Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa = Eiji Yoshikawa No Sakuhin No “Musashi No Shousetsu” Ni Taishite No Shakai Gaku Teki No Bunseki Ni Tsuite

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL MUSASHI

KARYA EIJI YOSHIKAWA

EIJI YOSHIKAWA NO SAKUHIN NO “MUSASHI NO

SHOUSETSU” NI TAISHITE NO SHAKAI GAKU TEKI NO

BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

NUR ILYANI PARINDURI NIM : 040708044

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP

NOVEL MUSASHI

KARYA EIJI YOSHIKAWA

EIJI YOSHIKAWA NO SAKUHIN NO “MUSASHI NO

SHOUSETSU” NI TAISHITE NO SHAKAI GAKU TEKI NO

BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi S Hamzon Situmorang,M.S.;,Ph.D

NIP. 131763366 NIP. 131422712

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui oleh : Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi S-1 Sastra Jepang

Ketua Program Studi,

Hamzon Situmorang, M.S.; Ph.D

NIP : 131422712


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra.

Pada :

Tanggal :

Pukul :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A.;Ph.D NIP : 131284310

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )

3. ( )

4. ( )


(5)

D A F T A R I S I

Halaman KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI... i

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Metode Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGI SASTRA, SETTING MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN EDO, MUSASHI, DAN RIWAYAT EIJI YOSHIKAWA 2.1 Sosiologi Sastra... 11

2.2 Kondisi Umum Masyarakat Jepang Pada Zaman Edo... 15

2.3 Musashi ... 38

2.4 Riwayat Hidup Eiji Yoshikawa ... 43

BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL MUSASHI 3.1 Kehidupan Keshogunan dan Hubungannya Dalam Masyarakat... 46


(6)

3.4 Kehidupan Seniman dan Hasil Karyanya dan Hubungannya Dalam Masyarakat... 64 3.5 Kehidupan Pendeta dan Ajaran Agamanya dan Hubungannya Dalam

Masyarakat... 67 3.6 Kehidupan Masyarakat Jelata dan Hubungannya Dalam Masyarakat

... 72 3.7 Kehidupan dan Hubungan Sosial antar Masyarakat ... 82 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 91 4.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA


(7)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah karya seni, sama seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain (Aminuddin, 2000: 39). Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan menuju kebenaran. Yang membedakannya dengan seni lain adalah bahwa sastra mempunyai aspek bahasa. Menurut Wellek dalam Melani Budianto (1997: 109), bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 23-24), sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

Karya sastra terdiri dari puisi, drama, prosa (novel), dan lain-lain. Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat dijadikan media untuk mengabadikan sesuatu yang menarik atau luar biasa atau untuk merekam zaman dan juga digunakan sebagai media untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat itu dan melihat kehidupan sosiologi masyarakat yang ada dalam novel.

Novel Musashi karya Eiji Yoshikawa merupakan salah satu karya sastra yang menarik dan luar biasa serta karya yang dapat merekam zaman dengan


(8)

menggambarkan situasi yang terjadi saat itu. Dengan membaca dan menganalisis novel ini maka dapat memahami Jepang dan masyarakatnya.

Novel yang berjudul Musashi karya Eiji Yoshikawa ini terdiri dari 1.247 halaman dalam bahasa Indonesia. Kesuksesan kisah novel ini merupakan suatu keajaiban tersendiri. Kisah ini ditulis dengan gaya yang dekat fiksi tradisional Jepang dan juga dekat dengan pikiran umum yang ternyata sangat mengena. Maka tidaklah mengherankan kalau novel ini telah terjual 120 juta eksempelar keseluruh dunia.

Di dalam novel ini dikisahkan mengenai seorang Musashi, tokoh kelas bawah yang mencari jati diri lewat pedang. Di dalam kisah ini dapat dilihat situasi sosial-politik budaya saat itu (1600-1612). Di dalam novel ini juga dapat dilihat kehidupan masyarakat pada zaman itu, yaitu bagaimana mereka berinteraksi di dal;am suatu masyarakat dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Edwin O Reishauer dalam Eiji Yoshikawa (2001: ix-xii), mengatakan bahwa kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi citra diri manusia Jepang masa kini. Reischauer juga menulis, “Berbeda dengan citra Jepang modern yang dilukiskan sebagai sebuah grup “Binatang Ekonomi”, kebanyakan manusia Jepang menganggap dirinya individualistis, sangat memegang prinsip, dan sangat peka akan keindahan. Pokoknya sebagai Musashi modern”. Bahkan ada ungkapan dalam bahasa Jepang modern yang mengacu pada orang yang punya watak “seperti Musashi”. Mungkin sekali nama Musashi telah terkenal dari pada kebanyakan tokoh penting dalam sejarah dan kebudayaan jepang.


(9)

Di dalam kenyataannya, Musashi merupakan seorang maestro samurai, seniman, dan juga penulis. Ia pernah membuat beberapa tulisan mengenai seni bela diri dan yang paling terkenal dan sempat diselesaikan sebelum ia meninggal adalah Kitab Lima Lingkaran (gorin no sho), yang berisi prinsip-prinsip yang ia tekankan dalam seni bela dirinya. Buku ini dibaca oleh murid-muridnya dan para samurai, bahkan sekarang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. .

Novel Musashi yang dikarang oleh Eiji Yoshikawa ini ditulis berdasarkan catatan sejarah yang akurat dan dengan menambahkan beberapa karakter fiktif yang berasal dari hasil daya imajinasi pengarang. Maka tidaklah berlebihan apabila kisah dalam novel ini disebut kisah Musashi historis, dimana sebuah cerita yang ingin diyakini kebenarannya.

Dengan kombinasi aksi dan penilaian filosofis yang menarik mengenai berbagai karakter yang dilakukan oleh pengarang, sehingga pembaca tidak pernah dibuat kecewa atau bosan. Dengan latar belakang historis, yaitu pada zaman Edo, yang dipimpin oleh Tokugawa, dan tokoh minor yang dapat ditemui disepanjang cerita sama menarikanya dengan pertarungan melawan berbagai musuhnya.

Dalam novel tersebut Musashi berusaha mengatasi tiga rintangan, yaitu kebodohan, nafsu, dan kebencian disepanjang cerita. Ketiganya adalah bahan dan bumbu kehidupan sehari-hari, dan Yoshikawa paham bahwa Musashi harus mengatasi ketiganya persis sebagaimana kita juga. Lebih lanjut lagi, Yoshikawa paham bahwa mengatasi masalah-masalah duniawi seperti itu adalah bagian dalam menempuh jalan pedang yang sama besarnya bagi Musashi dengan berbagai pertarungannya. Ini adalah lompatan besar dibandingkan dengan


(10)

dongeng-dongeng kodan (dongeng profesional) sehingga membuat kisah Musashi dalam novel lebih mirip dengan kisah hidup kita sendiri.

Disaat Musashi masih hidup, di Jepang sedang terjadi transisi besar. Keberhasilan Tokugawa sebagai shogun yang ditandai dengan perang antar daimyo usai sudah. Situasi perang terus-menerus beralih ke keadaan damai. Sedikit-demi sedikit terbentuklah garis tegas yang memisahkan kelas samurai yang memiliki hak istimewa menyandang pedang dan memakai nama keluarga dengan orang biasa yang tidak boleh bersenjata dan menggunakan nama keluarga, meski mereka itu pedagang besar ataupun tuan tanah kaya.

Pemisahan kelas ini berlangsung sekitar satu-dua generasi. Karena Musashi hidup pada awal zaman Tokugawa, maka saat itu pemisahan kelas belum terbentuk. Keadaan damai tentu memengaruhi para prajurit yang tidak lagi berperang, bahkan mulai muncul birokrat yang dianggap menjadi lebih penting. Para samurai pun perlahan-lahan mengalihkan kepandaian pedangnya ke keahlian yang dibutuhkan birokrat. Disiplin diri dan pendidikan jadi lebih penting dari pada keahlian perang. Untuk mengetahui kehidupan sosial masyarakat pada awal zaman Edo yang terdapat dalam Novel Musashi, maka penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul : “Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi

Karya Eiji Yoshikawa”.

1.2 Perumusan Masalah

Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antar hubungan bermakna dalam


(11)

hal ini subjek kreator dengan masyarakat (Nyoman, 2003: 11). Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif, dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Begitu juga dengan karya sastra berupa novel Musashi karya Eiji Yoshikawa. Di dalam novel ini banyak menunjukkan kehidupan sosiologi masyarakat Jepang terutama pada zaman Edo, yaitu mengenai interaksi-interaksi atau hubungan antara orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam suatu masyarakat. Jika dihubungkan dengan kenyataan yang pernah terjadi, ada banyak perbedaan hubungan interaksi antar pelaku dalam masyarakat tersebut. Maka, masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang pada zaman Edo?

2. Bagaimana hubungan interaksi antar pelaku dalam masyarakat yang terdapat dalam novel Musashi antara tahun 1600-1612?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan, yaitu pada hal yang berkaitan dengan masyarakat pada awal zaman Edo yana meliputi keshogunan, daimyo, samurai, seniman, pendeta, masyarakat jelata, dan hubungan sosial antar masyarakat.

Analisis difokuskan kepada bentuk interaksi social yaitu bentuk-bentuk yang tampak apabila orang–orang perorangan ataupun kelompok-kelompok manusia mengadakan hubungan satu sama lain terutama dengan


(12)

mengatengahkan kelompok serta lapisan sosial sebagai unsur pokok struktur social, yaitu hubungan interaksi para pelaku dalam masyarakat pada awal zaman Edo, seperti hubungan interaksi shogun dengan para bawahannya, hubungan interaksi daimyo dengan samurai dan masyarakat lainnya, dan hubungan interaksi antar pelaku yang mempunyai status yang sama. Penulis juga akan mendeskripsikan bagaimana Tokugawa menjadi shogun yang ditandai oleh menangnya keluarga Tokugawa pada perang sekigahara.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Menurut Soekanto (2003: 23), bahwa objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Menurut Macluer dan Page dalam Soekanto (2003: 24), bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata krama, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan manusia.

Lebih lanjut, menurut Selo Sumardjan dalam Soekanto (2003: 24), bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Dari berbagai definisi yang berlainan di atas, pada dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat mencakup beberapa unsur, yaitu:

a. Manusia yang hidup bersama.

b. Bercampur dalan waktu yang cukup lama.

c. Mereka sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan. d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.


(13)

Di dalam novel Musashi dapat dilihat bagaimana kehidupan masyarakat setelah kekuasaan dipegang oleh Tokugawa, yang didapatkannya melalui sebuah peperangan. Kehidupan masyarakat pun tentunya sedikit banyak berubah dari zaman Azuchimomoyama (dengan Shogun Hideyoshi) ke zaman Edo (dengan Shogun Tokugawa), dimana sebenarnya tujuan keduanya sama yaitu ingin mempersatukan Jepang.

2. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39-40).

Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.

