STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh: Stephani Romaria Rinanti NIM: 07 9114 025 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Agustus 2012 .

  Peneliti, Stephani Romaria Rinanti

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Agustus 2012 .

  Peneliti, Stephani Romaria Rinanti

  

STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS

PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL

Stephani Romaria Rinanti

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman psikologis yang terjadi pada

pasangan dari penderita gagal ginjal. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana

makna pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Penelitian

dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis fenomenologi interpretatif. Subjek dalam

penelitian ini berjumlah empat orang. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi

terstruktur. Proses validasi yang digunakan adalah member checking, dimana data yang diperoleh

dapat dipercaya jika informan merasa bahwa data tersebut mampu menggambarkan realitas yang

dialami olehnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman psikologis pada pasangan dari

penderita gagal ginjal memiliki dua makna: 1) pengabdian hidup menuju pada kebahagiaan, 2)

penyerahan hidup kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu Tuhan. Makna tersebut menjadi tujuan

pengalaman menuju pemaknaan hidup yang positif. Kata Kunci: pengalaman psikologis, makna

  

THE PSYCHOLOGICAL EXPERIENCE OF THE SPOUSE FROM

CHRONIC RENAL FAILURE PATIENT: A PHENOMENOLOGICAL

STUDY

  

Stephani Romaria Rinanti

ABSTRACT

  This research aims to seek understanding of psychological experiences of the spouse from

chronic renal failure patient. The research question here is how is meaning of psychological

experience in the spouse from chronic renal failure patient. This study employed qualitative

method, interpretative phenomenology analysis. The subjects of this research are four. The data

gathering process was done through semi-structured interview. Data validation was done through

member checking, in which the acquired data is reliable when the subjects felt that the data

illustrate his/her experiences. Result of the research shows that the psychological experience of

the spouse from chronic renal failure patient had two meanings: 1) life devotion to gain happiness,

2) complete life surrender to a greater being, God. Those meanings become the goal experience

towards a positive interpretation of life.

  Key words : psychological experiences, meaning

  

HALAMAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma NAMA : STEPHANI ROMARIA RINANTI NIM : 079114025 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

Studi Fenomenologi: Pengalaman Psikologis

pada Pasangan dari Penderita Gagal Ginjal

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya

memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk

menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau

media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 31 Agustus 2012 Yang menyatakan, Stephani Romaria Rinanti

KATA PENGANTAR

  Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang

berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian peneliti terhadap kesehatan mental

dan kepribadian pada pasangan dari penderita Gagal Ginjal Kronis yang menjalani

Hemodialisa.

  Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai anak dari penderita gagal ginjal

yang mengalami pengalaman psikologisnya sendiri, peneliti berkeinginan untuk

melihat bagaimana fenomena pengalaman psikologis pada pasangan dari

penderita gagal ginjal. Penelitian ini juga merupakan sumbangsih ide dan

penerapan ilmu yang telah didapatkan bagi para pasangan dan keluarga penderita

gagal ginjal serta para medis yang berkaitan.

  Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang tinggi pada semua pihak

yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya sehingga

penelitian ini dapat terwujud dan mampu mewujudkan dirinya. Terima kasih

peneliti haturkan kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugrahNya peneliti mampu menyelesaikan salah satu proses kehidupan ini dengan baik.

  2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi USD beserta seluruh staff dosen, dan karyawan, yang telah memberikan banyak kesempatan, arahan, perhatian, pengalaman, dan dukungan kepada peneliti dalam memproses diri untuk menjadi lebih dari

  3. Ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas kesabaran, diskusi, masukan, dan persahabatan yang diberikan selama proses studi dan pembuatan penelitian ini.

  4. Bpk. V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji skripsi yang dengan sedia memberikan masukan serta kesempatan berdiskusi dalam penyelesaian studi dan penelitian ini.

  5. Ibu selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang mendukung dalam penyelesaian penelitian ini ke arah yang lebih baik.

