Model Analisa Manfaat dan Biaya Investas

1. Paradoks Produktivitas Teknologi Informasi

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, triliunan dolar Amerika telah diinvestasikan oleh berbagai perusahaan untuk membangun teknologi informasinya. Tercatat pada tahun 2000 sekitar dua triliun dolar telah dialokasikan oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia untuk membeli dan menerapkan teknologi ini, dan diperkirakan pada tahun 2004 nilai ini akan mencapai sekitar tiga triliun dolar (Strassmann, 1997a). Namun demikian, hingga saat ini masyarakat dan para praktisi industri masih mengalami kesulitan untuk membuktikan atau memperlihatkan bahwa investasi sebesar itu benar-benar tidak percuma, dalam arti kata secara nyata terlihat adanya peningkatan output produk dan jasa yang diciptakan secara signifikan (Strassmann. 1997b). Fenomena ”ketidakcocokan” atau ”ketidakseimbangan” antara besaran investasi yang dikeluarkan untuk keperluan teknologi informasi dengan ukuran total output yang dihasilkan dideskripsikan sebagai sebuah ”IT Productivity Paradox” (paradoks produktivitas) – sebuah isu yang hingga saat ini masih hangat dibicarakan di kalangan akademisi maupun praktisi teknologi informasi semenjak tahun 1980-an (Roach, 1994).

Berdasarkan fakta dan definisi di atas, para pakar berusaha keras untuk mendapatkan penjelasan yang logis mengenai mengapa fenomena paradoks produktivitas tersebut terjadi. Dari hasil kajian mereka, alasan mengapa terjadinya paradoks tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu masing-masing mengkristal menjadi kesimpulan sebagai berikut (Willcocks et al, 2000):

1. Permasalahan analisa dan representasi data tidak memperlihatkan terjadinya peningkatan produktivitas;

2. Manfaat yang diperoleh oleh teknologi informasi tidak terlihat karena adanya kerugian di area lain; dan

3. Peningkatan produktivitas tidak terlihat karena adanya kegagalan penerapan teknologi informasi atau tingginya alokasi biaya teknologi informasi.

ANALISA DAN REPRESENTASI DATA

Para ekonom mendefinisikan ”produktivitas” dengan cukup mudah, yaitu jumlah keluaran (output) dibagi dengan jumlah masukan (input). Besaran output dihitung dengan cara mengalikan jumlah produk yang dihasilkan dengan nilai (value) rata-rata dari produk tersebut; sementara besaran input didapatkan dari jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan seluruh output tersebut. Angka rasio yang didapatkan dari hasil pembagian antara output dengan input di atas dikenal sebagai labor productivity. Jika sumber daya lain seperti misalnya besaran investasi dan kebutuhan material dimasukkan sebagai bagian dari input, maka angka rasio yang didapat dikenal sebagai multifactor productivity. Ternyata di dalam dunia teknologi informasi, rumusan sederhana ini belum tentu secara ”kongkrit” memperlihatkan atau merepresentasikan terjadinya kenaikan atau penurunan produktivitas seperti yang umum dipergunakan pada aktivitas lain seperti proses manufaktur atau produksi. Hal ini disebabkan karena berbeda dan beragamnya asumsi terhadap variabel input maupun output yang dipergunakan.

Misalnya pada industri jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Sangat sulit untuk menentukan kuantitas atau karakteristik seperti apa yang dikatakan sebagai sebuah output.

Dalam industri kesehatan misalnya, apakah yang dimaksud dengan entiti output adalah pasien yang dilayani, atau pasien yang berhasil disembuhkan, atau pasien yang menjalani proses penyembuhan, dan lain sebagainya. Demikian pula di bidang pendidikan, apakah output yang dimaksud berkaitan erat dengan jumlah mahasiswa yang lulus, atau jumlah mahasiswa yang berhasil lulus tepat waktu, atau jumlah mahasiswa yang ”diluluskan”, dan lain sebagainya. Ini baru hal yang terkait dengan sesuatu yang dapat diukur dan dilihat (kuantitaf dan tangible), belum dipertimbangkan faktor-faktor lain yang bersifat unquantifiable dan intangible seperti kualitas dari output yang dihasilkan. Dengan kata lain, masing-masing orang akan mencoba mendefinisikan output yang dimaksud sesuai dengan kepentingan dan relevansinya masing-masing, sehingga pengukuran produktivitas pun menjadi sangat relatif sifatnya.

