ringkasan laporan penelitian

(1)

`

RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN

DAMPAK UJIAN AKHIR

Oleh :

Djemari Mardapi, dkk.

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2004


(2)

A. Latar Belakang

Pada era global semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, karena melalui pendidikan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Menurut Quisumbing (2003), kualitas pendidikan adalah proses yang dinamik, tidak statis dan bukan berupa produk akhir. Oleh karena itu peningkatan kualitas harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Penilaian merupakan komponen yang penting dalam setiap sistem pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan Penilaian hasil belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran, bahkan merupakan hal yang vital dalam sistem pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan formal. Dengan adanya hasil penilaian akan dapat diketahui kemajuan dan perkembangan pendidikan dari waktu ke waktu. Adanya penilaian yang berlaku secara menyeluruh yang bersifat nasional pada semua sekolah juga akan dapat dibandingkan kemajuan pendidikan antar wilayah, antar sekolah, dan antar waktu.

Dalam banyak hal, hasil penilaian sering dipandang sebagai tolok ukur penentuan keberhasilan proses pembelajaran. Sejak tahun 1983 telah diterapkan evaluasi hasil belajar tahap akhir nasional atau disingkat Ebtanas. Banyak pendapat yang pro dan kontra terhadap Ebtanas, baik dari cara penyelenggaraannya, aspek yang diuji, bentuk soal yang dipakai, sampai dengan pemanfaatan Ebtanas yang sekaligus sebagai alat untuk seleksi masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk masuk ke SLTP dan SMU serta SMK.

Pada masa penggunaan Ebtanas, tingkat kelulusan siswa di semua jenjang pendidikan cenderung sangat tinggi. Standar nilai kelulusan sudah ditentukan, namun penentuan nilai akhir merupakan gabungan nilai hasil Ebtanas dan nilai pada rapor dengan bobot yang ditentukan oleh sekolah. Kebebasan sekolah dalam menentukan bobot nilai rapor dan bobot nilai Ebtanas mendorong sekolah meluluskan semua siswa. Kelemahan Ebtanas ini dicoba diatasi dengan menggunakan sistem ujian akhir yang disebut dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2000.

Pada ujian akhir nasional semua mata pelajaran yang ada di sekolah diujikan. Ada tiga mata pelajaran yang soalnya dikembangkan secara nasional, yaitu di pusat penilaian, dan sisanya dikembangkan di sekolah atau daerah. Semua mata pelajaran baik yang dikembangkan di pusat maupun di sekolah atau daerah menjadi


(3)

bagian dari UAN. Kriteria kelulusan yang digunakan adalah peserta didik tidak boleh memiliki nilai 3,0 (tiga) ke bawah. Ada ujian praktek yang hasilnya digabung dengan hasil ujian teori yaitu bahwa mata ujian Indonesia dan bahasa Inggeris. Siswa diperkenankan mengulang apabila nilai yang dicapai pada ujian pertama belum memenuhi batas kelulusan. Hasilnya hampir semua lulus, hal ini bisa disebabkan siswa bertambah giat belajar atau ada pengangkatan nilai yang dicapai siswa pada hasil UAN perbaikan agar lulus.

Pada tahun 2004, batas nilai minimum untuk bisa lulus ditingkatkan menjadi 4,01. Kenaikan batas ini diharapkan meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu nilai praktek dipisahkan dengan nilai teori, sehingga tidak memungkinkan nilai pelajaran yang ada prakteknya seperti sains dan bahasa Inggeris mengangkat nilai teori. Meningkatnyai batas nila lulus dari 3,01 menjadi 4,01 dan pemisahan nilai teori dan praktek diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas pembelajaran. Keputusan ini sebenarnya merupakan tantangan bagi kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Namun kenaikan nilai batas kelulusan dan pemisahan nilai teori dan praktek menimbulkan pro dan kontra terhadap pelaksanaan UAN.

Fakry Gaffar, pakar pendidikan dan rektor Universitas Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa UAN hanya upaya melanggengkan tradisi penghamburan anggaran negara dan dana masyarakat. Darmaningtiyas juga tidak yakin bahwa UAN bisa mengendalikan dan meningkatkan mutu pendidikan (Kompas, 14 April 2004). Pudentia, dosen UI, ketua ATL dan BMPS mengatakan bahwa perlu segera menggantikan sistem UAN dengan penilaian yang personal. Ia tidak menyetujui adanya keseragaman dalam sistem evaluasi, karena keseragaman akan mematikan kreativitas guru (Kompas 26 April 2004).

Samsir Alam, mantan pegawai Balitbang Dikbud, menyatakan bahwa penggunaan UAN untuk penentuan kelulusan bukan hanya merugikan siswa yang kondisi belajar sangat terbatas, tetapi secara keilmuan juga sulit untuik dapat dipertanggungjawabkan karena sangat bertentangan dengan asas keadilan sebagai akibat dari disperitas kualitas dan sarana pendidikan di Tanah Air yang begitu lebar. (Kompas, 26 April 2004).

Menurut A Rumadi, guru SMA Stella Duce 1, Yogyakarta, UAN merampas hak guru (Kompas, 26 April 2004). Selanjutnya dijelaskan bahwa gurulah yang berwenang melakukan mengevaluasi, karena yang tahu tentang siswa adalah guru.


(4)

Argumentasi ini didasarkan pada penafsiran terhadap Undang-Undang No. 30 tahun 2003 tentang sistem-pendidikan nasional, terutama pasal 57 dan pasal 58.

Menurut Nursito, mantan kepala SMA N 3, saat ini menjadi instruktur nasional MPMBS, menyatakan bahwa UAN 2004 pil sehat hari esok. Penggunaan nilai P, Q, dan R pada masa Ebtanas memanjakan siswa, karena yang rajin dan yang tidak akhirnya semua lulus. UAN 2004 menurut Nursito, akan mendorong guru mengajar lebih baik dan siswa belajar lebih baik sehigg kualtias pendidikan diharapkan akan meningkat (Kedaulatan Rakyat, 26 April 2004).

Semua pakar dan pengamat pendidikan yang pro dan yang kontra terhadap UAN 2004 tentu sepakat bahwa kualitas pendidikan perlu ditingkatkan. Namun cara yang ditempuh menurut yang pro dan kontra tidak sama. Ada yang mengatakan kualitas guru dan fasilitas pendidikan diperbaiki dulu baru dilakukan UAN yang terstandar. Ada pula yang menyarankan agar ujian akhir cukup dilakukan sekolah, karena sekolah yang tahu tentang perkembangan siswa dan sekolah yang bertanggungjawab atas pencapaian belajar siswa. Bagi yang pro terhadap UAN berpendapat berdasarkan pengalaman, bahwa UAN dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan, karena adanya standar yang harus dicapai.

Respons masyarakat yang beragam atas pelaksanaan UAN tahun 2004 mendorong perlunya penelitian tentang dampak ujian akhir. Dampak ujian akhir, UAN, bisa positif dan bisa negatif dilihat dari pencapaian tujuan UAN, yaitu peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk menjaring dampak yang dirasakan sekolah, siswa, dan orang tua terhadap adanya ujian akhir UAN.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan utama yang harus segera dijawab berkait dengan kebijakan pemerintah dalam sistem ujian akhir nasional adalah dampak ujian akhir. Masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa dampak ujian akhir terhadap pebelajaran di sekolah?

