Identitas kebangsaan anak Sekolah Dasar di Yogyakarta - USD Repository

  IDENTITAS KEBANGSAAN ANAK SEKOLAH DASAR DI YOGYAKARTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Program Studi Psikologi Oleh Yashinta Ardhiani Permatasari 059114064 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

ABSTRAK

Identitas Kebangsaan Anak Sekolah Dasar Di Yogyakarta

Yashinta Ardhiani Permatasari

  Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2010

  Indonesia sedang menghadapi tantangan nasionalisme yang cukup berat baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pendidikan dianggap tidak cukup memberikan dasar dalam pembentukan keindonesiaannya. Penelitian ini hendak mengkaji apa yang anak pahami tentang Indonesia, darimana anak mendapatkan pemahaman tersebut, dan bagaimana pemahaman anak tentang Indonesia. Penelitian ini penting untuk memberikan gambaran tentang identitas kebangsaan anak khususnya dalam mengidentifikasi sebagai orang Indonesia.

  Identifikasi sebagai orang Indonesia adalah proses dimana individu memasukkan dan mengintegrasikan atribut dan menstransformasikannya ke dalam dirinya. Pengalaman pribadi anak merupakan sebuah dorongan yang kuat dalam pembelajaran kewarganegaraan sehingga penanaman pendidikan kewarganegaraan pada anak sejak dini dirasa penting. Paradigma yang digunakan adalah perspektif representasi sosial yang dapat mengungkap identitas keindonesiaan sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pengambilan data dilakukan dengan metode menggambar, globe buta dengan bola sebagai media, dan wawancara. Metode ini mencoba untuk mengungkap pemahaman anak tentang Indonesia pada 30 responden anak kelas

  IV-VI sekolah dasar Muhamadiyah, Madrasah, Kanisius, Bopkri, Negeri, dan Tarakanita.

  Hasil penelitian ini mengungkapkan, bahwa keindonesiaan anak bersifat abstrak dan negatif pada saat ini, dan yang bersifat konkret dan positif justru berasal dari masa lalu. Akibatnya identifikasi anak sebagai orang Indonesia menjadi ”kosong” tanpa disertai konkritisasi yang positif dalam kehidupan sehari- hari yang mudah dipahami anak. Dari hasil tersebut diketahui objectivication keindonesiaan pada anak-anak adalah Indonesia sebagai negara (meliputi batas negara, pulau, negara, kekayaan alam), dan sebagai bangsa yang meliputi citra (ciri fisik, citra negatif dan positif tentang Indonesia), dan identifikasi (“aku orang Indonesia” dan ekspresi perasaan). Sedangkan anchoring tampak dalam pernyataan-pernyataan seperti ”Indonesia itu kaya sumber daya alam, tapi kurang maju sedikit dan bodoh”. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diharapkan pelajaran tentang keindonesiaan diberikan secara lebih konkret sehingga anak lebih mudah untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

  Keywords: Identitas kebangsaan, representasi sosial

  

ABSTRACT

The National Identity of Children Elementary School in Yogyakarta

Yashinta Ardhiani Permatasari

  Faculty of Psychology, Sanata Dharma University Yogyakarta 2010

  Indonesia nowadays is facing serious challenges both from inside and outside due to the changes which took place in International countries as well as inside the nation. Education is considered does not give enough basic principle to form someone into Indonesian. This research tries to review what the children understood about Indonesia, where they got their knowledge from, and how their concept about Indonesia is. This research is important to give a basic concept about nationality to the children, especially to identify themself as Indonesian.

  Identification as Indonesian citizen is a process where every individual accepts and integrates attributes and transforms it into themselves. The children's personal experience is a great stimulus on the study of citizenship, therefore the study of citizenship to the young learner is considered as as an important thing. The paradigm which is used is a perspective of social representation which able to reveal the identity of Indonesian citizenship as a concept which always grows and develops in society. The data collection is done by some methods, such as drawing method, blind globe with a media of ball, and interview. These methods tries to reveal the children's concept about Indonesia and the subjects are 30

  th th

  respondents of 4 – 6 grade of elementary school from Muhammadiyah, Madrasah, Kanisius, BOPKRI, State School, and Tarakanita.

  The research results reveals that the concept of indonesian citizenship on the children is still an abstract and negative concept, meanwhile a concrete and positive concept goes to the past. Therefore the children’s identification as Indonesian is an “empty concept” with no positive realization on daily life which can be understood by children. From these results can be concluded that the children’s national identity objectivication is Indonesia as a country (including country boundaries, islands, nation, and natural resources), and as a nation which includes images (physical appearance, negative and positive image of Indonesia), and identification (“I’m Indonesian” and the expression of the feelings). Meanwhile, anchoring is shown on the statements such as “Indonesia is rich of natural resources, but it is a little underdeveloped and morron”. Based on this research results, we hope the education of Indonesian citizenship is given as a more concrete lesson, so the children are easier to apply it on dailly life.

