Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012

(1)

PADA NEONATUS BERISIKO SEPSIS

PENELITIAN TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Oleh :

Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012

Pembimbing :

Prof. Bhisma Murti, dr, M.Sc, MPH, Ph.D Sri Lilijanti W, dr, SpA(K)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

ii


(3)

iii


(4)

iv


(5)

v

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaian tesis penelitian dengan judul ” HUBUNGAN RESIDU LAMBUNG DENGAN GANGGUAN FUNGSI JANTUNG PADA NEONATUS BERISIKO SEPSIS”.

Tesis ini dimaksudkan sebagai perwujudan penelitian dan persyaratan untuk mencapai derajat magister. Terselesaikannya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Endang Dewi Lestari, dr, SpA (K), MPH, selaku Kepala SMF Ilmu Kesehatan

Anak FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

2. Muhammad Riza, dr, SpA, Mkes, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis FK UNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan dorongan semangat serta fasilitas yang diberikan.

3. Prof. Bhisma Murti,dr, M.Sc, MPH, Ph.D selaku pembimbing metodologis dan biostatistika yang dengan penuh kesabaran dalam meneliti proposal penelitian ini, memberikan berbagai masukan yang berguna sehingga menjadi lebih baik.

4. Sri Lilijanti W, dr, SpA(K) selaku pembimbing substansi kardiologi yang telah memberikan banyak motivasi, semangat serta bimbingan yang membangun dalam proses pembuatan proposal penelitian ini.

5. Yulidar Hafidh, dr, SpA (K) yang telah memperkenankan, menyediakan waktu, memberi saran, koreksi, bimbingan serta memberikan kesempatan dalam meneliti bidang ilmu perinatologi.

6. Dwi Hidayah, dr, SpA, M.Kes yang telah menyediakan waktu dan

memberikan kesempatan dalam meneliti bidang ilmu perinatologi.

7. Sunyataningkamto, dr, SpA yang telah memperkenankan, menyediakan

waktu, memberi saran, koreksi, bimbingan serta memberikan kesempatan dalam meneliti bidang ilmu perinatologi. commit to user


(6)

vi

Iswara serta masku Marcellus Rudy Wardana yang selalu memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan serta supportnya yang luar biasa kepadaku.

9. Sahabat-sahabatku tersayang : mbak-mbakku Wasis Rohima, Siti Ariffatus Saroh, Anggayasti yang selalu mendukung dalam kekompakan dan solidaritas bersama satu angkatan.

10. Semua kakak-kakak senior, adik-adik junior yang telah banyak memberikan masukan, saran, kritik dan supportnya.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis penelitian ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan tesis penelitian ini.

Suarakarta, Februari 2012 Penulis

Maria Galuh Kamenyangan Sari


(7)

vii

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

KATA PENGANTAR... ... iii

DAFTAR ISI... ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xi

ABSTRACT... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... .. ... 3

C. Tujuan Penelitian ... ... 3

D. Manfaat Penelitian... ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sepsis neonatus... 5

A.1. Definisi... 5

A.2. Patogenesis Sepsis... 7

A.3. Diagnosis Sepsis... 9

A.4. Pengobatan... 10

B. Gangguan peredaran darah dan fungsi jantung pada sepsis………. 11

B.1. Gangguan fungsi jantung pada sepsis neonates………. 11

B.2. Gangguan peredaran darah pada sepsis neonatus………. 19

C. Residu lambung... 24

C.1. Gangguan peristaltik saluran pencernaan... 30

C.2. Pengosongan lambung... 32

C.3. Hubungan sistem saluran penceraan dengan sepsis neonatus... 35

D. Kerangka konsep... 37

E. Hipotesis... 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... ... 39

A. Desain penelitian ... 39 commit to user


(8)

viii

D. Sampel dan cara pemilihan sampel ... 40

D.1. Kriteria inklusi... 40

D.2. Kriteria eksklusi... 40

E. Besar sampel ... 40

F. Identifikasi variabel penelitian... 41

G. Definisi operasional variabel dan cara pengukuran... 41

G.1. Residu lambung... 41

G.2. Gangguan fungsi jantung... 42

G.3. Sepsis neonatus... 43

H. Izin subyek penelitian... ... 45

I. Alur penelitian ... 45

J. Pengolahan data ... 46

K. Jadwal kegiatan ... 46

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian... 47

B. Pembahasan……….……. 50

C. Keterbatasan penelitian ……….. 54

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 56

B. Implikasi penelitian ……….. 56

C. Saran……….…………... 57

DAFTAR PUSTAKA ... ... 58

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 65


(9)

ix

Tabel 2.1. Pengelompokan faktor risiko sepsis... 6

Tabel 2.2. Gambaran klinis sepsis neonatal... 10

Tabel 2.3. Kriteria Ross untuk menilai gagal jantung pada bayi... 14

Tabel 3.1. Pengelompokan faktor risiko sepsis... 43

Tabel 3.2. Gambaran klinis sepsis neonatal... 44

Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian... 47

Tabel 4.2. Kejadian residu lambung pada neonatus berisiko sepsis... 49

Tabel 4.3. Hubungan antara jenis residu lambung terhadap risiko terjadinya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis... 50


(10)

x

Gambar 1. Patogenesis sepsis... 7

Gambar 2. Mekanisme peningkatan cardiac troponin (cTn) dan B-type natriuretic peptide (BNP) pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik... 11

Gambar 3. Mekanisme gangguan fungsi endotel vaskuler pada sepsis... 20

Gambar 4. Peredaran darah pada sistem saluran pencernaan... 21

Gambar 5. Iskemia pembuluh darah mesenterika... 22

Gambar 6. Embriologi lambung dan sistem mesenterika... 36

Gambar 7. Embriologi saluran pencernaan... 36

Gambar 8. Kerangka konsep... 37

Gambar 9. Alur penelitian... 45


(11)

xi

SIRS = Sistemic Inflamatory Respon Syndrome

FIRS = Fetal Inflamatory Respon Syndrome

MODS = Multiple Organ Dysfunction Syndrome

APGAR = Appearance, Pulses, Grimace, Activity, Respiratory effort

TNF-α = Tumor Necrosis Factor - alpha

IL = Interleukin

IFN- γ = Interferon – gamma

TLRs = Toll Like Receptors

GM-CSF = Granulocyte Macrophag-Colony Stimulating Factor

PGE = prostaglandin

ICAM -1 = intercellular adhesion molecule-1

CRP = C-reactive protein

cTn = cardiac troponin

BNP = B-type natriuretic peptide

ALI = acute lung injury;

LV = left ventricular

RV = right ventricular;

RVEDP = right ventricular end-diastolic pressure;

RVSWI = right ventricular stroke work index

ATP = adenyl tri phosphate

NO = nitrite oxide

LPS = lipopolisakarida

PDA = Patent Ductus Arteriosus

FS = fractional shortening

EF = ejection fraction

E = emptying

A = acceleration

LVFAC = left ventricular fraction area contractility

LVSWI = left ventricular stroke work index

cAMP = cyclic-adenyl mono phosphate

NEC = necrotizing enterocolitis


(12)

xii

SAT = sugar absorbtion test

PT = Prothrombin Time

PTT = Partial Thromboplastin Time

LYCOS = low cardiac output syndrome


(13)

xiii

Lampiran 1. Perencanaan Anggaran Penelitian ………... 66

Lampiran 2. Penjelasan Penelitian ... 67

Lampiran 3. Formulir persetujuan mengikuti penelitian ... 68

Lampiran 4. Formulir isian penelitian ... 69

Lampiran 5. Formulir pemantauan ... 70

Lampiran 6. Data dasar hasil penelitian ... 71

Lampiran 7. Hasil pengolahan data ... 73


(14)

xiv

Background: Neonatal sepsis with heart dysfunction lacking regarded as main pathology of sepsis. The death rate doubly in sepsis neonatal accompanied cardiovascular dysfunction. The myocardial dysfunction defined as diagnostic criteria for severe sepsis in adult. The occurrence of sphlancnic and mesenteric hypo-perfusion impact disorder of digestive system which manifest as gastric residue.

Objective: to analyze the relationship between gastric residue and heart dysfunction

among neonates at risk of sepsis

Method: This cross-sectional study was conducted in January 2011 – October 2011 to neonates suspected sepsis who were hospitalized at Neonatal-HCU Moewardi General Hospital Surakarta. Sample was selected by quota sampling. Sepsis was assessed by clinical major-minor criteria. Gastric residue was defined when the volume of gastric

aspiration 4 hours after feeding reached ≥ 20% for 2 days. Heart dysfunction was

measured using two-dimensional Doppler echocardiography. Chi square test was

performed to analyze this data using SPSS 17.0.

Results: Among 48 septic risk neonates, we found 27(56.3%) manifested as gastric residue, 25(64.1%) having heart dysfunction which 17 (70.8%) is the systolic function disorders. Impaired heart function, especially disorders of systolic function, are at risk of undergoing gastric residue significantly (OR:6.25; CI95%:1.14 – 34.29 and OR:3.40; CI95%: 1.03 – 11.26, respectively). Neonates whose gastric residue as milk are at risk of heart dysfunction compared with no gastric residue insignificantly (OR:8.00; CI95%:0.87 – 73.27).

Conclusion: There was a relationship between gastric residue and heart dysfunction among neonates at risk of sepsis. The presence of gastric residue can become a marker of heart dysfunction among septic risk neonates.

Kew words: gastric residue, heart dysfunction, neonate, sepsis


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adanya pasien sepsis dengan gangguan fungsi jantung, kurang dianggap sebagai patologi utama selama sepsis. Dengan demikian, mekanisme yang mendasari sepsis yang mengakibatkan disfungsi miokard belum pernah dipelajari secara ekstensif (Sharma, 2007).

Sepsis secara klinis ditandai oleh inflamasi sistemik, disfungsi jantung, terjadinya ketidakmampuan pengiriman oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen, perubahan substrat metabolisme dan akhirnya, kegagalan multiorgan serta kematian (Rosentiel, 2001; Luce, 2007). Sepsis adalah penyakit yang kompleks dan merupakan manifestasi dari peradangan kekebalan dan respon terhadap infeksi. Derajat beratnya sepsis berkaitan dengan seberapa beratnya gangguan fungsi organ dan respon hemodinamik yang terjadi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis dengan adanya gangguan fungsi organ (Levy, 2003).

