukkan harus dilakukannya in onderneming atau dalam bentuk

  memungkinkan kehendak orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai itu dapat menjadi kenyataan; 35

  31 Ibid., hlm. 333.

  32 Ibid.

  33 Ibid., hlm. 334.

  34 Ibid.

  35 Ibid., hlm. 334 – 335.

  e) Unsur objektif “dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai”, unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus merupakan orang yang terbukti telah tanpa hak turut serta dalam perbuatan orang lain, yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain judi dengan melakukan sesuatu

  perbuatan tertentu. 36 Perbedaan antara ketentuan pidana yang diatur dalam

  Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP dengan ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah: (1) Larangan pertama didalam ketentuan pidana yang

  diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain judi, dengan keterangan bahwa perbuatan

  kesempatan kepada khalayak ramaiuntuk bermain judi itu tidak perlu dilakukan oleh pelaku sebagai suatu usaha. Sedangkan larangan pertama di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah larangan untuk membuat perbuatan meneawarkan atau memberikan kesempatan bermain judi itu sebagai suatu usaha, dengan keterangan bahwa penawaran atau pemberian kesempatan untuk bermain judi itu tidak perlu ditunjukan kepada khalayak ramai.

  (2) Larangan kedua didalam ketentuan pidana yang

  diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP itu ialah larangan untuk tanpa hak turut sera dalam perbuatan

  kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai, yang oleh pelakunya tidak perlu dilakukan sebagai suatu usaha. Sedangkan larangan kedua didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak turut serta dalam perbuatan atau menawarkan kesempatan bermain judi, yang oleh pelakunya telah dilakukan sebagai suatu usaha, akan tetapi tidak perlu ditunjukan kepada khalayak ramai. 37

  36 Ibid., hlm.335.

  37 Ibid., hlm. 329.

  3. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP, ialah tanpa hak melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta dalam permainan judi. Dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP tersebut, hanya terdiri dari unsur objektif saja, antara lain “barangsiapa”, “tanpa mempunyai hak, turut serta”, “sebagai suatu usaha dalam permainan judi”. Walaupun pembentuk undang – undang tidak mensyaratkan sesuatu unsur subjektif dalam rumusan tindak pidana tersebut, akan tetapi karena sudah jelas bahwa tindak pidana tersebut merupakan suatu opzettelijk delictatau suatu delik yang harus dilakukan dengan sengaja. 38

  a) Untuk

  kesengajaan dalam melakukan tindak pidana tersebut, kepada pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang : (1) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia

  sebenarnya tidak mempunyai izin dari kekuasaan yang berwenang untuk melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta di dalam permainan judi;

  (2) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta di

  dalam permainan judi; (3) Adanya kehendak pelaku untuk menjadikan

  keturutsertaannya di dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha;

  keturutsertaannya sebagai suatu usaha itu merupakan kerturutsertaan dalam permainan judi. 39

  b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini menunjukan

  orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303

  38 Ibid., hlm. 335.

  39 Ibid., hlm.336.

  ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut; 40

  c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi sebagai suatu

  usaha; 41

  d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan

  sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang tanpa hak turut serta dalam permainan judi. 42

  e) Unsur objektif ‘sebagai suatu usaha’, unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus merupakan orang membuat keturutsertaannya dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha, dengan mensyaratkan bahwa pelaku harus telah terbukti melakukan perbuatan dengan berulang kali atau setidak – tidaknya

  sebanyak lebih dari satu kali; 43

  f) Unsur objektif ‘dalam permainan judi’, unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang membuat keturutsertaannya

  sebagai suatu usaha dalam permainan judi. 44

  Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal 303 bis KHUP adalah sebagai berikut :

