Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Kara

  

KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG

DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA

2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang

  Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan, atau karena salah berbicara.

  Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan atau penebusan.

  Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi (malu khusus). Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu kouchi dan konsep malu shichi.

  Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang, rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat

  

gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat

naimenteki .

  Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang (Ruth Benedict, 1989:233).

  Ruth Benedict (1989:105) juga menjelaskan bahwa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin.

  Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:125), yang isinya antara lain:

  I. On : kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang menerima on ; seseorang mengenakan on. Artinya : on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif.

  oya on : on yang diterima dari orang tua. nushi no on : on yang diterima dari majikan atau tuan. shi no on : on yang diterima dari guru.

  II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang

  • –on nya. Artinya : ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara aktif. Ada dua jenis pemenuhan on :

  A. : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban Gimu ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya.

  chu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara. ko : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang.

nimmu : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang

  B. : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat Giri sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu pembayarannya.

1. Giri terhadap dunia.

  Kewajiban terhadap tuan pelindung.

  • Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.
  • Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on
  • yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja).

  Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakna pria dan wanita) walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama.

2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre .

  • penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam.

  Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari

  • kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya.

  Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui

  • Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

  Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun

  Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari orang lain.

  Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.

  Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu.

  Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik, perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya.

  Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun.

1. Shikou no Kuichigai

  Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no

Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang

  bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri orang yang bersangkutan.

  Max Scheler dalam Raphaela Dwianto (1991:16-17) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

  Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu (dalam kasus pragawati atau pasien). Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka akan sama halnya (dalam kasus sepasang kekasih).

  Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi

  

partikular . Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain

  akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus.

  Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya dalam eksistensi partikular.

  Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di dalam diri orang tersebut. malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu.

  Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi.

2. Yuretsu Kijun Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi.

  Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

  Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior.

  Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut:

  Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas (misalnya kelas, etnis). Kemudian bila standar ini berbeda dari standar kelompok, maka standar kelompok disadari sebagai suatu standar diri pribadi. menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya

  

yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang,

yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut.

  Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu

  

kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal

  inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut.

  Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat, menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain.

2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang

2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga

  Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang tekun, ulet, disiplin dan berdedikasi tinggi. Karakteristik bangsa Jepang ini tidak diperoleh secara instan, melainkan melalui proses pengajaran yang turun temurun dari orang tua ke anak tempat pendidikan awal bagi anak sebelum memasuki masyarakat yang lebih luas.

  Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang peranan nya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terutama dijumpai pada peranannya untuk melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1992:40) bahwa pola perilaku yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya dipelajari dari keluarga.

  Keluarga juga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar mengenal lingkungan di sekitarnya. Selain itu, keluarga juga menekankan nilai- nilai dan pendidikan moral dengan maksud agar anak tersebut dapat bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:280) bahwa pembelajaran budaya malu dimulai dari sikap sopan dalam hal duduk melipat kaki, adab membungkuk, adab anak perempuan dalam hal tidur, adab sopan di meja makan, dan adab memegang sumpit, bahkan juga adab bertindak dalam pengetahuan pertamanya dalam ilmu seksologi.

  Pada umumnya, seorang individu akan berusaha semampunya untuk meraih prestasi maksimal pada masa remaja. Karena, ketika seorang individu tersebut berada pada tahap pendidikan sekolah dasar, ia telah diajarkan mengenai kompetisi dalam belajar dan nilai-nilai religius. Dan akan timbul rasa malu bagi menyebabkan prestasinya kurang memuaskan. Sehingga ketika ia sudah dewasa, apabila cita-cita yang ia harapkan tidak tercapai, akan timbul rasa malu di dalam diri individu tersebut.

  Menurut Ruth Benedict (1989:225), kaitan keluarga dengan budaya malu ialah, keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya.

  Seperti pengenalan displin waktu belajar dan bermain, penanaman prinsip bahwa seorang anak akan malu akibat menangis, dan pemahaman konsep yang mengajarkan bahwa anak laki-laki lebih berkuasa dari anak perempuan.

  Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga. Selain itu Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:35) juga menyebutkan bahwa kedudukan keluarga dalam masyarakat sangat lemah. Pada umumnya, ketika salah seorang anggota keluarga diadili oleh masyarakat, keluarga tidak akan melindungi anggotanya tersebut bahkan ikut mengadilinya. Hal ini terjadi akibat keluarga merasa anggota tersebut pantas untuk menerima hukuman, karena dianggap telah membuat malu keluarganya di mata masyarakat.

