HUBUNGAN DUKUNGAN SAUDARA KANDUNG DENGAN

PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN DUKUNGAN SAUDARA KANDUNG DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA ANAK AUTIS DI PUSAT LAYANAN AUTIS DENPASAR OLEH : NI MADE AYU SUKMA WIDYANDARI

NIM. 1602522016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR DESEMBER, 2017

PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN DUKUNGAN SAUDARA KANDUNG DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA ANAK AUTIS DI PUSAT LAYANAN AUTIS KOTA DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH : NI MADE AYU SUKMA WIDYANDARI

NIM. 1602522016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR DESEMBER, 2017

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

: Ni Made Ayu Sukma Widyandari

: Kedokteran Universitas Udayana

Program Studi

: Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Penelitian yang saya tulis ini benar- benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa proposal penelitian ini adalah jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Desember 2017 Yang membuat pernyataan

Materai 6000

(Ni Made Ayu Sukma Widyandari)

LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN DUKUNGAN SAUDARA KANDUNG DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA ANAK AUTIS DI PUSAT LAYANAN AUTIS KOTA DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh : NI MADE AYU SUKMA WIDYANDARI

NIM. 1602522016

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns. Luh Mira Puspita, S.Kep., M.Kep Ns.Ida Arimurti Sanjiwani, S.Kep.,M.Kep NUPN. 9908419475

NUPN. 9908419474

HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN DUKUNGAN SAUDARA KANDUNG DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA ANAK AUTIS DI PUSAT LAYANAN AUTIS KOTA DENPASAR

Oleh : NI MADE AYU SUKMA WIDYANDARI

NIM. 1602522016

TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : SELASA TANGGAL : 19 DESEMBER 2017 TIM PENGUJI :

1. Ns. Luh Mira Puspita S.Kep., M.Kep (Ketua) (…………)

2. Ns. Ida Arimurti Sanjiwani, S.Kep.,M.Kep (Anggota) (…………)

3. Ns. Ni Luh Putu Eva Yanti,S.Kep.,M.Kep,Sp.Kep.Kom (Anggota) (…………)

MENGETAHUI :

DEKAN WAKIL DEKAN FK UNIVERSITAS UDAYANA

BIDANG AKADEMIK DAN PERENCANAAN

Dr.dr. I Ketut Suyasa,Sp.B, Sp.OT(K) Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp.MK(K) NIP. 19660709 199412 1 001

NIP. 19581010 198702 1 001

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang

berjudul “Hubungan Dukungan Saudara Kandung Dengan Komunikasi

Interpersonal Pada Anak Autis Di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar ” dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan proposal penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :

1. Dr.dr. I Ketut Suyasa,Sp.B, Sp.OT(K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar

2. Prof. Dr Ketut Tirtayasa, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3. Ns. Luh Mira Puspita, S.Kep., M.Kep, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini tepat waktu

4. Ns. Ida Arimurti Sanjiwani, S.Kep., M.Kep, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini tepat waktu

5. Kepala Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di tempat tersebut

6. Keluarga yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini

7. Teman-teman PSIK B angkatan 2016 yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini.

Penulis menerima berbagai saran dan masukan untuk perbaikan proposal penelitian ini. Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan pelayanan autis di Bali.

Denpasar, Desember 2017

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .................................. 29 Tabel 4.1 Blue Print Kuesioner Dukungan Saudara kandung ......................... 36 Tabel 4.2 Blue Print Kuesioner Komunikasi Interpersonal ............................. 37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Dukungan Saudara Sekandung

dengan Komunikasi Interpersonal pada Anak Autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar........................................................... 28

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Dukungan Saudara Kandung dengan Komunikasi Interpersonal pada Anak Autis ......... 32

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Penelitian Lampiran 2

Penjelasan Penelitian Lampiran 3

Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4

Kuesioner Penelitian Lampiran 5

Anggaran Dana

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Autis adalah gangguan perkembangan otak dan gangguan pervasif yang ditandai dengan gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, sensoris, serta tingkahlaku yang berulang-ulang (Huzaemah, 2010). Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya (Sunu, 2012). Anak autis cenderung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang lain yang menyebabkan anak autis susah dalam melakukan komunikasi (Yuwono, 2012).