  Keywords: National identity, social representation

  Pertama dan yang teramat penting dalam hidupku, terima kasih pada Tuhan Yesus Kristus yang telah membimbing, memberi berkat, dan berkarya dalam hidupku sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Penulisan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

  1. Bapak Edi Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi yang secara tidak langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

  2. Ibu M. L Anantasari, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan semangat dan masukan bagi penulis

  3. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar telah menyediakan waktu dan memberikan masukan- masukan yang berharga

  4. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi, yang telah membimbing, mendidik, dan mengarahkan penulis selama kuliah

  5. Pak Giek, Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni, dan Mas Muji, terimakasih atas segala bantuan dan kebersamaan selama di Fakultas Psikologi

  6. Papah dan Ibuku tercinta, Yakobus Sunaryo dan Maria Sri Hartini, terimakasih atas doa dan dukungannya, trimakasih juga sudah menemaniku mencari responden dari satu sekolah ke sekolah lain, semoga karya ini bisa membanggakan. I Love U..

  7. Kakak-kakakku tersayang, mas Dhian, mbak Devi, mas Wawan, dan mbak Christin, terimakasih untuk motivasi, inspirasi dan keyakinannya bahwa Shinta bisa menyelesaikan karya ini.

  8. Keponakanku Gagas Ilalang Bumi, terimakasih ya buat senyum termanismu yang membuat tante menjadi lebih bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

  9. Tante Nana, terima kasih atas dukungannya, trimakasih juga untuk laptopnya sehingga aku bisa mengerjakan skripsiku.

  10. Sahabat-sahabat terbaikku, F. Christinna K.D, Anastasia Reni, Setiasih Dwi Indrati, Agatha Sagitaria.. Terimakasih untuk kebersamaan kita selama ini, semoga kita tetap bisa menjaga persahabatan ini. Luv u pull...

  11. Keluarga Cemara, mbak Eka Isabella Tjok, Nyoman Trisna Aryanata, Maria Lourdes Wiranti, Widayanti Arioka, Cicilia Pratiwi, Irene Kusuma Palmarani, Lucky Merilidiantoro, Githa Mediana Simanjuntak, Mahadsih Worowiranti, Ratna Kusmartini, Indayani Sitanggang. Hai guys, walaupun melalui proses yang berdarah-darah, ternyata kita bisa kawan!! Aku bangga menjadi bagian dalam proses ini.. Luv u all

  12. Partner terbaikku Awan Dimas Prakoso, yang selalu setia mengisi hari-hariku dengan keceriaan. Trimakasih buat cinta, semangat, kesabaran, dan motivasinya sehingga aku yakin akan kemampuanku. Maaf kalo sering ngeyel -.

  13. Temen-temenku semua yang selalu menjadi pemicu semangatku. Iin my best of the best friend, maz odik, anggit makasih ya dah ditranslate’in, pak Cahyo makasih atas kesediaannya menjadi teman diskusi, Chigie si tukang rusuh, Sp Troy makasih yang selalu sedia ditanya tentang laptopku, Pak Wawan dan Pak Catur teman baru yang menyenangkan, team kempo mBantul yang kompak abiz, dan semua teman yang selalu care untuk menanyakan kapan skripsiku selesai dan tak bisa kusebut satu persatu, terima kasih banyak -.

  14. Si merah, motor kesayanganku, makasih dah nganter kemanapun diriku pergi.

  15. Laptopku... makasih udah nggak bandel-bandel amat selama aku ngerjain skripsi

  16. Teman-teman Psikologi angkatan 2005, terimakasih atas kebersamaannya, semoga kalian meraih sukses yang diimpikan.

  Skripsi ini masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya, hal ini tidak terlepas dari kekurangan yang ada dalam diri penulis. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang membaca dan memberikan wawasan, serta memberi inspirasi dalam hidup.

  Yogyakarta, 25 September 2009 Penulis

  DAFTAR ISI

  Halaman Halaman Judul ....................................................................................................... i Halaman Persetujuan Pembimbing ....................................................................... ii Halaman Pengesahan ............................................................................................ iii Halaman Motto...................................................................................................... iv Halaman Persembahan .......................................................................................... v Pernyataan Keaslian Karya ................................................................................... vi Abstrak .................................................................................................................. vii Abstract ................................................................................................................ viii Pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah untuk kepentingan akademis ...... ix Kata Pengantar ...................................................................................................... x Daftar Isi.............................................................................................................. xiii Daftar Skema ........................................................................................................ xv Daftar Tabel ......................................................................................................... xvi Daftar Lampiran................................................................................... ........... ...xviii

  BAB I Pendahuluan .............................................................................................. 1 A. Latar Belakang....................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah...................................................................................11 C. Tujuan Penelitian....................................................................................11 D. Manfaat Penelitian..................................................................................12 BAB II Landasan Teori..........................................................................................13 A. Terbentuknya Identitas Indonesia...........................................................13 A.1. Teori Identitas.................................................................................13 A.2. Teori Kewarganegaraan..................................................................21 A.3. Identitas Kebangsaan Sebagai Hasil Representasi......................... 25 A.4. Evaluasi terhadap Pendidikan di Indonesia dalam Membentuk Identitas Kebangsaan................................................... 29 A. Indonesia...............................................................................35

  C. Konteks Penelitian: Anak- anak kelas IV-VI SD di Yogyakarta........................................................................42

