Realita Jugun Ianfu Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 Di Indonesia (Daerah Telawang Kalimantan Selatan)

(1)

REALITA JUGUN IANFU MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 DI INDONESIA (DAERAH TELAWANG KALIMANTAN SELATAN)

INDONESIA NI OKERU 1942 NEN - 1945 NEN NO NIHON SENRYOU JIDAI NO JUGUN IANFU NO GENJITSU (MINAMI BORNEO NO TELAWANG TO IU

CHIHOU)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra

Jepang

OLEH

FRANCISCA ELICABETH 060708021

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

PRAKATA DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Perumusan Masalah………...………….4

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ……….4

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………...5

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...7

1.6Metode Penelitian ………...8

BAB II JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 2.1 Pandangan terhadap Seksualitas Orang Jepang……..………..9

2.2. Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia a. Tradisi (Tabu)……….…….14

b. Pandangan Agama………..………..19

2.3 Tentara Jepang di Indonesia dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia………21

2.3.2 Jugun Ianfu ……….………..24

a. Sejarah ………..………24

b. Sistem……….28

BAB III ANALISIS REALITA JUGUN IANFU DI TELAWANG KALIMANTAN SELATAN


(3)

3.1 Telawang ………31

3.2 Cara Perekrutan………33

3.3 Kehidupan Jugun Ianfu ………...……36

3.4 Jumlah Korban ………...….41

3.5 Berakhirnya Jugun Ianfu ………47

3.6 Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu ………...….50

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………54

4.2 Saran………...……55

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK


(4)

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah membimbing penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “REALITA JUGUN IANFU MASA

PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 DI INDONESIA (DAERAH TELAWANG KALIMANTAN SELATAN)”. Penulisan skripsi ini penulis lakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Penulis sadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit untuk diselesaikan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Syahroni selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Dosen Pembimbing I, Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D dan Dosen Pembimbing II, Muhammad Pujiono, SS., M.Hum., yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam memberikan masukan-masukan, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh dosen pengajar dan Staff Administrasi Departemen Sastra Jepang

5. Orang tua penulis, Tn. Edison Sinaga dan Ny. Emsa Sitorus yang selalu mencintai, mendoakan, membimbing dan membantu penulis dalam segalanya. Kakak Elyda Sinaga, Abang Ranhot Haryanto Sinaga, Abang Johanes Raynaldo Sinaga, Abang Josua Moreno Sinaga, Adinda Theresya Trisnawati Sinaga dan


(5)

My little brother Damianus Heber Kristo Sinaga. Abang ipar penulis, Juspentus

Simbolon. Kakak ipar penulis, Risma Sitohang. Keponakan-keponakan penulis, Tri Roganda Sinaga, Arta Gracia Sinaga, Marentina Yohana Sinaga, Christian Simbolon dan Mario Simbolon. I Love You All  Terima kasih banyak atas segenap cinta, kasih sayang dan dukungan yang selalu kalian berikan, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan cinta kasihnya kepada keluarga kita serta membalas semua kebaikan kalian. Amin.

6. Seluruh kawan-kawan Angkatan 2006 Departemen Sastra Jepang : Wilma Prima Yuniza, Andi Pranata Silalahi, Mahera Frida Br. Ginting, Surya Ningrum, Hartati Sinambela, Siska Margaret Purba, Octora Hanna Grace, Friska Mawarni Sagala, M. Israr al-Hadi, Fredy Walis Sembiring, Andar Beny Prayogi, Teddy Sumbari Jayanto, Zulvianita, Okky Khaereni, Wulandari Fikri, Asti Noermatias, Musfahayati Amalia, Rizaldi Restu Pratama, Farah Adibah, Febri Antoni, Irwan, Suci Risky Amalia, Ivana Widya Sari, Sari Zulia Peunawa, Victor Julianto, Hyantes, Harry Eka Pratama, Frida Winata Togatorop, Jessi Mega Simanjuntak, Christyani Siregar, Fadiah Sofyani, Randy K. Simanjuntak. Junior 2007 Adjie dan Ekstensi 2010 Hanum Maulidina. Terima kasih sudah menjadi kawan yang baik dan menyenangkan. Semoga kita selalu diberkati.

7. Eka Hindra dan Koichi Kimura (Aktivis Jugun ianfu), dan Fery Saputra (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ) yang membantu penulis mencari sumber referensi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih banyak. Tuhan pasti membalas budi baik kalian 


(6)

8. Pers Mahasiswa SUARA USU, tempat penulis menimba Ilmu Jurnalistik. Terima kasih karena pengalaman 3 tahun menjadi Wartawan di SUARA USU sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Terutama Kawan-kawan Angkatan 18 Persma SUARA USU, Sidriani Handayani Desky, Dewi Nofianty Siregar, Arizona Boru Maha ’Jontik’, Sarah Dinyati, Huda Perdana Sitepu, Fanny Yulia Chaniago, Rodhiah, Nur Azizah, Desfa Maulani. Beserta kakanda-kakanda alumni (Kak Ratni Hardiana Sembiring, Bang Asri Munawwar, Bang Ali Zakharia, Kak Eka Ryantika, Kak Lista, Bang Liston Damanik dan Bang Vinsensius Sitepu) serta Anggota Junior lainnya. Terima kasih sudah selalu mendoakan dan menyemangati penulis serta menjadi kawan curhat yang baik tentang Ilmu Jurnalistik dan makna kehidupan ini. Thank You for all the good

times that we’ve shared together. I thank God because I have You all. Kalian

saudara-saudaraku yang luarbiasa. Tetap ingat 2 M (MAU, MAMPU) dan 1 W (WAKTU) . Fighting !  . Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Harian Sumut Pos - Medan tempat penulis magang menjadi Wartawan. 9. Ibu Wanita Sembiring dan Bapak Sarimin selaku Ibu asrama dan penjaga

keamanan Asrama Mahasiswa Puteri USU. Terimakasih atas pengertian Ibu/ Bapak selama ini.

10.Young’s Magazine, Harun Lubis, Safarudin Lubis, Ijal Don Cavilano, Buhari Burhani, Tri Yuwono, Syafrizal Daulay, Rinaldi, Supriatin, Stella Nindy, Dedek, Robi, Syawal, Abdullah. Dan special kepada Haelfin Chaniago ’bang Alvin’ dan Ivory Octavianus Ginting ‘dek Ory’ (Moment di Balige sangat menyenangkan


(7)

semakin membuat penulis semangat cepat wisuda!) Thanks Guys!! God Bless Us

11.Student Entrepreneur Center USU, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kiss FM, Panitia Pemilihan Puteri Indonesia Wilayah Sumatera Utara, Pusat Bahasa USU, Linda T. Maas, Isfenti Sadalia, Wina, Ruly, Buhari, Oding, Wulan, Nita, Alween Ong, Laura Agustina, Dr. Rahmat Shah, Rika, Tengku, Juriah dan semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Maka saran dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Ilmu Pengetahuan. Terima kasih.

Medan, 22 Desember 2010 Penulis,


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Karakteristik geografis suatu Negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa tersebut. Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

Secara topografi, Jepang merupakan bagian dari suatu deretan pegunungan yang panjang yang terangkai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Menurut survay dari Lembaga Survay Geografi Kementrian Pembangunan Jepang, kawasan pegunungan mencapai 70% dari seluruh daratan Jepang (Anonim, 1982:3). Disana-sini terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diantaranya adalah gunung berapi.

Luasnya daerah pegunungan menyebabkan tanah dataran berwujud sempit antara pegunungan dengan pantai Samudera Pasifik dan Laut Jepang. Sempitnya dataran menyebabkan tanah pertanian hanya meliputi 15% saja dari seluruh daratan Jepang. Walaupun hanya memiliki daratan yang sempit, berkat keuletannya, bangsa Jepang dapat menghasilkan 10 juta ton beras setiap tahun. Jepang sebagai Negara kepulauan, sifat maritimnya menyebabkan bangsa Jepang menjadi bangsa pelaut yang ulung (Suryohadiprojo, 1982:3).

Meskipun memiliki kondisi topografi seperti ini Jepang tidak pernah putus asa bahkan terus berjuang dengan rajin dalam membangun Negara dan bangsanya, hal ini terbukti pada masa kini, Negara Jepang menjadi Negara yang kuat. Kekuatan Jepang mulai trelihat pada masa perang dunia kedua, Jepang muncul sebagai Negara yang kuat


(9)

dan ditakuti. Jepang bersama sekutunya menebarkan horror di seluruh dunia. Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1942 dan menjajah Indonesia sampai perang dunia ke-2 berakhir pada tahun 1945 (Majalah Angkasa, 2008 : 81). Sebagai Negara yang kalah perang Jepang harus membayar sejumlah pampasan perang yang nilainya tidak sedikit. Bukan hanya itu saja, mereka juga terpaksa membiarkan sekutu menduduki Jepang sampai pada tahun 1952. Walupun demikian, Jepang pada tahun yang sama mencapai produksi yang jumlahnya hampir sama seperti sebelum perang (Vogel, 1982:26).

Pada tahun 1931 militer Jepang mendirikan Negara boneka yang bernama Manchuko di China. Tujuannya adalah untuk menyerang Uni Soviet dan melakukan kolonialisasi terhadap China secara keseluruhan. Tahun 1936 militer Jepang telah menduduk i kota Shanghai dan Nanjing. Bala tentara Jepang disana berjumlah 135.000 orang. Karena terus menerus berperang mengakibatkan persediaan makanan militer Jepang habis, maka mereka mulai menjarah rumah penduduk. Akibat tindakan militer Jepang ini, orang China marah dan melakukan pemberontakan. Namun militer Jepang mengeluarkan perintah untuk membunuh orang China yang ada dihadapan mereka. Militer Jepang di doktrin bahwa ras Jepang adalah ras yang sudah hidup selama 2600 tahun, dan harus membunuh orang China yang merupakan bangsa yang rendah dan tak pantas hidup. Selain membunuh, militer Jepang juga memperkosa setiap perempuan China tanpa pandang usia. Sejarah mencatat dalam waktu enam minggu militer Jepang telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan China dari segala umur. Seperti yang dituturkan Kozo Takokoro, salah satu veteran pasukan Jepang dari Divisi ke-114 di Nanking menjelaskan “Tidak peduli muda atau tua, mereka tidak lepas dari nasib


(10)

perkosaan” (Hindra :222). Hal ini mengakibatkan melemahnya pertahanan dan kekuatan militer Jepang.

