Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

STUDI DESKRIPTIF

MENGENAI DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA PADA ANAK

PEREMPUAN AKHIR USIA SEKOLAH

Skripsi

  

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

Anastasia Reni Widiastuti

NIM : 059114044

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012

  

Di dalam keputusasaan masih terselip satu pengharapan, jadi jangan

pernah menyerah, sekecil apapun kesempatan itu gunakanlah dengan

baik. Karena tangan Tuhan akan selalu bekerja bagi umatNya yang

berusaha.........

  

Skripsi ini, kupersembahkan untuk orang-orang yang kucintai.

  Khususnya bagi : Bapakku R. Subandi

  Ibuku Agnes Maria Tugijem Kakakku Yustina Erna W beserta keponakanku

  Kakakku Yulius Ari B Tunanganku Antonius Agus T

  Dan semua sahabat dan teman-temanku yang dengan tulus selalu menyayangi dan mendukungku

  Motto Selalu percaya dan yakin akan sabda Tuhan : Mintalah akan Kuberi Ketuklah maka pintu akan Kubukakan, Percayalah maka kau akan selamat............

  Karya Tuhan indah pada waktuNya................................ Semangat.................

  

ABSTRACT

A DESCRIPTIVE STUDY ABOUT THE IMPACTS OF PARENTAL

DIVORCE TOWARDS FEMALE FOR LATE SCHOOL

Anastasia Reni Widiastuti

Sanata Dharma University

  

Yoyakarta

2012

  The aim of this research is to explain the impacts of divorce that may be experienced by children. The impacts of parental divorce are identified into five categories that are the impacts in cognitive aspect, emotional aspect, physical aspect, relationship with family, and social relationship with other children.

  The research type is a descriptive study with qualitative method. There are three people as the subjects of this research. Data gathering in this research uses interview with open-ended questions. Furthermore, data analysis uses verbatim process, and then continued with data organizing, coding, interpreting, and checking the validity of data using confirm technique.

  Parental divorce affects children development. The result of this research is; on the subject of NN appear the impacts in the aspects of cognitive, emotional, physical, family relationship-especially with the father, and on the aspect of social relationship-especially in school. On the subject of St, the impacts appear on the aspects of emotional, physical, and family relationship especially with the mother, while the impacts of cognitive aspect and social aspect do not appear. The last one, on the subject of Vi, the impacts almost do not appear in all aspects, so it is lighter than two other subjects.

  Keywords: impact, divorce, parents, female, late elementary school

  

ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DAMPAK PERCERAIAN ORANG

TUA PADA ANAK PEREMPUAN AKHIR USIA SEKOLAH

Anastasia Reni Widiastuti

Universitas Sanata Dharma

  

Yoyakarta

2012

  Tujuan dari penelitian ini adalah: memaparkan dampak perceraian yang muncul pada anak. Pada penelitian ini dampak perceraian orang tua yang dikelompokkan ke dalam lima aspek perkembangan anak yaitu pada aspek kognitif, aspek emosi, aspek fisik, aspek relasi dengan keluarga dan aspek relasi anak dengan teman sebaya.

  Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif dengan metode kualitatif. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah tiga orang. Pengambilan data dalam penelitian ini dengan wawancara pedoman semi terstruktur. Analisis data dilakukan dengan proses verbatim, kemudian dilanjutkan dengan, pengorganisasian data, mengkoding data, dan interpretasi, kemudian memeriksa keabsahan data dengan strategi konfirmabilitas.

  Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak perceraian pada ketiga subyek berbeda. Dari ketiga subyek dampak negatif perceraian dirasakan paling berat oleh subyek pertama Nn dan subyek kedua St. Subyek Nn mengalami dampak negatif pada hampir semua aspek perkembangan sedangkan subyek St mengalami dampak negatif pada aspek fisik dan emosi. Dampak negatif pada kedua subyek dapat dikaitkan dengan masalah perubahan relasi dengan orang tua. Sedangkan pada subyek ketiga Vi dampak negatif dari perceraian tidak dirasakan, yang melindungi subyek dari dampak negatif adalah terpenuhinya unsur afeksi dari kedua orang tua.

  

Kata kunci: dampak, perceraian, orang tua, perempuan, akhir usia sekolah

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iv HALAMAN MOTTO .............................................................................. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................. vi ABSTRAK ................................................................................................ vii ABSTRACT .............................................................................................. viii KATA PENGANTAR .............................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL .................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ......................................................................

  1 A. Latar Belakang ........................................................................

  1 B. Tujuan Penelitian .....................................................................

  5 D. Manfaat Penelitian ..................................................................

  5 BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................

  6 A. Keluarga dan Perceraian ........................................................

  6 1. Pengertian dan Fungsi Keluarga ........................................

  6 2. Batasan dan Konsekuensi Legal Perceraian .......................