  BAB III Metode Penelitian....................................................................................48 A. Pendekatan Penelitian.......................................................................48 B. Responden Penelitian....................................................................... 49 C. Batasan Istilah...................................................................................50 D. Metode Pengumpulan Data...............................................................51 E. Analisis Data.....................................................................................54 F. Keabsahan Data................................................................................58 BAB IV Hasil Penelitian........................................................................................60 A. Pelaksanaan Penelitian......................................................................60 B. Data Responden................................................................................61 B.1. Data Demografi Responden......................................................61 C. Hasil Analisis Data Penelitian...........................................................64 C.1. Hasil Analisis Gambar...............................................................65 C.2. Hasil Data Globe Buta...............................................................72 C.3. Hasil Analisis Data Wawancara................................................73 C.3.a. Pengetahuan Tentang Indonesia.......................................74 C.3.b. Perasaan Tentang Indonesia………………………….…77 C.4. Hasil Analisis Sumber Pengetahuan Responden Tentang Indonesia....................................................79 D. Variasi Makna Tentang Indonesia Berdasarkan Variasi Demografi Responden..........................................................80 E. Analisis Makna Indonesia Bagi Anak...............................................88 F. Pembahasan.....................................................................................101 BAB V Kesimpulan dan Saran............................................................................110 A. Kesimpulan........................................................................................110 B. Saran..................................................................................................112 Daftar Pustaka.....................................................................................................114 Lampiran.............................................................................................................119

  atau suatu tingkah laku atas kesepahaman secara sukarela. Pandangan ini kemudian diadopsi oleh Anderson (2001) yang menggambarkan bahwa sebuah bangsa hanyalah sebatas sesuatu yang terbayang, dimana di benak setiap orang, hidup suatu kesepakatan bersama tentang kebersamaan mereka.

  Demikian pula keindonesiaan muncul berdasar atas kesadaran akan kesetaraan dan hasrat untuk maju bersama sebagai sebuah negara. Artinya Indonesia ada itu bukan karena kesamaan nasib semata tetapi karena komitmen para pendiri untuk maju bersama sebagai sebuah negara. Oleh karenanya konsep keindonesiaan merupakan konsep yang harus selalu diperjuangkan dan dimaknai secara terus-menerus.

  Akhir-akhir ini banyak pihak (akademisi, politisi, pendidik, dan lain sebagainya) menilai bahwa identitas keindonesiaan bangsa Indonesia dirasa semakin rendah. Sejak memasuki masa reformasi yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia tenggelam dalam berbagai persoalan seperti angka pengangguran yang meningkat, pergolakan di beberapa kota besar, peningkatan militansi kaum Islam, dan peningkatan intensitas konflik berdarah antar kelompok di beberapa daerah.

  2 Aceh, dan daerah-daerah lain yang cenderung menonjolkan kekuatan militer justru menimbulkan tragedi yang sulit dilupakan (lihat Zurbuchen, 2005).

  Sejak munculnya reformasi beberapa daerah ingin mendirikan negara terpisah dari RI. Timor-timur merupakan salah satu daerah yang sudah terpisah dari Indonesia dan secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002. Peristiwa yang relatif baru yang menjadi pukulan telak kepada pemerintah dalam menjaga citra keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah insiden penyusupan aktivis gerakan separatis RMS dalam peringatan Hari Keluarga XIV di Ambon dan Maluku pada tahun 2007.

  Semangat primordialisme juga dapat terlihat pada berbagai konflik antaretnis yang merebak mulai dari kasus Ambon pada tahun 1999, kasus Poso pada tahun 1998, kasus antaretnis Kalimantan Barat pada tahun 1999 yang melibatkan enis Melayu, Dayak, dan Madura, sampai pertikaian antarkampung menjadi soal yang datang beruntun. Hal ini menjadi indikasi adanya perpecahan dalam masyarakat yang dapat mengancam integrasi nasional (Kompas, 20 Juli 2007).

  Salah satu survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, UIN pada tahun 2004 yang melibatkan 1200 responden di Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 41,3% responden memilih agama sebagai faktor terpenting untuk merumuskan identitas bangsa dan 24,6% responden memilih kebangsaan Indonesia. Dari hasil survei ditemukan bahwa identitas agama jauh lebih kuat dibandingkan identitas bangsa sebagai orang

  3 60 tahun, 50% laki-laki dan 50% perempuan, 42% dari kota dan 58% dari desa. Metode pengambilan data dilakukan dengan metode multistage random

  sampling menggunakan pertanyaan tertutup. Selain itu, hasil survei yang

  dilakukan di Indonesia Timur oleh Center for Democracy and Human Rights

  Studies pada tahun 2005, menemukan bahwa daerah seperti di Aceh, Papua,

  serta sejumlah kawasan Indonesia Timur, para informan lebih suka mengidentifikasi diri sebagai anggota komunitas suku (39%) daripada sebagai orang Indonesia (19%).