Berita mengenai melemahnya kekuatan bala tentara Jepang di China kahirnya terdengar juga di markas besar militer di Tokyo, dan menimbulkan kekhawatiran akan upaya kolonialisasi Jepang ke China. Sehingga tahun 1937 militer Jepang memutuskan untuk mengirim seorang dokter spesialis bernama Aso Tetsuo yang diperintahkan untuk mnyelidiki mengapa banyak prajurit Jepang yang terjangkiti penyakit kelamin. Melalui penyelidikan Aso Tetsuo terungkap bahwa sebagian besar prajurit Jepang melakukan pemerkosaan terhadap penduduk China secara bebas. Sebagian lagi prajurit Jepang mendatangi komplek pelacuran umum untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut Aso memberikan rekomendasi kepada pihak militer Jepang untuk menyediakan tempat pelacuran khusus bagi para prajurit Jepang. Sehingga masalah kesehatan para prajurit bisa dikontrol. Inilah cikal bakal pendirian

ianjo/ rumah hiburan.

Sebagian besar perempuan –perempuan yang melayani nafsu seks Jepang berasal dari China , Korea dan Taiwan. Mereka ditempakan disalam rumah hiburan atau ianjo yang disediakan militer Jepang. Sejak itulah ianjo menjadi bagian penting dalam militer Jepang. Rupanya kebiasaan Jepang ini, mendirikan tempat hiburan atau ianjo terbawa sampai ke Indonesia ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942-1945, khususnya di Telawang, Kalimantan Selatan.


(11)

1.2Perumusan Masalah

Jugun ianfu atau perbudakan seksual yang dilakukan tentara Jepang selama

pendudukan di Indonesia merupakan suatu bentuk kekerasan seksual yang tidak biasa. Hal ini meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban karena mereka dijadikan perempuan penghibur bukan karena keinginan sendiri melainkan dipaksa dan disiksa baik secara fisik maupun psikis. Para jugun ianfu merasa malu akan diri mereka, malu terhadap masyarakat masyarakat dan bangsa sendiri yang menganggap mereka sebagai pelacur.

Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah

1. Mengapa diadakan jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan? 2. Seperti apa realita jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Pembatasan masalah sangat penting dalam penyusunan skripsi agar penelitian lebih terfokus pada topik yang akan dibahas. Maka ruang lingkup pembahasannya adalah : Realita keberadaan jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan selama pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945.


(12)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4 1 Tinjauan Pustaka

Jugun ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara

kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort

Women. Pada kenyataannya Jugun ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi

perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang

Kasus Jugun ianfu yang menimpa para perempuan tersebut diabaikan para pelaku

Jugun Ianfu. Perdana Mentri Jepang, Shinzo Abe menampik adanya bukti tentang adanya

perempuan yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang pada masa Perang Dunia ke- II dan Jepang tidak meminta maaf atas kejahatan perang tersebut setelah pernyataan maaf di ucapkan oleh Sekretaris Kabinet Yohei Kono pada 1993 meski Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengesahkan resolusi yang menghimbau Jepang untuk meminta maaf.

Hingga sekarang para korban Jugun ianfu ini menuntut kepada Jepang agar sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk konpensasi dari pemerintah Jepang. (Eka Hindra : 289)

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa jugun ianfu merupakan suatu realita sejarah yang tidak dapat disangkal dan harus diakui kebenarannya


(13)

1.4 .2 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti suatu masalah. Untuk itu peneliti perlu menyusun sebuah kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran dari sudut manakah masalah penelitian akan dibahas.

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat dalam Sirait (2008:100) berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

Penulis menggunakan teori pendekatan kesejarahan/ historis untuk melihat aspek sejarah dalam realita jugun ianfu yang terjadi di Telawang, Kalimantan Selatan. Menurut Allan Nevins dalam Nazir (1988 :55) sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Berdasarka pemikiran itu akan dideskripsikan bagaimana realita

jugun ianfu pada masa pendudukan Jepang selama 3 tahun di Telawang, Kalimantan


(14)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan tentang realita jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan.

2. Sebagai syarat untuk meraih gelar Strata Satu.

Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat mengungkap realita yang sebenarnya terjadi pada korban jugun ianfu di Telawang, Kalimantan Selatan dan menghilangkan stigma negatif yang selama ini melekat kepada korban.

1.6 Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode kualitatif dan dalam pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan atau library research dalam penyusunan skripsi. Penulis mengumpulkan beberapa referensi dari beberapa sumber baik dari sumber elektronik, internet maupun sumber dari beberapa buku atau media cetak untuk mendukung penelitian. Menurut Semi dalam bukunya Metode Penelitian Sastra:

“Library research yakni penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perpustakaan di mana peneliti memperoleh data atau informasi tentang objek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat visual lainnya. ” (1993: 8).

Setelah data-data dan referensi itu terkumpul, selanjutnya penulis memilih dan menyeleksi beberapa referensi tersebut untuk diterapkan dalam penelitian. Pemilihan dan


(15)

penyeleksian tersebut sangat penting untuk dilakukan agar sesuai dengan objek kajian penelitian dan mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan.


(16)

BAB II

JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

2.1Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Jepang

Seksualitas merupakan suatu proses sosial yang menciptakan, mengatur dan mengekspresiakan serta mengarahkan hasrat seksual, dapat juga dikatakan kecendrungan sosial. Seksual adalah mengarah pada hubungan seks dan seks itu sendiri merujuk pada keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan (Humm 2002: 432,dalam Ikhwanudin ).

Ruth Benedict (1942/1979) dalam Situmorang 2008, mengatakan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Jadi dia membedakan dua jenis sistem nilai, yang satu didasarkan pada penilaian masyarakat luas, dan yang satu lagi adalah nilai yang didasarkan pada benar atau salah menurut Tuhan.

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut kepercayaan politheis dan juga Shinkretik, dan juga masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Dalam bahasa Jepang ada istilah Tsumi tetapi artinya adalah kesalahan, berbeda dengan konsep dosa dalam pengertian agama Monotheis. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi bukan rasa takut akan Dewa, tetapi adalah rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya. Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain


(17)

atau prinsip keterutangan terutama terutang budi. Oleh karena itu seluruh aktivitas mereka difokuskan kepada penghindaran rasa malu.

Penampilan kultural bangsa Jepang dengan banyaknya festival keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaan hari raya (Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22). Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan. Menurut Fukuzawa Yukichi (1985:220) agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Jepang. Bila dikatakan bahwa agama lazimnya akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56). Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab, meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu


(18)

mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalin-menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe, 1900:7-10) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada perempuan terkait masalah seksualitas . Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi (1997:58) menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri.

Agama Shinto sebagai agama mayoritas masyarakat Jepang memandang bahwa seks bukan suatu hal yang tabu, melainkan suci. Agama bukan faktor dalam regulasi seksualitas di Jepang. Agama hanya terbatas untuk mengorganisir proses pemakaman dan pernikahan. Begitu juga dalam agama Buddha Jepang yang menganggap melakukan hubungan seksual itu tidak melanggar moral. Seperti disebutkan oleh Onkou (1718-1804), seorang pendeta Budha sekte Shingon, “ dotoku to wa ningen no shizen no honsei ni

shitagau koto da” , Artinya, “yang disebut dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti

tabiat alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa kebiasaan seperti: meminum minuman keras, memakan daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatanperbuatan lainnya yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina dilarang, namun di dalam agama Budha Jepang tidak secara tegas dipermasalahkan.


(19)

Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu dengan dunia agama dibedakan secara tegas. Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang menjadi sousoku, yang secara harafiah berarti sama dengan. Dalam pandangan agama Buddha Jepang, di antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk dibedakan “mana yang sebab” dan “mana yang akibat,” karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat. Tampaknya merupakan suatu yang dibenarkan oleh pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta dan nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan, bukanlah merupakan suatu paradoks.

Pada tahun 1715, pemuka agama Shinto, Masuho Zanko menulis sebuah buku yang berjudul "A Comprehensive Mirror on the Way of Love ”(Sebuah Cermin Komprehensif di Jalan Cinta). Zanko berpendapat bahwa seks adalah suci.

"Sexual activity between couples is part of yin and yang harmony, which is the primordial and sustaining energy of the cosmos. Moreover, Man and woman make a pair; there are no grades of high and low. Sex is sacred. Lovers re-enact the divine creativity of Izanagi and Izanami.”

Budaya seksualitas telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang. Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa malu-malu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan tema-tema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan beranak pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak, serta sebagai cara untuk menikmati “kehidupan yang baik”.


(20)

Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji. Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh pemerintah (Dore, 1958). Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar, sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah bagian kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakonyoosai (semangat Jepang dan teknologi Barat); yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya Jepang (Hijirida & Yoshikawa, 1987).