Prevalensi autis beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan. Terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat atau Center for Disease Control and Prevention (2014) melaporkan hasil penelitian jumlah anak yang mengalami autis pada tahun 2008 terjadi peningkatan yaitu 11,3 per 1.000 (satu dari 88) anak yang mengalami autis dan hasil penelitian terakhir tahun 2010 terjadi peningkatan kembali yaitu 14,7 per 1.000 (satu dari 68) anak yang mengalami autis. Penelitian Taher (2013) menyebutkan bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang di daerah Asia seperti Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah anak autis usia 5-19 tahun yang berhasil di data pada tahun 2013-2014 ada sekitar 112.000 ribu jiwa (Purnamasari, 2015). Studi pendahuluan di Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar tahun 2013-2017 jumlah anak autis yang bersekolah mengalami peningkatan. Tahun 2013 Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar melayani 30 anak autis, tahun 2014 melayani 35 anak autis, tahun 2015 melayani 65 anak autis, tahun 2016 melayani 79 anak autis serta sampai bulan September 2017 Prevalensi autis beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan. Terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat atau Center for Disease Control and Prevention (2014) melaporkan hasil penelitian jumlah anak yang mengalami autis pada tahun 2008 terjadi peningkatan yaitu 11,3 per 1.000 (satu dari 88) anak yang mengalami autis dan hasil penelitian terakhir tahun 2010 terjadi peningkatan kembali yaitu 14,7 per 1.000 (satu dari 68) anak yang mengalami autis. Penelitian Taher (2013) menyebutkan bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang di daerah Asia seperti Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah anak autis usia 5-19 tahun yang berhasil di data pada tahun 2013-2014 ada sekitar 112.000 ribu jiwa (Purnamasari, 2015). Studi pendahuluan di Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar tahun 2013-2017 jumlah anak autis yang bersekolah mengalami peningkatan. Tahun 2013 Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar melayani 30 anak autis, tahun 2014 melayani 35 anak autis, tahun 2015 melayani 65 anak autis, tahun 2016 melayani 79 anak autis serta sampai bulan September 2017

Masalah yang dialami anak autis diantaranya gangguan perilaku, gangguan komunikasi interpersonal, gangguan kognitif, respon abnormal terhadap perangsangan indra dan gangguan emosi. Anak autis mengalami masalah dalam berkomunikasi baik verbal maupun non verbal sekitar 40-50%. Gangguan ini tampak pada kurangnya penggunaan bahasa untuk kegiatan sosial, buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal-balik dalam percakapan, kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan non verbal orang lain, kendala dalam menggunakan irama dan tekanan modulasi komunikatif dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan (Soetjiningsih, 2014).

Gangguan komunikasi pada anak autis menyebabkan tidak adanya umpan balik secara langsung dengan orang lain. Penyebab dari hal tersebut yaitu perkembangan kemampuan berbahasa anak autis sangat lambat atau tidak ada sama sekali. Kata-kata yang dikeluarkan anak autis tidak dapat dimengerti, echolalia atau dapat diartikan bentuk pengulangan kata dari orang lain tanpa mengetahui maksud dari kata tersebut, dan nada suaranya monoton seperti suara robot. Anak autis tidak dapat menyampaikan keinginannya dengan kata-kata atau bahasa isyarat. Sukar memahami arti kata-kata yang baru didengar dan tidak dapat menggunakan bahasa dalam konteks yang benar. Anak autis selalu membangkang kepada nasihat. Anak autis kesulitan untuk menyampaikan pesan dan menerima pesan dari orang lain, sehingga menyebabkan anak autis mengalami gangguan dalam berkomunikasi interpersonal (Soetjiningsih, 2014).

Komunikasi interpersonal yakni kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung antara dua orang atau lebih yang memungkinkan adanya umpan balik secara langsung, seperti komunikasi anak dengan orang tua, saudara, antar murid dan guru (Rochmah, 2011). Menurut Bienvenu (dalam Rochmah, 2011) komunikasi interpersonal dikatakan baik karena adanya aspek-aspek yang mempengaruhi seperti, konsep diri yang meliputi kemampuan anak autis Komunikasi interpersonal yakni kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung antara dua orang atau lebih yang memungkinkan adanya umpan balik secara langsung, seperti komunikasi anak dengan orang tua, saudara, antar murid dan guru (Rochmah, 2011). Menurut Bienvenu (dalam Rochmah, 2011) komunikasi interpersonal dikatakan baik karena adanya aspek-aspek yang mempengaruhi seperti, konsep diri yang meliputi kemampuan anak autis

Ekawati dan Yustina (2012) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan komunikasi pada anak autis diantaranya terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung komunikasi anak autis adalah adanya penerimaan orang tua terhadap keadaan anak autis, dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar dan pengajaran pra-klasikal. Faktor pengahambatnya adalah orang tua cenderung protektif dan adanya

perspektif negatif dari lingkungan terhadap anak autis. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas peningkatan kemampuan hidup anak autis sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain. Faktor keluarga tidak hanya berupa dukungan dari orangtua, melainkan juga dukungan saudara kandung yang dapat mempengaruhi perkembangan anak autis (Ambarini, 2006).