2. Apa dampak ujian akhir terhadap motivasi mengajar guru di skeolah?

3. Apa dampak ujian akhir terhadap motivasi belajar siswa?

4. Apa dampak ujian akhir terhadap orang tua siswa dalam mndorong siswanya belajar?


(5)

5. Bagaimanakah bentuk ujian akhir yang diinginkan oleh sekolah, guru, siswa, dan orang tua?

C. Tujuan Studi

Studi ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji dampak, yang berupa kekuatan dan kelemahan berkaitan dengan efektivitas dan efiseinsi pelaksanaan ujian akhir, ujian akhir nasional SLTP/MTs dan SMA/MA/SMK.

2. Mengkaji dampak, apakah ujian ahir siswa lebih rajin belajar dan guru lebih giat mengajar, serta kepala sekolah lebih bertanggungjawab terhadap mutu sekolah.

3. Mengkaji dampak ujian akhir, baik ujian akhir sekolah maupun ujian akhir nasional terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan di tanah air.

D. Target yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Seperangkat instrumen studi yang telah divalidasi 2. Seprangkat laporan studi

3. Seperangkat rumusan kebijakan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan sistem pelaksanaan ujian akhir nasional.

E. Kajian Pustaka

Kualitas pendidikan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu negara. Melalui pendidikan akan dihasilkan sumber daya manusia yang andal, yaitu yang mampu mengelola sumber daya alam secara efektif dana efisien. Bahkan mereka memiliki kemampuan mengembangkan lapangan kerja baku, terutama dalam bentuk layanan. Dengan demikian produktivas negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas akan cukup tinggi. Oleh karena itu semua negara berusaha meningkatkan kualitas pendidikan.

Walau berbagai upaya telah dilakukan, namun kualitas pendidikan masih tergolong rendah, masi . Hasil survey yang dilakukan terhadap kemampuan


(6)

urutan 26 dari 27 negara (Supriyadi, 2000). Demikian pula untuk tingkat SLTP yang diungkapan olah hasil studi TIMSS-R tahun 2000 juga tergolong rendah. Rata-rata kemampuan siswa SLTP dalam bidang matematika dan sains berturu-turut dalam urutan 33 dan 34 dari 39 negara peserta.

Ebtanas yang digunakan sejak tahun 1983 hingga tahun 2000 bertujuan untuk sertifikasi, seleksi, dan pemantauan dan pengendalian kualitas pendidikan (Jahja Umar, 1998). Namun tujuan untuk pengendalian mutu pendidikan dalam arti peningkatan kualtias pendididkan belum mencapai seperti yang diharapkan. Penelitian yang dilakukan Mardapi, dkk( 1999) menunjukkan bhwa Nilai Ebtanas Murni yang dicapai siswa SLTP dan SMA adalah dalam interval 4,00 sampai 6,00, kecuali mata pelajarn PPKN dan Bahasa Indonesia. Inipun kareana ada persyaratan lulus untuk kedua mata pelajarana tersebut adalah minimum 6,0. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat diselenggarakannya Ebtanas masih kecil.

Penelitian yang dilakukan Djemari Mardapi dkk (2001) tentang sistem ujian akhir dalam otonomi daerah menyimpulkan bahwa sebanyak 70 % responden yang tersebar di 20 propinsi menyatakan masih memerlukan ujian akhir nasional, sekitar 24 % menginginkan ujian akhir daerah, dan sisanya tidak menginginkan adanya ujian akhir. Hasil studi ini merekomendasikan berbagai bentuk ujian akhir serta pembagian tugas pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah/kota.

Penggunaan UAN sejak tahun 2000 hingga saat ini juga tidak lepas dari berbagai kritik, terutama dalam menentukan batas kelulusan serta dana yang digunakan. Batas kelulusan sebesar 4,01 dianggap terlalu tinggi oleh sebagian warga. Mereka menginginkan batas kelulusan bahkan penentuan kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Hal ini menurut pengusul sesuai dengan UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XVI, pasal 58 ayat

(1) yang menyatakan bahwa Evaluasi hasil belajar dilakukan oleh pendidik untuk

memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. tentang Evaluasi. Dan pada ayat (2) menjelaskan bahwa

Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Dua pasal ini yang menjadi pegangan para pengamat dan praktisi untuk mengatakan bahwa guru sebagai pendidik yang berwenang melakukan evaluasi dan menentukan kelulusan siswa.


(7)

Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, Bab II pasal 2 bidang Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan bahwa pemerintah memiliki wewenang dalam menentukan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok.

Menurut peraturan ini, pemerintah daerah, yaitu provinsi, kota/kabupaten memiliki wewenang mengembangkan silabus, sistem penilaiannya berdasarkan standar kompetensi yang ditetapkan pemerintah. Tiap program studi bebas dalam menentukan strategi pembelajaran dan pengalaman belajar mahasiswa. Namun sekolah akan ditagih atas tingkat pencapaian standar kompetensi siswanya. Tagihan dilakukan melalui suatu sistem evaluasi. Sistem evaluasi yang berupa tagihan dari pihak eksternal sekolah menjadi tugas dari pemerintah. Oleh karena itu menurut ketentuan ini, pemerintah memiliki wewenang dalam menentukan sistem penilaian secara nasional. Hanya perlu dicari bentuk sistem penilaian ini yang paling efektif dan efisien sesuai dengan tujuan penilaian secara nasional.

Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi (1999) yang diselenggarakan di Propinsi DIY, Sumatera barat, dan Kalimantan barat menunjukkan hasil bahwa sistem ujian yang ada selama ini belum seperti yang diharapkan. Masih banyak guru yang belum secara kotinu membuat kisi dan menganalisis hasil ulangan, dan melakukan tindaklanjut. Program perbaikan belum dilaksanakan secara terencana.

Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) terhadap kegiatan guru dalam melakukan penilaian di kelas untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas di SD dan SLTP serta di SMU, hasilnya sebagai berikut: (1) Perencanaan guru dalam kegiatan penilaian cukup memadai, tetapi dalam hal penyusunan kisi-kisi masih tergolong rendah, (2) Hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan ujian keterampilan di laboratorium, (3) Program perbaikan umumnya hanya ditujukan untuk memperbaiki nilai dengan menyelenggarakan ulangan perbaikan, bukan dilakukan dalam bentuk program pembelajaran yang terencana.

Penelitian Wuryadi dan Bambang Subali (2000) yang menggunakan guru Biologi SLTP dan SMU juga siswa dan orang tua SLTP dan SMU sebagai responden menunjukkan bahwa: Pemahaman guru terhadap prosedur penilaian cukup baik


(8)

dan merata, namun penilaian proses belum baik, dan penilaian kegiatan prakek kurang dilakukan karena tdiak tekait dengan Ebtanas. .

Penelitian yang dilaksanakan oleh FMIPA UNY dalam rangka program kerjasama dengan JICA (Sukirman, (2000) dengan menggunakan SD, SLTP dan SMU di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada dasarnya pemahaman guru MIPA dalam hal penyelenggaraan evaluasi sudah cukup memadai, namun belum sepenuhnya diimplementasikan di lapangan, bahkan untuk aspek tertentu guru hampir tidak melaksanakannya, termasuk penilaian terhadap kemampuan proses sains/keterampilan psikomotor .

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/2003 tanggal 14 Oktober 2003 menjelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan UAN adalah: (1) untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, (2) mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah, (3) mempertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten.kota, sekolah/madrasah, kepada masyarakat. Selanjutnya fungsi Ebtanas adalah: (1) alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, (2) pendorong peningkatan mutu pendidikan, (3) bahan dlam memnetukan kelulusan peserta didik, (4) bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik pad ajenjang yang lebih tinggi.