  Keadaan ini masih ditambah dengan tekanan globalisme yang semakin mendorong lunturnya nasionalisme bangsa ini. Secara konkret tekanan globalisme dapat terlihat setidaknya pada hasil jajak pendapat Kompas yang mengatakan bahwa sedikitnya 38 persen responden menyatakan, mereka lebih memilih menonton film produksi sineas luar negeri (Kompas, 16 Agustus 2008). Pengaruh globalisme juga dapat terlihat dari sikap masyarakat saat ini yang lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing daripada penggunaan bahasa Indonesia, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis. Terbitnya majalah-majalah remaja seperti Hai, Gadis, dan Mode, misalnya, memberikan satu gambaran tentang makin kuatnya pengaruh apa yang dalam masyarakat Barat biasa disebut sebagai youth

  culture, yakni salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam wacana budaya

  massa atau budaya populer. Informasi yang disajikan dalam majalah-majalah

  4 kehidupan dunia selebritis di luar dan dalam negeri, film, musik pop, olahraga, dan gosip yang khas kelas menengah. Dari pengalaman menonton acara-acara TV Indonesia selama ini juga dengan mudah kita bisa mengatakan bahwa sinetron lokal dalam banyak hal bukan lain adalah salinan opera sabun Hollywood atau Amerika Latin yang dibuat oleh rumah produksi di Jakarta. Melalui itu semua anak-anak muda digiring untuk menyesuaikan sekaligus menyeragamkan diri dengan citra tentang anak-anak muda di New York, Hongkong, Singapura, Tokyo, atau Sidney (lihat Budiman, 2002).

  Berdasarkan data survei maupun berbagai kasus diatas dapat dikatakan bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia tersebut sedang menghadapi tantangan yang cukup berat baik dari dalam maupun dari luar karena adanya perubahan yang terjadi di dunia internasional maupun yang terjadi di negeri ini sendiri. Identitas agama dan etnis lebih menguat daripada identitas Indonesia ataupun juga semangat meng’global’ lebih besar daripada me’lokal’ (lihat pula Nordholt, 2006). Menguatnya rasa kedaerahan atau sebaliknya menguatnya rasa mendunia mengekspresikan semangat keindonesiaan yang semakin luntur.

  Penanaman rasa nasionalisme sesungguhnya dapat diupayakan sejak dini. Dalam tahap perkembangannya, seseorang dikatakan dapat mengetahui identitas dirinya ketika ia berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebut akan memberikan banyak pengalaman yang akan membentuk sense of self tentang diri orang tersebut (Elliott, 2002).

  5 Salah satu penanaman rasa nasionalisme dapat dilakukan melalui pengajaran sejarah dan kepahlawanan nasional, juga melalui bahasa, sastra, teater, film, musik maupun ritual kebangsaan seperti perayaan hari bersejarah. Dalam hal ini ada beberapa pihak yang dapat mengupayakan hal tersebut, diantaranya adalah pendidikan sekolah, keluarga, pemerintah, dan sebagainya.

  Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa institusi pendidikan tidak cukup berperan dalam menumbuhkan nasionalisme. Seperti Tilaar (2007) yang mengatakan bahwa peran pendidikan sebagai institusi formal untuk mengembangkan jati diri bangsa seakan-seakan tidak mau bertanggung jawab atas pengetahuan yang mereka berikan pada anak didiknya. Ada kecurigaan bahwa institusi pendidikan tidak cukup proporsional dalam membekali anak untuk membentuk keindonesiaannya. Pendidikan nasional dinilai tidak lagi berorientasi mengenalkan dan menanamkan rasa keindonesiaan kepada siswa.

  Misalnya mata pelajaran seperti IPS dan PPKn yang diajarkan apa adanya kepada siswa, tanpa mencoba memaknainya dalam bingkai keindonesiaan (Wuryadi dalam Kompas, 1 Februari 2006). Pembelajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi lebih banyak dilakukan secara umum dan lebih bersifat hafalan dan cenderung hanya menyampaikan prestasi/perjuangan masa lalu (secara khusus sebelum kemerdekaan), tanpa berusaha memasukkan penanaman cinta tanah air secara nyata dan menyampaikan prestasi/ perjuangan masa kini (seperti prestasi di bidang olah raga, ilmu pengetahuan, ekonomi dan sebagainya). Penanaman cinta tanah air cenderung bersifat

  6 apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa Indonesia baik di bidang seni (film, novel, lukisan dan lain-lain), ilmu pengetahuan (pameran hasil olimpiade fisika, matematika dan lain-lain) maupun budaya. Selain itu generasi tua seringkali tidak menjadi sosok panutan dalam mencintai Indonesia misalnya cenderung membeli dan memakai produk-produk luar negeri, selalu berkomentar negatif tentang Indonesia dan lain sebagainya.

  Akibatnya, rasa memiliki dan cinta Tanah Air menjadi semakin luntur.

  Sementara itu, penanaman pendidikan kewarganegaraan pada anak sejak dini dirasa penting dan hal ini membutuhkan partisipasi langsung dari anak, guru, dan institusi sosial terkait seperti sekolah. Pendidikan kewarganegaraan ini menjadi salah satu sarana pendidikan untuk pembinaan seorang warga negara agar dia mengenal akan hak serta kewajibannya sebagai anggota dari negara Indonesia (Tilaar, H.A.R, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ina Joubert (2007) di Afrika Selatan yang berjudul “The life

  Experiences and Understandings of Children as Citizens in a Democratic South Africa” mengatakan bahwa sejak kecil anak harus diberi kesempatan

  untuk mengembangkan ide-ide tentang kewarganegaraan dan mendiskusikan isu-isu tentang kewarganegaraan karena ternyata anak kecil juga mempunyai minat untuk mempelajari hal tersebut. Pengalaman pribadi anak merupakan sebuah dorongan yang kuat dalam pembelajaran kewarganegaraan (Brown dan Harisson in Holden & Clough, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan Jean Hine di London dan Wiles yang berjudul ”Children and Citizenship” (2004)

  7 walaupun mereka tidak sepenuhnya paham akan hal tersebut. Ketrampilan kewarganegaraan diartikan anak sebagai kewarganegaraan yang aktif seperti menjaga masa depan yang lebih baik dengan mampu menyaring perubahan realitas untuk kesetaraan & keadilan sosial. Sedangkan untuk konteks penelitian di Indonesia, peneliti belum menemukan penelitian yang mengungkap kewarganegaraan dan konsep identitas kebangsaan khususnya pada anak. Banyak studi lebih mengulas tentang konsep identitas kebangsaan dan kewarganegaraan anak muda termasuk mahasiswa serta masyarakat umum.