Definisi sepsis telah ditinjau oleh sekelompok pakar, namun disamping mengkaji secara luas berbagai tanda dan gejala sepsis, belum ada perubahan yang secara relevan ditetapkan berkaitan dengan fungsi jantung, terutama pada neonatus (Levy, 2003). Telah diakui pentingnya depresi jantung yang meliputi infark miokard serta rendahnya indeks jantung (CI) ataupun bukti ekokardiografi adanya disfungsi jantung sebagai kriteria diagnostik sepsis berat pada dewasa. Disfungsi miokardium bermanifestasi sebagai penurunan fraksi ejeksi (EF), yang


(16)

merupakan pengukuran kuantitatif berguna secara klinis untuk menilai kinerja ventrikel (Hunter, 2010).

Insiden sepsis neonatal cenderung tinggi secara signifikan, neonatus yang diduga sepsis banyak dikirim untuk investigasi ke unit perawatan intensif bayi yang baru lahir di Amerika Serikat (Spitzer, 2005). Walaupun pemahaman kita tentang mekanisme patofisiologi sepsis pada neonatus telah meningkat selama 10 tahun terakhir ini, namun morbiditas dan mortalitas neonatus oleh karena sepsis tetap tinggi. (Rosentiel, 2000; Angus, 2001; Tabbutt, 2001). Telah dilaporkan angka kematian sebesar dua kali lipat pada pasien neonatus dengan sepsis yang disertai disfungsi kardiovaskular dan syok septik (Luce, 2007).

Berbagai definisi sepsis sebelumnya berdasarkan tingkat atau derajat beratnya vasodilasi vaskuler, sedangkan pada modifikasi yang dibuat oleh

International Sepsis Definition Conference dan Annane dkk menyatakan bahwa

pada sepsis adanya depresi miokardium yang dinyatakan oleh denyut jantung rendah atau bukti ekokardiografi gangguan fungsi jantung telah dimasukkan dalam definisi sepsis berat pada dewasa (Annane, 2005). Namun demikian, penelitian yang mempelajari hubungan sepsis neonatus dengan efek kardiovaskular pada khususnya, relatif sangat jarang, maka dari itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanismenya.

Adanya gangguan fungsi jantung pada sepsis akan mempengaruhi peredaran darah sistemik, terjadi hipoperfusi sistem splanknikus dan mesenterika yang berdampak gangguan sistem pencernaan, termasuk hipoperistaltik,


(17)

keterlambatan waktu pengosongan lambung dan bermanifestasi sebagai adanya residu lambung (Neu, 2007; Burns, 2009).

Hal ini belum banyak diteliti pada bayi dan anak di luar negeri maupun di Indonesia, penelitian sebelumnya banyak mengambil subyek pada dewasa, berdasarkan hal ini, peneliti ingin mencoba untuk menganalisis bagaimanakah mekanisme yang terjadi pada bayi dengan risiko sepsis khususnya yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan residu lambung dengan gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara residu lambung dengan gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis.

2. Tujuan khusus

i. Mengidentifikasi volume residu lambung sebagai indikator

intoleransi asupan pada neonatus berisiko sepsis.

ii. Menilai adanya gangguan fungsi jantung (sistolik dan distolik) pada neonatus dengan sepsis


(18)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bidang akademik

Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai adanya hubungan residu lambung dengan gangguan fungsi jantung pada neonatus dengan risiko sepsis.

2. Manfaat bidang pelayanan (manfaat praktis)

Diharapkan dapat diketahui volume dan jenis residu lambung sebagai penanda adanya gangguan fungsi jantung, meliputi fungsi sistolik dan diastolik pada neonatus berisiko sepsis sehingga diharapkan dapat melakukan evaluasi residu lambung lebih cermat dan efektif secara klinis untuk ketepatan penatalaksanaan.


(19)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis neonatus A.1. Definisi

Sepsis neonatal didefinisikan sebagai infeksi pada sirkulasi yang bersifat invasif ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang ataupun air kemih. (Aminullah, 2009). Sejak adanya konsensus dari American College of Chest Physician/ Society of critical Care Medicine (ACCP/SCCM) sepsis didefinisikan sebagai berikut (Bone, 2006):

1. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (systemic

inflamatory response syndrome-SIRS) yang terjadi akibat infeksi bakteri,

virus, jamur atau parasit.

2. Sepsis berat adalah suatu keadaan sepsis yang disertai dengan adanya gangguan fungsi organ kardiovaskuler, gangguan nafas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital dan hepatologi).

3. Syok septik ialah suatu kondisi dimana neonatus masih dalam keadaan hipotensi meskipun telah mendapat cairan yang adekuat.

4. Sindroma disfungsi multi organ (MODS): bayi tidak mampu lagi

mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan atau gangguan pada dua fungsi organ atau lebih.


(20)

Sepsis neonatal dibagi menjadi dua kelompok yakni sepsis awitan dini dan awitan lambat. Pada sepsis awitan dini, gejala klinis didapatkan pada hari-hari pertama kehidupan (usia kurang dari 72 jam), infeksi terjadi secara vertikal berasal dari penyakit ibu atau ditularkan dari infeksi yang diderita ibu selama persalinan. Tabel dibawah ini merupakan beberapa faktor risiko sepsis awitan dini.

Tabel 2.1. Pengelompokan faktor risiko sepsis

Risiko mayor Risiko minor

1. Ketuban pecah > 24 jam 2. Ibu demam saat intrapartum

> 38ºC peraksiler 3. Korioamnionitis

4. Denyut jantung janin yang menetap >160x/menit

5. Ketuban berbau

1. Ketuban pecah > 12jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >37,5ºC peraksiler

3. Nilai APGAR rendah (menit ke1<5, menit ke 5<7)

4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR),<1500 gram

5. Usia kehamilan < 37 minggu 6. Kehamilan ganda

7. Keputihan pada ibu

8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/ tersngka ISK yang tidak diobati.

Sumber: Aminullah, 2009

Terjadinya sepsis awitan lambat disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan sekitar neonatus pada saat setelah usia 3 hari. Keadaan ini sering ditemukan pada neonatus yang dirawat di ruang intensif, beonatus kurang bulan yang mengalami perawatan lama, mendapatkan nutrisi parenteral dalam waktu cukup lama, infeksi yang bersumber dari alat perawatan, infeksi nosokomial ataupun infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medis yang merawat. Walaupun berbagai faktor risiko ini tidak selalu berakhir dengan infeksi,


(21)

namun harus tetap mendapatkan perhatian khusus apabila disertai dengan munculnya gejala klinis (Aminullah, 2009).

A.2. Patogenesis

Inflamasi merupakan respon dari imunitas tubuh terhadap berbagai macam rangsangan imungen atau benda asing dari luar tubuh. Proses inflamasi merupakan usaha tubuh untuk menghilangkan organisme penyebab (James, 2007). Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan berbagai macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik yang bersifat pro inflamasi, berfungsi membantu sel dalam menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi yaitu TNF-α, IL-1, IFN-γ, maupun yang bersifat anti inflamasi, berfungsi memodulasi, mengkooordinasi serta represi terhadap respon yang berlebihan yakni interleukin 1 receptor antagonis (IL-1 ra), IL4, IL-10. (Kaspan; 2003; Steve, 2006). Apabila mekanisme keseimbangan antara sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi ini tidak dapat tercapai dengan baik, maka dapat mengakibatkan kerugian bagi tubuh penderita.


(22)

Pada saat antigen masuk, maka antigen akan bereaksi dengan dengan

makrofag melalui Toll Like Receptors 4 (TLRs 4) sebagai reseptor transmembran

dengan perantaraan reseptor CD 14+. Sebagai respon tubuh dalam bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th 1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yakni : interferon gamma, IL-2 dan GM-CSF. INF-γ akan merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. Limfosit Th 2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL- 6, IL-10. Pada kondisi sepsis, IL-1β dan TNF-α serum penderita akan meningkat. IL-1β sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endothelial. Interleukin-1β memegang peranan di dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM -1). Dengan adanya ICAM-1, netrofil

yang telah tersensitisasi oleh granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi (Aminullah, 2005; Bone, 2006).

Netrofil yang beradhesi dengan sel endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel menjadi lisis, sehingga mengakibatkan terbukanya endotel. Netrofil juga membawa superoksidan, merupakan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria. Akibat dari proses tersebut sel endotel akan menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kerusakan sel endotel pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (vascular leak) sehingga berdampak kerusakan organ multipel (Bone, 2006).


(23)

A.3. Diagnosis

Sampai saat ini, belum ada parameter yang merupakan baku emas dalam penegakan diagnosis pasti sepsis. Diagnosis sepsis yang sering digunakan yaitu dengan ditemukannya bakteri pada hasil biakan darah maupun urin, namun pemeriksaan ini mempunyai kelemahan yaitu biakan baru diketahui setelah 3-5 hari, dipengaruhi oleh pemberian antibiotika, jumlah sampel darah dan dapat terkontaminasi kuman nosokomial (Aminullah, 2009). Selain itu, hasil dapat menunjukkan negatif palsu, dimana didapatkan biakan darah dan urin negatif, namun secara klinis menunjukkan gejala yang nyata. Oleh karena itu beberapa ahli membuat formulasi untuk dapat mendiagnosis terjadinya sepsis secara dini. Menurut Haque, FIRS (fetal inflamatory response syndrome) ditegakkan apabila terdapat 2 atau lebih keadaan sebagai berikut :

1. laju nafas > 60x/m dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi O2 2. suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37,5C peraksiler)

3. capillary refill time > 3 detik

4. hitung lekosit <4000x109/L atau >34000x109 /L 5. CRP >10 mg/dl

6. IL-6 atau IL-8>70 pg/ml 7. 16 S rRNA gene PCR: positif.

Diagnosis sepsis pada neonatus ditegakkan apabila didapatkan satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan adanya gejala klinis infeksi (Haque, 2005).


(24)

Tabel 2.2. Gambaran klinis sepsis neonatal Variabel klinis

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit

Laju nafas >60kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L) Intoleransi minum

Variabel hemodinamik

Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi

Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia kurang dari 6 bulan) Variabel perfusi jaringan

Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik Asam laktat plasma > 3 detik

Variabel inflamasi

Leukositosis (>34000x109) Leukopenia (<5000x109) Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/ total neutrofil (I/T ratio)>0.2 Trombositopenia <100000x109/L

C reaktive protein > 10 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal Procalsitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari normal

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : poaitif

A.4. Pengobatan

Eliminasi kuman merupakan pilihan utama pada manajemen sepsis neonatal. Pemberian antibiotika secara empiris dengan menggunakan kombinasi antibiotika diupayakan untuk mendapatkan sensitivitas terhadap mikroorganisme gram positif maupun gram negatif tergantung pola resistensi kuman pada masing-masing rumah sakit. Lamanya pengobatan sangat tergantung pada jenis mikroorganisme penyebab, pada mikroorganisme gram positif pengobatan dianjurkan selama 10-14 hari sedangkan pada gram negatif pengobatan dapat dilanjutkan sampai 2-3 minggu (Aminullah, 2009).


