Makalah Lengkap Dampak FTA terhadap Pers

KAJIAN DAMPAK TERHADAP PERSAINGAN USAHA TERKAIT PELAKSANAAN FREE TRADE AREA ( FTA ) DI PROVINSI BANTEN

Oleh: Hermansyah Andi Wibowo, M.M.

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Teori 5 Kekuatan Porter .......................................................... 19 Gambar 4-1 Peta Provinsi Banten ................................................................ 39 Gambar 4-2 Bangunan MEA 2015 .............................................................. 46 Gambar 4-3 Logo AFTA ............................................................................. 48 Gambar 4-4 Ilustrasi Kesepakatan ACFTA ................................................. 53 Gambar 4-5 Diagram Persaingan UMKM Provinsi Banten ........................ 65

DAFTAR TABEL

Tabel 1-1 Indikator dari Faktor .................................................................... 20 Tabel 3-1 Jadwal Pelaksanaan Kajian ......................................................... 37 Tabel 4-1 Data IPM Provinsi Banten ........................................................... 41 Tabel 4-2 Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja .................... 44 Tabel 4-3 Negara Tujuan Ekspor Banten .................................................... 45

ii

INTI SARI

Makalah ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut: 1) Menjelaskan hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA dan memaparkan negara mana saja yang menjadi partner perjanjian ini. 2)Menjabarkan konsekuensi/dampak FTA terhadap persaingan usaha di Provinsi Banten. 3)Menjelaskan peran-peran yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA dan menentukan siapa yang menjalankannya. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi ke lokasi produksi UMKM/IKM; wawancara dengan instansi terkait, Focus Group Discussion dan studi pustaka.

iii

BAfB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sehubungan dengan pilar pertama dari AEC 2015, percepatan proses pencapaian AFTA dilakukan secara bertahap, yaitu melalui pencapaian tarif 0 s.d. 5 persen sebesar 85 persen dari Inclusion List (selanjutnya disebut IL) 2000, 90 persen dari IL 2001, dan 100 persen dari IL di 2002 dengan fleksibilitas. Langkah tersebut dikenal dengan nama Bold Measures. Di samping itu dilakukan juga pemindahan produk Temporary Exlusion List (TEL) ke IL, mengurangi daftar pengecualian umum (General Exception List-Ge), serta pemindahan produk Sensitive List (SL) ke TEL dan penghapusan hambatan non-tarif.

Adapun untuk negara-negara anggota baru ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, pencapaian tarif 0 s.d. 5 persen pada tahun 2003 untuk Vietnam; pada tahun 2005 untuk Laos dan Myanmar sedangkan untuk Kamboja pada tahun 2007. Sesuai kesepakatan ASEAN bahwa tingkat tarif nol persen pada 2003 bagi 60 persen sejumlah pos tarif dalam IL, kecuali Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Oleh karena itu, ketiga negara ASEAN lainnya (Indonesia, Filipina dan

Thailand) harus bekerja keras untuk menurunkan tarif sehingga mencapai target dimaksud. Indonesia baru mencapai 54,63 persen yang sebagian besar terdiri dari sektor textile and apparel, machinery and appliancem, serta chemicals.

Dampak dari penurunan tarif pada rentang 0 s.d.5 persen pada tahun 2003 akan mendorong peningkatan perdagangan intra-ASEAN. Tarif impor yang rendah akan mendorong harga pengadaan barang impor lebih rendah, di mana hal ini akan meningkatkan daya beli konsumen baik konsumen industri maupun konsumen akhir. Bagi konsumen industri, ini berarti peningkatan efisiensi pengadaan bahan baku, sehingga produk akhirnya akan memiliki daya saing yang lebih tinggi karena harga jual bisa lebih rendah. Bagi konsumen akhir, penurunan harga barang konsumsi asal impor akan menambah variasi alternatif produk pemenuh kebutuhan dan akan meningkatkan persaingan yang pada gilirannya akan menurunkan harga produk, sehingga meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan konsumen.

Penurunan tarif impor perlu dibarengi dengan penghapusan nontarif barriers (selanjutnya disebut NTB). Penghapusan NTB ini sudah disepakati dalam sidang ke delapan Dewan AFTA (tingkat menteri) pada tanggal 10 Desember 1995 di Bangkok, yang menyebutkan negara-negara ASEAN Penurunan tarif impor perlu dibarengi dengan penghapusan nontarif barriers (selanjutnya disebut NTB). Penghapusan NTB ini sudah disepakati dalam sidang ke delapan Dewan AFTA (tingkat menteri) pada tanggal 10 Desember 1995 di Bangkok, yang menyebutkan negara-negara ASEAN

Pada KTT Infomal ASEAN ke tiga tanggal 28 November 1999 di Manila, para pemimpin ASEAN sepakat mempercepat penghapusan bea masuk seluruh produk yang diperdagangkan di kawasan AFTA yang semula tahun 2015 menjadi 2010 untuk enam negara ASEAN. Sedangkan untuk empat negara ASEAN lainnya (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam) dipercepat dari tahun 2018 menjadi 2015. Pencapaian tingkat tarif nol persen bagi seluruh produk di tahun 2010/2015 akan dilakukan secara bertahap dan dimulai dengan pencapaian tingkat tarif nol persen pada 2003 sebanyak minimal 60 persen sejumlah pos tarif dalam IL-nya. Tahun 2010/2015 ASEAN merupakan wilayah perdagangan bebas tanpa hambatan tarif (nol persen) yang mencakup seluruh batas-batas negara anggotanya.

Sementara itu, pada KTT Informal ASEAN ke empat di Singapura tanggal 24 s.d. 25 November 2000, para kepala negara menyoroti masalah integrasi kawasan sebagai tantangan yang dihadapi ASEAN, mengingat masih adanya kesenjangan antara negara-negara anggota lama dan anggota baru ASEAN. Dalam hal ini, Indonesia menekankan perlunya Sementara itu, pada KTT Informal ASEAN ke empat di Singapura tanggal 24 s.d. 25 November 2000, para kepala negara menyoroti masalah integrasi kawasan sebagai tantangan yang dihadapi ASEAN, mengingat masih adanya kesenjangan antara negara-negara anggota lama dan anggota baru ASEAN. Dalam hal ini, Indonesia menekankan perlunya

Fakta percepatan implementasi AFTA dan tahapan penurunan hambatan tarif, merupakan fenomena yang akan memaksa provinsi di seluruh Indonesia pada umumnya, dan Provinsi Banten pada khususnya, untuk segera menyiapkan langkah preventif terhadap potensi ancaman dengan adanya AFTA. Sekaligus menyiapkan langkah proaktif dalam mengambil potensi peluang dengan adanya AFTA termaksud.

