Pengujian Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit(Elaeis guineensis Jacq.) Sebagai Obat Luka Bakar

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Habitat

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Afrika Barat (Fauzi, dkk., 2002). Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea Savanna Afrika Barat yang kering. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah di luar habitat aslinya, yaitu 16o lintang utara hingga 15o lintang selatan. Penyebarannya di Indonesia meliputi daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).

2.1.2 Morfologi

Ciri-ciri morfologi tumbuhan kelapa sawit yaitu merupakan pohon yang tingginya dapat mencapai 24 meter, mempunyai akar serabut yang mengarah kebawah dan kesamping. Selain itu terdapat beberapa akar yang tumbuh mengarah kesamping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Daunnya tersusun majemuk menyirip, bewarna hijau tua dan pelepah bewarna sedikit lebih muda. Batang

tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun dan kemudian pelepah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa

(Sastrosayono, 2008).


(2)

Nama lain dari tumbuhan kelapa sawit adalah afrikaanse oliepalm (Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak minyak (Sunda) dan kelapa sawit (Jawa) (Heyne, 1987).

2.1.4 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledona

Ordo : Arecales

Famili : Aracaceae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Nama lokal : Kelapa sawit

2.1.5 Kandungan kimia

Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan, dkk., 2010).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Semua bagian tumbuhan ini memiliki manfaat, daging buahnya dapat digunakan untuk mengobati infeksi kulit, minyak dari buah dan bijinya digunakan


(3)

untuk memasak, membuat sabun, krim, dan kosmetik lainnya. Kayunya sebagai bahan bangunan rumah, getah digunakan sebagai bahan pencahar (Chong et, all., 2008). Akar digunakan untuk mengobati sakit kepala, bubuk akar ditambahkan ke minuman sebagai obat untuk gonore dan menorrhagia dan bronchitis (Sreenivasan et, all., 2010). Daunn ya merupakan obat tradisional untuk kanker, sakit kepala dan rematik. Ekstrak daun dan jus dari tangkai daun muda dapat mengobati luka (Balick, 1996). Hasil penelitian Sashidaran et all (2008), menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kelapa sawit dapat menyembuhkan luka yang terinfeksi.

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut maka perlu diserbuk sampai halus (Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:

1. Maserasi

Maserasi berasa dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah

hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni,


(4)

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995).

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau

dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam (Ditjen POM, 2000).

2.3 Gel

Gel merupakan sistem semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Ditjen POM, 1995). Sediaan gel memilik sifat yang lunak, lembut, mudah dioleskan, serta tidak meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit (Mammone dan Gan, 2002). Pembuatan gel dilakukan dengan proses peleburan atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman., dkk, 1994).

Massa gel yang terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, digolongkan sebagai sistem dua fase, sedangkan massa gel yang terdiri dari makromolekul


(5)

organik yang tersebar merata dalam suatu cairan hingga tidak terlihat ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan digolongkan sebagai sistem fase tunggal (Ditjen POM, 1995). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintesis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa,

karboksimetilselulosa, dan karbopol (Aulton, 2007).

Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik.

1. Dasar gel hidrofobik

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambhakan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989: Aulton, 2007).

2. Dasar gel hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989: Aulton, 2007). Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet (Voigt, 1995).


(6)

Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1995) adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit

2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat pada kulit

3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik

5. Pelepasan obatnya baik

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Upaya stabilisasi dari segi mikrobial disamping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok untuk pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan (Voigt, 1995: Aulton, 2007).

2.3.1 Hidroksi propil metil selulosa (HPMC)

Hidroksi propil metil selulosa adalah turunan selulosa eter semisintetik yang telah digunakan secara luas sebagai polimer hidrofilik dalam sistem pemberian obat oral dan topikal (Rogers, 2009). HPMC memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol atau aseton, mudah larut dalam air panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC sebagai pengemulsi, pensuspensi dan sebagai penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan dalam


(7)

aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya (Rowe., dkk, 2005: Reynold, 1989). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC

2.3.2 Propilen glikol

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak bewarna, tidak berbau, rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan minyak lemak (Departemen Kesehatan, 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental dan non parental. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid dan banyak anastetik lokal (Rowe., dkk, 2005: Reynold, 1989). Rumus bangun propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(8)

Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol

2.3.3 Metil paraben

Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur kecil, tidak bewarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau berbau khas lemah dan mempunyai sedikit rasa terbakar (Ditjen POM , 1995).

