ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI SKRIPSI SARJANA OL H NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA

NIM: 060707007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI OLEH: NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Fadlin, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196102201989031003

NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal : Hari

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian:

Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Fadlin, M.A.

DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa di nusantara ini masing-masing memiliki bentuk- bentuk kesenian tradisional yang khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, kesenian tradisional tersebut berkembang dengan mengikuti dinamika zaman. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat pemiliknya. Pada prinsipnya sebuah bentuk kesenian diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar merasa tentram dalam menghadapi tantangan alam.

Salah satu suku bangsa tersebut adalah masyarakat Nias. Secara geografis, Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera (Indonesia). Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang memiliki budaya megalitik, musik, tarian, dan nyanyian ( sinunő). Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (ono artinya anak atau keturunan dan niha artinya manusia) dan pulau Nias sebagai Tanő Niha yang artinya (tanő artinya tanah) dan diartikan sebagai tanah manusia. Suku Nias merupakan masyarakat yang hidup di lingkungan adat dan kebudayaan yang memiliki nilai- nilai yang khas.

Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu dapat di perkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjaraningrat, 1997:4). Kenyataan ini dapat dijumpai dalam etnik Nias yang merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sumatera Utara.

Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu menjadi suatu hal yang sangat sakral dan harus dijalani dan di patuhi oleh setiap masyarakat Nias. Masyarakat Nias memiliki sistem hukum adat yang disebut Fondrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kepada kematian, dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakannya akan diberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat.

Dalam kebudayaan Nias terdapat banyak sekali keragaman budaya. Keragaman budaya tersebut antara lain seperti tarian tradisional, sinunő dan musik tradisional, makanan,dan minuman yang bersifat tradisional. Tarian tradisional, musik dan sinunő di pertunjukan pada setiap upacara-upacara adat, baik itu pernikahan, kematian, penyambutan tamu-tamu adat dan pemerintahan. Pada setiap upacara-upacara adat salah satu unsur yang tidak dapat lepas darinya adalah tarian tradisional serta sinunő (nyanyian) pengiring tari tersebut. Tarian tradisional dan sinunő ini diiringi oleh ensambel musik yang terdiri dari gendra (gendang besar), faritia (canang), dan mamba (gong).

Masih terdapat beberapa alat musik lainnya dan yang ketiga alat musik di atas adalah yang paling umum dipakai. Pada masyarakat Nias terdapat beberapa

jenis tarian tradisional, antara lain: Tari Maena yaitu tarian ini merupakan tarian suka cita yang biasa di pertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang di hormati, tari Maru yang merupakan tarian yang dipertunjukkan pada pesta penyambutan tamu dan owasa, tari Mamadaya Saembu atau Folaya Saembu merupakan tarian yang dipertunjukan pada pesta kebesaran untuk meningkatkan derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, tari Perang tarian yang biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, dan festival-festival kebudayaan, tari Ya’ahowu merupakan tarian kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang paling sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu, baik itu tamu adat dan tamu yang hadir pada suatu pesta.

Untuk mempersempit pokok permasalahan, maka dalam hal ini saya sebagai penulis mengambil pokok permasalahan pada tari Ya’ahowu. Tari ya’ahowu ini merupakan sebuah tarian khas kepulauan Nias di mana tarian ini merupakan sapaan khas penduduk Pulau Nias yang dipertunjukkan untuk menyambut tamu yang datang, baik tamu kedaerahan, pemerintahan dan tamu adat. Tarian ini diikuti atau diiringi oleh nyanyian (sinun ő) yang merdu dan sahut menyahut yang mengandung makna dan arti tertentu yang dinyanyikan dalam bahasa Nias. Kalau kita mengartikan kata Tari Ya’ahowu jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan exspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang di perhalus melalui estetika.