  6. Bpk. De, Ibu Sri, Ibu Was, dan Ibu Dar, yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini. Peristiwa kehidupan menjadi suatu proses yang perlu dimaknai untuk bisa tetap bersyukur dan berjalan maju sehingga mampu menjadi manfaat bagi kehidupan bersama.

  7. F.A. Soedarta dan Lusia Partidarmanastiti, orang tua yang selalu memberikan pengalaman, dukungan, doa, dan cara pandang yang berbeda sehingga membuat peneliti mampu melihat lebih jelas arti kehidupan ini.

  8. Daniel Nurindra Adi, seorang kakak yang mampu memberikan perhatian terbaik supaya peneliti mau dan mampu kembali melihat ke dalam diri sendiri sebelum melakukan sesuatu supaya menghasilkan manfaat yang bermakna.

9. Keluarga besar, yang selama ini menjadi salah satu sumber semangat tersendiri bagi peneliti.

  10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007, yang telah banyak memberikan dinamika kehidupan di balik tembok Fakultas Psikologi USD. Tanpa kesediaanmu, menjadi bagian di dalamnya tak akan pernah bisa berarti.

  11. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, yang membantu peneliti untuk menyelesaikan studi, skripsi, dan menjalani kehidupan ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan sebagai gambaran ide tidak

akan bisa dimaknai tanpa adanya tujuan yang bermanfaat. Secara sadar peneliti

merasa bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun akan dengan senang hati diterima demi kepatutan karya

tulis ini. Terima Kasih.

  Yogyakarta,

  31 Agustus 2012 Peneliti, Stephani Romaria Rinanti

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

  …………..….. ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................... v ABSTRACT .................................................................................................. vi HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

  ………. vii KATA PENGANTAR ................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv

DAFTAR SKEMA ...................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................. 8 C.

  Tujuan Penelitian .................................................................... 8 D.

  Manfaat Penelitian ................................................................. 8

  BAB II. KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 10 A. Penderita Gagal Ginjal ... ...................................................... 10 1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal ................................. 10 2. Perubahan yang terjadi pada Penderita Gagal Ginjal .... 11

  B.

  Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis…….. 14 C. Pertanyaan Penelitian ............................................................. 20

  

BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 22

A. Jenis Penelitian ....................................................................... 22 B. Fokus Penelitian .................................................................... 22 C. Subjek Penelitian .................................................................. 23 D. Metode Pengumpulan Data ................................................... 24 E. Metode Analisis Data ......................................................... 26 F. Kredibilitas Penelitian .......................................................... 28 G. Kode Etik Penelitian ............................................................ 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 31

A. Kemungkinan Partisipatisasi (Bias) Peneliti ........................... 31 B. Profil Subjek ........................................................................... 32 1. Subjek 1 ………………………………………………... 32 2. Subjek 2 ……………………………………………….. 34 3. Subjek 3 ……………………………………………….. 37 4. Subjek 4 ………………………………………………. . 38 C. Hasil Penelitian .................................................................... 41 1. Sikap ketika awal sakit penderita ……………………… 42 2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ……………. 47 3. Makna hidup pengalaman ………………………………. 51 D. Pembahasan ............................................................................ 60 1. Sikap ketika awal sakit penderita ………………………. 60

  2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ………......... 67 3.

  Makna hidup pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita g agal ginjal ……………… 69

  

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 74

A. Kesimpulan ............................................................................ 74 B. Saran ...................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 77

LAMPIRAN ................................................................................................ 80

  DAFTAR TABEL Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ……………………………….. 26

Tabel 2 Rangkuman Deskripsi Informan ................................................... 40

Tabel 3 Jadwal Wawancara .................................................................... 41

Tabel 4 Rangkuman Tema Utama …….…….......................................... 57

DAFTAR SKEMA

  Skema 1. Pengalaman Psikologis pada Pasangan dari Penderita Gagal Ginjal ...................................... 73

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Informed Concern ………………......................................... 81

Lampiran 2 Verbatim Wawancara Informan 1: Pak De .............................. 82