Dukungan keluarga yang baik menjadikan pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil, namun dukungan keluarga yang kurang baik mampu menghambat psikologis anak (Alimul 2005, dalam Juzri 2014). Dukungan pada anak autis akan dirasakan apabila diperoleh dari orang-orang yang dipercayainya, dengan begitu anak autis akan merasa seseorang menghargai dan mencintai dirinya (Rustiani, dalam Juzri 2014). Dukungan keluarga meliputi, dukungan informasional, emosional, penilaian, dan instrumental (Friedman, 2010). Penelitian Isnaini (2011) dilakukan pada empat keluarga yang memiliki anak autis menyatakan bahwa dukungan atau peranan keluarga sangat memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan anak autis. Hasil penelitian oleh Nami, dkk (2009) menunjukkan bahwa anggota keluarga (orang tua) telah memberikan dukungan dengan 4 jenis dukungan yaitu dukungan emosional, penilaian, informasi dan Dukungan keluarga yang baik menjadikan pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil, namun dukungan keluarga yang kurang baik mampu menghambat psikologis anak (Alimul 2005, dalam Juzri 2014). Dukungan pada anak autis akan dirasakan apabila diperoleh dari orang-orang yang dipercayainya, dengan begitu anak autis akan merasa seseorang menghargai dan mencintai dirinya (Rustiani, dalam Juzri 2014). Dukungan keluarga meliputi, dukungan informasional, emosional, penilaian, dan instrumental (Friedman, 2010). Penelitian Isnaini (2011) dilakukan pada empat keluarga yang memiliki anak autis menyatakan bahwa dukungan atau peranan keluarga sangat memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan anak autis. Hasil penelitian oleh Nami, dkk (2009) menunjukkan bahwa anggota keluarga (orang tua) telah memberikan dukungan dengan 4 jenis dukungan yaitu dukungan emosional, penilaian, informasi dan

Selain orang tua, yang dipercayai oleh anak autis di dalam keluarga adalah saudara kandung. Hubungan antar saudara sekandung akan bertahan lebih lama karena faktor usia sehingga sebagian besar orang tua berharap saudara sekandunglah yang akan merawat dan menemani adik atau kakaknya yang memiliki masalah setelah orang tua meninggal (Lenny, 2003). Anak yang memiliki saudara sekandung penyandang autis akan memiliki jenis hubungan yang berbeda dengan anak yang memiliki saudara sekandung normal. Tidak semua saudara sekandung anak autis mengalami stres yang berlarut-larut, tidak bahagia atau mengalami masalah yang berat (Lenny, 2003). Sejalan dengan hasil penelitian Milyawati (2008) menyatakan lebih dari separuh (74,2%) saudara anak autis bersedia bermain dengan anak autis dan sebanyak 25,8% menyatakan bahwa saudara anak autis hanya kadang-kadang saja mau bermain dengan anak autis. Hal ini mengindikasikan bahwa saudara anak autis mampu berinteraksi secara optimal dengan anak autis.

Penelitian Ambarini (2006), menyatakan peran saudara sekandung dari anak autis akan menunjang keberhasilan terapi bagi saudara autisnya, apabila saudara sekandung berperan secara aktif dan berkesinambungan dalam memberikan terapi bagi saudara autis. Peran saudara sekandung dalam membantu anak autis menguasai keterampilan-keterampilan tertentu tidak hanya pada saat pemberian terapi di rumah, namun lebih besar apabila dilakukan di dalam kegiatan sehari- hari ketika saling berinteraksi. Pola interaksi dan komunikasi saudara sekandung dengan anak autis juga berpengaruh, dimana pada saudara sekandung yang setiap hari berinteraksi dengan anak autis dan terjalin komunikasi dua arah lebih mendukung terapi yang dilaksanakan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyadari akan pentingnya dukungan saudara kandung terhadap perkembangan komunikasi interpersonal yang baik pada anak autis, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan dukungan saudara kandung dengan komunikasi interpersonal pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah, “apakah ada hubungan dukungan saudara kandung dengan komunikasi interpersonal pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar ?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengatahui hubungan dukungan saudara kandung dengan komunikasi interpersonal pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran dukungan saudara kandung pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar.

b. Untuk mengetahui gambaran komunikasi interpersonal pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar.

c. Untuk menganalisis hubungan dukungan saudara kandung dengan komunikasi interpersonal pada anak autis di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat dari segi teoritis

a. Bagi instansi pendidikan. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan atau referensi serta bisa menambah wawasan dan pengetahuan sehingga dapat meningkatkan mutu pendidik.

b. Bagi pengembangan IPTEK Diharapkan dapat menumbuhkan inovasi dalam penemuan untuk dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada anak autis.

c. Bagi peneliti Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan yang didapat dalam penelitian ini supaya dapat dijadikan bahan dalam pelayanan kesehatan baik dalam keluarga, masyarakat maupun saat peneliti bertugas nanti.