  1. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain

  40 Ibid.

  41 Ibid.

  42 Ibid., hlm. 337.

  43 Ibid.,

  44 Ibid., hlm 339.

  “barangsiapa”, “memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi” dan “yang sifatnya bertentangan

  dengan salah satu dari ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP”. 45

  a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang yang apabila ia terbukti memenuhi unsur – unsur selebihnya dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP maka ia dapat

  disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. 46

  b. Unsur objektif “memakai kesempatan yang terbuka untuk bermain judi” itu merupakan perbuatan yang dilarang didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP. Yang dimaksud memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi itu bukanlah setiap pemakaian kesempatan yang terbuka karena ada orang yang memberikan kesempatan untuk berjudi, misalnya seperti berjualan di tempat dimana kesempatan untuk bemain judi itu telah diberikan oleh seseorang, melainkan hanya pemakaian kesempatan dengan

  berjudi atau main judi. 47

  c. Unsur objektif “yang sifatnya bertentangan dengan salah satu dari ketentuang – ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP” ialah bukan bertindak sebagai orang yang memberikan kesempatan untuk berjudi melainkan orang yang memakai kesempatan

  untuk berjudi. 48

  2. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 2 KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain “barangsiapa”, “turut serta berjudi” dan “di atas atau ditepi jalan umum atau disuatu tempat yang terbuka

  untuk umum”. 49

  45 Ibid., hlm 349 .

  46 Ibid., hlm. 349 – 350.

  47 Ibid., hlm. 350.

  48 Ibid., hlm. 352.

  49 Ibid.

  a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang yang apabila orang tersebut memenuhi unsur – unsur selebihnya dari tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan yang diatur Pasal 303bis ayat (1) angka 2 KUHP, dan penyelengaraan dari perjudian yang bersangkutan itu ternyata tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwenang, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. 50

  b. Unsur objektif “turut serta berjudi”, kata turut serta jangan diartikan sebagai keturutsertaan atau deelnemen seperti yang dimaksud dalam ketentuan – ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP melainkan harus diartikan dalam pengertiannya umum menurut bahasa sehari – hari, sehingga orang yang in concreto berjudi itu

  juga dapat disebut sebagai turut serta berjudi. 51

  c. Unsur objektif “di atas atau ditepi jalan umum atau disuatu tempat yang terbuka untuk umum”. Yang

  dimaksud jalan umum itu ialah jalan yang diperuntukan bagi lalulintas umum. Tempat yang terbuka untuk umum itu ialah tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang yang ingin datang ke tempat tersebut. Kenyataan bahwa pada suatu saat tertentu, tempat tersebut sedang ditutup untuk umum, tidak menghilangkan sifatnya sebagai tempat yang terbuka untuk umum. 52

2. Tinjauan Mengenai Upacara Adat

a. Pengertian Upacara Adat

  Upacara adat adalah merupakan salah satu tradisi atau bentuk realisasi wujud kebudayaan yang berkembang di masyarakat tradisional secara turun menurun dan masih dianggap memiliki nilai –

  50 Ibid.

  51 Ibid.

  52 Ibid., hlm. 355 52 Ibid., hlm. 355

  masyarakat berdasarkan kepercayaan yang dianut. Kepercayaan inilah yang membuat masyarakat kemudian melakukan berbagai perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual – ritual, baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritual – ritual adat lainnya.

  Didalam hasil penelitian ini, penulis ingin menggambarkan tentang Upacara Adat Wara di Barito Selatan yang pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak Taboyan, Suku Dayak Dusun Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Ngaju yang menganut agama HinduKaharingan. Didalam pelaksanaan Upacara Adat Wara itu sendiri penulis kemudian memfokuskan kepada ritual adat Kaleker Diau yang menyajikan pemainan Dadu Gurak. Permainan Dadu Gurak ialah perminan dengan menggunakan dadu balok dimana orang yang ikut bermain dalam permainan tersebut akan mempertaruhkan sejumlah uang dengan nominal yang tidak terbatas dan kemudian menebak mata dadu balok yang akan keluar setelah diguncang oleh Bandar.

