paparan dit. pslb 2009 inklusi terbaru
DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
(2)
1. PENDIDIKAN INKLUSIF
Sekolah Biasa/Sekolah Umum
, yang
mengakomodasi semua Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK)
SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah
Khusus
yang mengakomodasi anak
(3)
SLB
(Sekolah Satu atap) Asosiasi/Lemb g Keterampilan/ SMK/Politek/P T KELAS KETRAMPILAN Prog. “Aksel” SD, SMP, SMA Klinik Terapi & Latihan Guru Akademik Guru Keterampilan Guru Bantu (“Khusus”)TK, SD, SMP, SMA, SMK
SLB
TKLB-SDLB, SMPLB-SMALB, Kelas Inklusif Perpustaka an Kelas Berkecerda san Istimewa Kios-kios koperasi•Taman bacaan
•Warung buku
•Kafe
PMPTK Lemb/Ass Ketr
ORTU/MASY
Kelas PLK
Kelas Berbakat Istimewa
Pasal 61 UU Sisdiknas
BHS.INGGRIS Pasal 33 ayat (3) UU Sisdiknas
-UUD Pasal 31 ayat 1 + 2
-Pasal 5 ayat 1 UU Sisdiknas
-Pasal 5 ayat 3
-Pasal 32 ayat 2 UU Sisdiknas
-Pasal 53 UU Perlindungan Anak - Pasal 5 + Pasal 32
UU Sisdiknas - Pasal 51 UU
Perlindungan Anak
UU No. 14 Tahun 2005 ttg. Guru dan Dosen
-Pasal 5 & Pasal 32 ayat 1 UU Sisdiknas
-Pasal 52 UU Perlindungan Anak
-Sekolah / Kelas Khusus
(4)
Asosiasi/ Lembaga Kecacatan Asosiasi/ Lembaga Keterampilan Khusus Sekolah Biasa Perguruan Tinggi * • Bidang:
- keguruan & pendidikan/PLB - Psikologi - TIK mendirikan membentuk kerjasama pendampingan kerjasama Fleksibel • Kurikulum (kearifan lokal) • Guru Sekolah Khusus/SLB kerjasama kerjasama
Berbasis :
•
TIK
•
Keterampila
n Khusus
(5)
A. Bagi Lembaga/Satuan Pendidikan, baik Sekolah Biasa / Umum, maupun Sekolah Luar Biasa / Khusus / Layanan Khusus yang mengajukan subsidi, harus:
1. melampirkan (hardcopy dan/atau softcopy) :
a. data dan profil lengkap, dan/atau Nomor Induk Sekolah, Nomor Induk Siswa, dan
Nomor Unik / Induk Guru,
b. SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN menjadi sekolah inklusi (di atas meterai),
c. rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota dan / atau
AKTE NOTARIS, kecuali bagi sekolah/lembaga/asosiasi yang tidak memungkinkan memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan setempat, DAPAT langsung ke Dit. PSLB, yang selanjutnya akan diverifikasi oleh Tim/Koordinator Subsidi Pusat.
2. melampirkan MoU (KERJASAMA) dengan lembaga pendidikan terkait lainnya, a.l. :
a. DIKDASMEN (TK-SD / MI, SMP / MTs, SMA / MA/ SMK), b. PNFI (al. Kursus, PKBM),
c. DIKTI (a.l. FKIP, Jur. PLB, FPsi. IT, PT Seni, PT Olahraga),
d. ASOSIASI KETERAMPILAN KHUSUS (al. Tiara Kusuma / Kecantikan, IPBI / Busana), e. ASOSIASI KECACATAN (al. Pertuni / tunanetra, FNKCMI / tunagrahita),
f. ASOSIASI PROFESI (al. Perdami / spesialis mata, Perhati / spesialis THT)
yang dilengkapi dengan data dan profil lengkap lembaga / asosiasi sesuai dengan keperluan.
PROGRAM
PENDIDIKAN INKLUSI
(6)
3.
Bagi siswa KEMAMPUAN AKADEMIKNYA (IQ) DI BAWAH RATA-RATA
(ditetapkan oleh lembaga berwenang al. psikologi atau
assesment center
)
TIDAK DIWAJIBKAN untuk mengikuti PBM / UN PENDIDIKAN AKADEMIK,
dan diutamakan untuk mengikuti PENDIDIKAN KETERAMPILAN KHUSUS
dengan program SERTIFIKASI KOMPETENSI oleh Lembaga Pendidikan /
Asosiasi Keterampilan khusus (Pasal 61 UU Sisdiknas).