Latar belakang terciptanya tari Ya’ahowu ini adalah adanya unsur keinginan masyarakat untuk menciptakan tari yang menggambarkan rasa sukacita dan penyambutan kepada tamu yang datang di Nias terutama di daerah Nias bagian utara. Sebelum terbaginya beberapa wilayah kabupaten dan kota di Nias, tari penyambutan di yang sering dan umum di pertunjukan adalah tari Faluaya (tari perang) dan nyanyiannya vokal yang digunakan pada masa sebelum terbaginya wilayah Nias adalah nyanyian Hoho. Terjadinya pembagian wilayah kabupaten di Nias menjadikan masyarakat Nias menciptakan kesenian tradisional baru yang melambangkan atau menjadi ikon dari daerah itu. Nias Utara dan selatan memiliki perbedaan tradisi yang sangat jauh berbeda, terutama dalam hal tarian dan musik. Nias bagian utara pada tariannya memiliki gerakan yang lebih halus dibandingkan dengan Nias bahagian selatan yang rata-rata gerakannya kesar dan energik. Begitu juga dalam nyanyiannya.

Dari perbedaan wilayah inilah maka Nias bagian utama atau sekarang di kenal dengan daerah kota Gunungsitoli menciptakan tari Ya’ahowu sebagai tari penyambutan tamu adat di daerah ini. Tarian ini pertama sekali diciptakan secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan.

Pada upacara penyambutan tamu, tari Ya’ahowu di pertunjukan disertai dengan sinunő fangowai yang artinya adalah nyanyian penyambutan. Nyanyian pada waktu penyambutan ini terdiri dari 2 jenis, yakni: bőlihae dan fangowai. Kedua nyanyian ini biasanya didapati pada setiap acara penyambutan tamu-tamu Pada upacara penyambutan tamu, tari Ya’ahowu di pertunjukan disertai dengan sinunő fangowai yang artinya adalah nyanyian penyambutan. Nyanyian pada waktu penyambutan ini terdiri dari 2 jenis, yakni: bőlihae dan fangowai. Kedua nyanyian ini biasanya didapati pada setiap acara penyambutan tamu-tamu

Kedua nyanyian di atas menggunakan syair-syair tertentu, khususnya Bőlihae yang berisikan pujian-pujian dari masyarakat setempat atau orang dalam kepada pihak tome/ tamu yang datang. Sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa sukacita saat itu tergambar dari nyanyian ( sinunő) yang mereka nyanyikan pada saat itu; sedangkan Fangowai berisikan penghormatan tehadap pihak tamu. Kedua nynyian ini dinyanyikan dengan menitikberatkan pada medium suara manusia. Kedua nyanyian ini juga merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara adat penyambutan tamu pada masyarakat Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian ( sinunő) untuk pengiring tari Ya’ahowu membuat Bolihae dan Fangowai diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Meskipun tarian Ya’ahowu dan sinunő pengiringnya masih tergolong kreasi baru, tetapi mempunyai posisi yang penting pada kebudayaan Nias. Dalam konteksnya, banyak tarian yang mengadopsi atau mengunakan nyanyian vokal sebagai pengiring dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tari itu sendiri. Banyak tarian yang mana nyanyian pengiringnya mengandung makna sesuai dengan gerakan tari yang dimainkan oleh penari.

Sinunő atau Nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai fungsi yang sama dengan nyanyian hoho yang terdapat di Nias selatan yaitu sama-sama

nyanyian pengiring tari, hanya saja berbeda dalam konteks penyajian, tergantung nyanyian pengiring tari, hanya saja berbeda dalam konteks penyajian, tergantung

sinunő mengandung makna sapaan, pemberian hormat dan rasa sukacita yang diberikan kepada tamu. Sedangkan hoho pada kebudayaan Nias selatan hampir di

semua acara adat dia di pergunakan. Teks dalam nyanyian hoho ini belum baku dan bisa berubah sesuai dimana ia di mainkan. Di dalam teks hoho ini terdapat mitologi Nias yang berisi berbagai konsep orang Nias tentang alam, adat dan rekigi ataupun filsafah hidup masyarakat Nias. Ere hoho mempunyai peranan penting dalam menyusun ataupun membuat teks hoho yang akan ditampilkan.

