Analisis Moral Pengabdian Diri Pilot Kamikaze Pada Perang Dunia II (Dai ni Sekai Sensuo No Kamikaze Pairotto No Kenshin No Doutoku Bunseki)

(1)

ANALISIS MORAL PENGABDIAN DIRI PILOT

KAMIKAZE

PADA PERANG DUNIA II

(DAI NI SEKAI SENSOU NO KAMIKAZE PAIROTTO NO

KENSHIN NO DOUTOKU NO BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang

Ilmu Sastra Jepang

OLEH :

AGUS HARDIANSYAH NIM : 040708027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG S-1

MEDAN


(2)

ANALISIS MORAL PENGABDIAN DIRI PILOT

KAMIKAZE

PADA PERANG DUNIA II

(DAI NI SEKAI SENSOU NO KAMIKAZE PAIROTTO NO

KENSHIN NO DOUTOKU NO BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang

Ilmu Sastra Jepang

OLEH :

AGUS HARDIANSYAH NIM : 040708027

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D

NIP. 131 422 712 NIP. 132 299 344

M. Pujiono, SS, M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG S-1

MEDAN


(3)

Disetujui Oleh Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, 22 Desember 2008

Program Studi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi,

NIP. 131 422 712


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Hari : Senin

Tanggal : 22 Desember Pukul :

Fakultas Sastra Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D NIP.

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D ( )

2. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )


(5)

ABSTRAK

Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri dan mengakibatkan kematian. Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan seperti ini pernah berkembang sebagai ritual khusus dan menjadi tradisi budaya yang dijunjung tinggi. Bunuh diri di Jepang merupakan suatu bentuk tanggung jawab dan memiliki nilai budaya. Pada zaman feodalisme di Jepang, cara bunuh diri dinamakan dengan

seppuku.

Pada Perang Dunia II, Jepang yang sedang berperang dengan Amerika di Filipina membentuk pasukan serangan khusus yang disebut dengan kamikaze. Kamikaze adalah pasukan serangan khusus yang dibentuk oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi. Pasukan kamikaze bertugas untuk memberi perlindungan udara terhadap kapal-kapal Jepang yang akan menyerang kapal-kapal Amerika di Filipina.

Taktik penyerangan konvensional tidak dapat dilakukan karena pesawat-pesawat dan kapal-kapal Amerika lebih banyak dari pada Jepang. Sehingga melahirkan ide taktik serangan bunuh diri Kamikaze, yaitu para pilot menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh. Banyak pilot yang melakukan bunuh diri untuk Kaisar dan negara Jepang.

Kamikaze memiliki latar belakang sejarah budaya yang pernah berkembang di Jepang. Pada zaman feodal di Jepang, terdapat golongan elit yang disebut dengan bushi. Kaum bushi ini memiliki falsafah hidup yang dikenal dengan bushido.

Golongan samurai yang rela mati untuk mendapatkan kehormatan tertinggi yang ditujukan kepada tuannya ini menunjukkan sebuah kesetiaan yang absolut kepada tuan majikannya. Ajaran bushido inilah yang mendasari penggunaan taktik serangan bunuh diri pilot Kamikaze Jepang. Selain itu bangsa Jepang mengenal


(6)

konsep kehidupan setelah mati (reinkarnasi). Jadi konsep kepercayaan ini bagi bangsa Jepang membuat kematian itu bukanlah sesuatu yang tidak menyenangkan.

Masyarakat Jepang pada umumnya adalah orang yang terikat dalam kelompoknya dan terlalu kecil sifat individualismenya, sehingga ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Oleh karena itu bunuh diri Kamikaze

termasuk ke dalam bunuh diri altruistic. Hal ini bersumber dari budaya malu yang berkembang dalam masyarakat Jepang.

Masyarakat Jepang akan merasa malu apabila tidak dapat membalas kebaikan yang telah diberikan oleh orang. Kebaikan yang diberikan orang disebut dengan on. Pembayaran on yang paling utama adalah on kepada Kaisar. Kesetiaan seorang hamba kepada Kaisar, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi.

Budaya malu ini melahirkan suatu sikap pantang menyerah dalam diri tentara Jepang. Mereka akan merasa terhina jika mereka menyerah. Kehormatan sangat berhubungan erat dengan bertempur sampai mati. Bahkan dengan cara bunuh diri lebih baik dari pada menjadi tawanan musuh.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji hanya mililk Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para sahabtnya dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Atas berkat rahmat Allah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ANALISIS MORAL PENGABDIAN DIRI PILOT KAMIKAZE PADA PERANG DUNIA II”, yang merupakan syarat untuk mncapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D, selaku ketua Jurusan Sastra Jepang dan sekaligus sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk membimbing penulisan skripsi ini.

3. Bapak M. Pujiono, SS, M.Hum, selaku pembimbing II yang telah membimbing dan membantu pada penulisan skripsi ini.

4. Dosen-dosen Fakultas Sastra, khususnya Dosen-Dosen Sastra Jepang yang telah memberikan pengetahuan tentang bahasa, sastra dan budaya Jepang, serta terima kasih kepada staf pegawai Sastra Jepang.

5. Orang tuaku tercinta Suhartoyo dan Misni yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.


(8)

6. Seluruh teman-teman di Sastra Jepang yang telah memberi dukungan kepada penulis.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembelajara Bahasa dan Sastra Jepang. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Medan, Desember 2008


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.6 Metode Penelitian ... 14

BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE 2.1 Masyarakat Berkebudayaan Rasa Malu ... 16

2.1.1 Gimu ... 18

2.1.1.1 Chu Sebagai Pemenuhan On Terhadap Kaisar ... .. 19

2.1.1.2 Ko Sebagai Pemenuhan On Terhadap Orang Tua ... .. 20

2.1.2 Giri ... .. 21

2.1.2.1 Giri Terhadap Dunia ... .. 22

2.1.2.2 Giri Terhadap Nama ... .. 23

2.2 Pengabdian Diri dalam Bushido ... .. 24

2.2.1 Kesetiaan terhadap Tuan ... .. 25

2.2.2 Kesetiaan terhadap Shogun ... .. 27

2.3 Militerisme di Jepang dan Kamikaze ... .. 31


(10)

2.3.2 Kamikaze ... .. 35 BAB III ANALISIS MAKNA PENGABDIAN DIRI PILOT KAMIKAZE

3.1 Aspek-Aspek Kamikaze ... 39 3.2 Kasus-Kasus Bunuh Diri Pilot Kamikaze ... .. 46 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... .. 59 4.2 Saran ... .. 61 ABSTRAK


(11)

ABSTRAK

Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri dan mengakibatkan kematian. Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan seperti ini pernah berkembang sebagai ritual khusus dan menjadi tradisi budaya yang dijunjung tinggi. Bunuh diri di Jepang merupakan suatu bentuk tanggung jawab dan memiliki nilai budaya. Pada zaman feodalisme di Jepang, cara bunuh diri dinamakan dengan

seppuku.

Pada Perang Dunia II, Jepang yang sedang berperang dengan Amerika di Filipina membentuk pasukan serangan khusus yang disebut dengan kamikaze. Kamikaze adalah pasukan serangan khusus yang dibentuk oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi. Pasukan kamikaze bertugas untuk memberi perlindungan udara terhadap kapal-kapal Jepang yang akan menyerang kapal-kapal Amerika di Filipina.

Taktik penyerangan konvensional tidak dapat dilakukan karena pesawat-pesawat dan kapal-kapal Amerika lebih banyak dari pada Jepang. Sehingga melahirkan ide taktik serangan bunuh diri Kamikaze, yaitu para pilot menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh. Banyak pilot yang melakukan bunuh diri untuk Kaisar dan negara Jepang.

Kamikaze memiliki latar belakang sejarah budaya yang pernah berkembang di Jepang. Pada zaman feodal di Jepang, terdapat golongan elit yang disebut dengan bushi. Kaum bushi ini memiliki falsafah hidup yang dikenal dengan bushido.

Golongan samurai yang rela mati untuk mendapatkan kehormatan tertinggi yang ditujukan kepada tuannya ini menunjukkan sebuah kesetiaan yang absolut kepada tuan majikannya. Ajaran bushido inilah yang mendasari penggunaan taktik serangan bunuh diri pilot Kamikaze Jepang. Selain itu bangsa Jepang mengenal


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Modernisasi Jepang dimulai pada saat Jepang melakukan Restorasi Meiji. Sebelum melakukan Restorasi, Jepang mengalami masa isolasi selama kurang lebih 250 tahun selama pemerintahan keshogunan Tokugawa yang membawa pengaruh besar bagi bangsa Jepang, yaitu semakin mantapnya pembentukan kepribadian bangsa Jepang. Keyakinan dan kepercayaan pada kepribadian sendiri begitu besar, sehingga Jepang mampu melaksanakan westernisasi dengan sadar dan terang-terangan tanpa harus takut bahwa westernisasi akan menggoyahkan kepribadian mereka.

Suryohadiprojo (1982 : 26-31) mengatakan dalam proses awal modernisasi di Jepang, ada beberapa hal yang fundamental dilakukan oleh pemerintahan Meiji, yaitu :

1. Penghapusan gologan samurai dan tembok pemisahan antara golongan petani, tukang, serta pedagang.

2. Diadakannya pendidikan wajib dan bebas bagi seluruh rakyat selama 4 tahun dan dibukanya berbagai macam tingkat sekolah, hingga pada tingkat universitas.

3. Sikap Jepang untuk lebih berorientasi kepada kekuatan sendiri dari pada berdasarkan pada bantuan luar negeri.

4. Diadakannya sistem wajib militer melalui UU pada tahun 1872. 5. Perubahan sistem perpajakan.

Dari lima tindakan fundamental yang dilakukan pemerintahan Meiji, telah terbukti hasilnya berupa perang Jepang – Rusia pada tahun 1904 – 1905. Jepang


(13)

berhasil memenangkan perang. Kemenangan Jepang membuktikan bahwa Jepang dapat mengimbangi bangsa Eropa dan memperkuat kepercayaan diri bangsa Jepang.

Pada perkembangan selanjutnya, Jepang mengalami kemajuan pada fase Perang Dunia I. Dalam Perang Dunia I negara-negara Eropa tidak mampu memproduksi barang-barang untuk daerah jajahan di Asia, karena negara-negara tersebut terlibat perang. Sejak saat itu Jepang memperoleh daerah pemasaran hasil industrinya di wilayah Asia. Ditambah lagi karena Jepang turut serta dalam perang dengan memihak Inggris yang pada saat Perang Dunia I menjadi pihak yang menang, sehingga Jepang mendapat sebagian dari bekas jajahan Jerman.