  7 B. Akhir Usia Anak- Anak………………………………………

  8 1. Batasan Akhir Usia Anak-Anak .........................................

  8 2. Karakteristik Perkembangan Akhir Usia Anak-Anak ........

  9

  3. Akhir Usia Sekolah ............................................................

  13 C. Dampak Perceraian bagi Anak ............................................... 14 Skema Dampak Perceraian .....................................................

  18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..............................................

  19 A. Jenis dan Metode Penelitian ....................................................

  19 B. Fokus Penelitian ......................................................................

  19 C. Subyek Penelitian ....................................................................

  20 D. Metode Pengumpulan Data .....................................................

  20 E. Metode Analisis Data ..............................................................

  23 F. Keabsahan Data ......................................................................

  25 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................

  27 A. Pelaksanaan Penelitian ............................................................

  27 B. Hasil Penelitian …………………………………….............. 28 1. Hasil Penelitian Subyek Nn .............................................

  28 2. Hasil Penelitian Subyek St ...............................................

  35 3. Hasil Penelitian Subyek Vi .............................................

  41 C. Pembahasan ..........................................................................

  46 1. Dampak Perceraian per Subyek .......................................

  46 2. Dampak Perceraian Secara Umum ...................................

  50 BAB V PENUTUP ....................................................................................

  53 A. Kesimpulan ............................................................................

  53 B. Saran ........................................................................................

  53 1. Bagi Orang Tua .................................................................

  53

  2. Bagi Peneliti .....................................................................

  54 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

  55 LAMPIRAN ...............................................................................................

  58

  

DAFTAR TABEL

1.

   Tabel Panduan Wawancara 2. Tabel Pelaksanaan Penelitian 3. Tabel Identitas Orang tua Subyek 1-Nn 4. Tabel Identitas Orang tua Subyek 2-St 5. Tabel Identitas Orang tua Subyek 3-Vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari tahun ke tahun tingkat perceraian di Indonesia semakin

  meningkat. Jumlah perceraian di Indonesia mencapai angka yang fantastis pada setiap tahunnya, yaitu sebesar 200.000 pasangan. Angka ini merupakan rekor nomor satu untuk kawasan Asia Pasifik ( Suara Surabaya, 2009). Banyaknya kasus perceraian dapat dilihat secara nyata melalui tayangan televisi, khususnya yang terjadi di lingkungan selebriti. Perceraian juga terjadi di lingkungan masyarakat pada umumnya baik di perkotaan maupun di pedesaan, dari tingkat perekonomian yang mapan maupun yang kurang seperti halnya yang tercatat di pengadilan agama.

  Secara hukum perceraian membawa konsekuensi terkait dengan pembagian harta benda dan hak asuh anak (UU Perkawinan, 1974). Dengan demikian setelah perceraian, seluruh anggota keluarga, terutama anak, akan mengalami perubahan yang drastis dalam hidupnya. Kehadiran kedua orang tua tidak dapat dirasakan lagi seperti sebelumnya, dan kemungkinan anak akan terpisah dari saudara kandungnya karena pembagian hak asuh.

  Perubahan-perubahan paska orang tua bercerai tentu saja akan mengakibatkan dampak negatif secara psikologis. Lembaga Kajian Ilmiah Grahita Indonesia (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak dari keluarga yang bercerai hampir selalu mengalami guncangan psikis yang berdampak pada timbulnya perasaan dendam dan kemarahan. Kajian lebih jauh menunjukkan bahwa kemarahan anak dari keluarga yang bercerai ditujukan kepada ayah dan ibu mereka. Kondisi seperti ini akan terus berlanjut sampai anak menjadi dewasa. Beberapa kasus menunjukkan seorang anak perempuan menjadi begitu benci dengan ayah yang telah menceraikan ibunya. Bahkan dalam kasus tertentu, seorang perempuan bisa menjadi begitu benci dengan adik-adiknya paska perceraian orang tuanya . Hetherington (dalam Santrock, 1995) juga menyatakan bahwa sejak ayah atau ibu tidak lagi berperan aktif sebagai orang tua, muncul perasaan yang tidak menentu pada anak. Peristiwa perceraian dapat menimbulkan ketidakstabilan emosi, rasa cemas, tertekan dan perasaan marah. Selain itu menurut Santrock (1995), melihat orang tuanya berpisah anak juga bisa merasa marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, menjadi pembangkang, dan menjadi tidak sab aran”. Selain itu, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab orangtuanya bercerai.