Penelitian merupakan sarana bagi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ilmu yang bersangkutan. Penelitian yang digunakan terhadap novel Musashi ini merupakan penelitian sosiologis, yang merupakan proses pengungkapan kebenaran, yang didasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam sosiologi sebagai ilmu. Konsep-konsep dasar tersebur merupakan sarana ilmiah yang dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran yang ada dalam masyarakat (Soekanto, 2003: 411).

Karena di dalam penelitian ini dibahas mengenai analisis sosiologis terhadap novel Musashi, maka teori yang digunakan adalah studi sosiologi.


(14)

Menurut Nyoman (2004: 60), dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.

Didalam novel Musashi mempunyai latar belakang zaman Edo, maka dalam menganalisis novel ini juga menggunakan pendekatan historis. Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya individual. Kemudian, pendekatan historis mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah. Dengan hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya (Nyoman, 2004: 66). Dengan pendekatan di atas, melalui novel Musashi dapat dilihat kehidupan sosial masyarakat Jepang saat itu.

Dengan pandangan kerangka teori berfikir seperti di atas, maka di dalam penelitian ini akan ditunjukkan mengenai interaksi antar pelaku dalam masyarakat pada awal zaman Edo yang dapat dilihat melalui novel Musashi karya Eiji Yoshikawa.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kondisi umum masyarakat Jepang pada zaman Edo. 2. Untuk mengetahui hubungan interaksi antar pelaku dalam masyarakat


(15)

2. Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah pengetahuan tentang sejarah Jepang pada awal zaman Edo melalui novel Musashi karya Eiji Yoshikawa.

2. Dapat menambah wawasan mengenai sosiologi atau kehidupan masyarakat Jepang dan interaksi masyarakat Jepang pada awal zaman Edo melalui novel Musashi.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilandaskan pada analisis dan konstruksi. Analisis dan konstruksi dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang dihadapinya dalam kehidupan (Soekanto, 2003: 410).

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam novel Musashi, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30), bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.


(16)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research), yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data diperoleh dari berbagai jurnal, artilel, buku, dan berbagai situs internet.


(17)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGI SASTRA, SETTING MASYARAKT PADA ZAMAN EDO, MUSASHI, DAN RIWAYAT EIJI

YOSHIKAWA

2.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio/socius (Yunani) yang berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusatraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Nyoman, 2003: 1).

Sesungguhnya kedua ilmu tersebut yaitu sosiologi dan sestra memiliki objek yang sama, yaitu menusia dalam masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Perbedaan antara sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana


(18)

ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta (Nyoman, 2003: 2).

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan mengenai definisi sosiologi sastra, yaitu analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.

Ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Nyoman (2004: 332-333), mengemukakan sebagai berikut.

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,

masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Pengarang, melalui kemampuan intersubjektivitasnya yang menggali kekayaan masyarakat, menuangkannya ke dalam karya sastra, yang kemudian dinikmati oleh pembaca. Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda, pertama,


(19)

tergantung dari kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, adalah kemampuan pembaca dalam memahami suatu karya sastra. Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Dengan kata lain, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra. Eiji yoshikawa, pengarang novel Musashi dapat dikatakan sebagai salah satu pengarang yang berhasil, karena ia telah menyebarluaskan segala unsur-unsur kebudayaan Jepang, khususnya kebudayaan pada zaman Edo ke seluruh dunia.

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karana itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman (2003: 336) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya. Seperti dalam novel Musashi yang menunjukkan kehidupan manusia Jepang dalam zaman feodal keshogunan.

Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat. Ciri-ciri utama karya sastra adalah aspek-aspek estetika,


(20)

tetapi secara intens karya sastra juga mengandung etika filsafat, logika, bahkan juga ilmu pengetahuan.

Cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora jelas membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intern masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Inilah aspek-aspek sosial karya sastra, di mana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.

Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat balam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman (2004: 339-340) meliputi tiga macam, yaitu:


(21)

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.

Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosilogi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.

2.2 Kondisi Umum Masyarakat Jepang Pada Zaman Edo

Selama beberapa dasawarsa, dua orang yaitu Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi mengarahkan reunifikasi Jepang yang telah dibuat cerai-berai oleh Shogunat Ashikaga yang tidak kompeten. Oda Nobunaga (1534-1582) bangkit secara tiba-tiba dari penguasa tak dikenal di sebuah wilayah kecil di propinsi Owari dan hampir sukses dalam mempersatukan negeri Jepang dengan kejeniusan militernya yang kreatif dan tak kenal ampun. Ia hanya bisa dihentikan ketika tewas dibunuh oleh salah seorang jenderalnya sendiri, Akechi Mitsuhide.

Yang menggantikan Nobunaga adalah seorang jenderalnya yang bernama Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), seorang pemimpin samurai yang berasal dari


(22)

keluarga petani dan naik sampai menjadi jendreral berkat kecakapan dan kesetiaannya kepada Oda Nobunaga.

Toyotomi Hideyoshi memindahkan markasnya ke Osaka dari mana ia mulai menaklukkan daimyo-daimyo yang belum tunduk. Dalam usahanya ia dibantu oleh Tokugawa Ieyasu dan berhasil, sehingga Tokugawa Ieyasu kemudian memeperoleh tanah luas di daerah Kanto, di mana ia mendirikan markasnya di Edo (daerah Tokyo sekarang). Setelah menguasai seluruh Jepang, Toyotomi Hideyoshi mengerahkan kekuatannya ke Korea, dan selanjutnya ke Cina. Kekuatan militer Jepang dalam ekspedisi ini sampai ke sungai Yalu, yaitu perbatasan antara Korea dan Cina (Manchuria). Tetapi karena masalah-masalah logistik, Jepang akhirnya terpaksa mundur.

Karena untuk dapat diakui sebagai shogun, seorang harus dikenal mempunyai garis keturunan Kamakura atau Minamoto, maka Toyotomi Hideyoshi yang berasal dari petani, tidak pernah mengangkat dirinya sebagai shogun. Ia bersandar sepenuhnya pada prestise Tenno yang mendukungnya. Namun ia memperoleh sebutan kampaku (wali) setelah berhasil mengadaptasi dalam keluarga Fujiwara. Selama kekuasaannya, Toyotomi Hideyoshi menegakkan penentuan kelas dalam masyarakat Jepang, yaitu pemisahan yang tegas antara samurai, petani, tukang, dan pedagang. Selain itu, usaha Oda Nobunaga untuk menjadikan Jepang suatu pasaran bebas dengan mematahkan kekuasaan ekonomi dari para gilde (serikat kerja) dilanjutkan kembali. Untuk berfungsinya pasaran bebas, ia menciptakan mata uang emas. Kemudian ia juga mengadakan pengetatan hak penguasaan atas tanah dan merampas semua senjatan milik petani.


(23)

Meninggalnya Toyotomi Hideyoshi menimbulkan persaingan antara para daimyo, mengenai siapa yang akan menggantikannya. Sebelum meninggal, Hideyoshi menunjuk sebuah dewan yang terdiri atas lima Tairo, atau menteri utama, untuk memerintah negri sampai anak lelakinya yang bernama Hideyori, mencapai usia dewasa, dengan harapan bahwa melalui cara itu, klan Toyotomi akan terus memerintah negri Jepang. Salah satu dari kelima Tairo itu adalah Tokugawa Ieyasu. Dengan wafatnya Toyotomi Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu meneruskan pekerjaannya dan menyempurnakan persatuan bangsa. Ia putra keluarga kaya di Mikawa dan dengan tekun memperkuat kedudukannya selama zaman Nobunaga dan Hideyoshi.

Tetapi tampuk kekuasaan akhirnya diperebutkan antara Tokugawa Ieyasu dan Mori Terumoto, di mana masing-masing dibantu oleh daimyo yang memihak mereka. Pertempuran hebat di Sekigahara pada tahun 1600 memberikan kemenangan pada Tokugawa Ieyasu. Tiga tahun kemudian (1603), ia diangkat oleh Tenno Heika menjadi Seii-Taishogun dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang selama kurang lebih 265 tahun (1603-1867).

2.2.1 Keshogunan

Masa Tokugawa yang berlangsung hingga tahun 1867 telah memberikan landasan kepada Jepang dalam membentuk Jepang modern dewasa ini. Tokugawa mengakui supremasi Tenno sebagai lambang kelangsungan Jepang. Ia menyediakan tanah untuk keluarga Tenno dan keluarga-keluarga aristokrat di sekeliling Tenno. Tetapi Tenno dan keluarga-keluarga di sekelilingnya tidak boleh


(24)

meninggalkan Kyoto dan dilarang mencampuri urusan pemerintahan serta berhubungan dengan para daimyo. Untuk itu ditempatkan seorang Shoshidai atau gubernur-jenderal dengan pasukan besar bertempat di sebelah istana Tenno di Kyoto. Selama masa shogunat Tokugawa dari tahun 1603 hingga 1867, ada 15 orang keluarga Tokugawa yang telah diangkat menjadi shogun. Dimulai dengan Ieyasu (1603-1605) sebagai pendiri kekuasaan Tokugawa, kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh Hidetada (1605-1623), Iemitsu (1623-1651), Ietsuna (1651-1680), Tsunayoshi (1680-1709), Ienobu (1709-1712), Ietsugu (1712-1716), Yoshimune (1716-1745), Ieshige (1745-1760), Ieharu (1760-1786), Ienari (1786-1837), Ieyoshi (1837-1853), Iesada (1853-1858), Iemochi (1858-1866), dan terakhir Yoshinobu (1866-1867), (Sayidiman, 1982: 18).

Sebagaimana beberapa pemimpin Jepang sebelumnya, Ieyasu juga menginginkan anak cucunya dapat memegang terus kekuasaan tertinggi di Jepang. Tindakan-tindakan yang dirasa perlu pun diambilnya. Ieyasu memilih Edo sebagai ibukota pemerintahannya. Di sekitar kota Edo dibuka tanah-tanah sewa, yang disewakannya pada anggota-anggota keluarganya sendiri, keluarga Tokugawa. Semua kedudukan penting diberikannya kepada orang-orang yang dapat ia percaya. Apabila kelihatan ada tanda-tanda munculnya kerusuhan, Ieyasu membagikan tanah-tanah sewa kepada anggota keluarganya dan para daimyo. Dengan begitu seorang daimyo yang berniat mengadakan pemberontakan, akan dapat melihat bahwa disekitar wilayahnya ada tanah-tanah sewa yang dikuasai oleh seorang anggota keluarga Tokugawa. Untuk menghindari lebih jauh keadaan yang tidak diinginkan, Ieyasu juga memaksa daimyo-daimyo yang kesetiaannya agak diragukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, misalnya


(25)

membangun istana benteng, sehingga daimyo itu tidak mempunyai waktu untuk tujuan-tujuan lain.