Kritik terhadap penyelenggaraan ujian yang sifatnya nasional salah satunya dikemukakan oleh Nitko (1996) yaitu bahwa:

1. hasil-hasil tes tampak tidak peka, baik terhadap perbaikan masukan (in-put) pendidikan, maupun terhadap persepsi guru dan orang tua perihal prestasi peserta didik;

2. Kesesuaian antara tujuan belajar yang dinyatakan dalam kurikulum resmi dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam setiap tahun dalam ujian seringkali tidak jelas bagi guru. Akibatnya para guru mengabaikan kurikulum resmi dan menggunakan soal-soal ujian yang telah lalu sebagai bahan ajar; Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) yang khusus mengenai Ebtanas menyimpukan bahwa:

1. Hasil Ebtanas belum ditindaklanjuti karena kurang adannya dorongan, dan belum ada pedoman untuk melakukannya.


(9)

2. Ebtanas belum mampu mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah. Ebtanas baru mampu menciptakan baku mutu pendidikan untuk SLTP dengan menggunakan soal yang sudah dikalibrasi, namun belum untuk SD dan SMU.

3. Sebagian pakar menyatakan bahwa Ebtanas memiliki manfaat seperti: (a) meningkatkan standar mutu pendidikan, (b) mendorong siswa meningkatkan KBM, dan (c) meningkatkan perhatian orang tua terhadap aktifitas belajar anak; namun ada sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak ada manfaatnya diselenggarakan Ebtanas, dan guru belum mampu memanfaatkan informasi hasil Ebtanas dengan baik.

Hasil penelitian Djemari dkk (2001) tentang sistem ujian akhir menyimpulkan bahwa hampir semua responden tetap menginginkan adanya sistem ujian nasional, namun dengan beberapa saran perbaikan. Realisasi UAN di akhir jenjang pendidikan diharapkan menjadi pendorong peningkatkan kualitas pendidikan. Namun bila hasil UAN tidak dianalisis dan tidak ditindak dilanjuti dalam peningkatan kualitas pembelajaran, maka UAN tidak akan mendorong peningkatan kualitas pendidikan.

F. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori serta fakta-fakta yang selama ini sudah dapat dihimpun dari lapangan, dapat dirinci pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu untuk dijawab agar dapat dijadikan pijakan untuk mengetahui dampak ujian akhir terhadap siswa, guru, sekolah, dan orang tua. Secara rinci pertanyaan penelitian ini adalah::

1. Bagaimana dampak ujian kahir nasional terhadap motivasi belajar siswa? 2. Bagaimana dampak ujian akhir nasional terhadap motivasi mengajar guru? 3. Bagaimana dampak ujian akhir nasional terhadap kepala sekolah?

4. Bagaimana dampak ujian akhir nasional terhadap orang tua dalam membimbing belajar siswa?

5. Bagaiman dampak ujian akhir nasional terhadap dinas pendidikan provinsi? 6. Bagaimana dampak ujian akhir nasional terhadap dinas pendidikan


(10)

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kebijaan yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang dampak UAN terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya, informasi ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan tentang pelaksanaan UAN di masa yang akan datang. Sesuai dengan tujuannya maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.

Populasi penelitian ini adalah Semua Sekolah Menengah Atas (SMA), semua Sekolah Menengah Pertamas (SMP), semua Sekolah Menengah Kejuruan, (SMK), semua Madrasah Aliyah (MA), semua Madrasah Tsanawiyah MTs di Indonesia. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan multi stage stratified purposive sampling. Prosedrur penenetuan sampel sekolah adalah sebagai berikut:

1. Memilih 6 provinsi dengan memperhatikan tingkat kemajuan pendidikan, yaitu: tinggi, menengah, dan biasa berdasarkan data yang ada di Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Depdiknas. Propinsi sampel dalam penelitian: propinsi Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.

2. Memilih dua kabupaten, dan satu kota di tiap propinsi, dengan memperhatikan tingkat kemajuan pendidikan, yaitu tinggi dan biasa.

3. Memilih 2 SMA, 1 MA, 2 SMP, 1 MTs untuk tingkat kota, dan 2 SMA, 2 SMP dengan memperhatikan tingkat kemajuan pendidikan, yaitu: tinggi dan biasa. Selanjutnya dipilih sumber informasi yang terdiri dari kepala dinas provinsi, kepala dinas kabupaten/kota, kepala sekolah, guru, siswa kelas 3, dan orang tua siswa kelas 3. Distribusi sampel sekolah dan sampel sumber informasi di tiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai sumber informasi tiap propinsi sekolah ada 15 kepala sekolah, 78 guru, dan 150 siswa. Sampel penelitian adalah 6 provinsi, maka jumlah secara keseluruhan seumber data infromasi adalah 6 kepala dinas provinsi, 6 kepala kantor wilayah Departemen Agama, 18 kepala dinas kabupaten/kota, 90 kepala sekolah, 468 guru, 900 siswa, dan 900 orang tua.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, wawancara, dan survei. Selaras dengan metode pengumpulan datanya, instrumen yang digunakan adalah daftar dokumentasi, pedoman wawancara, dan kuesioner. Instrumen ini dikembangkan oleh tim peneliti dan diuji coba dua kali di Yogyakarta. Pertama ujicoba keterbacaan instrumen dengan


(11)

menggunakan kepala sekoloh dan guru. Ujicoba kedua adalah ujicoba keterlaksanaan penggunaan instrumen beserta kualitas datanya menggunakan kepala sekolah dan guru.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Teknik deskriptif kuantitatif digunakan untuk menganalisis data kuantitatif selanjutnya untuk memerikan: (1) dampak UAN terhadap pertambahan jam belajar, dan (2) dampak UAN terhadap peningkatan hasil UAN. Sementara itu, teknik deskriptif kualitatif digunakan untuk mengolah data kualititatif selanjutnya untuk memerikan: (1) dampak UAN terhadap motivasi mengajar guru, motivasi belajar, kondisi fisik dan psikologis siswa, dan (2) dampak UAN terhadap perhatian dan ekonomi orang tua siswa.

Tabel 1. Ukuran Sekolah Sampel di Tiap Propinsi

Propinsi Propinsi Pertama Jumlah Kep Din

P&P Prop 1 1

Kakanwil

Agama Prop 1 1

Kotamadya Kabupaten Pertama Kabupaten Kedua Kadin P&P

Kab/Kota 1 1 1 3

Jenis Sekol SMA MA SMK SMP MTs SMA MA SMK SMP MTs SMA MA SMK SMP MTs Kasek 2 1 1 2 1 2 - - 2 - 2 - - 2 - 15

Guru 10 6 6 18 6 6 - - 6 - 6 - - 6 - 78

Siswa 20 10 10 20 10 20 - - 20 - 20 - - 20 - 150

H. Hasil Penelitian

Dampak UAN terhadap siswa, guru, sekolah, dan orang tua siswa dapat bersifat positif dan bersifat negatif. Penjelasan dari masing-masing dampak adalah sebagai berikut.

1. Dampak Positif UAN

Ada 98% siswa melakukan persiapan khusus untuk menghadapi UAN. Usaha yang mereka lakukan untuk menghadapi UAN ini bermacam-macam, ada yang menambah jam belajar, memperbanyak jam latihan, dan mengikuti bimbingan tes. Ada sebesar 58% siswa yang melakukan persiapan khusus dengan menambah jam belajar, 79% memperbanyak latihan, dan 44% menyiapkan UAN dengan mengikuti bimbingan tes. Adanya UAN mendorong sebagian besar siswa melakukan persiapan


(12)

khusus untuk menghadapi UAN dengan cara memperbanyak latihan, disusul dengan menambah jam belajar, dan terakhir mengikuti bimbingan tes.