(21)

2.2Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia

a. Tradisi (Tabu)

Persoalan seksualitas telah menjadi objek kajian berbagai pihak. Persoalan tersebut terkait dengan berbagai hal, dan pengertiannya tidak selalu sederhana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), seksualitas diartikan 1) ciri, sifat, atau peranan seks; 2) dorongan seks; dan 3) kehidupan seks. Lebih tegas dari pengertian di atas, Ann Oakley menyebutkan bahwa seksualitas mendeskripsi keseluruhan aspek kepribadian yang berhubungan dengan perilaku seksual. Patricia Spencer Fawnce dan Susan Phippps-Yonas mengatakan bahwa seksualitas mencakup kegiatan yang paling manusiawi yang tidak harus bertujuan untuk memenuhi tugas reproduksi, dan bahwa kenikmatan bukan satu-satunya dan bukan pula tujuan utama dari hubungan seks antar manusia. Dengan demikian, seks bukan sekedar kegiatan atau penampilan kinerja atau prestasi, melainkan cara berkomunikasi dan berekspresi. Adapun pengertian seksualitas dari Jackson dan Scott (1996) adalah hasrat, praktik, ataupun identitas yang membawa/mengandung signifikansi erotis. Definisi ini mengisyaratkan keterkaitan seksualitas tentang hal yang berhubungan dengan aspek personal dan sosial. Memperbincangkan seksualitas sesungguhnya memperbincangkan hal yang bersifat tidak sederhana dan kerap bermasalah sebab pada satu sisi kita berbicara hal yang pribadi dan berdampak pribadi, yakni yang berupa hasrat. Sementara itu, di dalamnya juga ada hal-hal yang bersifat sosial dan berdampak sosial, seperti praktik dan identitas. Bahwa seksualitas memiliki keterkaitan dengan aspek sosial telah dibuktikan oleh Michel Foucoult. Foucoult melihat bahwa seksualitas sesungguhnya merupakan suatu etisitas yang terikat pada jejak


(22)

sejarahnya. Seksualitas, menurutnya adalah suatu konstruk sejarah. Oleh karena itu, batasan atau definisi seksualitas tidak kaku dan selalu berpeluang untuk redefinisi dan rekonstruksi. Seksualitas sebagai konstruksi sosial mengindikasikan adanya relasi-relasi sosial yang ada di dalam dan mengikatnya (Noorman, 2004:43).

Hubungan badan yang merupakan bentuk seksualitas yang paling erotis, tetapi hanya dimungkinkan jika seseorang telah menikah, karena ini adalah norma yang berlaku di Indonesia, sebagaimana dikatakan Almi 2004: 46 dalam disertasi Ikhwanudin bahwa heteroseksual-lah yang paling sah dari seksualitas dan kesenangan seksualitas itu dibingkai dalam suatu heteronormativitas. Artinya pernikahan yang diatur oleh norma-norma agama, tradisi atau adat yang sah sebagai ikatan heteroseksual tersebut.

Menurut Gunawan pengekspresian seksualitas dalam masyarakat primitif diatur menurut kaidah-kaidah mitologi dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa penting dalam kehidupan, seperti upacara inisiasi, upacara korban, pembuatan patung-ptung leluhur, peristiwa perkawinan, dan peristiwa-peristiwa yang merupakan puncak kehidupan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat seperti itu daya-daya seksualitas seperti kesuburan atau keturunan sangat dihormati. Selain terlihat dalam ritual, rasa hormat itu juga dapat dilihat dalam berbagai peninggalan, seperti patung-patung yang melambangkan seksualitas dan upacara-upacar erotis dalam konteks sebuah peribadatan suci.

Jadi, sejak jaman dulu semasa Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara, telah terlihat adanya kebebasan seksualitas yang lebih terbuka dengan membuat citra-citra berupa patung-patung, cerita, mitos, dan relief-relief diberbagai candi di Indonesia. Hal tersebut dapat dirunut sebagai berikut: Pada Abad 8 Relief


(23)

Karmawibangga bagian bawah di Borobudur dengan terang-terangan dipahat para pandita agung menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agama Belanda. Pada abad 11 muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan tuhan dan mencapai surga harus makan ikan, menari dan bersenggama, antar pemeluknya. Tahun 1359 Saka atau 1437 masehi didirikan Candi Sukuh. Kontroversi. Sebab banyak memuat perwujudan genital pria wanita. Perwujudan ini sebenarnya lebih cenderung ke arah paganisme, pemujaan wanita dan reproduksi sebagai pelambang kesuburan. Sekitar 1620-1621 Inggris mengirimkan dua wanita berkulit putih ke Aceh untuk dijadikan selir mengenyahkan musuh bersama mereka dari Nusantara, yaitu Portugis. Sejarah tidak pernah mencatat, bahwa sang Sultan nan Agung dan tampan itu menolak hadiah luar biasa Inggris ini. Tahun istri di kalangan bangsawan-bangsawan Jawa, dilepas oleh Pakubuwana VII ke khalayak publik yang diwakili pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1900 rumah candu, yaitu rumah-rumah yang menjual candu dan dipakai untuk menghisap candu, atas ijin pemerintah kolonial Belanda, mempunyai fungsi ganda, tempat mabuk dan tempat bercinta. Rumah ini ditandai dengan cat mencolok berwarna merah. Lokalisasi pelacuran yang terkenal hingga saat ini di Belanda, The Red Light District, katanya diilhami dari rumah candu dan lokalisasi wanita penghibur nusantara berwarna cat merah itu. Tahun 1904 seorang Wedana yang baru saja terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah, mengadakan pesta rakyat tayub dan ronggeng (diskotik jadul). Pada pesta itu, sang


(24)

wedana, dilaporkan memeluk pinggang sang penari ronggeng setelah memberi tip f5 (lima gulden). Lalu setelah memberi tip f20 (dua puluh gulden), sang wedana memuntir puting payudara terbuka si penari ronggeng. Semua itu dilakukan di depan istri raja dan putri-putri bangsawan. Tahun 1906 Seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng. Perbuatan itu diketahui setelah rumah tempat mesum mereka, jatuh berantakan terkena angin puyuh. Harian itu menggambarkan aksi mereka dalam pantun melayu sebagai berikut “Botjah

Klentang toemboeh diatas, ikan blenak di rawa-rawa, Masbehi di bawah prampoean di atas, ampir mati bersama-sama” (Koentowijoyo, 1993) . Tahun 1911 Chiang Kai Sek

menumbangkan The Last Emperor China, Pu Yi. Banyak pendukung kaisar lari ke luar negeri. Diantaranya ke Nusantara. Mereka mendarat di hingga pesisir Riau Sumatera. Diantaranya adalah perempuan-perempuan Cina yang dijual paksa oleh orangtuanya kepada bajak laut. Perempuan-perempuan ini banyak yang ‘dikaryakan’ di rumah bordil. Sejak saat itu, dominasi pelacur asal tiongkok tidak lagi dikua sa menulis dalam bukunya Bab Alaki Rabi: Wayuh Kalian Boten (Mengenai Perkawinan Poligami dan Monogami) yang menyerang mentalitas lelaki priyayi, bangsawan, pedagang, hingga kelas pekerja. Ia menyebut bahwa mentalitas lelaki pada masa itu tidak terkendali, menjadi budak nafsu, sementara libido mereka menyerupai orang Arab, melebihi orang Cina, tapi dalam bekerja dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua bangsa tadi. (H.A. Benyamins, 1913) Tahun 1933, ulang oleh


(25)

jawa, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Perancis hingga Inggris. Seks Jawa, mulai

mela nglang dunia. Tahun 1942–1945

muncul. Budaya ini muncul akibat serdadu Jepang yang tak kuasa menahan libido mereka lalu memperkosa paksa perempuan Indonesia dalam perilaku seks yang buas.

Disisi lain bila dilihat budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam posisi dipelihara oleh perempuan. Suami tinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan untuk kepentingan hubungan seks. Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke Indochina mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai 450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah penari dan pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.

Sementara itu, di Bali hampir semuanya, tanpa kecuali, perempuan dewasa dan remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan perempuan kecil telanjang bulat. Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan dada, hanya pelacur yang menutup dada mereka untuk membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki.

Setelah Indonesia pada tahun 1945, nama Nusantara menjadi Republik Indonesia. Seksualitas menjadi ditutup-tutupi dan membicarakan seks adalah suatu hal yang tabu. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap


(26)

menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara dapat juga membuat

Misalnya dalam masarakat Jawa karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol “Lingga Yoni”. Lingga mengambarkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakt Indonesia sebagai penghalusan atau pasemon dari hal-hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk kedalam sarungnya.


(27)

b. Pandangan Agama

Masalah konsepsi seksualitas selalu berbenturan dengan norma-norma agama dan adat istiadat di Indonesia yang mengagungkan keperawanan. Konsepsi seksualitas yang mendua/ambigu tersebut dimenangkan oleh agama, maka agama dan negara berhak memaknai bahwa pelacuran yang bersifat promiskuitas, homoseksualitas serta perilaku seks bebas yang bersifat nonprokreasi akan dianggap sebagai perbuatan tak bermoral, berdosa, aib, patut dikucilkan, serta kelak pelakunya akan masuk neraka (Ronggeng Dukuh Paruk , Halaman 23).

Seksualitas yang semula begitu terbuka, alamiah, sudah semakin terbelenggu oleh aturan-aturan, moral , etika, agama, dan hukum-hukum. Seperti kita ketahui 6 agama yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu) serta ratusan suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda menolak akan hubungan seksualitas tanpa diikat oleh lembaga pernikahan. Perempuan harus perawan ketika menikah , dan apabila perempuan tersebut tidak perawan lagi ketika dia menikah, suaminya dan keluarganya menjadikannya sebagai dasar untuk mengakhiri pernikahan tersebut. Seperti yang terjadi pada tahun 1997 ketika Farid Hardja, seorang penyanyi terkenal menanyakan keperawanan istrinya , yang kemudian menjadi perdebatan publik dan sangat banyak diberitakan di media.

Keperawanan diperlakukan sebagai simbol yang memberikan kebanggaan bagi suami sebagai laki-laki pertama yang memecahkan perawan si istri. Maka keperawanan dijadikan bukti kesucian seorang perempuan. Sehingga jika seorang perempuan yang belum menikah tetapi tidak perawan maka ia dicap sebagai perempuan yang tidak baik


(28)

dan cap itu akan terus bertengger di diri perempuan dan seolah dunia ikut menghakimi mereka.