Dari segi input, yang dalam hal ini terkait erat dengan alokasi sumber daya keuangan yang diinvestasikan untuk pengembangan teknologi informasi, terlihat bahwa ternyata pemakaian teknologi informasi di dalam sebuah perusahaan bersifat sistemik, dalam arti kata menyebar di seluruh proses inti dan aktivitas penunjang yang ada, sehingga sangat sulit untuk menentukan proporsi nilai investasi terhadap sebuah rangkaian proses tertentu atau sub-sistem tertentu yang ingin dihitung produktivitasnya. Contohnya adalah investasi untuk membeli sebuah mesin ATM yang ternyata tidak saja berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas pada proses pelayanan terhadap pelanggan (dibandingkan dengan menggunakan teller), tetapi berpengaruh pula terhadap aktivitas terkait lainnya seperti: mempercepat proses transfer antar rekening, mengurangi biaya komunikasi dan transaksi, meningkatkan rasa aman pelanggan, mempertinggi tingkat kepuasan nasabah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ”tidak adil” rasanya jika investasi tersebut hanya dibebankan semata pada sebuah proses atau sub-sistem tertentu sementara kontribusi manfaatnya dirasakan pula oleh berbagai proses yang lain di dalam perusahaan.

Oleh karena itu dapat dimengerti betapa sulitnya mencari rumusan produktivitas yang benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam arti kata secara kongkrit merepresentasikan manfaat yang diberikan oleh teknologi informasi per satuan investasi yang dialokasikan. Hasil riset memperlihatkan lebih banyaknya hasil perhitungan yang cenderung underestimate dampak produktivitas yang sebenarnya (kenaikan produktivitas tersembunyi di balik angka-angka dengan asumsi yang ”keliru”) dibandingkan yang overestimate.

KERUGIAN AREA LAIN

Pada dasarnya organisasi semacam perusahaan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai entiti yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Katakanlah penggunaan sebuah aplikasi teknologi informasi di salah satu divisi berhasil meningkatkan produktivitas karyawan yang berada di dalamnya. Karena produktivitasnya meningkat, maka perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawannya pada divisi terkait dan memindahkannya di divisi lain. Akibatnya secara total sistem, jika diukur produktivitasnya, nampak tidak terjadi peningkatan yang berarti – karena pada divisi baru tersebut, karyawan yang ada hanya akan menjadi beban tambahan overhead semata.

Contoh lainnya adalah penerapan electronic commerce yang memungkinkan seorang pelanggan untuk melakukan pemesanan produk melalui internet untuk dapat diantarkan langsung ke rumah (delivery) pada hari yang sama. Pada proses penjualan, jelas terjadi Contoh lainnya adalah penerapan electronic commerce yang memungkinkan seorang pelanggan untuk melakukan pemesanan produk melalui internet untuk dapat diantarkan langsung ke rumah (delivery) pada hari yang sama. Pada proses penjualan, jelas terjadi

Kedua contoh di atas memperlihatkan bagaimana manfaat dari teknologi informasi di satu tempat ter-offset dengan kerugian di tempat lain di dalam sebuah organisasi. Sehingga jika dilakukan perhitungan produktivitas secara menyeluruh, hampir tidak terlihat peningkatan yang signifikan. Bahkan tidak mustahil justru terjadi ”penurunan” dari hasil perhitungan produktivitas yang ada.

BEBAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI

Berbeda dengan kedua kesimpulan terdahulu dimana manfaat signifikan yang berhasil disumbangkan oleh teknologi informasi termarginalkan oleh beberapa aspek terkait, maka dalam kesimpulan yang ketiga ini bersumber dari kenyataan bahwa teknologi informasi memang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap tingkat produktivitas – bahkan cenderung ”memperburuk” kinerja produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

Hasil kajian memperlihatkan adanya dua penyebab utama terjadinya hal ini. Hal pertama berasal dari gagalnya penerapan teknologi informasi karena berbagai faktor penyebab internal maupun eksternal. Dalam kerangka ini jelas terlihat bahwa investasi telah keluar secara percuma dan tidak dapat dikembalikan lagi. Hal kedua terjadi karena tingginya biaya pemeliharaan dan pengembangan teknologi informasi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga walaupun secara bisnis telah terjadi peningkatan output, membengkaknya biaya overhead pemeliharaan maupun pengembangan teknologi informasi telah menyebabkan tingginya faktor input yang dibutuhkan – sehingga secara langsung berdampak pada perhitungan produktivitas.