  Dari sini dapat kita lihat bahwa keluarga tidak dapat menolak penilaian masyarakat dan tunduk pada tuntutan masyarakat. Dan jelas bahwa kedudukan keluarga adalah lemah diantara masyarakat. Hal ini membawa pengaruh

  gaimenteki , berupa standarisasi penilaian pihak lain.

  Sifat gaimenteki ini akan menimbulkan perasaan di dalam diri anggota keluarga bahwa dirinya tidak memiliki arti penting dan muncul rasa kesepian. Dan pada situasi seperti ini biasanya akan mudah timbul kesalah pahaman akibat terlalu pekanya perasaan individu tersebut terhadap perhatian dari orang lain yaitu yang disebut dengan shikou no kuichigai dan juga akan berlanjut kearah sifat yuretsu kijun di dalam dirinya.

2.2.2. Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat

  Pada masyarakat Jepang, proses sosialisasi dirasakan sangat penting karena dalam sudut pandang kemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk menjaga agar masyarakat terus memiliki anggota yang berkualifikasi (Lebra, 1976;137). Berkualifikasi maksudnya adalah mengerti dan mampu menjalankan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakatnya untuk kemudian menjadikannya sebagai identitas diri atau karakter.

  Masyarakat luas dalam bahasa Jepang diartikan sebagai taishu shakai. Tadashi Fukutake (1988:116) mendefenisikan taishu shakai sebagai berikut :

  Taishu shakai mengacu kepada masyarakat yang beranggotakan sejumlah besar individu. Individu-individu di dalam masyarakat tersebut saling terpisah, tidak membentuk organisasi yang satu dan menyeluruh secara erat. Tidak terdapat ikatan erat antar individu. Tiadanya hubungan erat ini menyebabkan rasa kesepian dan rasa tidak aman di dalam diri individu.

  Masyarakat taishu shakai muncul di Jepang sekitar tahun 1920-an, tepatnya setelah Perang Dunia I berakhir menjelang timbulnya fasisme Jepang.

  Dan masyarakat taishu shakai ini semakin berkembang pesat setelah Perang dan terus berlangsung hingga saat ini.

  Masyarakat taishu shakai merupakan masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional yang erat antar individu. Hubungan yang sering terjadi di antara individu hanya hubungan formal yang tidak akrab. Di dalam masyarakat taishu

  

shakai juga tidak terdapat satu tradisi atau adat istiadat yang yang sama (Soerjono

  Soekanto, 1985:26). Hal inilah yang merupakan penyebab tidak dapat terjalinnya hubungan erat antar individu.

  Seperti pendapat Tadashi Fukutake tersebut diatas, individu dalam masyarakat taishu shakai tidak saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain.

  Tidak adanya ikatan erat ini menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap pandangan individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Adanya pandangan atau perhatian dari orang lain, akan menyebabkan seseorang menempatkan dirinya pada eksistensi universal atau partikular yang menimbulkan munculnya shiko no

  kuichigai dan berakhir dengan timbulnya gejala malu.

  Dalam masyarakat taishu shakai terdapat suatu sistem sosial masyarakat yang mutlak, yaitu seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut.

  Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no

  

kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di

dalam diri individu tersebut.

  Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif.

1. Fungsi Aktif

  Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif yang dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang individu untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan peran nya di dalam masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1990:264) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat, setiap anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status dan peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat.

  Dilihat dari defenisi nya, status dan peran hampir memiliki pengertian yang sama. Yaitu posisi atau kedudukan seseorang di mata masyarakat. Namun jika kita mengamatinya lebih dalam, status dan peran memiliki pengertian spesifik yang berbeda. Status merupakan kedudukan seorang individu di dalam masyarakatnya. Contohnya, status sebagai walikota, status sebagai bupati, status sebagai guru dan sebagainya. Sedangkan peran merupakan pola tindakan seorang individu dalam berinteraksi dan lebih tepatnya membantu masyarakat di sekitarnya. Sebagai contohnya dapat kita lihat seorang polisi. Seorang polisi pada hakekatnya merupakan seseorang yang berperan besar dalam menolong dan melindungi masyarakat. Seorang polisi diharapkan dapat menolong masyarakat dengan statusnya sebagai seorang polisi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Soerjono Soekanto (1985:37) bahwa status adalah posisi seseorang di dalam suatu sistem sosial masyarakat, sedangkan peran adalah pola perilaku yang berhubungan dengan dengan status orang tersebut.

  Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka akan selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal menjalankan perannya sebagaimana yang telah dituntut oleh masyarakatnya.

  Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan diatas. Maka, fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

  Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya, seorang guru akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal kepada orang- orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang disekitarnya tersebut akan sangat menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk dipanuti.

  Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang akan menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat.

  Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu juga dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan akhirnya akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan diri.

  Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki fungsi pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991:55). Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.

2.3.1. Peran Wanita Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

  Jepang semasa Perang Dunia II memiliki sesuatu yang kompleks dalam kemajuan industrinya, yaitu kemajuan industri berjalan seiring dengan dipertahankannya apa yang disebut-sebut sebagai tradisi khas. Hal ini berarti bahwa meskipun jepang berhasil mengadopsi kemajuan industri barat, tetapi tidak segala-galanya pikiran barat dipakai. Jepang tetap feodal,otoriter dan fasis. Tetapi sejalan dengan itu, industri Jepang terus merangsak maju dan persenjataan modern juga dimiliki, sehingga dimata dunia Jepang telah menjadi kekuatan baru yang patut diperhitungkan.

  Negeri Jepang yang pada satu sisi berhadapan dengan Sekutu, dan pada sisi yang lain dihantam oleh kontradiksi tajam di lingkungan internalnya terutama oleh kekuatan industri dan konservatisme feodal, pada dasarnya telah menampakkan corak rejim fasis yang vulgar. Franz Magnis (1995:27) mengatakan bahwa kekuasaan militer yang mutlak, cara memerintah yang totaliter dan genangan ideologi nasionalisme yang kental, merupakan sejumlah bukti dari fasisme Jepang. Realitas perwatakan Jepang yang demikian merupakan ancaman yang paling nyata bagi rakyat jajahannya. Tragedi kehidupan yang menimpa rakyat tersebut pada dasarnya mengenai siapa saja, tua-muda, laki-laki atau perempuan, tentu saja dengan skala dan bentuk yang berbeda-beda.

  Segi yang menimbulkan ironi adalah bahwa apa yang secara faktual berlangsung, dalam kenyataannya tidak semua dapat hadir berimbang dalam fakta sejarah. Apa yang cenderung hadir adalah adanya bias gender yang menyebabkan tempat bagi kaum laki-laki lebih besar daripada kaum perempuan. Kehadiran tampaknya seiring dengan pandangan yang sangat umum yang melihat bahwa dunia perang dan perjuangan adalah wilayahnya kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanyalah penjaga rumah atau pengasuh anak-anaknya.

  Setiap perang senantiasa berisi heroisme, kekuatan, kejantanan, dan semua atribut yang dikonstruksikan sebagai sifat laki-laki. Artinya, perang merupakan bagian atau dunia untuk kaum laki-laki, dan perempuan hanya menjadi pelengkap atau pendukung yang bisa aktif maupun pasif. Keterlibatan kaum perempuan dalam perang, lebih merupakan suatu keterlibatan yang ‘dijatahkan’, ketimbang suatu keterlibatan yang memang harus dipikulnya.

  ‘Penjatahan’ tersebut merupakan gambaran hidup bagi perempuan sebagai kaum ‘rendahan’, yaitu mereka yang mengisi lapisan bawah struktur. Fakta sejarah menggoreskan bahwa kaum perempuan dikerahkan untuk kepentingan dua hal. Yang pertama, diperbantukan bagi keperluan organ-organ resmi Jepang, dan diperas tenaganya dalam pekerjaan-pekerjaan massal, maupun pekerjaan yang lazim dikatakan sebagai pekerjaan perempuan, seperti menjadi pembantu rumah tangga, bekerja sebagai pelayan, dan lain-lain.

  Yang kedua, untuk keperluan biologis balatentara jepang yaitu sebagai ‘wanita penghibur’. Hal tersebut, pada dasarnya adalah suatu pengerahan kaum perempuan, yang diproyeksikan sebagai pemuas nafsu seks orang jepang yang ada di negara jajahan nya pada masa pendudukan tersebut, baik kalangan militer maupun sipil. Apa yang di hadirkan oleh pemerintahan pendudukan tersebut tidak lain dari suatu praktek prostitusi, yang dikelola secara gelap. dalam posisi yang paling tidak beruntung, dan merupakan suatu tindakan yang menjadi dalih lahirnya praktek Jugun Ianfu.