1.4.2. Manfaat dari segi praktis

a. Bagi Komunitas (Pasien dan Keluarga) Dapat memberi dukungan atau support pada anak autis demi meningkatkan kemampuannya dalam bersosialisasi.

b. Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan atau referensi serta bisa menambah wawasan dan pengetahuan sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Autisme

2.1.1. Definisi Autisme

Autisme adalah kelainan anak sejak lahir maupun sejak balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan, dengan gejala menutup dirinya sendiri secara total dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar. Kelainan ini merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, mempengaruhi perilaku dengan akibat kekurangan kemmapuan komunikasi serta hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, ekonomi, sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal maupun jenis makanan (Fida & Maya, 2012). Menurut Sunu (2012) autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya. Menurut Soetjiningsih (2013) autise masa anak adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan anak mempunyai abnormal dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa autisme merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang juga merupakan gangguan neurobiologis sehingga menyebabkan hendaya signifikan dalam interaksi sosial, kemampuan berbahasa, motorik sosial, kepedulian terhadap sekitar, hidup dalam dunianya sendiri, kelainan emosi, intelektual serta pola-pola perilaku, interes, dan aktivitas yang terbatas.

2.1.2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Autisme

Menurut Yuwono (2013) secara spesifik, faktor-faktor penyebab anak menjadi autis belum ditemukan secara pasti. Dalam bukunya, Soetjiningsih (2015) menyatakan terdapat 7 faktor penyebab autis anatara lain faktor psikososial, faktor prenatal, perinatal dan pascanatal, imunologi, infeksi, genetik, neuroanatomi serta neurotransmitter. Hal serupa diungkapkan oleh Handojo (2004) bahwa penyebab autis adalah adanya kelainan pada otak, kelainan genetik, infeksi serta Sensory Interpretation Errors.

a. Faktor Psikososial Faktor ini muncul karena pola asuh orang tua. Lebih lanjut Soetjiningsih (2015) mengungkapkan penyebab autis adalah pengasuhan yang kaku dan obsesif

b. Faktor Pranatal, Perinatal, Pascanatal Soethiningsih (2015) mengungkapkan pada trisemester awal adanya perdarahan serta fetal distress. Lebih lanjut handojo (2004) menyatakan pada proses partus lama terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin. Semua komplikasi diatas menurut Soetjiningsih (2015) dapat menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga sebagai penyebab autis.

c. Imunologi Penemuan antibody ibu terhadap antigen tertentu menurut Soethiningsih (2015) menyebabkan penyumbatan sementara aliran darah otak janin. Selain itu antigen tersebut juga ditemukan pada sel otak janin, sehingga antibodi ibu dapat merusak jaringan otak janin. Keadaan tersebut memperkuat teori peranan imunologi pada terjadinya autis.

d. Infeksi Soethiningsih (2015) mengungkapkan peningkatan kejadian autis yang terjadi pada anak-anak yang lahir dengan rubella, ensefalitis dan infeksi sitomegalovirus sebagai akibat dari kerusakan otak pada anak. Pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur C.Albicans juga mengeluarkan ensim posfolipid dan protease yang mengakibatkan permeabilitas usus meningkat.

e. Faktor genetik Handojo (2004) menyatakan bahwa faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autis, walaupun bukti-bukti yang konkrit masih sulit ditemukan. Lebih lanjut, Soethiningsih (2015) mengungkapkan pada pasangan anak kembar satu telur ditemukan kejadian autis sebesar 36-95%, sedangkan pada anak kembar dua telor kejadiannya 0-23%. Pada penelitian keluarga dari anak yang autis, ditemukan autis pada saudara kandungnya 2,5-3%.

f. Faktor neuroanatomi Handojo (2004) menyatakan bahwa perilaku autis disebabkan karena adanya kelainan pada otaknya. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar ditemukan bahwa adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebelum (otak kecil) dan system limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autis memiliki kelainan pada lobus parietalis otaknya sehingga menyebabkan anak cuek terhadap lingkungan. Soethiningsih (2015) menambahkan kelainan juga ditemukan pada otak kecil terutama pada lobus ke-6 dan ke-7. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses perhatian. Sedikitnya jumlah sel purkinye pada otak kecil menyebabkan adanya gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin. Lebih lanjut Handojo (2004) menjelaskan kelainan khas yang terjadi pada sistem limbik yang disebut Hyppocampus dan Amygdala sehingga terjadi gangguan fungsi kontrol emosi dan agresif. Amygdala juga bertangguang jawab terhadap fungsi rangsangan sensoris seperti pendengaran, pengelihatan, penciuman, perabaan, rasa sakit dan rasa takut. Handojo (2004) menjelaskan bahwa Hyppocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar. Perilaku yang diulang-ulang serta perilaku hiperaktif juga disebabkan karena adanya gangguan pada Hyppocampus.

g. Neurotransmitter Soetjiningsih (2015) menjelaskan bahwa ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga anak autis. Selain serotonin terdapat dopamine yang mengalami peningkatan pada beberapa kasus anak dengan autis. Hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat diduga menyebabkan hiperaktivitas dan stereotipi pada autis. Terbukti bahwa penghambatan reseptor dopamine dapat mengurangi gejala hiperaktivitas dan stereotipi pada beberapa kasus autis. Lebih g. Neurotransmitter Soetjiningsih (2015) menjelaskan bahwa ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga anak autis. Selain serotonin terdapat dopamine yang mengalami peningkatan pada beberapa kasus anak dengan autis. Hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat diduga menyebabkan hiperaktivitas dan stereotipi pada autis. Terbukti bahwa penghambatan reseptor dopamine dapat mengurangi gejala hiperaktivitas dan stereotipi pada beberapa kasus autis. Lebih