Sehubungan dengan tujuan AFTA yang menjadi bagian dari kesepakatan komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN, sektor ekonomi negara-negara anggota ASEAN harus dijadikan pertimbangan utama dalam implementasi AFTA. Hilangnya hambatan tarif selain menguntungkan bagi pihak konsumen, juga dapat meningkatkan intensitas dan kualitas persaingan antarpengusaha. Bagi pengusaha yang memiliki daya saing rendah, secara kompetitif akan tergerus oleh tuntutan konsumen yang semakin powerfull dengan berlimpahnya penawaran dari perusahaan lain.

Sementara itu, sedikit berbeda dengan AFTA yang berlaku pada hubungan dagang intra-ASEAN, Free Trade Area (selanjutnya disebut FTA) merupakan kesepakatan hubungan dagang antara ASEAN dengan Sementara itu, sedikit berbeda dengan AFTA yang berlaku pada hubungan dagang intra-ASEAN, Free Trade Area (selanjutnya disebut FTA) merupakan kesepakatan hubungan dagang antara ASEAN dengan

Berdasarkan hasil wawancara rahasia dengan informan, masalah belum siapnya masyarakat menghadapi FTA sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Ketidaksiapan ini terbukti dari kesadaran akan eksistensi dan hakikat FTA. Lebih jauh lagi, AFTA, MEA 2015, bahkan ASEAN pun tidak diketahui dan difahami secara tepat. Tidak sedikit masyarakat Banten, dari beragam profesi, salah mengartikan dan sering memertukarkan penggunaan istilah-khususnya FTA vs AFTA- tersebut di atas secara salah. Kesiapan harus dimulai dari kesadaran tentang apa yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat Banten itu sendiri.

Sebagaimana telah disinggung di atas, persaingan usaha dalam situasi arus bebas perdagangan, investasi, tenaga kerja terampil, akan meningkatkan intensitas persaingan dan pada gilirannya juga melahirkan potensi persaingan yang tidak sehat antarpemangku kepentingan. Untuk menghindarinya, perlu dibuat langkah antisipasi. Di sinilah peran KPPU dibutuhkan sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia. Regulasi terkait persaingan usaha perlu dibuat adil dan berlaku kepada Sebagaimana telah disinggung di atas, persaingan usaha dalam situasi arus bebas perdagangan, investasi, tenaga kerja terampil, akan meningkatkan intensitas persaingan dan pada gilirannya juga melahirkan potensi persaingan yang tidak sehat antarpemangku kepentingan. Untuk menghindarinya, perlu dibuat langkah antisipasi. Di sinilah peran KPPU dibutuhkan sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia. Regulasi terkait persaingan usaha perlu dibuat adil dan berlaku kepada

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan situasi terkini dan permasalahan yang terkait pelaksanaan FTA, maka ditetapkanlah sejumlah topik untuk dijadikan rumusan masalah kajian ini, antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan MEA 2015, AFTA dan FTA dan negara mana saja yang menjadi partner FTA?

2. Bagaimana konsekuensi/dampak dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha di Provinsi Banten?

3. Peran apa saja yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA dan siapa pemangku kepentingan di Banten yang menjalankan peran tersebut?

1.3 Maksud dan Tujuan Kajian

Kajian ini dimaksudkan untuk memberi arahan bagi pembuatan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk Provinsi Banten dengan adanya kawasan perdagangan bebas di ASEAN.

Secara operasional, kajian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA dan memaparkan negara mana saja yang menjadi partner perjanjian ini.

2. Menjabarkan konsekuensi/dampak FTA terhadap persaingan usaha di Provinsi Banten.

3. Menjelaskan peran-peran yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA dan menentukan siapa yang menjalankannya.

1.4 Sasaran Kajian

Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan oleh semua pemangku kepentingan, khususnya Satuan Kerja Perangkat Dinas –selanjutnya disebut- SKPD di Provinsi Banten baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Manfaat kajian diambil dengan cara menjadikannya rujukan dalam pembuatan kebijakan dan/atau program kerja mulai tahun 2016 dan seterusnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini dipaparkan sejumlah konsep, istilah dan teori yang dianggap penting serta berhubungan dengan topik kajian yaitu FTA dan persaingan usaha di Provinsi Banten.

2.1 UU No. 5 Tahun 1999

Undang-undang ini mengatur tentang monopoli dan persaingan tidak sehat, dengan kata lain Indonesia telah memutuskan bahwa persaingan usaha yang sehat akan menjadi instrumen ekonomi yang akan diimplementasikan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia untuk mewujudkan terciptanya kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai literatur diketahui bahwa keberhasilan persaingan yang sehat sebagai instrumen ekonomi akan muncul dalam berbagai bentuk antara lain:

 munculnya berbagai alternatif produk yang berguna bagi masyarakat  semakin murahnya harga/tarif produk barang dan jasa bagi masyarakat  keberpihakan pemerintah (national interest) untuk pemberdayaan produk unggulan domestik maupun yang unggul untuk orientasi  munculnya berbagai alternatif produk yang berguna bagi masyarakat  semakin murahnya harga/tarif produk barang dan jasa bagi masyarakat  keberpihakan pemerintah (national interest) untuk pemberdayaan produk unggulan domestik maupun yang unggul untuk orientasi

Pada akhirnya yang terpenting adalah semakin efisiennya sebuah sektor ekonomi sehingga memiliki peran yang lebih baik bagi masyarakat. Namun jika ditilik dari proses deregulasi dan penerapan kebijakan persaingan yang baru 10 tahun berjalan, tentulah masih belum mampu merubah perilaku pelaku usaha di seluruh sektor perekonomian. Keberhasilan KPPU dan seluruh stakeholder terkait lainnya seperti pemerintah, pengadilan, mahkamah agung, kepolisian, lembaga-lembaga lainnya dalam konteks persaingan adalah terjadinya persaingan usaha yang sehat sebagai budaya nasional yang masal.