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002). Rumus bangun metil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Rumus bangun metil paraben

2.3.4 Propil paraben

Propil paraben merupakan serbuk putih atau hablur kecil tidak bewarna (Ditjen POM, 1995). Bentuknya kristalin putih, tidak berbau, dan tidak berasa serta berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,06 %. Propil paraben efektif sebagai


(9)

pengawet pada rentang pH 4-8. Peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air (Wade and Weller, 1994; Reynold, 1989). Rumus propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben

2.4 Kulit

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi tubuh dari lingkungan luar, kulit tidak bisa terpisah dari kehidupan manusia yang

merupakan organ esensial dan vital, kulit juga merupakan cermin kesehatan dari kehidupan seseorang. Keadaan kulit sangat kompleks, elastis, sensitif dan bervariasi dan dipengaruhi oleh iklim, umur, seks dan ras (Hetharia, 2009).

Kulit bekerja melindungi struktur-struktur di bawahnya, kulit juga

mencerminkan emosi dan stres yang kita alami, serta berdampak pada penghargaan orang lain terhadap kita. Selama hidup, kulit dapat terpotong, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi. Akan tetapi, kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih (Muttaqin dan Sari, 2011).

Fungsi-fungsi kulit sangat banyak bagi tubuh kita, beberapa fungsi kulit :


(10)

2. Melindungi dari masuknya zat-zat kimia beracun dari lingkungan dan

mikroorganisme

3. Fungsi-fungsi imunologis

4. Melindungi dari kerusakan akibat radiasi UV

5. Mengatur suhu tubuh

6. Sintesis vitamin D

7. Berperan penting dalam daya tarik seksual dan interaksi sosial ( Brown and

Burns, 2005).

Kulit terdiri dari atas tiga lapisan, yang masing-masing memiliki berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis dan subkutis (Muttaqin dan Sari, 2011).


(11)

2.4.1 Epidermis

Epidermis adalah bagian terluar dari kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinasi; jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah; dan sel-selnya sangat rapat. Bagian epidermis yang paling tebal dapat ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki (Sloane, 2004). Sel-sel epidermis terus-menerus mengalami mitosis, dan berganti dengan yang baru sekitar 30 hari. lapisan ini mengandung reseptor-reseptor sensorik sentuhan, suhu, getaran dan nyeri (Muttaqin dan Sari, 2011).

Lapisan epidermis merupakan epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan beberapa lapisan yang jelas terlihat. Jenis sel yang utama disebut keratinosit, yang merupakan hasil pembelahan sel pada lapisan epidermis yang paling dalam (stratum basale), tumbuh terus kearah permukaan kulit dan sewaktu bergerak ke atas

keratinosit mengalami proses yang disebut diferensiasi terminal untuk membentuk sel-sel lapisan permukaan atau stratum korneum (Brown and Burns, 2005).

Menurut (Sloane, 2004), lapisan epidermis terdiri dari 5 lapisan berikut:

1. Stratum basale, adalah lapisan tunggal sel-sel yang melekat pada jaringan ikat dari lapisan kulit dibawahnya (dermis). Pembelahan sel yang cepat berlangsung pada lapisan ini, dan sel baru didorong masuk ke lapisan berikutnya.

2. Stratum spinosum, adalah lapisan sel spina atau tanduk, disebut demikian karena sel-sel tersebut disatukan oleh tonjolan yang menyerupai spina. Spina adalah bagian penghubung intraseluler yang disebut desmosom.


(12)

3. Stratum granulosum, terdiri dari tiga atau lima lapisan atau barisan sel dengan granula-granula keratohialin yang merupakan prekursor pembentukan keratin. Keratin adalah protein keras dan resilien, anti air serta melindungi permukaan kulit yang terbuka.

4. stratum lusidum, adalah lapisan jernih dan tembus cahaya dari sel-sel gepeng tidak bernukleus yang mati atau hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel.

5. Stratum korneum, adalah lapisan epidermis teratas, terdiri dari 25 sampai 30 lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi dan semakin gepeng saat mendekati permukaan kulit.