  Jugun Ianfu

  atau ‘wanita penghibur’ adalah sebuah konsep yang belakangan ini berkembang, yang menunjuk kepada setiap wanita yang dinyatakan sebagai korban nafsu tentara Jepang selama masa pendudukan di daerah-daerah jajahannya.

2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu

  Jugun Ianfu adalah sebutan atau istilah untuk perempuan-perempuan Asia

  yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukannya semasa Perang Dunia II untuk dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang .

  Sebenarnya hingga sekarang ini belum ada suatu kesepakatan bulat atas konsep Jugun Ianfu ini. Menurut Hartono dan Juliantoro (1997:81-82), setidaknya ada dua pendapat mengenai Jugun Ianfu ini. Satu pendapat menyatakan bahwa

  

Jugun Ianfu adalah pelacur pada masa pendukan Jepang. Pelacur disini bermakna

  sebagai kaum perempuan yang memiliki profesi sebagai pekerja seks, tetapi dalam hal ini melakukan secara khusus kepada orang-orang Jepang selama masa pendudukan di negeri jajahannya tersebut.

  Pada dasarnya penjajah memang bertujuan untuk meraih keuntungan dari negara yang dijajah. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada masa jajahannya. Mereka mengeruk segala hasil bumi bahkan memanfaatkan Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam bagi negara-negara bekas jajahan Jepang.

  Sebagian besar masyarakat yang mengetahui adanya keterlibatan perempuan, khususnya mereka yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah bordil (khusus Jepang), tidak melihat bahwa keberadaan Jugun Ianfu sebagai akibat dari sebuah sistem penjajahan. Dalam hal ini mayarakat tidak percaya bahwa praktek yang dilakukan oleh para perempuan tersebut merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak dikehendaki, suatu tindakan paksa yang tidak bisa ditolak.

  Terlebih lagi posisi sosial,ekonomi dan politik mereka sangat lemah.

  Pendapat lain mengatakan bahwa Jugun Ianfu adalah keseluruhan perempuan yang menjadi korban nafsu seks bangsa Jepang (apakah itu bala tentara Jepang ataupun aparat sipil dari pemerintah Jepang tersebut). Pandangan ini sendiri, justru banyak berkembang di kalangan masyarakat Jepang sendiri, terutama mengacu kepada berbagai protes yang telah dilancarkan oleh kelompok masyarakat yang memberikan dukungan kepada eks Jugun Ianfu, khususnya dari Korea, Filipina, Singapura, Cina maupun Indonesia.

  Hadirnya konsep Jugun Ianfu ini, bukan saja berat bagi pihak yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, tetapi juga bagi mereka yang mengalami atau telah dipaksa menjadi Jugun Ianfu. Masalahnya tidak semata- mata pada penderitaan, kesakitan fisik dan mental, bukan hanya pada kekerasan, bukan hanya pada kekasaran kata, bukan hanya kemiskinan yang mereka alami ketika itu, tetapi lebih-lebih kepada masa depan. Dalam situasi di mana Jugun

  

Ianfu diidentikkan sebagai suatu pelacuran, dimana secara faktual mereka menjadi masalah adalah bahwa kejadian itu akan sangat sulit diterima oleh moral sosial. Membuka masa lalu dirasakan sama artinya dengan kembali kepada masa silam, yang dianggap hina dan tidak diterima oleh masyarakat.

  Mereka yang pada masa pendudukan Jepang menjadi Jugun Ianfu adalah perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan ada pula yang tidak berpendidikan.

  Faktor pendidikan ini, dalam banyak hal sangat berpengaruh kepada kemampuan mereka untuk mengakses pengetahuan dan juga kemauan mereka untuk mengakses informasi yang lebih luas. Oleh karena itu tampak behwa mereka adalah kaum perempuan yang bodoh, patuh atau bersedia dilakukan dengan semena-mena.

  Selain itu, kebanyakan dari para Jugun Ianfu adalah kaum perempuan dari desa, yang secara ekonomi dapat dikatakan berada di level bawah/ miskin (Hartono dan Juliantoro, 1997:89). Sebagian masih gadis, malah ada yang di bawah umur, ada pula yang sudah punya suami dan bahkan ada pula yang sudah punya anak. Dilihat dengan moral sosial, mereka dapat dikategorikan sebagai ‘perempuan baik-baik’, yang punya hubungan sosial yang baik dengan keluarga.