2.1.3. Dampak Autis

Menurut Soetjiningsih (2013), dampak dari autis terlihat pada masa anak. Masa anak sekitar setengah dari anak autis mengalami perkembangan yang normal sejak umur satu tahun sampai tiga tahun dan setelah itu baru tampak jelas gangguan anak autis. Perkembangan anak autis di bawah rata-rata anak pada umum dalam bidang komunikasi interpersonal, kognitif, emosi, respon abnormal terhadap perangsangan indra, serta gangguan perilaku.

1) Gangguan perilaku Soetjiningsih (2015) menjelaskan bahwa gangguan perilaku tersebut antara lain adalah perilaku tanpa tujuan seperti gerakan aneh yang diulang-ulang, menggoyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, tepuk tangan. Mencederai diri sendiri seperti menggigit tangannya, melukai diri, membenturkan kepalanya di tembok, timbul masalah tidur dan makan, tidak sensitif terhadap rasa nyeri, hiperaktivitas atau hipoaktivitas, gangguan pemusatan perhatian. Terutama pada masa anak dini terkadang terdapat kelekatan yang aneh kepada benda yang tidak lembut. Karakteristik lain pada anak autis adalah insistence on sameness atau prilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat rutin. Anak dengan autis ini tidak suka dengan perubahan dalam rutinitasnya sehari-hari sehingga menyebabkan dia bisa menjadi marah.

Puspita (2010) berpendapat bahwa gejala anak autis diantaranya adanya perilaku stereotipi / khas pada anak autis seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya.

2) Gangguan komunikasi interpesonal Komunikasi interpersonal merupakan kemampuan yang sulit dilakukan oleh anak autis. Keterlambatan komunikasi dan bahasa merupakan ciri yang menonjol pada anak autis. Sekitar 40-50% anak autis tidak memiliki kemampuan berkomunikasi tersebut baik verbal maupun non verbal. Gangguan ini terlihat pada kurangnya penggunaan bahasa untuk kegiatan sosial seperti kendala dalam melakukan permainan, buruknya atau kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan seperti kurangnya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relative kurangnya kreativitas dan fantasi pada proses berpikir, kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non verbal orang lain, kendala dalam menggunakan irama dan tekanan modulasi komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk mengartikan komunikasi lisan.

Penyebab gangguan komunikasi interpersonal pada anak autis yaitu perkembangan kemampuan berbahasa anak autis sangat lambat atau tidak ada sama sekali. Kata-kata yang dikeluarkan dari anak autis tidak dapat dimengerti, echolalia atau dapat diartikan bentuk pengulangan kata dari orang lain tanpa mengetahui maksud dari kata tersebut, dan nada suaranya monoton seperti suara robot. Anak tidak dapat menyampaikan keinginannya dengan kata-kata atau bahasa isyarat. Sukar memahami arti kata-kata yang baru mereka dengar dan tidak dapat menggunakan bahsa dalam konteks yang benar. Anak sering mengulang kata-kata yang baru atau pernah untuk berkomunikasi tanpa mengetahui arti dari kata tersebut.

Sastry (2014) menyebutkan anak autis kurang mampu menyimpulkan, memahami dan menindaklanjuti emosi orang lain saat berada dalam sebuah interaksi sosial.

Pemahaman pengguanaan norma-norma budaya, gambar-gambar ujaran, idiom, gesture, kontak mata dan bahasa tubuh adalah hal-hal yang sulit dipahami anak autis, karenanya menyulitkan mereka untuk berkomunikasi dua arah.

3) Gangguan kognitif Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai oleh daya ingat terganggu dan sukar berpikir logis. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan anak untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak. Akibat dari gangguan kognitif yaitu menurunnya kemampuan konsentrasi terhadap stimulus. Gangguan kognitif pada anak autis tidak terjadi pada semua sektor perkembangan kognitif, karena ada sebagian kecil anak autis mempunyai kemampuan yang luar biasa, anak ini disebut dengan autistik savant (dulu disebut idiot savant).

4) Respon abnormal terhadap perangsangan indra Respon abnormal terhadap perangsangan indra adalah respon yang terjadi pada anak autis yang hiposensitif atau hipersensitif terhadap perangsangan penglihatan, pendengaran, perabaan atau sentuhan, penciuman dan pengecapan. Banyak anak autis yang mempunyai kepekaan ekstrem yang membuatnya sulit untuk memberi perhatian pada lebih dari satu input rangsangan sekaligus. Tactile defensiveness merupakan salah satu contoh akibat kepekaan ekstrim dimana anak autis bertahan dan tidak mau disentuh karena merasakan sentuhan sebagai sesuatu yang menyiksa. (Sastry, 2014)

5) Gangguan emosi Gangguan emosi pada anak autis ditujukan oleh beberapa anak seperti perubahan perasaan yang tiba-tiba tanpa alasan yang jelas contohnya tiba-tiba tertawa dan menangis sendiri, kadang-kadang timbul rasa takut yang sangat terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan atau terdapat keterikatan pada benda-benda tertentu, atau ada cemas atau depresi berat terhadap perpisahan. Anak juga menunjukkan respons yang kurang terhadap emosi orang lain dan tidak bisa menunjukkan empati, sehingga tidak ada respons timbal - balik.