Lampiran 3 Tabel Tema Utama Informan 1: Pak De.................................... 92

Lampiran 4 Tabel Tema Utama Informan 2: Bu Sri ..................................... 94

Lampiran 5 Tabel Tema Utama Informan 3: Bu Was .................................. 96

Lampiran 6 Tabel Tema Utama Informan 4: Bu Dar ................................ 98

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit kronis. Penyakit kronis

  merupakan keadaan sakit yang berlangsung selama 12 bulan atau lebih dan membutuhkan perawatan intensif baik di rumah sakit maupun di rumah, beberapa di antaranya dapat menimbulkan keterbatasan serta ketidakmampuan pada penderita (JAMA dalam Aritonang, 2008). Sedangkan gagal ginjal adalah sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi dengan sempurna bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal penyaringan dan pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urine (Colvy, 2010). Selain itu, gagal ginjal juga tidak dapat disembuhkan sehingga untuk mempertahankan hidupnya penderita perlu melakukan terapi pengganti fungsi ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD).

  Saat ini, kasus gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya masih terbilang tinggi, pasalnya masih banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga pola makan dan kesehatan tubuhnya. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD. KGH. (dalam Penyakit Gagal Ginjal Menjadi Pembunuh Masaal, 2011) mengungkapkan berdasarkan data WHO diketahui bahwa pada tahun 2000 hanya 1,1 juta pasien cuci darah, sedangkan pada 2010 sudah mencapai 2,1 juta orang.

  Iskandarsyah (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa

penderita gagal ginjal memiliki permasalahan yang cukup serius dari segi fisik

dan psikis sebagai akibat dari penyakit yang dideritanya. Perubahan fisik yang

dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak berfungsinya ginjal

dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh penderita juga

mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang mudah rapuh dan

penurunan masa otot (Iskandarsyah, 2006). Keluhan fisik lain yang sering

dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal, perut

buncit karena urine tidak bisa keluar, mual, perut buncit, kurang gizi, dan tidak

nafsu makan.

  Perubahan psikologis yang dialami oleh penderita gagal ginjal

biasanya berawal dari perasaan tidak terima terhadap kenyataan bahwa dirinya

divonis menderita gagal ginjal. Hal ini mengakibatkan munculnya perasaan-

perasaan lain dalam diri penderita seperti cemas dan takut akan perubahan pola

hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri dan putus asa

karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan orang lain serta tidak

adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya rasa kecewa dan marah

karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua perasaan ini memuncak dan

akhirnya dapat memicu terjadinya depresi pada penderita gagal ginjal.

  Depresi yang dialami oleh penderita mengakibatkan munculnya

tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan penderita. Tuntutan-tuntutan ini

merupakan bentuk dari salah satu simtom mengenai depresi yaitu simtom

motivasional yang menjelaskan bahwa para penderita depresi memiliki

  

keinginan untuk mendapatkan perhatian, bantuan, bimbingan, dan arahan dari

orang lain meskipun nyatanya penderita berusaha menarik diri dari lingkungan

sosial (Beck dalam Iskandarsyah, 2006). Pemenuhan akan kebutuhan-

kebutuhan tersebut hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang merupakan

kumpulan orang terdekat dari penderita. Dengan demikian, ternyata dampak

dari penyakit gagal ginjal tersebut tidak hanya dialami oleh penderita, tetapi

dialami juga oleh anggota keluarga yang mendampingi maupun memberikan

perawatan (Berk dalam Widiastuti, 2009).

  Lubis (2011) mengatakan bahwa penderita gagal ginjal bukan saja

orang dewasa berusia 40 tahun keatas melainkan ada yang berusia 25 tahun.

  

Usia penderita pada kisaran tersebut memiliki kemungkinan bahwa penderita

sudah menikah dan memiliki pasangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2008), pasangan berarti pelengkap bagi yang lain sedangkan pasangan hidup

berarti suami atau istri. Pasangan adalah anggota keluarga yang paling dekat,

sehingga dampak depresi dari penderita gagal ginjal juga dirasakan secara jelas

oleh pasangan dari penderita. Hal ini dapat terjadi karena dalam hubungan

perkawinan, pasangan yang berkeluarga memiliki dua ikatan yaitu ikatan lahir

dan ikatan batin (Walgito, 2010).