Dengan memahami dan mempelajari fenonema paradoks tersebut, terlihat betapa sulit dan kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka mencari relasi antara besaran investasi yang dialokasikan dengan manfaat yang diperoleh oleh perusahaan terkait dengan peningkatan produktivitas. Sudah hampir 25 tahun paradoks ini diperbincangkan, dan selama itu pula perdebatan antara sejumlah kubu yang sepakat dan menentang adanya paradoks ini berlangsung. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, pada kenyataannya filosofi ”business is business” yang akan mendominasi manajemen pengambil keputusan dalam menentukan apakah perusahaan perlu untuk mengalokasikan sejumlah sumber dayanya untuk mengembangkan teknologi informasi. Pada kenyataannya cukup banyak manajemen yang tidak perduli dengan adanya paradoks ini karena mereka yakin betul bahwa tidak ada perusahaan yang bisa survive dewasa ini tanpa melibatkan teknologi informasi. ”in IT we trust” – demikian kata hati mereka berbicara.

2. Klasifikasi Metodologi Analisa Cost-Benefit

ANALISA COST-BENEFIT

Pada dasarnya, metode pengukuran dan analisa cost-benefit didasarkan pada cara serta perspektif manajemen dalam menilai kinerja teknologi informasi yang diimplementasikan. Terkait dengan paradigma ini, setiap metodologi yang dipilih dan dipergunakan oleh manajemen memiliki karakteristik khusus – yang membedakannya dengan metodologi lain.

Strategic Analysis and Evaluation merupakan suatu teknik pengukuran dengan menggunakan scoring technique yang didasarkan pada prinsip bahwa semua perangkat teknologi informasi yang diimplementasikan dalam perusahaan harus secara jelas dan tegas mendukung strategi generik perusahaan, sehingga keberadaannya harus dikaji secara sungguh-sungguh. Michael Porter dalam teori competitive advantage-nya yang terkemuka mengatakan bahwa hanya ada dua strategi yang dapat membuat perusahaan unggul dibandingkan dengan kompetitornya, yaitu melalui: cost reduction dan differentiation. Jika implementasi sebuah aplikasi teknologi informasi terbukti dapat mengurangi sejumlah atau sekelompok biaya organisasi – misalnya biaya transaksi atau komunikasi – maka teknologi tersebut dianggap tepat untuk diterapkan oleh perusahaan. Demikian juga jika aplikasi sebuah teknologi informasi dapat membuat perusahaan memiliki sesuatu yang membedakannya dengan perusahaan lain atau mempunyai sesuatu yang “lain dari pada yang lain”, maka keberadaannya dianggap tepat dalam kerangka strategis perusahaan. Contoh aplikasi teknologi informasi yang menunjang performa differentiation adalah: implementasi customer relationship management sehingga pelanggan merasa memiliki hubungan yang khusus dengan perusahaan, aplikasi call center yang berfungsi sebagai help desk khusus bagi seorang nasabah bank, penerapan supply chain management yang mendukung perusahaan dalam menjalin kemitraan bisnis strategis dengan mitra pemasoknya, dan lain sebagainya. Jika seluruh investasi teknologi informasi perusahaan diarahkan bagi dikembangkannya perangkat teknologi terkait dengan dua strategi generik ini, maka dinilai bahwa investasi tersebut tepat (manfaatnya telah embedded di dalam kedua strategi tersebut). Semakin terkait langsung aplikasi teknologi informasi terhadap pencapaian strategi cost reduction maupun differentiation, semakin tinggi score atau nilainya bagi perusahaan.