  Santrock (1995) menambahkan bahwa sejumlah besar anak yang bertumbuh dalam keluarga yang bercerai, pada mulanya mengalami sres berat dan berisiko mengembangkan masalah perilaku. Anak menjadi menarik diri atau atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orang tuanya

  . Menurut O”Brien & Bahadur (dalam Santrock, 1995) anak bisa menjadi tidak percaya diri, harga diri anak bisa menurun. Apabila harga diri anak menjadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat besar maka anak bisa menjadi dendam pada orang tuanya, mengalami sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru hingga mereka bisa melakukan pemberontakan dalam skala kecil dan besar yang diwujudkan dengan perilaku agresi anak yang dilakukan dilingkungan sekolah dan rumah. Stack dalam Hymovich & Chamberlin (1980), keluhan fisik, sakit yang memburuk, dan masalah akademik juga dialami oleh anak yang mengalami stress akibat perceraian.

  Dari uraian di atas tampak bahwa dampak perceraian dapat mencakup berbagai aspek perkembangan anak. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengetahui secara lebih lengkap dampak apa saja yang dapat muncul pada anak paska perceraian orang tua.

  Penelitian tentang dampak perceraian pada anak cukup banyak ditemukan di Indonesia antara lain penelitian yang dilakukan oleh Alia (2010) pada anak sekolah dasar. Penelitian ini menunjukkan bahwa emosi yang muncul pada anak dari orang tua yang bercerai meliputi emosi sedih dan marah. Emosi sedih sering ditunjukkan dengan menangis sedangkan emosi marah sering ditunjukkan dengan tindakan kasar dengan menyakiti saudaranya. Dampak ini dapat merambah wilayah sosial, dimana anak tidak dapat menyesuiakan diri dengan lingkungan sosialnya atau mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Ilmiah Grahita Indonesia (2010) menemukan bahwa anak dari keluarga yang bercerai hampir selalu mengalami guncangan psikis yang berdampak pada timbulnya perasaan dendam dan kemarahan. Kajian lebih jauh menunjukkan bahwa kemarahan anak dari keluarga yang bercerai ditujukan kepada ayah dan ibu mereka. Kondisi seperti ini akan terus berlanjut sampai anak menjadi dewasa.

  Penelitian ini dilakukan pada anak perempuan di akhir usia sekolah. Di usia ini, yaitu mulai usia delapan tahun, anak-anak memiliki orientasi yang tinggi terhadap kelompok sebaya (Wenar & Kerig, 2000). Anak sering kali membandingkan dirinya dengan teman-temannya, anak mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman (Gunarsa, 2003). Pada usia ini, anak tidak suka dibandingkan dengan anak lain, yang dapat mengancam harga dirinya Oleh karena itu, perubahan struktur dalam keluarga yang diakibatkan perceraian dapat menjadi sumber kecemasan dan rasa rendah diri pada anak.

  Jenis kelamin perempuan dipilih karena anak perempuan memiliki kekhasan dalam hal emosi dibandingkan anak laki-laki. Menurut Sarni (dalam Santrock, 2002). Anak perempuan lebih cenderung mengekspresikan perilaku emosionalnya dalam hal-hal yang melibatkan relasi interpersonal. Anak perempuan lebih cenderung mengungkapkan ketakutan dan kesedihan dibandingkan anak laki-laki, khususnya ketika berkomunikasi dengan teman- teman dan keluarga. Dalam penelitian dari Lembaga Kajian Ilmiah Grahita Indonesia (2010) ditemukan suatu kasus seorang anak perempuan menjadi begitu benci dengan ayah yang telah menceraikan ibunya. Bahkan dalam kasus tertentu, seorang perempuan bisa menjadi begitu benci dengan adik- adiknya paska perceraian orang tuanya .

  B. Rumusan Masalah

  Apa saja dampak perceraian orang tua yang muncul pada anak perempuan di akhir usia sekolah?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari studi ini adalah untuk memaparkan dampak perceraian orang tua yang muncul pada anak perempuan di akhir usia sekolah.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi di bidang psikologi perkembangan anak atau psikologi konseling, khusunya mengenai dampak perceraian pada anak.

  2. Secara praktis hasil penelitian ini memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan anaknya.

BAB II TINJAUAN TEORITIS Keluarga dan Perceraian A.

  1. Pengertian dan Fungsi Keluarga Keluarga, dalam hal ini keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga batih terdapat suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak - anak yang belum menikah (Soekanto, 2009).

  Sebagai unit kegiatan terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai beberapa fungsi tertentu, diantaranya (Soekanto, 2004) : a. Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi pibadi yang menjadi anggota, dimana ketertiban dan ketentraman diharapkan dapat diperoleh didalam keluarga ini.

  b. Keluarga merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materi memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

  c. Keluarga merupakan tempat bagi anggota keluarga dalam menumbuhkan dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

  d. Keluarga merupakan tempat bagi anggota keluarga dalam mengalami proses sosialisasi awal, yaitu suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

  2. Batasan dan Konsekuensi Legal Perceraian Perceraian ialah berakhirnya hubungan sepasang suami istri secara sah sebelum kematian salah satu pasangan. Saat suami istri sudah tidak dapat melanjutkan kehidupan pernikahannya, kedua belah pihak, bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan melalui keputusan yang sah atau legal dari pengadilan agama. Perceraian merupakan alasan terakhir yang diambil pasangan suami istri jika tidak tersedia lagi jalan lain yang lebih bermanfaat dari mempertahankan rumah tangga yang telah dibangun.

  Akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami-istri tersebut (Pasal 41, UU Perkawinan, 1974). Selain itu perceraian juga berakibat pada diserahkannya hak asuh anak kepada salah satu orang tua saja (Pasal 1angka 1 UU Perlindungan Anak, 2002). Karuniawati (2008) mengungkapkan bahwa sekalipun perceraian dianggap sebagai salah satu cara penyelesaian, hal ini akan menimbulkan masalah baru baik bagi mantan suami istri yang bersangkutan maupun anak-anak (Suara Surabaya, 2009). Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh selama pernikahan seperti: rumah, mobil, perabotan atau kontrak, dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Secara otomatis dengan terbaginya konsentrasi tersebut perhatian orang tua terhadap anak menjadi terpecah, dengan kata lain anak menjadi kekurangan kasih sayang dari orang tua. Bagi anak perempuan yang tinggal bersama ayah yang bekerja paska perceraian akan mengalami kesulitan pada tahun kelima terkait dengan perkembangan sosio-emosional jika dibandingkan dengan anak perempuan lain yang hidup bersama orang tua yang utuh namun keduanya bekerja (Science Daily, 2011).

B. Anak Akhir Usia Sekolah

  Anak akhir usia sekolah berada di rentang akhir masa kanak-kanak

  1. Batasan Usia Akhir Anak-Anak Akhir masa kanak-kanak mencakup usia sembilan sampai sebelas tahun. Masa akhir anak-anak yaitu masa dimana anak memasuki usia sekolah dasar (Santrock, 1995). Di sekolah dasar kelompok usia sembilan hingga sebelas tahun termasuk dalam tingkatan kelas atas (Budiman,

  Pada masa usia ini anak berupaya semakin ingin mengenal dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya dimana anak mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman (Gunarsa, 2003). Daya pikir anak sudah berkembang ke arah berpikir konkrit dan logis. Anak mengalami tahap operasional konkrit, dimana anak mulai bepikir secara logis mengenai kejadian-kejadian konkrit

  (Piaget dalam Santrock, 1995) yang dilihatnya. Sehingga pada usia ini anak sudah dapat melihat dan merasakan kejadian konkrit terkait dengan perbedaan yang mungkin terjadi pada struktur keluarga. Pada usia ini motivasi, kontrol emosi, dan pembelajaran nilai sosial dari orang tua masih sangat diperlukan, mengingat anak pada usia pertengahan adalah masa anak untuk belajar dan meniru ajaran orang tua sebagai persiapan untuk hidup dan berelasi dengan lingkungan sosial.

  2. Karakteristik Perkembangan Usia Akhir Anak-Anak Anak usia akhir anak-anak mengalami perkembangan dalam berbagai aspek, diantaranya sebagai berikut : a. Perkembangan Emosi

  Pada usia akhir anak-anak, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidak diterima di masyarakat. Oleh karena itu dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol emosinya. Kemampuan anak mengontrol emosi diperoleh anak melalui meniru dan latihan. Dalam proses inilah, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosi sangat berpengaruh. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil maka perkembangan emosi anak juga cenderung akan stabil. Begitu pula sebaliknya anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dalam mengungkapkan emosi kurang stabil, maka akan membuat perkembangan emosi anak menjadi kurang stabil (Yusuf, 2008). Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan. (Santock, 1995). Selain itu, pada usia ini anak juga cenderung mempunyai keinginan untuk mendapatkan pujian dan perhatian dari teman sebaya ataupun orang tua.

  b. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik meliputi perkembangan anggota-anggota badan, jaringan urat dan psikomotorik. Periode masa pertengahan dan akhir anak-anak meliputi pertumbuhan yang lambat dan konsisten. Masa ini adalah suatu periode tenang sebelum partumbuhan yang stabil menjelang remaja (Santrock, 1995). Pada masa pertengahan berat badan anak bertambah lebih banyak daripada panjang badannya. Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan diharapkan anak menjadi lebih energik dibandingkan dengan usia dibawahnya (Monk, 2006). Apakah anak mengalami masalah dalam perkembangan fisik dan perkembangan otak banyak tergantung pada kesehatan anak.