2.4.2 Dermis

Dermis atau kutan merupakan lapisan kulit dibawah epidermis yang membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit (Muttaqin dan Sari, 2011). Lapisan ini jauh lebih tebal daripada epidermis dan terdiri dari lapisan elastis dan fibriosa padat (Hetharia, 2009).

Lapisan dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya membran dasar atau disebut dengan lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat, yaitu:

1. Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang dengan firoblas, sel mast, dan makrofag. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah, yang memberi nutrisi pada epidermis diatasnya.


(13)

2. Lapisan retikular terletak lebih dalam dari lapisan papilar, lapisan ini tersusun dari jaringan ikat reguler yang rapat, kolagen dan serat elastik (Sloane, 2004).

Pembuluh darah di dermis menyuplai makanan dan oksigen pada dermis dan epidermis, serta membuang produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol temperaturnya. Pada penurunan suhu tubuh, saraf-saraf simpatis ke pembuluh darah meningkatkan pelepasan norepinefrin. Pelepasan norepinefrin menyebabkan kontriksi pembuluh sehingga panas tubuh dapat dipertahankan. Apabila suhu tubuh terlalu tinggi, maka rangsangan simpatis terhadap pembuluh darah berkurang sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah sehingga panas tubuh akan dipindahkan ke lingkungan Muttaqin dan Sari, 2011).

2.4.3 Lapisan subkutis

Lapisan ini adalah kelanjutan dari dermis dan terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak yang disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan (Hetharia, 2009). Lapisan ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya Lapisan ini mengandung jumlah sel lemak yang beragam, tergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembulu darah dan ujung saraf (Sloane, 2004)

2.5 Luka Bakar

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik ataupun gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Salah satu jenis luka adalah luka bakar, yang merupakan suatu bentuk traumatis


(14)

dengan luka yang unik dan dapat menimbulkan jaringan mati yang menetap pada lokasi dalam jangka waktu lama. Penyebab dari luka bakar antara lain adalah api, benda-benda panas, air panas, minyak yang panas, udara yang panas, bahan kimia dan listrik (Hetharia, 2009).

Jenis umum sebagian besar luka bakar adalah luka bakar akibat panas. Jaringan lunak akan mengalami cedera bila terkena suhu diatas 46oC. Luasnya kerusakan bergantung pada suhu permukaan dan lama kontak. Cedera luka bakar dapat menyebabkan keadaan hipermetabolik dimanifestasikan dengan adanya demam, peningkatan laju metabolisme, peningkatan ventilasi, peningkatan curah jantung, peningkatan glukoneogenesis, serta meningkatkan katabolisme otot viseral dan rangka (Muttaqin dan Sari, 2011).

Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah

penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali jaringan.

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari

kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi homeostatis. Homeostatis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Pada fase ini terjadi reaksi inflamasi. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi dan disertai dengan vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan.


(15)

Tanda dan gejalan klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Firoblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka dipenuhi dengan sel radang, fibroplast dan kolagen yang membentuk

jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut dengan jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka, tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis, proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru terhenti setelah epitel saling menyentuh dan menatap seluruh permukaan luka, dengan tertutupnya luka maka proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.

Fase selanjutnya adalah fase penyudahan, pada fase ini terjadi proses

pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung lama bahkan sampai berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir jika semua tanda radang sudah hilang. Tubuh berusaha


(16)

diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar kulit (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis. Absorbsi perkutan didefenisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus lapisan stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman., dkk, 1994; Hunter 2003).

Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989; David, 2007).

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi

penurunan kadar gradien yang diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Daya dorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel.


(17)

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran (Martin, 1993: Rassner, 1995).

2.7 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka Bakar

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka bakar antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

2.7.1 Alkaloid

Alkaloid diduga memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Paju, dkk., 2013).

2.7.2 Flavonoid

Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Flavonoid dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995; Barku, dkk., 2013). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka

terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan adstringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai adstringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan


(18)

pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010). Menurut Masduki

(1996) menyatakan bahwa tanin bermanfaat sebagai antiseptik dan juga

menyembuhkan luka bakar dengan cara mempresipitasikan protein karena ada daya antibakterinya.