  Seperti yang telah dipahami, bahwa upacara adat erat kaitannya dengan ritual – ritual keagamaan dan dalam penelitian ini penulis tidak hanya melihat dari perspektif keagamaan saja terkhususnya agama HinduKaharingan, namun penulis juga mencoba melihat dari

  53 BASASTRA, Ijurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya”,

  diakses dari http:bastind.fkip.uns.ac.idwp-contentuploads201302Sri-Endahwati1.pdf (pada tanggal 8 Maret 2017) diakses dari http:bastind.fkip.uns.ac.idwp-contentuploads201302Sri-Endahwati1.pdf (pada tanggal 8 Maret 2017)

b. Hukum Adat

  Secara umum hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam

  keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. 54

  Istilah hukum adat dikemukanan pertama kali oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronsye dalam bukunya yang berjudul “De Accheers” dan kemudian diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recth Van Nederland

  Indie”. 55 Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven berpendapat, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak

  dikodifikasi (adat). 56 Pendapat lain berasal dari Prof. Mr. Kusumadi Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang “adat”

  dan sekaligus “hukum” pula. 57

  54 Soepomo, Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 3.

  55 Bursar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), PT Pradya

  Paramitha, Jakarta, 1981, hlm. 60.

  56 Wikipedia Indonesia, Hukum Adat, diakses dari

  https:id.wikipedia.orgwikiHukum_adatMenurut_Prof._Mr._Cornelis_van_Vollenhoven (pada tanggal 7 Maret 2017)

  57 Prof. H.A.M. Effendy, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Mahdi Offset, 1994, hlm.

  115 – 116.

  Secara garis besar, pendapat para ahli tentang hukum adat dapat disimpulkan sebagai hukum suku bangsa yang berlaku, yang mengatur pertalian – pertalian hukum orang – orang dibidang kenegaraan, kemasyarakatan, yang mempunyai akibat – akibat hukum tetapi tidak

  dimuat dalam kitab Undang – Undang. 58

  Didalam teori Mazhab Sejarah Hukum, Friederich Karl Von Savigny bependapat bahwa:

  “Hukum kebiasaan atau hukum adat adalah salah satu manifestasi dari hukum positif. Hukum adat, menurutnya menjadi badge atau symbol atau penanda

  dari adanya hukum positif yang diakui oleh masyarakat. Kontinuitas dalam hukum adat tidak dapat dijadikan ukuran bahwa hukum kebiasaan tersebut adalah hukum positif secara total dan hukum kebiasaan (customary law) bukanlah patokan absolute akan adanya hukum positif. Hukum kebiasaan hanya menjadi salah satu variabel dalam menentukan hukum positif, tetapi bukan sebagai penentu akan adanya hukum positif. Selain itu ada peristiwa – peristiwa lain yang harus dipertimbangkan untuk menetapkan hal tersebut sebagai hukum positif. Dasar dari hukum positif itu sendiri adalah kesadaran dan semangat merakyat

  (bangsa) yang bersangkutan. 59 R. Soepomo mengelaborasikan hubungan individu dan

  masyarakat dalam hukum adat, demikian:

  “Paham hukum tradisional, bahwa individu pada asasnya bebas dalam laku perbuatannya, asal tidak melanggar batas – batas hukum yang telah ditetapkan baginya, tidak terdapat dalam hukum adat, dimana orang perorangan tidak mempunyai hak – hak abstrak (misalnya, hak milik, padahal yang mempunyai hak itu tidak memiliki apa – apa),

  58 Dr. Bernard L Tanya,Hukum dalam Ruang Sosial, Genta Publising,Yogyakarta,

  2011, hlm.108.