  Rekrutmen jugun ianfu biasanya dilakukan dengan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu, yang kebanyakan adalah aparat desa yang mempunyai akses langsung untuk suatu mobilisasi. Dari kedekatan hubungan dengan para calon

  

jugun ianfu , maka pihak pengumpul atau pencari dapat dibedakan dalam : pihak

  yang punya hubungan dekat, seperti teman, tetangga, kenalan atau orang yang sudah dikenal; dan orang atau pihak yang sama sekali tidak dikenal, biasanya orang Jepang langsung. relasi sosial yang ada dimanfaatkan untuk mempermudah proses pengerahan. Adanya pihak-pihak ini membuat proses rekrutmen berjalan cukup lancar, karena masing-masing unsur dari pihak pengumpul ini memiliki akses tersendiri pada kaum perempuan, baik di desa maupun di kota.

  Para wanita direkrut dengan alasan akan dijadikan penari atau penyayi di negeri Jepang. Secara sederhana, mereka terbuai oleh iming-imingan pemerintah Jepang tersebut, atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Bahkan jika para wanita tersebut tetap bersikeras untuk menolak, mereka akan dibawa secara paksa. Seperti yang dikatakan oleh Koichi Kimura (2007:240) bahwa, ada tiga cara perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu antara lain: 1.

  Pemaksaan melalui kekerasan fisik 2. Pemaksaan dengan jalan menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai terror yang merupakan kekerasan psikologi.

3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.

  Setelah dikumpulkan, kaum perempuan yang akan dipekerjakan akan diseleksi. Mereka yang dinilai ‘layak’ untuk dipekerjakan sebagai jugun ianfu-lah yang akan diambil. Sedangkan yang dinilai tidak sehat atau ‘tidak layak’ pada umumnya akan dipekerjakan ditempat lain. Tempat lain yang dimaksud disini dapat berupa rumah makan, tempat hiburan, hotel atau di rumah tangga seorang pembesar militer. Sedangkan tempat penampungan utama dari mereka yang dianggap ‘sehat’ untuk dijadikan jugun ianfu adalah rumah bordil khusus, yaitu lokasi yang secara khusus disediakan bagi orang Jepang. Disebut khusus karena orang Indonesia atau suku bangsa lain tidak boleh masuk kelokasi tersebut. Bahkan, orang Jepang sendiri tidak bisa sembarangan masuk ke lokasi selain yang ditentukan oleh pihak penguasa.

  Berikut Skema Pengerahan Tenaga Jugun Ianfu :

  Pemerintahan Militer

  • Aparat Setempat, Calo, dan lain-lain yang punya akses terhadap perempuan Masyarakat (di mana kaum perempuan Individu (non- berada)

  MESIN

  massal)

  KONTROL

  (Calon-Calon) Jugun Ianfu

  PRT (peran ganda) Hotel; Restoran; Rumah Hiburan Rumah

  Bordil Orang-Orang Jepang Sipil-Militer Kenyataan di mana bala tentara Jepang akhirnya berhasil dikalahkan oleh sebuah koalisi besar antara negara-negara kapitalis dan negara-negara komunis yang dikenal dengan nama Sekutu, merupakan suatu berkat bagi para jugun ianfu. Pasukan Sekutu inilah yang berhasil menggempur Jepang dan menjadikannya manusia tahanan, yang bertekuk lutut, setelah sebelumnya anak-anak, kaum perempuan, orang tua dan banyak manusia lainnya habis dibumi hanguskan oleh bom atom. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Timur, memang digembirakan oleh berita kekalahan Jepang tersebut. Tetapi itulah paradoksnya, bahwa kebahagiaan itu adalah derita bagi rakyat Jeoang yang tinggal di Hiroshima dan Nagasaki.

  Seiring berakhirnya masa jajahan Jepang pada tahun 1945 mereka meninggalkan Indonesia sekaligus melepaskan para jugun ianfu. Beberapa diantara mereka dikembalikan ke wilayah asalnya masing-masing, namun sebagiannya masih terserak di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal mereka.

  Seperti catatan-catatan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, masih banyak perempuan mantan jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau dipelosok Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Perawan Remaja dalam Cenkeraman MIliter’ menceritakan perempuan-perempuan yang terdapat di pulau Buru.