  Ikatan lahir dipahami sebagai ikatan berdasarkan hal-hal yang

nampak seperti peraturan-peraturan sehingga bersifat mengikat. Ikatan batin

dipahami sebagai ikatan yang tidak nampak dan lebih dikenal dengan ikatan

psikologis. Ikatan batin lebih didasarkan pada perasaan cinta, ketulusan, dan

penerimaan satu dengan yang lain. Ikatan batin inilah yang secara tidak

  

langsung memberikan suatu hubungan dimana setiap pasangan dapat

merasakan satu sama lain, bahkan dalam hal merasakan penderitaan dan

kesadaran akan adanya tanggungjawab sebagai seorang pasangan untuk

memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Pada akhirnya kemampuan untuk

berempati dan kesadaran akan tanggungjawab memunculkan beban dalam diri

pasangan.

  Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang

menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman

secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Pasaribu (2008)

mengatakan bahwa perasaan terbebani muncul karena adanya kesadaran bahwa

penyakit tersebut akan merepotkan, terlebih bagi keluarga yang masih

membutuhkan tenaga dan pikiran penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno

(dalam Pasaribu, 2008) yang mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani

karena adanya biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan

penderita tersebut. Bakas, Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu,

2008) mengatakan juga bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita

cenderung tidak siap dengan perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat

seseorang yang memiliki ketidakmampuan fisik.

  Hal serupa nampak pada pengalaman ST yang didapatkan melalui anaknya pada sebuah pertemuan di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta.

  “Saya kasihan lihat Ibu, Mbak. Ibu sering ngeluh kalau ibu capek karena Bapak itu sekarang rewel. Sedikit-sedikit marah, apalagi kalau ngga dipenuhin keinginannya. Udah gitu, Bapak juga sekarang kan jadi banyak perubahan, ya yang cepet capek, lalu ngga bisa lagi mandi malam, harus pakai air anget, maem juga ngga

  juga kan kerja, jadi mau ngga mau ya Ibu habis pulang kerja langsung tetep ngurus Bapak. Sedangkan kakak udah kerja di luar kota, adek saya masih SMP, dan saya sendiri kuliah jadi ya ngga bisa selalu bantuin Ibu . Ibu sering pesen ke kita-kita buat bisa mandiri dan berusaha ngga nambahin masalah, karena Bapak udah bikin Ibu cukup bingung dan sedih,

  ” (anak ST, 2010).

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya beban tambahan yang dialami oleh

ST. Di sini, ST memiliki tugas tambahan yaitu tetap menjalankan pekerjaan

sehari-hari lalu berusaha memenuhi kebutuhan suaminya yang menderita gagal

ginjal. Kebutuhan ini bisa termasuk tuntutan-tuntutan yang muncul dari

penderita ataupun kebutuhan dari perubahan fisik yang terjadi pada penderita.

Selain itu, dijelaskan bahwa ST sering merasakan kesedihan karena ikut

merasakan penderitaan yang dirasakan oleh sang suami, seperti perubahan pola

hidup yang tidak lagi sekuat dulu. Kesedihan ini secara tidak langsung

membuat ST mengalami kebingungan dan kerepotan sehingga sedikit meminta

anak-anaknya untuk bisa mandiri dan tidak lagi menambahkan beban sehingga

ST tidak tambah tertekan.

  Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) menambahkan bahwa

pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita penyakit

kronis memiliki tantangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian diri. Hal

ini dapat dijelaskan melalui penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang

mengatakan bahwa pasangan mengambil tanggung jawab penuh terhadap

penderita sehingga kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua

setelah kehidupan penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya

kebingungan pada salah satu wawancara yang secara tidak sengaja dilakukan

  

oleh peneliti sekitar pertengahan bulan Februari tahun 2011 di salah satu

Rumah Sakit di Yogyakarta.