Pengaturan oleh pemerintah, grand strategy dan komitmen yang kuat terhadap sektor menyangkut hajat hidup rakyat banyak di pasar domestik dan sektor industri produk dan pengolahan yang unggul untuk pasar ekspor. Dalam hal ini mainstreaming UU No. 5 dan kelembagaan KPPU dalam grand strategy dan kebijakan pemerintah dalam konteks Indonesia incorporated menjadi sangat penting. KPPU dapat lebih diberdayakan dalam forum internasionalnya seperti UNCTAD, OECD, ICN, ASEAN dan sebagainya untuk mensosialisasikan bahwa pelaku usaha yang akan go global dari Indonesia telah memiliki kualifikasi sebagai pemain yang berbudaya bersaing sehat secara internasional.

Dalam teori perdagangan internasional, tekanan persaingan akan lebih tinggi dibanding kondisi pasar domestik. Dengan demikian, bagi pelaku usaha yang ingin go global dan memenangkan persaingan di dunia internasional, efisiensi dan kemampuan inovasi menjadi modal utama. Efisiensi dan inovasi merupakan wujud perilaku perusahaan yang kompetitif dan berbudaya atau menerapkan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Perilaku kompetitif ini harus diimplemetasikan secara nyata oleh pelaku usaha di pasar domestik. Apabila di pasar domestik telah terbiasa dengan tekanan persaingan, maka kemungkinan besar untuk berhasil di pasar internasional juga menjadi lebih besar.

Memahami kondisi persaingan diantara pelaku usaha di industri barang dan jasa di Indonesia yang beorientasi ekspor menjadi penting untuk diamati oleh pemerintah dan dikaji oleh KPPU dalam kapasitas persaingannya. Pencermatan oleh pemerintah akan menghasilkan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja ekspor industri barang dan jasa yang berorientasi ekspor.

Peta Persaingan Industri

Dari hasil penelitian LPEM-UI dengan pemetaan industri pengolahan berorientasi ekspor dengan menggunakan metoda CR4 dan PCM dan survei persepsi, seperti juga kajian KPPU mengenai Indeks Persaingan Dari hasil penelitian LPEM-UI dengan pemetaan industri pengolahan berorientasi ekspor dengan menggunakan metoda CR4 dan PCM dan survei persepsi, seperti juga kajian KPPU mengenai Indeks Persaingan

 Trend industri pengolahan berorientasi ekspor di Indonesia bertambah dalam rentang waktu 2003 sampai 2006 dari 20 sektor industri menjadi 40 sektor industri pada tahun 2006. Namun mulai

tahun 2007 jumlah industri pengolahan berorientasi ekspor menurun drastis menjadi 22 sektor industri. Karena jumlah industri berorientasi ekspor berubah-ubah dari 2003-2007, maka sampel diambil yang memiliki jumlah ekspor 50% dari jumlah output selama 2003-2007. Menurut data BPS, sampel ini berjumlah 20 sektor industri pengolahan dari 377 sektor industri pengolahan (ISIC5 2007).

 Hasil perhitungan rata-rata CR4 dari 20 sektor industri dalam 5 tahun, menunjukkan bahwa 17 sektor industri memiliki struktur pasar yang cenderung oligopolistik (CR4>40%), 3 sektor industri

pengolahan memiliki CR4 di bawah 40% adalah industri karet remah (crumb rubber), industri moulding dan komponen bahan bangunan, dan industri furniture dari kayu. Hasil perhitungan rata- rata PCM menunjukkan bahwa sebagian besar industri pengolahan memperoleh keuntungan/margin lebih tinggi dari 10% dari harga kompetitif.

 Hasil survei persepsi pelaku usaha menunjukkan secara umum tidak terdapat persoalan persaingan usaha di sektor industri pengolahan berorientasi ekspor, baik dalam persaingan sesama pelaku usaha di pasar domestik maupun dalam jasa logistik khususnya kepelabuhanan.

Peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, perbaikan operasi jasa logistik dan pasar tenaga kerja dalam mewujudkan pasar domestik yang efisien yang akan berdampak pada industri yang beorientasi ekspor juga efisien, dalam hal ini berdasarkan banyak kajian dan pemberitaan dimedia mengenai:

 Ketersediaan infrastruktur yang sangat memprihatinkan seperti jalan, jembatan, listrik, air minum, dan sebagainya yang menyebabkan jasa logistik input dan output industri nasional menjadi berbiaya sangat tinggi bahkan tertinggi di dunia. Dalam hal ini peran dan komitmen pemerintah serta grand strategy yang jelas

dan konsekuen dilaksanakan menjadi sangat penting. Pemerintah harus memiliki perioritas dan kepemimpinan untuk merealisasikan dalam jangka pendek dan membuka private investment partnership (misal 30% investasi infrastruktur diberikan pada swasta). Dana infrastruktur yang demikian besar pada tahun mendatang perlu keterlibatan lembaga pengawas dalam pengadaannya secara dan konsekuen dilaksanakan menjadi sangat penting. Pemerintah harus memiliki perioritas dan kepemimpinan untuk merealisasikan dalam jangka pendek dan membuka private investment partnership (misal 30% investasi infrastruktur diberikan pada swasta). Dana infrastruktur yang demikian besar pada tahun mendatang perlu keterlibatan lembaga pengawas dalam pengadaannya secara

 Pasar tenaga kerja perlu mendapat perhatian karena terlalu kakunya regulasi ketenaga kerjaan, yaitu gaji murah tapi sistem tenaga kerja

industrial sangat tinggi biayanya (sebagai contoh pesangon bisa mencapai 25 sampai 30 kali gaji, dan biaya-biaya sistem tenaga kerja lainnya di Indonesia). Industrialisasi di Cina dan India bisa berjalan dengan baik karena pasar tenaga kerja sangat kondusif, berbagai tingkatan tenaga kerja sampai tenaga ahli mudah didapat, dan biaya sistem tenaga kerja bagi industri murah, yang berdampak pada gaji yang kompetitif, perkembangan kompetensi sehat dan kesejahteraan pekerja terjamin serta tidak terjadi gejolak politik dikalangan pekerja. Dengan demikian akan menjamin stabilitas, efisiensi dan produktivitas ketenaga kerjaan.