Berdasarkan cara menyajikan atau menampilkannya, masyarakat Nias (bagian Selatan) membagi hoho dalam dua jenis, yang pertama adalah Hoho yang dibawakan untuk mengiringi tari Faluaya. Atau yang menyanyikan hoho membawakan nyanyian itu sambil menarikan tarian Faluaya bersama dengan penari Faluaya lainnya yang jumlahnya bisa mencapai pulihan orang dan biasanya ditampilkan dihalaman kampong atau newali. Sedangkan yang kedua hoho yang ditampilkan tanpa tarian dan ditampilkan sambil duduk di atas daro- daro (kursi tradisional Nias) atau disebut dengan hoho Fetataro. Jadi s inunő pengiring tari Ya’ahowu mempunyai fungsi yang sama dengan hoho, yaitu sama- sama sebagai nyanyian pengiring tari, tetapi cara menyanyikannya, intonasinya, serta teksnya berbeda. Cara bernyanyi di Nias selatan lebih keras disbanding cara bernyanyi masyarakat di Nias utara yang lebih lembut.

Sinunő atau nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini tergolong nyanyian baru yang baru diciptakan sekitar bulan Maret tahun 2004 oleh Bapak Man Harefa yang merupakan salah seorang budayawan Nias. Nyanyian ini banyak dipengaruhi oleh nyanyian gereja yang dapat di lihat dari nada-nada yang diciptakan dan Sinunő atau nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini tergolong nyanyian baru yang baru diciptakan sekitar bulan Maret tahun 2004 oleh Bapak Man Harefa yang merupakan salah seorang budayawan Nias. Nyanyian ini banyak dipengaruhi oleh nyanyian gereja yang dapat di lihat dari nada-nada yang diciptakan dan

Dengan melihat pendapat tersebut, nyanyian ( sinunő) pengiring tari Ya’ahowu juga menjadi bagian yang sangat perlu dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual, maka akan berbicara mengenai bahasa juga, dimana bahasa juga merupakan salah satu system yang masuk kedalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981:203).

Fenomena linguistik dengan bunyi musikal sudah sangat lama diteliti mengenai hubungannya. Menurut salah satu pakar etnomusikologi Feld dalam Purba (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu : yang meliputi hubungan tekstual (relasi), sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, music didalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties) ke-musikal-an dari bahasa.

Demikian juga sinunő pengiring tari Ya’ahowu merupakan musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya. Sinunő pengiring tari Ya’ahowu memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantung adat atau bahasa-bahasa ynag mengandung makna tersendiri sebagai syair/teks nyanyian. Makna konotatif ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Nias itu sendiri.

Maka sinunő juga merupakan media komusikasi yang memiliki tanda- tanda atau ciri-ciri tersebut, dan menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami Maka sinunő juga merupakan media komusikasi yang memiliki tanda- tanda atau ciri-ciri tersebut, dan menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami

Dengan melihat latar belakang tersebut di atas, maka nyanyian sinunő yang disajikan dalam pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunung Sitoli ini, menarik secara keilmuan untuk dikaji melalui disiplin etnomusikologi. Apalagi disiplin ini adalah ilmu yang penulis pelajari dan resapi selama beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu perlu penulis uraikan sekilas apa itu etnomusikologi dan bagaimana terapannya untuk penelitian ini.

Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni dan siial, disiplin ilmu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan gabungan atau fusi dari dua disiplin ilmu yaitu antropologi (kadangkala disebut juga dengan etnologi dengan musikologi. Fusi antara kedua disiplin ini sendiri telah menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks dalam sejarah perkembangan etnomusikologi di seluruh dunia ini.