Dengan keberhasilan modernisasi yang dilakukan dari keadaan terisolasi dan jauh tertinggal dari negara luar, menjadi sebuah negara yang mengalami kemajuan pesat dalam bidang pengetahuan dan teknologi, serta dalam bidang ekonomi membuat Jepang menjadi agresif keluar. Jepang mulai melakukan ekspansinya ke China dan akhirnya turut serta melibatkan diri dalam Perang Dunia II. Serangan yang dilakukan Jepang atas Pearl Harbour merupakan awal dari keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia II.

Peperangan udara di Pasifik sebagai bagian Perang Dunia II, diawali dengan serangan udara mendadak Jepang terhadap pangkalan AL Amerika di Pearl Harbor,

Hawai, pada tanggal 7 Desember 1941

Amerika yang terdiri dari kapal-kapal tempur dan penjelajah hancur berantakan. Akhirnya dalam waktu yang relatif singkat, Jepang dapat menguasai Filipina dan negara Asia Tenggara lainnya yang sebelumnya dikuasai Amerika dan negara sekutu.


(14)

Penyerangan Jepang atas Pearl Harbor merupakan penghinaan bagi Amerika yang merupakan negara dengan kekuatan militer yang melebihi Jepang. Sehingga memasuki akhir tahun 1943, Amerika mulai melancarkan serangan balik terhadap Jepang. Serangan demi serangan dilakukan Amerika untuk merebut Filipina dan membuat posisi Jepang semakin terjepit di Filipina.

Akibat dari serangan ini, kekalahan demi kekalahan dialami Jepang di Pasifik. Misalnya pertempuran di sekitar Marshal. Dalam dua hari Jepang kehilangan 270 pesawat. Hanya dua kapal induk veteran Jepang yang masih operasional, Shokaku dan Zuikaku, ditambah kapal induk baru Taiho. Pertempuran di laut Filipina terjadi 19 – 20 Juni 1944

Kondisi Jepang yang semakin terjepit akhirnya memunculkan gagasan yang dalam sejarah peperangan udara dianggap unik, yakni serangan Kamikaze. Konsep

Kamikaze dalam Perang Dunia II bukanlah bunuh diri fanatik, karena motivasinya lebih pada “satu orang, satu kapal perang”. Maksudnya adalah satu orang memiliki target untuk menghancurkan satu kapal perang musuh. Hal ini dianggap satu-satunya kesempatan untuk mengatasi superioritas Amerika yang mulai dirasakan Jepang sejak akhir tahun 1944.

Serangan Kamikaze berbeda dengan taktik perang konvensional yang bagaimanapun besarnya resiko selalu ada kemungkinan selamat. Tetapi serangan

Kamikaze hanya dapat dilakukan dengan membunuh diri sendiri. Serangan dan kematian adalah satu kesatuan yang utuh.

Kamikaze adalah kelompok serangan udara di bawah pimpinan Laksamana Madya Takijiro Onishi. Kesuksesan organisasinya disebabkan keterikatan perasaan dan tujuan yang terjadi antara laksamana dan anak buahnya.


(15)

“Kami mati untuk tujuan besar negara kami”, ini menjadi semboyan dari pilot-pilot Kamikaze (Pineau, 2008 : XXV). Hal ini memperlihatkan kepercayaan mendalam dan terus menerus terhadap negara dan Kaisar mereka, serta kesedian untuk mati bagi kepercayaan tersebut. Tanpa hal ini serangan Kamikaze tidak mungkin dilakukan.

Para pilot Kamikaze menunjukkan sebuah pengorbanan terhadap negara dan Kaisar dengan mengorbankan diri sendiri. Para pilot juga tidak pernah mempertanyakan tanggung jawab komandannya. Mereka memiliki kepercayaan kuat tentang kehidupan setelah kematian. Sikap ini adalah salah satu sikap yang ada dalam sejarah dan tradisi panjang bangsa Jepang.

Jepang memiliki latar belakang kehidupan samurai yang mempunyai kode etik yang disebut dengan bushido. Salah satu sikap moral yang terkandung dalam

bushido adalah moral kesetiaan yang luar biasa terhadap tuannya. Moral pengabdian diri para samurai terhadap tuan bersifat mutlak. Hal ini tampak jelas dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi

(mewujudkan balas dendam tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuan.

Hal tersebut dilakukan karena dalam tradisi budaya Jepang mengenal konsep

Ie. Watsuji dalam Situmorang (1995 : 21) mengatakan, penyebab yang mendorong pengikut dekat dengan tuan melakukan junshi adalah karena di dalam Ie terjadi jalinan hubungan yang erat antara tuan dan pengikut yang telah berlangsung dari generasi ke generasi antara tuan dan anak buah. Karena itu anak buah berpikiran bahwa segala sesuatu yang diterimanya selama hidup merupakan on (budi) dari tuan


(16)

yang harus dibayar dengan chu (penghormatan terhadap tuan), yang diwujudkan dengan giri (balas budi).

Bangsa Jepang mengenal konsep on dalam kehidupannya. On adalah hutang dan harus dibayar kembali. Bangsa Jepang membagi dalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing dengan peraturannya yang berlainan, pembayaran kembali on

itu, yang jumlahnya dan jangka waktunya tanpa batas dan on mana yang sama secara kuantitatif, serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempat khusus. Pembayaran-pembayaran tanpa batas atas hutang ini disebut gimu dan tentang itu mereka mengatakan, “orang tak pernah dapat membayar kembali sepersepuluh dari

on ini”. Gimu seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda : pembayaran on kepada orang tua sendiri adalah ko, dan pembayaran kembali on

kembali kepada Kaisar adalah chu (Benedict, 1982 : 122).

Selama masa feodalisme konsep chu ditujukan kepada penguasa tertinggi yaitu shogun. Tetapi setelah Restorasi Meiji, terjadi pergerseran chu dari shogun

kepada Kaisar. Karena sejak Restorasi Meiji yang menjadi penguasa tertinggi adalah Kaisar. Benedict dalam Situmorang (1995 : 68) menyatakan dalam konsep chu, atasan tertinggi dalam kelompok adalah seseorang kepada siapa orang paling banyak berhutang. Rasa berhutang seseorang bukanlah merupakan kebajikan. Hal ini dimulai pada saat seseorang ini memutuskan dirinya secara aktif menebus hutang tersebut.

Moral pengabdian diri kepada Kaisar tampak dalam peristiwa bunuh diri pilot

Kamikaze pada Perang Dunia II. Pada masa ini golongan samurai telah terhapus, tetapi semangat bushido masih ada dalam diri pilot Kamikaze yang melakukan serangan bunuh diri dengan menabrakkan pesawat yang dilengkapi dengan bom seberat 250 kg ke geladak kapal induk musuh.


(17)

Taktik serang bunuh diri yang ekstrim yang dilakukan para pilot Kamikaze

dengan semangat loyalitas bushido akan saya bahas dalam penelitian yang berjudul “ ANALISIS MORAL PENGABDIAN DIRI PILOT KAMIKAZE PADA PERANG DUNIA II ”.

1.2 Perumusan Masalah

Pada tahap awal modernisasi, Jepang berhasil menyamai kedudukannya dengan negara-negara barat. Keberhasilan modernisasi ini membuat Jepang melakukan ekspansi keluar. Dimulai melakukan pendudukan di Cina sampai keterlibatannya dalam sebuah perang besar.

Jepang mengalami kesuksesan dengan menguasai Asia tenggara pada waktu itu. Tetapi keadaan berbalik ketika Amerika berusaha melakukan serangan balasan atas Jepang. Keadaan ini memaksa Jepang membentuk sebuah korps serangan khusus bunuh diri Kamikaze yang begitu mengerikan dan menggemparkan dunia kemiliteran. Ribuan orang menabrakkan pesawatnya ke kapal musuh.

Taktik serangan luar biasa ini berhasil merusak dan menenggelamkan sejumlah kapal musuh. Dengan pendekatan fenomenologis, historis, moral dan semiotik maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Mengapa Jepang menggunakan taktik serangan bunuh diri Kamikaze ?

2. Bagaimana moral pengabdian diri pilot Kamikaze yang diwujudkan dalam serangan bunuh diri pada Perang Dunia II ?


(18)

Dari permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menganggap diperlukan pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan selanjutnya. Hal tersebut dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh dari topik penelitian.

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahannya yaitu pada hal yang berkaitan dengan morali pengabdian diri pilot Kamikaze sebagai wujud dari kesetiaan terhadap Kaisar dan negara Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka

Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan menghabisi nyawa sendiri bahkan pernah berkembang sebagai ritual-ritual tertentu dan menjadi tradisi budaya yang dijunjung tinggi. Bunuh diri dilakukan terkait dengan rasa malu atau rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan atau tugas. Bila seseorang merasa sangat bersalah atau menyusahkan orang lain, maka mereka akan sangat mudah melakukan bunuh diri.

Benedict dalam Situmorang (1995 : 64) mengatakan, bahwa masyarakat Jepang berkebudayaan “rasa malu”, berbeda dengan Amerika yang berkebudayaan “rasa takut”. Seorang sosiolog Prancis, Emile Durkheim

a. Altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat


(19)

dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya, misalnya harakiri di Jepang.

b. Egoistic suicide, yaitu apabila individu tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat karena masyarakat menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian, misalnya orang yang kesepian, tidak menikah dan pengangguran.

c. Anomic suicide, yaitu apabila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga individu mengalami krisis identitas, misalnya orang kaya yang mengalami kebangkrutan dalam usahanya.

Tradisi bunuh diri di Jepang berasal dari kaum samurai atau disebut juga dengan bushi. Pada awalnya bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi kepada tuannya kizoku (Situmorang, 1995 : 11). Sebagai landasan moral para bushi

tersebut, maka terbentuk suatu aturan yang dipegang para samurai atau bushi yang disebut dengan bushido.

Menurut Kawakami dalam Bellah (1985 : 121) bushido atau jalan hidup bushi

pada awalnya berkembang dari kebutuhan-kebutuhan praktis para prajurit. Selanjutnya dipopulerkan oleh ide-ide moral konfusius tidak hanya sebagai moralitas kelas prajurit tetapi juga sebagai landasan moral nasional. Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.

Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memperhatikan : (1) kejujuran (rectitude), (2) keberanian, (3) kemurahan hati, (4) kesopanan, (5) kesungguhan (sincerity), (6) kehormatan atau harga diri (honour), dan (7) kesetiaan (loyalty) (Suryohadiprojo, 1982 : 49).


(20)

Semangat pengabdian diri dalam bushido yang lahir pada masa feodalisme, masih tampak jelas dalam aksi serangan bunuh diri pilot Jepang pada perang dunia II. Para pilot Jepang yang melakukan serangan bunuh diri dengan menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh disebut dengan Kamikaze.