Pemerintahan samurai pusat didirikan sebagai langkah untuk menjamin pengendalian para daimyo, tekanan atas istana serta pengawasan terhadap para petani. Pengendalian terhadap para daimyo memakan hampir seluruh tenaga Ieyasu. Setelah pertempuran Sekigahara, Ieyasu mengadakan perubahan-perubahan penting, seperti yang dikemukakan Sakamoto (1982: 38):

1. Pembagian wilayah dengan memberikan daerah-daerah Kinai, Kanto, dan Tokai kepada daimyo yang telah mengabdi kepadanya secara turun-temurun. Ia juga menempatkan daimyo yang tidak mempunyai ikatan erat dengan keluarga Tokugawa di daerah-daerah yang jauh seperti daerah Tohoku, Shikoku, dan Kyushu.

2. Menetapkan kitab undang-undang bagi keluarga ksatria yang mengatur secara tertulis kewajiban para daimyo.

3. Menetapkan sistem yang dikenal sebagai sankinkotai yang mewajibkan para daimyo untuk mengabdi secara bergantian di Edo dan di wilayah-wilayahnya sendiri, sementara istri dan anak-anak mereka harus tetap tinggal di Edo. Mereka berada di bawah pengawasan lembaga bakufu dan secara mutlak bertugas mengabdi kepada shogun.

4. Kitab undang-undang untuk keluarga bangsawan ditetapkan untuk mengatur istana, kitab ini mengizinkan bakufu untuk campur tangan dalam kegiatan kaisar dan untuk diajak bicara dalam hal penunjukan dan pemberian pangkat.


(26)

5. Menetapkan sistem yang menentukan kedudukan sosial seseorang dengan cara menggolongkannya dalam salah satu dari keempat kelas, yaitu samurai, petani, buruh (tukang) atau pedagang (shi-nô-kô-shô) diterapkan secara ketat.

Kemudian Ieyasu mengambil langkah-langkah positif dalam bidang perdagangan karena terdapat keuntungan dari usaha itu. Pada tahun tahun 1600 kapal Belanda pertama tiba di Jepang di pelabuhan Bungo di Kyushu. Ieyasu kemudian mengundang dua orang awak kapal yang berkebangsaan Belanda itu ke Edo dan memperlakukan mereka secara khusus dengan cara mengangkat mereka menjadi penasehat untuk urusan luar negri. Sejak itu bangsa Belanda mulai mengunjungi Jepang secara teratur dan membangun kantor dagang di Hirado sebagai basis perdagangan mereka dengan Jepang. Sebuah kapal Inggris juga memasuki pelabuhan dan mendirikan kantor dagang, tetapi mereka tidak berhasil menyaingi bangsa Belanda dan terpaksa meninggalkan usaha itu.

Karena dorongan Ieyasu, perjalanan ke luar negri dan kegiatan perdagangan Jepang mulai maju. Jumlah “sertifikat bersegel merah” yang diberikan kepada pedagang sebagai ijin resmi untuk pergi ke luar negri antara yahun 1604-1616 berjumlah lebih dari 180. Perdagangan luar negri yang maju ini mendorong perluasan agama kristen dan sekitar tahun 1605 jumlah penganutnya mencapai angka lebih dari tujuh ratus ribu orang. Akan tetapi berbagai hal meyakinkan Ieyasu bahwa agama kristen merupakan ancaman terhadap masa depan bangsa dan ia mulai menjalankan tindakan-tindakan untuk menekan agama itu, yaitu dengan cara Shogun ketiga Iemitsu menolak orang Spanyol yang ingin datang ke Jepang dan berdagang, ia juga melarang orang Jepang pergi ke luar


(27)

negri atau kalau mereka pergi, dilarang pulang kembali ke Jepang. Sekitar zaman itu tejadi suatu ikki (pemberontakan petani) yang dilancarkan oleh petani-petani yang beragama kristen di Shimabara, Kyushu. Ini menyebabkan kesukaran besar bagi militer bakufu, dan mengakibatkan tindakan yang semakin keras terhadap agama kristen. Pada tahun 1639 larangan yang serupa berlaku bagi kapal Portugis dan pada tahun 1641 kantor dagang Belanda di Hirado dipindahkan ke Pulau Dejima, pelabuhan Nagasaki. Kunjungan–kunjungan orang Belanda ke daerah lain dilarang. Nagasaki menjadi satu-satunya pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar dan hanya orang Belanda dan Cina yang diijinkan berdagang. Dengan cara inilah isolasi nasional Jepang dimulai. Isolasi membantu memperkuat dan mengamankan pengendalian bakufu atas seluruh negara dan juga membantu perkembangan kebudayaan khas Jepang.

Semenjak zaman shogun keempat, Ietsuna, bakufu mulai melonggarkan cara pemarintahan militer yang ketat untuk lebih memberi tekanan pada usaha pendidikan dan kebudayaan. Kecenderungan ini menjadi semakin lebih nyata dibawah shogun kelima, Tsunayoshi. Zaman yang bertepatan dengan masa pemerintahan Tsunayoshi dinamakan zaman Genroku, nama lain dari masa perdamaian dan kemakmuran. Ia mengkhususkan perhatian pada pengajaran neo – Kong Hu Cu dari Chu Shi (Shushi-gaku) yang menekankan kewajiban penguasa dan rakyat serta hormat kepada moralitas biasa, memenuhi syarat sebagai dukungan teoritis bagi pemerintahan feodal bakufu.

Dengan masuknya ekonomi uang ke seluruh bangsa dan dengan semakin banyaknya tuntutan selera masyarakat, maka kekayaan juga semakin menumpuk ditangan kelas pedagang, sedangkan bakufu berada dalam kesulitan keuangan dan


(28)

para samurai serta petani tenggelam dalam kemiskinan. Selam zaman Genroku bakufu berusaha untuk membangun kembali keuangannya dengan cara mencetak ulang mata uang, menetapkan pajak “kemewahan” (goyoukin) bagi pedagang kaya, tapi tindakan ini tidak berhasil.

Yoshimune, shogun kedelapan, mengeluarkan larangan keras terhadap kemewahan dan dekadensi. Ia mendorong berkembangnya seni bela diri di kalangan kaum samurai dan memerintahkan seluruh bangsa untuk hidup sederhana. Ia juga mendorong pembukaan lahan pertanian dan pertumbuhan industri untuk membantu keadaan keuangan. Hasil-hasil perbaikan ini juga tidak memuaskan. Di bawah shogun kesepuluh, Ieharu, kaum samurai menjadi dekaden dan korupsi merajalela.

Di bawah shogun kesebelas, Ienari, menteri utama Matsudaira Sadanobu menjalankan kebijaksanaan memperkuat pemerintahan yang dicontohkan dari tindakan Yoshimune. Ia mendorong tumbuhnya ilmu dan seni bela diri, memaksa hidup sederhana dan mengambil langkah lain yang cukup ekstrim dan keras.

Dalam bidang pendidikan, tersebar luas ke seluruh negara. Selain sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh bakufu dan klan, juga terdapat terakoya atau sekolah di kuil yang merupakan sumber pendidikan bagi anak-anak pedagang dan petani, dan merupakan tempat di mana mereka dapat memeperoleh dasar-dasar pendidikan, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Pada zaman ini muncul dalam bidang ilmu pengetahuan yang disebut dengan koku gaku (studi nasional), yang mulai mengimbangi perhatian yang berlebihan pada ilmu pengetahuan dari Cina dengan studi bahasa Jepang kuno, dan menganjurkan kembalinya cara hidup dan pemikiran kuno dan bersifat pribumi. Cabang ilmu pengetahuan lainnya ialah


(29)

Ran-gaku atau “ilmu pengetahuan Belanda”. Bahasa Belanda telah lama dikenal oleh para penterjemah untuk orang Belanda di Nagasaki, tetapi shogun Yoshimune menyuruh Aoki Konyo dan sarjana lain untuk mempelajari bahasa tersebut. Melalui ilmu bahasa, cabang ilmu pengetahuan lain berkembang sampai palajaran dalam berbagai bidang dari dunia barat, seperti ilmu kedokteran, astronomi, ilmu alam dan kimia diperkenalkan di Jepang.

Bangsa pertama yang mengetuk pintu Jepang untuk memohon dibukanya hubungan dagang ialah Rusia. Kemudian, pada tahun 1853 Komodor Perry dari Amerika Serikat, memasuki pelabuhan Uraga dengan kapal-kapal perangnya. Ia membawa surat dari presiden Amerika yang ingin membuka hubungan dagang dengan Jepang. Tetapi kalangan istana dan daimyo menuntut supaya orang-orang “biadab” itu diusir. Tetapi ketika Perry kembali pada tahun berikutnya untuk minta jawaban, bakufu menyerah dan perjanjian persahabatan antara Jepang dan Amerika ditandatangani. Perjanjian itu mengatur bahwa dua pelabuhan, Shimoda dan Hakodate akan dibuka bagi kapal-kapal Amerika untuk memberi persediaan bahan bakar, air, dan makanan. Ini disusul dengan perjanjian serupa dengan Inggris, Rusia, dan Belanda. Dengan demikian, pintu negara Jepang sekali lagi dibuka setelah pengasingan yang berlangsung sepanjang dua abad.

Menyusul perjanjian persahabatan tersebut, Amerika Serikat mendorong bakufu untuk mengadakan perjanjian dagang, tetapi istana tidak mengijinkan. Menteri bakufu Ii Naosuke tidak mengindahkan penolakan dari istana dan menandatangani perjanjian dan pada tahun 1858 perjanjian dagang dan persahabatan ditandatangani antara Jepang dan Amerika Serikat.


(30)

Setelah wafatnya Ii Naosuke, bakufu berusaha mengendalikan krisis melalui kerjasama dengan istana. Klan Choshu menembak kapal asing melalui selat Shimonoseki, sementara klan Satsuma diserang pasukan Inggris di Kagoshima. Klan yang kuat ini menyadari bahwa mengusir “orang biadab” sebenarnya mustahil, tetapi terus bersikeras dalam usaha pengusiran sebagai cara untuk mempersulit kedudukan bakufu. Dalam Taro Sakamoto (1982: 47), klan Choshu pada mulanya menyerukan kesetiaan pada kaisar dan pengusiran orang-orang asing, sementara klan Satsuma menyerukan kerjasama antara istana dan bakufu. Kemudian fraksi yang menyerukan dijatuhkannya bakufu berkuasa di kedua klan tersebut, dan pada tahun 1866 kedua klan itu menandatangani perjanjian alisansi rahasia. Di istana, Iwakura Tomomi dan bangsawan berpangkat rendah lainnya, berusaha mengeluarkan perintah rahasia dari kaisar untuk menjatuhkan bakufu ketangan kedua klan itu. Tetapi pada hari itu shogun kelima belas, Yoshinobu, atas kehendaknya sendiri mengusulkan pengembalian tampuk pemerintahan kepada istana. Ia melakukan ini sebagai hasil peringatan yang disampaikan oleh penguasa klan Tosa kepada bakufu yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk menghindari campur tangan asing dan untuk memelihara kemerdekaan Jepang, ialah dengan mengembalikan pemerintahan langsung oleh kaisar secara damai. Istana menerima petisi Yoshinobu dan mengeluarkan perintah yang menyatakan pemulihan pemerintahan kaisar di tangan kaisar Meiji (Tahun 1868). Lembaga bakufu pun runtuh 265 tahun setelah Ieyasu diangkat sebagai shogun.


