BAB II PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT BANK A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

BAB II PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT BANK

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit (credit / loan agreement) merupakan salah satu perjanjian yang dilakukan antara bank dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah nasabahnya. Di Indonesia perjanjian kredit sebenarnya dapat dipersamakan dengan perjanjian hutang piutang. Perbedaannya istilah perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank sebagai kreditur, sedangkan perjanjian hutang piutang umumnya dipakai oleh masyarakat dan tidak terkait dengan bank. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank menyebutkan bahwa, “kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam meminjam antara bank sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Perjanjian kredit dapat juga ditinjau dari subjek hukumnya yaitu sisi kreditur maupun debitur. Dari sisi kreditur perjanjian kredit dapat dilakukan antara dua kreditur dengan satu debitur, yang disebut dengan kredit indikasi. Dari sisi debtiur subjek hukumnya dapat berstatus hukum (korporasi) maupun perorangan. Semua

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa di dalam suatu perjanjian kredit hubungan hukum para pihak berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang termuat di dalam BAB XIII KUH Perdata mengenai pinjam meminjam. Pasal 1759 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Dalam perjanjian kredit, kreditur tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian”. Pasal 1763 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Debitur yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan”.

Di dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata disebutkan bahwa, “Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dalam suatu nama khusus, harus tunduk pada peraturan – peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUH Perdata tentang Hukum Perikatan”.

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam berbagai ketentuan peraturan yang berupa surat edaran, antara lain:

1. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. Dalam ketentuan itu tidak ditemukan pengertian perjanjian kredit. Namun,

dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit menurut Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank adalah :

1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur;

3. Adanya kewajiban debitur. Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya;

2. Membayar bunga; dan

3. Biaya-biaya lainnya.

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai

alat bukti, termasuk perjanjian kredit. 26 Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat

(11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang bank. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan

26 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 75

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan- keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam pelaksanan bank ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah

diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. 27 Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus

menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit

27 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.ke-II, Pembimbing Masa, Jakarta, 2010, hal 50 .

(posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak

mungkin, atas dasar pelayanan,masih dalam bentuk blangko/kosong. 28 Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat

berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan bank, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris)

28 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung , 2008, hal 17

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam pelaksanaan semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya.

Sebaliknya, jika tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa

tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. 29 Dalam pelaksanaan bank terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu :

“adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”. Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pada akita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam pelaksanaan, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit.

Di dalam pelaksanaan bank, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau pencairan kredit. Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya. Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan

29 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2012, hal 60.

perjanjian kredit, sedang pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum

menerima kreditnya. 30 Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang

mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata. Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib

30 J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1999, hal. 84.

dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause ).

2. Subrograsi (subrogatie) Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.

3. Pembaharuan utang (novasi) Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia bank adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia bank adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini

Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu :

1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;

2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur

3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian baru yang diadakan;

4. perjumpaan utang (kompensasi) Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.

Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara

Secara umum pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia oleh Bank dasar hukumnya sama dengan perjanjian kredit dengan jaminan lainnya, hanya dalam hal pengikatan jaminan saja yang berbeda dimana pemberian kredit dengan jaminan fidusia harus melewati beberapa tahap antara lain :

1. Tahap permohonan kredit dari calon nasabah. Dalam hasil penelitian, calon penerima kredit yang megajukan permohonan datang ke bank untuk memperoleh informasi mengenai persyaratan dalam pemberian kredit yang bersangkutan. Kemudian calon nasabah akan mengajukan permohonan secara tertulis untuk memperoleh kredit dengan mempersiapkan dan melampirkan data serta informasi dokumen atau syarat-syarat lain yang diperlukan oleh bank. Bank harus memastikan kebenaran data dan informasi yang disampaikan dalam permohonan kredit.

2. Tahap penilian dan pemeriksaan. Setelah calon nasabah mengajukan permohonan maka langkah berikutnya adalah proses identifikasi calon nasabah, meliputi:

a. Interview. Dalam prakteknya, hal ini pihak bank sebagai pemberi kredit (kreditur) melakukan interview atau wawancara terhadap calon nasabah mengenai identitasnya, a. Interview. Dalam prakteknya, hal ini pihak bank sebagai pemberi kredit (kreditur) melakukan interview atau wawancara terhadap calon nasabah mengenai identitasnya,

b. Studi kelayakan. Dari hasil penelitian, bank didalam memberikan kredit kepada calon nasabah meninjau terlebih dahulu mengenai usaha yang akan dilakukan oleh calon nasabah tersebut. Jadi, bank dapat memperkirakan apakah calon nasabah tersebut dapat memperoleh pinjaman uang dalam melakukan usahanya.

c. Penilaian jaminan yang dilakukan pada saat nasabah mengajukan permohonan kredit dengan ketentuan sebagai berikut :

1) Penilaian oleh juru taksir.