Kamikaze adalah angin dewata yang menyelamatkan Jepang dalam abad ke 13 dari serangan Jenghis Khan, ketika angin itu memberaikan dan membalikkan perahu-perahunya (Benedict, 1982 : 31).

Dalam masa perang dunia II, Kamikaze merupakan semacam kesetiaan tertinggi pada Kaisar Jepang, sosok agung yang diyakini oleh bangsa Jepang sebagai keturunan dewa matahari (Baskara, 2008 : 5).

Walaupun selama ratusan tahun kode etik ksatria (bushido) menekankan pentingnya kesediaan untuk mati setiap saat telah mengatur perilaku para samurai, prinsip serupa juga diadopsi oleh para pedagang petani dan seniman. Nilai utamanya adalah loyalitas mutlak kepada Kaisar, para atasan lainnya dan seluruh rakyat Jepang. Jadi pengenalan prinsip Kamikaze tidak terlalu mengejutkan bagi bangsa Jepang jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa barat (Pineau, 2008 : 292).

b. Kerangka Teori

Dalam uraian tentang dasar teori, Bogdan dan Biklen menggunakan istilah paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian. Dalam suatu penelitian, apakah dinyatakan secara eksplisit atau tidak, biasanya orientasi teoretis tertentu mengarahkan pelaksanaan penelitian itu. Peneliti yang baik menyadari dasar teoretisnya dan memanfaatkannya dalam


(21)

pengumpulan dan analisis data. Teori membantu menghubungkannya dengan data. (Moleong, 1994 : 8).

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis yang menekankan pada rasionalitas dan realitas budaya yang ada serta berusaha memahami budaya melalui pandangan pemilik budaya (pelakunya). Moleong (1994 : 9) mengatakan peneliti dalam pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitanya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subjektif dari perilaku orang.

Oleh karena itu pendekatan fenomenologis digunakan untuk menafsirkan fenomena atau gejala yang ditemuka n dalam aksi serangan bunuh diri pilot Kamikaze

Jepang pada Perang Dunia II. Analisis data dilakukan dengan menafsirkan fenomena budaya bunuh diri dari sudut pandang pelaku budaya tersebut.

Penelitian juga dapat dilihat dari perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki. Fenomena yang terjadi pada objek penelitian ini memiliki aspek historis atau sejarah di dalamnya. Karena bunuh diri yang dilakukan pilot

Kamikaze Jepang merupakan salah satu budaya yang telah ada sejak zaman feodalisme di Jepang. Kartodirjo dalam Kaelan (2005 : 61) mengatakan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang membahas peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta mengenai apa, kapan dan di mana, serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu terjadi beserta sebab akibatnya.

Jepang merupakan negara yang selalu berusaha untuk memelihara dan mempertahankan tradisi budaya bangsanya. Salah satunya adalah nilai bushido.


(22)

moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah.

Tradisi bunuh diri di Jepang lahir pada zaman feodalisme, yang pada awalnya dilakukan oleh golongan ksatria Jepang atau dikenal dengan istilah bushi. Golongan

bushi memiliki prinsip atau jalan hidup yang disebut dengan bushido yang mengajarkan ajaran moral bagi para bushi. Salah satu ajaran moralnya adalah sikap kesetiaan atau loyalitas kepada tuan. Moral kesetiaan ini juga ditunjukkan oleh para pilot Jepang yang melakukan serangan bunuh diri.

Walaupun ketika dilakukannya modernisasi Jepang golongan bushi telah terhapus, nilai-nilai ajaran moral bushi masih tetap diterapkan. Fenomena yang sangat khas pada fase modernisasi Jepang adalah aksi serangan bunuh diri pilot Jepang. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk pengabdian yang ditujukan untuk Kaisar dan negara Jepang.

Serangan bunuh diri Kamikaze ini merupakan sebuah gagasan yang dimunculkan oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi. Karena taktik serangan konvensional tidak mampu untuk menghadang serangan Amerika. Para pilot rela mati untuk menjalankan tugas dan tidak ada rasa takut dan keluhan dari mereka. Seperti kutipan dari surat terakhir Letnan Dua (Laut) Heiichi Okabe salah satu pilot

Kamikaze (Pineau, 2008 : 290) :

Apakah tugas hari ini? Untuk bertempur Apakah tugas esok hari? Untuk menang Apakah tugas sehari-sehari? Untuk mati

Dari uraian di atas dipergunakanlah teori semiotik untuk menganalisis data. Hoed dalam Nurgiyantoro (1998 : 40) mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu atau


(23)

metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni, : sastra, lukis, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita.

Selain menggunakan teori semiotik, penelitian ini juga menggunakan teori otonomi moral dari Immanuel Kant. Suseno dalam Nelvita (2007 : 9) menyatakan sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom (dari kata Yunani, autos, sendiri). Otonomi moral berarti manusia menaati kewajibannya karena dia sendiri sadar. Jadi dalam memenuhi kewajibannya ia sebenarnya taat pada dirinya sendiri. Otonomi moral tidak berarti bahwa manusia menolak untuk menerima hukum yang dipasang orang lain, melainkan bahwa ketaatan kalau memang dituntut dilaksanakan karena manusia itu sendiri insaf. Inti penghayatan moralitas adalah bahwa manusia melakukan kewajiban bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena manusia itu sendiri menyadarinya sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggung jawab.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitan

Berdasarkan pada pokok permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan latar belakang penggunaan taktik serangan bunuh diri pilot

Kamikaze.

2. Mendeskripsikan sikap moralitas pengabdian yang terdapat dalam diri pilot


(24)

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu baik penulis maupun pembaca, diantaranya :

1. Bagi para peneliti yang ingin mempelajari mengenai salah satu sifat golongan

bushi yang diwarisi kepada pilot Kamikaze yaitu moral pengabdian diri. 2. Sebagai sumber tambahan dalam penelitian sejarah Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, tentulah dibutuhkan suatu metode sebagai penunjang mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif dalam ruang lingkup historis. Menurut

Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa, penelitian yang bersifat deskriptif yaitu yang memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data.

Kartodirdjo dalam Kaelan (2005 : 91) mengatakan metode deskriptif historis adalah untuk melukiskan, menjelaskan dan menerangkan fakta sejarah. Metode deskriptif berupaya untuk melukiskan peta sejarah, yaitu menyangkut tentang apa, siapa, kapan, bagaimana dan di mana peristiwa sejarah itu terjadi.


(25)

Metode sejarah menggunakan catatan observasi atau pengamatan yang dilakukan orang lain, yang tidak dapat diulang-ulang. (Kaelan, 2005 : 60).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku “Kisah Para Pilot

Kamikaze : Pasukan Udara Berani Mati Jepang Pada Perang Dunia II” yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Buku merupakan sebuah catatan observasi yang dilakukan oleh orang yang bergabung bersama Pasukan Serangan Khusus Angkatan Laut Jepang (Korps Kamikaze). Kolonel (Laut) Rikihie Inoguchi yang bertugas sebagai wakil pribadi komandan di bidang operasi dan Letnan Kolonel Tadashi Nakajima yang bertugas sebagai perwira operasi penerbangan bagi unit bunuh diri yang ada di Filipina, Formosa dan kepulauan Jepang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research) yaitu dengan menyelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.

Dalam memecahkan permasalahan penelitian ini, penulis mengumpulkan keseluruhan data yang ada yang berupa data tulisan. Data ini dapat berupa buku-buku, artikel, informasi baik dari media elektronik maupun tulisan, selain itu penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Progarm Studi Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Konsulat Jendral Jepang di Medan, serta website atau situs-situs yang menunjang dalam proses pengumpulan data-data dalam penelitian ini.


(26)

BAB II

PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE

2.1 Masyarakat Berkebudayaan Rasa Malu

Ruth Benedict dalam Situmorang mengatakan (1995 : 64) bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakt Jepang yang memiliki kebudayaan rasa malu (haji). Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu ini mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.

Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal tersebut (Benedict, 1982 : 233).

Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya.


(27)

Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan pada penghindaran rasa malu (Situmorang, 2008 : 8).

Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya.

Kesaling berhutangan yang lebih dikenal dengan sebutan on merupakan pencurahan murni dari rasa pengabdian yang timbal balik antara si pemberi dan si penerima on (Benedict, 1982 : 5). On merupakan salah satu penggambaran moral bangsa Jepang yang begitu dalam. Yaitu rasa berhutang adalah suatu beban yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin, sehingga dapat dikatakan orang yang menerima on akan terbebani oleh on yang diterimanya.

Seseorang dikatakan menerima on berarti telah menerima anugerah, pemberian atau kemurahan hati dari si pemberi on. Contoh kasus yang paling umum untuk menggambarkan adanya on adalah hubungan antara orang tua dengan anak. Di satu pihak orang tua memberikan seluruh kebutuhan si anak baik yang bersifat materi maupun non materi. Di lain pihak si anak menerima seluruh pemberian orang tua yang merupakan budi atau on. Oleh karena itu si anak mempunyai kewajiban membalas budi atas on yang telah diterimanya selama hidupnya.


(28)

Dengan adanya pemikiran rasa malu tersebut, mengakibatkan orang Jepang lebih susah menerima dari pada memberi. Orang yang menerima akan mengatakan ‘arigatai’ yang kemudian disebut dengan ‘arigato’ yang secara harfiahnya adalah sesuatu yang sulit. Artinya seseorang yang telah menerima sesuatu dari orang lain harus memikirkan balasnya dan inilah yang sulit tersebut (Situmorang, 2008 : 9).

Dalam pemikiran orang Jepang, konsep on diartikan sebagai beban atau suatu hutang yang harus dipikul oleh seseorang sebaik mungkin. Oleh karena itu diantara nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial orang Jepang, on menduduki tempat yang utama dan secara moral hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Guna memahami konsep budaya malu dalam masyarakat Jepang, maka selanjutnya akan dibahas pemenuhan balas budi atau on, meliput i gimu sebagai hutang yang tidak mempunyai tenggang waktu dan giri sebagai hutang yang mempunyai limit waktu pembayaran serta kecenderungan penilaian untung rugi.

2.1.1 Gimu

Menurut Benedict (1982 : 125) gimu adalah pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Dengan kata lain pelunasan kewajiban ini tidak akan pernah dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak pernah berakhir selama masa hidupnya. Gimu

ini harus dibayar seseorang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat ia dilahirkan. Sehingga pembayaran gimu ini sering disebut “orang tidak pernah dapat membayar kembali sepersepuluh ribu dari on ini”

Mattulada dalam Afni (2005 : 28) mengatakan gimu merupakan suatu bentuk kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang


(29)

menjadi simbol negerinya yang telah mengikat kesetiaannya semenjak seseorang itu lahir di dalam lingkungan keluarga dan bangsanya. On yang diterima dengan pembayaran secara gimu ini tidak dapat dihindari oleh setiap orang Jepang.