Kecilnya persentase siswa yang mengikuti bimbingan tes di luar sekolah disebabkan hampir semua sekolah sudah menyelenggarakan bimbingan tes. Hal ini dapat diketahui sewaktu peneliti mengadakan wawancara dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa hampir semua siswa mengikuti bimbingan tes yang diselenggarakan oleh sekolah. Lebih-lebih untuk siswa SLTP, semua siswa mengikuti bimbingan tes yang diselenggarakan oleh sekolah. Selain itu, ada 91% guru yang mengatakan bahwa UAN dapat membuat siswa lebih giat belajar.

Selain membawa dampak positif pada siswa, UAN juga dapat membawa dampak positif bagi guru, yaitu: guru lebih giat mengajar dan meningkat motivasi berprestasinya. Ada 84% guru menyatakan UAN meningkatkan semangat guru dalam mengajar, dan 52% guru menyatakan UAN meningkatkan motivasi berpretasi.

Selain berdampak positif bagi siswa dan guru, UAN juga berdampak positif terhadap kepala sekolah. Ujian Akhir Nasional (UAN) mendorong kepala sekolah menambah jam belajar siswa, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan berusaha menambah fasilitas sekolah. Sebesar 88% kepala sekolah mengatakan bahwa sekolah menambah jam belajar siswa; 88% kepala sekolah mengatakan berusaha memperbaiki pembelajaran. Selain itu, ada 74% kepala sekolah yang mengatakan akan berusaha melengkapi fasilitas sekolah, dan 77% kepala sekolah mengatakan akan memberi penghargaan pada guru yang berhasil.

Ujian Akhir Nasional (UAN) ternyata juga memberi dampak positif bagi orang tua siswa. Ada 94% orang tua siswa yang mendorong anaknya untuk belajar dan mendorong anaknya untuk menambah jam belajarnya. Di samping itu, ada 74% orang tua siswa yang membelikan buku-buku anaknya untuk menghadapi UAN. Apabila dicermati lebih jauh, ternyata ada perbedaan jumlah orang tua yang membelikan buku untuk anaknya bila dilihat dari jenjang sekolah. Jumlah orang tua siswa SMK lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah orang tua siswa SMA dan SMP dalam membelikan buku bagi anaknya untuk menghadapi UAN. Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang tua siswa SMA dan SMP lebih mampu di bidang ekonomi dari pada orang tua siswa SMK.

Ujian Akhir Nasional (UAN) dapat menimbulkan kecemasan dan kecemasan ini dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi siswa, guru, kepala sekolah,


(13)

dan orang tua siswa. Kecemasan yang tidak terlalu besar dapat mendorong siswa belajar lebih baik, guru mengajar lebih baik, kepala sekolah lebih berusaha agar siswanya yang lulus banyak, dan orang tua lebih memperhatikan anak-anaknya.

Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa sangat besar dampak positif UAN baik bagi siswa, guru, orang tua siswa, maupun sekolah. Semua unsur memiliki tujuan sama yaitu agar semua siswa dapat melampui standar kelulusan yang berarti semua unsur memiliki tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kualitas lulusan pendidikan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila UAN ini tetap dilaksanakan.

2. Dampak Negatif UAN

Selain menimbulkan dampak positif, UAN juga menimbulkan dampak negatif walaupun hanya sebagian kecil yang merasakannya. Hanya ada sekitar 13% guru yang menyatakan bahwa UAN itu dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa, hanya 17 % guru yang menyatakan UAN mengakibatkan stres bagi siswa, dan hanya 10% guru yang menganggap bahwa UAN itu dapat menimbulkan kebingungan.

Sementara itu kenaikan standar kelulusan menjadi 4,01 juga berdampak negatif bagi siswa. Ada sebesar 54% siswa yang semakin khawatir tidak lulus dengan adanya kenaikan standar kelulusan itu. Untuk siswa SMK, persentase siswa yang semakin khawatir tidak lulus itu mencapai 65%, bahkan untuk siswa SMK di propinsi yang termasuk kategori rendah kualitas pendidikannya angka itu mencapai 78%. Angka yang cukup besar dan perlu mendapat perhatian. Dilihat dari klasifikasi propinsi, ternyata propinsi berkualifikasi biasa yang memiliki persentase guru terbanyak (76%) yang mengatakan kenaikan standar kelulusan menyebabkan semakin membuat khawatir anak tidak lulus.

Kenaikan standar kelulusan juga berdampak negatif terhadap guru. Dengan adanya kenaikan standar kelulusan maka sebesar 68% guru merasa beban bekerja bertambah, dan sebesar 50% guru merasa tambah cemas. Apabila diperhatikan klasifikasi propinsinya, ternyata semakin rendah klasifikasi pendidikan suatu propinsi semakin banyak guru yang mengatakan beban bekerja bertambah, semakin sedikit guru yang mengatakan semakin bertambah cemas, dan semakin banyak guru yang mengatakan waktu istirahat berkurang. Ini berarti bahwa


(14)

memerlukan perhatian. Besar kemungkinan, semakin rendah kualifikasi pendidikan suatu propinsi semakin pasrah guru terhadap kelulusan siswa-siswanya.

Dampak negatif akibat kenaikan standar kelulusan juga dijelaskan oleh kepala sekolah. Menurut 89% kepala sekolah yang menjadi responden ternyata siswa menjadi cemas dengan adanya kenaikan standar kelulusan, sebesar 88% kepala sekolah yang menjadi responden mengatakan bahwa orang tua siswa juga menjadi cemas lantaran standar kelulusan dinaikkan, dan sebesar 54% kepala sekolah juga merasa cemas akibat standar kelulusan itu dinaikkan.

Apabila diperhatikan klasifikasi tingkat pendidikan propinsi maka dapat dikatakan bahwa semakin rendah kualifikasi pendidikan suatu propinsi, semakin banyak siswa dan orang tua siswa yang cemas. Sementara itu, tidak ada perbedaan jumlah kepala sekolah yang cemas secara signifikan antara kepala sekolah dari propinsi yang klasifikasi pendidikannya tinggi, sedang, dan biasa. Namun yang jelas, melalui wawancara dapat diketahui bahwa kepala sekolah juga merasa cemas terhadap kenaikan standar kelulusan ini.

Uraian di atas menggambarkan bahwa dampak negatif UAN itu sangat kecil, namun dampak negatif akibat kenaikan standar kelulusan lah yang perlu mendapat perhatian. Ada kemungkinan hal ini dikarenakan waktu sosialisasi kenaikan standar yang sangat pendek, yakni hanya sekitar 1 semester sebelum UAN dilaksanakan. Ini berarti bahwa kenaikan standar kelulusan perlu disosialisasikan terlebih dulu. Kenaikan standar kelulusan perlu disosialisasikan ke siswa, guru, kasek, dan orang tua agar mereka dapat menyesuaikan diri sehingga kecemasan yang muncul menjadi relatif kecil. Apabila kenaikan standar kelulusan itu disosialisasikan terlebih dahulu maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

3. Lain-lain

Selain dampak positif dan dampak negatif UAN, ada beberapa data lainnya yang menarik untuk dicermati, misalnya tentang adanya ujian ulangan, tanggapan siswa seandainya mereka tidak lulus, mata pelajaran yang dianggap paling sulit oleh siswa, dan penerimaan panduan materi.

a. Reaksi terhadap UAN ulangan

Terbitnya Kepmendiknas Nomor 057/U/2004 tentang ujian akhir nasional ulangan mendapat tatanggapan dari berbagai fihak. Hampir semua siswa (92%) baik siswa SMP, SMA maupun SMK menyatakan bahwa mereka tetap semangat,


(15)

tetap belajar keras walaupun ada UAN ulangan. Melalui wawancara dapat diketahui bahwa sebenarnya mereka tidak senang adanya UAN ulangan karena mengendorkan semangat belajar anak.