2.2. Konsep Dasar Komunikasi Interpersonal

2.2.1. Definisi Komunikasi Interpersonal

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang – orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2004). Komunikasi interpersonal merupakan proses pertukaran informasi antara seseorang dengan seseorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahu balikannya, dengan bertambahnya orang – orang yang terlibat dalam komunikasi maka komunikasi pun menjadi bertambah kompleks (Muhammad, 2004). Komunikasi interpersonal juga didefiniskan sebagai komunikasi yang terjadi antara dua orang yang mempunyai hubungan yang terlihat jelas diantara mereka, misalnya percakapan seseorang ayah dengan anak, sepasang suami istri, guru dengan murid, dan lain sebagainya. Definisi ini setiap komunikasi baru dipandang dan dijelaskan sebagai bahan – bahan yang teritegrasi dalam tindakan komunikasi antarpribadi (Rochmah, 2011). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung antar dua orang yang memungkinkan adanya umpan balik secara langsung dan dilakukan secara tatap muka dengan tujuan untuk dapat memelihara hubungan yang baik.

2.2.2. Tujuan Komunikasi Interpersonal

Menurut Muhammad (2004) Komunikasi interpersonal mempunyai 6 tujuan antara lain:

a. Menemukan diri sendiri Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal atau pribadi. Seseorang bila terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan orang lain, kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berbicara tentang apa yang disukai, atau mengenai diri sendiri. Membicarakan diri kita dengan orang lain, seseorang memberikan timbal balik yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku.

b. Menemukan dunia luar Komunikasi interpersonal menjadikan seseorang dapat memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi. Banyak informasi yang ketahui datang dari komunikasi interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari media massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajari atau didalami melalui interaksi interpersonal.

c. Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu kita pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain.

d. Berubah sikap dan tingkah laku Banyak waktu yang pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal, kita boleh menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru, membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang tertentu dan percaya bahwa sesuatu itu benar atau salah. Banyak menggunakan waktu terlibat dalam posisi interpersonal.

e. Bermain dan kesenangan Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas kita pada waktu akhir pecan, berdiskusi mengenai olahraga, menceritakan cerita dan cerita lucu pada umumnya hal itu adalah merupakan pembicaraan yang untuk menghabiskan waktu. Melakukan komunikasi interpersonal dengan semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di lingkungan kita.

f. Membantu kegiatan profesional Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi interpersonal sehari- f. Membantu kegiatan profesional Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi interpersonal sehari-

2.2.3. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal

Menurut Bienvenu (dalam Rochmah 2011) ada lima komponen komunikasi interpersonal yaitu:

a. Konsep diri (Self concept) adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Konsep diri ada lima yaitu gambaran diri / citra tubuh ( body image ), ideal diri ( self ideal ), harga diri ( self esteem ), peran ( role performance ), dan identitas ( identity )

b. Kemampuan (Ability) adalah kemampuan untuk menjadikan pendengar yang baik, keterampilan yang mendapat sedikit perhatian.

c. Pengalaman keterampilan (Skill experience) Banyak orang merasa sulit untuk melakukan kemampuan untuk mengekspresikan pikiran dan ide-ide.

d. Emosi (Emotion) adalah individu dapat mengatasi emosinya, dengan cara konstruktif atau berusaha memperbaiki kemarahan.

e. Pengungkapan diri (Self disclousure) adalah keinginan untuk berkomunikasi kepada orang lain secara bebas dan terus terang dengan tujuan untuk menjaga hubungan interpersonal.

2.2.4. Sikap Positif dalam Komunikasi Interpersonal

Devito (1997) (dalam Suranto AW, 2011) mengemukakan lima sikap positif yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang merencanakan komunikasi interpersonal. Lima sikap positif tersebut, meliputi :

a. Keterbukaan (openness) Keterbukaan ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Sikap keterbukaan ditandai adanya kejujuran dalam merespon segala stimulus komunikasi. Tidak berkata bohong, dan tidak menyembunyikan informasi yang a. Keterbukaan (openness) Keterbukaan ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Sikap keterbukaan ditandai adanya kejujuran dalam merespon segala stimulus komunikasi. Tidak berkata bohong, dan tidak menyembunyikan informasi yang

b. Empati(empathy) Empati ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kacamata orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka. Dengan demikian empati akan menjadi filter agar kita tidak mudah menyalahkan orang lain. Namun kita dibiasakan untuk dapat memahami esensi setiap keadaan tidak semata-mata berdasarkan cara pandang kita sendiri, melainkan juga menggunakan sudut pandang orang lain. Hakikat empati adalah : (a) Usaha masing-masing pihak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain; (b) dapat memahami pendapat, sikap dan perilaku orang lain.