2.7.4 Saponin

Menurut Mackay dan Miller (2003), saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam penyembuhan luka, mampu menurunkan fibrosis pada luka sehingga mencegah pembentukan bekas luka. Menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan

mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

2.7.5 Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan adstringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).


(1)

2. Lapisan retikular terletak lebih dalam dari lapisan papilar, lapisan ini tersusun dari jaringan ikat reguler yang rapat, kolagen dan serat elastik (Sloane, 2004).

Pembuluh darah di dermis menyuplai makanan dan oksigen pada dermis dan epidermis, serta membuang produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol temperaturnya. Pada penurunan suhu tubuh, saraf-saraf simpatis ke pembuluh darah meningkatkan pelepasan norepinefrin. Pelepasan norepinefrin menyebabkan kontriksi pembuluh sehingga panas tubuh dapat dipertahankan. Apabila suhu tubuh terlalu tinggi, maka rangsangan simpatis terhadap pembuluh darah berkurang sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah sehingga panas tubuh akan dipindahkan ke lingkungan Muttaqin dan Sari, 2011).

2.4.3 Lapisan subkutis

Lapisan ini adalah kelanjutan dari dermis dan terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak yang disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan (Hetharia, 2009). Lapisan ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya Lapisan ini mengandung jumlah sel lemak yang beragam, tergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembulu darah dan ujung saraf (Sloane, 2004)

2.5 Luka Bakar

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik ataupun gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Salah satu jenis luka adalah luka bakar, yang merupakan suatu bentuk traumatis


(2)

dengan luka yang unik dan dapat menimbulkan jaringan mati yang menetap pada lokasi dalam jangka waktu lama. Penyebab dari luka bakar antara lain adalah api, benda-benda panas, air panas, minyak yang panas, udara yang panas, bahan kimia dan listrik (Hetharia, 2009).

Jenis umum sebagian besar luka bakar adalah luka bakar akibat panas. Jaringan lunak akan mengalami cedera bila terkena suhu diatas 46oC. Luasnya kerusakan bergantung pada suhu permukaan dan lama kontak. Cedera luka bakar dapat menyebabkan keadaan hipermetabolik dimanifestasikan dengan adanya demam, peningkatan laju metabolisme, peningkatan ventilasi, peningkatan curah jantung, peningkatan glukoneogenesis, serta meningkatkan katabolisme otot viseral dan rangka (Muttaqin dan Sari, 2011).

Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah

penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali jaringan.

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari

kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi homeostatis. Homeostatis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Pada fase ini terjadi reaksi inflamasi. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi dan disertai dengan vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan.


(3)

Tanda dan gejalan klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Firoblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka dipenuhi dengan sel radang, fibroplast dan kolagen yang membentuk

jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut dengan jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka, tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis, proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru terhenti setelah epitel saling menyentuh dan menatap seluruh permukaan luka, dengan tertutupnya luka maka proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.

Fase selanjutnya adalah fase penyudahan, pada fase ini terjadi proses

pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung lama bahkan sampai berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir jika semua tanda radang sudah hilang. Tubuh berusaha


(4)

diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar kulit (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis. Absorbsi perkutan didefenisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus lapisan stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman., dkk, 1994; Hunter 2003).

Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989; David, 2007).

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi

penurunan kadar gradien yang diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Daya dorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel.


(5)

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran (Martin, 1993: Rassner, 1995).

2.7 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka Bakar

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka bakar antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

2.7.1 Alkaloid

Alkaloid diduga memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Paju, dkk., 2013).

2.7.2 Flavonoid

Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Flavonoid dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995; Barku, dkk., 2013). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka

terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan adstringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai adstringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan


(6)

pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010). Menurut Masduki

(1996) menyatakan bahwa tanin bermanfaat sebagai antiseptik dan juga

menyembuhkan luka bakar dengan cara mempresipitasikan protein karena ada daya antibakterinya.

2.7.4 Saponin

Menurut Mackay dan Miller (2003), saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam penyembuhan luka, mampu menurunkan fibrosis pada luka sehingga mencegah pembentukan bekas luka. Menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan

mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

2.7.5 Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan adstringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).