(25)

B. Gangguan peredaran darah dan fungsi jantung pada sepsis B.1. Gangguan fungsi jantung pada sepsis neonatus

Fenomena mekanisme gangguan otot jantung oleh karena adanya proses inflamasi diperantarai oleh adanya berbagai mediator yang beredar dalam sirkulasi. Beberapa substansi yang telah dijelaskan yakni adanya peranan utama dari TNF-α dan interleukin-1β (Kumar, 1996; CV, 2005; Lancel, 2005) serta adanya peranan interleukin-6 yang ditunjukkan sebagai kunci mediator utama gangguan fungsi otot jantung pada anak dengan meningokokus dan syok septik (Pathan, 2004).

Gambar 2. Mekanisme peningkatan cardiac troponin (cTn) dan B-type natriuretic peptide (BNP) pada pasien dengan sepsis berat dan syok septic. ALI = acute lung injury; IL = interleukin; LV = left ventricular; RV = right ventricular; RVEDP = right ventricular

end-diastolic pressure; RVSWI = right ventricular stroke work index; TNF = tumor necrosis factor. (Maeder, 2006)


(26)

Tidak banyak diketahui mengenai efek kardiovaskular pada sepsis neonatus, namun perkembangan kardiomiosit pada neonatus yang berbeda dari orang dewasa dapat menyebabkan perbedaan pula dalam efek sepsis terhadap jantung (Rudiger, 2007). Selain perbedaan mendasar dalam struktur kardiomiosit pada neonatus, telah diidentifikasi pula mengenai perubahan fungsional dalam aktivitas proliferatif dan eksitasi-kontraksi coupling (Huttenbach, 2001; Escobar, 2004).

Perbedaan ini dapat diperantarai oleh perubahan dalam ekspresi ion kalsium (calcium channel) yang didasarkan pada saluran kalium ATP-sensitif dan β-reseptor coupling, hal ini yang menjadi perbedaan dalam hasil dan pengobatan sepsis pada neonatus dibandingkan dengan sepsis pada orang dewasa (Huang, 2006; Morrissey, 2005).

Gangguan fungsi jantung dan kolapsnya saluran kardiovaskuler selama sepsis adalah akibat dari meningkatnya kadar TNF-α dan produksi nitrit oksida (NO) serta peroxynitrite yang menyebabkan kerusakan DNA lebih lanjut serta terjdinya pengurangan produksi ATP yang akan mengakibatkan kegagalan energi sekunder (Kumar, 2007; Khadour, 2002; Watts, 2004; Carcillo, 2003).

Proses apoptosis miosit pada ventrikel berhubungan dengan gangguan fungsi kardiovaskular. Serum darah pada pasien dengan sepsis secara langsung menyebabkan penurunan tingkat maksimum dan kecepatan puncak kontraksi ventrikel, mengaktivasi sitokin pro inflamasi serta menginduksi proses apoptosis pada miosit. Paparan lipopolisakarida (LPS) yang menginduksi produksi TNF-α telah dikaitkan dengan peningkatan apoptosis pada kardiomiosit orang dewasa (CV, 2005; Lancel, 2005). Namun, pada kardiomiosit neonatus, tidak ada


(27)

peningkatan apoptosis walaupun terjadi peningkatan produksi TNF-α setelah terpapar lipopolisakarida. Maka dari itu, perlu diteliti lebih lanjut bagaimana mekanisme lain mengenai gangguan fungsi kardiovaskular terkait dengan sepsis pada bayi baru lahir (Hickson, 2006). Komplikasi lain yang memperberat respon kardiovaskuler terhadap sepsis adalah adanya penyakit lain yang menyertai, seperti paten ductus arteriosus (PDA), hipertensi pulmoner, asfiksia dan asidosis (Carcillo, 2002; Crepaz, 1998).

Penurunan curah jantung (cardiac output) merupakan asumsi umum dalam gangguan fungsi otot jantung ventrikel kiri. Kardiomiopati septik ditandai dengan gangguan kontraktilitas otot jantung intrinsik biventrikuler, dengan pengurangan fraksi ejeksi dan indeks kerja ventrikel kiri (Timothy, 2008; Hunter, 2010). Poelaert dkk mengemukakan bahwa semua pasien septik mempunyai pola pengisian diastolik yang abnormal dibandingkan dengan kontrol. Pada studi syok septik yang dilakukan menggunakan ekokardiografi Doppler ini menemukan bahwa gangguan fungsi jantung pada syok septik menunjukkan disfungsi ventrikel, baik sistolik maupun diastolik yang berkesinambungan.

Diagnosis gangguan fungsi jantung pada neonatus dan bayi sampai usia kurang dari 1 tahun secara klinis dapat dinilai dengan kritria Ross, yang menilai adanya toleransi minum, baik banyaknya volume maupun lamanya waktu setiap kali minum, jenis pernapasan dan laju napas per menit, perfusi perifer, bising diastolik serta adanya hepatomegali (Motz, 2005).


(28)

Tabel 2.3. Kriteria Ross untuk menilai gagal jantung pada bayi (Motz, 2005) Gejala klinis Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Volume tiap minum (cc) 100 70-100 <70 Waktu tiap minum (menit) <40 >40

Laju napas per menit <50 50-60 >60

Jenis pernapasan normal abnormal

Perfusi perifer normal menurun

S3/ bising diastolik ada Tidak ada

Hati di bawah sela iga <2 cm 2-3 cm >3 cm

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan lebih tepat untuk menilai kelainan anatomis dan penurunan fungsi kontraksi jantung adalah dengan ekokardiografi. Alat ini dapat digunakan untuk menilai kelainan anatomis dan penurunan fungsi jantung pada neonatus. Fungsi diastolik ventrikel kiri mempunyai peranan utama terhadap pengisian jantung kiri yang berkaitan dengan volume isi sekuncup berikutnya. Fungsi diastolik umumnya dinyatakan dengan alat ekokardiografi Doppler, yang merupakan teknik yang sederhana, non invasif dan aman untuk mengukur volume pengisian diastolik untuk mendiagnosis adanya gangguan fungsi diastolik (Vlahovic, 1999; Vignon, 2007). Ada 2 jenis pemeriksaan ekokardiografi yang ditampilkan dalam 2 dimensi yang telah banyak digunakan, yakni M-mode dan M-mode dengan Doppler. Pada pemeriksaan ekokardiografi M-mode menunjukkan tampilan refleksi gelombang ultrasonografi dari berbagai kedalaman pada aksis vertikal dan waktu pada aksis horisontal. Pemeriksaan ini ideal untuk mengukur berbagai dimensi ruang jantung dan commit to user


(29)

pembuluh darah, karena dapat dilakukan tepat pada saat siklus jantung yang dikehendaki. Dengan ekokardiografi 2 dimensi dapat dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dari berbagai sudut pandang dan yang dianggap baku adalah pandangan subkostal, parasternal, apikal dan suprasternal (Myung, 2008).

Fungsi jantung dapat diukur melalui beberapa parameter untuk menentukan adanya gangguan fungsi sistolik maupun diastolik. Fungsi sistolik dapat dinilai dengan mengukur persentase pemendekan diameter ventrikel selama sistolik (FS = fractional shortening) dan fraksi ejeksi (EF = ejection fraction), keduanya merupakan indikator yang baik dan tepat untuk menilai fungsi jantung. Fraksi pemendekan adalah presentase perubahan pada dimensi rongga ventrikel kiri saat kontraksi sistolik dan merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengekspresikan fungsi sistolik (Oemar, 2005). Fraksi pemendekan ini dihitung dari perubahan persentase diameter ventrikel kiri yang terjadi saat sistolik dengan mengukur diameter sistolik akhir dan diameter diastolik akhir menggunakan M-mode ekokardiografi Doppler. Nilai normal fraksi pemendekan adalah 28 – 44% dengan rerata 36%. Pengukuran ini tidak tergantung usia dan laju jantung, namun tergantung dari preload dan afterload ventrikel. Fraksi ejeksi merupakan teknik analisis volume sebagai indikator pompa ventrikel. Fraksi ejeksi mewakili isi sekuncup sebagai persentase dari volume akhir diastolik ventrikel kiri dengan nilai normal berkisar antara 64 – 83% dengan rerata 74% (Myung, 2008).

Fungsi diastolik ventrikel diketahui dengan mengukur kecepatan maksimal pengisian ventrikel pada saat awal diastolik (E), kecepatan maksimal pengisian


(30)

ventrikel pada saat kontraksi atrium (A), serta kecepatan rasio maksimal pengisian awal dan akhir (E/A). Pada sepsis neonatus, adanya karakteristik adanya gangguan fungsi diastolik ditunjukkan oleh ketinggian konstan waktu relaksasi ventrikel kiri, yang tampak jelas pada sepsis hari pertama, ketiga dan ketujuh (Sharma, 2007).

Fenomena depresi otot jantung pertama kali dideskripsikan oleh Parker dkk yang menampilkan ventrikulogram radionuklida serial pada 20 pasien dengan syok septik dengan hasil 13% dari subyek penelitian menunjukkan depresi fraksi ejeksi ventrikel kiri yang reversibel (LEVF) secara signifikan (Maeder, 2006). Kelompok ini menunjukkan peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan akhir sistolik, dengan demikian volume isi sekuncup dapat tetap terpenuhi meskipun terjadi gangguan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penurunan afterload dapat terjadi pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebagai akibat penurunan kontraktilitas otot jantung yang diukur dengan indeks kerja ventrikel kiri pada pasien sepsis menunjukkan adanya gangguan fungsi mekanik jantung. Perubahan serupa juga diamati pada ventrikel kanan (seperti terjadinya dilatasi dan penurunan kontraksi yang ditunjukkan dengan indeks kerja ventrikel kanan).

Studi yang dilakukan oleh Poelaert dkk mengemukakan data yang sangat komprehensif dari pemantauan invasif dengan pengukuran melalui kateter arteri pulmonalis serta ekokardiografi transesofagus untuk menilai fungsi ventrikel kiri, sistolik dan diastolik pada pasien dengan syok septik. Penelitian ini menganalisis pola aliran transmitral, yakni rasio kecepatan aliran puncak pengosongan atrium kiri ke ventrikel kiri (E) terhadap kontraksi atrium kiri untuk mengalirkan sisa


(31)

darah ke ventrikel kiri (A) serta pola kecepatan aliran vena pulmonalis saat fase sistolik (S) dan diastolik (D). Berdasarkan analisis ini, subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok, yakni:

a. Fungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri normal; dinyatakan dengan kontraksi area fraksional ventrikel kiri (LVFAC) normal, pola aliran vena pulmonalis dan aliran transmitral yang normal (E/A > 1 dan S/D > 1). b. Gangguan fungsi diastolik; dinyatakan dengan kontraksi area fraksional

ventrikel kiri (LVFAC) normal, dengan aliran vena pulmonalis abnormal, serta aliran transmitral yang pseudonormal (E/A > 1 dan S/D < 1).

c. Gangguan fungsi diastolik sebagai konsekuensi adanya gangguan fungsi sistolik; dinyatakan dengan penurunan kontraksi area fraksional ventrikel kiri (LVFAC), adanya pola aliran vena pulmonalis dan aliran transmitral yang abnormal (E/A < 1 dan S/D < 1).