  Masa kanak-kanak tengah dan akhir merupakan masa kesehatan yang prima. Penyakit dan kematian tidak terlalu sering dalam periode ini dibandingkan dengan masa kanak-kanak awal dan remaja (Santrock, 2007). Anak-anak dalam keadaan letih, lapar, dan kurang sehat, anak lebih mudah takut terhadap berbagai macam situasi yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa takut ( Hurlock, 1990).

  c. Perkembangan Kognitif Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, menjadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian (Yusuf, 2008). Pada masa usia akhir anak- anak, daya pikir anak sudah berkembang ke arah berpikir konkrit dan logis. Anak mengalami tahap operasional konkrit, dimana anak mulai bepikir secara logis mengenai kejadian-kejadian konkrit (Piaget dalam Santrock, 1995).

  Anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan kognitif.

  Pada usia ini, anak lebih banyak mengarahkan energinya untuk penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Dengan kata lain pada usia pertengahan anak mempunyai tugas perkembangan yang berkaitan dengan prestasi akademik seperti: menulis, membaca, dan berhitung ( Yusuf, 2008).

  d. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok, tradisi dan norma agama. Perkembangan sosial pada anak usia sekolah dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan. Disamping hubungan keluarga, anak juga mulai membentuk ikatan baru dengan kelompok teman sebaya atau teman sekolah sehingga pergaulan bertambah luas (Yusuf, 2008). Adanya perkembangan sosial yang baik diharapkan dapat membantu anak untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya ataupun lingkungan masyarakat yang luas.

  Menurut Erikson (dalam Santrock, 1995) pada usia akhir anak-anak, anak mengalami masa penguasaan versus rendah diri dimana pada usia enam tahun anak masih melakukan eksplorasi terhadap diri sendiri. Setelah melewati usia itu anak secara instingtif mulai melihat keluar dan perkembangannya mulai berhubungan dengan dunia luar. Pada usia enam tahun anak mulai ke dunia di luar rumah seperti sekolah dan tetangga. Dunia luar menjadi tempat untuk tumbuh terutama pada masa inilah anak baru benar-benar mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka dapat membentuk kelompok. Pada masa awal anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir masa kanak-kanak. Barker & Wright (dalam Santrock, 1995) mencatat bahwa pada usia empat tahun waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%, sedangkan anak usia tujuh tahun hingga sebelas tahun meluangkan waktu lebih dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. e. Keluarga bagi Usia Akhir Anak-Anak Keluarga sangat penting bagi anak, keluarga sebagai tempat untuk berlindung dan memperoleh kasih sayang. Peran keluarga sangatlah penting bagi perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologi maupun secara fisik. Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri dan tidak ada tempat untuk berlindung (Erna, 1999). Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir anak secara berangsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendaikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan orang tua mereka. Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada anaknya walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan koregulasi (Santrock, 1995).

  3. Akhir Usia Sekolah (sembilan sampai sebelas tahun) Di masa akhir usia sekolah, yaitu sekitar sembilan sampai sebelas tahun, atau sering disebut juga sebagai kelas atas anak semakin berupaya mengenal dirinya yaitu dengan membandingkan dirinya dengan teman

  Jika proses itu tanpa bimbingan, anak akan cenderung sukar sebaya. beradaptasi dengan lingkungannya

  (Makmun 1995, dalam Budiman

  .

  

  Pada usia ini anak memiliki orientasi yang tinggi terhadap

  kelompok sebaya. Anak akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok sebayanya tersebut (Wenar dan Kerig, 2000).

  Sugiyanto dan Sudjarwo 1992, (dalam Budiman

  menyatakan bahwa akhir usia sekolah anak memiliki sifat sosial yang dimiliki anak besar yaitu anak membenci kegagalan atau kesalahan, mudah bergembira dan memiliki kondisi emosional yang tidak stabil.

C. Dampak Perceraian bagi Anak

  Perceraian yang terjadi dalam keluarga membawa perubahan pada seluruh anggota keluarga. Pembagian harta dan hak asuh sebagai konsekuensi legal dari perceraian yang menyebabkan perubahan struktur dalam keluarga. Menurut Santrock (1995) perubahan struktur keluarga seperti tidak adanya ayah atau tidak adanya ibu merupakan perubahan yang dirasakan dan menimbulkan stres pada seorang anak. Kebanyakan anak-anak mengalami stres berat ketika orang tua bercerai, dan anak-anak ini berisiko mengembangkan masalah-masalah perilaku. Stack dalam Hymovich & Chamberln (1980), keluhan fisik, sakit yang memburuk, dan masalah akademik juga dialami oleh anak yang mengalami stress akibat perceraian.

  Penelitian longitudinal yang dilakuakan oleh Hetherington dan asosiasinya menunjukkan bahwa dampak terberat perceraian bagi anak adalah tahun pertama setelah perceraian. Pada periode ini muncul perilaku negatif pada anak yaitu agresi, perilaku mengganggu, dan ketidak patuhan. Pada tahun-tahun berikutnya dampak negatif menurun, terutama pada anak perempuan. Pada beberapa anak laki-laki dampak berlanjut hingga tahun keenam yaitu, selain agresi dan ketidakpatuhan, juga mengalami kesulitan akademik dan relasi yang buruk dengan teman sebaya ( Bukatko, 2008).