Lain halnya dengan siswa, 61% guru menyatakan perlu ada ujian ulangan. Menurut mereka dengan adanya ujian ulangan maka tingkat kecemasan siswa, guru, kepala sekolah, dan orang tua siswa menurun. Hal ini senada dengan pendapat 59% kepala sekolah yang menyatakan bahwa ujian ulangan dapat menurunkan kecemasan guru, dan 70% kepala sekolah menyatakan ujian ulangan dapat menurunkan kecemasan siswa. Hanya ada 33% kepala sekolah yang menyatakan ujian ulangan dapat menurunkan motivasi mengajar guru, dan 26% menyatakan ujian ulangan menyebabkan motivasi belajar siswa menurun. Di sisi lain, 86% kepala sekolah mengatakan tetap berusaha keras agar siswa-siswanya lulus dalam UAN pertama walaupun ada ujian ulangan.

Dilihat dari kualifikasi pendidikan propinsi, tidak ada perbedaan jumlah yang signifikan antara jumlah kepala sekolah dari propinsi tinggi, menengah, dan biasa dalam berupaya meningkatkan jumlah lulusan siswa-siswinya di ujian pertama. Namun ujian ulangan dapat menyebabkan adanya perbedaan penampilan mengajar guru dan motivasi belajar siswa antara guru dan siswa dari propinsi tinggi, menengah dan biasa. Ada kecenderungan semakin rendah kualifikasi pendidikan propinsi semakin banyak kepala sekolah yang mengatakan motivasi mengajar guru dan motivasi belajar siswa menurun. Sebaliknya, semakin rendah kualifikasi pendidikan propinsi semakin sedikit kepala sekolah yang mengatakan kecemasan guru dan siswa menurun dengan adanya ujian ulangan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut sebagian besar kepala sekolah ujian ulangan ini baik karena usaha kepala sekolah untuk meningkatkan jumlah lulusan tetap tinggi, dapat mengurangi kecemasan guru dan siswa, namun tidak menurunkan motivasi mengajar guru dan motivasi belajar siswa. Hal ini agak berlainan dengan pendapat dari pejabat di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Sebagian besar kepala dinas Pendidikan propinsi, Kanwil Depag propinsi, dan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sebaiknya di tahun-tahun mendatang tidak ada ujian ulangan. Menurut mereka, ujian ulangan dapat menurunkan motivasi mengajar guru dan motivasi belajar siswa.


(16)

tidak perlu. Mereka juga mengatakan walaupun ada ujian ulangan namun sebagian besar mereka ingin lulus pada ujian pertama. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar pejabat dinas pendidikan yang menyatakan di masa datang ujian ulangan tidak diperlukan lagi.

b. Reaksi terhadap kebijakan lulus dan tidak lulus

Mulai tahun 2003 pemerintah telah menetapkan bahwa setiap peserta UAN akan dikenai standar kelulusan. Tahun 2003 standar kelulusan sebesar 3,01 dan pada tahun 2004 ini dinaikkan menjadi 4,01. Beragam reaksi muncul menanggapi kebijakan kenaikan standar kelulusan ini.

Hasil yang sangat membanggakan dalam penelitian ini adalah sebagian besar siswa (81%) siswa menyadari bila terpaksa mereka tidak lulus. Sebesar 83% siswa SMP dan MTs, 76% siswa SMA dan MA, serta sebesar 84% siswa yang menyadari dan belajar lebih baik bila mereka tidak lulus. Hal yang cukup aneh adalah semakin rendah kualifikasi pendidikan propinsi semaikn banyak siswa yang menyadari dan belajar lebih baik agar tidak mengulang.

c. Materi yang dianggap sulit

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu di-UAN-kan. Hanya saja, tidak semua mata pelajaran naskah soalnya disiapkan oleh pemerintah Pusat. Soal UAN yang naskah soalnya disiapkan oleh pusat adalah mata pelajaran Matematika, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Bahasa Inggris. Ketika ditanyakan ke peserta tes mengenai mata pelajaran yang dianggap sulit, ternyata jawabannya berbeda-beda. Siswa SMP dan SMK menganggap mata pelajaraan yang paling sulit adalah Matematika diikuti Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Sementara itu, bagi siswa SMA dan MA mata pelajaran yang dianggap paling sulit adalah Bahasa Inggris diikuti Matematika dan Bahasa Indonesia. Menurut siswa, penyebab sulitnya mata pelajaran adalah karena materi pelajarannya yang sulit (69%), kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran (23%), dan cara guru mengajar yang kurang menarik (23%).

Apabila diperhatikan kualifikasi pendidikan propinsi, ternyata tidak ada perbedaan persentase yang signifikan antara siswa di propinsi yang berkulifikasi pendidikan tinggi, menengah, dan biasa. Untuk siswa SMP/MTs dan SMK, baik dari propinsi yang berkualifikasi pendidikan tinggi, menengah, dan biasa kebanyakan


(17)

dari mereka menyatakan bahwa mata pelajaran yang sulit adalah Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Sementara itu, untuk siswa SMA/MA, kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa mata pelajaran yang sulit adalah Bahasa Inggris, Matematika, dan Bahasa Indonesia.

Apabila dicermati lebih jauh, ternyata jumlah siswa SMP, SMA dari kabupaten yang mengalami kesulitan dalam mata pelajaran bahasa Inggris lebih banyak daripada jumlah siswa yang berasal dari SMP/MTs dan SMA kota. Hal ini kemungkinan dikarenakan siswa SMP, SMA kabupaten mengenal bahasa Inggris lebih banyak melalui kegiatan formal di sekolah saja, sedangkan siswa SMP/MTs dan SMA kota dari kegiatan formal dan kegiatan non formal, misal kursus, media cetak atau elektronik lainnya. Sebaliknya untuk mata pelajaran Matematika, ternyata jumlah siswa SMP/MTs, SMA/MA dari kota yang mengalami kesulitan dalam mata pelajaran Matematika lebih banyak daripada jumlah siswa yang berasal dari SMP dan SMA kabupaten. Hal ini mungkin dikarenakan materi yang diberikan di SMP/MTs dan SMA/MA memiliki taraf kesulitan yang lebih tinggi karena diharapkan lulusannya lebih banyak yang meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi.

d. Penerimaan panduan materi

Menurut Balitbang Depdiknas, setiap sekolah seharusnya menerima panduan materi. Ternyata setelah ditanyakan ke kepala sekolah, baik SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK semuanya sudah menerima panduan materi tersebut. Setelah ditanyakan apakah panduan materi itu sudah diberikan ke guru, semua kepala sekolah mengatakan sudah diserahkan ke guru pada awal semester 5. Namun, setelah diklarifikasi ke guru kenyataannya belum semua guru menerima panduan materi itu. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah nyata dari kepala sekolah agar panduan materi itu dapat dimanfaatkan oleh guru.

4. Peran Ujian Akhir Nasional

Perbedaan pendapat terhadap penyelenggaraan UAN masih banyak terjadi masyarakat, hal ini tentunya berkaitan dengan esensi dari UAN itu sendiri yang belum begitu dipahami oleh berbagai pihak, oleh sebab itu sosialisasi tentang UAN mutlak perlu perlu dilaksanakan seawal mungkin. Hasil penelitian di lapangan yang terdiri dari kepala sekolah SMP/MTs, SMA/MA, SMK, guru SMP/MTs, SMA/MA, SMK,


(18)

meliputi tiga kualifikasi sekolah yaitu kualifikasi tinggi, sedang dan rendah (biasa) di wilayah enam Propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa UAN masih sangat diperlukan.