  “Saya bingung mbak harus bagaimana dengan istri saya. Dia itu kalau di rumah sekarang rewel dan marah-marah. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, dia marah padahal kondisi tidak memungkinkan untuk memenuhi keinginannya. Jadi, terkadang saya bingung harus bagaimana. Saya ingin membuat istri saya senang dan nyaman, tapi ada tuntutan lain di luar yang sebenarnya istri saya sudah tahu akan hal itu, misalnya pekerjaan saya

  ,” (DK, 2010).

Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa sang istri sebagai

penderita gagal ginjal mengalami perubahan perilaku, yaitu sering marah dan

rewel jika keinginannya tidak terpenuhi. DK yang merupakan pasangan dan

orang terdekat dengan penderita merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan

istrinya. Dalam usaha memenuhi kebutuhan sang istri DK cukup mengalami

kebingungan. Hal ini terjadi karena DK juga memiliki tuntutan yang lain, yaitu

pekerjaan rutin yang menjadi tanggungjawabnya. Tuntutan istri yang meminta

DK untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya menyebabkan DK mengalami

kebingungan bagaimana harus bersikap terhadap sang istri, dirinya sendiri, dan

tuntutan-tuntutan lain yang juga berhubungan dengan kebutuhan keluarganya.

Sehingga DK menjadi lebih labil dan tertekan.

  Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya membuat individu merasa gelisah karena tidak siap untuk menghadapinya. Hal ini bisa mengakibatkan pasangan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan (Cavanaugh dan Blanchard dalam Pasaribu, 2008).

  Sedangkan menurut Saravino (dalam Widiastuti, 2009), stress yang dialami oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa memunculkan tingkat kematian.

  Fenomena-fenomena dalam pengalaman pasangan menghadapi kenyataan tersebut menunjukkan adanya perasaan terancam akan diri pasangan. Hal ini dikarenakan pasangan tidak mampu melihat dan memahami realitas secara utuh. Dalam hal ini, individu membutuhkan makna dari pengalamannya sehingga mampu memproses diri untuk menjadi lebih baik dalam pengalaman yang terjadi. Dengan demikian, makna menjadi modal bagi individu untuk mampu memproses dirinya menjadi pribadi yang utuh menuju pada pemaknaan hidup yang positif. Makna juga dimengerti sebagai tujuan hidup yang perlu dicari karena menyebabkan kehidupan menjadi lebih berarti dan berharga (Bastaman, 1996).

  Berdasarkan pada penggambaran tersebut maka peneliti merasa bahwa proses pengalaman pasangan perlu dieksplorasi untuk menemukan makna dari pengalaman yang terjadi. Segala gejala psikologis yang muncul pada pasangan akan mengarahkan pasangan pada tujuan hidup. Makna yang ditemukan menyebabkan individu terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Berdasarkan pada hal-hal tersebut, peneliti merasa penting untuk melihat bagaimana makna pada pasangan dari penderita gagal ginjal, bagaimana mereka berproses hingga menemukan makna menuju pada kondisi kehidupan yang membahagiakan.

  B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana makna pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal?

  C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal dalam mencapai pemaknaan hidup yang positif.

  D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:

  1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dibidang psikologi khususnya psikologi kesehatan dalam memberikan gambaran akan makna pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Hal ini bertujuan supaya psikologi kesehatan mampu memahami makna dari pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal sehingga bisa membantu pasangan dari penderita gagal ginjal atau penyakit kronis lain untuk mampu melihat realitas secara utuh dan mampu menentukan sikap yang tepat pada realitasnya yang sedang terjadi.

2. Manfaat Praktis

  2.1.Penelitian ini bermanfaat bagi pasangan penderita penyakit gagal ginjal atau penyakit kronis lain dan keluarga penderita untuk memahami tentang makna pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal, sehingga para pasangan mampu saling belajar dan berbagi pengalaman serta mampu mengusahakan pemaknaan hidup yang positif dalam diri untuk melihat realitas secara lebih utuh.