c. Sikap mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Oleh karena itu respon yang relevan adalah respon yang bersifat spontan dan lugas, bukan respon bertahan dan berkelit. Pemaparan gagasan bersikap deskriptif naratif, bukan bersifat evaluatif. Sedangkan pola pengambilan keputusan bersifat akomodatif, bukan intervensi yang disebabkan rasa percaya diri yang berlebihan.

d. Sikap positif (positiveness) Sikap positif (positiveness) ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata d. Sikap positif (positiveness) Sikap positif (positiveness) ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata

e. Kesetaraan (equality) Kesetaraan (equality) ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan kesetaraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Pastilah yang satu lebih kaya, lebih pinter, lebih muda, lebih berpengalaman, dan sebagainya. Namun kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yg superior ataupun inferior) dengan partner komunikasi.

2.2.5. Perkembangan Komunikasi Interpersonal Anak Penyandang Autis

Perkembangan komunikasi pada anak yang mengalami autis sangat berbeda dengan anak pada umumnya. Ada empat tingkatan komunikasi pada anak autis, yang tergantung dari kemampuan berinteraksi, cara berkomunikasi, dan pengertian anak itu sendiri. Keempat tahap tersebut adalah “The Own Agenda Stage”, “The Requester Stage”, “The Early Communicator Stage” dan “The Partner Stage”.

Pada tahap pertama (The Own Agenda Stage) anak biasanya merasa tidak bergantung pada orang lain, ingin melakukan sesuatu sendiri. Anak kurang berinteraksi dengan orang tua dan hampir tidak pernah berinteraksi dengan anak lain. Anak juga melihat atau meraih benda yang dikehendaki. Anak tidak berkomunikasi dengan orang lain dan bermain dengan cara yang tidak lazim. Anak juga membuat suara untuk menenangkan diri, menangis atau menjerit untuk menyatakan protes. Anak suka tersenyum dan tertawa sendiri. Anak pada tahap ini hampir tidak mengerti kata-kata yang kita ucapkan.

Pada tahap kedua (The Requester Stage), anak mulai dapat berinteraksi walaupun dengan singkat. Anak menggunakan suara atau mengulang beberapa kata untuk menenangkan diri atau memfokuskan diri. Anak meraih yang dia mau atau menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu. Anak kadang-kadang mengerti perintah keluarga dan tahap-tahap kegiatan rutin di keluarga.

Pada tahap ketiga (The Early Communicator Stage) anak dapat berinteraksi dengan orang tua dan orang yang dikenal. Anak ingin mengulang permainan dan bisa bermain dalam jangka waktu lama. Anak meminta meneruskan permainan fisik yang disukai dengan menggunakan gerakan yang sama, suara, dan kata setiap anda main. Kadang-kadang anak meminta atau merespon dengan mengulang kata yang diucapkan orang lain (echolali). Anak juga dapat meminta sesuatu dengan menggunakan gambar, gerak tubuh, atau kata. Anak mulai dapat memprotes atau menolak sesuatu dengan menggunakan gerak, suara, kata yang sama. Anak pada tahap ini dapat mengerti kalimat sederhana atau kalimat yang sering digunakan, mengerti nama benda atau nama orang yang sehari-hari ditemui, dapat mengatakan “hai” dan “dadah”, dapat menjawab pertanyaan dengan mengatakan ya/tidak, dan dapat menjawab pertanyaan ‘apa itu?”

Pada tahap yang paling tinggi yaitu “The Partner Stage”, anak dapat berinteraksi lebih lama dengan orang lain dan dapat bermain dengan anak lain. Anak juga

sudah dapat menggunakan kata-kata atau metode lain dalam berkomunikasi untuk meminta protes, setuju, menarik perhatian sesuatu, bertanya dan menjawab sesuatu. Anak juga dapat mulai menggunakan kata-kata atau metode lain untuk berbicara mengenai waktu lampau dan yang akan datang, menyatakan keinginannya dan meminta sesuatu. Anak pada tahap ini sudah dapat membuat kalimat sendiri dan melakukan percakapan pendek. Kadang-kadang anak mengulanginya membetulkan kalimat yang dikatakannya ketika orang lain tidak mengerti. Anak pada tahap ini sudah lebih banyak mengerti perbendaharaan kata- kata. Tetapi pada tahap Partner Stage ini, anak masih punya kesulitan dalam berkomunikasi. Umpamanya anak berhenti bermain dengan anak lain bila tidak mengetahui yang harus dilakukan, seperti dalam pemainan imajiner yang mengandung banyak pembicaraan atau bermain pura-pura. Anak juga akan