 Perlunya memperhatikan jaringan produksi regional (logistic production network) . Jika hal-hal prioritas di atas dapat direalisasikan dengan keberpihakan dan komitmen pemerintah yang tinggi, dengan secara tegas menerapkan budaya persaingan usaha yang sehat melalui penegakan hukum dan kelembagaan persaingan yang diperkuat dengan kesadaran regional untuk  Perlunya memperhatikan jaringan produksi regional (logistic production network) . Jika hal-hal prioritas di atas dapat direalisasikan dengan keberpihakan dan komitmen pemerintah yang tinggi, dengan secara tegas menerapkan budaya persaingan usaha yang sehat melalui penegakan hukum dan kelembagaan persaingan yang diperkuat dengan kesadaran regional untuk

2.2 HaKI vs UU Persaingan Usaha

Khusus terkait dengan masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dan hukum persaingan usaha, banyak sebagian orang berpandangan bahwa kedua hukum tersebut saling bertolak belakang. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Keberadaan rezim hukum HaKI dan Hukum Persaingan Usaha hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Kesamaan yang dimiliki oleh kedua rezim hukum tersebut diantaranya ialah pada tujuannya yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada satu sisi HaKI berbicara tentang perlindungan hak intelektual sebagai bentuk insentif dan penghargaan (incentive and reward) agar memacu kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan perdagangan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas peradaban masyarakat. Pengaturannya memberikan Pada satu sisi HaKI berbicara tentang perlindungan hak intelektual sebagai bentuk insentif dan penghargaan (incentive and reward) agar memacu kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan perdagangan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas peradaban masyarakat. Pengaturannya memberikan

Pada prinsipnya hukum ini akan memberikan kesempatan untuk kepastian berusaha bagi semua orang dengan cara membebaskan pasar guna efisien dan kompetisi yang fair untuk memberikan konsumen alternatif pilihan yang terbaik dalam pasar. Kacamata UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, HaKI adalah termasuk pasal yang dikecualikan yaitu Pasal 50 huruf

b, yang berbunyi : ”perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia

dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”. Hendaknya setiap pihak memaknai ketentuan Pasal 50 huruf b tersebut

sebagai berikut : pertama, bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit dan hak rahasia dagang. Kedua, sebagai berikut : pertama, bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit dan hak rahasia dagang. Kedua,

Untuk mencegah penyalahgunaan HaKI yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka indikator utama pengecualian adalah penguasaan pasar atas produk atau jasa yang dilakukan dengan lisensi HaKI tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar.

Dari sudut pandang akademisi, UU No.5 Tahun 1999 perlu direvisi. Hal ini setidaknya disampaikan oleh ekonom UGM Mudrajad Kuncoro "Revisi ini penting demi melindungi usaha domestik dari persaingan usaha yang tidak sehat ketika memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)". Melalui revisi Undang-Undang (UU) Persaingan Usaha tersebut, diharapkan akan memperkuat serta memperluas jangkauan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dalam mengawasi transaksi bisnis. Sang ekonom juga menyatakan "Agar KPPU dapat secara tegas menindak pelaku bisnis usaha asing, selain pelaku bisnis lokal" .

2.3 Teori Persaingan

Kemajuan teknologi dalam bidang produksi, telah memungkinkan tercapainya kondisi ideal economies of scale dan economies of scope. Pada gilirannya, kedua kondisi tersebut mendorong kemunculan beberapa perusahaan dominan yang mengarah pada adanya hubungan praktek persaingan monopolistik dan contestable market. Secara makro, munculnya perusahaan dominan namun mampu bekerja dengan low cost menjadi penting karena memudahkan untuk meningkatkan output industri secara progresif seperti contoh perusahaan otomotif Jepang yang lebih efisien dibandingkan perusahaan Amerika sehinggi dinilai sukses pada saat meningkatkan penjualan di banyak negara.

Tentang contestability, menurut Baumol, Panzar, and Willing (1982) dipraktekan dengan menghindarkan sunk cost dan menjadikan perusahaan mudah melakukan hit-and run entry, seperti dipraktekan oleh perusahaan baru yang masuk industri penerbangan di Indonesia saat ini yang melakukan leasing pesawat untuk menekan biaya total untuk tujuan penetapan harga bersaing dan jika perlu harga termurah. Strategi contestable market diartikan sebagai suatu praktek persaingan melalui low cost yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang bersaing ketat satu sama lain sehingga harga yang terbentuk adalah harga bersaing (competitive price).

Dari uraian di atas, praktek persaingan dinamis berpengaruh positif terhadap pertumbuhan daya saing perusahaan, industri, dan negara. Pertumbuhan dan pembangunan daya saing industri dijelaskan lebih rinci oleh Porter (1996) melalui model persaingan seperti pada Gambar 2.1. Ada

4 kekuatan yang terlibat dalam menentukan kekuatan/tingkat persaingan antarperusahaan di suatu industri, yaitu posisi tawar konsumen, posisi tawar pemasok sumberdaya, ancaman perusahaan pendatang baru dan ancaman produk substitusi. Respon terhadap kelima faktor kekuatan ini akan memengaruhi besaran laba yang diperoleh perusahaan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Porter mengungkapkan faktor-faktor tersebut merujuk pada teori mikroekonomi yang menjelaskan faktor-faktor struktur pasar yaitu jumlah pembeli (konsumen), jumlah dan ukuran perusahaan atau penjual, sifat produk (identik atau terdeferensiasi), dan hambatan masuk atau keluar pasar yang merupakan ancaman dari calon perusahaan baru.