  2.2.Penelitian ini juga membantu pihak medis dan psikolog kesehatan untuk mampu memberikan bantuan atau tindakan yang tepat kepada pasangan dari penderita penyakit gagal ginjal atau penyakit kronis yang lain berkaitan dengan makna pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penderita Gagal Ginjal 1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat penting karena

  memainkan peran kunci dalam tubuh (Colvy, 2010). Ginjal tidak hanya berfungsi sebagai penyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun ginjal juga memiliki peran dalam menyeimbangkan elektrolit dalam tubuh seperti sodium, potassium, dan asam-basa, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi sel-sel darah merah (Colvy, 2010). Kerusakan atau gangguan pada ginjal akan menimbulkan permasalahan pada fungsi ginjal sehingga berakibat buruk pada daya tahan tubuh. Akibatnya, kinerja tubuh mengalami penurunan seperti mudah lelah, lemas, dan bisa mengakibatkan penyakit tertentu bahkan penyakit kronis. Salah satu penyakit kerusakan ginjal yang saat ini banyak diderita adalah gagal ginjal.

  Dalam bukunya, Colvy (2010) mengatakan bahwa gagal ginjal merupakan sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi dengan sempurna bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urine.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4, 2008), penderita diartikan sebagai orang yang menderita (kesusahan, sakit, cacat, dsb).

  Sehingga penderita gagal ginjal dapat dimengerti sebagai orang yang mengalami sakit gagal ginjal dimana fungsi organ ginjalnya tidak berfungsi dengan sempurna.

2. Perubahan yang terjadi pada Penderita Gagal Ginjal

  Penyakit gagal ginjal memberikan masa-masa yang sulit bagi penderitanya. Dalam penelitiannya, Yana (2011) menjelaskan bahwa gagal ginjal bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan sehingga penderitanya perlu mempertahankan hidup dengan melakukan terapi pengganti fungsi ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD). Hal ini didukung oleh Colvy (2010) yang menjelaskan bahwa hemodialisa adalah terapi yang bertujuan menggantikan fungsi ginjal yaitu membuang zat sisa dan membuang kelebihan cairan dalam tubuh dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”. Proses hemodialisa ini dilakukan sebanyak 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dan setiap prosesnya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Proses yang lama serta adanya keharusan untuk melakukannya secara rutin tentu saja merupakan tekanan tersendiri bagi penderita gagal ginjal.

  Tekanan yang dialami oleh penderita gagal ginjal selama menjalani proses HD bisa mengakibatkan perubahan fisik dan psikologis dalam diri penderita sehingga memicu timbulnya permasalahan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Iskandarsyah (2006) menjelaskan bahwa perubahan fisik yang dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak berfungsinya ginjal dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh penderita juga mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang mudah rapuh dan penurunan masa otot. Keluhan fisik lain yang sering dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal, perut buncit karena urine tidak bisa keluar, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung demam dan menggigil.

  Penelitian Cengic, Resic, Spasovki, Avdic, dan Alajbegovic (2010) menyatakan bahwa hampir semua penderita gagal ginjal menderita gangguan tidur singkat. Gangguan tidur yang sering dialami adalah insomnia, terjadi pembalikan antara waktu tidur siang dan malam seperti kantuk yang berlebihan di siang hari, mimpi buruk, gangguan pernafasan sehingga mengakibatkan munculnya dengkuran di saat tidur. Selain itu, Suwitra (dalam Yana, 2011) menambahkan adanya komplikasi fisik yang jarang terjadi namun bisa sangat membahayakan nyawa penderita adalah kejang, emboli udara, tamponade jantung, serta pendarahan intrakranial.