Pandangan masyarakat Indonesia yang mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya yang dianggap sebagai sebuah nilai baku keberhasilan seorang perempuan yang tidak diperuntukkan bagi perempuan itu sendiri karena pada akhirnya keperawanan itu dipersembahkan kepada laki-laki. Secara sepihak perempuan dibebani oleh kewajiban tersebut dan dianggap gagal jika ia tidak bisa menjaganya, dihitung dari rusaknya selaput dara yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak ternilai-hanya untuk membuat perempuan tidak terlalu menyeluruh menjelajahi tubuhnya sendiri karena akan membahayakan sistem patriarkhi yang memberikan kenyamanan bagi laki-laki. (Hanafi, dkk., 2004: ii).


(29)

2.3 Tentara Jepang dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia

Perang dunia II berlangsung pada tahun 1941-1945. Setelah Jerman, Jepang menduduki tempat kedua dalam kekuatan militer. Pada Desember 1941, Jepang menyerang Honolulu, Hawai, dari udara. Pada saat itu juga Amerika dan Inggris segera menyatakan perang terhadap Jepang. Kemudian Gubernur Hindia-Belanda pun turut menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian pecahlah perang Pasifik. Pada awal Desember 1941, Indonesia adalah prioritas yang tinggi untuk diduduki dikarenakan tambang-tambang minyak yang dimiliki oleh Indonesia.

Dengan menggunakan taktiknya, pada tahun 1942 Jepang melancarkan perang kilat ke Asia Tenggara. Pada akhirnya 10 Januari 1942, Kalimantan mulai diinvasi oleh Jepang. Cara-cara Jepang masuk ke Indonesia pada waktu itu adalah dengan tidak menampakkan keinginan ingin menjajah Indonesia, melainkan dengan usaha mengangkat Indonesia yang selama ini telah disengsarakan oleh Belanda. Pihak militer Jepang di Indonesia secara terang-terangan menjatuhkan wibawa bangsa Belanda untuk menyenangkan hati bangsa Indonesia. Maka dari itu, kedatangan Jepang pada waktu itu disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, tanggal 9 Maret 1942, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, secara resmi menyerah dan menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada pihak militer Jepang di Kalijati.

Pemerintah Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia membagi wilayah kekuasaan pemerintahan menjadi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Wilayah kekuasaan Angkatan Darat meliputi wilayah Jawa dan


(30)

Madura yang dipimpin oleh Tentara Divisi XVI, dengan pusatnya di Jakarta; wilayah Sumatera dipimpin oleh Tentara Divisi XXV, dengan pusatnya di Bukittinggi. Sedangkan wilayah lainnya, yaitu wilayah Indonesia bagian Timur dikuasai oleh Angkatan Laut di bawah Armada Barat Daya, dengan markasnya di Ujung Pandang. Wilayah Timur merupakan wilayah yang memiliki sumber daya minyak yang melimpah, sehingga Angkatan Laut Jepang pada waktu itu dapat mengeksploitasi minyak untuk keperluan bahan bakarnya.

Menurut dokumen-dokumen Menteri Kesejahteraan Jepang yang dibuat tahun 1964, sekitar 260.000 tentara Jepang ditempatkan di Indonesia selama tahun 1942-1945. Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia lama kelamaan bukan hanya mengeksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia, melainkan juga Sumber Daya Manusianya. Pihak militer Jepang mulai melakukan pengerahan tenaga kerja manusia untuk keperluan perang mereka. Semua rakyat dikerahkan, mulai dari pemaksaan untuk menjadi tenaga sukarela sampai dengan pekerja paksa, bahkan perempuan pun tidak luput dari pengerahan tersebut.

Perempuan pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk turut aktif dalam berperan serta dalam peperangan yang dilakukan Jepang. Salah satunya adalah dengan didirikannya perkumpulan wanita Fujinkai. Kaum perempuan Indonesia ini dipaksa secara halus untuk menyerahkan perhiasan mereka bahkan peralatan dapur mereka untuk keperluan perang yang sedang dilakukan oleh bangsa Jepang.

Selain itu perempuan di masa itu juga dikerahkan dalam pekerjaan-pekerjaan massal yang bersifat kerja bakti, seperti penyediaan dapur umum dan juga keterlibatan dalam palang merah. Perempuan-perempuan ini juga bekerja untuk merawat tentara


(31)

Jepang yang terluka ketika berperang dengan sekutu. Pekerjaan yang paling menonjol dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia adalah pengerahan tenaga kerja di bidang seksualitas, yaitu menjadi jugun ianfu. Semua pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan Indonesia karena posisi mereka yang lemah, namun membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup mereka dan keluarga.

Salah satu hal yang harus dihindari oleh kaum perempuan maupun seluruh penduduk adalah memperlihatkan sikap anti Jepang. Jepang tidak dapat mentolerir sikap yang mendekati anti Jepang. Tentara Jepang tidak memandang bulu dalam memberikan hukumanterhadap yang anti kepada mereka. Orang-orang yang anti tersebut nantinya akan dimasukkan kedalam daftar hitam yang harus diawasi oleh tentara Jepang. Polisi rahasia Jepang yang bertugas untuk mengawasi orang-orang dalam daftar hitam disebut

Kempeitai. Kempeitai sangat disegani oleh rakyat maupun tentara Jepang sendiri. Tentara

Jepang pun akan langsung memberi hormat kepada Kempeitai bila mereka bertemu walaupun saat itu mereka dalam keadaan mabuk.

Para algojo Kempeitai selalau siap melakukan penyiksaan saat mereka melakukan interogasi kepada para terdakwa. Kaum perempua yang lemah juga diperlakukan seperti bukan manusia.mereka disiksa lahir dan batin sampai para algojo Kempeitai itu puas walaupun tuduhan akhirnya tidak terbukti.


(32)

2.3.2 Jugun Ianfu

a. Sejarah

Istilah jugun ianfu kalau diartikan secara harafiah menjadi ju=ikut, gun berarti militer/ balatentara, sedangkan ian= penghibur, dan fu= perempuan, dengan demikian arti keseluruhannya “perempuan penghibur yang ikut militer”. Dapat dikatakan bahwa istilah

jugun ianfu merupakan istilah halus untuk perempuan –perempuan yang dipaksa bekerja

sebagai budak seks yang ditempatkan di barak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik.

Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada

wanita penghibur (comfort women) yang terlibat dalam perbudakan dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945 (http//:Wikipedia.jugunianfu.com).

Pada tahun 1941 menteri urusan luar negeri menolak pengeluaran visa perjalanan bagi perempuan penghibur Jepang, karena merasa akan mencemari nama kekaisaran Jepang. Berdasarkan keputusan tersebut, militer Jepang kemudian mencari perempuan penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak perempuan dibohongi dan ditipu bahkan diculik untuk kemudian dibawa ke rumah bordil Jepang/ianjo.


(33)

Terdapat beberapa alasan terkait dengan pendirian rumah bordil Jepang dan jugun ianfu, yaitu pertama penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektifan militer Jepang akan meningkat, kedua dengan mengadakan rumah hiburan dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan rumah hiburan di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentar

Pada tahun 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun pangkalan militer untuk menguassai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti saat tahun 1936 militer Jepang berhasail menduduki Kota Shanghai dan mulai mencapai Nanjing yang berjarak 360 KM dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak kurang dari 135.000 tentara Jepang dikerahkan.

Serbuan Jepang membuat peperangan tidak terhindarakan, rakyat China melawan. Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka kemudian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan perlawanan yang lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai membunuhi rakyat sipil dan militer mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di mana saja dan langsung membunuhnya.


(34)

Jugun ianfu di Nanking, China

Sesudah Kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita penyakit kelamin. Oleh karena situasi inilah pihak Angkatan Darat Jepang membuat kebijakan baru yaitu:

1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang sampai mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke Negara Jepang.

2. Militer Jepang menyediakan perempuan-perempuan "bersih" untuk tentara Jepang, supaya tidak terjangkit penyakit kelamin.

Di Jepang ketika itu pelacuran diakui dan disahkan oleh Undang-undang yang di namai Kosho Sedo (tempat pelacuran umum). Sebagian besar para perempuan yang bekerja di lokalisasi pelacuran itu berasal gadis-gadis dari keluarga miskin yang dijual oleh keluarganya sebagai barang tebusan atau barang gadaian. Berdasarkan Kosho Sedo inilah militer Jepang membuat sistem jugun ianfu dan membangun Ianjo (rumah bordil) di setiap wilayah pendudukan militer Jepang di Asia. Upaya ini dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, yang dapat melemahkan kekuatan tentara Jepang.


(35)

Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia seperti Negara Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, China, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda dan Indonesia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang yang dikenal dengan sebutan jugun ianfu.

Masalah jugun ianfu pertama kali muncul pada tahun 1992 ketika seorang perempuan Korea, Kim Hak Soon membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah jugun ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara, termasuk Indonesia. Di Indonesia masalah jugun ianfu terungkap pertama kali tahun 1992, seorang perempuan asal Solo, Jawa Tengah yang bernama Tuminah, menuturkan pengalamannya sebagai korban perbudakan seksual militer Jepang, dan diikuti oleh Mardiyem pada tahun 1993. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.


(36)

b. Sistem

Menurut Tanaka Yuki dalam bukunya Japan’s comfort Women Sexual Slavery

and Prostitution During World War II and The US Occupation, terdapat rantai kekuasaan

dalam pembentukan praktik jugun ianfu. Adapun rantai kekuasaan tersebut, yaitu: Sistem

jugun ianfu yang berpusat pada kekaisaran Jepang, lalu turun ke Kementrian Perang dan

Kepala Umum Staf Tentara Jepang. Selanjutnya kekuasaan tersebut diturunkan kepada Staf tentara di wilayah pendudukan Jepang seperti Korea, Taiwan dan Indonesia. Staf tentara di wilayah pendudukan biasanya memiliki agen khusus untuk merekrut para perempuan untuk dijadikan jugun ianfu. Para perempuan tersebut dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi Jepang lalu di tempatkan ke sebuah tempat hiburan.