Dalam teori mikroekonomi, struktur pasar diklasifikasikan menjadi apakah persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli, atau monopoli. Dapat disimpulkan bahwa model five forces dari Porter dapat pula digunakan untuk menjelaskan struktur industri yang meliputi struktur pasar dan ketersediaan (akses) sumberdaya melalui pemasok. Selanjutnya, Dalam teori mikroekonomi, struktur pasar diklasifikasikan menjadi apakah persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli, atau monopoli. Dapat disimpulkan bahwa model five forces dari Porter dapat pula digunakan untuk menjelaskan struktur industri yang meliputi struktur pasar dan ketersediaan (akses) sumberdaya melalui pemasok. Selanjutnya,

Gambar 2-1 Teori 5 Kekuatan Porter

Terdapat kritik terkait teori persaingan dari Michael E. Porter ini, misalnya, mengapa teori ini tidak mengakomodasi fakta bahwa calon pesaing dan juga pemasok dengan kekuatan tawarnya, bisa saja berkoneksi? Selain itu pada strategi persaingan yang coba dijelaskan oleh teori ini, peran pemerintah tidak ada sama sekali. Jika dikaitkan dengan adanya kekuatan regulasi baik di tingkat nasional dan regional seperti ASEAN, penggunaan teori 5 Forces Porter ini memerlukan sejumlah modifikasi pada modelnya. Sekalipun demikian, teori persaingan ini tetap memiliki relevansi yang cukup untuk menggambarkan bagaimana jalannya persaingan, siapa yang terlibat di dalamnya, dan apa saja yang menentukan kekuatan masing-masing faktor tersebut.

Berikut ini disajikan tabel yang berisi tentang bagaimana mengukur kekuatan dari faktor-faktor persaingan yang dimaksud Porter. Pada gambar

1.1 di atas, kelima faktor kekuatan dari persaingan industri diukur oleh sejumlah indikator yang sifatnya dinamis.

Tabel 1-1 Indikator dari Faktor

No Faktor

Indikator pengukuran 1 Ancaman Calon perusahaan  Ukuran asset perusahaan baru dari calon baru merupakan  Efisiensi perusahaan baru perusahaa ancaman

Pengertian

n baru memiliki  Penguasaan sumberdaya khususnya

jika

(new kapasitas, pangsa material, penolong dan capital entrants )

pasar, dan  Akses pada jalur distribusi memiliki

akses

pada sumberdaya 2 Posisi

 Jumlah volume pembelian. Semakin tawar

besar volume pembelian maka konsumen

kapasitas industri yang dibutuhkan atau

semakin besar

 Sifat produk apakah standard atau customers )

pembeli (power of

sedikit berbeda  Elastisitas permintaan yang diukur

dari besarnya proporsi pengeluaran konsumen (proporsi kuantitas yang dibeli dan besarnya biaya pembelian) untuk produk industri. Semakin kecil proporsi maka pembeli tidak akan sensitf terhadap perubahan harga

 Tingkat kualitas produk industri 3 Posisi

 Tingkat dominasi beberapa pemasok tawar

 Posisi tawar pemasok (jumlah pemasok

dibandingkan jumlah input

pemasok

(power of perusahaan pencari input) suppliers )

 Besarnya switching cost merespon keleluasaan memilih pemasok

 Sifat keterkaitan dan kemitraan pemasok dan industri pengguna input 4 Produk

Menunjukan  Perbedaan harga antarproduk yang

dapat disubstitusikan (substitute dan

substitusi trade-off harga

kinerja  Elastisitas substitusi yang juga dapat products ) produk

mendeskripsikan market power  Perbedaan manfaat antarproduk yang dapat disubstitusikan

5 Keberada Persaingan yang  Jumlah pesaing dan konsentrasi pasar

an dilakukan para  Pertumbuhan industri pesaing

pesaing berbentuk persaingan harga,  Tingkat diferensiasi produk introduksi produk  Tingkat switching cost dan iklan.

 Besarnya fixed cost untuk produksi  Tingkat utilitas kapasitas  Tingkat hambatan (barrier) keluar

pasar  Variasi strategi yang dilakukan

pesaing

Sumber: Diadaptasi dari berbagai referensi Praktek persaingan dinamik mutlak dibutuhkan oleh suatu perekonomian yang mengalami pertumbuhan daya beli atau perbesaran ukuran pasar karena praktek persaingan dinamik akan mendorong pertumbuhan output industri dan pertumbuhan daya saing industri. Praktek persaingan dinamik berbasis inovasi akan mendorong perusahaan dan industri bekerja lebih efisien saat meningkatkan jumlah output produksi dan memperbesar ukuran pasar. Efek makro keuntungan persaingan dinamik adalah peningkatan surplus social (konsumen plus produsen).

Hasil penelitian Cuilenburd and Slaa (1995) menunjukan ada korelasi positif antara persaingan dan inovasi untuk industry telekomunikasi menggunakan data negara-negara OECD. Untuk mempromosikan inovasi, tingkat perkembangan ekonomi suatu negara menjadi mediasi penting, atau diartikan sebagai penjamin terjadinya persaingan dinamik. Di lain pihak, jika persaingan dipraktekan tidak dinamik karena tidak kondusifnya perekonomian suatu negara atau Hasil penelitian Cuilenburd and Slaa (1995) menunjukan ada korelasi positif antara persaingan dan inovasi untuk industry telekomunikasi menggunakan data negara-negara OECD. Untuk mempromosikan inovasi, tingkat perkembangan ekonomi suatu negara menjadi mediasi penting, atau diartikan sebagai penjamin terjadinya persaingan dinamik. Di lain pihak, jika persaingan dipraktekan tidak dinamik karena tidak kondusifnya perekonomian suatu negara atau

sulit diimplementasikan maka banyak perusahaan di suatu negara akan mengalami penurunan daya saing maka industri tersebut akan kalah bersaing dengan industry dari negara lain yang mempraktekan persaingan dinamik.