  Yana (2011) menjelaskan bahwa perubahan psikologis yang dialami oleh penderita gagal ginjal biasanya dipicu dari perasaan tidak terima terhadap kenyataan bahwa dirinya divonis menderita gagal ginjal. Hal ini didukung oleh penelitian Iskandarsyah (2006) bahwa perasaan tidak terima terhadap kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya perasaan-perasaan lain dalam diri penderita seperti cemas dan takut akan perubahan pola hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri dan putus asa karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan orang lain serta tidak adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya rasa kecewa dan marah karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua perasaan ini memuncak dan akhirnya memicu terjadinya depresi pada penderita gagal ginjal.

  Depresi secara psikologis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4, 2008), dimengerti sebagai gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti muram, sedih, tertekan, kecewa, dll). Sedangkan arti depresi dalam Kamus Psikologi adalah suara hati yang dicirikan perasaan tidak nyaman, sebuah perasaan murung, sebuah punurunan di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme, kesedihan, dan simtom-simtom terkait (Reber dan Reber, 2010). Berdasarkan dua arti tersebut, maka depresi dapat disimpulkan sebagai gangguan jiwa atau suara hati seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot, tidak nyaman, sebuah perasaan murung, sebuah penurunan di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme, kesedihan, dan simtom- simtom terkait.

  Arti depresi memang memiliki kecenderungan-kecenderungan perilaku yang negatif, namun secara tidak langsung penderita yang mengalami depresi dalam hal ini adalah penderita gagal ginjal tenyata juga memiliki keinginan akan adanya motivasi. Hal ini nampak jelas pada salah satu simptom depresi yang dijabarkan oleh Beck (dalam Iskandarsyah,

  2006), yaitu simptom motivasional. Simptom ini menjelaskan bahwa para penderita depresi sangat berkeinginan untuk mendapatkan perhatian, bantuan, bimbingan, dan arahan dari orang lain meskipun nyatanya penderita berusaha menarik diri dari lingkungan sosial dan pola aktivitas yang rutin. Secara lebih ekstrim, mereka bisa menumbuhkan harapan positif dari harapan negatif, seperti “Saya adalah orang yang menderita,” menjadi “Saya paling menderita dan saya harus bahagia”. Akibat dari penarikan diri yang dilakukan pada lingkungan sosial, pola aktivitas yang rutin, keinginan dalam bentuk harapan positif yang berkelanjutan secara otomatis membawa dampak pada orang-orang terdekat, dalam hal ini adalah keluarga. Berdasarkan data, Lubis (2011) menyatakan bahwa penderita gagal ginjal tidak saja orang dewasa berusia 40 tahun keatas melainkan ada yang berusia 25 tahun dan dengan usia demikian ada kemungkinan bahwa penderita sudah menikah. Hal ini menjelaskan bahwa orang terdekat yang lebih intens ditemui adalah pasangan dari si penderita. Sehingga kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari penderita tersebut menjadi tuntutan tersendiri bagi pasangannya dalam hal memenuhinya.

B. Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis

  Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Hal ini dikarenakan keluarga merasa cemas akan akibat dari efek penyakit tersebut, baik terhadap penderita maupun bagi kehidupan keluarga. Muliadinata dan Partasari (2007) mengatakan bahwa penelitian terhadap keluarga dari penderita penyakit kronis masih jarang ditemukan, padahal keluargapun merasakan beban yang sama beratnya dengan yang dirasakan oleh penderita. Beban ini diawali oleh adanya kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga menderita penyakit kronis. Selain itu, Pasaribu (2008) mengatakan bahwa perasaan terbebani muncul karena adanya kesadaran bahwa penyakit tersebut akan merepotkan, terlebih bagi keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno (dalam Pasaribu, 2008) yang mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani karena adanya biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan penderita tersebut. Bakas, Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu, 2008) juga mengatakan bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita cenderung tidak siap dengan perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat seseorang yang memiliki ketidakmampuan fisik.

  Perasaan cemas dan adanya beban dalam menghadapi kenyataan penderita yang sakit kronis akan mengakibatkan adanya ketidaksesuaian dalam diri pasangan. Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan bahwa pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita penyakit kronis memiliki tatangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian diri. Penelitian Ohman dan Soderberg (2004) juga mengatakan bahwa pasangan mengambil tanggung jawab penuh terhadap penderita sehingga kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua setelah kehidupan penderita.