4. Proses belajar mengajar dan manajemen
dapat
menggunakan TIK /
multimedia
5. memiliki fasilitas dan kelas / ruang khusus (dilampiri gambar/keterangan).
6. membuat SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN MANAJER PROGRAM
INKLUSI oleh Pimpinan Lembaga / Satuan Pendidikan (lampirkan).
7. atas dasar penilaian dari dinas pendidikan setempat penerima subsidi
harus menjadi SEKOLAH MODEL (PERCONTOHAN) di daerahnya.
8. MENANAM TANAMAN / POHON (al. buah, bunga) sebanyak-banyaknya
yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
(7)
B.
BAGI PENERIMA SUBSIDI DITEGASKAN TIDAK ADA PUNGUTAN APAPUN,
BAIK DALAM BENTUK APAPUN, UNTUK APAPUN, DAN OLEH SIAPAPUN
C.Untuk kepentingan pemeriksaan dan pengawasan (Itjen,BPK,BPKP dan
KPK) penerima subsidi HARUS MEMBAYAR PAJAK LEBIH AWAL sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan membuat laporan sesuai dengan
PERMENDIKNAS NO. 16 TAHUN 2008 (lihat
www.jardiknas.diknas.go.id
dan
www.pkplk-plb.org
).
D.
Bagi Lembaga/Satuan Pendidikan yang telah mempunyai fasilitas TIK
harus mengirim laporan melalui e-mail ke
infoplb@yahoo.com
, dan
se-dapat-mungkin laporan dibuat dalam dua bahasa (BAHASA INDONESIA
DAN BAHASA INGGRIS) pada lembar yang sama (side by side).
(8)
PKK / LSM
PERGURUAN TINGGI ASOSIASI KECACATAN ASOSIASI KETERAMPILAN
KHUSUS
AHLI / SPESIALIS PSIKOLOGI KEDOKTERAN MIPA
TIK
OLAHRAGA SENI
(9)
(10)
( i )
(11)
UNE
Statement
Article 2
We believe and pro claim that :
•
EVERY CHILD HAS A FUNDAMENTAL RIGHT TO EDUCATION,
and must be given the opportunity to achieve and maintain and acceptable level of learning, • EVERY CHILD has UNIQUE CHARACTERISTICS, INTERESTS, ABILITIES andLEARNING NEEDS,
• Educations systems should be designed and educational programmes
implemented to take into account the WIDE DIVERSITY OF THESE CHARACTERISTICS and NEEDS,
• Those with SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS MUST BE ACCESS TO REGULAR SCHOOLS which should accommodate them within should a child centred pedagogy capable of meeting these needs,
• REGULAR SCHOOLS WITH THIS INCLUSIVE ORIENTATION are the most effective means of COMBATING DISCRIMINATORY ATTITUDES, CREATING WELCOMING COMMUNITIES, BUILDING IN INCLUSIVE SOCIETY AND ACHIEVING EDUCATION FOR ALL; more over, they provide an effective education to the majority of children and improve the efficiency and ultimately the cost-effectiveness of entire
education system.
( i )
( i )
( i )
(12)
Article 3
We call upon all governments and urge them to :
• Give the HIGHEST POLICY AND BUDGETARY PRIORITY to improve their education systems to enable them to include all children regardless of INDIVIDUAL
DIFFERENCES OR DIFFICULTIES,
• ADOPT as a matter of LAW or POLICY the PRINCIPLE OF INCLUSIVE EDUCATION, enrolling all children in regular schools, unless there are compelling reasons for doing otherwise, DEVELOP DEMONSTRATION PROJECTS and ENCOURAGE EXCHANGES with countries having experience with inclusive schools,
• ESTABLISH DECENTRALIZED and PARTICIPATORY MECHANISMS for PLANNING, MONITORING and EVALUATING educational provision for CHILDREN AND ADULTS
with SPECIAL EDUCATION NEEDS,
• ENCOURAGE and FACILITATE the PARTICIPATION OF PARENTS, COMMUNITIES
and ORGANIZATION OF PERSONS with DISSABILITIES in the PLANNING AND DECISION-MAKING PROCESSES concerning provision for special educational needs,
• Invest GREATER EFFORT and EARLY IDENTIFICATION and INTERVENTION
STRATEGIES, as well as in VOCATIONAL ASPECTS OF INCLUSIVE EDUCATION, • Ensure that, in the context of a systemic change, TEACHER EDUCATION
PROGRAMMES, both PRE-SERVICE and IN-SERVICE, address the provision of special needs education in inclusive schools.