  Hetherington (dalam Santrock, 1995) menambahkan bahwa setelah perceraian anak menjadi seorang yang merasa kesepian, tidak bahagia, mengalami kecemasan dan perasaan tidak aman. Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat perceraian orang tua terjadi, ada kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup yang baru. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari ketenangan. Kelompok anak yang sudah menginjak usia yang lebih besar (lebih dari usia empat tahun) pada saat terjadinya kasus perceraian memberi reaksi lain. Kelompok anak ini tidak lagi meyalahkan diri sendiri, tetapi memiliki sedikit perasaan takut karena perubahan situasi keluarga dan merasa cemas karena ditinggalkan salah satu orang tua.

  Pada anak yang orang tuanya bercerai, dukungan dari orang tua untuk mengerti dan memahami keinginan anak dalam menguasai lingkungan dan melalui masa usia pertengahan, kurang atau tidak terpenuhi. Hal inilah yang menyebabkan anak mengalami hambatan dalam bersosialisasi dengan lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan teman sebaya (Erikson dalam Santrock, 1995).

  Menurut O’Brien dan Bahadur (dalam Santrock, 1995), perceraian orang tua dapat membuat anak menjadi tidak percaya diri. Harga diri anak bisa menurun. Apabila harga diri anak rendah dengan rasa marah pada orang tuanya, anak akan mengalami kesulitan dalam berdaptasi dengan lingkungan yang baru. Anak dapat melakukan pemberontakan dalam skala kecil dan besar yang diwujudkan dalam perilaku agresi, baik di rumah ataupun di sekolah. Dapat dikatakan bahwa perceraian jarang membawa kebaikan bagi anak. Ketidakhadiran salah satu orang tua, tekanan emosional, finansial, serta konflik orang tua yang menyertai menimbulkan masalah psikologis bagi anak ( Bukatko, 2008).

  Jadi berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa dampak perceraian dapat digolongkan ke dalam beberapa aspek, yaitu :

  1. Aspek emosi Aspek emosi terkait dengan perasaan anak paska perceraian orang tua.

  2. Aspek fisik Aspek fisik terkait kondisi kesehatan anak paska perceraian orang tua.

  3. Aspek kognitif Aspek kongnitif terkait dengan prestasi akademik anak paska perceraian orang tua.

  4. Aspek relasi sosial Terkait relasi sosial anak dengan lingkungan dan teman sebaya

  5. Aspek relasi dengan keluarga Terkait relasi anak dengan orang tua dan saudara paska perceraiaan.

  Pada akhir usia sekolah, anak lebih menaruh perhatian pada teman dan aturan kelompok maupun penilaian sosial. Pada usia ini keinginan anak untuk mengenal dirinya besar sehingga anak sering kali membandingkan dirinya dengan teman-temannya, anak mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman. Apabila pada masa usia akhir, anak sering gagal dan merasa cemas maka anak akan tumbuh rasa rendah diri (Gunarsa, 2003).

  Hal inilah yang sangat mungkin dialami oleh anak yang orang tuanya bercerai. Perubahan struktur keluarga yang dialami anak paska perceraian orang tua dapat memicu seringnya anak mengalami rasa cemas, dapat menumbuhkan rasa rendah diri dalam bergaul dengan teman- temannnya, serta dapat mengalami hambatan dalam berprestasi.

  Terkait dengan karakteristik di atas, penelitian ini memusatkan perhatian pada anak-anak di akhir masa kanak-kanak. Selanjutnya, peneliti juga ingin menyoroti dampak perceraian pada anak-anak perempuan. Referensi mengenai karakteristik perkembangan anak (dalam Santrock, 2002) menunjukkan bahwa anak perempuan lebih cenderung mengekspresikan perilaku emosionalnya dalam hal-hal yang melibatkan relasi interpersonal. Anak perempuan lebih cenderung mengungkapkan ketakutan dan kesedihan dibandingkan anak laki-laki, khususnya ketika berkomunikasi dengan teman- teman dan keluarga. Dalam penelitian dari Lembaga Kajian Ilmiah Grahita Indonesia (2010) ditemukan suatu kasus seorang anak perempuan menjadi begitu benci dengan ayah yang telah menceraikan ibunya. Bahkan dalam kasus tertentu, seorang perempuan bisa menjadi begitu benci dengan adik- . adiknya paska perceraian orang tuanya D.