  Keadaan para jugun ianfu setelah Jepang melepaskan mereka adalah sesuatu yang menyedihkan. Sebagian dari perempuan yang telah diperlakukan tidak manusiawi itu ditinggalkan begitu saja di tempat mereka dilecehkan. Pulau Buru merupakan salah satu wilayah terpencil dan asing bagi para perempuan banyak juga yang malu untuk kembali karena keadaan mereka yang menganggap mereka memalukan. Mereka yang bertahan disana diambil orang-orang dari suku pedalaman untuk dijadikan istri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan perempuan asli Buru, maka keadaan mereka akan sangat jauh berbeda. Perbedaan kulit dan wajah mereka sangat berbeda dengan penduduk asl

i Buru, maka tidak heran mereka menjadi ‘tawanan’ disana.

  Penderitaan yang dialami para jugun ianfu berakhir seiring dengan berakhirnya perang dunia ke-2 dan Jepang kalah perang tahun 1945, ditandai dengan dibomnya sebuah asrama jugun ianfu yang terletak di daerah Telawang Kalimantan Selatan oleh tentara sekutu. Tentara Jepang yang berada di asrama Telawang menghilang, dan para jugun ianfu mengambil keputusan untuk kembali ke daerah asal mereka. Namun mereka tidak bisa pulang dengan mudah. Hal ini diketahui bahwa banyak perempuan jugun ianfu malu. Mereka yang pulang kembali ke daerah asal mereka dengan menanggung malu akibat 3 tahun mereka dijadikan pemuas nafsu Jepang. Sebagian masayarakat yang mengetahui masa lalu mereka menganggap mereka adalah pelacur.

  Seperti yang diungkapkan oleh Eka Hindra Koichi Kimura, masalah- masalah yang dirasakan para jugun ianfu adalah sebagai berikut:

  1. Kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu. Karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk memelihara mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai.

  2. Trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih sangat muda.

  3. Tertekan secara sosial karena oleh masyarakat dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia kotor, mengingat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu.

  4. Tertekan secara psikis karena perasaan bersalah telah menjadi jugun ianfu .

  5. Sebagian besar jugun ianfu dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan bekas pelacur.

  Berakhirnya asrama-asrama pengelola layanan seksual antara lain Jepang tersebut, pada dasarnya meninggalkan sejumlah soal yang sangat serius bagi para eks jugun ianfu, yang telah ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang merekrut, yang memeras tenaga serta memperdaya mereka selama bertahun-tahun, yaitu stigma sosial, kepedihan, duka pribadi yang mendalam, masalah kesehatan pada sebagian besar eks jugun ianfu, dan ketidakpastian hidup. Keempat soal tersebut pada dasarnya adalah muatan dari suatu kondisi kehinaan yang mendalam sebagai manusia yang telah dipaksa melakukan perbuatan yang oleh moral sosial Indonesia dilaknat sebagai tindakan aib dan dosa.

Dokumen yang terkait

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Ka

6 49 77

Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Roh Leluhur Sosen Ni Taishite No Nihon Jin No Shinkou

0 53 37

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggung Jawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II

4 77 80

Penggunaan Partikel “De” Dalam Bahasa Jepang Nihongo Ni Okeru “De” No Joshi No Shiyou

1 63 34

Realita Jugun Ianfu Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 Di Indonesia (Daerah Telawang Kalimantan Selatan)

7 119 68

Interfensi Gairaigo Terhadap Pemakaian Kalimat Bahasa Jepang dalam Majalah Nipponia (Nipponia No Zasshi Ni Nihongo No Tsukaikata Ni Taishite Gairaigo No Interferensi Atta)

6 61 50

Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa = Eiji Yoshikawa No Sakuhin No “Musashi No Shousetsu” Ni Taishite No Shakai Gaku Teki No Bunseki Ni Tsuite

2 75 101

Analisis Minat Siswa SMA Negeri 2 Medan Terhadap Komik Jepang (Manga) = Manga Ni Taishite SMA Negeri 2 Medan No Gakusei No Kyoumi No Bunseki

6 62 75

Analisis Kontrastif Kata Keterangan Bahasa Indonesia Dan Fukushi Bahasa Jepang Ditinjau Dari Sintaksis Tougoron Kara Miru Nihon Go No Fukushi To Indonesia Go No Kata Keterangan To No Hikaku

10 71 86

Analisis Moral Pengabdian Diri Pilot Kamikaze Pada Perang Dunia II (Dai ni Sekai Sensuo No Kamikaze Pairotto No Kenshin No Doutoku Bunseki)

2 50 73