(31)

2.2.2 Daimyo

Pada zaman Muromachi, ada yang disebut dengan shugo (pelindung) dan jito (pengawas) yang ditunjuk untuk memerintah di propinsi. Para shugo dan jito dari zaman Kamakura merupakan tenaga bayaran keluarga Minamoto dan terikat pada keluarga ini dengan ikatan kesetiaan kuat. Para shugo dari zaman Muromachi bukan tenaga bayaran keluarga Ashikaga. Mereka tidak mengabdi secara mutlak kepada shogun, melainkan bertindak sesuai dengan kepentingannya masing-masing dan dengan demikian mengakibatkan landasan lembaga bakufu menjadi sangat rapuh. Lebih dari itu, kekuasaan para shugo telah semakin besar selama pertikaian antara Istana Utara dan Selatan. Mereka tidak hanya memperoleh kedudukan dimana mereka memiliki hak sebagai penguasa lokal atas seluruh tanah dan rakyat di propinsinya sendiri, tetapi ada beberapa orang shugo yang menguasai beberapa propinsi sekaligus. Seorang penguasa yang memiliki wilayah yang luas pada saat itu dikenal sebagai daimyo, dan istilah shugo-daimyo mulai dikenal. Pada zaman berikutnya daerah yang dikuasai seorang daimyo lebih kecil dari propinsi sebelumnya, tetapi diorganisasikan lebih kompak dan daimyo berkuasa penuh di dalamnya. Di dalam daerah inti seluruh tanah menjadi milik daimyo dan semua samurai yang hidup di situ menjadi anak buahnya.

Dalam masa Tokugawa, tanah pada umumnya dimiliki oleh para daimyo yang menjadi penguasa-penguasa daerah sebagai kelas samurai. Tetapi bagian terbesar rakyat, 80 persen adalah petani. Daimyo yang jumlahnya hanya sekitar 270 orang itu memperoleh desentralisasi wewenang dari shogun Tokugawa untuk menguasai suatu daerah. Dalam fungsi tersebut, mereka dibantu oleh para samurai.


(32)

Daimyo di masa Tokugawa dibagi 3 golongan yaitu: Shimpan, yaitu yang ada hubungan keluarga dengan Tokugawa. Fudai, yaitu yang mendukung Tokugawa sejak sebelum pertempuran Sekigahara ketika Tokugawa Ieyasu mengalahkan musuhnya. Tozama atau daimyo luar, yaitu mereka yang ditundukkan Tokugawa setelah Sekigahara (Sayidiman, 1982: 18).

Di antara seluruh daimyo, 63 persen termasuk dua golongan pertama, sedangkan Tozama hanya 37 persen. Meskipun begitu, wilayah yang dikuasai golongan Tozama dan tanah yang dimilikinya lebih besar dari Shimpan ataupun Fudai daimyo. Namun letak wilayah Shimpan dan Fudai lebih strategis, yaitu sekitar Edo sebagai pusat kekuasaan Tokugawa, sedangkan kedudukan daimyo Tozama jauh dari Edo yakni di bagian barat dan utara negara serta sepanjang pesisir laut Jepang.

Para daimyo sepenuhnya dikuasai oleh shogun, sehingga shogun dapat memindahkan seorang daimyo dari satu tempat ke tempat lain serta merampas tanahnya. Bahkan bakufu, yaitu sistem pemerintahan militer zaman Tokugawa, dapat membatasi gerak-gerik daimyo, sampai pada masalah perkawinan, pemeliharaan benteng tempat tinggalnya dan lain-lain. Bakufu juga menentukan adanya Sankin kotai, yaitu keharusan para daimyo untuk mempunyai tempat tinggal di Edo, tempat istri dan anak-anaknya harus ditinggalkan. Para daimyo dapat tinggal berpindah-pindah di Edo dan di tempat kekuasaannya, selama setahun atau setengah tahun berturut-turut. Kalau berada di Edo, mereka harus bekerja di markas shogun atau menjalankan fungsi-fungsi protokoler.

Tanah yang dimiliki Tokugawa adalah sekitar 7 juta koku ( 1 koku = jumlah tanah yang menghasilkan jumlah beras yang dikonsumsi satu orang dalam


(33)

satu tahun), sedangkan milik para daimyo yang terbesar adalah sekitar satu juta koku, milik daimyo Maeda, seorang daimyo Tozama di daerah Kaga (sekarang bernama Kanazawa).

2.2.3 Samurai

Samurai sebagai golongan yang paling tinggi diatas kaum petani, tukang dan pedagang, merupakan golongan elit yang berkuasa di jepang sampai akhir masa Tokugawa. Pada saat itu jumlah mereka 7 persen dari jumlah penduduk Jepang. Kalau sebelum masa Tokugawa kaum samurai lebih bersifat pejuang militer, maka pada masa Tokugawa yang penuh perdamaian mereka tidak atau sangat kurang mendapat kesempatan untuk mempraktekkan kemahiran militernya. Karena itu, kaum samurai lebih aktif sebagai pemimpin administrasi dan politik. Kaum samurai mamakai kedua pedang tradisionalnya sebagai tanda pangkatnya, dan mereka masih juga memelihara kecakapan perangnya, tetapi sesungguhnya mereka lebih menjadi penguasa administrasi negara daripada pejuang militer. Melalui peranannya itu, pengaruh sikap hidup kaum samurai meluas kepada golongan-golongan lainnya. Tetapi, mereka juga senantiasa memelihara apa yang dinamakan Bushido atau sikap hidup seorang samurai. Bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai yang merupakan penyatuan prinsip-prinsip kesetiaan dan keberanian seorang militer dengan sikap moral tinggi yang diajarkan Konfusius. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “kekuasaan yang absolut”. Melalui meditasi, kaum samurai berusaha mencapai tingkat berfikir yang lebih


(34)

tinggi dari ucapan verbal. Di samping itu, kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi kemungkinan sifat sombong seorang pejuang militer. Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memeperhatikan: kejujuran, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, kehormatan atatau harga diri, dan kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri.

Dalam alam pikiran yang berhubungan dengan Bushido bagi seorang samurai, hidup dan mati dua keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi oleh keharusan-keharusan yang tercantum dalam Bushido. Karena itu, kalau ia merasa tidak dapat mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih mati. Apabila kehormatan samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak ragu-ragu untuk bunuh diri yang dinamakan seppuku. Buat samurai, seppuku bukanlah peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan satu kelembagaan yang legal dan seremonial.

Bushido tidak dapat dipisahkan dari sikap samurai dalam menjalankan kepercayaannya. Umumnya kaum samurai menganut dan menjalankan kepercayaan Zen, maka berdasarkan pendalamannya itu, timbul suatu sikap yang senantiasa mencari harmoni dengan alam semesta, khususnya dengan alam lingkungan. Harmoni ini mencari ketenangan, kesederhanaan, dan keindahan yang antara lain dapat dilihat pada taman batu-batu Ryoan-ji, pada upacara minum teh, dan rangkaian bunga (ikebana). Pada zaman Edo ini kaum samurai juga mencurahkan perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena sifat-sifat samurai ini, maka banyak ahli ilmu pengetahuan Jepang yang berasal dari samurai. Di samping mempelajari sejarah Jepang melalui Kojiki dan pengembangan Shinto,


(35)

pada saat itu orang Jepang juga mulai mempelajari “ilmu-ilmu Barat” melalui orang-orang Belanda yang ada di Deshima.

2.2.4 Seniman dan Kesusastraan Zaman Edo

Pada awal zaman Edo keadaan kehidupan rakyat dalam bidang ekonomi dan masyarakat cukup kuat dan stabil. Oleh karena itu keharmonisan kedua factor tersebut banyak menunjang lahirnya bentuk-bentuk kesusastraan rakyat yang menggambarkan segi-segi kehidupan mereka. Selain itu juga sebagai akibat meluasnya pendidikan rakyat sehingga arus pembaca bertambah besar dan bersamaan dengan itu percetakan sebagai sarananya mulai terbentuk. Dengan demikian menyebabkan bidang ilmu pengetahuan dan bidang kesenian lainnya yang selama ini hanya terbatas pada golongan bangsawan saja mulai menyebar ke segenap lapisan masyarakat biasa.

Kesusastraan pada zaman ini yang disebut kesuasastraan pramodern dibagi dalam dua bagian: pertama, Kamigata, yang berpusat di Kyoto merupakan masa awal, yaitu masa yang terdiri dari masa pencerahan dari Keicho sampai tahun Kanbun (1906-1666) dan masa perkembangan sekitar zaman Genroku (1688-1703). Kedua, masa akhir, yang terbagi atas masa kebangkitan dari tahun An-ei sampai tahun Tenmei (1773-1782) dan masa kematangan dari tahun Bunka sampai tahun Bunsei (1804-1819).

Dengan muncul dan mengalirnya buku bacaan rakyat, percetakan maju dengan pesatnya sehingga banyak diterbitkan buku-buku yang bersifat pencerahan yang sesuai dengan selera rakyat biasa. Karena buku-buku tersebut ditujukan untuk pembaca yang berpendidikan rendah, maka huruf yang dipakai adalah huruf


(36)

hiragana, buku yang ditulis dengan hiragana ini disebut Kanazoushi. Diantaranya yang terkenal adalah Kashouki (kisah tawa) oleh Nyoraishi, yang didalam kelucuannya diselipkan sindiran dan ajaran, Seisuisho dan Chikusai oleh Asai Ryooi (Isoji Asoo, 1983: 114).

Keberhasilan novel-novel Kanazoushi hanya dalam ide cerita yang berwujudkan tema yang membawa semangat zaman baru pramodern. Isinya bernacam-macam tetapi belum bernilai sastra. Walaupun demikian, buku-buku ini telah menyebar luas pada lapisan pembaca rakyat biasa. Setelah Kanazoushi, timbul buku Ukiyozoushi yang berbobot sastra dan ternyata ikut mengambil peranan dalam mempengaruhi perkembangan sastra berikutnya.

Ukiyozoushi adalah sejenis novel yang menceritakan cara kehidupan para chounin (pedagang) berekonomi kuat yang suka berfoya-foya. Dalam Isoji Asoo (1983: 115), pada tahun Tenna 2 (1682) terbit buku Koshoku Ichidai Otoko (kisah laki-laki penggemar wanita) karangan Ihara Saikaku yang mencerminkan realitas keborosan hidup para chounin. Saikaku mula-mula terkenal sebagai penulis puisi uatama dari aliran Danrin. Novel-novel Saikaku yang lain diantaranya Koshokumono (tentang mata keranjang), Bukemono (tentang kehidupan masyarakat samurai), Chouninmono (tentang kehidupan masyarakat pedagang), dan Zatsumono (tentang sumber macam-macam cerita lain). Setelah Saikaku meninggal, banyak terbit novel-novel yang meniru karyanya. Bentuk atau ide novel itu diperbarui sesuai dengan selera masyarakat, sehingga bila dibandingkan dengan karya Saikaku kurang objektif dalam pengamatan dan pengungkapan gejala-gejala masyarakat. Diantara novel-novel tersebut yang terbaik adalah Katagimono (tentang sifat dan karakter orang) oleh Ejima Kiseki. Katagimono


(37)

adalah sejenis novel yang menceritakan orang yang memiliki karakter, kebiasaan, dan kegemaran stereotip yang berdasarkan kedudukan sosial dan pekerjaan, kemudian dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan ekspresi lucu dan berwujud fatal. Karena buku-buku Ukiyozoushi ini diterbitkan oleh perusahaan hachimonjiya di Kyoto, maka disebut Hachimonjiyabon.