  Untuk konteks Indonesia dimana keindonesiaan dapat dikatakan lebih merupakan hasil dari kesepakatan bersama maka apabila kesepakatan tersebut tidak dimaknai secara terus-menerus masa depan Indonesia sebagai bangsa bisa menjadi sebuah pertanyaan besar. Penelitian ini hendak memberikan salah satu kontribusi solusi atas permasalahan tersebut melalui penelitian yang mengkaji tentang apa yang anak pahami tentang Indonesia, darimana anak mendapatkan pemahaman tersebut, dan bagaimana pemahaman anak tentang Indonesia. Penelitian ini penting untuk memberikan gambaran tentang identitas kebangsaan anak khususnya dalam mengidentifikasi sebagai orang Indonesia. Masa depan keindonesiaan kita akan sangat tergantung pada bagaimana generasi anak-anak ini memahami tentang Indonesia dan bagaimana mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia.

  Fokus penelitian ini adalah sejauh mana anak memahami tentang

  8 apa saja yang anak ketahui tentang Indonesia, penilaian dan perasaan mereka tentang Indonesia, serta ekspresi anak sebagai orang Indonesia. Berbagai pengetahuan anak tentang Indonesia tersebut merupakan salah satu dasar terbentuknya identitas kebangsaan pada anak. Identitas kebangsaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai identifikasi anak sebagai orang Indonesia dimana sebelumnya anak menyadari bahwa dirinya adalah orang Indonesia. Selain itu identifikasi sebagai orang Indonesia juga tak lepas dari ikatan emosional yang dimiliki seseorang, dalam hal ini terhadap Indonesia. Ikatan emosional tersebut yang membentuk perasaan dan penilaian seseorang akan Indonesia. Identifikasi adalah proses dimana individu memasukkan dan mengintegrasikan atribut orang lain, dan menstransformasikannya ke dalam diri individu. Identifikasi pada orang lain kemudian dapat menjadi bagian dalam diri subjek melalui upaya penggabungan: pengambilan objek, keseluruhan maupun sebagian, untuk membentuk identitas (lihat Elliot, 2003).

  Dalam penelitian ini proses identifikasi sebagai orang Indonesia dapat dilacak dari pemahaman, penilaian dan perasaan mereka tentang Indonesia, serta ekspresi anak sebagai orang Indonesia yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana anak memahami, memasukkan, mengambil dan kemudian mengintegrasikan atribut-atribut sebagai orang Indonesia (lihat Giddens, 1991; Breakwell, 2001; Elliot, 2003; Tilaar, 2007). Identitas kebangsaan dibangun dan diciptakan melalui representasi yang melibatkan unsur-unsur simbolik seperti bendera, lagu kebangsaan, bahasa, dan praktek

  9 identitas kebangsaan Indonesia tidak terbentuk berdasarkan faktor-faktor primordial seperti etnik, tetapi lebih berdasarkan pada adanya kesepakatan bersama untuk maju bersama sebagai bangsa dan proses identifikasi yang dilakukan secara terus menerus sehingga menemukan identitas bersama sebagai bangsa (lihat Suseno, 2001; Anderson, 2001). Bangsa diartikan sebagai komunitas terbayang, karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak akan mengenal sebagian anggota lain (Anderson, 2001). Barker (2005) mengatakan bahwa kesatuan bangsa Indonesia bukanlah fenomena yang terjadi secara alamiah melainkan bangunan dari kultural-historis, tidak bersifat etnik melainkan bersifat etis yang didasarkan pada adat, kebiasaan, dan praktek bersama sebagai bangsa.

  Berdasarkan uraian diatas maka rendahnya keindonesiaan dan lunturnya nasionalisme tersebut diasumsikan lebih disebabkan oleh adanya ketidakberesan dalam proses pembelajaran tentang Indonesia. Dengan kata lain diasumsikan juga bahwa anak tidak dibantu untuk melakukan proses identifikasi sebagai orang Indonesia dengan proporsional. Penelitian ini ingin memberi kontribusi dalam mengidentifikasi ketidakberesan proses pembelajaran tersebut dengan cara mengungkap pemahaman, penilaian, perasaan, dan ekspresi sebagai orang Indonesia sekaligus mengungkap sumber-sumber informasi yang berperan dalam membentuk identitas kebangsaan anak. Arti penting penelitian ini adalah dengan mengetahui peta identifikasi anak sebagai orang Indonesia maka penelitian ini dapat memberi

  10 kontribusi bagaimana semestinya proses pendidikan identitas kebangsaan dilakukan.