  59 Antonius Cahyadi – Fernando Manuliang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana,

  Jakarta, 2008, hlm. 138 – 139.

  melainkan kekuasaan – kekuasaan hukum yang konkret sebagai anggota persekutuan teritorial, persekutuan

  persekutuan lain”. 60 Dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah peraturan yang

  dapat dikatakan lebih luas daripada hukum namun juga tidak sepenuhnya hukum. Hukum adat lebih luas dari pada hukum, karena hukum adat mendahului dan merupakan titik – tolak hukum serta

  merupakan peraturan hidup yang bersifat sakral dan ritual. 61 Dilain sisi hukum adat juga tidak sepenuhnya hukum, karena dalam

  keanekaragamannya yang dinamis terus menerus meloloskan diri dari pembentukan baku – kodifikasi. 62

c. Hukum Pidana Adat

  Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda “adat delicten recht” atau “hukum pelanggaran adat” dan istilah ini

  dikenal dikalangan masyarakat adat. 63 Hukum pidana adat adalah

  hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah

  menggangu keseimbangan masyarakat. 64 Jika suatu peristiwa atau perbuatan mengakibatkan kegoncangan terhadap keseimbangan dalam

  60 Ibid., hlm. 109 dikutib dari R. Soepomo, hubungan Individu dan Masyarakat Dalam

  Hukum Adat, Gita Karya, d.b Noor Komala 1963, hlm.10.

  61 Ibid.

  62 Ibid., hlm. 110.

  63 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hlm. 17.

  64 Ibid., hlm. 18.

  berkehidupan masyarakat, baik peristiwa atau perbuatan itu legal atau illegal, maka peristiwa atau perbuatan itu adalah melanggar hukum.

  Hukum pidana adat memiliki sumber hukumnya baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan – kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarkat adat yang bersangkuat. 65

  Sedangkan sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan – peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit

  atau bahan lainnya. 66

  Pemberlakuan hukum pidana adat ialah hukum pidana adat akan tetap berlaku selama masyarakat hukum adat itu masih ada dan tetap mempertahankannya. Semuanya itu sangat bergantung pada “desa”

  (tempat), “kala” (waktu) dan “patra” (keadaan). 67 Pemberlakuan

  hukum pidana adat tersebut sejalan dengan teori Mazhab Sejarah Hukum, Friederich Karl Von Savigny yang berpandangan bahwa hukum positif muncul dalam masyarakat dan dalam kesadaran umum

  dari rakyat yang menciptakan dan menumbuhkan hukum positif. 68

  65 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT.

  Fikahati Aneska, Jakarta, 2013, hlm. 111.

  66 Ibid., hlm. 114.

  67 Ibid., hlm.115.

  68 Kutipan dari Antonius Cahyadi – Fernando Manuliang, Pengantar ke Filsafat Hukum,

  Kencana, Jakarta, 2008, hlm.132. Pernjelasan : Asumsi – asumsi tersebut adalah asumsi tentang universalisme dan ahistorisitas. Perlu diingat bahwa yang diserang Sivigny ialah usaha menduplikasi kode Napoleonik dalam usaha kodifikasi tersebut.

  “Hukum positif dalam pengertian ini adalah hukum yang tercatat maupun yang tertulis bahkan hukum adat masyarakat setempat, maka dari itu hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif yang terbentuk sesuai dengan perjalanan dan

  perkembangan masyarakat.” 69

  Dalam hukum pidana adat untuk membuktikan adanya suatu pelanggaran maka harus ada terjadinya delik adat terlebih dahulu. Menurut Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven yang dimaksud dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan

  adat yang kecil saja. 70

  Hilman Hadikusuma berpendapat terkait yang dimaksud dengan delik adat ialah :

  “suatu peristiwa atau perbuatan yang menggangu kesimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan

  dengan hukuman denda atau dengan upacara adat”. 71

  Seperti yang telah dipahami, bahwa perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ialah merupakan delik adat. Terkait dengan masalah tersebut, Ter Haar menganggap bahwa suatu pelanggaran (delik) ialah:

  69 Ibid., hlm. 136, dikutip dari Soejono Soekanto dan Purnandi Purbatjaraka, aneka

  Cara Pembedaan Hukum, Citra Bakti, bandung, 1994, hlm. 18.

  70 I Made Widnyana, op.cit.,, hlm. 19 dikutip dari Surjono Wignjodipuro, Pengantar dan

  Azas – Azas Hukum Adat, PT. Alumni, Bandung, 1971, hlm. 316.