Secara keseluruhan atau dengan rata-rata sebesar 91% responden menyatakan UAN masih sangat diperlukan. Data dari sekolah tinggi, sedang dan rendah (biasa) menunjukkan angka berturut-turut 93%,92% dan 88% menyatakan bahwa UAN masih sangat diperlukan. Hasil wawancara dengan unsur sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa, mereka berpendapat bahwa UAN masih sangat diperlukan. Alasan yang dikemukakan antara lain dengan adanya UAN dapat memperbaiki peringkat mutu sekolah, dapat lebih meningkatkan disiplin guru dalam mengajar, serta siswa termotivasi untuk belajar lebih giat. Dengan UAN dapat diketahui kualitas pendidikan yang ada di berbagai sekolah, sehingga sekolah mengetahui kualitas pendidikannya, apakah termasuk pada kategori tinggi, sedang atau rendah (biasa).

Jika dilihat sebaran responden dipisahkan antara kota dan kabupaten, yang berasal dari kota sebesar 92% menyatakan bahwa UAN masih sangat diperlukan. Demikian pula responden di kabupaten sebesar 89% juga menyatakan UAN masih sangat diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa responden tinggi kepeduliannya terhadap pendidikan. Harapannya dengan adanya UAN, siswa menjadi lebih rajin belajar, lulusannya akan semakin berkualitas dan mudah dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta mudah bila melamar pekerjaan. Karena dengan UAN dapat diukur kemampuan siswa melalui lulusannya dari suatu sekolah.

Hasil penelitian terhadap pejabat Dinas pendidikan Propinsi, dinas pendidikan kab/kota, 92% responden, tetap menghendaki adanya UAN, atau dengan kata lain UAN tetap diperlukan.

Dari hasil wawancara, dengan adanya UAN salah satunya diharapkan dapat dipetakan tingkatan sekolah, sehingga dinas tingkat propinsi dan kabupaten/kota mengetahui sekolah di wilayah mana yang masuk kategori tinggi, sedang dan rendah (biasa). Dengan mengetahui peta kualitas sekolah tersebut dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pengembangan sekolah di daerahnya.


(19)

UAN selain bermanfaat untuk menjamin kualitas pendidikan, juga dapat digunakan untuk menentukan posisi sekolah dengan sekolah lainnya. Hanya dalam pelaksanaannya perlu ada penyempurnaan. Dari hasil penelitian lapangan baik melalui kuesioner maupun wawancara yang melibatkan unsur Kadinas Pendidikan, Kepala sekolah, guru serta orangtua siswa diperoleh informasi:

Responden menghendaki pada UAN yang akan datang hendaknya lebih banyak melibatkan unsur daerah. Keterlibatan yang diharapkan dalam bentuk penyusunan soal, mereka menghendaki, soal UAN untuk tiga mata pelajaran yaitu matematika, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia melibatkan unsur daerah. Mereka juga mengharapkan perlu adanya latihan penulisan soal-soal UAN yang dipandu oleh pusat.

Persepsi responden tentang UAN masih keliru menyangkut mata pelajaran yang di UAN kan karena pada dasarnya UAN mencakup soal yang dibuat oleh pusat (meliputi matematika, bahahasa Inggris dan bahasa Indonesia) dan soal UAN yang dibuat oleh daerah, yang meliputi seluruh mata pelajaran yang di buat di daerah. Untuk SMP meliputi IPA, IPS dan PPKn, sedangkan untuk SMA jurusan IPA, meliputi mata pelajaran fisika, kimia dan biologi dan untuk jurusan IPS meliputi Ekonomi, geografi, sejarah dan sosiologi/antropologi. Untuk SMK meliputi komponen normatif, adaptif dan komponen produktif. Hal tersebut perlu segera disosialisasikan keseluruh daerah agar tidak terjadi persepsi yang keliru. Dengan mengetahui informasi yang sebenarnya tentang UAN, Kadinas, kasek dan guru akan mengetahui bahwa sebenarnya semua matapelajaran sudah diikut sertakan dalam UAN. Sehingga persepsi guru yang menganggap pelajarannya tidak diikut sertakan dalam UAN dapat segera diluruskan

Hasil wawancara dengan para responden mengharapkan biaya pelaksanaan UAN sepenuhnya ditanggung oleh pusat. Hal ini didukung oleh hasil pengumpulan data lewat kusioner, menurut sebagian besar orangtua siswa 62% menghendaki biaya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pusat, baik untuk sekolah SMP,SMA dan SMK. Hal tersebut dapat dimengerti karena orangtua siswa yang menanggung semua biaya keperluan sekolah putra putrinya, sehingga wajar kalau mereka menghendaki gratis dalam UAN.

Pembuatan soal UAN hendaknya tidak semua dari pusat, tetapi melibatkan unsur daerah yang sudah dilatih lebih dahulu yang dipandu oleh pusat. Data dari lapangan menunjukkan bahwa 65% responden menghendaki soal UAN tidak sepenuhnya dari pusat, tetapi juga melibatkan unsur daerah. Dengan kata lain


(20)

memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di daerah dalam pembatan soal UAN.

Dalam pelaksanaan UAN siswa dituntut untuk mengerjakan soal teori maupun soal praktik. Kenyataan di lapangan banyak sekolah yang belum memiliki sarana pendukung yang memadai untuk pelaksanaan ujian praktik. Untuk praktek

listening bahasa Inggris masih banyak sekolah yang menggunakan alat jauh dari memadai, sehingga pemerintah perlu segera melengkapi peralatan yang dibutuhkan tersebut.

I. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

1. Dampak positif UAN terhadap siswa antara lain: 86% siswa lebih semangat belajar, 74% lebih rajin mencari sumber bacaan untuk keperluan belajarnya, dan 44% lebih rajin masuk sekolah. Dengan adanya UAN 82% guru lebih giat dalam mengajar, dan 51% meningkat motivasi berprestasi serta 46% meningkatkan disiplin. Sekolah melakukan berbagai upaya untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi UAN, antara lain: 88% menambah jam belajar dan 74% menambah fasilitas belajar. Sebanyak 97% orang tua siswa lebih perhatian, 94% memberikan dorongan untuk belajar, serta 74% melengkapi buku-buku untuk belajar.

2. Dampak negatif UAN hanya kecil, yang menimbulkan dampak negatif agak besar itu karena kanaikan standar kelulusan. Hanya ada sekitar 13% guru yang menyatakan bahwa UAN itu dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa, dan hanya 17 % guru yang menyatakan UAN itu juga mengakibatkan stres bagi siswa. Sementara itu, hanya 10% guru yang menganggap bahwa UAN itu dapat menimbulkan kebingungan, serta ada sekitar 27% guru yang mengatakan bahwa UAN itu dapat menambah biaya. Kenaikan batas kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01 memberi dampak negatif terhadap siswa, guru, Kepala Sekolah, dan Orangtua siswa adalah adanya rasa cemas kalau para siswa tidak lulus, terutama dengan kenaikan batas kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Bagi sekolah yang termasuk kategori tinggi, kecemasannya lebih rendah (60%) dibandingkan sekolah pada kategori rendah (84%). Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan


(21)

sekolah dalam menghadapi UAN pada sekolah kategori tinggi lebih baik dibandingkan sekolah dalam kategori lebih rendah. Bagi siswa, dengan jam belajar yang bertambah akan mengurangi kesempatan untuk istirahat dan bermain, serta menambah kelelahan fisik. Demikian juga bagi guru, tambahan jam mengajar berarti menambah beban, mengurangi waktu istirahat, dan menambah kelelahan fisik, sementara tambahan kesejahteraan belum sebanding dengan bertambahnya jam mengajar. Adanya tambahan jam belajar, berarti memerlukan tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa.