  Salah satu paradigma yang sangat membantu mengungkap permasalahan ini adalah paradigma representasi sosial karena dapat membantu untuk mengungkap identitas keindonesiaan sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Melalui paradigma ini peneliti dapat memotret identitas keindonesiaan yang selalu tumbuh dalam diri anak melalui interaksinya dengan lingkungan.

  Penelitian ini akan dilakukan di Yogyakarta dengan melibatkan responden anak-anak dari beberapa sekolah dasar di kota ini. Secara umum, anak-anak usia sekolah dasar di Yogyakarta memiliki kemiripan kondisi dengan anak-anak kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Semarang dan lain sebagainya. Kemiripan tersebut terutama berkenaan dengan pemberlakuan kurikulum nasional untuk mereka, berbagai aktivitas ekstrakurikuler yang mereka ikuti sepulang sekolah, jenis permainan yang lebih banyak bersifat individualis seperti games, play station dan sebagainya. Jenis aktivitas pun sangat ditentukan oleh orang tua dan guru yang lebih banyak mengolah kemampuan kognitif dibandingkan kemampuan sosial sehingga kegiatan-kegiatan anak lebih banyak berupa les mata pelajaran. Kesempatan untuk bermain yang melibatkan kemampuan sosialisasi semakin

  11 terhadap 300 responden di wilayah Jabodetabek, terungkap hanya sekitar 25 persen anak yang bisa bermain sesuai dengan keinginan anak-anak. Dua aktivitas yang paling banyak dilarang oleh para orangtua adalah bermain video games (50%) dan bermain di luar rumah (30%). Sekitar 60 persen anak-anak di Jabodetabek sepulang sekolah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengikuti kegiatan les (www2.kompas.com).

  B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah penelitian ini adalah ‘bagaimana gambaran identitas kebangsaan anak sebagai orang Indonesia?’ Untuk menjawab permasalahan tersebut akan diungkap beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

  1. Bagaimana identifikasi anak sebagai orang Indonesia? Pertanyaan ini akan diungkap melalui pertanyaan berikut ini: a. Bagaimanakah pemahaman dan penilaian anak tentang Indonesia?

  b. Bagaimana perasaan dan ekspresi anak sebagai orang Indonesia?

  2. Sumber sumber informasi apa sajakah yang telah membentuk identitas kebangsaan anak sebagai orang Indonesia?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran identitas kebangsaan anak sebagai orang Indonesia.

  12 D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  Penelitian ini memberikan wacana tambahan bagi ilmu-ilmu sosial secara umum dan ilmu psikologi secara khusus, terutama psikologi sosial dan psikologi perkembangan mengenai gambaran identitas kebangsaan anak sebagai orang Indonesia dan sumber-sumber informasi anak mendapatkan identitas kebangsaan tersebut.

  2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akan gambaran identitas kebangsaan Indonesia pada anak, untuk kemudian dapat memberi masukan tentang keindonesiaan yang lebih kontekstual dalam pemahaman anak. yang terjadi di Indonesia yaitu menguatnya rasa kedaerahan dan globalisme yang mengindikasikan semakin hilangnya rasa keindonesiaan dan mengekspresikan rasa nasionalisme yang semakin meluntur. Sedangkan dalam bab ini, peneliti akan menguraikan tentang pengertian identitas kebangsaan dan bagaimana identitas kebangsaan dibangun. Selain itu, peneliti juga akan memaparkan lahirnya Indonesia dan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia. Pada bagian akhir bab ini, peneliti akan menguraikan konteks penelitian ini yang terutama dilakukan pada anak usia sekolah dasar di Yogyakarta.

  Secara umum dapat dinyatakan bahwa identitas dan kepribadian terbentuk oleh totalitas pengalaman seseorang di masa lampau atau riwayat hidupnya. Kehilangan ingatan atau riwayatnya mengakibatkan orang itu kehilangan identitas dan kepribadiannya. Hal ini juga berlaku bagi identitas nasional. Bangsa yang tak kenal sejarahnya juga kehilangan identitas atau kepribadiannya (Kartodirdjo, 2005).

  Konsep bangsa (nation) memiliki dua pengertian yaitu bangsa dalam arti sosiologis antropologis dan bangsa dalam arti politis (Badri Yatim,

  14 Soegito, 2004). Bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis (cultural

  unity) adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri yang

  masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama dan adat istiadat. Jadi mereka menjadi satu bangsa karena disatukan oleh kesamaan ras, budaya, keyakinan, bahasa, keturunan dan sebagainya. Misalnya saja bangsa Kasmir, bangsa Yahudi, bangsa Kurdi, bangsa Jawa, dan bangsa Batak. Sedangkan bangsa dalam pengertian politik (political unity) adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dalam arti politik adalah bangsa yang sudah bernegara, seperti bangsa Indonesia, bangsa India, bangsa Jerman, dan lain sebagainya. Menurut Anderson (2001), bangsa diartikan sebagai komunitas terbayang, karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak akan mengenal sebagian anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.

  Identitas kebangsaan itu merupakan kesepakatan dari banyak suku bangsa didalamnya.