   Skema Dampak Perceraian Aspek kondisi Fisik

  Anak perempuan Perceraian Stres Aspek emosi di akhir usia

  Harga diri sekolah Perubahan rendah struktur dalam

  Orientasi Aspek keluarga pada kognitif kelompok sebaya tinggi Ekspresi

  Aspek relasi emosi yang sosial khas

  Aspek relasi dalam keluarga

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Metode Penelitian Pada penelitian ilmiah, metode penelitian merupakan salah satu unsur

  yang penting. Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Jenis penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yang berupa ucapan atau tulisan serta tingkah laku yang diamati dari individu yang menjadi subyek penelitian. Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan sebagainya (Poerwandari, 2005).

B. Fokus Penelitian Fokus dalam penelitian ini adalah dampak perceraian pada anak.

  Data dampak perceraian dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara terhadap subyek. Pertanyaan dalam wawancara didasarkan pada aspek-aspek perkembangan, aspek emosi, aspek fisik, aspek kognitif, aspek relasi dengan keluarga, aspek relasi sosial.

  C. Subyek Penelitian

  Dalam penelitian ini kriteria subyek disesuaikan dengan tujuan penelitian.

  1. Subyek adalah anak di akhir usia sekolah, yaitu usia sembilan tahun sampai sebelas tahun.

  2. Subyek adalah anak berjenis kelamin perempuan

  3. Subyek adalah anak yang pada masa kehidupannya, mengalami perceraian orang tua.

  D. Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitan ini adalah dengan menggunakan metode wawancara untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Metode wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam

  Poerwandari, 2005). Wawancara dilakukan berdasarkan pada pedoman

  wawancara yang telah disusun sebelumnya. Sebelum melakukan wawancara, peneliti hendaknya membangun rapport terhadap subyek. Rapport ini dibangun guna memunculkan suasana yang akrab dan hangat sehingga tidak ada rasa curiga, rasa takut, keengganan atau malu yang menghalangi kesediaan subyek dalam menjawab pertanyaan ( Nasution, 2003). Mengingat subyek adalah anak-anak, peneliti harus lebih berhati-hati dan jeli dalam mengajukan pertanyaan agar anak tidak menjadi tegang atau lebih santai sehingga diharapkan jawaban yang keluar adalah jawaban yang sesungguhnya.

  Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara dengan pedoman semi terstruktur, menggunakan pedoman wawancara yang berisi poin-poin yang sudah ditentukan namun luwes dalam pelaksanaannya (Sattler, 2002). Peneliti menanyakan dengan cara yang sama pada responden yang berbeda. Pada penelitian ini, peneliti membuat panduan wawancara sebagai berikut :

Tabel 3.1 Tabel Panduan Wawancara Aspek yang ingin diungkap Pertanyaan

  

1. Kondisi emosi Bagaimana perasaan anak paska

perceraian oang tua ?

  

2. Kondisi fisik Bagaimana kondisi kesehatan anak

paska peceraian orang tua, apakah anak mengalami masalah dalam kesehatan paska perceraian orang tua ?

  

3. Kondisi kognitif Bagaimana prestasi akademik anak,

mengalami gangguan atau tidak?

4. Relasi sosial anak a. Bagaimana hubungan anak

  dengan teman sebayanya b. Bagaimana hubungan anak dengan lingkungan tempat tinggal paska perceraian c. Bagaimana hubungan anak dengan lingkungan pendidikannya ?

5. Relasi dengan keluarga a. Bagaimana hubungan anak dengan ayah dan ibu paska perceraian? b. Bagaimana hubungan anak dengan saudara paska perceraian ?

  Wawancara dilakukan guna mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Selain dilakukan pada subyek dalam hal ini anak korban perceraian, wawancara juga dilakukan kepada significant other seperti: orang tua dan guru subyek. Hal ini dilakukan untuk memperoleh infomasi tambahan dan memastikan kebenaran infomasi yang telah diberikan oleh subyek.

  Selain wawancara pengumpulan data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan observasi. Observasi dapat dipahami sebagai suatu upaya mengamati atau memperhatikan suatu objek (Poerwandari, 2005). Pada penelitian ini observasi dilakukan dengan mengamati ekspresi dan gerak tubuh subyek pada saat wawancara

E. Metode Analisis Data

  Data pada penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, melainkan lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis seperti gambar ataupun foto (Poerwandari, 2005). Analisis data adalah suatu upaya untuk mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam pola kategori dan uraian dasar. Pada penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut :

  1. Pengorganisasian Data Pengorganisasian data merupakan proses memindahkan data hasil wawancara ke dalam bentuk kata atau kalimat ( Poerwandari, 2005).

  Pada penelitian ini, pengorganisasian data diawali dengan memindahkan hasil wawancara dari rekaman tape recorder ke dalam bentuk catatan. Pada penelitian kualitatif proses penyalinan kata-kata ataupun kalimat ini disebut transkip verbatim.