2.1.1.1 Chu Sebagai Pemenuhan On Terhadap Kaisar

Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun, sehingga konsep chu bertumpu di tangan shogun

(Situmorang, 1995 : 67). Konsep chu adalah kewajiban kepada pemimpin sekuler yaitu shogun. Kesetiaan kepada shogun sering bertentangan dengan kesetiaan bushi

kepada tuan. Kesetiaan kepada shogun dirasakan sesuatu yang terpaksa sehingga dikatakan terasa dingin, tidak sehangat kesetiaan terhadap tuan (Benedict, 1982 : 133).

Pemenuhan on adalah fakta konkrit dari budaya malu masyarakat Jepang dan pembayaran on yang paling utama adalah on kepada Kaisar. Kesetiaan seorang hamba kepadanya, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi. Kaisar dijadikan sebuah lambang yang berada di luar jangkauan segala macam pertentangan dalam negeri dan tidak dapat diganggu gugat.

Dengan demikian mereka beranggapan bahwa Kaisar tidak ternilai maknanya, menyebabkan setiap orang berhutang budi padanya. Chu kepada Kaisar adalah yang utama. Seperti yang dinyatakan oleh Benedcit (1982 : 135-136) :

Tetapi rakyat Jepang sepenuhnya menekankan kemanusiawian lambang tertinggi mereka. Mereka bisa mencintainya dan ia dapat membalas cinta itu. Kegembiraan mereka meluap-luap karena ia mengarahkan pikira-pikirannya kepada mereka. Mereka memusatkan hidup mereka untuk menentramkan hatinya.


(30)

Oleh karena itu, untuk menentramkan hatinya, setiap jiwa patuh dan tunduk kepada Kaisar. Pernyataan yang berbicara atas nama Kaisar adalah pernyataan yang menuntut chu dan merupakan sanksi yang lebih berat dari sanksi manapun yang dikeluarkan oleh sebuah negara modern.

Contoh yang konkrit sebagai bakti terhadap Kaisar adalah pada saat penyerahan prajurit Jepang pada Perang Dunia II di tahun 1945. Berupa keputusan Kaisar atas pemberhentian perang yang dianggap sebagai pembayaran termahal dan bernilai tinggi. Dengan hak berkata bahwa Kaisar telah memberi perintah, meskipun perintah itu adalah perintah untuk menyerah.

2.1.1.2 Ko Sebagai Pemenuhan On Terhadap Orang Tua

Selain pembayaran on kepada Kaisar atau disebut dengan chu, jenis pembayaran kembali on yang termasuk ke dalam gimu adalah ko. Ko adalah kewajiban membayar on terhadap orang tua dan nenek moyang. Setiap orang Jepang menyadari bahwa semenjak lahir mereka menerima on dari orang tua masing-masing.

On tersebut adalah hutang terhadap segala sesuatu yang telah dilakukan orang tuanya yang diterima mereka selama hidupnya.

Pernyataan bahwa ko adalah sebagai bagian dari gimu terhadap orang tua tidak bertentangan dengan pernyataan Tachibana dalam Bellah (1992 : 96) mengenai pemenuhan bakti anak kepada orang tua, sebagai bagian dari budaya malu. ;

Kita mungkin bisa menggendong ibu kita di satu pundak, dan ayah kita di pundak yang lain, dan mengurus mereka selama seratus tahun, melayani mereka secara fisik dengan segala cara, dan menempatkan mereka di posisi yang mulia, tetap saja kasih sayang yang telah kita terima dari orang tua kita masih jauh dari terbalas.


(31)

Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam masyarakat Jepang, pemenuhan ko

kepada orang tua dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pemenuhan ko tidak akan pernah dapat terbalas sepenuhnya sepanjang masa hidup si anak. Oleh karena itu perwujudan balas budi ko ini tidak hanya dilakukan sewaktu orang tua masih hidup, akan tetapi masih berlanjut sampai penyembahan kepada leluhur nenek moyang.

Contoh balas budi ko juga dapat dilakukan dengan cara menerima pilihan orang tua dalam memilih pasangan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Benedict (1982 : 128) bahwa untuk membayar kembali on kepada orang tua, seorang putra yang baik tidak dapat mempermasalahkan pilihan orang tua dalam memilih istri.

2.1.2 Giri

Mattulada dalam Afni (2005 : 30) mengatakan giri merupakan hutang yang harus dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan yang telah diterima yang mempunyai batas waktu. “Giri,” begitu kata pepatah Jepang, “adalah paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan kewajiban yang berlainan warnanya (Benedict, 1982 : 140).

Berbeda dengan gimu, giri merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar oleh seseorang yang atas segala kebaikan yang diterimanya dari orang lain dengan jumlah yang tepat sama dan memiliki limit waktu pembayaran. Sehingga pemenuhan kewajiban giri yang kurang dari nilai yang diterima menyebabkan seseorang dicap sebagai orang yang tidak tahu giri, sedangkan pengembalian yang melebihi dari apa yang diterima sama dengan memaksa orang lain memikul on. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pembayaran tersebut, berarti giri mengikat orang Jepang. Oleh


(32)

karena itu orang Jepang sedapat mungkin berusaha menghindar dari resiko giri ini dan sebaliknya, mereka pun berhati-hati agar orang lain jangan sampai terlibat dalam kewajiban pembayaran on ini.

Ruth Benedict (1982 : 141) membagi giri ke dalam dua bagian yang jelas, yaitu :

1. Giri kepada dunia, arti harfiahnya “membayar kembai giri”- adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya.

2. Giri kepada nama, adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah.

2.1.2.1 Giri Terhadap Dunia

Giri terhadap dunia adalah kewajiban membayar kembali on kepada sesamanya. Menurut Mattulada dalam Afni (2005 : 31) giri kepada dunia adalah kewajiban-kewajiban kepada pertuanan-kaum, kepada hubungan-hubungan keluarga, kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan penerima, seperti pembagian uang guna kebajikan, pemberian bantuan pekerjaan dan pada teman sekerja.

Giri kepada dunia adalah suatu penggambaran pemenuhan kewajiban berdasarkan hubungan yang bersifat kontrak, berbeda dengan gimu yang merupakan pemenuhan kewajiban atas dasar hubungan akrab sejak lahir. Dalam kasus hubungan suami istri di Jepang, Giri mencakup semua kewajiban seseorang atas keluarga mertuanya. Sehingga ada istilah “bapak giri” untuk bapak mertua dan “ibu giri” untuk ibu mertua.


(33)

Selain giri terhadap mertua, terdapat giri yang lebih penting. Dalam sejarah Jepang, giri seseorang terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit melebihi giri terhadap mertua. Hal tersebut terjadi dalam golongan samurai dan dijadikan sebagai nilai kebajikan samurai. Bahkan giri terhadap tuan ini merupakan kewajiban yang paling tinggi melebihi chu terhadap shogun.

2.1.2.2 Giri Terhadap Nama

Giri terhadap nama adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak buruk dan terhindar dari noda atau celaan. Noda tersebut dapat memaksa seseorang untuk membalas dendam kepada orang yang merugikan namanya atau memaksa seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Kewajiban-kewajiban itu adalah tindakan yang tetap menjaga nama baik seseorang tanpa mendasarkan pada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain.

Pembalasan dendam hanyalah salah satu kebajikan yang mungkin diwajibkan pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari orang yang mempunyai harga diri adalah bagian dari giri terhadap nama.

Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan yang ada hubungannya dengan tempat yang sesuai. Seorang yang berhutang bisa mempertaruhkan giri terhadap namanya ketika meminta pinjaman dan jika sampai pada jatuh tempo pelunasan hutang ia tidak mampu membayarnya maka orang tersebut mungkin akan melakukan bunuh diri untuk membersihkan namanya (Benedict, 1982 : 158).


(34)

Giri terhadap nama juga terdapat dalam kisah 47 ronin. Cerita ini menggambarkan bahwa untuk membersihkan nama baik tuannya, mereka rela berkorban melakukan adauchi yang berarti melakukan balas dendam atas tuan. Kisah ini dirasakan cukup tragis karena setelah melakukan adauchi ke 47 ronin tersebut melakukan bunuh diri mengikuti kematian tuan atau lebih dikenal dengan istilah

junshi.

2.2 Pengabdian Diri dalam Bushido

Jika dilihat dari huruf kanjinya bushido yang terdiri dari 武士‘ bushi’ yang berarti ksatria dan 道‘ dou’ yang berarti jalan. Maka bushido secara harfiah memiliki arti jalan ksatria. Bushido adalah jalan atau pedoman bagi kaum ksatria yang memiliki makna sebagai jalan yang harus dipatuhi oleh para ksatria atau samurai dalam akitifitas kesehariannya.

Bushido juga merupakan kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha yaitu Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni yang dikatakan orang Jepang “kekuasaan yang absolute” kesemua ini dicapai melalui meditasi (Suryohadiprojo, 1982 : 48).

Clearly dalam Wulandari (2006 : 22) mengatakan pada dasarnya ajaran Zen

mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan penghayatan kekosongan. Dalam meditasi ini, seorang samurai diharapkan untuk dapat berkonsentrasi dan mengenali diri sendiri serta tidak membatasi diri sendiri. Tujuan dari meditasi ini agar para samurai nantinya dapat mengendalikan rasa takut, rasa


(35)

tidak tenang dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan para samurai

tersebut terbunuh dalam pertempuran.

Watsuji dalam Situmorang (1995 : 21) mengatakan bahwa ada perbedaan etos pengabdian bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri pada zaman Edo. Etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Buddha Zen. Sedangkan pemerintah Tokugawa pada zaman Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran konfusius yang disebut dengan

shido.

2.2.1 Kesetiaan terhadap Tuan

Terdapat perbedaan etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri bushi pada zaman Edo. Hal tersebut karena adanya pengaruh ajaran Buddha Zen dan konfusionis. Pada era sebelum zaman Edo, pengaruh ajaran Buddha Zen terasa begitu kuat dalam jiwa para bushi.

Pandangan dalam ajaran Buddha Zen pada waktu itu, bahwa perjalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian menuju raise (dunia setelah mati). Ini diperkuat lagi oleh pandangan reinkarnasi yang dipercaya oleh bushi (Situmorang, 1995 : 22).