  Berbicara tentang identitas perlu ditegaskan bahwa masalah identitas adalah masalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa identitas, sukar bahkan mustahil dilakukan komunikasi dalam masyarakat. Identitas mendefinisikan status dan peran seseorang, mencakup ciri-ciri pokok seseorang baik yang fisik maupun sosial-budaya (Kartodirdjo, 2005). Identitas diri mulai

  15 emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang memiliki arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (pada usia 0- 2 tahun), perkembangan kesadaran akan diri, dan mulai timbulnya kemandirian pada bayi; proses ini mencapai tahapan akhir ketika seseorang mereview kehidupannya dan melakukan integrasi kehidupannya pada masa dewasa akhir (Santrock, 2007). Lebih lanjut, seseorang dikatakan dapat mengetahui identitas dirinya ketika ia bertemu dengan dunia luar melalui interaksi intersubjective (dengan orang lain) atau sering disebut

  object relation theory. Hal ini dikarenakan interaksi dengan orang lain

  tersebut akan memberikan sense of self tentang diri orang tersebut (Elliott, 2002).

  Dalam bidang psikologi ada banyak pandangan yang menguraikan tentang konsep identitas (lihat Freud dalam Elliot, 2003; Giddens, 1991).

  Pandangan pertama cenderung membatasi pengertian identitas diri hanya sebagai dunia internal individu seperti sekumpulan ciri sifat, konsep diri, atau sekadar sistem struktur pengetahuan yang terlibat dalam pemrosesan informasi sosial dan personal (lihat Laser & Buss, 2005). Pandangan kedua cenderung memberi batasan identitas sebagai representasi dunia sosial individu (Durkheim, 1982) atau konsepsi identitas cenderung dijelaskan hanya dalam kaitannya sebagai anggota suatu kelompok – sebagai identitas sosial (Tajfel, 1974; Turner, 1985). Kemudian, pandangan ketiga memberi batasan identitas sebagai hasil konstruksi sosial melalui diskursus tentang

  16 kualitas-kualitas dari identitas hanya eksis dalam dalam diskursus tentang individualisme.

  Secara khusus penelitian ini menggunakan konsep identitas kebangsaan yang merupakan gabungan antara identitas diri dan identitas sosial dan merupakan hasil konstruksi sosial melalui sistem representasi Penelitian ini dengan sengaja tidak menggunakan istilah identitas diri saja dikarenakan istilah identitas diri agak membatasi pada ranah individu.

  Sedangkan penelitian ini juga tidak menggunakan istilah identitas sosial saja karena konsep identitas sosial lebih menjelaskan identitas yang berkaitan dengan keanggotaan individu dalam kelompok tertentu yang mengasumsikan kelompok cenderung bersifat tertutup seperti halnya suku- suku pedalaman. Konsep identitas sosial juga kurang mampu menjelaskan persoalan identitas kontemporer yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan media (lihat Tajfel dalam Breakwell, 2001) .

  Konsep identitas kebangsaan yang digunakan merupakan identitas kebangsaan yang dilihat sebagai hasil konstruksi melalui ”kesepakatan bersama” yang tersedia dalam budaya, dan individu melakukan hal tersebut dalam berinteraksi dengan orang lain (lihat Burr, 2003; Kvale, 2006).

  Artinya identitas bukan merupakan sesuatu yang terberi secara biologis tetapi lebih merupakan hasil konstruksi sosial. Dengan demikian konsep identitas dalam penelitian ini bukan sebagai persepsi yang dihasilkan oleh internalisasi representasi dunia kenyataan semata (lihat, Tajfel, 1974;

  17 representasi mengutamakan interaksi antara diri individu dan lingkungan sosialnya. Hal ini menggambarkan bahwa identitas tidak bersifat permanen, tetapi dinamis mengikuti perubahan sosial dan perubahan diri individu (lihat Giddens, 1991). Demikian juga identitas keindonesiaan akan selalu berubah dan berkembang dalam diskursus keseharian seperti wacana dalam media dan perjumpaan antar individu. Akan tetapi, ada hal yang bersifat permanen dan tidak berubah yaitu identitas biologis tentang ikatan emosional seseorang bahwa ”aku orang Indonesia”. Ikatan emosional tersebut yang membentuk penilaian dan perasaan seseorang akan sesuatu, dalam hal ini penilaian dan perasaan akan Indonesia yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Seseorang yang memiliki ikatan emosional yang kuat maka penilaian dan perasaan yang dimilikipun akan cenderung kuat.

  Piaget berpendapat bahwa identitas merupakan interaksi yang berkesinambungan dan harmonis antara tingkat perkembangan aktual dari seorang anak dengan sifat-sifat lingkungan (dalam Tilaar, 2007). Dalam kaitan ini Piaget menekankan kepada karakteristik yang tepat dari lingkungan yang harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Dengan kata lain yang penting di dalam perkembangan anak adalah struktur realitas yang diatur begitu rupa sehingga sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Herbert Mead juga menekankan kepada arti komunitas sosial dalam terbentuknya identitas seseorang (dalam Tilaar,

  18 (self-awareness) merupakan suatu produk sosial. Kesadaran diri adalah suatu inti dari seorang pribadi. Kesadaran diri pada hakikatnya merupakan suatu kesadaran yang dimiliki bersama (generalized other). Dengan kata lain, kesadaran diri hanya ada karena adanya orang lain. Identitas seseorang ada karena adanya orang lain (dalam Tilaar, 2007). Artinya, konsep identitas kebangsaan pun dibangun dan diciptakan melalui interaksi sosial yang melibatkan proses representasi melalui unsur-unsur simbolik seperti bendera, lagu kebangsaan, bahasa, dan praktek bersama ketimbang terberi begitu saja berdasarkan unsur etnis.