Pada kelompok pasien dengan gangguan fungsi diastolik dan sistolik, menunjukkan angka mortalitas yang lebih tinggi dibanding kedua kelompok yang lain. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam besarnya tahanan vaskuler sistemik (LVSWI) antara ketiga kelompok. Kesimpulan penelitian Poelaert dkk ini adalah rendahnya kontraksi area fraksional ventrikel kiri berhubungan secara bermakna dengan kondisi yang lebih buruk berkaitan dengan adanya gangguan fungsi diastolik pada pasien sepsis.

Pada neonatus kurang bulan maupun cukup bulan, fungsi sistolik ventrikel kiri sangat tergantung pada afterload, yang dapat meningkatkan sensitivitas neonatus terhadap adanya perburukan kondisi jantung (Crepaz, 1998; Toyono,


(32)

1998). Bayi baru lahir secara relatif mengalami penurunan massa otot ventrikel kiri dan peningkatan proporsi tipe I kolagen (kekakuan jaringan) terhadap kolagen tipe III (memberikan elastisitas) dalam jaringan otot jantung, yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan fungsi diastolik ventrikel kiri serta perubahan pemendekan pertengahan dinding ventrikel kiri pada bayi kurang bulan (Joyce, 2004; Marijian, 1994; Kozak, 2001). Kelainan fisiologis ini, sesuai dengan pernyataan bahwa otot jantung ventrikel kiri neonatus telah berfungsi sebagai dasar fungsi kontraksi jantung, yang dapat membatasi kemampuan peningkatan isi sekuncup (stroke volume) atau peningkatan kontraktilitas pada neonatus dengan sepsis.

Beberapa penelitian mengevaluasi kinerja jantung pada pasien sepsis dengan ekokardiografi transtorakal dan transesofageal. Hasil dari penelitian tersebut yakni ditemukannya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada lebih dari 50% subyek penelitian (Spapen, 2000; Charpentier, 2004). Namun, pola spesifik pada dilatasi ventrikel kiri dengan gangguan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri hanya ditemukan pada studi Charpentier dkk meskipun dimensi ventrikel nasih normal.

Pada studi yang dilakukan oleh Shimada dkk menyatakan bahwa pada

Patent Ductus Arteriosus (PDA) meskipun terjadi peningkatan output dari

ventrikel kiri namun berdampak penurunan aliran darah yang menuju ke aorta abdominalis, arteri coeliaca, mesenterika dan renalis (Shimada, 1994; Myung, 2008).


(33)

B.2. Gangguan peredaran darah pada sepsis neonatus

Respon hemodinamik pada sepsis neonatus belum diketahui dengan jelas yang ditunjukkan dengan adanya abnormalitas hemodinamik yang bervariasi (Carcillo, 2002). Pola hemodinamik pada syok septik biasanya ditandai dengan keadaan hipersirkulasi, termasuk penurunan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan indeks jantung secara signifikan setelah resusitasi cairan yang memadai. Namun, beberapa penelitian telah menyatakan dengan jelas mengenai gangguan kinerja ventrikel kiri pada pasien dengan syok septik. Adanya perbedaan dalam hal anatomi, fisiologi dan adaptasi fungsi kardiovaskuler pada sepsis neonatus perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk strategi terapi yang lebih baik. (Tabbutt, 2001).

Pada bayi baru lahir terjadi gangguan efektivitas stimulasi adrenergik eksogen oleh karena adanya saraf otonom yang belum matang secara fungsional (Rosentiel, 2001; Longin, 2006) serta peningkatan kadar katekolamin baseline, terutama pada bayi kurang bulan (Hirsimaki, 1992; Kalio, 1998). Lemahnya respon terhadap rangsangan adrenergik telah dilaporkan pada neonatus dengan syok septik, sebagai akibat dari reseptor down regulation, reseptor dari

uncoupling adenil siklase ataupun penurunan produksi c-AMP (Tabbutt, 2001).

Pada sepsis dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang disebabkan oleh berbagai patogen akibat berbagai mekanisme (Setiati, 2009). Salah satunya adalah respon aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika. Penurunan sirkulasi splanknik bisa disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi, khususnya selama hipovolemia relatif. Pada keadaan sepsis terjadi disfungsi endotel dan


(34)

vasokonstriksi general khususnya pada regio splanknikus sehingga mempengaruhi sirkulasi mesenterika.

Gambar 3. Mekanisme gangguan fungsi endotel vaskuler pada sepsis

Hepar dan usus merupakan organ utama yang mengalami redistribusi perfusi ke sirkulasi sistemik. Vasokonstriksi bisa terjadi akibat autoregulasi peningkatan aliran darah dari system enterik yang meningkatkan kecepatan ekstraksi oksigen. Disamping peningkatan tahanan vaskuler sistemik, vasokonstriksi yang disebabkan oleh system saraf simpatis juga mengosongkan vena pada regio splanknikus sehingga terjadi autotransfusi. Efek ini meningkatkan sirkulasi darah sampai sepertiga akibat peningkatan tekanan pengisian jantung, sehingga mempertahankan curah jantung sesuai mekanisme Hukum Starling (Setiati, 2009).


(35)

Gambar 4. Peredaran darah pada sistem saluran pencernaan (Kempley, 2000)

Selama hari-hari pertama kehidupan sirkulasi intestinum harus beradaptasi terhadap nutrisi enteral melalui sirkulasi transisional post natal. Penelitian yang dilakukan oleh Bel dkk menunjukkan bahwa kecepatan aliran darah pada arteri mesenterika superior meningkat sesuai usia gestasi dan berat badan, sedangkan Leidig dkk menemukan adanya peningkatan kejadian puasa setelah pengenalan nutrisi enteral dan peningkatan residu postprandial.


(36)

Gambar 5. Iskemia pembuluh darah mesenterika (Kempley, 2000)

Martinussen dkk mempelajari perubahan sirkulasi mesenterika dalam hubungannya dengan adaptasi hemodinamik pada neonatus cukup bulan dengan mengukur kecepatan aliran darah arteri mesenterika superior pada saat 1 jam setelah lahir sampai dengan hari kelima setelah lahir dengan ultrasound Doppler. Variabel lain yang diamati pada studi ini adalah adanya perubahan curah jantung (cardiac output), denyut jantung, tekanan darah dan sirkulasi regional lainnya. Respon sirkulasi terhadap nutrisi diamati dari hari ketiga hingga hari kelima setelah lahir.

Pada hari pertama kehidupan setelah kelahiran, neonatus yang terinfeksi menunjukkan pola hiperemia splanknikus serupa dengan pola yang ditemukan


(37)

dalam proses inflamasi pada orang dewasa. Pola ini merupakan salah satu yang resisten terhadap aliran darah, seperti yang ditunjukkan oleh berkurangnya indeks pulsasi dalam aksis coeliaca dan arteri mesenterika superior yang secara konsisten berkaitan dengan kecepatan aliran darah pada keduanya (Kempley, 2000).

Coombs, dkk. telah menjelaskan adanya peningkatan rasio aliran darah sistem coeliaca terhadap aliran darah sistolik arteri mesenterika superior pada kelompok heterogen nenatus beresiko necrotizing enterocolitis (NEC), yakni dengan adanya IUGR (Intra Uterin Growth Retardation), asfiksia, infeksi maupun dengan resiko tinggi lainnya. Pada kelompok neonatus ini, didapatkan penurunan kecepatan aliran darah arteri mesenterika superior dan penurunan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca.

Penelitian Kempley dkk menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan mengenai peningkatan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca antara kedua kelompok neonatus yang beresiko tinggi dengan neonatus normal, dengan menyingkirkan semua subjek yang memiliki berat lahir rendah. Adanya infeksi dapat menstimulasi terjadinya hiperemia splanknikus pada neonatus. Peningkatan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas kardiovaskuler tergantung dari seberapa beratnya infeksi pada neonatus. Meskipun penurunan indeks resistensi vaskuler, sangatlah mungkin menunjukkan peningkatan kebutuhan oksigen, namun aliran darah di dalam usus tidak mengalami peningkatan (Dave, 2009; Kempley, 2000).

Traktus gastrointestinal merupakan organ yang rentan terkena efek sistemik. Pemenuhan aliran darah dan tekanan perfusi yang adekuat merupakan


(38)

langkah penting untuk memperbaiki kekurangan ini. Obat-obatan inotropik dengan efek dilatasi telah diketahui dapat meningkatkan perfusi splanknik dan oksigenasi (Setiati, 2009). Pada kondisi seperti NEC telah terbukti berkaitan dengan peningkatan kecapatan aliran darah arteri mesenterika superior (Kempley, 2000).

Pengobatan jangka pendek tujuannya adalah untuk mengoptimalkan perfusi dan distribusi oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan dan mencegah gangguan metabolisme sel-sel yang dihasilkan oleh hipoperfusi serta untuk mendukung fungsi organ dalam memperthankan homeostasis. Sepsis berkaitan dengan hipodinamik serta vasokonstriktor, sehingga lebih responsif terhadap terapi vasodilator dan inotropik (Rosentiel, 200; Rivers, 2001).

C. Residu lambung

Aspirasi lambung merupakan suatu prosedur untuk penilaian terhadap toleransi asupan di mana lambung dihisap melalui selang nasogastrik atau orogastrik. Pada neonatus, penilaian toleransi asupan (minum) didasarkan pada pengukuran volume residu lambung preprandial (sebelum pemberian asupan) sebagai marker yang signifikan dan objektif untuk mengevaluasi adanya intoleransi asupan (Walter, 2002; Fletcher, 1994).

Ada beberapa definisi intoleransi asupan berdasarkan peningkatan volume residu lambung baik dinamis maupun menetap yang telah banyak digunakan. Pada neonatus, interpretasi dari hasil aspirasi lambung ini dianggap abnormal bila


(39)

volume mencapai lebih dari 30 % dari total formula yang diberikan 3 sampai 4 jam sebelum aspirasi lambung, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut (Dollberg, 2000). Prosedur ini biasanya dilaksanakan setiap sebelum menyusui untuk menentukan apakah pemberian formula sebelumnya dapat ditoleransi dan dicerna dengan baik, untuk mengetahui adanya intoleransi minum (Gomella, 2004). Aspirasi lambung yang normal pada neonatus adalah jika didapatkan kurang dari 20% dari volume formula yang diberikan 3-4 jam sebelum pengukuran, berupa formula tak tercerna berwarna susu. (Gomella, 2004; Dollberg, 2000).