2.4 Tantangan Implementasi

Indonesia memiliki tiga tantangan dalam mengimplementasikan AFTA menuju AEC. Pertama, pendekatan lintas sektoral untuk meningkatkan daya saing. Kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam menggerakkan sektor industri dan perdagangan memunculkan tantangan bagi Indonesia dalam menghadapi AEC. Agar bersaing dalam pasar perdagangan internasional, pemerintah harus memprioritaskan pengembangan industri yang berbasis pada bahan baku lokal. Oleh karena itu, pemerintah dan dunia usaha perlu menyatukan visi (Soewandi 2004, 10).

Ketua Badan Kerjasama dan Penanaman Modal (BKPM) Theo F. Toemion mengungkapkan bahwa tantangan dalam penyatuan visi ini dapat diartikan bahwa perlu adanya pendekatan lintas sektoral (Bisnis Indonesia,

2003). Theo melihat adanya satu kecenderungan dari masing-masing departemen yang merasa ketakutan jika kewenangannya diambil. Padahal, yang diperlukan saat ini adalah penyatuan visi bahwa Indonesia memerlukan aliran investasi masuk. Pendapat ini diperkuat oleh mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam presentasinya mengenai AEC blue print di CSIS (2007). Ia menyebutkan bahwa pembinaan sektoral yang telah terjadi dalam pembangunan Indonesia harus ditingkatkan berdasarkan pendekatan lintas-sektoral untuk meningkatkan daya saing ekonomi secara holistik. Menurutnya, pendekatan yang ego- sektoral akan menghambat pelaksanaan komitmen Indonesia dalam AEC blue print . Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat menurunkan kredibilitas Indonesia dalam ASEAN (Pangestu, 2007).

Jika dilihat dari pernyataan ketiga figur yang memiliki posisi penting dalam pelaksanaan poin-poin AFTA di Indonesia tersebut, maka semakin jelaslah bahwa tantangan berupa penyatuan visi antardepartemen memang hal yang harus diperhatikan.

Kedua, persiapan matang pada sektor fasilitasi perdagangan. Aspek lain yang menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menerapkan AEC blue print adalah fasilitasi perdagangan. Fasilitasi perdagangan menjadi salah satu fokus yang diprioritaskan oleh pemerintah dalam memperlancar arus perdagangan. Wilson et al 2006 menyatakan bahwan perbaikan pada empat Kedua, persiapan matang pada sektor fasilitasi perdagangan. Aspek lain yang menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menerapkan AEC blue print adalah fasilitasi perdagangan. Fasilitasi perdagangan menjadi salah satu fokus yang diprioritaskan oleh pemerintah dalam memperlancar arus perdagangan. Wilson et al 2006 menyatakan bahwan perbaikan pada empat

Pada aspek fasilitasi, Indonesia telah memiliki Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang secara teratur telah menerbitkan segala informasi mengenai kepabeanan. DJBC sekaligus menjadi National Single Window yang bertugas melayani segala prosedur mengenai perdagangan ke luar kawasan Indonesia. Namun, pusat informasi dan pelayanan yang mudah diakses bagi masyarakat umum belum dapat direalisasikan. Akibatnya, akses masyarakat yang berkepentingan dalam sektor perdagangan menjadi terhambat. Kondisi ini diperparah oleh belum lengkapnya informasi yang tersedia di DJBC, sebab DJBC hanya menyediakan informasi mengenai peraturan kepabeanan (Damuri, 2006). Peraturan lain seperti kebijakan perdagangan terbaru, peraturan transportasi dan lain-lain juga belum tersedia lengkap di DJBC yang seharusnya menjadi pusat informasi perdagangan ini. Sehingga, untuk mendapatkan informasi lengkap, masyarakat umum yang berkepentingan dalam sektor perdagangan harus mencari di tempat yang berbeda. Kondisi semacam ini bisa jadi memperlambat terjadinya perdagangan internasional.

Sementara itu, di antara empat sektor fasilitasi perdagangan yang telah disebutkan di atas (transportasi dan logistik, kepabeanan dan prosedur, Sementara itu, di antara empat sektor fasilitasi perdagangan yang telah disebutkan di atas (transportasi dan logistik, kepabeanan dan prosedur,

Dari keseluruhan pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam pelaksanaannya. Hasil survei yang disampaikan dalam Asia Pasific Research and Training Network on Trade (ARTNet) Working Paper No.10 menunjukkan bahwa kondisi fasilitasi perdagangan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan (Damuri, 2006). Kelemahan utama dalam pemberian fasilitasi perdagangan di Indonesia menurut Damuri adalah tingginya ketidakpastian dan rendahnya keseragaman dalam penerapan aturan yang terkait dengan perdagangan internasional.

Ketiga, antisipasi persiapan dan fleksibilitas sektor sensitif atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagaimana dikemukakan, bahwa sejak awal periode pembangunan hingga saat ini, produk ekspor Indonesia masih berbasis pada sumber daya alam dan produk manufaktur yang berteknologi rendah serta padat karya. Karakteristik dan spesialisasi produk ekspor Indonesia untuk sektor industri didominasi produk tekstil, kayu, dan minyak kelapa sawit merupakan produk yang minim sentuhan teknologi.

Konsentrasi pada produk tersebut tidak saja karena faktor sumber daya alam yang tersedia, namun juga sesuai dengan banyaknya tenaga kerja

yang ada (Nurhemi, 2007). Maka, dengan keunggulan di sektor tersebut perlu pula diperhitungkan agar celah yang sensitif ini tidak sampai tergilas oleh laju industrialisasi yang modern hingga meminggirkan sektor yang masih menjadi tumpuan hidup rakyat. Antisipasi dan persiapan perlu diadakan secara koheren dan terkait antara produk dan faktor yang mendukung seperti pendidikan, pelatihan, dan dukungan teknologi, agar sektor unggulan ini menjadi lebih siap bersaing. Pengalaman menunjukkan bahwa kurangnya persiapan dalam mengantisipasi liberalisasi perdagangan menyebabkan lemahnya daya saing Indonesia.

Nurhemi (2007) menyebutkan adanya tiga sektor unggulan yang menjadi celah sensitif bagi Indonesia. Pertama, tekstil dan produk tekstil (TPT). Ekspor TPT Indonesia menjadi industri strategis dan andalan penghasil devisa negara untuk sektor non-migas. Yang menjadi sisi sensitif pada sektor ini adalah ekonomi biaya tinggi, yakni biaya bongkar muat Indonesia yang jauh lebih mahal dibandingkan biaya di Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam (Kompas, 2003).