Digaris depan terutama di Negara dimana orang yang bertindak sebagai agen jarang tersedia, militer secara langsung menunjuk pemimipin lokal untuk menyediakan atau memasok perempuan untuk keperluan rumah hiburan. Di bawah tekanan kondisi perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara Jepang (250.000 tentara Jepang); sebagai tanggapan dari permasalahan tersebut, maka tentara Jepang meminta atau merampok persediaan daerah setempat.

Perempuan yang direkrut militer Jepang sebagi jugun ianfu umumnya dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi militer Jepang. Setelah itu mereka ditempatkan dalam satu rumah hiburan atau ianjo. Pada umumnya ianjo dibagi menjadi 3 atau 4 kategori yang tergantung dari lamanya pelayanan, yaitu perempuan baru yang tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Selanjutnya bila perempuan tersebut terkena penyakit


(37)

kelamin maka diturunkan kategorinya. Ketika mereka sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi maka mereka diabaikan dan diterlantarkan begitu saja. Banyak para korban melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh dari ribuan lelakii dalam waktu beberapa tahun bisa dibayangkan penderitaan mereka meladeni 250.000 tentara Jepang dalam waktu 3 tahun.

Sistem yang diterapkan para tentara Jepang pada awalnya merupakan sistem yang legal dan direstui oleh Tenno Hirohito. Namun kemudian sistem ini berubah menjadi sebuah bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan-perempuan di wilayah pendudukan Jepang dieksploitasi sedemikian rupa untuk memuaskan tentara Jepang. Perempuan-perempuan tersebut diperlakukan tidak adil dan secara paksa dijadikan perempuan penghibur tentara Jepang.

Pada awal pembentukan sistem jugun ianfu, pemerintah Jepang berharap dengan adanya hiburan yang layak bagi parra tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja serta menghindari penyakit kelamin tentaranya.untuk menunjang rencana itu, dibangunlah tempat-tempat hiburan / ianjo bagi tentara di garis depan. Di ianjo inilah para jugun ianfu di tempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang.

Sistem jugun ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang. Seperti kesaksian Taira Tezo, bekas tentara Dai Nippon yang telah menjadi warga negara Indonesia dan tellah berganti nama menjadi Nyoman Buleleng, “Perempuan-perempuan penghibur itu memang benar-benar ada. Saya merasakan sendiri. Jepang rupanya sadar akan kebutuhan biologis tentara tidak bisa dimatikan meskipun dalam keadaan perang. Sehingga saya melihat betapa terorganisirnya perempuan-perempuan itu. Di semua daerah yang telah diduduki Jepang, otomatis didirikan rumah khusus untuk itu. Di rumah


(38)

biasa itu sampai ada 20 kamar yang dikelilingi tembok bambu yang tinggi. Penghuni rumah bambu macam-macam. Ada yang khusus perempuan Jepang, ada juga yang menyediakan perempuan campuran Cina dan Indonesia. Yang disebut perempuan Jepang itu sebetulnya banyak juga wanita keturunan Cina, Korea atau Filipina”.


(39)

BAB III

ANALISIS REALITA JUGUN IANFU DI TELAWANG KALIMANTAN SELATAN

3.1 Telawang

Telawang adalah salah satu kelurahan di kecamatan Banjarmasin Barat,

Banjarmasin, KalimantanSelatan,Indonesia.

Batas-batas wilayah kelurahan Telawang adalah sebagai berikut :

Utara : Kelurahan Telaga Biru dan Kecamatan Banjarmasin Tengah

Selatan : Sungai Martapura

Barat : Kelurahan Telaga Biru dan Basirih

Timur

Telawang sebagai tempat berlangsungnya penelitian penulis ini adalah sebuah kota di Banjarmasin Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang di Telawang terdapat 250.000 tentara Jepang. Dalam Eka Hindra Koichi Kimura tahun 2007, disebutkan Kalimantan merupakan pusat pemerintah militer Kaigun ( tentara armada militer II) Jepang pada tahun 1945 dan di Telawang didirikan rumah bordil Jepang atau ianjo yang merupakan ianjo terbesar di Indonesia yang memuat perempuan – perempuan Jawa untuk dijadikan pemuas seks tentara Jepang.


(40)

Asrama Telawang merupakan tempat/ianjo para jugun ianfu untuk melayani seks tentara Jepang. Asrama Telawang memang sudah dipersiapkan secara rapi. Lokasi rumah terletak di tepi kota dan ditutupi pagar yang tinggi memberi kesan tertutup (lihat lampiran).

“ Rombongan kami menempati rumah yang letaknya berada di pusat kota telawang. Rumah itu berada di tepi jalan raya, dikelilingi oleh pagar kayu setinggi tiga meter, ditanami pohon binjai dan dan pohon kelapa yang besar di luar pagarnya. Tempat itu sangat tertutup dari luar. Untuk masuk ke dalam rumah, rombongan kami harus melewati jalan kecil yang berada di samping gerbang utama. Dengan demikian tidak sembarang orang bisa keluar masuk. Kami menyebutnya asrama Telawang karena tempatnya besar untuk menampung banyak orang” (Hindra :92).

Pemilihan kota Telawang juga terkait akan pengeboman sumber minyak di Kalimantan tengah dan Kalimantan timur oleh sekutu, maka kelompok sipil, kelompok militer, Angkatan Laut dan Angkatan Udara Jepang, semua datang ke Asrama Telawang untuk dipuaskan nafsu seksnya. Seperti penuturan Mardiyem “ Asrama Telawang menjadi penuh sesak, banyak orang antri seperti pasar malam setiap harinya. Kami sangat menderita selama bertahun-tahun. Kalau ingat peristiwa itu aku sungguh sunggguh merasa sakit, mungkin inilah jalan hidup yang harus aku lalui” (Hindra :204).


(41)

3.2 Cara Perekrutan

Berbagai cara dilakukan militer Jepang untuk merekrut perempuan untuk

dijadikan sebagai jugun ianfu. Seperti tertulis dalam

Jepang direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagi pemain sandiwara, pekerja rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan dan menyiksa.

Pada umumnya, cara Jepang merekrut para jugun ianfu Indonesia sama dengan yang dilakukan di Jepang dan Korea. Tentara Jepang awalnya menyebarkan janji-janji dengan menawarkan beasiswa ataupun pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu

jugun ianfu Belanda bernama Ketjee Ruizeveld, tentara Jepang merekrut para gadis

dengan buaian-buaian akan uang yang nantinya dapat membuat mereka mencukupi kehidupannya. Perempuan –perempuan itu dijanjikan akan diperkerjakan di rumah sakit ataupun di restoran, dan apabila cara-cara itu tidak berhasil, maka mereka akan melakukan paksaan-paksaan. Lalu setelah itu tentara Jepang mendata para perempuan yang akan menjadi sasaran dan menjemput mereka untuk di bawa pada tempat-tempat tertentu. Sebagian perempuan dibawa melalui jalan darat dan sebagian jalur laut. Ada yang langsung di bawa ke tempat tujuan, namun ada juga yang melalui beberapa tempat persinggahan. Para perempuan tersebut disebar ke wilayah-wilayah di Indonesia, maupun luar Indonesia.


(42)

Selanjutnya (Kimura : 240) mengatakan, terdapat tiga cara perekrutan yang dilakukan pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yangakan dijadikan jugun

ianfu antara lain:

1. Pemaksaan melalui kekerasan fisik

2. Pemaksaaan dengan jalan menyebarkan perasaa takut dan ancaman disertai teror yang merupakan kekerasan psikologi

3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.

Pemaksaaan dengan kekerasan fisik yang dilakukan tentara Jepang adalah dengan cara menarik paksa para jugun ianfu (dipukul dan disiksa karena melawan) dari rumah ke dua orang tuanya. Tindakan ini disebut dengan violence. Violence merupakan tindak kekerasan melalui psikis dan fisik. Dalam pasal I deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Nairobi tahun 1985, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat pada penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Adapun Mardiyem, korban jugun ianfu mengaku bahwa dirinya mendapat kabar akan bekerja di Borneo dari Zus Lentji dan diming-imingi akan diperkerjakan sebagai pemain sandiwara di Borneo (Kalimantan). Mardiyem langung saja mendaftar karena dirinya bercita-cita menjadi penyanyi terkenal dan ingin keluar dari pekerjaannya sebagai abdi


(43)

dalam di Yogyakarta. Mardiyem direkrut oleh seorang Jepang, dokter gigi Shogenji yang dibantu oleh seorang dokter Indonesia, Soesoedoro Djatikoesoemo. Mardiyem dan beberapa temannya yang direkrut tidak hanya dijanjikan sebagai pemain sandiwara, tetapi ada juga diajanjikan akan menjadi penyanyi, artis, pelayan restoran dll. Mereka tidak merasa bahwa akan dijadikan jugun ianfu meski dalam proses perekrutan tersebut para dokter tersebut melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap mereka, dan diketahui bahwa ternyata umurnya dipalsukan dari 13 tahun ke 15 agar bisa ke Borneo.

Beberapa hari setelah pemeriksaan kesehatan tersebut mereka akhirnya berangkat ke Borneo dari Stasiun Tugu dengan Kereta Api menuju Surabaya. Semua yang terlibat dalam proses keberangkatan mereka ke Surabaya dilakukan oleh orang Indonesia. Setelah tiba di Surabaya mereka di jemput oleh tentara Jepang dengan truk dan menginap di Hotel Paneleh selama 2 minggu seraya menunggu kapal ke Borneo. Dalam hotel mereka merasa senang karena diberi uang saku dan bebas berbelanja serta menikmati hiburan.