Intoleransi asupan (minum) dinyatakan dengan peningkatan volume residu lambung dinamis yakni lebih dari 20 % dari volume asupan yang telah diberikan 4 jam sebelumnya (Dollberg, 1999), lebih dari 50 % dari volume asupan yang diberikan 3 jam sebelumnya (Rayyis, 1999; Dollberg, 2000), pada pengukuran volume residu lambung setiap 3 jam. Definisi yang banyak digunakan untuk menyatakan intoleransi asupan adalah adanya volume residu lambung ≥ 2 ml formula tak tercerna (undigested formula), volume residu gaster ≥ 2 ml berwarna hijau-empedu (billious residual) ataupun volume residu gaster ≥ 3 ml berwarna hijau. Tidak ada dari berbagai definisi tersebut yang dianggap lebih baik dibanding yang lainnya pada suatu studi uji klinis (Silvestre, 1996).

Karakteristik dari jenis dan volume aspirasi lambung dapat memberikan petunjuk klinis sebagai gejala yang penting mengenai adanya penyebab masalah pada neonatus (Gomella, 2004):

1. Residu lambung warna hijau-empedu (bilious in colour) commit to user


(40)

Biasanya mengindikasikan suatu obstruksi dari lesi usus yang berlokasi pada distal ampulla Vateri. Tipe residu ini menunjukkan masalah yang serius, terutama bila terjadi dalam 72 jam pertama setelah kelahiran.

a. Obstruksi usus

Suatu studi mengemukakan bahwa 30% dari neonatus dengan residu lambung berwarna hijau-empedu yang didapatkan pada usia 72 jam pertama setelah kelahiran mengalami obstruksi, yang mana 20% dari neonatus tersebut membutuhkan terapi pembedahan. b. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

Terjadi paling sering pada neonatus kurang bulan, hanya 10% terjadi pada neonatus cukup bulan.

c. Meconium plug

d. Penyakit Hirschprung e. Malrotasi usus

f. Volvulus g. Ileus

h. Gangguan pasase usus

2. Residu lambung bukan warna hijau-empedu (non bilious in color)

Formula minum yang tercerna maupun yang tidak tercerna dapat terlihat pada pemeriksaan aspirasi lambung jika pemberian minum dilaksanakan terlalu agresif. Hal ini sering dijimpai terutama pada neonatus kurang bulan dengan berat badan lahir rendah yang diberi formula dalam jumlah sedikit saat pertama kali pemberian minum, kemudian diberikan formula


(41)

berikutnya dengan jumlah yang lebih besar dalam waktu yang terlalu cepat.

a. Aspirasi lambung berupa formula tak tercerna (undigested

formula) dapat sering dijumpai pada neonatus, jika interval atau

rentang waktu antara pemberian minum terlalu pendek.

b. Aspirasi lambung berupa formula tercerna (digested formula) dapat merupakan suatu gejala keterlambatan waktu pengosongan lambung atau volume pemberian formula yang terlalu banyak, dapat pula oleh karena osmolaritas formula yang meningkat dengan penambahan vitamin didalamnya.

c. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

d. Stenosis pilorus e. Striktur post-NEC f. Infeksi

g. Gangguan metabolism pada neonatus

h. Konstipasi

Serinng terjadi terutama jika abdomen tampak penuh, namun secara klinis dengan palpasi teraba supel, serta tak adanya tinja dalam kurun waktu 48 hingga 72 jam setelah kelahiran.

i. Sindrom adrenogenital j. Hipoplasi adrenal k. Intoleransi formula


(42)

Beberapa neonatus mengalami intoleransi karbohidrat yang pada umumnya memiliki proporsi utama dalam berbagai formula. Jika neonatus mendapatkan formula yang mengandung laktosa seharusnya dilakukan pemeriksaan pH tinja untuk mengetahui adanya intoleransi laktosa. Jika pH tinja asam < 5,0, maka dinyatakan sebagai intoleransi laktosa, didukung dengan adanya riwayat intoleransi susu pada keluarga, namun gejala klinis diare lebih sering didapatkan daripada aspirasi lambung.

3. Residu lambung warna cokelat-darah (bloody in colour) Sering didapatkan pada berbagai penyakit seperti :

a. Trauma oleh karena intubasi selang nasogastrik b. Manifestasi darah ibu

c. Gangguan perdarahan, antara lain defisiensi vitamin K, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), dan penyakit koagulasi congenital yang lain.

d. Ulkus lambung e. Asfiksia fetal berat

f. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

g. Medikasi

Beberapa obat diketahui dapat mengakibatkan perdarahan lambung, antara lain tolazoline, indometacin dan kortikosteroid. Penilaian volume aspirasi lambung lebih dari 20% total formula yang diberikan sebelumnya menurut jenis dan karakteristik residu lambung dapat disebabkan oleh


(43)

berbagai hal. Diperlukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan penunjang (Walter, 2002; Fletcher, 1994).

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan secara khusus pada pemeriksaan abdomen. Menilai ada atau tidaknya distensi abdomen dan eritema pada kulit abdomen (secara signifikan menunjukkan gejala peritonitis), menilai peristaltik usus, dimana tidak adanya suara peristaltik usus dapat menunjukkan gejala ileus atau peritonitis), serta menilai ada tidaknya hernia, karena dapat menyebabkan gangguan obstruksi usus (Gomella, 2004).

Pada pemeriksaan laboratorium, diperlukan pemeriksaan darah rutin beserta hitung jenis untuk mengevaluasi adanya sepsis, serta pemeriksaan hematokrit dan trombosit bila terjadi perdarahan. Kultur darah disertakan pula untuk mendukung diagnosis sepsis, dan dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pemeriksaan kalium untuk mendukung ada atau tidaknya ileus, serta menyingkirkan hipokalemia sebagai penyebab kembung pada neonatus. Tinja penting pula untuk diperiksa, khususnya pH tinja, untuk menyingkirkan adanya intoleransi laktosa (yang ditunjukkan dengan pH tinja asam < 5,0). Adanya ganggua koagulasi dapat memegang peranan sebagai etiologi terjadinya residu lambung, terutama residu darah-cokelat (bloody in colour), maka perlu diperiksa faktor-faktor pembekuan yakni Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin

Time (PTT), fibrinogen dan trombosit.

Pemeriksaan penunjang lain adalah pencitraan atau radiologi berupa foto polos abdomen. Pemeriksaan ini mutlak dilaksanakan jika secara klinis terdapat aspirasi lambung berwarna hijau-empedu (bilious in colour), adanya kelainan


(44)

pada pemeriksaan fisik abdomen, atau jika terjadi aspirasi lambung terus menerus. Foto polos abdomen ini menunjukkan apakah selang nasogastrik berada dalam posisi yang benar dan akan memberikan gambaran pola gas dalam usus. Perlu dilacak pula adanya kelainan gambaran pola gas dalam usus, pneumatosis intestinalis, ileus atau adanya obstruksi usus serta gambaran air-udara (air fluid

level). Penting pula untuk menilai foto polos abdomen posisi dekubitus lateral kiri

karena suatu perforasi sering tidak terlihat pada foto polos anteroposterior. Endoskopi dapat pula dilakukan untuk menyingkirkan adanya ulkus lambung (Gomella, 2004).

C.1. Gangguan peristaltik saluran pencernaan

Gerakan peristaltik terjadi oleh karena kemampuan motilitas usus yang sudah matur melibatkan interaksi antara koordinasi dari sel-sel saraf pada usus, otot polos gastrointestinal dan sel-sel interstisial Cajal (Burns, 2009).

Berbagai aspek mengenai fungsi motorik saluran pencernaan masih menjadi masalah yang kompleks berkaitan dengan intoleransi asupan pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Gangguan motilitas usus sering terjadi pada neonatus pada usia gestasi kurang dari 34 minggu oleh karena koordinasi antara reflek menghisap dan menelan biasanya belum umur kehamilan 34 minggu.

Molilitas usus halus kurang terkoordinasi dengan baik pada neonatus kurang bulan dibandingkan dengan neonatus cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh imaturitas intrinsik dari sistem saraf usus, menyebabkan pertumbuhan bakteri berlebihan sehingga terjadi distensi sebagai akibat dari produk gas fermentasi bakteri (Berseth, 1996; Neu, 2007). Imaturitas usus ini memberikan kontribusi


(45)

terhadap lingkungan usus dimana berkaitan dengan interaksi terhadap nutrisi, pertahanan host imatur dan faktor lain yang menginisiasi kaskade translokasi mikroba atau produk toksin melalui sawar mukosa usus yang imatur, yang kesemuanya berperan dalam kaskade proses inflamasi (Neu, 2007).

Proses adaptasi penting dari traktus gastrointestinal pada lingkungan ekstrauterin beberapa saat setelah kelahiran adalah berkembangnya sawar mukosa usus yang dapat melawan penetrasi dari fragmen – fragmen protein. Sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap invasi kuman atau benda asing yang berbahaya melewati sawar mukosa usus, permukaan mukosa lumen usus pada neonatus harus berkembang dengan baik untuk mengontrol dan memelihara epitel usus sebagai sawar yang tidak permeabel terhadap antigen makromolekuler (Riezzo, 2009).

Intoleransi asupan enteral pada neonatus pada minggu pertama setelah lahir, merupakan masalah yang kompleks, terutama pada neonatus kurang bulan, hal ini berkaitan erat dengan pola pematangan sluran pencernaan. Mekanisme pertahanan pada sistem gastrointestinal meliputi sistem imunologi lokal terhadap fungsi dalam lingkungan usus yang kompleks sebagaimana proses non-imunologi seperti sawar lambung (gastric barrier), sekresi pada permukaan usus, gerakan perisaltik, dan sebagainya yang semuanya berkaitan dengan perlindungan maksimum pada traktus gastrointestinal. Selama periode post natal, terutama pada neonatus kurang bulan dan kurang untuk masa kehamilan, perkembangan sistem pertahanan tubuh lokal belum sempurna. Sebagai akibat dari keterlambatan


(46)

maturitas dari sawar mukosa, bayi baru lahir rentan untuk terkena infeksi oleh karena adanya substansi intralumen yang patologis (Piena, 2001; Riezzo, 2009).