Oleh karena itu, pengabdian diri bushi terhadap tuan adalah sesuatu yang mutlak bagi hidup seorang bushi. Sebagai tanda pengabdian diri bushi terhadap tuannya, sering kali terlihat anak buah melakukan adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) dan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan).

Menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 25), bushido adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuan. Dia berkata bahwa para anak buah hanya


(36)

mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi kepada tuan. Menurutnya hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu :

1. Secara absolute mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.

Hal tersebut juga didukung oleh adanya konsep Ie dalam masyarakat Jepang. Karena di dalam Ie tuan dan pengikut mempunyai ikatan hubungan yang sangat erat dari generasi ke generasi. Segala sesuatu yang diberikan tuan selama hidupnya merupakan on (budi baik) dan seorang bushi anak buah wajib membalas on tersebut berupa giri (balas budi).

Mengalami kematian ketika sedang mengabdi kepada pangeran dianggap sebagai akhir yang paling layak bagi seorang samurai (Bellah, 1985 : 125). Pengabdian diri seorang bushi anak buah tidak memperdulikan sesuatu apapun, tidak memperdulikan apakah itu benar atau salah, tetapi yang terpenting adalah setia terhadap tuan.

Konsep kesetiaan bushi menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 25-33) tercantum dalam berbagai pasal dalam bab pertama dan bab kedua dari sebelas bab Hagakure. Hagakure adalah sebuah tulisan yang berisikan pelajaran bushi yang lahir pada zaman Edo dari daerah Nabeshima. Tulisan tersebut berisikan pembicaraan Tsunetomo kepada Tashiro Tsuramoto tentang bagaimana seharusnya kehidupan

bushi pada waktu itu. Berikut adalah kutipan dalam bab I pasal 31 hagakure :

Pekerjaan sembah sujud setiap pagi, pertama-tama adalah sujud kepada tuan, kemudian sujud kepada ayah, sujud kepada dewa keluarga, baru sujud kepada Buddha. Jikalau mengutamakan tuan, ayah akan gembira, dewa keluarga dan Buddha pun menyetujuinya. Jangan memikirkan yang lain lebih penting dari


(37)

pada tuan. Kalau ada sesuatu kesusahan, tidak boleh lupa kepada tuan. Wanita mengutamakan suami, suami mengutamakan tuan.

Bushido mengajarkan para bushi untuk mengabdi pada tuan, bahkan tuan lebih diutamakan dari pada pengabdian kepada ayah sendiri, dewa dan Buddha. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh rasa terima kasih yang besar dalam diri bushi kepada tuannya. Sehingga pengabdian kepada tuan bersifat mutlak.

2.2.2 Kesetiaan terhadap Shogun

Pada zaman feodal Jepang, chu adalah kewjiban kepada pemimpin sekuler, yaitu shogun. Pada abad-abad itu, shogun adalah jenderalisimo dan pengelola utama. Meskipun chu harus ditujukan kepadanya, tetapi sering berbenturan dengan kesetiaan yang ditujukan kepada penguasa feodal setempat (Benedict, 1982 : 133). Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan ikatan yang kuat secara langsung antara bushi anak buah dengan tuannya, sehingga kesetiaan bushi kepada shogun tidak seperti kesetiaan

bushi terhadap tuan.

Pada masa pemerintahan militer sebelum berkuasanya keshogunan Tokugawa, banyak sekali terjadi perlawanan penguasa-penguasa feodal di daerah untuk menjatuhkan shogun yang berkuasa pada waktu itu dan juga peperangan antar

daimyo. Varley (2008 : 19) menyatakan bahwa dalam masyarakat agraris pra modern, bentuk kekayaan utama adalah tanah, maka ganjaran yang paling penting adalah tanah atau klaim untuk mendapat penghasilan atasnya. Oleh karena itu pertempuran-pertempuran yang terjadi pada abad-abad militer dalam sejarah Jepang dilakukan demi tanah. Tujuan utamanya dalam setiap konflik adalah hak untuk menyita kepemilikan musuh.


(38)

Berbeda dengan zaman feodal sebelumnya yang ditandai dengan perang yang berkepanjangan di Jepang yang disebut dengan Sengoku Jidai (masa perang seluruh negeri). Tokugawa yang menjadi shogun pada zaman Edo melihat pengalaman para

shogun pada masa sengoku. Hal yang paling fundamental yang dilakukan keshogunan

Tokugawa adalah mengubah etos pengabdian bushi dari tuan kepada keshogunan. De bary dalam Situmorang (1995 : 70) menyatakan bahwa pada zaman Edo, konfusionis telah berperan membentuk sifat nasionalisme Jepang. Pada zaman Edo Ieyashu memerintahkan supaya para daimyo membuka sekolah-sekolah untuk mengajarkan konfusionis di daerah. Karena itu dikatakan bahwa pelajaran konfusionis mendominasi sistem pendidikan Jepang pada zaman Edo. Konfusionis yang ditanamkan dalam shido telah berfungsi sebagai sarana legitimasi regim Tokugawa. Sehingga seluruh kekuasaan di Jepang pada waktu itu tertumpu pada Tokugawa.

Untuk memperkuat pemerintahan keshogunan, Tokugawa menunjuk Hayashi Razan sebagai seorang kangakusha untuk mengajarkan konfusionis di kalangan

daimyo dan juga para bushi di keshogunan. Hayashi razan memunculkan lima pemikiran yang disebut dengan gorin.

Gorin adalah lima macam etika kesadaran yaitu pengabdian pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat (Situmorang, 1982 : 44). Pemikiran kesadaran terhadap gorin tersebut dirumuskan dalam shido. Oleh karena itu, tugas kangakusha adalah membuat rumusan shido yaitu bagaimana seharusnya jalan hidup bushi dalam zaman Edo.


(39)

Tetapi kemudian para kangakusha ini tidak mampu merumuskan konsep

shido. Oleh karena para kangakusha tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan konfusionisme, Yamaga Soko seorang pemikir dari kalangan swasta mampu merumuskan konsep shido yang berlandaskan ajaran konfusionisme. Di dalam konsep

shido yang diajarkan oleh Soko titik beratnya ialah penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan hidup tuan dan jalan hidup anak buah secara mendetail.

Watsuji dalam Situmorang (1977 : 198) mengatakan dengan demikian jelas kelihatan bahwa shido muncul dari pemikiran kangakusha yang muncul dari pengalaman dari zaman Sengoku Jidai (masa perang seluruh negeri). Hal inilah yang mendorong Ieyashu untuk mengambil jugaku (konfusionis) sebagai pendidikan politik, dengan tujuan supaya negara aman.

Soko dalam Situmorang (1995 : 57) mengajarkan juga sebagai pengganti

junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) adalah jalan yang baik. Yaitu bushi

sebagai anak buah harus melewatkan seumur hidup mengabdi di atas tatami.

Maksudnya bushi harus menetapkan dalam hati keharusan mengabdikan jiwa raga membantu menyelesaikan masalah-masalah Ie jika Ie mati ditinggal tuan. Menurutnya pengabdian jiwa raga seperti ini yang cocok bagi bushi yang hidup damai pada zaman Edo. Jadi jika ada bushi anak buah yang tampil untuk menyelamatkan Ie dalam keadaan seperti ini maka pengabdian tersebut dapat dikatakan lebih baik seratus kali lipat dari pada junshi.

Untuk memperkuat pemerintahan Tokugawa sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jepang, Tokugawa mengubah makna moralitas yang berlaku di masyarakat dengan tujuan pemusatan rasa terima kasih kepada pemerintahan Tokugawa bagi


(40)

seluruh negara Jepang, yaitu dengan cara menanamkan kesadaran akan peringkat atas dan bawah. Peringkat kekuasaan adalah keshogunan sehingga merupakan pemberi on

tertinggi bagi masyarakat Jepang (Situmorang, 1995 : 66).

Chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan, bukan balas budi dari anak terhadap ayah. Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi

terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun. Sehingga konsep chu ini bertumpu di tangan shogun (Benedict, 1982 : 133).

Konsep giri dalam pelajaran shido, diubah menjadi giri yang berarti mengabdi memikirkan untung rugi. Pemikiran giri dalam ajaran shido ini membuat rasionalisasi hubungan tuan dengan anak buah, dan hal ini mengubah kesetiaan anak buah terhadap tuannya.

Dalam konsep chu, atasan tertinggi dalam kelompok adalah seseorang kepada siapa orang paling banyak berhutang. Rasa berhutang seseorang bukanlah merupakan kebajikan. Hal ini dimulai pada saat seseorang ini memutuskan dirinya secara aktif menembus hutang tersebut (Benedict, 1982 : 121).

Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas, karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan bahwa bushi harus menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru masyarakat.


(41)

Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datangnya, namun merupakan puncak suatu proses. Serangan mendadak yang dilakukan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor, Hawai pada tanggal 7 Desember 1941 adalah puncak proses tersebut.

Dalam perkembangan sejarah Jepang militerisme merupakan salah satu ciri khas dari negeri samurai ini. Militerisme di Jepang lahir sejak berlakunya feodalisme di Jepang. Yang ditandai dengan munculnya kaum samurai hingga terbentuknya pemerintahan keshogunan pertama di Kamakura yang dipimpin oleh shogun

Minamoto Yoritomo sebagai shogun pertama. Pemerintahan keshogunan ini berdiri sendiri terlepas dari pemerintahan Kekaisaran pada waktu itu. Inilah awal pemerintahan bakufu (militer) di Jepang yang berlanjut hingga zaman Edo selama lebih kurang tujuh abad.

Golongan militer di Jepang pada zaman pra modern disebut dengan istilah

bushi atau samurai. Golongan bushi ini lahir pada zaman Heian sampai pada akhir zaman Edo karena pada zaman Meiji terjadi restorasi atau perubahan yang sangat fundamental yaitu salah satunya penghapusan golongan samurai dalam masyarakat Jepang dan digantikan dengan sistem wajib militer hingga terbentuk tentara keKaisaran Jepang.

2.3.1 Sejarah Militerisme di Jepang

Sagara dalam Situmorang (1995 : 9) mengatakan bahwa dari awal masa feodal di Jepang yang ditandai dengan munculnya kekuasaan keshogunan pada zaman Kamakura (1185-1333) hingga zaman Edo (1603-1868) tidak lahir ideologi baru.


(42)

Masalah feodalisme di Jepang erat kaitannya dengan perbushian (kemiliteran) karena lahirnya feodalisme tersebut berhubungan dengan menguatnya kekuatan bushi.