(13)
UNE
Framework for Action (Salamanca 1994)
Article 3
• The guiding principle that informs this Framework is that schools should
ACCOMMODATE ALL CHILDREN regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions.
• This should include DISABLED and GIFTED CHILDREN, STREET and WORKING CHILDREN, CHILDREN FROM REMOTE or NOMADIC POPULATIONS, CHILDREN FROM LINGUISTIC, ETHNIC or CULTURAL MINORITIES and children from other
DISADVANTAGED or MARGINALIZED AREAS OR GROUPS.
• These conditions create a range of different challenges to school systems. In the context of this Framework, the term special educational needs’ refers to all those children and youth whose needs arise from dissabilities or learning difficulties. • Many children experience learning difficulties and thus have special educational
needs are some time during their schooling.
• SCHOOLS HAVE TO FIND WAYS of successfully EDUCATING ALL CHILDREN, including those who have serious disadvantages and disabilities.
• There is an emerging consensus that CHILDREN AND YOUTH WITH SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS should be INCLUDED in the EDUCATIONAL
ARRANGEMENTS made for the MAJORITY OF CHILDREN.
• This has led to the CONCEPT OF THE INCLUSIVE SCHOOL is that of DEVELOPING A CHILD-CENTRED PEDAGOGY CAPABLE of successfully educating all children,
INCLUDING those who have SERIOUS DISADVANTAGES AND DISABILITIES. […]
( i )
( i )
( i )
( i )
(14)
UU No. 4 tahun
1997
tentang Penyandang Cacat
Pasal (5 )
“ Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam
segala aspek
kehidupan dan penghidupan”.
Pasal (6 )
“Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
ayat 1
: Pendidikan pada semua
satuan, jalur, jenis
dan jenjang pendidikan
.
( i )
(15)
UU No. 23 tahun
2002
tentang Perlindungan Anak
Pasal 48
:
PEMERINTAH WAJIB
menyelenggarakan pendidikan dasar
MINIMAL 9 (SEMBILAN) TAHUN UNTUK SEMUA ANAK
.
Pasal 49
:
NEGARA, PEMERINTAH, KELUARGA
, dan
ORANG TUA
wajib
memberikan
KESEMPATAN YANG SELUAS-LUASNYA KEPADA
ANAK UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN.
Pasal 4
Pendidikan diselenggarakan secara
DEMOKRATIS
dan
berkeadilan
serta
TIDAK DISKRIMINATIF
dengan
menjunjung tinggi HAK ASASI
MANUSIA
, nilai
KEAGAMAAN
,
nilai KULTURAL
, dan
kemajemukan
bangsa.
Pasal 5
ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai
HAK YANG SAMA
untuk
(16)
(beberapa cuplikan dari)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BAB II
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, BERTUJUAN untuk BERKEMBANGNYA POTENSI PESERTA DIDIK agar
menjadi manusia yang BERIMAN dan BERTAQWA kepada TUHAN YANG MAHA ESA,
BERAKHLAK MULIA, SEHAT, BERILMU, CAKAP, KREATIF, MANDIRI, dan menjadi warga negara yang DEMOKRATIS serta BERTANGGUNG JAWAB.
(17)
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
SISTEM TERBUKA DAN MULTIMAKNA.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses PEMBUDAYAAN dan PEMBERDAYAAN peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi KETELADANAN, membangun
KEMAUAN, dan mengembangkan KREATIVITAS peserta didik dalam proses pembelajaran
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya MEMBACA, MENULIS, dan BERHITUNG bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui PERAN SERTA dalam PENYELENGGARAAN dan PENGENDALIAN MUTU layanan pendidikan.
(18)
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
(1) ORANG TUA BERHAK berperan serta dalam MEMILIH satuan pendidikan dan MEMPEROLEH informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2) ORANG TUA DARI ANAK USIA WAJIB BELAJAR, BERKEWAJIBAN MEMBERIKAN PENDIDIKAN DASAR KEPADA ANAKNYA.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
MASYARAKAT BERHAK berperan serta dalam PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PENGAWASAN, dan EVALUASI program pendidikan.