Cheung dkk mengamati respon kecepatan aliran arteri mesenterika superior pada saat fase diastolik terhadap pemberian minum yang dilaporkan pada neonatus dengan patent ductus arteriosus (PDA) post shunting. Studi ini secara bermakna menunjukkan tahanan vaskuler mesenterika yang relatif lebih rendah, baik preprandial maupun post prandial sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi usus dari keadaan iskemik. Pada neonatus dengan sepsis, terjadi penurunan sirkulasi splanknikus menunjukkan instabilitas kardiovaskuler yang berdampak terhadap terjadinya hipoperfusi pada usus oleh karena distribusi oksigen yang kurang adekuat (Kempley, 2000).

Pemberian asupan secara enteral bermakna meningkatkan kecepatan aliran darah pada arteri mesenterika superior yang mencapai puncaknya pada waktu 30 sampai 45 menit postprandial (Coombs, 1992; Cheung, 2003). Selain itu, pemantauan pemberian asupan secara enteral dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya perubahan pada perfusi splanknik. Peningkatan kecepatan aliran darah splanknik pada neonatus sehat maupun terinfeksi tidak terlepas dari proses vasodilatasi usus sebagai respon terhadap adanya penurunan tahanan vaskuler mesenterika. (Coombs, 1992; Martinussen, 1994; Pezzati, 2000).

C.2. Pengosongan lambung

Telah diketahui bahwa pematangan fungsional saluran gastrointestinal sangat berbeda dari waktu ke waktu sehubungan dengan perkembangan anatominya (Neu, 2007; Lebenthal, 1999; Berseth, 1996). Tingkat pematangan beberapa


(47)

enzim pencernaan dicapai pada saat akhir kehamilan dan aktivitas lactase pada saat usia gestasi 34 minggu hanya mencapai 30% pada neonatus cukup bulan (Lebenthal, 1999). Sampai kini, hanya sedikit data yang menyatakan tentang perkembangan fungsi motilitas usus dan sawar mukosa pada bayi baru lahir. (Riezzo, 2009).

Untuk mengevaluasi fungsi motilitas saluran pencernaan dapat dinyatakan dengan pengukuran aktivitas elektrik lambung, pada pergerakan dinding lambung dan lamanya waktu pengosongan lambung. Metode yang sampai saat ini dipercaya untuk mengetahui fungsi motilitas lambung adalah cutaneus

electrogastrography (EGG) (Familoni, 1991). Studi EGG pada bayi baru lahir

menunjukkan tidak adanya gelombang normal saat lahir dan proses pematangan atau maturasi yang dimodulasi oleh asupan enteral (Chen, 1997; Koch, 1993; Liang, 1998; Riezzo, 2000). Pengosongan lambung dapat dinyatakan dengan ultrasonografi yang dianggap sebagai teknik yang non invasif pada neonatus (Riezzo, 2009).

Integritas fungsional sawar mukosa usus sebagian bergantung pada interaksi sel mukosa yang saling berdekatan. Metode yang paling terpercaya sampai sekarang untuk mempelajari fungsi integritas usus adalah uji absorbsi gula atau sugar absorbtion test (SAT) pada orang dewasa maupun neonatus, baik kurang bulan maupun cukup bulan (Shulman, 1998; Catassi, 1995). Beberapa proses penting yang mempengaruhi permeabilitas mukosa usus, terjadi pada saat periode neonatus, ketika sawar mukosa belum sempurna. Koordinasi fungsi motorik saluran pencernaan memegang peranan yang sangat penting dalam proses


(48)

transportasi usus, penyerapan dan pemeliharaan ekologi bakteri usus. Terjadinya keterlambatan waktu peristaltik usus dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat difasilitasi oleh translokasi bakteri pada keadaan sepsis (Gunningham, 1991; Valori, 1992; Riezzo, 2009).

Riezzo dkk meneliti aktivitas elektrik lambung, waktu pengosongan lambung dan permeabilitas usus pada saat hari ke-3, 7, 15 dan 30 setelah lahir untuk mengevaluasi perubahan pada waktu motilitas dan permeabilitas mukosa usus dalam upaya menganalisis perbedaan fisiologi seiring dengan usia setelah kelahiran. Pada bayi baru lahir, aktivitas elektrik lambung cukup stabil dengan sedikit perbedaan dalam rasio dan pengosongan lambung pada saat hari-hari dilakukannya pemeriksaan. Sebaliknya, permeabilitas usus semakin menunjukkan perbaikan pada minggu pertama setelah kelahiran. Studi ini menyimpulkan bahwa bayi baru lahir kurang bulan yang dalam kondisi sehat, menunjukkan pematangan elektrogastrografi dan pengosongan lambung serta secara cepat mengalami perbaikan dalam permeabilitas usus (Riezzo, 2001; Riezzo, 2003; Riezzo, 2009).

Perubahan permeabilitas usus dapat menyebabkan translokasi bakteri dan komplikasi sepsis pada neonatus, namun tidak ada kajian berbasis bukti untuk mendukung pernyataan ini (O’Boyle, 1999; Kanwar, 2000). Permeabilitas usus menurun secara cepat pada neonatus yang mendapatkan ASI (air susu ibu) dibandingkan dengan neonatus yang mendapatkan formula yang dihidrolisa (Catassi, 1995; Riezzo, 2009), namun secara keseluruhan, baik penurunan maupun peningkatan permeabilitas usus selama bulan pertama kehidupan telah dijelaskan (Shulman, 1998; Riezzo, 2009).


(49)

Imaturitas usus didapatkan pada neonatus dengan usia gestasi kurang dari 34 minggu, namun dapat terjadi pada usia yang lebih matang. Imaturitas usus dapat menjelaskan terganggunya proses koordinasi gastroduodenal dan aktivitas motorik usus yang berkaitan dengan pengosongan lambung, refluks duodenogastrik dan hipomotilitas gastroduodenal (Daniel, 1999; Jadcheria, 2002). Pada neonatus kurang bulan, inisiasi pemberian asupan secara enteral akan merangsang peningkatan fungsi sawar usus (Corpeleijn, 2008) dan menunjukkan fungsi permeabilitas usus yang lebih tinggi pada saat usia 2 sampai 6 hari setelah lahir serta tidak terpengaruh oleh berat badan lahir maupun usia gestasi (Elburg, 2003).

C.3. Hubungan sistem saluran pencernaan dengan sepsis neonatus

Perkembangan sistem pencernaan terjadi pada awal minggu keempat usia gestasi. Sistem pembuluh darah mesenterika berkembang seiring dengan perkembangan usus. Pengaturan dari aliran darah mesenterika terjadi di tingkat arteriola dan prekapiler. Neonatus mempunyai tahanan pembuluh darah usus yang lebih rendah daripada fetus (Crissinger, 1992; Martinussen, 1996). Maka dari itu, aliran darah mesenterika lebih besar pada neonatus daripada fetus sampai minggu kedua bahkan minggu keempat setelah lahir, saat tahanan usus meningkat sebagai respon menurunnya aliran darah dan pasokan oksigen (Myung, 2008).


(50)

Gambabar 6. Embriologi lambung dan sistem mesenterika (Corpeleijn, 2008)

Gambar 7. Embriologi saluran pencernaan (Corpeleijn, 2008)

ika


(51)

D. Kerangka konsep

LCOS = Low cardiac output syndrome takikardi

Gangguan fungsi sistolik ventrikel ini

Gangguan aliran darah pada aorta abdominalis beserta

percabangannya (sistem splanknikus dan

mesenterika)

Iskemia sistem splanknikus dan mesenterika

Peningkatan permeabilitas membran miosit Kerusakan DNA miosit

Nekrosis dan apoptosis miosit

Penurunan kecepatan puncak kontraksi ventrikel kiri

Gangguan motilitas usus Peristaltik usus menurun

Gangguan metabolisme enzim pencernaan Keterlambatan waktu pengosongan lambung

Iskemia organ sistem pencernaan demam

Hipertrofi ventrikel kiri

Gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri

Pelepasan mediator inflamasi

(TNFα, IL-1β, IL-6, NO)

LCOS Pelebaran kaliber pembuluh darah Injury of endotel

vascular

Syok distributif

Sepsis neonatus

Peningkatan residu lambung

Prematuritas Kelainan kongenital saluran pencernaan

(Hirschprung, stenosis pilorus, stenosis duodenum)

Necrotizing Enterocolitis


(52)

Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa sepsis yang terjadi pada neonatus dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung melalui mekanisme kerusakan DNA, nekrosis, apoptosis serta peningkatan permeabilitas membran miosit yang mengakibatkan gangguan kinerja ventrikel kiri (Rudiger, 2007). Selain itu, gejala klinis sepsis, seperti adanya demam akan menyebabkan takikardi dan hipertrofi otot ventrikel kiri yang berakibat gangguan fungsi sistolik. Kesemuanya berdampak menjadi sindroma penurunan curah jantung yang akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke sistemik, termasuk aorta abdominalis beserta percabangannya, secara khusus terjadi penurunan aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika yang berakibat iskemia organ saluran pencernaan dan berdampak terjadinya gangguan motilitas usus, penurunan fungsi peristaltik, gangguan metabolisme enzim pencernaan serta keterlambatan waktu pengosongan lambung yang bermanifestasi sebagai adanya peningkatan residu lambung (Corpeleijn, 2008). Selain itu, faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan residu lambung antara lain prematuritas, adanya kelainan kongenital saluran pencernaan dan NecrotizingEnterocolitis (NEC).

E. Hipotesis

Terdapat hubungan antara residu lambung dengan gangguan fungsi jantung pada sepsis neonatus.


(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong-lintang (cross-sectional study) untuk menelaah hubungan antara residu lambung dengan adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan bayi risiko tinggi, HCU (high care

unit) neonatus bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS – RSUD Dr. Moewardi

antara bulan Juli-November 2010.

C. Populasi

1. Populasi target pada penelitian ini adalah semua neonatus berisiko sepsis. 2. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua neonatus berisiko

sepsis yang dirawat di ruang HCU-neonatus RSUD Dr. Moewardi Surakarta antara Juli 2010-Desember 2010.


(54)

D. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel diperoleh dengan cara pencuplikan kuota. D.1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi meliputi :

1. Semua neonatus berisiko sepsis

2. Dirawat di ruang HCU-neonatus RSUD Dr. Moewardi. 3. Mendapatkan nutrisi enteral.

4. Manifestasi klinis residu lambung pada selang nasogastrik 5. Orangtua/wali menandatangani informed consent penelitian. D.2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi :

1. Penyakit jantung bawaan 2. Hipertrofi ventrikel

3. Kelainan kongenital saluran pencernaan 4. Tidak ada residu sama sekali

5. Orangtua/wali menolak menandatangani informed consent penelitian.

E. Besar Sampel

Ukurn sampel dihitung berdasarkan analisis multivariat jumlah sampel yang dianggap memadai berkisar antara 15 hingga 20 kali jumlah variabel bebas (Murti B, 2010). Variabel bebas pada penelitian ini ada 3 yaitu : gangguan fungsi jantung, Necrotizing Enterocolitis (NEC) dan prematuritas. Jumlah sampel yang diperlukan minimal 3x15 sampai 3x20, jadi diperlukan minimal 45-60 sampel.