Para kizoku melakukan penguasaan tanah secara pribadi yang disebut dengan

shoen yang terpisah dari system yang ditetapkan oleh pemerintah keKaisaran. Bushi

lahir dari konflik-konflik yang terjadi dari peperangan antara kizoku dalam hal penguasaan tanah di daerah. Bushi pada awalnya adalah kelompok petani yang dipersenjatai oleh para kizoku untuk melindungi shoen tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya bermunculan pemimpin-pemimpin yang memepersatukan kekuatan bushi. Salah satunya adalah klan Minamoto. Minamoto membangun kekuatan militer di daerah Kamakura dan bermaksud mendirikan pemerintahan bakufu (militer) yang berdiri sendiri yang terlepas dari pemerintahan keKaisaran dan Kaisar pada waktu itu pun menyetujuinya.

Permulaan pemerintahan oleh shogun dapat dianggap sebagai permulaan sistem feodal. Pemerintahan shogun dibantu dengan adanya ikatan tuan dengan hamba antara Yoritomo dan para samurai di wilayah timur. Antara kedua pihak terjadi hubungan tanggung jawab paternalistis dan pengabdian setia, sementara tentara bayaran itu dengan setia mengabdi kepada bakufu, mengerjakan tugas militer dan memenuhi tanggung jawab keuangan (Sakamoto, 1982 : 22).

Pemerintahan Kamakura berakhir pada tahun 1333 ketika terbunuhnya putra Yoritomo yang bernama Minamoto Sanetomo dan pemerintahan Kamakura di pegang oleh keluarga istrinya yaitu keluarga Hojo. Di daerah dan kalangan birokrat keshogunan terjadi keributan, sehingga pada waktu yang bersamaan keshogunan


(43)

Setelah runtuhnya pemerintahan Kamakura, pemerintahan keshogunan beralih pada Ashikaga Takauji yang disebut dengan pemerintahan Muromachi. Pada zaman

Muromachi ini, shugo di seluruh negeri terbagi menjadi dua dan saling berperang. Perang ini berlanjut hingga era Sengoku Jidai (perang seluruh negeri). Pada era

Sengoku Jidai timbul semboyan gekokujo ikki yang berarti bawahan menjatuhkan atasan.

Sepanjang zaman sengoku, daimyo di seluruh negara memperkuat posisinya di wilayah masing-masing. Dari tempat itu mereka berusaha memperluas kekuasaannya dan peperangan berlangsung tanpa henti. Oda Nobunaga seorang daimyo dari Owari adalah seorang daimyo pertama yang menjatuhkan keshogunan Muromachi. Masa feodalisme sejak zaman Kamakura, Muromachi, Azhuchi Momoyama adalah masa dimana Jepang mengalami berbagai perang dimana penguasa daerah saling berebut wilayah dan berusaha menjatuhkan keshogunan.

Kondisi ini berbeda dengan zaman Edo, pada zaman ini keshogunan dipimpin oleh Tokugawa yang berhasil memenangkan pertempuran sekigahara. Tokugawa yang menjadi shogun pada waktu itu melihat pengalaman para shogun sebelumnya. Oleh karena itu Tokugawa merubah etos pengabdian diri pada tuannya dengan memasukkan pengaruh ajaran konfusionis dalam ajaran bushido yang sebelumnya dipengaruhi oleh ajaran Buddha Zen. Etos pengabdian diri ini berpusat pada shogun. Dengan demikian kaum samurai tidak lagi berperang, tetapi lebih banyak menjalankan tugas administrasi. Namun keshogunan tidak menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai dalam ajaran bushido.

Tokugawa mengisolasi Jepang dari dunia luar selama sekitar 250 tahun. Tetapi pada tahun 1854 pengaruh asing mulai masuk ke Jepang karena armada


(44)

Amerika serikat yang dipimpin oleh Komodor Perry memaksa keshogunan Tokugawa untuk membuka wilayah Jepang. Hal tersebut berakibat pada munculnya pemberontakan dari kalangan samurai. Para samurai menuntut penyerahan kekuasaan pemerintahan dari keshogunan kepada keKaisaran. Akhirnya pada tahun 1868 keshogunan menyerahkan pemerintahan kepada keKaisaran. Inilah akhir dari feodalisme di Jepang.

Setelah keshogunan mundur, maka Jepang melakukan pembaharuan yang disebut dengan resotorasi Meiji. Dalam proses pembaharuan ini Jepang juga mengadopsi beberapa institusi barat, termasuk pemerintahan modern, sistem hukum dan militter. Hasilnya Jepang mengalami kemajuan pesat dalam segala bidang.

Dalam bidang militer sendiri, Jepang memiliki kekuatan militer berupa Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang hanya dalam tempo beberapa puluh tahun tumbuh kuat dan modern. Tumbuhnya Jepang sebagai kekuatan militer yang baru, diakui oleh negara-negara barat. Pertumbuhan militer ini selain didukung oleh kemajuan industri juga didukung oleh latar belakang kelas samurai.

Kemajuan militer dan industri yang dialami Jepang membuat Jepang melakukan ekspansi keluar. Pada tahun 1904-1905 terjadi peristiwa penting yang disebut dengan perang Jepang-Rusia. Kemenangan Jepang atas Rusia membuat Jepang menguasai wilayah Manchuria (bagian dari wilayah Cina). Agresi militer Jepang ke wilayah Manchuria ini berlanjut pada keikutsertaan Jepang pada Perang Dunia II.


(45)

Pada tahun 1281 armada Kubilai Khan mencoba memasuki laut Jepang. Usaha itu gagal karena angin topan tiba-tiba muncul dan menghancurkan armada Kubilai Khan tersebut. Oleh orang Jepang, angin topan itu dianggap sebagai angin penolong kiriman dewa, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Kamikaze. Dalam bahasa Jepang, istilah yang digunakan untuk memanggil unit-unit pelaku serangan-serangan bunuh diri tersebut adalah tokubetsu kōgeki tai 「特別攻撃隊」, yang secara harfiah berarti "unit serangan khusus." Ini biasanya disingkat menjadi tokkōtai 「特攻隊」. Pada Perang Dunia II, skuadron-skuadron bunuh diri yang berasal dari

shinpū tokubetsu kōgeki tai 「神風特別攻撃隊」, di

mana shinpū adalah bacaan on-yomi untuk karakter perkataan Kamikaze.

Kamikaze adalah semacam aksi bunuh altruistik. Durkheim mengatakan

Altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya, misalnya harakiri di Jepang. Kamikaze bukan hanya sebuah siasat untuk memenangi perang melainkan juga merupakan sebuah tradisi budaya Jepang. Masyarakat Jepang dibesarkan dan dididik dengan ajaran moral yang telah diwariskan oleh para leluhurnya sebagai suatu produk budaya Jepang. Salam (1997 : 3) mengatakan moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia manusia. Moralitas adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dasn bagaimana menghindari


(46)

perilaku-perilaku yang tidak baik. Masyarakat Jepang menurut Benedict adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Masyarakat Jepang akan merasa malu apabila tidak dapat membalas kebaikan yang telah diberikan oleh orang. Kebaikan yang diberikan orang disebut dengan on. Pemenuhan on adalah fakta konkrit dari budaya malu masyarakat Jepang dan pembayaran on yang paling utama adalah on

kepada Kaisar.

Pemimpin pasukan Kamikaze yaitu Laksamana Madya Onishi dalam setiap pemberangkatan pilot-pilot Kamikaze selalu berorasi :

Kamu bakal menjadi dewa tanpa keinginan duniawi. Tidak jadi soal agi apakah pengorbananmu berhasil atau tidak? Kamu tidak akan bisa tahu hal ini karena kamu akan memasuki tidur abadi. Aku akan mengawasi usahamu hingga akhir dan melaporkan perjuanganmu pada Kaisar.

Kesetiaan seorang hamba kepada Kaisar, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi. Kaisar dijadikan sebuah lambang yang berada di luar jangkauan segala macam pertentangan dalam negeri dan tidak dapat diganggu gugat..

Pada perang pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II, Jepang yang sedang menghadapi Amerika serikat di Filipina membentuk sebuah Unit Serangan Khusus bunuh diri yang namanya diambil dari agama Shinto yaitu

Kamikaze. Dalam agama Shinto orang-orang yang telah mati akan menjadi dewa atau

kami. Suryohadiprodjo (1982 : 197) mengatakan bahwa Shinto adalah suatu kepercayaan yang merasakan bahwa di dunia ini didiamni oleh banyak “kami”, yaitu dewa-dewa, kekuatan-kekuatan gaib dan kekuatan lain yang berhubungan dengan alam atau orang-orang yang memiliki kekuatan khas (kharisma). Shinto mengandung kepercayaan, bahwa kepulauan dan bangsa Jepang bersumber pada dewi matahari Amaterasu Omikami yang merupakan leluhur Tenno Heika. Untuk menghadapi


(47)

untuk menghancurkan kapal-kapal perang musuh dengan menabrakkan pesawat-pesawat yang dilengkapi bom seberat 250 kg.

Misi serangan Kamikaze pada awalnya diorganisir oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi yang menggantikan Laksamana Kimpei Teraoka sebagai Panglima Udara Pertama di Filipina. Laksamana Madya Takijiro Onishi mencetuskan strategi penyerangan bunuh diri Kamikaze pada tanggal 19 oktober 1944 di Mabalacat dengan menggunakan 26 pesawat yang terbagi menjadi 4 unit yaitu, shikishima, yamato, asahi dan yamazakura.

Para pilot yang menerbangkan pesawat Kamikaze berusia sangat muda. Para pilot tersebut mempunyai pilihan untuk memutuskan jika mereka ingin menjadi sukarelawan Kamikaze. Rata-rata pelatih pilot-pilot Kamikaze mencari mahasiswa di suatu universitas di Jepang saat itu untuk dilatih menjadi sukarelawan dalam misi-misi Kamikaze. Motivasi yang mendorong para sukarelawan itu bersedia untuk dilatih menjadi sukarelawan dalam misi-misi Kamikaze cukup berbeda-beda dari yang terdorong oleh rasa patriotisme, hasrat untuk membawa kehormatan keluarga dan ajang untuk membuktikan kemampuan diri dengan cara yang ekstrim. Upacara istimewa yang sering diadakan sebelum misi Kamikaze dilaksanakan yaitu pilot-pilot

Kamikaze memohon doa dari keluarga mereka dan diberi tanda jasa oleh petinggi militer Jepang saat itu. Hal-hal seperti itu dilakukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap bangsa dan untuk menarik lebih banyak lagi sukarelawan untuk bergabung dalam misi itu.

Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Sasaran utamanya adalah otonomi, kesatuan dan identitas nasional. Nasionalisme menuntut penemuan kembali


(48)

dan pemulihan identitas budaya bangsa yang unik, ini berarti nasionalisme menuntut agar orang kembali pada akarnya yang otentik di dalam komunitas budaya historis yang menghuni tanah air leluhurnya (Smith, 2003 : 10-42).