Dalam konteks penggunaan kedua disiplin itu di dalam etnomusikologi, maka bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri. Di lain sisi antropologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia yang lebih luas. Secara tegas dinyatakan oleh Alan P. Merriam di tahun 1964 sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music

sound (Merriam 1964:3-4). 1

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan- kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu

1 Buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh

dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.

sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh

Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 2 Dari definisi etnomusikologi tersebut di atas, maka dalam konteks penelitian

ini, sangatlah relevan mengkaji sinun ő pada pertunjukan fanari Ya’ahowu di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Gunung Sitoli. Alasannya adalah bahwa sinun ő adalah musik vokal yang mengandung makna-makna kebudayaan. Nyanyian ini dapat didekati oleh disiplin etnomusikologi yang merupakan hasil fusi dari disiplin antropologi dan musikologi. Sinun ő ini dapat dikaji dari aspek

2 Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

strukturalnya melalui musikologi dan dikaji aspek fungsi sosial dan budayanya dari sudut antropologi.

Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis sinunő (nyanyian) untuk iringan tari Ya’ahowu karena melihat hal ini baik untuk dibahas dan dituliskan dalam skripsi dengan judul:

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI.

1.2 Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur sinunő yang digunakan pada pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunungsitolu?

2. Bagaimana struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu pada acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli?

3. Makna apa yang terkandung di dalam sinunő?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur nyanyian/melodi vocal sin unő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

2. Untuk mengetahui struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

3. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sinun ő fanari ya’ahowu yang dapat berguna sebagai pedoman oleh masyarakat Nias

1.3.2 Manfaat

Yang menjadi manfaat dalam tulisan ini adalah:

1. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui secara jelas bagaimana dan sejauh mana sinunő berperan dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

2. Penelitian ini bermanfaat untuk mendokumentasikan keberadaan seni etnik, khususnya Nias.

3. Penelitian ini juga bermanfaat untuk pengembangan ilmu etnomuskolologi dalam mengkaji kebudayaan etnik yang terdapat di seluruh dunia ini.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau dengan kata lain, konsep merupakan istilah dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau dengan kata lain, konsep merupakan istilah dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan

Sinunő dalam Kamus Bebas Bahasa Nias berarti nyanyian, sedangkan yang bernyanyi artikan Si Manunő. Nyanyian disebut juga dengan musik vokal, yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya.

Pertunjukan menurut Richard Schechner (1997:161) adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath (yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Menurut Singer (1995:165) pertunjukan adalah sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya. Sedangkan menurut Sediawaty (1981:58-60) seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Selain hal tersebut, seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton Pertunjukan menurut Richard Schechner (1997:161) adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath (yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Menurut Singer (1995:165) pertunjukan adalah sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya. Sedangkan menurut Sediawaty (1981:58-60) seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Selain hal tersebut, seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton

Fanari dalam Kamus Bahasa Nias berarti menari atau menarikan. Jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Haukin mengatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasai dan di beri bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta (Haukins, 1990:2). Dalam konteksnya, beberapa unsur gerak tari yang tampak meliputi gerak, ritme, dan bunyi musik, serta unsur-unsur pendukung lainnya.

Ya’ahowu dalam Kamus Bahasa Nias (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti “Semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh yang maha kuasa.

Sedangkan Kota Gunungsitoli adalah, kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang dari pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi berimigrasi ke kota Gunungsitoli. Di samping itu Kota Gunugsitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Kota GunungSitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh, dan orang-orang keturunan Tionghoa.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Sebagai landasan berfikir dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan dua teori utama untuk membedah dua permasalahan utama. Untuk mengkaji masalah struktur melodi digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), dan untuk mengkaji struktur teks (lirik) lagu digunakan teori semiotik.