Kapal Nichimaru (kapal kayu biasa) adalah yang mengangkut mereka ke Borneo. Selain mereka yang berjumlah 48 orang terdapat juga rombongan romusha di dalam kapal. Selama dua hari perjalanan mereka tiba di Banjarmasin. Disana mereka dijemput truk Jepang yang sopirnya adalah orang Jepang, mereka dibawa ke rumah pembantu dokter Shogenji, Bang Kadir, dan menghabiskan waktu seminggu disana. Di rumah bang Kadir, mereka masih merasa senang karena masih mempunyai uang saku dan mereka di bagi menjadi dua kelompak, menjadi pemain sandiwara dan pelayan restoran dan satu kelompok dibawa ke Telawang. Mardiyem di bawa ke Telawang. Sampai disini Mardiyem tidak curiga meski dirinya tidak dimasukkan ke dalam kelompok pemain


(44)

sandiwara. Setelah pembagian itu barulah dirinya dan kawannya yang lain di bawa ke Telawang (Asrama Telawang) dan dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang/ jugun ianfu.

3.3 Kehidupan Jugun Ianfu

Perempuan jugun ianfu di ianjo dipaksa untuk memberikan layanan seks kepada tentara Jepang, martabat manusia mereka diinjak-injak. Waktu mereka untuk melayani seks Jepang juga diatur.

Jam praktek para jugun ianfu dibagi atas:

a. Waktu siang, yakni antara pukul 12.00-17.00. waktu ini adalah jatah bagi tentara. b. Waktu malam, yakni antara pukul 17.00-tengah malam. Waktu ini diperuntukkan

bagi kaum sipil Jepang.

c. Waktu dini hari, yakni waktu tengah malam hingga pagi hari.

Dari pembagian waktu di atas dapat dilihat bahwa tidak ada waktu istirahat bagi

jugun ianfu, kecuali bila datang bulan atau menstruasi mereka diberi libur dan setelah itu

kembali bekerja. Seperti penuturan Mardiyem “ Mereka terus bergiliran tanpa memberiku kesempatan untuk istirahat. Setelah jam tiga sore, mereka baru berhenti memaksaku untuk melayani nafsu seks. Itu pun karena aku telah mengalami pendarahan hebat” (Hindra :101).

Setiap pagi hari pukul 07.00-08.00 sebelum bekerja, mereka di cek kesehatannya oleh mantri kesehatan.Setiap hari Sabtu diperiksa dokter dan penyuntikan antibiotika. Namun meskipun diadakan pemeriksaan rutin, dokter yang memeriksa tidak selalu yang mengerti penyakit kelamin. Penyediaan dokter dan kondom utamanya untuk kepentingan


(45)

tentara Jepang tujuannya agar mereka tidak terkena penyakit kelamin.selain itu, karena jumlah kondom yang disebar tidak mencukupi, maka banyak tentara pengguna jugun iafu tidak memakai kondom. Bahkan ada tentara yang mencuci kondom bekas dan dipakai kembali.

Di ianjo / asrama Telawang pembayaran dilakukan tidak langsung kepada jugun

ianfu, melainkan kepada kasir yang berada di kantor. Dengan uang tersebut, tamu akan

mendapat karcis dan dua buah kaputjes (kondom). Setiap orang dari kalangan sipil dan militer yang mengunjungi ianjo harus antri untuk mendapatkan karcis dan kaputjes. Karcis tersebut bernilai waktu satu jam untuk berhubungan seksual dengan jugun ianfu. Meskipun sudah dibekali kaputjes saat beli karcis namun sebagian besar pengunjung

ianjo tidak mau memakai kaputjes dengan alasan mengganggu kenikmatan hubungan

seksual mereka.

Mardiyem jugun ianfu asal Yogyakarta bercerita bahwa sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop yaitu melalui loket sebelum memasuki bangunan asrama. Menurut Mardiyem ada perbedaan harga untuk masuk ianjo bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang.

Setiap malam menjelang dini hari terdapat patroli polisi militer yang mengontrol setiap kamar. Mengamankan apabila ada tentara yang membuat onar, mabuk atau menyakiti para jugun ianfu. “Setiap hari, tiap siang hari, dan tengah malam, asrama selalu dikontrol dan diawasi oleh Kampeitai. Biasanya dua atau tiga orang datang mengelilingi asrama Telawang. Selain menjaga supaya perempuan-perempuan penghuni asrama tidak melarikan diri, kampeitai juga melakukan penertiban tamu-tamu di setiap


(46)

kamar. Jika ada tamu yang memuat keributan karena mabuk pasti akan ditempeleng dan dipukuli kampeitai, lalu dilempar ke luar dari asrama” (Hindra :105).

Setiap hari para perempuan tersebut melanayani tentara Jepang 10-15 orang. Mereka diperkosa secara brutal , jika ada yang mengalami kehamilan maka kandungannya akan segera digugurkan baik dengan cara meminum obat-obatan maupun dengan kekerasan seperti dipukuli. “ Belum sempat aku memakai baju, dalam keadaan badan telanjang dan darah mulai membasahi sprei kasur, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Secara bergiliran datang lagi serdadu Jepang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, yang memaksaku untuk melayani nafsu birahi mereka berkali-kali. Aku menghindari mereka dengann rasa sakit di sekujur badan yang semakin menjadi-jadi. Aku berusaha member isyarat dengan gelengan kepala dan tangan kalau tidak mau lagi melayani, dan menunjuk darah yang mulai menetes dari kedua kakiku. Laki-laki Jepang itu tidak mau mengerti. Mereka malah membuka semua bajunya dan dengan buas langsung menerkam. Berkali-kali aku dipaksa untuk memuaskan nafsu mereka. Masing-masing dari mereka memuaskan nafsunya sebanyak dua kali. Mereka tidak merasa kasihan kepadaku meskipun darahku tidak lagi menetes, tetapi mengalir membanjiri sprei dan kasur “ (Hindra :101).


(47)

Jika siang hari untuk pangkat serdadu harus membayar 2,5 yen, lalu sore hari pukul 17.00-24.00 dengan pembayaran 3,5 yen dan pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira membayar 12,5 yen. Meski ada sistem pembayaran untuk masuk ke

ianjo namun jugun ianfu tidak menerima pembayaran sama sekali. Mereka cuma

menerima karcis dari tamu yang datang. Pengelola ianjo mengatakan karcis-karcis yang diberikan tamu harus dikumpulkan, nantinya dapat ditukarkan menjadi uang kalau mereka telah selesai bekerja di asrama. Namun janji itu cuma omong kosong belaka. Kenyataan pahit ini dialami oleh Mardiyem yang dijadikan jugun ianfu saat berusia 13 tahun.

Mardiyem berkisah perkosaan pertama yang dialaminya saat belum mengalami menstruasi saat di Asrama Telawang, Kalimantan Selatan "Yang paling menyakitkan yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan adalah perkosaan yang pertama. Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang. Hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat".

Jika jugun ianfu menolak melayani tentara Jepang mereka akan mendapat siksaan fisik berupa pukulan dan tendangan. Seperti pengalaman Mardiyem ketika menolak melayani pengelola Asrama Telawang yang bernama Cikada. Mardiyem mendapat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, sehingga pingsan hampir enam jam. Padahal waktu itu Mardiyem baru saja mengalami aborsi paksa di usia kandungan lima bulan. Aborsi paksa dilakukan tanpa proses pembiusan, kandungan yang telah berusia lima bulan ditekan sampai bayinya keluar, tidak lama kemudian bayinya meningg al. Peristiwa ini


(48)

terjadi ketika usia Mardiyem 15 tahun. Akibat penyiksaan selama menjadi jugun ianfu Mardiyem mengalami cacat fisik (tulang kaki kanan lebih besar dari kaki kiri,pembekuan darah pada otak yang menyebabkan sakit kepala berkepanjangan, tidak bisa lagi punya anak akibat pengguguran paksa saat berumur 15 tahun) dan trauma secara psikologi dan seksual. Mardiyem meninggal dunia pada malam hari tanggal 21 Desember 2007, pada usia 78 tahun.


(49)

3.4Jumlah Korban

Menurut riset oleh Dr. penduduk kepulauan berkisar antara 20.000 dan 30.000. Lalu pada tahun 1996 forum ex Heiho Indonesia mencatat 22.000 korban jugun ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah

jugun ianfu Indonesia menurut data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Yogyakarta, sampai saat ini tercatat sebanyak 1.156 korban jugun ianfu seluruh Indonesia.

Berdasarkan dokumen dari tentara Kwantung yang mengatakan bahwa para perempuan jugun ianfu diperlakukan sebagai “persediaan militer”, dapat diestimasikan bahwa jumlah perempuan yang dieksploitasi oleh Jepang berkisar antara 80.000-100.000 perempuan. Pada rencana militer Jepang yang dibuat pada Juli 1941, terdapat 20.000 perempuan jugun ianfu yang dibutuhkan untuk 800.000 tentara Jepang, atau dengan kata lain satu perempuan untuk 40 tentara. Namun terdapat estimasi yang berbeda dari masing-masing peneliti.


(50)

Berikut ini tabel mengenai perkiraan jumlah jugun ianfu semasa perang pasifik. NAMA PENELITI TAHUN PUBLIKASI JUMLAH PERSONEL MILITER PARAMETE R

PENGGANTIAN JUMLAH JUGUN IANFU

Ikuhiko hata

1993 3 juta 1 untuk 50

tentara

1,5 90.000

Yoshiaki yashimi

1995 3 juta

3 juta

1 untuk 100 tentara

1 untuk 30 tentara

1,5

2

45.000

200.000

Su Zhiliang 1999 3 juta 1 untuk 30 tentara 3,4 4 360.000 410.000 Ikuhiko Hata

1999 2,5 juta 1 untuk 150

tentara

1,5 20.000

Taksiran yang berbeda – beda bergantung dari anggapan dasar dan metodologi yang yang digunakan masing-masing peneliti. Kolom ketiga adalah jumlah personel militer yang di tempatkan di perantauan selama perang pasifik, setelah itu kolom keempat adalah perbandingan jumlah personel militer yang ada dengan tiap jugun ianfu. Setelah itu kolom kelima merupakan perkiraan rasio pergantian perempuan jugun ianfu, karena adanya jugun ianfu baru yang mengisi tempat dari perempuan jugun ianfu yang dikirim pulang.