menggunakan echolali (menirukan perkataan orang lain) bila dia tidak mengerti perkataan orang lain atau bila dia tidak dapat membuat kalimat. Anak pada tahap akhir ini masih mengalami kesulitan dalam mengikuti percakapan. Cara mengatasi kesulitan ini adalah dengan merespon orang dengan berinisiatif bercakap-cakap sendiri, berusaha bercakap-cakap dengan topik yang disukai. Anak mungkin melakukan kesalahan tata bahasa terutama kata ganti, sepeti kamu, saya, dia. Anak akan bingung bila percakapan terlalu rumit atau orang tidak berkata langsung padanya. Anak juga dapat mengalami kesulitan dengan aturan percakapan. Anak tidak tahu bagaimana memulai dan mengakhiri percakapan, tidak mendengar perkataan orang lain, tidak bisa fokus pada satu topik, tidak berusaha mengklarifikasi perkataan yang tidak dimengerti orang dan memberi terlalu sedikit detail atau terlalu banyak detail. Anak mungkin tidak paham isyarat sosial yang diberikan orang lain melalui ekspresi wajah atau bahasa tubuh dan tidak mengerti humor atau permainan kata-kata.

2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Komunikasi Interpersonal Anak Autis

Menurut Ekawati dan Yustina (2012) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan komunikasi pada anak autis diantaranya terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat sebagai berikut:

a. Faktor Pendukung

1) Penerimaan orang tua Brill (dalam Sunarto & Rusyiyah, 2003) menyatakan bahwa emosi dan perasaan- perasaan shock, putus asa, marah, rasa bersalah, benci, duka cita, takut, malu akan muncul pada saat orangtua menerima hasil diagnosis anaknya. Akan tetapi, perasaan kaget dan tidak percaya itu tidak bertahan lama. Terdapat tiga tahap penyesuaian yang dilakukan orangtua pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pada tahap pertama, orangtua akan mengalami suatu periode krisis emosional yang tampak dalam bentuk keterkejutan, penyangkalan, dan ketidak percayaan. Setelah itu pada tahap kedua orangtua akan memberikan reaksi yang diikuti oleh suatu periode disorganisasi emosional yang meliputi pergantian antara 1) Penerimaan orang tua Brill (dalam Sunarto & Rusyiyah, 2003) menyatakan bahwa emosi dan perasaan- perasaan shock, putus asa, marah, rasa bersalah, benci, duka cita, takut, malu akan muncul pada saat orangtua menerima hasil diagnosis anaknya. Akan tetapi, perasaan kaget dan tidak percaya itu tidak bertahan lama. Terdapat tiga tahap penyesuaian yang dilakukan orangtua pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pada tahap pertama, orangtua akan mengalami suatu periode krisis emosional yang tampak dalam bentuk keterkejutan, penyangkalan, dan ketidak percayaan. Setelah itu pada tahap kedua orangtua akan memberikan reaksi yang diikuti oleh suatu periode disorganisasi emosional yang meliputi pergantian antara

2) Dukungan sosial Hobfaal dan Stokes (dalam Sarason, Pierce & Sarason. 1990) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah hubungan sosial yang memberikan bantuan nyata atau perasaan kasih sayang kepada individu atau perlakuan yang dirasakan oleh individu sebagai perhatian atau cinta. Dengan adanya dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan, perkembangan komunikasi anak autis semakin optimal dan anak akan merasa usahanya dihargai oleh keluarga serta lingkungannya, sehingga tidak merasa takut untuk mencoba melakukan interaksi dengan orang lain (Ekawati & Yustina, 2012). Dukungan dari orangtua kepada anak diyakini memiliki efek terapeutik tersendiri bagi anak dalam masa penyembuhannya, tak terkecuali pada anak penyandang autis (Wijayakusuma, 2004). Dukungan sosial yang diberikan berupa dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosi dan dukungan penghargaan (Friedman, 2010). Menurut Friedman (2010), dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda dalam berbagai tahap siklus kehidupan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi, disamping itu pengaruh positif dukungan keluarga adalah penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh stress.

3) Metode pengajaran pra-klasikal Perkembangan komunikasi, interaksi, dan motoriknya, lebih terlihat saat anak autis mendapatkan pengajaran dengan metode pra-classical. Anak autis menjadi lebih mengenal dan dapat bersosialisasi dengan teman-teman dan guru-gurunya. Anak autis mampu memberikan salam kepada guru saat masuk kelas, mampu menjawab pertanyaan yang diberikan guru di kelas, dan dapat bercanda dengan teman-temannya (Ekawati & Yustina, 2012). Hal ini sesuai dengan pernyataan Fasli (dalam Dieni, 2010), yang mengatakan bahwa anak yang menyandang autis digabungkan bersama-sama anak-anak normal lainnya justru lebih cepat kemajuannya, karena anak tersebut akan merasa tidak terasing dan bisa mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya.

b. Faktor Penghambat