Value Chain Assessment adalah sebuah pendekatan scoring technique lain dimana didasarkan pada teori value chain yang diperkenalkan pula oleh Michael Porter. Value chain merupakan suatu rangkaian proses di dalam perusahaan yang terkait langsung dengan penciptaan nilai bagi kebutuhan pelanggan, dimana nilai yang dimaksud biasanya direpresentasikan langsung dalam bentuk produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan tersebut. Contoh sebuah value chain adalah rantai aktivitas perusahaan semenjak yang bersangkutan membeli bahan mentah, menyimpan di dalam gudang bahan mentah, mengolahnya menjadi bahan baku, menyimpan hasilnya di gudang bahan baku, mengolahnya menjadi produk jadi, menyimpan produk jadi di gudang khusus, mendistribusikan dan menyebarkannya ke tempat-tempat penyimpanan, menjualnya secara retail di sejumlah tempat, sampai dengan melayani pelanggan pasca penjualan. Dalam kerangka ini dikatakan bahwa setiap investasi teknologi informasi yang dialokasikan harus dipergunakan untuk mengembangkan teknologi yang secara langsung dipergunakan di dalam rangkaian core process atau proses utama dalam rangkaian value Value Chain Assessment adalah sebuah pendekatan scoring technique lain dimana didasarkan pada teori value chain yang diperkenalkan pula oleh Michael Porter. Value chain merupakan suatu rangkaian proses di dalam perusahaan yang terkait langsung dengan penciptaan nilai bagi kebutuhan pelanggan, dimana nilai yang dimaksud biasanya direpresentasikan langsung dalam bentuk produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan tersebut. Contoh sebuah value chain adalah rantai aktivitas perusahaan semenjak yang bersangkutan membeli bahan mentah, menyimpan di dalam gudang bahan mentah, mengolahnya menjadi bahan baku, menyimpan hasilnya di gudang bahan baku, mengolahnya menjadi produk jadi, menyimpan produk jadi di gudang khusus, mendistribusikan dan menyebarkannya ke tempat-tempat penyimpanan, menjualnya secara retail di sejumlah tempat, sampai dengan melayani pelanggan pasca penjualan. Dalam kerangka ini dikatakan bahwa setiap investasi teknologi informasi yang dialokasikan harus dipergunakan untuk mengembangkan teknologi yang secara langsung dipergunakan di dalam rangkaian core process atau proses utama dalam rangkaian value

Relative Competitive Performance atau yang sedikit banyak dapat dianalogikan sebagai proses benchmarking merupakan cara menilai kelayakan investasi teknologi informasi dengan mengkomparasikan atau membandingkannya dengan perusahaan serupa (kompetitor) dalam industri sejenis. Butir-butir kinerja yang dikomparasikan menyangkut sejumlah aspek – baik kualitatif maupun kuantitatif – terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk investasi maupun manfaat strategis atau operasional yang didapat perusahaan. Melalui cara pembandingan ini diyakini bahwa perusahaan tidak akan melakukan under investment atau over investment terhadap pengembangan teknologi informasi yang dimilikinya.

Proportion of Management Vision Achieved merupakan sebuah pendekatan yang cukup unik dimana masing-masing individu yang memegang jabatan manajer ke atas (seperti senior manager, general manager, vice president, director, dan lain sebagainya) diminta untuk melakukan penilaian atau kajian yang didasarkan pada apakah implementasi teknologi informasi terkait sesuai dengan “keinginan” atau “kehendak” atau rencana mereka semula sebagai seorang pengambil keputusan. Pendekatan ini dipergunakan dengan berasumsi bahwa seluruh manajer di dalam perusahaan bekerja dan bergerak untuk menuju kepada satu visi dan misi yang telah dicanangkan; sehingga mereka tahu persis bagaimana teknologi informasi dapat berperan membantu mereka dalam setiap aktivitas pencapaian visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, sebuah keputusan investasi dinilai layak dan “benar” apabila sesuai dengan rencana atau pandangan dari manajer terkait, sementara jika tidak maka dinilai investasi tersebut tidak pada tempatnya.

Work Study Assessment adalah suatu pendekatan evaluasi dimana dilakukan pengkajian terhadap bagaimana implementasi teknologi informasi memberikan dampak pengaruh terhadap pola dan cara kerja para individu dalam satu divisi atau departemen tertentu di perusahaan. Dalam metode ini analisa dilakukan terhadap bagaimana kontribusi teknologi informasi berpengaruh terhadap perbaikan kinerja sebuah proses tertentu yang sangat ditentukan dengan besarnya volume pekerjaan dan tingginya frekuensi aktivitas yang terjadi. Sebuah investasi teknologi informasi dinilai layak dan tepat apabila dapat benar- benar memperbaiki kinerja proses atau akvitas yang dilakukan sejumlah individu sehingga terlihat pengaruhnya dalam bentuk peningkatan kinerja atau performansi divisi atau departemen dimana perangkat teknologi tersebut diimplementasikan.