3. Adanya ujian ulangan untuk UAN 63% siswa menyatakan mengurangi kecemasan, pada sejumlah siswa, orang tua, maupun guru. Namun adanya ujian ulangan 86% menyatakan tidak mengendorkan semangat belajar siswa, karena berpendapat berusaha lulus pada ujian utama. Ada rasa malu kalau tidak lulus ujian utama dan harus mengikuti ujian ulangan. Hal ini sesuai pendapat 95% pejabat Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota yang menyatakan UAN ulangan tidak diperlukan.

4. Mata pelajaran yang dianggap sulit menurut siswa SMP berturut-turut adalah Matematika dan Bahasa Inggris, sedangkan untuk SMA urutannya adalah Bahasa Inggris dan Matematika. Sementara itu untuk siswa SMK yang dianggap sulit adalah Matematika dan Bahasa Inggris . Anggapan tentang mata pelajaran yang sulit mempunyai kecenderungan semakin banyak siswa di sekolah kategori rendah yang merasa kesulitan dibandingkan jumlah siswa pada sekolah kategrori tinggi. Demikian juga anggapan mata pelajaran sulit lebih tinggi pada siswa SMK yang lebih banyak pelajaran praktik untuk persiapan kerja, dibandingkan siswa SMA dan SMP yang dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

5. Penyebab kesulitan mata pelajaran menurut siswa secara berturut-turut adalah: materinya memang sulit (69%), minat terhadap mata pelajaran kurang (35%), dan cara mengajar guru kurang menarik (23%). Dari ketiga hal tersebut kemungkinan ada keterkaitan, karena materi pelajaran sulit menjadikan siswa


(22)

kurang berminat terhadap mata pelajaran, apalagi cara mengajar guru tidak menarik.

6. Sebagian besar responden (91%), yang meliputi: Kepala Dinas Pendidikan Propinsi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Orang tua siswa berpendapat bahwa UAN perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyempurnaan.

7. Penyempurnaan UAN antara lain meliputi: keikutsertaan daerah dalam menyusun soal, biaya ujian ditanggung pemerintah, peningkatan kualitas soal, peningkatan obyektivitas penskoran, peningkatan keamanan soal, pengawasan dan koreksi silang antar sekolah yang setingkat, pengiriman hasil analisis UAN seegera mungkin dan pemenuhan fasilitas minimum yang diperlukan dalam UAN. Responden yang berpendapat bahwa soal dibuat oleh pusat sebanyak 31%, dibuat daerah 30%, dan yang berpendapat bahwa soal dibuat oleh pusat atau daerah sama saja sebanyak 39%.

J. Rekomendasi

1. Dampak positif UAN jauh lebih banyak dibandingkan dengan dampak negatifnya, sehingga UAN tetap diperlukan dengan tujuan memantau dan meningkatkan kualitas pendidikan.

2. Daerah dilibatkan dalam menyiapkan semua soal UAN, dan untuk itu penulis soal dari daerah harus dilatih dalam menulis soal yang baik. Selanjutnya dilakukan seleksi penulis soal UAN Pusat dari daerah.

3. Dinas kabupaten/kota sebaiknya menganalisis hasil UAN secara rinci dan hasilnya disampaikan ke sekolah sesegera mungkin.

4. Sekolah wajib membuat rancangan program perbaikan baik yang berkaitan dengan strategi pembelajaran maupun kemampuan guru berdasarkan hasil analisis UAN dan melaksanakannya dengan dipantau dan dimotivasi oleh dinas pendidikan.

5. Perlu sosialisasi seawal mungkin tentang informasi UAN yang meliputi: standar materi, kisi-kisi ujian, bentuk soal, proses penskoran, aturan konversi skor/nilai,


(23)

dan kriteria kelulusan, sehingga sekolah dan orang tua dapat menyiapkan siswa-siswanya lebih baik dalam menghadapi UAN.

6. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menyediakan fasilitas praktek minimum untuk pelaksanaan ujian akhir nasional.

7. Perlu dirintis program kerjasama dengan Lembaga Penilaian & Evaluasi Pendidikan yang profesional dan independen untuk mengembangkan sistem ujian akhir yang lebih baik, yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan..


(24)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmann, J.S. dan Glock, M. (1981). Evaluating Student Progress: Principles of Tests and Measurement. Boston: Allyn and Bacon.

Depdikbud. (1998). Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah tahun 1994/1995 s.d. 1997/1998. Jakarta: Depdikbud.

__________ . (1986). Petunjuk Pelaksanaan Ebtanas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud.

Djemari Mardapi dkk. (1999). Survei Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di Kelas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

__________ . (1999). Evaluasi Penyelenggaraan Ebtanas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

__________ . (1997). Pengembangan Bank Soal Untuk SMU di Propinsi DIY.

Laporan Program Penerapan IPTEKS DP3M Depdikbud. Yogyakarta: Pubangsisjian Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

__________ dan Linn, R.L. (1990). Measurement and Evaluation in Teaching. Macmillan Publishing Company, New York.

Griffin, P. dan Nix, P. (1991). Educational Assessment and Reporting.: A New Approach. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich

Keputusan Mendiknas No: 153/U/2003 tentang Standar prosedur operasional ujian

nasional tahun pelajaran 2003 /2004.

Marsh, C.J. (1996). Handbook for Beginning Teachers. Melbourne, Australia: Longman.

Marzano, R.J., Pickering, D., dan McTighe, J. (1993). Assessing Student Outcomes, Alexandria, VA: ASCD.

Nitko, A.S. (1996). Workshop Papers No. 2. IKIP Yogyakarta, 22-24 Agustus 1996.

Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan pemerintahan dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonom.

Spady, W. (1993). Outcome-Based Education. Canberra: ACSA: Workshop Report

5.

Sukirman. (2000) JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FMIPA-Yogyakarta State University.


(25)

Toto Kuwato dan Djemari Mardapi. (1999). Studi Pengembangan Sistem Ujian Berkesinambungan Sekolah mengengah Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas gadjah Mada dan Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

Wuryadi dan Bambang Subali. (2000). Profil Penyelenggaraan Kegiatan Penilaian Prestasi Belajar IPA-Biologi/Biologi Oleh Guru SLTP dan SMU di Propinsi DIY Ditinjau dari Latar Belakang Akademik Guru. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Swanson, D.B., Norman, G.R., dan Linn, R.L. (1995). Performance Based Assessment. Lesson from Health Professions. Educational Researcher, 24(5), 05-11.


(1)

memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di daerah dalam pembatan soal UAN.

Dalam pelaksanaan UAN siswa dituntut untuk mengerjakan soal teori maupun soal praktik. Kenyataan di lapangan banyak sekolah yang belum memiliki sarana pendukung yang memadai untuk pelaksanaan ujian praktik. Untuk praktek

listening

bahasa Inggris masih banyak sekolah yang menggunakan alat jauh dari memadai, sehingga pemerintah perlu segera melengkapi peralatan yang dibutuhkan tersebut.

I. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

1. Dampak positif UAN terhadap siswa antara lain: 86% siswa lebih semangat belajar, 74% lebih rajin mencari sumber bacaan untuk keperluan belajarnya, dan 44% lebih rajin masuk sekolah. Dengan adanya UAN 82% guru lebih giat dalam mengajar, dan 51% meningkat motivasi berprestasi serta 46% meningkatkan disiplin. Sekolah melakukan berbagai upaya untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi UAN, antara lain: 88% menambah jam belajar dan 74% menambah fasilitas belajar. Sebanyak 97% orang tua siswa lebih perhatian, 94% memberikan dorongan untuk belajar, serta 74% melengkapi buku-buku untuk belajar.