Dalam bidang seni drama di zaman Edo salah satunya adalah Joruri (drama boneka). Pada permulaan tahun Keicho (kira-kira 1600), boneka Joruri berkembang dengan pesatnya di Kyoto. Pada tahun Kan-ei (1624) juga popular di Edo. Pada tahun Jokyo (1684-1687) di Osaka muncul orang yang bernama Takemoto Gidayu. Berkat usaha kerjasama yang baik antara Takemoto Gidayu sebagai pemetik samisen dan Chikamatsu Monzaemon sebagai penulis skenario terbentuklah teater boneka Joruri. Joruri sebelum ini disebut Kojoruri (joruri tua) dan pada masa itu bahannya diambil dari Kowaka (drama Noh) dan yokyoku (nyanyian pada zaman Noh) yang sedikit mengalami perbaikan. Kemudian, drama joruri mengalami kemajuan dalam bidang boneka, perlengkapan alat-alat dan penampilan, tetapi setelah tahun Meiwa (1772) dikalahkan oleh Kabuki yang berakibat Joruri mengalami kemunduran.

Drama Kabuki dimulai dengan tarian Kabuki yang ditarikan oleh Izumono Okuni pada tahun Kaichô (1600). Tetapi, kegiatan Kabuki wanita ini dilarang karena terjadi pelanggaran tata susila diantara mereka sendiri. Kemudian dimainkan laki-laki dewasa yang disebut Yaro Kabuki, dan sejak saat itu kabuki sebagai drama mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada zaman Genroku muncul aktor-aktor terkenal antara lain Ichikawa Danjuro dari Edo dan Sakata Tojuro dari Kyoto. Danjuro berhasil memerankan samurai romantis dengan


(38)

keberanian luar biasa yang merupakan kesenangan orang Edo dan sekitarnya. Tojuro terkenal sebagai aktor yang mengisahkan kehidupan realitas masyarakat pada waktu itu misalnya roman percintaan. Setelah zaman Genroku Kabuki dikalahkan oleh drama boneka Joruri, akan tetapi pada tahun Horeki (1751) dan seterusnya mengalami kemajuan yang sangat mengejutkan. Pada tahun Bunka (1804-1808) dan Bunsei (1819-1829) pusat kegiatan Kabuki berpindah ke Edo dan pada waktu itu penulisan tentang ‘Kizewa Kyogen’ disempurnakan oleh Tsuruya Nanboku. Nanboku sangat mahir dalam melukiskan kehidupan masyarakat antara lain menggambarkan refleksi keadaan zaman itu tentang suasana kekejaman.

Dalam kelompok sastra Haikai (pantun), ketika memasuki zaman Edo, berkembang sangat pesat karena sesuai dengan selera rakyat. Perkembangan Haikai ini berkat jasa Matsunaga Teitoku. Pada masa ini ada beberapa aliran Haikai, yaitu Haikai aliran Teimon, aliran Danrin, dan aliran Basho (Matsuo Basho). Pada masa mudanya Basho menaruh perhatian pada gubahan-gubahan Matsunaga Teitoku. Ia keluar dari kehidupannya sebagai samurai dan pergi merantau ke Edo. Di situ ia mulai memupuk karirnya. Pada mulanya ia sering membaca pantun-pantun Danrin, tapi lambat laun ia lebih menjurus pada terbentuknya gaya gubahannya sendiri yang bersifat sunyi, sepi, tapi mulia yang terinspirasi dari Zen. Pada masa tuanya ia sering mengadakan perjalanan kemana-mana sampai akhir hayatnya. Karyanya antara lain Oku no Hosomichi, Nozarashi Kikou, dan lain-lain. Pengarang Haikai pada zaman Chuukouki yang terkenal adalah Yosa Buson dan pada zaman Kaseiki adalah Kobayashi Issa.


(39)

Bentuk-bentuk sastra itu hanya sedikit hubungannya dengan kaum bangsawan berpangkat tinggi atau dengan keluarga samurai berpangkat tinggi, tetapi mewakili pandangan rakyat biasa dan karenanya tersebar kemana-mana. Dalam bidang kesenian, aliran Kanô menjadi sumber pelukis-pelukis resmi bagi lembaga shogun, dan oleh karena itu hanya mengerjakan penerusan corak dan gaya tertentu secara turun-temurun, tetapi gaya baru yang menarik muncul di antara pelukis-pelukis ‘tidak resmi’ di masa itu. Salah satu contoh adalah lukisan dekoratif oleh Hon’ami Koetsu, Tawaraya Sotatsu, dan Ogata Korin. Seni mencetak gambar dengan cukilan kayu yang disebut ukiyo-e mengalami kemajuan dalam segi teknis yang menuju kepada zaman emas nishiki-e (gambar cetak polychrome). Baik dalam tema maupun pada pribadi senimannya, nishiki-e merupakan hasil karya murni yang berasal dari kelas pedagang, yang kebudayaannya menemukan perwujudan paling lengkap dan bebas dalam bentuk ini.

2.2.5 Pendeta dan Ajaran Agama Zaman Edo

Dalam bahasa maupun agama, Jepang telah membuka diri dan mau mengambil dari luar, kemudian diintegrasikan dengan miliknya sendiri dan membentuk sesuatu yang baru sebagai hasil sintesa itu. Pengaruh kebudayaan Cina terhadap Jepang, selain dalam perkembangan bahasa dan agama, juga terdapat dalam sikap hidup. Di antara ajaran-ajaran yang dibawa pulang ke Jepang, yang terpenting adalah ajaran Konfusius atau Kongfutse. Meskipun ajaran Konfusius masuk ke Jepang lama sebelumnya, namun perkembangan


(40)

pengaruhnya terbesar di Jepang adalah selama masa isolasi Tokugawa (1616-1868).

Sebelum masa Tokugawa, kaum samurai banyak terlibat pada peperangan, maka mereka lebih menaruh perhatian pada hal-hal yang memberikan kepercayaan pada diri sendiri yang memperkuat rasa batinnya dengan menekankan konsep meditasi, kesederhanaan, dan keakraban dengan alam. Sebab itu agama Buddha Zen sangat digemari oleh kaum samurai. Tetapi dalam masa isolasi, Jepang berada dalam keadaan damai selama 250 tahun. Selama itu kaum samurai menjalankan fungsi administrator. Untuk itu, para shogun dari keluarga Tokugawa melihat manfaat dari ajaran Konfusius yang mengajarkan agar bawahan setia dan tunduk sepenuhnya kepada atasannya, sehingga tercipta suatu keutuhan organisasi. Tetapi sebaliknya, pihak atasan atau yang berkuasa harus menunjukkan kecakapan dan keunggulan moralnya. Ajaran Konfusius juga mengajarkan pentingnya keteraturan dan kestabilan yang sesuai dengan keperluan masa isolasi jepang (Sayidiman , 1982: 200).

Pembesar-pembesar negri menyukai agama Buddhisme dan melindunginya. Tetapi mereka tidak menaikkan Buddhisme menjadi agama negara, yang menjadi agama negara adalah Konfusianisme. Karena shogunat Tokugawa lebih mengutamakan agama Buddha dan Konfusianisme dibandingkan Shinto, berarti bahwa para shogun Tokugawa mementingkan hal-hal yang datang dari Cina untuk memperkuat bangsa Jepang Sendiri.

Tokugawa Ieyasu mengangkat seorang sarjana Konfusianisme menjadi filsuf resmi di istananya untuk mengajarkan kitab-kitab klasik Cina, diantaranya Fujiwara Seika dan Hahashi Doshun.


(41)

Filsafat Konfusianistis yang diakui oleh shogun Tokugawa adalah sebagaiman yang ditafsirkan oleh Chu Hsi (1130-1200), seorang filsuf zaman Sung, yang mengajarkan bahwa orang bijaksana harus memberi pelajaran kepada rakyat bagaimana harus bersikap. Doktrin ini memberi tunjangan yang menyenangkan pada shogunat dan oleh karena itu dipuji oleh semua pembesar feodal. Tetapi ada juga yang mengikuti ajarannya filsuf Wang Yang-Ming (1472-1529), yang dalam bahasa Jepang disebut O Yomei, dari zaman Ming. Menurut O Yomei, pengetahuan sendiri (self knowledge) adalah bentuk tertinggi pengetahuan. Orang dapat menemukan asas kelakuanyang tepat dengan memahami sifat sendiri tanpa membuang-buang waktu dengan menebak-nebak undang-undang alam. Rational Empiricism disukai oleh golongan tinggi kauam samurai karena berdasarkan intuisi dan self control. Sarjana-sarjana yang telah biasa dengan pemikiran merdeka, condong pada O Yomei. Beberapa diantara sarjana yang tidak menyembunyikan pemikiran mereka, ditegur dan dihukum oleh bakufu. (Nio Joe Lan, 1962: 101-102).

Pengikut-pengikut pertama dari ajaran O Yomei adalah Nakae Toju, yang meninggal dalam tahun 1648, dan Kumazawa Banzan, yang wafat dalam tahun 1691 ketika masa pembuangan. Hukuman yang didapatnya karena mencela pemerintah dalam sejumlah ceramah dihadapan kaum ningrat istana. Maka menjelang akhir abad ke-18, bakufu atas anjuran filsuf-filsuf resmi mereka melarang dibicarakannya doktrin-doktrin yang bukan doktrin Chu Hsi, yang diakui dengan resmi oleh shogun dan sekolah-sekolah (Nio Joe Lan, 1962: 108).

Ogyu Sorai (1666-1728) adalah satu diantara pemimpin-pemimpin sekte filsafat yang menyebut dirirnya sekolah kuno kerena menolak untuk menerima


(42)

tafsiran modern doktrin Cina dan berpaling balik sehingga sampai kepada Konfusius dan Mensius dengan mengambil juga pikiran-pikiran baru. Adanya berbagai pikiran Konfusianistis di Jepang memperbesar perhatian pada sastra Cina klasik.

Dalam agama Shinto, pada pertengahan pertama abad ke-19 dibangun sekte-sekte baru. Wanita juga mengambil bagian aktif pada kegiatan-kegiatan mengenai agama Shinto. Beberapa sekte dibangun oleh mereka. Salah satunya dalam tahun 1838 seorang wanita, Nakayama Miki, membangun sebuah sekte Shinto yang dinamakan Tenrikyo.