(51)

Sedangkan Realita yang terjadi di ianjo asrama Telawang seperti dikatakan Mardiyem adalah para jugun ianfu direkrut sebanyak tiga kali/ tiga angkatan, yaitu angkatan pertama, kedua dan ketiga.

Dibawah ini daftar nama tiap angkatan :

Angkatan pertama :

NAMA ASLI NAMA JEPANG NOMOR KAMAR

Sastro - 1

Haniyah - 2

Waginem Sakura 3

Giyah - 4

Soerip Ayami 5

Jarum Hakiko 6

Karsinah - 7

Suharti Masako 8

Mur Noburu 9

Soetarbini Ineke 10

Mardiyem Momoye 11

Jainem Haruye 12

Arjo - 13

Supri - 14

Wajilah - 15


(52)

Ribut Itoko 17

Pawiro Akiko 18

Sastro - 19

Gendut - 20

Sarmini - 21

Sumber: Hindra :92

Angkatan kedua:

NAMA ASLI NAMA JEPANG

Mangun -

Atmo -

Senen -

Lasiyem Takiko

Wagiyem -

Ginem Sakura


(53)

Angkatan ketiga :

NAMA ASLI NAMA JEPANG

Suharti Miki

Sulasmi -

Tuminah -

Karsinah -

Sarju -

Gigo -

Sutiyem -

Kasmini -

Tukinah -


(54)

(55)

1.4Berakhirnya Jugun Ianfu

Pada tahun 1945, setelah Jepang mengangkat kaki dari Indonesia, mereka melepaskan para jugun ianfu. Ada yang dikembalikan ke wilayah asalnya masing masing, namun sebagiannya masih terserak di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal mereka. Seperti catatan-catatan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, masih banyak perempuan mantan jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau di pelosok Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer’ menceritakan perempuan-perempuan yang terdapat di pulau Buru.

Keadaan para perempuan setelah Jepang melepaskan mereka adalah sesuatu yang menyedihkan. Sebagian dari perempuan yang telah diperlakukan tidak manusiawi itu ditinggalkan begitu saja di tempat mereka dilecehkan. Pulau Buru merupakan salah satu wilayah terpencil dan asing bagi para perempuan malang tersebut. Mereka tidak dapat kembali karena tidak tahu jalan pulang, atau banyak juga yang malu untuk kembali karena keadaan mereka yang mereka anggap memalukan. Mereka yang bertahan disana diambil oleh orang-orang dari suku pedalaman untuk dijadikan istri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan perempuan asli Buru, maka keadaan mereka akan sangat jauh berbeda. Perbedaan kulit dan wajah mereka sangat berbeda dengan penduduk asli Buru, maka tidak heran mereka menjadi ‘tawanan’ di sana.

Tidak jauh berbeda dengan perempuan mantan jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan. Penderitaan yang dialami para jugun ianfu penghuni Asrama Telawang Kalimantan berakhir seiring dengan berakhirnya perang dunia ke-2 dan Jepang kalah perang pada tahun 1945, ditandai dengan dibomnya ianjo Telawang oleh tentara


(56)

sekutu. Tentara Jepang yang berada di asrama Telawang menghilang, dan para jugun

ianfu mengambil keputusan untuk kembali ke daerah asal mereka. Namun mereka tidak

bisa pulang dengan mudah. Hal ini diketahui bahwa banyak perempuan jugun ianfu malu. Mereka yang pulang kembali ke daerah asal mereka dengan menanggung malu akibat selama 3 tahun mereka dijadikan pemuas nafsu Jepang. Sebagian masyarakat yang mengetahui masa lalu mereka menganggap mereka adalah pelacur.

Seperti yang dikemukakan oleh Eka Hindra Koichi Kimura, masalah- masalah yang dirasakan para jugun ianfu adalah sebagai berikut :

1) Kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu. Karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk memelihara kesehatannya, sebagian besar jugun ianfu meninggal karena tidak mendapatkan perawatan yan kesehatan yang memadai.

2) Trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih sangat muda.

3) Tertekan secara sosial karena oleh masyarakat dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia kotor, mengingat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu.

4) Tertekan secara psikis karena perasaan bersalah telah menjadi jugun ianfu. 5) Sebagian besar jugun ianfu dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di

tengah-tengah masyrakat dengan alasan bekas pelacur.

Mereka yang pulang menderita cedera dan menjalani kehidupan sedih, tidak bisa melupakan kekejaman masa lalu. Banyak menderita cacat fisik dan penyakit kelamin, dan


(57)

tidak dapat melahirkan anak. Lainnya tidak bisa menikah. Dan orang-orang yang akhirnya menikah sering harus menyembunyikan masa lalu mereka, tidak mampu memberitahu orang lain rasa sakit dan malu yang mereka rasakan di dalam hati mereka. Seperti penuturan Mardiyem “ Masa lalu sebagai penghuni asrama Telawang membuat aku trauma dengan laki-laki. Aku sama sekali tidak menginginkan seks lagi. rasa itu sudah mati” (Hindra :151).

3.6 Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu

Ada tiga hal yang dituntut para korban jugun ianfu kepada pemerintahan Jepang, seperti yang dituturkan oleh Mardiyem, yang meninggal tahun 2007 “Tuntutan aku dan teman-teman kepada Jepang adalah: Pemerintah Jepang harus mengaku bersalah dan

meminta maaf secara langsung kepada para korban, memasukkan kami; korban Jepang ke dalam pelajaran sekolah- sekolah di Jepang, dan membayar uang kami

yang dijanjikan oleh Cikada (Pengelola Asrama Telawang). Katanya, “ Kalau sudah tidak bekerja lagi, karcis para tamu yang sudah dikumpulkan penghuni asrama, bisa ditukar sengan uang.” Jadi kalau dihitung-hitung selama aku bekerja di Asrama Telawang, setiap orang akan mendaoat bayar lebih 2 juta yen dari hasil kerja mereka selama di Asrama Telawang. Aku menginginkan uang itu diberikan oleh Pemerintah Jepang langsung., bukan dari Kokominkikin (Asian Women Fund)“ (Eka Hindra Koishi Kimura : 203).

Namun masalah jugun ianfu Indonesia telah dianggap selesai oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Sosial, Inten Suweno yang menerima dana bantuan dari Pemerintah Jepang melalui Asia Women’s Fund (AWF) yang didirikan tahun 1995 oleh Pemerintah Jepang dalam upaya menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia.


(58)

Pemberian dana bantuan antara dua pemerintah ini tertuang dalam Memorandum

of Understanding (MoU) tanggal 25 Maret 1997 ditandatangani di Jakarta. Dana yang

diberikan sebenar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar yang akan diangsur Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia selama 10 tahun. Publik sempat mengetahui jika Pemerintah Indonesia menerima angsuran pertama tahun 1997 sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya oleh Pemerintah Indonesia uang tersebut akan di bangun 5 panti jompo untuk jugun ianfu di 5 propinsi yang berbeda di Indonesia antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Namun kenyataannya sampai saat ini, panti jompo yang dijanjikan tidak pernah jelas kabarnya. Sedangkan para jugun ianfu tidak pernah menerima dana bantuan dari Pemerintah Indonesia sepeser pun.

Perjuangan jugun ianfu Indonesia lebih berat dibanding dengan jugun ianfu negara lain. Hal ini dikarenakan Pemerintah Indonesia tidak mendukung perjuangan

jugun ianfu Indonesia, baik dukungan berupa moril di dalam dan diluar negeri maupun

dukungan dana kemanusiaan berupa santunan dana kesehatan. Pemerintah Indonesia melalui surat resminya tanggal 9 Desember 1997 menyatakan bahwa persoalan jugun

ianfu dianggap selesai berdasarkan kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Indonesia

yang diwakili oleh Perdana Menteri Soebanrio dan Perdana Menteri Luar Negeri Jepang Chiro Fujiyama 20 Januari 1958. Padahal perjanjian tersebut hanya menyoal soal kerusakan fisik akibat perang, sama sekali tidak memperhitungkan aspek penderitaan kemanusiaan akibat perang.


(59)

Pada 30 Oktober 2000 diajukan Rancangan Undang-undang mengenai pemecahan masalah pemulihan hak-hak jugun ianfu di Asia dan Belanda berupa konpensasi ganti rugi secara hukum oleh 3 partai oposisi Jepang, Partai Demokrat, Partai Demokrat Sosial, dan Partai Komunis. Namun selalu ditolak oleh partai mayoritas dalam DPR Jepang (Liberal Democratic Party). Berikut cuplikan kata pengantar dari RUU tersebut “ Selama

perang Jepang terhadap Negara-negara Asia dan Perang Dunia II, angkatan darat dan laut melaksanakan, secara langsung atau tidak langsung, terus menerus paksa seksuil secara sistematis terhadap perempuan-perempuan banyak. Oleh sebab itu mereka kehilangan kehormatan sebagai perempuan dan merugikan martabat manusia luuar biasa, serta memukul luka jiwa dan raga yang tidak dapat disembuhkan seumur hidup.

Tetapi kita tidak dapat berkata bahwa Negara kita menanggulangi secukup mungkin persoalan ini selama 60 tahun sampai sekarang. Dalam kemalasan kita ini, perempuan-perempuan yang telah dirugikan itu sudah lanjut usianya. Dengan berdasarkan atas keadaan ini, Negara kita harus bergumul untuk memecahkan persoalan ini secara cepat dengan sungguh-sungguh. Karena Negara kita perlu menjawab kepada tuntutan yang mendesak dari perempuan-perempuan itu dan juga kepada kritik yang berasal dari dalam dan luar negeri terhadap tanggung jawab Negara kita.