Pilot Kamikaze terbang menjalankan tugas suci setelah meneguk sake dan berseru “banzai”. Para sejarawan memperkirakan jumlah pilot Kamikaze itu mendekati empat ribu orang. Dengan berjibaku mereka menyebakan kerusakan dan jatuhnya korban di pihak Amerika serikat (Baskara, 2008 : 103). Serangan Kamikaze

ini berlanjut sampai Jepang menyatakan menyerah pada kekuatan Amerika serikat karena dijatuhi bom atom di dua kota Nagasaki dan Hiroshima.


(49)

BAB III

ANALISIS MAKNA PENGABDIAN DIRI PILOT KAMIKAZE

Bunuh diri sebenarnya bukan budaya yang baru di Jepang. Pada zaman feodalisme di Jepang, cara bunuh diri dinamakan dengan seppuku dan pada era modern Perang Dunia II, terdapat cara bunuh diri yang disebut dengan Kamikaze

yaitu dengan cara menabrakkan pesawat ke arah musuh. Bunuh diri di Jepang merupakan suatu bentuk tanggung jawab.

3.1 Aspek-Aspek Serangan Kamikaze

Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Jika dilihat dari metode ataupun sudut pandang perjuangan memiliki banyak dimensi. Bunuh diri sebagai suatu bentuk perjuangan memiliki aspek positif dan negatif. Orang Jepang memiliki sudut pandang berbeda dengan orang-orang di negara lain. Dari segi budaya Jepang, bunuh diri memiliki aspek nilai yang dibenarkan dalam masyarakat. Nilai yang terkandung seperti kebanggaan, keksatriaan dan kepahlawanan. Ini terjadi karena bunuh diri dengan metode perjuangan tersebut dikaitkan dengan religi kepercayaan dan nasionalisme. Alas an-alasan tersebut menjadi faktor penting pelaku yang membuat pelaku rela melakukan bunuh diri tanpa ada perasaan takut pada dirinya. Bahkan keluarga yang ditinggalkan pun memiliki kebanggan tersendiri.

Salah satu kasus bunuh diri yang terjadi yang dilatarbelakangi nilai budaya adalah fenomena bunuh diri ribuan pilot Kamikaze Jepang pada Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia II, pilot-pilot Jepang yang usianya relatif muda yaitu dibawah umur 30-an tanpa rasa takut dalam diri mereka melakukan aksi bunuh diri dengan


(50)

menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh di lautan pasifik. Fenomena bunuh diri ini merupakan hal yang menarik dan tidak pernah dipergunakan taktik semacam ini pada perang-perang sebelumnya.

Kepercayaan Jepang menyebutkan bahwa bunuh diri semacam ini dilakukan sebagai wujud kesetiaan kepada sang Kaisar yang mereka percaya sebagai keturunan dewa matahari. Disinilah aspek agama menjadi pendorong semangat Kamikaze. Selain itu perjuangan untuk membela negara juga menjadi alasan karena pahlawan mendapat gelar penghormatan nasional. Aspek nasionalisme juga menjadi faktor penting dalam semangat Kamikaze. Dengan aspek-aspek yang menjadi alasan seperti yang disebutkan di atas, maka para pelaku serangan bunuh diri Kamikaze dan para keluarga pelaku memiliki kebanggaan tersendiri.

Kamikaze erat kaitannya dengan bunuh diri altruistik karena berhubungan dengan budaya bangsa Jepang. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang memiliki budaya malu seperti yang diungkapkan oleh Ruth Benedict. Kebudayaan yang berdasarkan atas rasa malu tersebut mempunyai sanksi ekstern untuk sebuah tingkah laku yang baik. Jadi rasa malu ini bergantung pada baik buruknya suatu tindakan itu dalam penilaian masyarakat luas pada umumnya.

Pada bab sebelumnya, Emil Durkheim seorang sosiolog Prancis, mengelompokkan tiga jenis bunuh diri, yang salah satunya disebut dengan altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi yang terlalu kuat dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Jadi Bunuh diri Kamikaze termasuk ke dalam bunuh diri altruistik karena masyarakat Jepang pada umumnya adalah orang yang terikat dalam kelompoknya dan terlalu


(51)

kecil sifat individualismenya, dapat dengan mudah membawa dirinya kepada hal yang bersifat destruktif diri karena altruisme dan tanggung jawab. Mereka yang bunuh diri memiliki integritas yang sangat kuat dengan kelompoknya dan bukan berarti mereka merupakan orang-orang yang terganggu jiwanya.

Salah seorang penulis yang mengamati aksi serangan Kamikaze Mr. Kazuo Watanabe yang merupakan asisten professor di Universitas Tokyo menulis artikel yang berjudul “Generasi Muda yang Bimbang” ditulis dalam Nippon Dokusho Shinbun tanggal 9 September 1946 bahwa (dalam Pineau, 2008 : 170) :

Diantara rekan-rekan muda saya, beberapa diantaranya dipanggil ke dalam Korp Kamikaze. Mereka adalah orang-orang yang terpelajar. Hasil pembicaraan saya dengan mereka tidak menunjukkan bukti bahwa mereka tidak stabil.

Dari uraian yang disebutkan oleh Kazuo Watanabe jelas bahwa para pemuda yang menjadi pilot Kamikaze adalah orang-orang yang terpelajar. Mereka direkrut dari universitas di Jepang. Jadi jelas bahwa mereka bukanlah orang-orang yang terganggu jiwanya. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat yang tinggi yang berdasarkan atas budaya yang dimiliki bangsa Jepang.

Para pilot Kamikaze melakukan serangan bunuh diri ini karena sikap loyalitas terhadap Kaisar dan negara Jepang. Bunuh diri pilot Kamikaze sebagai bunuh diri altruistik merupakan suatu tindakan yang dapat diterima bahkan dihargai oleh masyarakat. Penilaian masyarakat ini dapat dilihat dari tulisan Laksamana Madya Shigeru Fukuoda, yang pada saat perang pecah menjabat sebagai Kepala Biro Operasi pada Staf Umum Angkatan Laut. Dia menulis tentang Angkatan Laut Jepang :

Setelah agenda disetujui, Laksamana Nagano, yang mewakili komando tertinggi, berkomentar : “Telah disetujui bahwa jika kita tidak bertempur sekarang, bangsa kita akan musnah. Tetapi kita mungkin akan musnah jika kita bertempur. Harus dipahami bahwa bangsa yang kehilangan semangat juang adalah sangat memalukan.


(52)

“Dalam situasi tanpa harapan ini, kelangsungan hidup hanya dapat diraih melalui perjuangan sampai titik darah penghabisan. Pada saat itu, bahkan jika kita kalah, generasi mendatang akan mewarisi semangat loyalitas kita sebagai inspirasi dalam mempertahankan negara kita.” (dalam Pineau, 2008 : XXII-XXIII).

Dari uraian diatas, pengaruh budaya malu sangat terasa di kehidupan masyarakat Jepang. Negara Jepang yang dalam kondisi tanpa harapan karena dihadapi oleh situasi perang yang sulit dan harus tetap menghadapinya sampai titik darah penghabisan. Kalah atau pun menang, bukanlah suatu hal yang menjadi masalah disini, tetapi karakteristik sikap bangsa Jepang yang pantang menyerah tetap dijunjung tinggi oleh bangsa Jepang. Karena menyerah adalah tindakan yang sangat memalukan bagi bangsa Jepang.

Hal tersebut juga ditujukan bagi generasi mendatang untuk mempertahankan semangat loyalitas bagi negara. Aspek nasionalisme juga mendasari semangat

Kamikaze terhadap negara Jepang dimana nasionalisme menjadi ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya dan dituntut untuk menemukan dan memulihkan identitas budaya bangsanya.

Taktik perang Kamikaze yang ekstrem ini bertitik tolak dari budaya malu yang berkembang dalam sejarah bangsa Jepang. Budaya malu ini melahirkan suatu sikap pantang menyerah dalam diri tentara Jepang. Berbeda dengan bangsa barat yang berkebudayaan rasa takut, dan jika mereka menghadapi musuh yang berkekuatan lebih besar akan melakukan tindakan menyerah. Para prajurit Jepang yang pantang menyerah memiliki pandangan yang berbeda. Mereka akan merasa terhina jika mereka menyerah. Kehormatan sangat berhubungan erat dengan bertempur sampai mati. Bahkan dengan cara bunuh diri lebih baik dari pada menjadi tawanan musuh.


(53)

Bunuh diri dengan cara ekstrem seperti Kamikaze ini tidak begitu saja muncul sebagai suatu gagasan taktik penyerangan. Bunuh diri dengan cara ini merupakan sebuah produk yang memiliki unsur budaya dan aspek historis dalam perkembangan sejarah bangsa Jepang. Jepang memiliki latar belakang sejarah sebagai sebuah negara yang militeristik. Hal tersebut ditandai dengan munculnya sistem feodalisme yang beriringan dengan lahirnya golongan elit ksatria Jepang yang disebut dengan bushi. Kaum bushi ini memiliki falsafah hidup yang dikenal dengan bushido.

Sesuai dengan pernyataan dalam Hagakure bab 1 pasal 2

「武士道というは死ぬことを見つけたり」 yang berarti bushido adalah jalan menemukan kematian. Tetapi bukan hanya kematian yang dicari dalam bushido melainkan prinsip-prinsip bushido lainnya seperti kejujuran, kesetiaan dan harga diri adalah hal-hal yang dijunjung tinggi oleh bangsa Jepang yang patut ditiru sebagai suatu perwujudan dan penjaga moralitas.

Golongan samurai yang rela mati mendapatkan kehormatan tertinggi yang ditujukan untuk tuannya ini menunjukkan sebuah kesetiaan yang absolut kepada tuan majikannya. Prinsip bushido inilah yang mendasari penggunaan taktik serangan bunuh diri pilot Kamikaze Jepang. Sehingga pengenalan terhadap prinsip Kamikaze

tidak terlalu mengejutkan bagi bangsa Jepang jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa barat. Selain itu bangsa-bangsa Jepang mengenal konsep kehidupan setelah mati (reinkarnasi). Hal ini dipengaruhi oleh ajaran Buddhisme Zen yang erat kaitannya dengan kehidupan samurai pada masa dulu. Jadi konsep kepercayaan ini bagi bangsa Jepang membuat kematian itu bukanlah sesuatu yang tidak menyenangkan.