  71 Ibid, hlm. 117, dikutip dari Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat

  Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 231.

  “setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap kesimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada

  barang – barang kehidupan material dan immaterial orang seorang, atau dari pada orang – orang banyak yang merupakan satu keastuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adat reactie) karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran

  berupa barang – barang atau uang)”. 72 Berdasarkan uraian Ter Haar, maka terganggunya keseimbangan

  masyarakat dapat terjadi bukan saja terhadap suatu yang berwujud nyata, akan tetapi juga terhadap suatu yang tidak bewujud dan hal ini disebabkan oleh masyarakat hukum adat memiliki alam pikiran yang

  komunalisme dan religious magis yang kuat. 73

  Jadi yang dimaksud dengan delik adat itu adalah perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, kemanan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun

  perbuatan penguasa sendiri. 74

  Dari beberapa pandangan tersebut, maka didalam hukum pidana adat memiliki 2 (dua) kategori dalam terjadinya delik adat ialah adanya tata – tertib adat yang dilanggar dan keseimbangan masyarakat terganggu.

  72 Ibid., hlm. 117 – 118, dikutip dari Tet Haar, B. Bzn., Asas – asas dan Susunan

  Hukum Adat, hlm. 128, Terjemahan Kng. Soebekti Poespnoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960.

  73 Ibid., hlm. 118.

  74 Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm. 20.

  1) Tata-tertib Adat Dilanggar

  Tata-tertib adat adalah ketentuan – ketentuan adat yang bersifat tradisional yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seperti ketentuan – ketentuan yang bersifat adat sebenarnya adat, adat-istiadat, adat nan diadatkan dan adat nan teradat. Apabila kesemua ketentuan adat itu ada yang dilanggar, maka terjadilah delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat. Apabila reaksi dan koreksi itu tidak ada lagi, dan pihak yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran, maka walaupun menurut ketentuan yang berlaku peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran, maka hal tersebut tidak lagi merupakan delik. Hukum adat tidak mengenal sistem hukum yang statis, maka hukum pidana adat pun tidak statis. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, begitu pula dengan pelanggaran terhadap hukum adat. Terjadinya delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar ketentuan adat yang dipertahankan oleh petugas hukum adat, dapat juga terjadi

  dikarenakan yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan. 75

  2) Keseimbangan Masyarakat Terganggu

  Keseimbangan dalam masyarakat akan menjadi terganggu dikarenakan peristiwa yang terjadi bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu, tempat dan keadaan. Keseimbangan itu dapat dibedakan antara keseimbangan masyarakat

  pada umumnya,

  keseimbangan kelompok, keseimbangan kerabat atau keluarga. Jadi terjadinya delik adat ada yang sifatnya bertentangan dengan rasa keadilan umum, bertentangan dengan asas kesamaan hak dan kerukunan yang umum, dan ada yang hanya bertentangan dengan hak – hak kerukunan kekerabatan, kekeluargaan atau perorangan. Dalam tata hukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai suatu delik ialah setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak, setiap pelanggaran sepihak terhadap kebendaan dalam hidup yang berwujud atau tidak berwujud dari orang seorang, dalam bentuk kesatuan atau dari sejumlah orang (sekelompok). 76

  75 Ibid., hlm. 25 – 26.

  76 Ibid., hlm 27 – 28.

  Apabila diamati dari beberapa definisi tentang tindak pidana adat (delik adat), pada pokonya terdapat empat unsur yang menunjukan kapan terjadinya suatu tindak pidana adat (delik adat) antara lain:

  1) Seketika adanya perbuatan yang dilakukan oleh

  perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri;

  2) Seketika perbuatan itu bertentangan dengan norma – norma

  hukum adat;