  Identifikasi adalah proses dimana individu memasukkan dan menggabungkan atribut orang lain, dan menstransformasikannya ke dalam diri individu melalui imajinasi tidak sadar (lihat Elliot, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa identitas itu diciptakan oleh representasi melalui kegiatan memilih dan mengambil bagian tertentu dari orang atau objek lain daripada terberi begitu saja. Proses identifikasi dimulai dari dunia keluarga dimana ibu merupakan sosok yang terpenting bagi anak. Kemudian anak mulai mengembangkan kesadaran akan dirinya yang unik yang akan membentuk rasa ke-aku-annya. Rasa ke-aku-an tersebut tidak terlepas dari adanya orang lain di sekitarnya. ”Aku” tersebut mulai mengenal akan hak- hak dan juga kewajibannya yang dimiliki oleh ”aku” yang lain (dalam Tilaar, 2007).

  19 Dalam proses identifikasi ternyata peranan sesama manusia adalah sangat penting sebagaimana F. Barth juga mengungkapkan bahwa proses

  identifikasi adalah (lihat Tilaar, 2007):

  (a) Suatu proses, artinya proses identifikasi merupakan suatu interaksi di dalam hidup sehari-hari. Hal ini berarti bahwa proses identifikasi tersebut bukan merupakan bagian dari akibat superstruktur kebudayaan. (b) Suatu konstruksi sosial. Batas-batas dari proses tersebut ialah individu- individu tersebut saling membagikannya dengan yang lain melalui proses rekrutmen. (c) Identifikasi kolektif dengan batas-batasnya merupakan suatu proses interaksi dan oleh sebab itu sifatnya fleksibel, situasional, dan negosiasional. Dengan kata lain, identifikasi merupakan suatu entitas yang dinamis.

  (d) Suatu hal yang askriptif artinya anggota suatu kelompok mengidentifikasikan dirinya dan dikategorisasikan oleh anggota kelompok yang lain. (e) Suatu proses transaksi dan oleh sebab itu identifikasi kolektif pada hakikatnya merupakan suatu yang politis sifatnya.

  Dalam konteks penelitian ini, identitas kebangsaan terbentuk dari pengalaman pribadi dan hasil interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seseorang dapat pula mengembangkan identitas kebangsaan mereka sendiri. Dalam hal ini ideologi nasional mempunyai

  20 berjuang bagi kepentingan bangsa dan tanah air. Dengan diciptakan negara

  nation, semua warga memperoleh identitas baru, yaitu identitas nasional (Kartodirdjo, 2005).

  Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus tentang negara-bangsa. Jadi, bangsa bukan hanya sekadar bangunan politis melainkan sistem representasi budaya dimana identitas nasional terus-menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif (Barker, 2005). Identitas bangsa merupakan suatu citra yang terbentuk melalui konsensus dan oleh sebab itu merupakan gambaran yang menyeluruh dari suatu bangsa seperti bangsa Indonesia. Keseluruhan nilai- nilai sosial serta ketertiban sosial yang diakui secara konsensus oleh masyarakat Indonesia itulah yang dapat disebut identitas bangsa (Tilaar, 2007).

  Merumuskan identitas bangsa Indonesia tidaklah mudah. Diakui realitas sosial bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing. Sebagai sebuah identitas bangsa, Indonesia tidak dapat dirumuskan secara konkret, karena identitas bangsa merupakan suatu konsep yang terus-menerus berubah, konsep yang terus-menerus direkonstruksi dan dekonstruksi. Identitas bangsa Indonesia tidak terlepas dari keberadaan bangsa Indonesia yang bhineka. Identitas nasional atau identitas bangsa merupakan sesuatu yang ditransmisikan dari masa lalu dan dirasakan sebagai pemilikan bersama sehingga tampak kelihatan di dalam

  21 akan tampak di dalam kenyataan apabila rakyat biasa sebagai penyandang identitas membayangkan dirinya sendiri sebagai anggota dari suatu komunitas yang abstrak (Tilaar, 2007).

  Fokus penelitian ini adalah identitas kebangsaan dan secara khusus tentang identitas keindonesiaan. Identitas kebangsaan lebih mengarah pada identifikasi yang dilakukan seseorang tentang dirinya sebagai bagian dari suatu bangsa atau Indonesia pada khususnya. Secara konkret identifikasi tersebut dapat dilihat dari representasi yang mereka ungkapkan tentang Indonesia, seperti kondisi geografis, kekayaan alam, kebudayaan, perasaan, citra tentang Indonesia, dan lain sebagainya. Identitas kebangsaan terbentuk dari pemahaman, penilaian, perasaan, dan ekspresi seseorang sebagai orang Indonesia (lihat Giddens, 1991; Breakwell, 2001; Elliot, 2003; Tilaar, 2007).

  Dengan demikian, berdasarkan teori identitas sebagaimana diuraikan di atas maka identitas kebangsaan akan terbentuk melalui proses identifikasi dalam proses transaksi dan interaksi sosial.

  A.2. Teori Kewarganegaraan