2) Pedoman penilaian terhadap benda-benda bergerak seperti :

a) Kendaraan, pedoman penilaiannya adalah dari segi hukum, status, harga pasar, dalam kendaraan baru atau bekas, penyusutan berdasarkan tahun dari pembuatan, kondisi terpelihara atau tidak.

b) Mesin, pedoman penilaiannya adalah harga pembelian keadaan baru, penyusutan dengan tahun pembuatan, kondisi terpeliharanya.

d. Penilaian dokumen-dokumen yang berkaitan dengan usaha, maksudnya semua dokumen jaminan yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh nasabah agar diteliti status, kelengkapan dan keasliannya.

3. Tahap analisis kredit.

Dari semua data dan informasi yang telah diperoleh dalam tahapan-tahapan sebelumnya, bank melakukan analisis dari berbagai aspek, keuangan, agunan, sosial ekonomi, dampak lingkungan dan resiko kredit.

4. Tahap keputusan kredit. Pejabat yang berwenang atau yang diberi wewenang akan memutuskan atau menolak permohonan yang diajukan. Jika permohonan itu ditolak maka disertai dengan alasanalasan penolakannya. Jika permohonan tersebut dikabulkan maka diputuskan antara lain berapa besar kredit yang diberikan, berapa besar suku bunganya, berapa lama jangka waktu kreditnya, bagaimana sistem pembayaran bunga dan pokok yang menjadi kewajiban debitur nantinya.

5. Tahap pemberitahuan. Proses pemberitahuan adalah proses penentuan kepada perusahaan kredit kepada nasabah harus diketahui secara resmi, apakah ditolak / disetujui serta dibuatkan suratnya dengan jangka waktu yang ditentukan.

6. Tahap pencairan kredit. Sebelum melakukan proses pencairan, harus dilakukan pemeriksaan kembali semua kelengkapan yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip sebagai berikut :

a) Bank hanya menyetujui pencairan kredit apabila seluruh syarat-syarat yang ditetapkan dalam persetujuan dan pencairan kredit telah dipenuhi oleh pemohon kredit.

b) Sebelum pencairan kredit dilakukan bank harus memastikan bahwa seluruh aspek yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

7. Tahap pengawasan / Monitoring. Setelah melalui beberapa tahap diatas, maka terhadap kredit yang akan dicairkan akan dilakukan pengawasan terhadap penggunaan dana, apakah dana tersebut digunakan tepat pada sasaran atau tidak.

8. Tahap pelaksanaan dan administrasi kredit. Apabila calon penerima kredit menerima semua syarat-syarat yang tercantum dalam keputusan kredit maka ia harus menandatangani tanda persetujuan kredit dalam suatu perjaanjian yang disebut dengan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan serta formulir-formulir perjanjian lainnya. Tahap perjanjian kredit ini dibuat secara dibawah tangan atau dengan akta notaris. Sebelum menandatangani perjanjian kredit maka debitur terlebih dahulu menandatangani akta perjanjian pengakuan hutang yang dibuat oleh pihak selaku kreditur dan setelah itu dilaksanakan penandatanganan perjanjian kredit antara pihak bank dengan debitur pemberi jaminan fidusia.

B. Pengertian Umum Tentang Fidusia Sebagai Lembaga Jaminan Benda Bergerak di dalam Perjanjian Kredit Bank

Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama dikenal dalam bahasa

Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia. Undang- Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom Overdracht , sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut

dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership. 31 Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam pelaksanaan untuk

menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan dalam pelaksanaan tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam pelaksanaan dan diakui oleh yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia.

Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum Posessorium " (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain :

a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk

b. adanya titel untuk suatu peralihan hak

31 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 3.

c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda

d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk

hutang piutang. 32 Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :

1. Sebagai agunan

32 Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012, hal. 27.

Sebagai agunan dari debitur kepada kreditur dalam pelaksanaan perjanjian jaminan kredit.

2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu

Agar debitur memiliki tanggung jawab dalam pelunasan utang-utangnya kepada kreditur dan apabila debitur wanprestasi maka jaminan tersebut pengganti pelunasan utang debitur.