2.2.6 Kehidupan Masyarakat Jelata Pada Zaman Edo

Selama masa kekuasaan Tokugawa, peraturan empat kelas dalam masyarakat (Shi-nou-kou-shou) makin diperketat. Garis pemisah antara samurai dengan kelas-kelas lainnya makin dipertegas. Hanya kaum samurai yang boleh memakai nama keluarga dan nama kecil serta menggunakan dua buah pedang. Bahkan antara kelas-kelas petani, tukang, dan pedagang pun diadakan pemisahan, sehingga orang tidak dapat berganti status.

Meskipun di dalam zaman ini mereka yang berhubungan dengan ekonomi mempunyai tingkat yang rendah dalam masyarakat, namun pada satu ketika, kaum samurai menjadi sangat tergantung kepada mereka. Apalagi untuk membiayai kehidupan mereka di kota Edo, kaum samurai mau tidak mau harus berhubungan dengan para pedagang. Pedagang yang seperti ini biasanya berfungsi sebagai bangkir. Dengan demikian bertambahlah pengaruh para pedagang yang secara resmi berada dalam tingkat sosial terendah. Para pedagang pun tahu bahwa


(43)

pengaruh itu hanya bermanfaat kalau mereka tidak menonjolkan diri dalam politik. Sebab itu, pengaruh tersebut digunakan secara tidak langsung melalui para samurai yang berhubungan dengan mereka. Dengan cara itulah Mitsui dan pedagang lain tumbuh, bahkan di antara ada yang diberi status samurai (Sayidiman, 1982: 78-78).

Pada saat terjadi kesulitan keuangan, bakufu dan daimyo semakin keras dalam memungut pajak dari petani, yang mengakibatkan petani menderita kemiskinan yang semakin parah. Banyak di antara mereka yang terpaksa melepaskan tanahnya dan menjadi buruh tani meskipun beberapa petani yang lebih baik keadaannya mulai membuka toko minuman keras atau menjadi lintah darat. Dengan cara ini mereka menjadi kaya. Petani yang paling miskin mulai berkelompok untuk membela haknya dengan cara memeberontak. Pemberontakan petani pun semakin sering dan terjadi dengan hebat. Bahkan di Osaka dalam tahun 1837 keadaan petani sampai pada tingkat “putus harapan”. Kebencian mereka pada orang-orang kaya terwujud dalam penyerangan ke rumah-rumah saudagar beras besar (Samson dalam Nio Joe Lan, 1962: 111).

Dengan latar belakang kegelisahan sosial, kebudayaan mencapai tingkat kegemerlapan. Kebudayaan yang berasal dari zaman sebelumnya berlangsung terus di Kyoto dan Osaka, tetapi kota Edo yang menjadi pusat baru menjadi tempat orang-orang borjuis, sehingga muncul lah kebudayaan pedagang kota (chounin). Kebudayaan ini berpusat sekitar tempat-tempat hiburan kota, tempat para pedagang yang pada hakikatnya adalah orang orang yang bekerja keras, sederhana, menghasilkan uang banyak dan cinta keluarga, bersantai disertai penghibur-penghibur profesional yang disebut dengan geisha dalam zaman


(44)

modern. Di sini mereka bebas dari tanggung jawab perusahaan, keluarga, dan ketentuan-ketentuan yang menekan dari penguasa-penguasa feodal. Dalam lingkungan bebas seenaknya ini timbul seni yang kaya, teater, dan sastra yang berbeda sekali dari seni kaum samurai. Diantaranya drama Kabuki dan Joruri, sajak Haiku, Ukiyo’e, dan lain-lain. Kebudayaan chounin ini matang dalam abad ke-17 akhir.

2.3 Musashi

Miyamoto Musashi, merupakan tokoh utama dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa. Ia lahir tahun 1584 di propinsi Harima, di sebuah desa bernama Miyamoto. Ia lahir dari seorang ayah, Hirata Munisai, seorang samurai pemilik tanah dengan status hamba senior bagi klan Shinmen, dan akhirnya diizinkan untuk menggunakan nama keluarga itu. Dan ibunya yang bernama Yoshiko, istri kedua dari Munisai. Musashi menyatakan nama lengkapnya Shinmen Musashi Fujiwara Genshin. Sewaktu kecil, ia dipanggil dengan nama Bennosuke, tapi di dalam novel Musashi, ia dipanggil dengan nama Takezo.

Musashi kecil tumbuh sebagai anak yang liar, nakal, licik dengan tubuh yang kuat. Ia disebut dengan Gaki Daisho lokal atau “Komandan Tertinggi” dari setiap anak nakal dan menjadi sasaran utama dari setiap sumpah serapah di wilayah Hirafuku. Umur 13 tahun, ia berkelahi (dengan pedang) dengan Arima Kihei, seorang samurai hebat yang menguasai aliran Shinto-ryu. Pertarungan pertamanya ini sekaligus sukses pertamanya. Usia 16 tahun, ia bertarung dengan seorang ahli pedang bernama Akiyama, yang ia kalahkan.


(45)

Tahun 1600, ia ikut dalam perang besar Sekigahara di bawah komando Ukita. Dalam pertempuran ini, Ukita Hideie bertempur di Kubu Barat (keluarga Hideyoshi) yang melawan Kubu Timur (keluarga Tokugawa). Peperangan ini dimenangkan oleh Kubu Timur dan sekaligus sebagai pertanda keshogunan jatuh ke tangan keluarga Tokugawa. Walaupun tentara Ukita habis tewas terbunuh, Musashi tetap selamat. Musashi mulai menjalani kehidupan sebagai seorang shugyosha (pendekar pedang di masa pelatihan yang mengembara keseantero negri, yang hidupnya tanpa uang atau pekerjaan tetap) yang menggelandang. Kehidupan yang kelak ia teruskan dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya sampai ke akhir hayatnya. Harta miliknya hanya satu-dua pakaiannya di punggungnya, sedikit peralatan menjahit, sejumlah kecil uang saku, sebatang pena, kuas, tinta, dan tentu saja pedang.

Empat tahun kemudian, pada usia 20 tahun, ia menantang perguruan pedang Yoshioka di Kyoto. Pertama pertarungan melawan Yoshioka Seijuro (kepala klan Yoshioka) di Propinsi Yamashiro, di luar ibukota, di padang Rendai (sebelah barat gunung Funaoka, Kita-Ku, Kyoto), kemudian melawan Yoshioka Denshichiro dan pertarungan melawan Yoshioka Matashichiro di hutan pinus di Ichijoji. Ia memenangkan ketiga pertarungan itu, semua dilakukannya dengan dua bilah bokken-pedang kayu. Gaya dua pedang ini akhirnya menjadi aliran Musashi sendiri, yang disebut dengan Niten-Ichiryu.

Usia 28 tahun, setelah bertahun-tahun mendalami pedang dengan caranya sendiri dan menjadi terkenal karena banyak mengalahkan samurai hebat. Musashi sampai pada pertarungan yang ia yakini sebagai pertarungan yang sulit yaitu ketika melawan Sasaki Kojiro, ahli pedang tampan yang menggunakan nodachi


(46)

(pedang panjang yang dipegang dengan kedua tangan), yang disebutnya “Galah Pengering”. Pada waktu pertarungan, Musashi sengaja datang terlambat ke pulau Ganryu, membiarkan Kojiro memendam jengkel yang ia yakini akan mempengaruhi mental bertempurnya. Ia pun mengubah dayung kapalnya yang sangat panjang untuk menandingi nodachi Kojiro. Dalam pertarungan, Kojiro kalah hanya dalam satu sabetan (dayung) ke kepalanya.

Antara tahun 1614-1615, ia ikut dalam usaha menjatuhkan kastil Osaka di bawah pimpinan Tokugawa Ieyasu melawan Sanada Yukimura. Setelah sukses, ia ditunjuk menjadi pengawas konstruksi pembangunan oleh klan Ogasawara. Diyakini karena ia dianggap ahli dalam material kayu. Tahun 1627, dalam usia 43 tahun, ia mengembara kembali sebagai shugyosha. Pada saat ini ia tidak mempunyai keinginan menambah rekor pertarungan samurainya. Musashi bukanlah tipe samurai yang menantang setiap samurai yang ia temui.

Tahun 1637, usia 54 tahun, Musashi ikut bertempur melawan para pemberontak di Shimabara (prefektur Nagasaki). Tahun 1640, ia mengajar melukis dan bertempur pada tentara keluarga Ogasawara Tadazane. Tiga tahun kemudian, merasa tidak menemukan lagi lawan yang seimbang, ia bermeditasi di gua Reigan, sebuah gua di pegunungan Kumamoto (prefektur Kumamoto). Di sana ia menulis karyanya yang terkenal tentang filosofi pertarungan, yang berjudul Go Rin no Sho (Kitab Lima Lingkaran). Beberapa minggu setelahnya, tanggal 13 juni 1645, Musashi meninggal.

Jepang kemudian mencatatnya dalam sejarah sebagai samurai terhebat yang pernah mereka miliki. Menurut monumen Kokura Hibun yang didirikan pada 1654:


(47)

“Keperkasaan dan ketenaran Musashi tidak bisa dilebih-lebihkan lagi, bahkan sekalipun lautan mempunyai mulut atau lembah mempunyai lidah” (Wilson, 2006: 21). Kokura Hibun adalah sebuah monumen batu yang dipersembahkan untuk Musashi oleh anak angkatnya, Iori. Musashi mempunyai dua orang anak angkat. Yang pertama bernama Miyamoto Mikinosuke, yang melakukan junshi ketika usianya 23 tahun. Kemudian dua tahun sebelum kematian Mikinosuke, ia mengadopsi seorang anak laki-laki yang bernama Iori.

Dalam bab pembuka Kitab Lima Lingkaran, Musashi menulis bahwa sampai usia 28 atau 29 tahun, ia telah melakukan enam puluh pertarungan. Setelah itu, pertarungan pribadinya menjadi jauh lebih jarang. Pengalaman bertarung dengan Sasaki Kojiro memengaruhi kehidupan Musashi berikutnya. Kemudian pertarungan-pertarungan individualnya tidak pernah lagi berakhir dengan kematian atau cedera yang membuat cacat. Ia lebih banyak terlibat dalam disiplin kuat yang kelak memperhalus seninya dan meneranginya sampai ke titik artikulasi.

Keakrabannya semakin mendalam dengan ajaran Buddha terutama aliran Zen. Musashi adalah salah satu pendekar sekaligus seniman yang diilhami oleh ajaran Zen. Ia ahli dalam berbagai bidang seni diantaranya, seni minum teh, puisi, lukisan tinta India (suibokuga), seni patung, ahli dalam merancang taman resmi, dan ahli metalurgi. Musashi sangat aktif selama zaman yang dikenal dengan sebutan Renaissans Kyoto (tahun 1550-1650).

Adapun buku-buku yang ditulis oleh Musashi, yang diantaranya diwariskan kepada murid-muridnya, yaitu.