2. Dampak negatif UAN hanya kecil, yang menimbulkan dampak negatif agak besar itu karena kanaikan standar kelulusan. Hanya ada sekitar 13% guru yang menyatakan bahwa UAN itu dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa, dan hanya 17 % guru yang menyatakan UAN itu juga mengakibatkan stres bagi siswa. Sementara itu, hanya 10% guru yang menganggap bahwa UAN itu dapat menimbulkan kebingungan, serta ada sekitar 27% guru yang mengatakan bahwa UAN itu dapat menambah biaya. Kenaikan batas kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01 memberi dampak negatif terhadap siswa, guru, Kepala Sekolah, dan Orangtua siswa adalah adanya rasa cemas kalau para siswa tidak lulus, terutama dengan kenaikan batas kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Bagi sekolah yang termasuk kategori tinggi, kecemasannya lebih rendah (60%) dibandingkan


(2)

sekolah dalam menghadapi UAN pada sekolah kategori tinggi lebih baik dibandingkan sekolah dalam kategori lebih rendah. Bagi siswa, dengan jam belajar yang bertambah akan mengurangi kesempatan untuk istirahat dan bermain, serta menambah kelelahan fisik. Demikian juga bagi guru, tambahan jam mengajar berarti menambah beban, mengurangi waktu istirahat, dan menambah kelelahan fisik, sementara tambahan kesejahteraan belum sebanding dengan bertambahnya jam mengajar. Adanya tambahan jam belajar, berarti memerlukan tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa.

3. Adanya ujian ulangan untuk UAN 63% siswa menyatakan mengurangi kecemasan, pada sejumlah siswa, orang tua, maupun guru. Namun adanya ujian ulangan 86% menyatakan tidak mengendorkan semangat belajar siswa, karena berpendapat berusaha lulus pada ujian utama. Ada rasa malu kalau tidak lulus ujian utama dan harus mengikuti ujian ulangan. Hal ini sesuai pendapat 95% pejabat Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota yang menyatakan UAN ulangan tidak diperlukan.

4. Mata pelajaran yang dianggap sulit menurut siswa SMP berturut-turut adalah Matematika dan Bahasa Inggris, sedangkan untuk SMA urutannya adalah Bahasa Inggris dan Matematika. Sementara itu untuk siswa SMK yang dianggap sulit adalah Matematika dan Bahasa Inggris . Anggapan tentang mata pelajaran yang sulit mempunyai kecenderungan semakin banyak siswa di sekolah kategori rendah yang merasa kesulitan dibandingkan jumlah siswa pada sekolah kategrori tinggi. Demikian juga anggapan mata pelajaran sulit lebih tinggi pada siswa SMK yang lebih banyak pelajaran praktik untuk persiapan kerja, dibandingkan siswa SMA dan SMP yang dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

5. Penyebab kesulitan mata pelajaran menurut siswa secara berturut-turut adalah: materinya memang sulit (69%), minat terhadap mata pelajaran kurang (35%), dan cara mengajar guru kurang menarik (23%). Dari ketiga hal tersebut kemungkinan ada keterkaitan, karena materi pelajaran sulit menjadikan siswa


(3)

kurang berminat terhadap mata pelajaran, apalagi cara mengajar guru tidak menarik.

6. Sebagian besar responden (91%), yang meliputi: Kepala Dinas Pendidikan Propinsi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Orang tua siswa berpendapat bahwa UAN perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyempurnaan.

7. Penyempurnaan UAN antara lain meliputi: keikutsertaan daerah dalam menyusun soal, biaya ujian ditanggung pemerintah, peningkatan kualitas soal, peningkatan obyektivitas penskoran, peningkatan keamanan soal, pengawasan dan koreksi silang antar sekolah yang setingkat, pengiriman hasil analisis UAN seegera mungkin dan pemenuhan fasilitas minimum yang diperlukan dalam UAN. Responden yang berpendapat bahwa soal dibuat oleh pusat sebanyak 31%, dibuat daerah 30%, dan yang berpendapat bahwa soal dibuat oleh pusat atau daerah sama saja sebanyak 39%.

J. Rekomendasi

1. Dampak positif UAN jauh lebih banyak dibandingkan dengan dampak negatifnya, sehingga UAN tetap diperlukan dengan tujuan memantau dan meningkatkan kualitas pendidikan.

2. Daerah dilibatkan dalam menyiapkan semua soal UAN, dan untuk itu penulis soal dari daerah harus dilatih dalam menulis soal yang baik. Selanjutnya dilakukan seleksi penulis soal UAN Pusat dari daerah.

3. Dinas kabupaten/kota sebaiknya menganalisis hasil UAN secara rinci dan hasilnya disampaikan ke sekolah sesegera mungkin.

4. Sekolah wajib membuat rancangan program perbaikan baik yang berkaitan dengan strategi pembelajaran maupun kemampuan guru berdasarkan hasil analisis UAN dan melaksanakannya dengan dipantau dan dimotivasi oleh dinas pendidikan.


(4)

dan kriteria kelulusan, sehingga sekolah dan orang tua dapat menyiapkan siswa-siswanya lebih baik dalam menghadapi UAN.

6. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menyediakan fasilitas praktek minimum untuk pelaksanaan ujian akhir nasional.

7. Perlu dirintis program kerjasama dengan Lembaga Penilaian & Evaluasi Pendidikan yang profesional dan independen untuk mengembangkan sistem ujian akhir yang lebih baik, yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan..


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmann, J.S. dan Glock, M. (1981).

Evaluating Student Progress: Principles of Tests

and Measurement

. Boston: Allyn and Bacon.

Depdikbud. (1998). Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah tahun 1994/1995 s.d. 1997/1998. Jakarta: Depdikbud.

__________ . (1986).

Petunjuk Pelaksanaan Ebtanas

. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud.

Djemari Mardapi dkk. (1999).

Survei Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di

Kelas

. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

__________ . (1999).

Evaluasi Penyelenggaraan Ebtanas

. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

__________ . (1997).

Pengembangan Bank Soal Untuk SMU di Propinsi DIY.

Laporan Program Penerapan IPTEKS DP3M Depdikbud. Yogyakarta: Pubangsisjian Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

__________ dan Linn, R.L. (1990).

Measurement and Evaluation in Teaching

. Macmillan Publishing Company, New York.

Griffin, P. dan Nix, P. (1991).

Educational Assessment and Reporting.: A New

Approach

. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich

Keputusan Mendiknas No: 153/U/2003 tentang

Standar prosedur operasional ujian

nasional tahun pelajaran 2003 /2004.

Marsh, C.J. (1996).

Handbook for Beginning Teachers

. Melbourne, Australia: Longman.

Marzano, R.J., Pickering, D., dan McTighe, J. (1993).

Assessing Student Outcomes

, Alexandria, VA: ASCD.

Nitko, A.S. (1996).

Workshop Papers No. 2

. IKIP Yogyakarta, 22-24 Agustus 1996. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000,

tentang Kewenangan pemerintahan dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonom.

Spady, W. (1993). Outcome-Based Education. Canberra: ACSA:

Workshop Report

5.

Sukirman. (2000)

JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome

FMIPA-Yogyakarta State University.


(6)

Toto Kuwato dan Djemari Mardapi. (1999).

Studi Pengembangan Sistem Ujian

Berkesinambungan Sekolah mengengah Umum.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas gadjah Mada dan Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

Wuryadi dan Bambang Subali. (2000).

Profil Penyelenggaraan Kegiatan Penilaian

Prestasi Belajar IPA-Biologi/Biologi Oleh Guru SLTP dan SMU di Propinsi DIY

Ditinjau dari Latar Belakang Akademik Guru

. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Swanson, D.B., Norman, G.R., dan Linn, R.L. (1995). Performance Based Assessment. Lesson from Health Professions.

Educational Researcher

, 24(5), 05-11.