Semangat bushido yang melatarbelakangi penggunaan taktik serangan bunuh diri ini terlihat dalam aksi serangan-serangan yang dilancarkan sejak pembentukan


(54)

unit serangan khusus Kamikaze sampai Jepang akhirnya menyerah pada Amerika. Pada akhir tahun 1944, Amerika melancarkan kekuatan militernya untuk merebut kembali Filipina dari tangan Jepang setelah sebelumnya Jepang menyerbu pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor. Armada Amerika dengan kekuatan tempur yang besar berlabuh di lepas pantai pulau Suluan di Teluk Leyte Filipina pada tanggal 17 Oktober 1944. Hal ini menandakan akan segera dilaksanakan invasi besar oleh Amerika terhadap Jepang. Jika Filipina lepas dari tangan Jepang, maka kepulauan Jepang dalam ancaman bahaya besar. Oleh sebab itu para pemimpin militer Jepang memerintahkan untuk mengambil tindakan membendung upaya Amerika. Yang pada akhirnya timbul suatu ide membentuk Unit Serangan Khusus Kamikaze.

Unit Serangan Khusus Kamikaze ini dibentuk di Mabalacat Filipina oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi yang menjabat sebagai panglima pasukan udara Angkatan Laut Jepang di Filipina. Sebelum membentuk Unit Kamikaze, Laksamana Onishi berdiskusi dengan beberapa perwira staf militer di markas komando grup 201 di Mabalacat Filipina. Berikut pembicaraannya :

“Seperti kalian ketahui, situasi perang sangat membahayakan. Kabar kehadiran pasukan Amerika di teluk Leyte sudah tersebar. Nasib Kekaisaran tergantung pada operasi sho, yang telah diaktifkan oleh Markas Besar Umum KeKaisaran untuk mengalahkan serangan musuh ke Filipina. Armada permukaan kita sudah bergerak. Armada kedua dibawah pimpinan Laksamana Madya Kurita, yang merupakan kekuatan tempur utama kita akan bergerak ke wilayah Leyte untuk memusnahkan musuh. Misi armada udara pertama adalah memberikan perlindungan udara berbasis darat bagi penyerangan yang dipimpin Laksamana Madya Kurita, selain memastikan bahwa serangan udara


(55)

musuh tidak menghambatnya menuju Teluk Leyte. Untuk melakukannya kita harus menyerang kapal-kapal induk musuh dan menetralkan mereka minimal selama satu minggu.”

“Menurut pendapat saya, hanya ada satu cara untuk memastikan agar kekuatan kita yang sangat sedikit ini mampu mencapai hasil maksimal. Caranya adalah mengorganisir unit serangan bunuh diri yang terdiri dari pesawat tempur Zero yang dipersenjatai bom seberat 250 kg. setiap pesawat tersebut akan ditabrakkan ke kapal induk musuh… Bagaimana pendapat kalian?” (dalam Pineau, 2008 : 6-8).

dari percakapan Laksamana Onishi dengan para staf militernya, dapat dipahami bahwa keadaan perang akan sangat membahayakan Jepang apabila Amerika berhasil merebut Filipina. Pasukan Amerika telah mendarat di Teluk Leyte. Oleh karena itu, KeKaisaran Jepang memutuskan agar segera operasi Sho dijalankan. Sho berarti “kemenangan”. Ini merupakan sebuah operasi yang ditujukan untuk pertahanan – penyerangan terhadap serbuan musuh yang mulai mendekati Jepang. Jepang berencana menyerang musuh di Filipina yang dilakukan oleh kapal-kapal tempur Laksamana Madya Kurita. Untuk keberhasilan operasi ini, Armada Udara Pertama bertugas memberi perlindungan udara kepada Armada Laksamana Madya Kurita. Perlindungan udara ini tidak menggunakan sebuah taktik yang konvensional. Laksamana Onishi menyarankan untuk dibentuk pasukan bunuh diri dengan menabrakkan pesawat ke geladak kapal musuh. Hal ini dilakukan karena Amerika memiliki pesawat-pesawat tempur yang melebihi Jepang baik dalam segi kuantitas maupun kualitas yang berbasis di kapal induk. Jadi pada awalnya penggunaan taktik


(1)

jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Tugas-tugas tersebut dianggap sebuah pertempuran, kemenangan bahkan menuju kematian. Okabe tidak berharap bahwa Jepang dapat memenangkan perang jika datang sebuah keajaiban. Jika demikian terjadi, dia merasa tugas yang telah dilakukannya akan sia-sia. Menurutnya tugas yang berat dan kerja keras itu lebih baik bagi keberhasilan negara Jepang. Hal ini sejalan dengan prinsip bushido yaitu kesungguhan dalam menjalani tugas.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah data dari berbagai referensi dianalisa, maka pada akhir penulisan skripsi ini penulis mencoba untuk membuat kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini sebagai berikut :

1. Pada dasarnya budaya masyarakat Jepang bersumber dari budaya malu. Budaya malu merupakan reaksi dari dalam diri seseorang yang timbul akibat dari penilaian masyarakat luas pada umumnya.

2. Rasa malu yang paling tinggi adalah apabila seseorang tidak mampu untuk membalas kembali pemberian orang lain. Orang Jepang dibesarkan oleh ajaran moral. Oleh karena itu, sesuatu yang mereka terima dianggap sebagai budi baik (on) yang harus dibayar kembali berupa giri ataupun gimu.

3. Bunuh diri yang dilakukan para pilot Kamikaze adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban pembayaran on terhadap Kaisar, orang tua dan negara Jepang yang bersumber dari budaya malu.

4. Peperangan antara Jepang dengan Amerika di Filipina sampai ke kepulauan Jepang adalah sebagai akibat dari penyerangan Jepang atas Pangkalan Militer Amerika di Pearl Harbor.

5. Para pilot Kamikaze melakukan serangan bunuh diri dengan menabrakkan pesawat yang dilengkapi dengan bom ke geladak kapal musuh untuk menghambat laju mereka ke Filipina.


(3)

6. Unit Serangan Khusus Kamikaze dibentuk dengan tujuan untuk mensukseskan operasi Sho yang direncanakan Markas Besar Kekaisaran. Unit Serangan Khusus ini bertugas untuk memberi perlindungan udara terhadap kapal-kapal Jepang yang akan menghancurkan kapal-kapal musuh di Filipina.

7. Para pilot Kamikaze berpegang teguh pada prinsip bushido dengan menerapkan moral kesetiaan yang rela mati sebagai bentuk pengabdian diri terhadap negara Jepang dan kepada Kaisar yang diyakini sebagai keturunan dewa matahari.

8. Motivasi-motivasi yang melatarbelakangi para pilot untuk melakukan misi bunuh diri diantaranya adalah aspek religi, kebanggaan, keksatriaan, kepahlawanan, patriotisme dan kebencian terhadap orang barat.

9. Kamikaze adalah termasuk ke dalam jenis bunuh diri Altruistik yang disebabkan adanya keterikatan individu dalam kelompoknya.

10.Orang Jepang memiliki sudut pandang yang berbeda dengan negara lain di duni a dalam hal bunuh diri. Dalam masyarakat Jepang bunuh diri memiliki nilai budaya tersendiri.

11.Kamikaze lahir sebagai suatu konsep penyerangan yang berbeda dengan taktik konvensional. Para militer Jepang menganggap bahwa Kamikaze adalah satu-satunya cara untuk menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih besar.

12.Tidak ada pemaksaan dalam upaya perekrutan pilot Kamikaze. Para pilot memiliki inisiatif sendiri untuk bergabung dengan Unit Serangan Khusus Kamikaze.

13.Para pilot Kamikaze bukanlah orang-orang yang terganggu jiwanya. Mereka adalah anak-anak muda yang berasal dari universitas di Jepang.


(4)

4.2 Saran

Skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dalam segi isi, penulisan, analisa, konsep budaya serta pemahaman. Maka bagi para pembaca yang juga ingin meneliti mengenai budaya Jepang disarankan agar dapat memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar serta melakukan peninjauan terhadap data-data yang akurat agar dapat menghasilkan penelitian yang lebih baik nantinya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Afni, Nur. 2005. analisis On dan Giri dalam “Novel Kokoro karya Natsume Soseki”. (Skripsi). Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Baskara, Nando. 2008. Kamikaze : Aksi Bunuh Diri “Terhormat” Para Pilot Jepang. Yogyakarta : Narasi.

Bellah, Robert. N. 1985. Tokugawa Religion : The Value of Pre-Industrial Japan. (terj.). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni : Pola-Pola Kebudayaan Jepang. Jakarta : Sinar harapan.

De Bary, Theodore. 1958. Source of Japanese Tradition Volume II. USA. Columbia University Press.

Farosa, Delfi. 2003. Budaya Malu Masyarakat Jepang : Studi Kasus 47 Ronin. (Skripsi). Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.

Koentjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.

Moleong, lexy. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nelvita. 2007. Analisis Moralitas Bushido Dalam Novel “Samurai Suzume No Kumo” Karya Takashi Matsuoka. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


(6)

Pineau, Roger dkk. 2008. Kisah Para Pilot Kamikaze : Pasukan Udara Berani Mati Jepang Pada Perang Dunia II. Depok : Komunitas Bambu.

Reischauer, Edwin. O. 1981. Japan : The Story Of A Nation. New York : Harvard University.

_______________. 1982. Manusia Jepang. Jakarta : Sinar Harapan.

Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial : Asal Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : Rineka Cipta.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang : Medan. USU press.

_______________. 2008. Meniru Budaya Malu Masyarakat Jepang Untuk Lebih Mengenal Indonesia. Medan. USU press.

Smith, Anthony D. 2002. Nasionalisme : Teori, Ideologi dan Sejarah. Jakarta : Erlangga.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta : Pustaka Bradjaguna.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Kanisius.

Varley, H Paul. 2008. Samurai : Sejarah dan Perkembangan. (Terj.). Depok : Komunitas Bambu.

Angkasa. Perang Asia Timur Raya : Kedigdayaan Dai Nippon. Edisi koleksi No. XLIX 2008.

http://116.12.41.25/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=9


Dokumen yang terkait

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Ka

6 49 77

Analisis Fungsi Dan Makna “Mon” Dalam Kalimat Pada Komik “Gals!” Karya Mihona Fujii Mihona Fujii No Sakuhin No “Gals!” No Manga No Bun Ni Okeru “Mon” No Kinou To Imi No Bunseki

1 57 87

Peran Nilai-Nilai 'Bushido' Pada Pasukan 'Kamikaze' Dalam Perang Dunia II.

0 3 36

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 0 8

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 0 2

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 1 8

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 1 11

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru Chapter III IV

0 0 21

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 0 4

Pasukan Kamikaze Dalam Sejarah Militer Jepang Pada Perang Dunia Ii Kamikaze Butai De Daini Sekai Taisen Ni Nihon Gun No Rekishi De Aru

0 0 4