Sinuno atau nyanyian berhubungan erat dengan bahasa (tekstual). Terkadang juga nynyian berhubungan erat dengan musik. Ada 2 faktor yang paling mendasar di dalam hubungan bahasa dan musik, antara lain :

1. Bahasa di dalam musik yang meliputi hubungan tekstual, sifal quistik atau gaya bahasa.

2. Musik di dalam bahasa meliputi masalah eksistensi sikap atau masalah dari bahasa.

Menurut Steven Feld dan Hugo Zemp,vocabulari yang sebelumnya dianggap sebagai tata bahasa saja, tetapi berhubungan dengan kebiasaan masyarakat seperti bentuk musik, nyanyian vokal, nyanyian pengiring dalam sebuah pertunjukan tari.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis sinun ő (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis sinun ő (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan

Untuk menganalisis pertunjukan penulis berpedoman pada Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji, penyaji dan penonton) diantara variabel- variabel wilayah yang berbeda.

Dari segi tari, penulis mengutip apa yang dikatakan Soedarsono (1972:81- 98), mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak tetapi gerak-gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud- maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis (abstrak) yang sukar untuk dimengerti, hal ini diperbuat agar makna tari itu berbeda dari apa yang dinamakan “pantonim” yang menggunakan gerakan-gerakan yang mudah dimengerti.

Qureshi (1986:135-136) menekankan bahwa pentingnya proses dari analisa yang terkait dimana adanya interaksi diantara dua pandangan yang berbeda yaitu Qureshi (1986:135-136) menekankan bahwa pentingnya proses dari analisa yang terkait dimana adanya interaksi diantara dua pandangan yang berbeda yaitu

1.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam.

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sach dalam Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Metode penelitiaan yang digunakan juga memakai metode penelitian deskriptif, merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, dan akibat atau efek yang terjadi (Sukmadinata 2006:72).

Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti.

Penulis juga mempelajari buku-buku tentang asal usul Orang Nias, buku tentang bagaimana Nias di zaman dahulu. Penulis juga mempelajari bagaimana kebudayaan Nias dulu, bagaimana kesenian- kesenian yang terdapat di masa dulu serta kaitannya kepada kebudayaan musik sekarang, serta membaca jurnal-jurnal yang membahas dan berkaitan dengan kebudayaan Nias.

Dalam mencari informasi yang berhubungan dan mendukung dengan tulisan ini serta dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian, penulis melakukan studi kepustakaan. Ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang berguna untuk melengkapi hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian lapangan. Selain itu penulis juga mencari penjelasan dari internet yang mana dari literatur tersebut diharapkan dapat membantu penyelesaian dari penulisan skripsi ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Selain itu juga penulis mengacu pada pendapat Merriam bahwa dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40).

Penulis juga melakukan pengamatan langsung ke tempat diselengarakannya pertunjukan fanari Ya’ahowu pada sebuah acara penyambutan tamu daerah yang menampilkan naynyian dan tarian tersebut di Kota Gunungsitoli dan melakukan perekaman langsung guna diteliti.

1.5.3 Wawancara

Dalam rangka penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung kepada objek yang di teliti, baik penarinya, penyanyinya serta pemusiknya yang berguna untuk mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian ini. Menurut Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak-pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan yang diwawancari (interview). Patton (dalam Moleong, 1988:135), mengungkapkan beberapa jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara pembicaraan informal, (2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (3) wawancara baku terbuka.

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pertunjukan Fanari Ya’ahowu ditampilkan pada acara Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pertunjukan Fanari Ya’ahowu ditampilkan pada acara

Perekaman data ini di lakukan dengan menggunakan handycam Sony dan menggunakan camera Nikkon. serta merekam nyanyianatau sinuno melalui laptop yang menggunakan software Nuendo 4.2 dan menyimpannya dalam format mp3. Hasil dari rekaman ini kemudian di edit dan dipilih, sehingga dapat dimuat dalam data skripsi. Data nyanyian atau sinun ő tersebut di pindahkan ke dalam satu notasi yang sifatnya visual agar mudah dipelajari.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Dari semua data yang diperoleh dari perekaman melalui penelitian langsung, Semua data yang diperoleh di lapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

Dalam kerja laboratorium ini juga penulis di bimbing langsung oleh dosen pembimbing yaitu: Bapak Fadlin dan Muhammad Takari yang juga mengarahkan penulis melalui pendekatan-pendekatan etnomusikologi tentang masalah yang penulis bahas. Sehingga jika terdapat kekurangan dapat langsung diperbaiki melalui saran dari dosen pembimbing.