  Hal ini juga dapat terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal karena gagal ginjal termasuk penyakit kronis. Penderita gagal ginjal mengalami perubahan secara fisik dan psikis. Perubahan tersebut memunculkan tuntutan-tuntutan kepada pasangan untuk dipenuhi. Pasangan sebagai anggota keluarga terdekat dan telah diikatkan dalam pernikahan merasa perlu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan penderita tersebut dan ingin membahagiakan penderita.

  Tanggungjawab baru pasangan tersebut dapat memicu munculnya berbagai dampak dalam proses perawatan atau pendampingan penderita.

  Cavanaugh dan Blanchard (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan bahwa pasangan yang merawat akan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan. Sedangkan menurut Saravino (dalam Widiastuti, 2009), stress yang dialami oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa memunculkan tingkat kematian. Meski demikian, Levinas (dalam Ohman & Soderberg, 2004) menegaskan bahwa manusia tidak akan bisa melepaskan diri dari tanggung jawab karena tidak ada yang bisa menggantikan tempat manusia tersebut. Kenyataan ini dapat mengakibatkan munculnya inkongruensi dalam diri pasangan.

  Inkongruensi dimengerti sebagai tidak adanya kesesuaian yang baik antara diri riil (real self) dengan diri ideal (ideal self). Diri riil di sini dimengerti sebagai keadaan “diri” sebagaimana adanya jika sesuatunya berjalan dengan baik (Rogers dalam Boeree, 2006). Sedangkan diri ideal dimengerti sebagai pandangan seseorang atas dirinya berdasarkan syarat- syarat dan kepatuhan yang ada di luar dirinya, misalnya keinginan masyarakat (Rogers dalam Boeree, 2006). Rogers (dalam Gari dan Azizi, 1998) mengatakan bahwa inkongruensi merupakan indikasi ketidakpuasan, gangguan ambiguitas, dan kebingungan dalam diri seseorang. Inkongruensi merupakan bentukan dari manusia yang tidak sehat atau manusia yang bermasalah. Hal ini menunjukkan adanya kondisi yang tidak seimbang dimana pasangan tidak siap menerima kenyataan yang terjadi dengan segala aktivitas baru yang menyertainya sebagai rutinitas pasangan.

  DesRosier, Catanzaro, and Piller, O’Brien, Robinson, and Scholte op Reimer, de Haan, Rijinders, Limburg, and van den Bos (dalam Cheung & Hocking, 2004) menyatakan bahwa para pasangan yang menjadi perawat bagi pasangannya yang menderita penyakit kronis merasa bahwa mereka kehilangan waktu untuk diri mereka sendiri, kehilangan gaya hidup, dan kehilangan hubungan sosial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang mengatakan bahwa pasangan merasa memiliki hidup yang kering. Mereka tidak bisa lagi merasakan sukacita yang timbul dari hubungan sosial dengan teman dan kegiatan mereka karena kebebasan mereka mulai terbatas.

  Hal ini sesuai dengan Rogers (dalam Info Seputar Skripsi, 2011) yang berpendapat bahwa manusia akan merasa gelisah ketika diri riil mereka terancam. Selain itu, Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa individu memiliki diri riil yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya mengakibatkan individu merasa gelisah karena tidak siap untuk menghadapinya.

  Kegelisahan ini secara tidak langsung dapat memunculkan depresi dan kebingungan pada diri pasangan penderita gagal ginjal. Rogers (dalam Boeree, 2006) mengatakan bahwa jika seseorang mengalami inkongruensi maka dirinya berada pada situasi yang mengancam. Kondisi mengancam ini akan membawa seseorang pada kecemasan. Kecemasan adalah kondisi yang tidak menyenangkan atau adanya tekanan dari suatu sumber yang tidak diketahui (Rogers dalam Feist dan Feist, 2010). Hal ini terjadi karena pasangan belum memahami realitas yang terjadi secara utuh.