Kedua, kayu. Pangsa pasar produk kayu Indonesia pada tahun 2004 cenderung turun dibandingkan dengan tahun 2003 Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh berkurangnya produksi sebagai dampak terbatasnya bahan baku, serta tekanan dari China dan Malaysia yang berani menetapkan harga jauh lebih murah dari harga pasar (Nurhemi, 2007).

Tantangan yang dihadapi oleh sektor produksi kayu Indonesia yang utama dalah permasalahan di sektor hulu, yakni kelangkaan bahan baku akibat maraknya illegal logging serta ekspor ilegal (Nurhemi, 2007). Maka, diperlukan kebijakan yang ketat pula dalam mengawasi produksi ekspor kayu. Selain itu, kondisi permesinan Indonesia yang kuno dan boros menjadi titik lemah dibandingkan negara pesaing. Kemampuan yang terbatas inilah yang menyebabkan ekspor produk jadi Indonesia juga rendah.

Ketiga, minyak kelapa sawit (CPO). Pada pasar dunia, produk minyak kelapa sawit Indonesia menghadapi saingan utama dari Malaysia. Kinerja ekspor Malaysia juga lebih baik dibandingkan Indonesia disebabkan karena pemerintah Malaysia mendukung ekspor CPO dengan membebaskan secara penuh pajak terhadap komoditi CPO. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang hanya memberikan subsidi pupuk. Dari sisi kebijakan Indonesia juga tidak memiliki kebijakan nasional perkelapasawitan, misalnya pada bidang promosi. Malaysia, dalam hal ini memiliki konsep integrasi pemasaran yang melancarkan promosi di tujuh negara yang didanai oleh pemerintah (Nurhemi, 2007).

Dari penjelasan mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam implementasi AFTA menuju AEC tersebut, terlihat bahwa Indonesia masih memiliki celah yang belum sempurna dalam Dari penjelasan mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam implementasi AFTA menuju AEC tersebut, terlihat bahwa Indonesia masih memiliki celah yang belum sempurna dalam

Adapun tantangan yang muncul bagi Indonesia adalah mewujudkan visi yang satu antar departemen melalui pendekatan lintas sektoral untuk kemajuan perdagangan internasional Indonesia. Selain itu, penyempurnaan fasilitasi perdagangan bagi kelancaran arus perdagangan serta persiapan sektor sensitif menjadi hal yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan sebagai tantangan bagi Indonesia.

Adapun tiga faktor yang dapat mempengaruhi daya saing produksi suatu negara adalah akses pasar, kualitas produk, infrastruktur hukum dan kebijakan dalam negeri (Dwisaputra dan Aryaji 2007).

Pertama, pada sisi akses pasar, Indonesia sebenarnya telah memiliki pasar ASEAN yang tidak kecil. Setidaknya 550 juta penduduk ASEAN merupakan pasar yang amat potensial bagi produk Indonesia. Namun, komoditi dagang yang relatif sama antarnegara ASEAN menjadikan pasar ini begitu banyak pesaing.

Kedua, di samping persaingan pasar, ternyata kualitas daya saing produk Indonesia juga tertinggal dibanding negara ASEAN-5 yang memiliki kelebihan pada inovasi dan teknologinya. Ekspor Indonesia pada produk dengan dasar sumber daya alam memiliki nilai tertinggi dibanding negara ASEAN-5 dengan nilai mencapai 75,20 persen pada tahun 1985, 38,80 persen tahun 1998, dan 33,70 persen pada tahun 2000. Namun, pada produk dengan basis teknologi tinggi, Indonesia memiliki nilai terendah yakni hanya 3 persen pada tahun 1985, 9,70 persen tahun 1998, serta 17,40 persen pada tahun 2000. Jika dibandingkan dengan Singapura, maka Indonesia tertinggal jauh dengan nilai ekspor Singapura yang mencapai 61,20 persen pada tahun 2000 (Nurhemi, 2007).

Ketiga, infrastruktur hukum dan kebijakan tidak semapan negara tetangga ASEAN lain. Kondisi ini mempengaruhi iklim perekonomian di Indonesia, terutama sektor investasi yang menjadi pondasi ketersediaan modal. Sebagai akibat dari ketidakpastian kebijakan perdagangan dan kondisi yang menjadi masalah investasi tersebut, Indonesia tidak lepas dari jeratan masalah investasi luar negeri. Dari data ASEAN Economic Chartbook 2007 tampak bahwa ternyata nilai investasi langsung ke Indonesia pernah mengalami minus. Bahkan, nilainya lebih fluktuatif dibandingkan negara ASEAN lainnya. Seperti yang diungkapkan Rini dalam BEI News Edisi 18 Tahun V 2004, tingkat kepastian hukum yang Ketiga, infrastruktur hukum dan kebijakan tidak semapan negara tetangga ASEAN lain. Kondisi ini mempengaruhi iklim perekonomian di Indonesia, terutama sektor investasi yang menjadi pondasi ketersediaan modal. Sebagai akibat dari ketidakpastian kebijakan perdagangan dan kondisi yang menjadi masalah investasi tersebut, Indonesia tidak lepas dari jeratan masalah investasi luar negeri. Dari data ASEAN Economic Chartbook 2007 tampak bahwa ternyata nilai investasi langsung ke Indonesia pernah mengalami minus. Bahkan, nilainya lebih fluktuatif dibandingkan negara ASEAN lainnya. Seperti yang diungkapkan Rini dalam BEI News Edisi 18 Tahun V 2004, tingkat kepastian hukum yang

Selain berdampak pada investasi, tidak mapannya kebijakan pemerintah dalam sektor perdagangan khususnya juga berdampak pada pemasaran hasil produksi dalam negeri. Salah satu contoh adalah gagalnya account trade yang hendak dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia, PT INKA, dan Pupuk Sriwijaya (PUSRI) dengan Thailand pada tahun 2004. Pada saat itu, ketiga perusahaan ini telah mempersiapkan produksinya dengan matang hingga siap diekspor ke Thailand. Namun, karena pergantian pemerintahan pada waktu itu, proses ini terus ditunda dan akhirnya tidak terlaksana hingga sekarang. Kerugian yang disebabkan oleh kebijakan yang tidak berlanjut antarmasa pemerintahan ini mengakibatkan produk yang telah dihasilkan harus dialihkan pada pasar yang lain. Padahal, untuk mendapatkan pasar luar negeri bukanlah perkara yang mudah.