1.5.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Di Nias terdapat banyak sanggar seni, baik itu sanggar seni yang berada di bawah pembinaan atau naungan sekolah, seperti sanggar Sma Xaverius Gunungsitoli, Sanggar SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Sanggar Perguruan Pemda (Pemerintah Daerah) Gunungsitoli, dan masih banyak lagi sanggar seni yang ada di bawah naungan sekolah lainnya. Ada juga sanggar seni yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu.

Dalam pemilihan lokasi penelitian, penulis menetapkan Sanggar Bolalahina Sma Negeri 1 Kota Gunungsitoli yang merupakan sanggar pencipta tari Ya’ahowu dan sanggar ini juga merupakan sanggar yang paling banyak di undang untuk mengisi setiap acara-acara yang menampilkan kesenian-kesenian Nias. Sanggar ini di pilih karena di sanggar inilah banyak terdapat informasi- informasi yang berhubungan dengan penelitian yang di kerjakan oleh penulis.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal yang mampu membeikan informasi yang penulis butuhkan sebelum melakukan penelitian. Informan pangkal inilah nantinya yang akan membawa atau mengarahkan penulis kepada informan kunci.

Adapun kapasitas dan criteria informan kunci ini adalah orang yang mengetahui tentang Sinuno dalam tari Ya’ahowu dan memberikan semua informasi yang penulis butuhkan. Informan kunci yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Ibu Adiria Zendrato (42) dan Ibu Eka Gulo (45). Ibu Adiri Zendrato dan Ibu Eka Gulo dianggap oleh masyarakat Nias di Gunungsitoli Adapun kapasitas dan criteria informan kunci ini adalah orang yang mengetahui tentang Sinuno dalam tari Ya’ahowu dan memberikan semua informasi yang penulis butuhkan. Informan kunci yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Ibu Adiria Zendrato (42) dan Ibu Eka Gulo (45). Ibu Adiri Zendrato dan Ibu Eka Gulo dianggap oleh masyarakat Nias di Gunungsitoli

BAB II

DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI

2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli

Pulau Nias yang merupakan salah satu pulau yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah:

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi

Sumatera Utara;

 Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten

Tapanuli Tengah;

 Sebelah Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia.

Pulau Nias memiliki satu (1) Kotamadya, yaitu kota Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29

Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli”yakni sebuah nama gunung dalam kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan yang disebut Ina Mbanua.

Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain; Menurut Zebua (1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni:

a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi)

b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda Bawolaraga Harefadan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso Borombanua Telaumbanua.

c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua.

d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga.

Dengan demikian momentum lahirnya kota Gunungsitoli dianalogikan dengan kelahiran pelabuhan yang dinamakan Luahanou. Pelabuhan tersebut pada awalnya masih sebagai pelabuhan alam terbuka pada tahun 1629. (Juga disebut dengan nama Luaha). Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sendirinya Tano Niha (Suku Nias) dengan kepualuannya masuk dalam wilayah Negara Republik Indonesia.Tano niha dengan kepulauannya(kepulauan Hinako dan kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan Ibu Kotanya Gunungsitoli. Kepala Luhak pertama adalah Daliziduhu Marunduri (1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak Nias di tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati.Bupati pertama adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli. Tidak berapa lama kemudian Tano Niha menjadi daerah Tingkat II Kabupaten Nias dan mulai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat

II. Dalam perkembangannya pemimpin pemerintahan (bupati) berganti dan sat ini Kota Gunungsitoli sebagai Daerah Otonom Baru dipimpin walikota defenitif.