3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. Hal demikian

dinamakan hak preferen. 33 Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda

bergerak, namun dalam pelaksanaan untuk benda-benda tidak bergerak juga digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan benda tidak bergerak menjadi kabur karena dalam UUPA tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42

33 R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2010, hal.25.

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.

Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan

hutang. 34 Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum

mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun atau dibuat ketentuan tersendiri yaneg mengatur tentang jaminan fidusia tersebut terhadap permasalahan hokum jaminan fidusia para ahli hukum sepakat bahwa karena perkembangan perekonomian yang begitu pesat dan banyaknya terjadi pemberian agunan dalam bentuk benda bergerak terhadap bank selaku kreditur oleh debitur dalam mengajukan permohonan kredit / pinjaman kepada bank untuk keperluan dunia usaha pada umumnya maka dibutuhkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang jaminan fidusia. Oleh karena itu pada tahun 1999 terbitlah

34 Parlindungan A.P, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 200.

Undang-Undang Jaminan Fidusia yang termuat dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Dengan terbitnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut, maka setiap perbuatan hukum untuk menjaminkan suatu benda bergerak dalam suatu perjanjian kredit bank maka perbuatan hukum tersebut tunduk kepada ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut.

Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara. Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua Undang-Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang menyangkut lembaga jaminan fidusia.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di

Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bila dilihat dari segi perkembangan penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat. Kehadiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang jaminan fidusia memberikan kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang tentang jaminan fidusia tersebut sangat

lama ditunggu masyarakat bank bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk mendapatkan dana dari bank dengan jaminan benda bergerak yang masih dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan

debitur) dalam menyediakan pendanaan dengan jaminan fidusia. 35

35 Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 2004, hal. 62.

Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal, yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum Undang-Undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang-Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai

penghias yuridis dalam kehidupan manusia. 36 Chaidir Ali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum adalah

manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dapat pula dikatakan bahwa subyek hukum adalah pendukung atau pembawa hak dan kewajiban artinya subyek hukum itu

mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum yang dilakukan. 37 Jadi pendukung atau pembawa hak dan kewajiban adalah manusia atau orang. Subyek

hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian atau akta jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia, ada pihak yang

36 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, 2004, hal. 117-118 37 Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, 2010, hal. 12 36 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, 2004, hal. 117-118 37 Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, 2010, hal. 12

Black's Law Dictionary menyatakan: “Creditor is a person to whom a debt is owning by another person who is the “debtor”…………”. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan : “Kreditur adalah yang berpiutang, yang memberikan kredit, penagih”.Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Bank secara implisit menyatakan bahwa kreditur yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor

10 Tahun 1998 adalah bank. Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Bank menyatakan : ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Pengertian debitur juga terdapat dalam Black's Law Dictionary yang menyatakan: “Debtor is one who owes a debt to another who is called the creditor; one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone liable on aclaim, whether due or to become due”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan : ”Debitur adalah orang atau lembaga yang berutang kepada orang atau lembaga lain”. 38

38 Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 1.

Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/ bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia, maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari nilai objek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui pelelangan umum.

Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan

Perkembangan ini sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dimana orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bias dijaminkan dengan hak tanggungan seperti hak sewa, hak pakai atau hak menumpang, dapat diatasi dengan jaminan fidusia, Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi lebih jelas, yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 1 ayat

4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.

2. Dapat atas benda berwujud.

3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.

4. Benda bergerak

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.

6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperolehkemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda

9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.

10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.

11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia

12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia. Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik jika

terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan

2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting charges

3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan Dalam hukum Anglo Saxon, terhadap pembebanan fidusia yang berobjekan benda persediaan ini, dikenal dengan nama Floating Lien atau Floting Charges. Disebut ’floating’ (mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi objek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Fidusia Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir

Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajibanpara pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.

Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia atau kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek

Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan.

Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihaklain, maka dengan sifat don’t de suite , jika debitur cidera janji kreditur sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan (obyek fidusia) itu.

c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

Contoh Bank Negara Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru Contoh Bank Negara Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru

d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.

2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh 2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh

3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya- biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.

e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin

Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur. Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadiobyek

jaminan fidusia yang sudah terdaftar. 39 Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat Hak

Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun secara bilateral atau masing- masing kreditur.

f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

39 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, 2008, Jakarta, hal.78.

Fidusia yang mengatur apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi.

g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia.

Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhati- hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.