Economic Assessment dipandang sebagai salah satu pendekatan analisa yang menggunakan sejumlah teori ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah model matematika tertentu. Metode analisa yang biasanya dinyatakan dalam fungsi output terhadap sejumlah variabel input ini diperkenalkan oleh sejumlah pakar ekonomi yang bekerjasama dengan ahli matematika dan praktisi manajemen. Dengan memasukkan sejumlah data sesuai dengan kondisi perusahaan yang ada ke dalam beragam variabel input pada formula terkait, maka akan didapatkan nilai output yang akan dikomparasikan dengan sejumlah parameter untuk menilai layak tidaknya biaya yang diinvestasikan terhadap manfaat yang diperoleh perusahaan.

Financial Accounting Based Analysis adalah metode analisa yang mempergunakan sejumlah formula dan ukuran yang baku dipergunakan dalam manajemen financial accounting. Contohnya adalah dengan mempergunakan formula ROI, IRR, NPV, dan lain-lain sebagai alat bantuk untuk menilai apakah sebuah investasi dianggap layak, wajar, Financial Accounting Based Analysis adalah metode analisa yang mempergunakan sejumlah formula dan ukuran yang baku dipergunakan dalam manajemen financial accounting. Contohnya adalah dengan mempergunakan formula ROI, IRR, NPV, dan lain-lain sebagai alat bantuk untuk menilai apakah sebuah investasi dianggap layak, wajar,

User Attitudes adalah cara pengukuran manfaat dengan cara melibatkan mayoritas user atau pengguna teknologi informasi di dalam perusahaan. Melalui survei, jajak pendapat, observasi, dan diskusi, masing-masing pengguna diminta untuk menyatakan penilaiannya terhadap setiap aplikasi yang mereka pergunakan, terutama berkaitan dengan seberapa besar manfaat diterapkannya aplikasi tersebut untuk membantu aktivitas mereka sehari- hari. Semakin positif tanggapan mereka, semakin dinilai layaklah investasi teknologi informasi yang telah dilakukan oleh perusahaan.

User Utility Assessment dipandang sebagai sebuah metodologi yang kontroversial karena didasarkan pada asumsi yang sangat spekulatif. Prinsip yang dipegang dalam konsep ini adalah bahwa semakin banyak dan semakin lama individu di perusahaan menggunakan aplikasi teknologi informasi tertentu, semakin dianggap berhasillah penerapan teknologi tersebut. Sementara semakin sedikit atau semakin banyak individu yang menolaknya, semakin dipandang tidak layak investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem tersebut. Paradigma ini dipergunakan karena anggapan bahwa semakin sering sebuah sistem dipergunakan, berarti frekuensi transaksi bisnis yang “dibantu” dengan adanya sistem tersebut semakin tinggi – demikian juga dengan volume per transaksinya – yang berarti akan semakin banyak manfaat yang telah diperoleh perusahaan dengan utilisasi tersebut. Sebaliknya, utilisasi yang rendah karena tidak terpakainya sistem berarti adanya “pemborosan” sumber daya yang selayaknya tidak terjadi, yang berarti pula bahwa investasi yang telah dikeluarkan sia-sia adanya.

Value Added Analysis adalah pendekatan dimana analisa dimulai dengan cara mengkaji nilai atau value yang diberikan oleh sistem atau aplikasi teknologi informasi sebelum menyentuh unsur pembiayaannya. Dengan kata lain, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah menyetujui akan nilai atau manfaat yang diberikan oleh aplikasi teknologi informasi terlebih dahulu, baru kemudian mereka yang bersepakat duduk bersama untuk mengkalkulasi biaya yang layak dikeluarkan untuk pencapaian value tersebut. Jika hasil kalkulasi tersebut “berkenan” di hati para pengambil keputusan, maka investasi yang dikeluarkan dinilai layak; sementara jika tidak, maka rencana membangun dan/atau mengembangkan sistem terkait terpaksa tidak dilakukan.

Return on Management diperkenalkan pertama kalinya oleh Paul Strassman dalam bukunya “Information Payoff” (Strassman, 1985) dan ditekankan kembali pada karyanya “The Business Value of Computers” (Strassman, 1990), dimana yang bersangkutan berusaha memisahkan apa yang dinamakan sebagai management added value dengan management cost dan kemudian membandingkan keduanya untuk diperoleh Return On Management atau ROM. Konsepnya cukup jelas, yaitu sebagai berikut:

• Semenjak sebuah sistem aplikasi teknologi informasi diterapkan, dihitunglah

seberapa besar pendapatan atau revenue yang diperoleh perusahaan. • Jika revenue tersebut dikurangi dengan Cost Of Goods Sold atau COGS dan

pajak, akan diperoleh profit margin atau business value added. • Dari business value added ini kemudian dikurangi dengan shareholders value

added (misalnya dalam bentuk pembagian deviden saham) dan operation costs added (misalnya dalam bentuk pembagian deviden saham) dan operation costs

• Jika nilai tersebut dikurangi dengan management costs, maka akan didapatlah

management value added. Dengan berpegang pada formula:

ROM = Management Value Added : Management Cost

maka akan diperoleh harga ROM yang akan menentukan tingkat kelayakan investasi yang telah dan/atau akan dilakukan. Konsep ini dibangun dengan filosofi bahwa dalam perusahaan moderen, yang terpenting bukanlah modal, material, maupun teknologi, namun adalah sumber daya manusia yang direpresentasikan dalam manajemen.

Multi-Objective Multi-Criteria Method atau MOMCM diperkenalkan sebagai sebuah metode yang bernuansa subyektif karena didasarkan pada kenyataan bahwa setiap sistem aplikasi yang diterapkan memiliki obyektif yang berbeda karena beragamnya stakeholders yang berkepentingan dengan adanya sistem tersebut. Adanya sejumlah obyektif yang berbeda dan beragamnya perspektif stakeholders memaksa perlu dikembangkannya sebuah sistem yang dapat mengadopsi situasi ini. Dalam MOMCM tersebut masing- masing stakeholder diberi kesempatan untuk menentukan sendiri bobot atau weight dan penilaian dari sejumlah obyektif atau manfaat yang didapat dari adanya sistem aplikasi terkait. Dengan cara demikian, maka perusahaan dapat melihat dan menentukan layak tidaknya suatu investasi dari hasil total penilaian para stakeholder tersebut.

Keduabelas metode tersebut pada dasarnya memiliki sejumlah karakteristik yang membedakan satu dan lainnya, dan perusahaan perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing cara yang ada. Tabel berikut memperlihatkan secara ringkas isu-isu seputar masing-masing metode evaluasi yang dijelaskan sebelumnya.

Approach and Methods Issues and Characteristics

Strategic Analysis and Evaluation

• Highly subjective • Issues not well understood • All but top management may be unaware of

strategy

Value Chain Assessment

• Very subjective • Difficult to obtain hard data • Not well understood by management

Relative Competitive Performance • Information available may be sketchy • Difficult to compare benefits of different

system • Uncertainty about competitors plans

Proportion of Management Vision

• No hard data

Achieved • Virtually no objectivity in this approach to

assessment • It is sometimes not easy to get top

management to admit to failure Work Study Assessment

• Objectivity may be relatively superficial • Changes in work patterns may be drastically • Objectivity may be relatively superficial • Changes in work patterns may be drastically

techniques

Economic Assessment – I/O Analysis • Requires an understanding of economic

analysis • It is relatively abstract

• It attmepts to avoid detailed quantification

of monetary terms • Most managers are not familiar with these

techniques

Cost Benefit Analysis Based on • Tis approach is subject to manipulation Financial Accounting

• Accounting requires a sound infrastructure which many firms do not have

• Financial accounting cannot extend beyond simple monetary terms and thus many issues

of value are omitted • However this approach has long established

acceptance in business

User Attitudes • Involving too many users • Every user is unique and has different

background • Too many statistics involved

User Utility Assessment • Users may not tell the truth or simply

exaggerate • Users may have vested interersts in

presenting a particular viewpoint • Corporate culture may colour users views

and the interpretation of the outcome Value Added Analysis

• Very practical approach • Keeps costs under control • Encourages prototyping

Return on Management • A major break with classical economics • Not easy to operationalise • Useful to stimulate re-thinking

Multi-Objectives Multi-Criteria • A very unquantifiable method Methods

• Not userful as a post implementation tool • Useful to stimulate debate

Sejumlah praktisi manajemen menyarankan agar sebuah perusahaan dapat menggunakan dua atau tiga cara sekaligus dalam menganalisa cost-benefit investasi teknologi informasi karena setiap metodologi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (kedua atau ketiga metodologi yang dipergunakan diharapkan dapat saling melengkapi sehingga menghasilkan suatu metrik pengukuran yang lebih berkualitas). Namun bukan berarti perusahaan dapat menggunakan sekitar enam atau tujuh cara sekaligus, karena justru akan berpotensi menghasilkan sebuah hasil yang konflik satu dan lainnya sehingga akan mempersulit pengambilan keputusan.