Hal ini sangat diperlukan untuk membuat hubungan kepercayaan yang lebih tetap antara para rakyat Negara yang berkaitan dengan soal ini dan rakyat Negara kita. Lalu, kita percaya bahwa kemajuan kita untuk memecahkan persoalan ini secara bebas, dan pengumuman keputusan Negara kita bahwa tidak mengulangi kesalahan yang sama itu, pasti menjadi satu kesempatan untuk menyatakan sikap Negara kita yang sedang berusaha kewajiban untuk meniadakan kekerasan terhadap perempuan-perempuan


(60)

dalam masyarakat internasional yang juga sedang berusaha meniadakan kekarasan terhadap perempuan-perempuan.

Di sini, dalam tujuan untuk memecahkan persoalan yang berkaiatan dengan paksa seksual selama perang dunia II, kita menetapkan hukum yang memiliki hal-hal pokok yang berikut. Yaitu, menerangkan fakta-fakta paksa seksual dan kerugian yang disebabkan olehnya selama perang dunia ke-2, dan melaksanakan tindakan dengan permintaan maaf dan ganti-rugi kerugian pada fakta-fakta yang merugikan kehormatan dan martabat perempuan yang dirugikan oleh kerja paksa seksual (momoye mereka memanggilku halaman 294).

Dua tahun setelah RUU tersebut dibuat maka datang empat senator Jepang (Tomiko Okazaki,.Yoriko Madoka, Haruko Yoshikawa, Yoko Tajima) guna mencari informasi mengenai keberadaan jugun ianfu di Indonesia dan meminta pendapat pejabat tinggi Indonesia mengenai RUU tersebut , namun mereka kecewa karena pejabat tinggi Indonesia menyatakan bahwa masalah jugun ianfu Indonesia adalah masa lalu yang tidak perlu diperdebatkan. Sesuai dengan pernyataan resmi Inten Suweno 14 Nopember 1996 menyatakan bahwa, ”Sejak awal pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan menuntut kompesasi kepada Pemerintah Jepang. Pemerintah Indonesia hanya mengharapkan Jepang mencari penyelesaian yang baik”.

Pada Desember 2000, uang konpensasi diberikan Jepang kepada pemerintah Indonesia, namun para jugun ianfu tidak menerima uang tersebut sebab oleh pemerintah Indonesia, dana tersebut digunakan untuk membangun panti jompo. Sedangkan para korban jugun ianfu yang masih hidup menolak untuk tinggal di panti jompo sebab mereka merasa akan terkucilkan dari masyarakat bila tinggal disana


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Hindra, Eka & Koichi Kimura. 2007. Momoye Mereka Memanggilku. Jakarta: Esensi. Juliantoro, Dadang & A. Budi Hartono. Derita Paksa Perempuan. Yogyakarta: Pustaka

Sinar Harapan LBH YogyakartaYayasan Lapera Indonesia dan The Ford Foundation.

Listiyanti, Dimar Kartika. 2008. Jugun Ianfu during the Japanese Occupation in

Indonesia (19421945) : a gender perspective analysis. Skripsi pada Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Nasution, Ikhwanudin. 2009. Sastra dari Perspektif Kajian Budaya : Analisis Saman dan

Larung. Medan.

Nazir, Moh. 1988. Metode penelitian. Jakarta: Balai Aksara.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Situmorang, Hamzon. 2008. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Sumatera utara. Medan: USU PRESS.

Sirait. 2008. --- Semi. 1993. Metode Penelitian Sastra. Jakarta.

Taylor & Francis. 1987. Japanese Business Language: an essential dictionary. Mitsubishi Shooji Kabushiki Kaisha.

Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia pustaka Utama. Toer, Pramoedya Ananta, 2001. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Jakarta:


(2)

Yuki, Tanaka . 2002. Japan’s comfort Women Sexual Slavery and Prostitution During

World War II and The US Occupation. New York: Routledge.

http://

http://www.goodreads.com/author/show/768825.Jan_Ruff_O_Herne


(3)

ようし

,要旨

インドネシアにおける1942年-1945年の

にほんせん りょうじだい

,日本占領時代 の

じゅうぐん いあんふ

,従軍慰安婦の現実(

みなみ

,南ボルネオのTELAWANGという

ちほう

,地方 )

あ る

くに

,国 の

ちりてき

,地理的 な

とくちょう

,特徴 は そ の

くに

,国 の

せいかつ

,生活 に

たい

,対 し

て 、

えいきょう

,影響 を

あた

,与 え る

けいこう

,傾向 が

おお

,多 い 。

しまぐに

,島国 と し て 、

にほん

,日本

かいじょう

,海上の

せいかく

,性格のことで、

すば

,素晴 らしい

かいこく

,海国になる

げんいん

,原因 であ

る 。 日 本は パ ワー の ある 国 であ る 。日 本 のパ ワ ー は

だい

,第 2

せかいせんそう

,世界戦争 ご

,見 ら れ て 、

こわ

,怖 が れ て 、 パ ワ ー の あ る 国 と し て 、

,出 て き た 。

にほん

,日本 は 1942 年 に オ ラ ン ダ か ら イ ン ド ネ シ ア を

ごうだつ

,強奪 し て 、1945 年 ま た は

だい

,第 2

せかいせんそう

,世界戦争が

,終わりまで

しょくみん

,植民した。

ちょくやく

,直訳すると、

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦の

ことば

,言葉 は「従」は‘ikut’、

「 軍 」 は ‘tentara’、 「 尉 安」 は’penghibur’、 「 婦 」 は’perempuan’と い う

いみ

,意味

である。つまり、

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦というのは

ぐんたい

,軍隊と

いっしょ

,一緒に

,行っ

て、

なぐさ

,慰 める

おんな

,女 の

ひと

,人 である。

えいご

,英語 では、Comfort Womenといわれて

い る 。

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦 は イ ン ド ネ シ ア の

せんりょうあいだ

,占領間

にほんぐんたい

,日本軍隊 に さ れ た

せいてきどれい

,性的奴隷 は

ふつう

,普通 で は な


(4)

い を

あた

,与 えて 、ホ ステ スに なる こと は

じぶん

,自分 の

がんぼう

,願望 で は な

く、

にくたいてき

,肉体的、

しんりてき

,心理的に

さいそく

,催促されたからである。

じゅうぐんいあんふせいど

,従軍慰安婦制度 の

こうせい

,構成 の

はじ

,初 めに、

にっぽんせいふ

,日本政府

ぐんたい

,軍隊 の た め に 、

そうおう

,相応 な

なぐさ

,慰 め が

おこな

,行 わ れ る こ と に よ っ

て、

ぐんたい

,軍隊たちの

どうとく

,道徳ややる

,気を

たか

,高めたり、

せいびょう

,性病を

,避けたり

す る こ と が で き る と

きたい

,期待 し て い る 。 そ の

けいかく

,計画 を

ささ

,支 え る た め

に、

ぐんたい

,軍隊たちの

ぜんせん

,前線で

なぐさ

,慰めの

ばしょ

,場所(

いあんば

,慰安場)が

,建てられ

た。 この

いあんじょう

,慰安場 で は、

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦 が

しゅうよう

,収容 され

て、

にほんぐんたい

,日本軍隊の

せいよく

,性欲を

まんぞく

,満足 1945 年 に は 、Telawangと い う

した。

ところ

,所 は イ ン ド ネ シ ア に あ る

さいだい

,最大

いあんじょう

,慰安場 で あ っ て 、 ジ ャ ワ の

おんな

,女 の

ひとびと

,人々 が

あつ

,集 め ら れ

て、

にほんぐんたい

,日本軍隊の性欲を満足するものになられた。

にっぽんせいふ

,日本政府 は

おんな

,女 の

ひと

,人 たちを

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦 に

とうよう

,登用

するために、

みっ

,三つの

ほうほう

,方法

がある。それは、

にくたいてき

,肉体的な

はんざい

,犯罪の

さいそく

,催促

― テ ロ

こうい

,行為 と と も に 、

きょうはく

,脅迫 や

こわ

,怖 が ら せ る

さいそく

,催促 と い

しんりてき

,心理的な

はんざい


(5)

がっこう

,学校 に

,行 か せ て 、 あ る

しごと

,仕事 を

ようい

,用意 さ れ る

やくそく

,約束 の よ う

だま

,騙しの

さいそく

,催促

また、

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦の

えいぎょうじかん

,営業時間

は、

ひるじかん

,昼時間(12.00-17.00)、

ぐんたい

,軍隊たちのための

じかん

,時間である。

,―

よるじかん

,夜時間(17.00-24.00)、

にほん

,日本 の

みんかんがわ

,民間側のための

じかん

,時間

である。

まよなかじかん

,真夜中時間 (24.00-

あさ

,朝)

にほんぐんたい

,日本軍隊 の

せいてきどれい

,性的奴隷 に な っ た

おんな

,女 の

ひと

,人 た ち

にほんぐんたい

,日本軍隊 の

せいよく

,性欲 を

まんぞく

,満足 するものになりたくない

が 、

かのじょたち

,彼女達 が

きょうはく

,脅迫し た り 、

ごうだつ

,強奪 し た り さ れ た も の で あ

る。

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦 が

,終 わったとき、

かのじょたち

,彼女達 が

,恥 ずかしくなっ

て、

にほんぐんたい

,日本軍隊の残り

もの

,物

それに

になったからである。

たい

,対して、

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦の

ようきゅう

,要求が

みっ

,三

つある。それ

は、

ばいしょうきん

,賠償金を

,取り

,立

てること、

にほんし

,日本史の

きょうかしょ

,教科書に

せつめい

,説明

されること、

にっぽんせいふ

,日本政府 は

いんどねしあ

,インドネシア を

せんりょう

,占領 する

あいだ

,間 の

はっせい

,発生


(6)

だが、インドネシア

せいふ

,政府と

にっぽんせいふ

,日本政府はこの

もんだい

,問題に

たい

,対し

て、

,目 を

,閉 じるような

たいど

,態度 をとっていて、この

もんだい

,問題 はもう

,終 わっ

たと

かんが