  3) Seketika perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan

  kegoncangan karena menggangu keseimbangan dalam masyarakat; dan

  4) Atas perbuatan tersebut kemudian menimbulkan reaksi dari

  masyarakat yang berupa sanksikewajiban adat. 77

  Didalam menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya asas legalitas sebagaimana diatur oleh sistem KUHP, dimana mengharuskan adanya suatu undang – undang terlebih dahulu yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang atau

  tidak boleh dilakukan. 78 Karena suatu tindak pidana adat terjadi apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai

  perbuatan yang tidak patut, dipandang akan menggangu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. 79

  Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, hukum muncul dalam masyarakat. munculnya hukum tersebut dalam masyarakat mengandung 3 (tiga) nilai identias untuk terpenuhinya tujuan dari hukum itu sendiri ialah Kepastian Kepastian Hukum,

  77 I Made Widnyana, op.cit., hlm. 120.

  78 Ibid.

  79 Ibid.

  Keadilan Hukum dan Kemanfaatan Hukum. 80 Dalam hal penulisan hasil penelitian ini, penulis lebih memfokuskan kepada pembahasan

  tentang Kepastian hukum yang mana pada hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

  orang. 81

3. Sifat Melawan Hukum Sifat melawan hukum (onrechtmatige atau wederrechtelijk) dalam

  hukum pidana merupakan hal pokok yang harus ada atau mutlak dan setiap rumusan delik tindak pidana. Seperti yang diketahui, dalam hal untuk terpenuhinya suatu rumusan delik didalam rumusan suatu tindak pidana Van Hamel merumuskan 4 (empat) unsur delik (strafabaar feiti) sebagai berikut:

  a. Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang – Undang (eene wettelijke omschreven menschelijke gedraging);

  b. Bersifat melawan hukum (onrechtmatig);

  c. Yang patut dipidana (strafwaarding en aan schuld te wijten); dan

  d. Dilakukan dengan kesalahan. 82

  80 Rasjuddin Dungge, Hubungan 3 Tujuan Hukum Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan

  Keadialan, diakses dari http:rasjuddin.blogspot.co.id201306hubungan-3-tujuan-hukum- kepastian-hukum.html (pada tanggal 7 Maret 2017)

  81 Rahman Amin, Falsafah Keadilan, Kepastian Hukum dan Penegak Hukum, diakses

  dari http:rahmanamin1984.blogspot.co.id201403hukum-pidana.html (pada tanggal 7 Maret 2017)

  82 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 120.

  Dari keempat unsur delik terpenuhinya rumusan tindak pidana, didalam penelitan ini, penulis lebih memfokuskan untuk mebahas terkait dengan unsur delik sifat melawan hukum (onrechtmatig) yang merupakan unsur objektif dari suatu tindak pidana.

  Bambang Poernomo membagi perbuatan melawan hukum ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu perbutan melawan secara formil dan perbuatan hukum

  secara materil. 83

a. Sifat Melawan Hukum Formil

  Sifat melawan hukum formil ialah dimana suatu perbuatan telah cocok dengan rumusan undang – undang, maka perbuatan itu sudah

  jelas bersifat melawan hukum. 84 Dengan demikian, tidak perlu lagi diselidiki lebih lanjut apakah perbuatan tersebut bersifat melawan

  hukum atau tidak, dengan kata lain dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.

  Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum hanya perlu dibuktikan apabila ada kata melawan hukum yang tercantum didalam rumusan tindak pidana itu sendiri. 85 Apabila tidak

  ada kata melawan hukum yang tercantum didalam pasal, maka melawan hukum bukanlah unsur tindak pidana dan karenanya tidak perlu dibuktikan.

  83 Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakata, 1985, hlm. 132.

  84 Frans Maramis, Hukum Pidana Umun dan Tertulis Di Indonesia, PT. RajaGrafindo

  Persada, Jakarta, 2012, hlm. 108.