(48)

2. Tiga Puluh Lima Petunjuk Tentang Seni Bela Diri 3. Kitab Lima Lingkaran (Go Rin no Sho)

Kitab Lima Lingkaran yang ditulis oleh Musashi dipengaruhi oleh beberapa ahli, yaitu :

1. Sun Tzu,

Merupakan penulis China abad kelima atau keenam yang menulis kitab dengan judul yang sama, yang diterjemahkan menjadi Seni Perang. Itu adalah kitab China pertama dan yang paling dihormati tentang doktrin-doktrin strategis dan taktis dalam perang, dan dibaca oleh para jenderal serta ksatria baik di China maupun Jepang. Kitab itu menekankan gagasan bahwa kemenangan dalam pertempuran didasarkan pada tipu daya dan fleksibilitas.

2. Takuan Soho (1573-1645)

Biksu Zen yang terkenal karena kaligrafi, syair, dan tulisan-tulisan lain, menciptakan acar, yang disebut dengan acar takuan. Menulis “Pikiran Tak Terbatas”, yang membahas hubungan antara Zen dengan permainan pedang.

3. Yagyu Munenori (1571-1646)

Anak Yagyu Sekishusai. Mendirikan Yagyu Shinkage-ryu cabang Edo. Menjadi instruktur pedang resmi bagi tiga Shogun Tokugawa berturut-turut, dan menulis manual pedang terkenal, Pedang Pemberi Kehidupan. 4. Kitab Hsinhsinming

Yang dalam bahasa Jepang disebut Shinjinmei. Ini adalah sebuah syair panjang yang terdiri atas kaplet-kaplet pendek yang mudah diingat, yang


(49)

menekankan prinsip-prinsip dasar Zen, dan konon banyak dibumbui dengan konsep-konsep Tao. Rahib yang diberi penghargaan sebagai penulisnya, Seng-ts’an, adalah patriarki Zen ketiga di China. Konon ia meninggal sekitar tahun 606 M. Persisnya kapan karya itu dibawa ke Jepang tidak diketahui, tetapi rupanya karya itu dibaca luas oleh para pengikut Zen sejak abad ke-13.

2.4 Riwayat Hidup Eiji Yoshikawa

Eiji Yoshikawa lahir dengan nama Hidetsugu Yoshikawa pada 11 Agustus 1892 di Perfektur Kanagawa, sekarang bagian dari Yokohama. Ia berasal dari keluarga samurai miskin. Kesulitan keuangan dalam keluarganya menyebabkan Yoshikawa terpaksa keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan pada usia 11 tahun. Ia lalu bekerja serabutan untuk bisa hidup, termasuk diantaranya bekerja di galangan kapal. Waktu-waktu luangnya yang sedikit ia habiskan dengan membaca dan mencoba menulis haiku serta cerita. Haiku adalah puisi pendek khas Jepang yang sangat indah.

Ketika ia berumur 18 tahun, ia mengalami suatu kecelakaan ditempat ia bekerja di dermaga Yokohama. Kemudian ia pindah ke Tokyo. Di sana ia mulai menulis senryu atau haiku lucu dengan menggunakan nama pena “Kijiro”.

Tahun 1914, dengan cerita Hikayat Enoshima, ia menang juara pertama pada lomba menulis yang disponsori oleh penerbit Kodansha. Ia bergabung dengan surat kabar Maiyu tahun 1921 dan dalam tahun ini ia mulai menerbitkan cerita-cerita bersambungnya, yang di mulai dengan Life of Shinran (Shinran).


(50)

peristiwa gempa bumi, menguatkan keputusannya untuk menjadi novelis profesional.

Berbagai jenis novel ditulisnya: humor, thriller, dan roman. Tidak jarang ia menulis sekaligus tiga novel. Novel-novel yang ditulisnya diterbitkan oleh Kodansha, yang menjadikan Yoshikawa sebagai penulis nomor satunya. Ia menggunakan 19 nama pena sebelum akhirnya memutuskan memakai nama Eiji Yoshikawa. Ia pertama kali menggunakan nama penanya dalam cerita seri Sword Trouble, Woman Trouble (Kennan Jonan). Kemudian ia menulis cerita seri Secret Record of Naruto (Naruto Hitcho) di Mainichi Shimbun. Tetapi ia tidak pernah puas dengan tulisannya dalam hal selera publik.

Sejak tahun 1930, terjadi perubahan gaya penulisan pada dirinya. Ia mengekspresikan pandangan-pandangan pada masanya dengan setting masa lampau atau sejarah. Pada tahun 1935, ia menulis cerita seri Musashi, yaitu mengenai pendekar pedang kenamaan Miyamoto Musashi di Asahi Shimbun, dengan menulis cerita inilah ia menekankan genre tulisannya pada jenis sejarah pertualangan fiksi. Tidak kurang dari 1.009 nomor urutan serial itu. Ini berarti pemuatannya setiap hari selama tiga tahun lebih.

Selama perang dengan Cina tahun 1937, Asahi Shimbun mengirimnya ke lapangan sebagai wartawan khusus dan ia menulis laporan-laporan perjalanannya. Pada waktu itu ia diceraikan oleh istrinya, Yasu Akazawa, kemudian ia menikah lagi dengan Fumiko Ikedo. Selama perang ia melanjutkan menulis novel dan banyak terinspirasi dari kebudayaan Cina. Pada waktu ini ia mengerjakan novel Taiko dan novel adaptasi (terjemahan) dari kisah popular Cina, Romance of The Three Kingdoms (Sangoku Shi).


(51)

Ketika peperangan berakhir, ia berhenti menulis dan beristirahat di Yoshino (sekarang Oumeshi) di pinggiran Tokyo. Tapi, kemudian ia menulis lagi pada tahun 1947. Karyanya yang juga terkenal adalah New Tale of Heike (Shin Heike Monogatari), yang terdiri atas 24 jilid, yang ditulisnya antara tahun 1950-1957 dan Private Record of The Pasific War (Shihon Taihei ki) tahun 1958.

Yoshikawa mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya, antara lain: Tanda Jasa Kebudayaan yang bergengsi (penghargaan yang tertinggi untuk pria) tahun 1960, dan tidak lama setelah ia meninggal dunia, ia mendapatkan penghargaan Mainichi Art Award pada tahun 1962. Ia meninggal dunia karena kanker. Yoshikawa merupakan salah satu penulis novel sejarah terbaik yang paling terkenal di Jepang dan di dunia secara umum.

Mengenai novel Musashi sendiri, telah diterjemahkan dalam versi Inggris oleh Charles S. Terry, yang tebalnya 970 halaman dengan buku ukuran 19×24cm, yang merupakan ringkasan dari naskah aslinya yang tebalnya 26.000 halaman. Dari bahasa Inggris diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia, yang awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Sampai saat ini novel Musashi telah terjual tidak kurang dari 120 juta eksempelar keseluruh dunia dan menjadi salah satu novel terlaris di Jepang. Karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing dan menjadi dasar bagi banyak film, artikel majalah, serial televisi, dan ke dalam komik yang berjudul Vagabond.


(52)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL MUSASHI

3.1 Kehidupan Keshogunan dan Hubungannya dalam Masyarakat

Berikut adalah kehidupan para shogun dan hubungannya dengan masyarakat lain yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

Sekalipun mesih memegang kekuasaan, Ieyasu secara resmi sudah mengundurkan diri dari kedudukan shogun. Selagi masih cukup kuat menguasai daimyo lain dan mempertahankan hak keluarga untuk berkuasa, Ia menyerahkan gelarnya kepada anak lelakinya yang ketiga, Hidetada. Ada desas-desus bahwa shogun baru akan segera mengunjungi Kyoto untuk menyatakan hormatnya kepada Kaisar, tapi semua tahu bahwa perjalanan ke barat itu akan lebih dari sekedar kunjungan kesopanan. Saingan terbesarnya yang potensial, Toyotomi Hideyori, adalah anak Hideyoshi, penerus Nobunaga. Hideyoshi telah berbuat sebisa-bisanya agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga Toyotomi sampai Hideyori cukup umur, tetapi pemenang di Sekigahara adalah Ieyasu.

Hideyori masih bersemayam di Puri Osaka. Meskipun Ieyasu tidak menyingkirkannya, malahan mengizinkannya menikmati penghasilan tahunan yang besar jumlahnya, ia sadar bahwa Osaka merupakan ancaman besar…Sering orang mengatakan bahwa Hideyori memiliki cukup banyak puri dan emas hingga bisa membeli semua samurai tak bertuan atau ronin di negeri itu, jika ia mau. (Musashi : 145-146)


(53)

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bagaimana hubungan antara Shogun Tokugawa, keluarga Kaisar, keluarga mantan penguasa, yaitu keluarga Toyotomi.

Keluarga Toyotomi yang kalah dalam pertempuran Sekigahara masih tetap tidak mengakui kekuasaan Ieyasu. Mereka terus mengadakan perlawanan dalam Istana Benteng Osaka. Karena banyaknya pendukung keluarga Toyotomi yang mati dalam pertempuran, maka semakin banyak pula ronin (samurai tak bertuan) yang menunggu waktu untuk berperang membalas dendam terhadap keluarga Tokugawa. Dalam proses sosial, antara keluarga Tokugawa dan keluarga Toyotomi terdapat pertentangan politik. Biasanya pertentangan antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat ataupun antara kelompok yang berkuasa. Pertentangan ini akan berakhir tetapi menimbulkan bentuk pertentangan lainnya, yaitu setelah keluarga Hideyoshi dikalahkan di Sekigahara, maka pendukung-pendukung Hideyoshi dan ronin-ronin pun terus mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Tokugawa. Walaupun demikian, Tokugawa tetap membiarkan keluarga Toyotomi mendapatlkan penghasilan tahunan hingga tahun 1614 Tokugawa benar-benar menghabisi seluruh keluarga Toyotomi pada Pertempuran Musim Panas di Osaka.

Dalam hubungannya dengan Kaisar, keluarga Tokugawa membiarkan Kaisar memerintah di Kyoto. Kaisar tidak melakukan pekerjaan pemerintah. Tugas dan kewajiban Kaisar adalah menunjukkan kehormatan kepada nenek moyang dan memohon berkahnya untuk bangsa Jepang. Kaisar diakui sebagai dewa tertinggi di Jepang pada masa itu. Namun, Kaisar tetap dipandang sebagai sumber kekuasaan, shogun hanya hambanya saja. Kaisar pun dapat memberikan


(54)

suatu gelar kehormatan kepada seseorang. Kaisar diberi penghasilan yang kecil ,tetapi mencukupi.

Cuplikan 2

“Dia memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka tentunya orang penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita, kitalah satu-satunya orang yang berarti.”

“Tapi Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba membahagiakan rakyat. Biarpun seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri terhadap diri sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap patut mendapat pujian. Shogun-shogun Ashikaga jauh lebih buruk.”

“Bagaimana buruknya?”

“Kau pernah mendengar Perang Onin, kan?” “Hm.”