3. Ragam Teknik Evaluasi Investasi Proyek Teknologi Informasi

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di kalangan praktisi bisnis.

RETURN-ON-INVESTMENT (ROI)

Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe, 1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa depan dan “memproyeksikan” besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value (NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih besar dari ambang rasio yang dicanangkan – misalnya lebih besar dari bunga deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya – maka manajemen dengan leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar – dan dinilai cukup mendasar – dari metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya, karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk ditentukan, yaitu:

• Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat

yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible, perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

• Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak

sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode ini.

COST-BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978). Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait – seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak jelas tersebut.

MULTI-OBJECTIVE, MULTI-CRITERIA METHODS (MOMC)

Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah MOMC (Vaid- Raizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada (misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah MOMC (Vaid- Raizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada (misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi

BOUNDARY VALUES

Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari karena kemudahan dan kesederhanaannya (Martin, 1989). Prinsip yang dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN-ON-MANAGEMENT (ROM)

Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985). Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan nilai tambah dari masing- masing sumber daya – termasuk modal (capital) – kecuali biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan. Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)

Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satu-satunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian (uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang bersifat tangible dan intangible. Singkatnya, metode ini bertujuan untuk mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses tambahan yang diberlakukan, yaitu:

• Value Linking – yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama

di berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru; • Value Acceleration - yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang

akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan • Job Enrichment – yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah

lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.

Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)

Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: “pelayanan prima kepada pelanggan di seluruh dunia” – dimana investasi untuk Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: “pelayanan prima kepada pelanggan di seluruh dunia” – dimana investasi untuk

VALUE ANALYSIS (VA)

Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible (Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik pendekatan iteratif - seperti metode Delphi – untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari. Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik – seperti cluster analysis – manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan. Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS

Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan, terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau besar, pengerjaan yang diperkirakan memakan waktu cukup lama, dan ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat “menakutkan” bagi para pengambil keputusan – yang akhirnya memilih untuk tidak melakukan investasi. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut, yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

• Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari

sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk dibangun prototipnya. Setelah prototip selesai dibangun, barulah sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk dibangun prototipnya. Setelah prototip selesai dibangun, barulah

• Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan

terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu (software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi teknologi informasi yang akan dibangun).

• Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play

terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh akan teridentifikasi melalui proses diskusi dari berbagai pihak yang berkepentingan ini.

Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983): art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation (menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi yang “baik dan benar”), adversarial methods (mengambil keputusan setelah mendengarkan dua belah pihak saling “berdebat” mengenai pro dan kontra dari rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

4. Tujuan dan Tipe Investasi Teknologi Informasi

Investasi merupakan salah satu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, terutama ketika bisnisnya sedang berada dalam tahap awal, yaitu pada tingkat pembentukan dan pertumbuhan (infancy dan growth stages). Namun tidak jarang dijumpai pimpinan perusahaan yang menganggap bahwa investasi terhadap teknologi informasi merupakan suatu hal yang tidak terlalu penting untuk dilakukan oleh perusahaan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa investasi tersebut sifatnya adalah optional atau nice to have belaka, dalam arti kata tidak wajib untuk dilaksanakan. Dalam kerangka manajemen strategis di era moderen saat ini, pandangan tersebut dapat dianggap benar atau salah sama sekali, tergantung dari karakteristik investasi yang ada.

Pada dasarnya peranan teknologi informasi bagi setiap perusahaan bersifat unik dan spesifik. Hal ini disebabkan karena masing-masing perusahaan memiliki strategi yang berbeda satu dengan lainnya. Walaupun dua buah perusahaan misalnya berada pada sebuah industri yang sama, namun peranan teknologi informasinya bisa sangat berbeda. Lihatlah bagaimana pelanggan sebuah bank akan rush jika jaringan ATM-nya rusak satu hari saja sementara bank yang lain tidak mengalami gangguan yang berarti walaupun jaringan ATM-nya rusak seminggu. Artinya adalah bahwa meskipun keduanya memiliki teknologi informasi berupa jaringan ATM untuk mendukung bisnisnya, namun bagi bank yang pertama teknologi tersebut sifatnya adalah vital, sementara bagi bank lainnya teknologi ATM terkait hanyalah berfungsi sebagai perangkat penunjang belaka.