  85 Ibid.

b. Sifat Melawan Hukum Materil

  Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan yang dapat di buktikan melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat di dalam undang – undang (tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas – asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukum materil bukan hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang saja, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam pergaulan masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Sifat melawan hukum materil menurut para ahli dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif.

  a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif Dalam arti negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan seseorang memenuhi rumusan delik dalam undang – undang (melawan hukum secara formil), namun apabila dilihat dari isinya ternyata bukan perbuatan yang tercela (tidak melawan hukum secara materiil), maka terhadapnya tidaklah

  dikenakan suatu hukuman. 86

  b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif Dalam arti positif diartikan meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi unsur delik, namun menurut masyarakat perbuatan itu tercela, maka secara positif perbuatan itu dianggap

  sebagai melawan hukum. 87

  Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum yang material, apabila kata melawan hukum tidak tercantum dalam rumusan pasal

  86 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 178.

  87 Ibid., hlm. 179 87 Ibid., hlm. 179

  memiliki fungsi untuk menghukum seseorang yang perbuatannya tidak dilarang undang – undang. Fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil dihalangi dan dilarang oleh legalitas yang

  terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 89

4. Penegakan Hukum

  Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris disebut dengan law enforcement. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma – norma hukum secara

  nyata 90 sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan – hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara demi mewujudkan ide – ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan

  hukum untuk mencapai suatu keadilan. 91 Kendatipun demikian tidak dapat pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu

  88 Frans Maramis, op.cit. hlm. 110.

  89 Ibid.

  90 Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988, hlm. 32.

  91 Ibid.

  adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat. Penegakan hukum dapat ditinjau dari

  2 (dua) sudut antara lain:

  a. Subjeknya, dalam hal ini penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek yang dalam arti luas dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek yang dalam arti sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri ada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya di artikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

  b. Objeknya, yaitu dari segi hukumnya dan dalam hal ini pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai – nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut

  penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 92 Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional penegakan hukum

  adalah menyerasikan hubungan nilai – nilai dengan yang terjabarkan didalam kaidah – kaidahpandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

  hidup. 93 Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah:

  a. Faktor Hukum

  92 Ibid, hlm. 33 – 34.

  93 Soejono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ,

  Cetakan Kelima, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004 hlm. 5.

  Dalam penyelenggaran hukum dilapangan, ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadian yang disebabkan oleh konsepsi keadilan yang merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan normatif. Suatu kebijakan atau tindakan yang sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Hakikatnya penyelengaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement namun peace maintenance karena penyelenggraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

  kedamaian. 94

  b. Faktor Penegak Hukum Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum atau aparatur

  penegak hukum ialah merupakan satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum. dalam proses berkerjannya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

  1) Institusi penegak hukum berserta berbagai perangkat sarana dan

  prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

  2) Berdaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk

  mengenai kesejahteraan aparatnya;

  3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

  kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum meterielnya maupun hukum acaranya.

  Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah mempehatikan ketiga aspek tersebut, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara

  nyata. 95

  c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegak hukum mencakup

  perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contonya adalah pendidikan. Dalam hal ini berfokuskan kepada Polisi sebagai aparat penegak hukum, dimana pendidikan yang diterima oleh Polisi cendrung kepada hal – hal yang praktis konvensional sehingga banyak Polisi yang mengalami hambatan dalam tujuannya sebagai aparat penegak hukum. 96

  94 Ibid, hlm. 42.

  95 Ibid., 44.

  96 Ibid., 45.

  d. Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat yang bertujuan untuk

  mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Adanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsi hukum yang bersangkutan. Namun masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini

  penegak hukum sebagai pribadi). 97

  e. Faktor Kebudayaan Menurut Soerjono Soekanto, kebudayaan mempunyai fungsi yang

  sangat besar bagi manusia dan masyarakat, dimana mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang

  seharusnya dilakukan, dan apa yang dilarang. 98

B. Hasil Penelitian dan Analisis

1. Hasil Penelitian

a. Eksistensi Upacara Adat Wara di Barito Selatan

  Masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah khususnya di Barito selatan memiliki upacara adat yang sangat sakral yang dinamakan Upacara Adat Wara. Upacara adat sakral ini mirip dengan upacara Ngaben yang biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali.

  97 Ibid., 46.

  98 Ibid.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24