2.5 Standardisasi dan Sertifikasi

Berkaitan dengan daya saing, menurut Kepala BSN Bambang Prasetya (2005) “standardisasi menjadi pilar yang strategis untuk meningkatkan daya saing terutama dalam melindungi pasar domestik, memperkuat penetrasi produk nasional terhadap pasar luar negeri, turut serta dalam Berkaitan dengan daya saing, menurut Kepala BSN Bambang Prasetya (2005) “standardisasi menjadi pilar yang strategis untuk meningkatkan daya saing terutama dalam melindungi pasar domestik, memperkuat penetrasi produk nasional terhadap pasar luar negeri, turut serta dalam

Standar, atau lengkapnya standar teknis, adalah suatu norma atau persyaratan yang biasanya berupa suatu dokumen formal yang menciptakan kriteria, metode, proses, dan praktik rekayasa atau teknis yang seragam. Suatu standar dapat pula berupa suatu artefak atau perangkat formal lain yang digunakan untuk kalibrasi. Suatu standar primer biasanya berada dalam yurisdiksi suatu badan standardisasi nasional. Standar sekunder, tersier, cek, serta bahan standar biasanya digunakan sebagai rujukan dalam sistem metrologi. Suatu kebiasaan, konvensi, produk perusahaan, atau standar perusahaan yang telah diterima umum dan bersifat dominan sering disebut sebagai "standar de facto ”.

Oleh karenanya, standardisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas, dan sebagainya) dengan pedoman (standar) yang ditetapkan; bisa juga diartikan pembakuan sesuatu. Sehubungan dengan standardisasi, sertifikasi adalah pernyataan kesesuaian dengan standar tertentu. Sertifikasi diberikan oleh lembaga pihak ketiga yang sudah diakreditasi dan berhasil mendapat akreditasi yang baik.

Komite Akreditasi Nasional (KAN) merupakan lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Para anggota KAN merupakan perwakilan dari para pemangku kepentingan yang terdiri dari: instansi pemerintah, dunia usaha, konsumen, cendekiawan dan kalangan profesional. KAN dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi selaku Ketua DSN No.: 465/IV.2.06/HK.01.04/9 Tahun 1992 tentang Komite Akreditasi Nasional, jucnto Keputusan Presiden Nomor 13 tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional, juncto Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 2001 tentang Komite Akreditasi Nasional.

KAN adalah satu-satunya lembaga yang diberi otoritas untuk menyediakan jasa layanan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian (laboratorium, lembaga inspeksi, lembaga sertifikasi) di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa akreditasi adalah pengakuan formal yang diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi suatu lembaga atau organisasi dalam melakukan kegiatan penilaian kesesuaian tertentu. Sertifikasi adalah pernyataan kesesuaian dari pihak ke tiga terkait dengan produk, proses, sistem manajemen atau personal terhadap standar tertentu.

Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (LSSM) adalah suatu lembaga yang menerbitkan sertifikat ISO 9001 kepada organisasi. LSSM harus memenuhi seluruh ketentuan yang terdapat dalam ISO/IEC Guide 62 Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (LSSM) adalah suatu lembaga yang menerbitkan sertifikat ISO 9001 kepada organisasi. LSSM harus memenuhi seluruh ketentuan yang terdapat dalam ISO/IEC Guide 62

Sertifikat ISO 9001 berlogo LSSM dan KAN diakui secara internasional khususnya di negara- negara yang menandatangani MLA PAC/IAF karena KAN juga merupakan penandatangan MLA PAC/IAF. Untuk melakukan sertifikasi, tujuannya harus jelas, apakah pengajuan sertifikasi untuk produk (SNI Produk) atau hanya sistem manajemen saja (SNI ISO 9001:2008, SNI ISO 14000)? Setelah itu, apakah standar untuk produk atuapun tersebut sudah ada atau belum di sini, jika belum ada standar terkait, maka belum bisa dilakukan sertifikasi. Jika sudah ada standar SNI nya, maka tinggal mencari LS-PRO mana yang memiliki kompetensi sesuai dengan ruang lingkup SNI yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). LS PRO tersebut akan memberikan informasi bagaimana proses mendapatkan sertifikasi SNI.

BAB III METODOLOGI KAJIAN

3.1 Pendekatan Kajian

Pendekatan kajian lebih kepada pendekatan pragmatis di mana sifat kemamputerapan hasil kajian pada tataran operasional, lebih diutamakan daripada sifat keilmiahan penelitian pada umumnya. Penelitian kebijakan tetap mengikuti prosedur umum penelitian yang berlaku, disertai dengan sifat spesifiknya. Oleh karena tujuan penelitian kebijakan adalah mendukung kebijakan, maka penelitian ini bersifat khas, namun tidak berarti mengada-ada. Penelitian kebijakan hadir untuk mengilmiahkan kebijakan

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam batas-batas yang tidak berbenturan keras dengan political will atau lingkungan sosial politik di suatu negara.

3.2 Metode Analisis

Penelitian dilakukan dengan mereview literatur-literatur relevan yang aktual terkait FTA dan dampaknya terhadap persaingan usaha di Banten. Selain FTA, literatur tentang AFTA dan MEA juga menjadi objek kajian ini guna melengkapi pemahaman tentang FTA. Pengambilan kesimpulan Penelitian dilakukan dengan mereview literatur-literatur relevan yang aktual terkait FTA dan dampaknya terhadap persaingan usaha di Banten. Selain FTA, literatur tentang AFTA dan MEA juga menjadi objek kajian ini guna melengkapi pemahaman tentang FTA. Pengambilan kesimpulan