(55)

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung adalah residu lambung 2. Variabel bebas adalah gangguan fungsi jantung

3. Variabel perancu yang dinilai adalah Necrotizing Enterocolitis (NEC) dan prematuritas.

G. Definisi Operasional Variabel dan Cara Pengukuran G.1. Residu lambung

Interpretasi residu lambung pada neonatus dianggap tidak normal apabila volume residu lambung mencapai lebih dari 30 % dari total formula yang diberikan 3 sampai 4 jam sebelum dilakukan aspirasi lambung (Dollberg, 2000). Prosedur ini biasanya dilaksanakan setiap kali sebelum menyusui untuk menentukan apakah pemberian formula sebelumnya dapat ditoleransi dan dicerna dengan baik, untuk mengetahui adanya intoleransi minum (Gomella, 2004). Aspirasi lambung yang normal pada neonatus adalah jika didapatkan kurang dari 20% dari volume formula yang diberikan 3-4 jam sebelum pengukuran, berupa formula tak tercerna berwarna susu, terutama banyak didapatkan pada neonatus kurang bulan. (Gomella, 2004; Dollberg, 2000).

Cara untuk mengevaluasi pemberian minum setiap 4 jam adalah dengan aspirasi lambung melalui selang orogastrik atau nasogastrik menggunakan spuit. Dilakukan oleh perawat ruang HCU-neonatus RSUD Dr. Moewardi dan dicatat dalam formulir pemantauan mengenai jenis dan volumenya dan diambil


(56)

ratanya selama pengamatan 2 x 24 jam. Jika jumlah volume lebih dari 20% dari total formula yang diberikan maka dinyatakan positif (Gomella, 2004).

G.2. Gangguan fungsi jantung

Gangguan fungsi jantung yang dinilai adalah fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang mencerminkan aliran darah sistemik. Fungsi sistolik ventrikel kiri dapat dinilai dengan mengukur persentase pemendekan diameter ventrikel kiri selama sistolik (FS) dan fraksi ejeksi (EF). Nilai normal persentase pemendekan diameter ventrikel kiri selama sistolik (FS) berkisar antara 28% - 44% dengan rata-rata 36%. Sedangkan nilai normal fraksi ejeksi (EF) berkisar antara 56% - 78% dengan rata-rata 66%. Fungsi sistolik dinyatakan terganggu pada penelitian ini apabila didapatkan hasil penurunan persentase pemendekan diameter ventrikel kiri selama sistolik (FS) sebesar ≤ 30% dan peningkatan fraksi ejeksi (EF) sebesar ≥ 80% (Myung, 2008).

Gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri diketahui dengan mengukur kecepatan maksimal pengisian ventrikel kiri pada saat awal diastolik (E), kecepatan maksimal pengisian ventrikel pada saat kontraksi atrium (A), keduanya dengan besaran m/sec, serta kecepatan rasio maksimal pengisian awal dan akhir (E/A). Fungsi diastolik ventrikel dinyatakan terganggu pada penelitian ini apabila didapatkan hasil rasio E/A ≤ 1. Pada sepsis neonatus, sebagai karakteristik adanya gangguan fungsi diastolik ditunjukkan oleh ketinggian konstan waktu relaksasi ventrikel kiri, yang tampak jelas pada sepsis hari pertama, ketiga dan ketujuh (Sharma, 2007; Myung, 2008). Gangguan fungsi jantung dinyatakan positif, apabila didapatkan salah satu atau kedua fungsi, baik diastolik maupun sistolik


(57)

terganggu. Pengukuran menggunakan alat ekokardiografi Doppler dua dimensi yang dilakukan oleh dokter spesialis anak konsultan kardiologi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

G.3. Sepsis neonatus

Neonatus dengan risiko sepsis awitan dini dinilai berdasarkan tabel dibawah ini : Tabel 3.1. Pengelompokan faktor risiko sepsis

Risiko mayor Risiko minor

1. Ketuban pecah > 24 jam 2. Ibu demam; saat intrapartum >

38ºC

3. Korioamnionitis

4. Denyut jantung janin yang menetap>160x/menit

5. Ketuban berbau

1. Ketuban pecah > 12jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >37,5ºC

3. Nilai APGAR rendah (menit ke1<5, menit ke 5<7)

4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR),<1500 gram

5. Usia kehamilan < 37 minggu 6. Kehamilan ganda

7. Keputihan pada ibu

8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/ tersngka ISK yang tidak diobati.

Sumber: Aminullah, 2009

Klinis sepsis yang dipakai pada penelitian ini adalah bila didapatkan tanda-tanda sebagai berikut : FIRS/ SIRS ditegakkan apabila terdapat 2 atau lebih keadaan sebagai berikut :

1. laju nafas > 60x/m dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi O2 2. suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37,5C)

3. capillary refill time > 3 detik

4. hitung lekosit <4000x109/L atau >34000x109 5. CRP >10 mg/dl


(58)

6. IL-6 atau IL-8>70 pg/ml 7. 16 S rRNA gene PCR: positif. Tabel 3.2. Gambaran klinis sepsis neonatal Gambaran klinis sepsis neonatal:

Variabel klinis

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit

Laju nafas >60kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L) Intoleransi minum

Variabel hemodinamik

Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi

Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia kurang dari 6 bulan) Variabel perfusi jaringan

Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik Asam laktat plasma > 3 detik

Variabel inflamasi

Leukositosis (>34000x109) Leukopenia (<5000x109) Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/ total neutrofil (I/T ratio)>0.2 Trombositopenia <100000x109/L

C reaktive protein > 10 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal Procalsitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari normal

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : poaitif

Klinis sepsis ditegakkan apabila didapatkan satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gambaran klinis infeksi seperti terlihat pada tabel diatas (Hague, 2005). Penilaian ini dilakukan oleh residen anak yang bertugas dan mendapat persetujuan dari dokter spesialis anak. Sampai saat ini, untuk diagnosis pasti sepsis belum ada parameter yang dapat menjadi baku emas, maka dari itu digunakan beberapa pemeriksaan penunjang lainnnya untuk memperkuat diagnosis klinis sepsis, yakni dengan kultur darah dan kultur urin. Cara pengambilan sampel yakni dari darah vena dan dimasukkan dalam reagen bactec peds plus dan menggunakan mesin commit to user


(59)

bactec 9050. Sedangkan pengambilan sampel urin dilakukan menggunakan selang nasogastrik ukuran 5 melalui orificium urethra externum (OUE). Analisis dilakukan oleh petugas analis laboratorium mikrobiologi yang telah mendapatkan pelatihan khusus.

H. Izin subyek penelitian

Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua/wali dengan menandatangani

informed consent yang diajukan peneliti setelah mendapat penjelasan sebelumnya.

I. Alur penelitian

Tidak ada residu sama sekali

Neonatus berisiko sepsis

Laboratorium darah lengkap, CRP, I/T ratio, kultur darah dan kultur Kriteria klinis sepsis

Evaluasi residu

dengan aspirasi lambung setiap 4 jam setelah pemberian minum melalui selang orogastrik

selama 2 x 24 jam

Ada kelainan saluran pencernaan eksklusi eksklusi Positif

(rata-rata residu > 20% dari total formula)

Negatif

(rata-rata residu < 20% dari total formula)

Pemeriksaan Ekokardiografi Doppler Pemeriksaan Ekokardiografi Doppler

Ada gangguan fungsi jantung Tidak ada gangguan fungsi jantung Ada gangguan fungsi jantung Tidak ada gangguan fungsi jantung commit to user


(60)

J. Pengolahan Data

Data yang diperoleh akan diolah dengan SPSS 16.0. Variabel yang dinilai adalah peningkatan residu lambung dan gangguan fungsi jantung yang dinyatakan dalam skala kategorikal dan dianalisis dengan regresi logistik. Untuk menganalisis variabel perancu, yakni prematuritas dan Necrotizing Enterocolitis (NEC), dilakukan analisis multivariat regresi logistik ganda.

K. Jadwal Kegiatan

Bulan Juni 2010 – Februari 2011

KEGIATAN WAKTU

Jun-Jul Agt Sept Okt Nov Des Jan Feb

Penelusuran kepustakaan Penyusunan naskah Pelaksanaan penelitian Pengolahan data

Penyusunan laporan penelitian


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian

Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian (N = 48)

Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik dasar subyek penelitian. Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2011 hingga Oktober 2011 terhadap pasien

Karakteristik dasar Subyek

N (48) %

Usia gestasi

< 37 minggu 18 37.5

≥ 37 minggu 30 62.5

Jenis kelamin

Laki-laki 26 54.2

Perempuan 22 45.8

Berat badan lahir (BBL)

< 2500 gram 16 33.3

≥ 2500 gram 32 66.7

Volume residu lambung

≥ 20 % 27 56.3

< 20 % 21 43.8

Jenis residu lambung

Susu 33 68.8

Billious 7 14.6

Bloody 8 16.7

Gangguan fungsi jantung

Ada 39 81.3

Gangguan fungsi sistolik saja 8 16.67

Gangguan fungsi diastolic saja 15 31.25

Gabungan gangguan fungsi sistolik dan diastolik 16 33.33

Tidak ada 9 18.8

Penyakit jantung bawaan (PJB)

Ada 15 31.3

Tidak 33 68.8


(62)

neonatus berisiko sepsis yang dirawat di ruang HCU (high care unit)-neonatus RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta setuju untuk ikut dalam penelitian. Berdasarkan perhitungan besar sampel dibutuhkan subyek penelitian sebanyak 45 anak.

Dari distribusi didapatkan usia gestasi subyek penelitian < 37 minggu (prematur) adalah 18 subyek (37.5%), berat badan lahir rendah (< 2500 gram) sebanyak 16 (33.3%) dan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan, sebesar 26 subyek (54.2%). Dari hasil pemeriksaan residu lambung didapatkan 27 subyek (56.3%) yang mengalami residu positif ≥20%, dengan jenis residu terbanyak adalah susu (68.8%), kemudian billious (14.6%) dan bloody residu sebanyak 16.7%.

Dari seluruh subyek penelitian sebagian besar (81.3%) mengalami gangguan fungsi jantung, di mana terdiri dari 8 subyek (16.67%) dengan gangguan fungsi sistolik saja, 15 subyek (31.25%) mengalami gangguan fungsi diastolik saja dan 16 subyek (33.3%) mengalami gangguan fungsi keduanya, baik sistolik maupun diastolik. Sedangkan dari semua subyek, didapatkan 15 subyek (31.3%) menderita penyakit jantung bawaan (PJB).