“Ke-shogun-an Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para prajurit selamanya saling berperang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian sungguh-sungguh terhadap negeri secara keseluruhan.” (Musashi : 399)


(55)

Analisis

Cuplikan dialog di atas adalah dialog antara Otsu dan Jotaro. Mereka menilai penguasa-penguasa yang telah dan sedang menguasai negeri Jepang. Menjelang pertengahan abad keenam belas, ketika keshogunan Ashikaga ambruk, Jepang menyerupai medan pertempuran raksasa. Panglima-panglima perang memperebutkan kekuasaan, tapi dari tengah-tengah mereka muncul tiga sosok besar. Ketiga laki-laki itu sama-sama bercita-cita untuk menguasai dan mempersatukan Jepang. Namun, sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain. Nobunaga adalah orang yang gegabah, tegas, brutal; Hideyoshi adalah orang yang sederhana, halus, cerdik, dan kompleks; sedangkan Ieyasu adalah orang yang tenang, sabar, dan penuh perhitungan.

Sebenarnya siapa yang terbaik dari ketiga orang tersebut. Yang pertama Oda Nobunaga, merebut Kyoto dalan tahun 1568, pura-pura menyokong Ashikaga dan kemudian menaklukkan tuan-tuan yang lebih kecil di Jepang Tengah dan menghancurkan kekuasaan kuil-kuil Buddha yang besar-besar. Sesudah Nobunaga terbunuh dalam tahun 1582, kedudukannya diserahkan kepada jendralnya yang paling menonjol, yaitu Hideyoshi, yang berasal dari keluarga petani dan pada mulanya tidak mempunyai nama keluarga. Pada tahun 1590 Hideyoshi menetapkan kekuasaannya atas seluruh negara dengan membinasakan semua saingannya atau memaksa mereka menjadi anteknya. Setelah Hideyoshi meninggal, timbul perebutan kekuasaan di antara para daimyo dan akhirnya dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu dalam Perang Sekigahara.


(56)

3.2 Kehidupan Daimyo dan Hubungannya dalam Masyarakat

Berikut adalah kehidupan para daimyo pada zaman Edo dan hubungannya dengan masyarakat lain yang dapat dilihat melaui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

…Para petani dan pekerja di ladang melambaikan tangan kepadanya (Otsu). Karena dalam waktu yang singkat di sana itu Otsu sudah cukup dikenal oleh rakyat setempat. Memang, hubungan mereka dengan Sekishusai jauh lebih bersahabat daripada yang biasa terjadi antara tuan tanah dan para petani. Para petani di situ semuanya tahu bahwa seorang perempuan muda yang cantik datang untuk bermain suling bagi tuannya. Kekaguman serta rasa hormat kepadanya pun menjalar kepada Otsu. (Musashi : 253)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa hubungan tuan tanah (daimyo) dengan para petani (penyewa tanah) berbeda sekali dengan hubungan tuan-tuan tanah lainnya dengan para petani penyewa tanah. Biasanya untuk menutupi hidup tuan tanah (daimyo), usaha satu-satunya adalah menaikkan pajak pertanian sehingga pajak mencapai antara 40% sampai 60% dari pendapatan petani. Karena itu banyak petani yang tidak senang dan ingin memberontak, tetapi walaupun demikian mereka tidak dapat memberontak, karena masih diberlakukannya larangan pemilikan senjata bagi para petani yang di sebut Katanagari.

Dilihat dari dekatnya hubungan Sekishusai dengan para petaninya, maka dapat diketahui bahwa ia lebih memutuskan menjadi kepala desa dan pemimpin pedesaan daripada mengikuti seorang tuan bekerja sebagai birokrat. Jadi,


(57)

desa-desa memiliki pemimpin lokal yang kuat dan menganut banyak sikap dan nilai etika kelas samurai, dan mereka diberikan otonom yang banyak dalam menjalankan urusannya sendiri dan menetapkan serta memungut pajak.

Cuplikan 2

Pengelolaan tempat semayam Hosokawa yang indah di Edo, demikian juga pelaksanaan kewajiban-kewajiban perdikan untuk shogun, dipercayakan pada seorang lelaki yang baru berumur dua puluh lebih sedikit, Tadatoshi, anak tertua daimyo Hosokawa Tadaoki. Sang ayah, seorang jenderal ternama yang juga mempunyai nama baik sebagai penyair dan ahli upacara minum teh, lebih suka tinggal di perdikan Kokura yang besar di Provinsi Buzen, Pulau Kyushu. (Musashi : 866)

Analisis

Dari cuplikan di atas, bahwa adanya ketentuan sankinkotai yang dibuat oleh bakufu untuk para daimyo. Bakufu telah membangun rumah-rumah untuk semua daimyo dari semua daerah di Jepang. Daimyo Shimpan dan Fudai menempatkan keluarganya di Edo sebagai “tawanan” dan para daimyo tersebut selang 6 bulan tinggal di wilayahnya. Dan bagi para daimyo Tozama kewajiban ini lebih keras, harus tinggal di daerahnya dan di Edo selang setahun.

3.3 Kehidupan Samurai dan Hubungannya dalam Masyarakat

Berikut adalah kehidupan para samurai pada zaman Edo yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.


(1)

Cuplikan 9

Perintah yang dikeluarkan oleh benteng berbunyi:

Pada tanggal tiga belas bulan ini, pada pukul delapan pagi, di Pulau Funashima di Selat Nagato di Buzen, Sasaki Kojiro Ganryu, seorang samurai dari perdikan ini, atas nama Yang Dipertuan akan melakukan pertarungan dengan Miyamoto Musashi, seorang ronin dari Provinsi Mimasaka.

Para pendukung kedua pemain pedang dilarang keras membantu atau mngarungi perairan antara daratandan Pulau Funashima. Sampai pukul sepuluh pagi tanggal empat belas, kapal pesiar, kapal penumpang, atau perahu nelayan tidak diizinkan memasuki selat. Bulan empat (1612)

(Musashi : 1206) Analisis

Dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa pada waktu itu cara untuk menantang orang bertarung adalah dengan memasang pengumuman seperti cuplikan diatas. Pengumuman itu dipasang di jalan-jalan yang sering dilewati orang. Pengumuman itu sengaja dibuat agar dilihat oleh masyarakat luas supaya mereka dapat menjadi saksi dan orang yang ditantangnya harus datang dengan ketentuan kalau ia tidak datang, ia akan dipermalukan oleh seluruh masyarakat. Seorang samurai akan lebih memilih mati dari pada dipermalukan di depan umum.

Melalui papan pengumuman tantangan diatas, maka telah terjadi komunikasi antara Musashi dan Kojiro melalui papan pengumuman itu sebagai perantara dalam kontak sosial. Kontak sosial seperti ini di sebut kontak sosial sekunder, di mana masing-masing pihak memberikan tanggapan dari papan pengumuman itu. Setelah kedua belah pihak mengetahui perasaan masing-masing maka telah terjadi komunikasi diantara mereka.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Novel Musashi merupakan novel karya Eiji Yoshikawa yang termasuk ke dalam jenis novel sejarah. Novel ini menggambarkan keadaan sejarah Jepang pada awal zaman Edo (1600-1602), terutama kehidupan sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

2. Novel Musashi mempunyai tokoh utama, Miyamoto Musashi, yaitu seorang pendekar pedang yang berkelana atau mengembara dari satu daerah ke daerah lain di Jepang. Di dalam novel dapat dilihat hubungan Musashi dengan orang lain dalam masyarakat dan bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain, di mana pada saat itu ada empat lapisan masyarakat Jepang, yaitu prajurit, petani, tukang, dan pedagang. Selain itu, dapat juga dilihat hubungan dari setiap tokoh dalam novel Musashi.

3. Dengan membaca novel Musashi dapat dilihat sejarah Jepang pada awal zaman Edo. Di dalam novel Musashi tidak hanya menyajikan cerita, tapi juga banyak makna dan pesan yang disampaikan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalam novel. Salah satu contohnya adalah melalui tokoh Musashi, Musashi tak kenal henti untuk selalu belajar dan berdisiplin diri untuk memoles semua bakat-bakat yang ada dalam dirinya. Walaupun banyak rintangan-rintangan yang menghadang, ia akan selalu bangkit hingga mencapai tujuannya. Tekad


(3)

Musashi yang seperti itu memberikan motivasi bagi para pembaca novel Musashi.

4. Dari golongan kelas atas sampai golongan kelas bawah dapat dilihat kehidupannya di dalam novel Musashi. Karena itu, banyak unsur-unsur sosial terdapat dalam novel, seperti interaksi sosial, stratifikasi sosial, perubahan sosial, dan lain sebagainya.

5. Novel Musashi karya Eiji Yoshikawa juga mengandung nilai-nilai kebudayaan Jepang meliputi agama, kesenian, sistem kemasyarakatan, dan lain-lain yang direpresentasikan melalui fenomena-fenomena sosiologis yang dihubungkan dengan kenyataan yang pernah terjadi.

6. Novel Musashi karya Eiji Yoshikawa yang merupakan novel sejarah benar-benar merefleksikan kehidupan nyata masyarakat antara tahun 1600-1612, yaitu meliputi kehidupan shogun, daimyo, samurai, pendeta, seniman, masyarakat jelata, dan hubungan mereka di dalam masyarakat.

4.2 Saran

1. Melalui skripsi ini penulis berharap agar apresiasi mesyarakat terhadap sastra lebih baik lagi, khususnya novel yang berjenis sejarah. Karena selain mendapatkan cerita yang bagus, berbagai macam pengetahuan pun dapat diketahui, terutama terhadap novel Musashi yang memang telah dibaca oleh jutaan orang di dunia.

2. Penulis menyarankan pada siapa saja yang ingin menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sosiologinya, terlebih dahulu harus mengumpulkan berbagai referensi mengenai novel yang akan diteliti, seperti


(4)

zaman yang ada di dalam novel dan memahami betul mengenai teori-teori sosiologi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Asoo, Isoji, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan jepang (Nihon Bungakushi). Jakarta:

UI-Press.

Bellah, Robert N. 1992. RELIGI TOKUGAWA Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lan, Nio Joe. 1962. Djepang Sepandjang Masa. Jakarta: PT Kinta Djakarta. Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta.

Luxemburg, Jan Van. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurgiantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ___________________. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Reischauer, Edwin O. 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Sakamoto, Taro. 1982, JEPANG Dulu Dan Sekarang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press (Yayasan Obor Indonesia.)


(6)

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Dari Tuan Kepada Keshogunan Dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) Di Jepang. Medan: USU Press. Soekanto, Soerjono. 1982. SOSIOLOGI Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press dan Pustaka Bradjaguna.

Toyota, Toyoko dan Abe Yuko. 1988. Nihon Jijou Shiirizu: Nihon no Rekishi. Tokyo: The Society for Teaching Japanese as a Foreign Language.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1997. Teori Kesusastraan (Terj. M. Budianto). Jakarta: PT Gramedia.

Wilson, William Scott. 2005. The Lone Samurai Kehidupan Miyamoto Musashi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yoshikawa, Eiji. 2001. Musashi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Http://id,wikipedia.org/wiki/Miyamoto_Musashi.