  2. Koding Setelah melakukan organisasi data, kemudian peneliti melakukan koding pada transkip verbatim yang telah dibuat. Koding ini dilakukan dengan cara memberi kode pada pertanyaan dan ditulis di belakang pertanyaan yang diajukan. Koding yang dilakukan harus memberi makna yang dalam untuk permasalahan yang dicari. Adapun pemberian kode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2. Koding Hasil Wawancara

  1. E (+) Dampak negatif pada aspek perkembangan emosi tidak muncul.

  E (-) Dampak negatif pada aspek perkembangan emosi muncul.

  2. K (+) Dampak negatif pada aspek kognitif tidak muncul.

  K (-) Dampak negatif pada aspek kognitif muncul

  3. F (+) Dampak negatif pada aspek perkembangan fisik tidak muncul.

  F (-) Dampak negatif pada aspek perkembangan fisik muncul.

  4. Rk (+) Dampak negatif pada aspek relasi anak dengan

keluarga tidak muncul.

  Rk (-) Dampak negatif pada aspek relasi anak dengan keluarga muncul.

  5. Rs (+) Dampak pada aspek relasi sosial anak tidak muncul Dampak pada aspek relasi sosial anak dengan Rs (-) lingkungan dan teman sebaya

  6. Lb Latar belakang perceraian

  Penjelasan dari pemberian kode di atas adalah huruf E, F, K, Rk, Rs menunjukkan dampak pada aspek perkembangan anak paska perceraian orang tua. E menunjukkan emosi anak paska perceraian orang tua, F menunjukkan kondisi fisik anak paska perceraian orang tua, K menunjukkan kondisi kognitif anak paska perceraian orang tua, Rk menunjukkan relasi anak dengan keluarga paska perceraian orang tua, sedangkan Rs menunjukkan relasi sosial anak paska perceraian orang tua. Huruf Lb menunjukkan latar belakang perceraian. Tanda ( - ) menunjukkan dampak negatif perceraian muncul pada anak, sedangkan tanda (+) menunjukkan bahwa dampak negatif perceraian tidak muncul pada anak.

  3. Interpretasi Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2005) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Pada penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara mencari makna dari wawancara yang sudah dikoding. Hasil interpretasi menunjukkan apakah terdapat dampak negatif pada subyek, berdasarkan aspek-aspek perkembangan.

F. Keabsahan Data

  Tahapan selanjutnya setelah melakukan analisis data adalah dengan melakukan pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif merupakan hal yang penting, karena dengan melakukan pemeriksaan keabsahan data hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam melakukan pemeriksaan keabsahan data, penulis menggunakan konfirmabilitas. Konfirmabilitas yaitu hasil penelitian dapat dikonfirmasikan. Dengan dikonfirmasikannya temuan hasil penelitian subyek peneliti ini disebut juga validasi komunikatif (Poerwandari, 2005). Data-data hasil dari penelitian ini dikonfirmasikan kebenarannya langsung kepada subyek penelitian dan orang terdekat subyek. Selain konfirmibilitas peneliti juga menggunakan validitas argumentatif, yaitu presentasi temuan dan kesimpulan dapat dirasionalisasi serta dapat dilihat kembali dengan melihat kembali ke data mentah yang berupa transkip verbatim dan catatan observasi tambahan (Sarantakos dalam Poerwandari, 2005).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Pada saat akan melakukan penelitian, peneliti melakukan berbagai

  persiapan diantaranya, membuat daftar pertanyaan, dan keterangan seperti tabel dibawah ini. Hal ini dilakukan, guna memperlancar dan mempermudah dalam proses pengambilan data.

  Tabel Pelaksanaan Wawancara

  SUBYEK TEMPAT TANGGAL WAKTU

  1. Nn Rumah Subyek 16 , 17 Juli 2009 15.00 - 16.00 WIB

  16.05 - 18.00 WIB

  2. St Rumah Subyek

  11 Juli 2009 18.00 - 19.45 WIB

  3. Vi Tempat sekolah

  23 Juli 2009

  11.00

  • – 12.30 minggu WIB

B. Hasil Penelitian I. Subyek Pertama: Nn a. Identitas Diri Subjek dan Keluarga

  1. Nama : Nn

  2. Jenis kelamin : Perempuan

  3. Usia : 10 tahun

  4. Pendidikan : Kelas 3 SD

  5. Status dalam keluarga : Anak kandung

  6. Urutan kelahiran : Anak tunggal

  Identitas Orang Tua

  Keterangan Ayah Ibu Nama Rv Rs Usia 31 tahun 36 tahun Pendidikan terakhir SMP SD Pekerjaan Sopir Buruh b.

   Latar Belakang Keluarga dan Perceraian Orang Tua Subyek merupakan anak tunggal dari pasangan Rv dan Rs.