Tabel 4.2 memuat adanya kejadian residu lambung pada subyek penelitian berdasarkan usia gestasi, jenis kelamin, berat badan lahir, ada tidaknya gangguan fungsi jantung serta PJB. Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya residu lambung memiliki kemungkinan sebesar 6.25 kali untuk terjadinya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis secara signifikan (OR:6.25; CI 95%:1.14 sd 34.29), demikian juga kemungkinan terhadap adanya


(63)

gangguan fungsi sistolik sebesar 3.4 kali (OR:3.40; CI 95%:1.03 sd 11.26). Sedangkan untuk prematuritas, BBLR dan penyakit jantung bawaan merupakan faktor risiko untuk terjadinya residu lambung, namun tidak signifikan secara statistik.

Tabel 4.2. Kejadian residu lambung menurut berbagai kategori variabel pada neonatus berisiko sepsis

Variabel

Residu lambung

N (%) Total (48)

n (%) OR p CI 95%

positif 20%

negatif < 20% Usia gestasi

< 37 minggu 12 (66.7) 6 (33.3) 18 (100.0) 2.00 0.260 0.59 sd 6.73 ≥ 37 minggu 15 (50) 15 (50) 30 (100.0)

Jenis kelamin

laki-laki 17 (65.4) 9 (34.6) 26 (100.0) 2.27 0.165 0.71 sd 7.27 Perempuan 10 (45.5) 12 (54.5) 22 (100.0)

Berat badan lahir (BBL)

< 2500 gram 11 (68.8) 5 (31.3) 16 (100.0) 2.20 0.217 0.62 sd 7.79 ≥ 2500 gram 16 (50) 16 (50) 32 (100.0)

Gangguan fungsi jantung

Ada 25 (64.1) 14 (35.9) 39 (100.0) 6.25 0.022 1.14 sd 34.29

Tidak 2 (22.2) 7 (77.8) 9 (100.0)

Gangguan fungsi sistolik

Ada 17 (70.8) 7 (29.2) 24 (100.0) 3.40 0.042 1.03 sd 11.26

Tidak 10 (41.7) 14 (58.3) 24 (100.0)

Gangguan fungsi diastolic

Ada 20 (64.5) 11 (35.5) 31 (100.0) 2.60 0.119 0.77 sd 8.75

Tidak 7 (41.2) 10 (58.8) 17 (100.0)

Penyakit jantung bawaan (PJB)

Ada 10 (66.7) 5 (33.3) 15 (100.0) 1.88 0.327 0.53 sd 6.72

Tidak 17 (51.5) 16 (48.5) 33 (100.0)


(64)

Tabel 4.3. Hubungan antara jenis residu lambung terhadap risiko

terjadinya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis

Variabel

Residu lambung

Positif ( 20%) Negatif

(< 20%) Jenis residu lambung N (%)

Susu billous bloody

Gangguan fungsi jantung

Ada 16 (94.12) 3 (75.0) 6 (100.0) 14 (66.67)

Tidak 1 (5.88) 1 (25.0) 0 (0.00) 7 (33.33)

Total 17 (100.0) 4 (100.0) 6 (100.0) 21 (100.0)

OR 8.00 1.50 6.72

P 0.066 0.744 0.165

CI 95% 0.87 sd 73.27 0.13 sd 17.18 0.33 sd 136.20

Tabel 4.3 menunjukkan hubungan antara kejadian residu lambung, baik volume maupun jenisnya, terhadap risiko adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok neonatus dengan residu lambung jenis susu memiliki risiko untuk mengalami gangguan fungsi jantung delapan kali lebih besar daripada tanpa residu lambung (OR: 8.00; CI95% 0.87 sd 73.27). Sedangkan untuk residu jenis bilious maupun

bloody memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan fungsi jantung sebesar

1.5 kalinya dan 6.72 kalinya (OR:1.50 ;CI95% 0.13 sd 17.18 dan OR:6.72 ;CI95% 0.33 sd 136.20).

B. Pembahasan

Penelitian ini menggunakan 48 subyek anak yang dirawat di ruang HCU-neonatus RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Data berasal dari data primer berdasarkan anamnesis untuk mengetahui faktor risiko sepsis dari ibu selama kehamilan maupun persalinan, adanya penyulit maupun kelainan kongenital.


(1)

peningkatan permeabilitas membran miosit yang mengakibatkan gangguan kinerja ventrikel kiri (Rudiger, 2007).

Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko sepsis pada neonatus, selain itu imaturitas dari organ saluran cerna termasuk lambung serta sistem kardiovaskuler juga dapat menyebabkan timbulnya manifestasi residu lambung. Maka pada penelitian ini prematuritas, berdasarkan usia gestasi < 37 minggu, diperhitungkan sebagai faktor perancu terhadap kejadian residu lambung dan dianalisis tersendiri. Dari tabel 3 dapat diketahui jumlah subyek prematur yang mengalami residu lambung positif sebanyak 12 subyek (66.7%) dan hasil analisis uji chi square menunjukkkan prematuritas memiliki risiko 2 kali untuk terjadinya residu lambung namun tidak signifikan (OR=2.00; p=0.260).

Adanya berat badan lahir yang rendah (< 2500 gram) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya residu lambung, maka BBLR juga diperhitungkan sebagai faktor perancu. Subyek yang mengalami residu lambung positif dan memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram relatif cukup banyak yakni sebesar 11 subyek (68.8%), dan memiliki kemungkinan 2.2 kali untuk terjadinya residu lambung meskipun tidak terdapat kemaknaan secara statistik (OR=2.20; p=0.217).

Residu lambung dalam definisi operasional telah disebutkan hanya mencakup sisa volume minum neonatus yang diberikan sebelumnya, tanpa memperhatikan bagaimanakahjenis residu tersebut. Namun, dalam penelitian ini, sebagai outcome sekunder hubungan jenis residu terhadap kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung juga telah dianalisis. Dari tabel 4.3, analisis dengan uji


(2)

chi square menunjukkan bahwa seorang neonatus berisiko sepsis yang mengalami jenis residu susu memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan fungsi jantung secara umum sebesar 8 kali lebih besar, dibandingkan dengan neonatus tanpa residu lambung (OR:8.00 ;CI95% 0.87 sd 73.27). Sedangkan untuk jenis bilious dan bloody memiliki kemungkinan lebih kecil, hal ini dimungkinkan oleh karena residu berwarna billious lebih mencerminkan adanya kelainan saluran cerna lokal pada saluran empedu dan duodenum, dapat berupa malformasi, malfungsi ataupun proses inflamasi.

Gejala klinis sepsis, seperti adanya demam, akan menyebabkan takikardi dan hipertrofi otot ventrikel kiri yang berakibat gangguan fungsi sistolik. Kesemuanya berdampak menjadi sindroma penurunan curah jantung yang akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke sistemik, termasuk aorta abdominalis beserta percabangannya, secara khusus terjadi penurunan aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika yang berakibat iskemia organ saluran pencernaan dan berdampak terjadinya gangguan motilitas usus, penurunan fungsi peristaltik, gangguan metabolisme enzim pencernaan serta keterlambatan waktu pengosongan lambung yang bermanifestasi sebagai adanya peningkatan residu lambung (Corpeleijn, 2008). Traktus gastrointestinal merupakan organ yang rentan terkena efek sistemik. Pemenuhan aliran darah dan tekanan perfusi yang adekuat merupakan langkah penting untuk memperbaiki kekurangan ini. Obat-obatan inotropik dengan efek dilatasi telah diketahui dapat meningkatkan perfusi splanknik dan oksigenasi. (Setiati, 2009).


(3)

Selain itu, pada studi yang dilakukan oleh Shimada dkk menyatakan bahwa pada Patent Ductus Arteriosus (PDA) meskipun terjadi peningkatan output dari ventrikel kiri namun berdampak penurunan aliran darah yang menuju ke aorta abdominalis, arteri coeliaca, mesenterika dan renalis (Shimada, 1994; Myung, 2008).

Analisis terhadap prematuritas dan berat badan lahir rendah sebagai perancu terjadinya manifestasi residu lambung pada neonatus berisiko sepsis menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan sebagai faktor risiko dengan terjadinya residu lambung, meskipun tidak bermakna secara statistik, namun tetap sangat penting untuk dijadikan pertimbangan. Pada sebagian besar subyek yang mengalami residu lambung didapatkan PJB, yang diketahui juga dapat menyebabkan manifestasi residu lambung, namun hubungan keduanya tidak bermakna secara statistik.

C. Keterbatasan penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain jumlah sampel yang sedikit menyebabkan cakupan interval kepercayaan (confidence interval) terlalu lebar sehingga menurunkan presisi. Adanya penyakit jantung bawaan (PJB) pada subyek penelitian pada awalnya akan dieksklusi untuk memperoleh sampel yang representatif untuk sepsis, namun karena sulitnya perolehan sampel, maka PJB tetap kami sertakan sebagai subyek penelitian, namun dianalisis tersendiri, tanpa memandang apakah jenis PJB tersebut, sianotik ataukah asianotik.


(4)

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak bisa memastikan hubungan sebab akibat / causal antara kejadian residu lambung dengan gangguan fungsi jantung oleh karena penelitian ini dilakukan secara potong lintang/crosss sectional.


(5)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kejadian residu lanbung dengan gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis, sehingga residu lambung dapat digunakan sebagai penanda awal untuk kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis,

B. Implikasi Penelitian

1. Bagi bidang akademik

Residu lambung dapat menjadi salah satu gejala atau penanda untuk terjadinya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis. Sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dengan tepat untuk mendeteksi dini adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus dengan risiko sepsis.

2. Bagi Bidang Pelayanan Kedokteran Keluarga

Seorang dokter anak diharapkan mampu mengetahui tanda dan gejala dini gangguan fungsi jantung pada neonatus dengan risiko sepsis sedini mungkin, sebagai skrining awal dengan pemantauan adanya manifestasi residu lambung, sehingga mampu memberikan saran dan motivasi mengenai penyakit sepsis neonatus dengan segala komplikasinya, khususnya gangguan fungsi jantung, terutama terutama mengenai upaya diagnosis, tata laksana dan pencegahannya


(6)

supaya dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat disfungsi jantung pada sepsis neonatus berat.

C. Saran

Berdasarkan penelitian ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan residu lambung pada neonatus berisiko sepsis yang dirawat di ruang intensif khusus untuk menilai toleransi minum dan kapasitas lambung neonatus dalam keadaan sepsis serta pelacakan gangguan fungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi dalam upaya diagnosis dan penatalaksanaan dini sepsis neonatus secara cermat dan tepat.