Pasal 9
MASYARAKAT BERKEWAJIBAN memberikan DUKUNGAN SUMBER DAYA dalam penyelenggaraan pendidikan.
(19)
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah Dan Pemerintah Daerah
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1) PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH WAJIB MEMBERIKAN LAYANAN DAN KEMUDAHAN, serta MENJAMIN TERSELENGGARANYA PENDIDIKAN YANG
BERMUTU bagi setiap warga negara TANPA DISKRIMINASI.
(2) PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH WAJIB MENJAMIN TERSEDIANYA DANA
guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang BERUSIA TUJUH SAMPAI DENGAN LIMA BELAS TAHUN.
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1)Standar nasional pendidikan terdiri atas, STANDAR ISI, PROSES, KOMPETENSI, LULUSAN, TENAGA KEPENDIDIKAN, SARANA DAN PRASARANA, PENGELOLAAN, PEMBIAYAAN, dan PENILAIAN PENDIDIKAN yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(20)
KURIKULUM
Pasal 36
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) KURIKULUM pada SEMUA JENJANG dan JENIS PENDIDIKAN dikembangkan dengan
PRINSIP DIVERSIFIKASI sesuai dengan SATUAN PENDIDIKAN, POTENSI DAERAH, dan
PESERTA DIDIK.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :
a. peningkatan iman dan taqwa; b. peningkatan akhlak mulia;
c. PENINGKATAN POTENSI, KECERDASAN, DAN MINAT PESERTA DIDIK;
d. KERAGAMAN POTENSI DAERAH DAN LINGKUNGAN; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI; h. agama
i. dinamika perkembangan global, dan
(21)
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN
PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Pendidikan Khusus
Paragraf 1
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Berkelainan
Pasal 143
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan
layanan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki kesulitan
dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan
fisik
,
emosional
,
mental
,
intelektual
,
dan/atau
sosial
.
(2) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan untuk
mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal
sesuai kemampuannya.
RALAT AKHIR
(22)
(3) Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang :
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat
adiktif lainnya; dan
l. memiliki kelainan lainnya.
(4) Kelainan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berwujud
gabungan dari 2 (dua) atau lebih jenis-jenis kelainan, yang disebut
tunaganda.
(23)
Pasal 144
(1)
Pendidikan khusus
bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada
semua jalur dan jenis pendidikan
pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
(2) Penyelenggaraan
pendidikan khusus
dapat dilakukan melalui
satuan
pendidikan khusus
, satuan
pendidikan umum, satuan pendidikan
kejuruan,
dan/atau
satuan pendidikan keagamaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus pada satuan
pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan,
dan/atau satuan pendidikan keagamaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 145
(1) Pemerintah
provinsi
menyelenggarakan sekurang-kurangnya
1 (satu) satuan
pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang pendidikan
sebagai
model
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
(2)
Pemerintah
kabupaten/kota
menjamin terselenggaranya pendidikan khusus
pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.
(24)
(3) Menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan
pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan yang memberikan
pendidikan khusus.
(4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota menyediakan
sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik
berkelainan.
(5)
Perguruan tinggi wajib menyediakan akses
bagi mahasiswa berkelainan.
(6) Pemerintah membantu tersedianya sumberdaya pendidikan yang berkaitan
dengan kebutuhan peserta didik berkelainan pada pendidikan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3). Dan ayat (5) pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan
.
Pasal 146
Pendidikan khusus
bagi peserta didik berkelainan pada
jalur formal
diselenggarakan
melalui satuan PAUD, satuan pendidikan dasar, satuan
(25)
Pasal 147
1. Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan untuk PAUD
berbentuk
Taman Kanak-kanak Luar Biasa
, atau sebutan lain untuk satuan
pendidikan yang sejenis dan sederajat.
2. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan
dasar terdiri atas:
a.
Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), atau sebutan lain untuk satuan pendidikan
yang sejenis dan sederajat.
b.
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB), atau sebutan lain untuk
satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
3. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan
menengah adalah
Sekolah Menengah Atas Luar Biasa
(SMALB),
Sekolah Menengah
Kejuruan Luar Biasa
(SMKLB), atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang
sejenis dan sederajat.
4. Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi
antar jenjang pendidikan dan/atau antar jenis kelainan.
5. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan oleh satuan
pendidikan pada jalur pendidikan nonformal.
(26)
Paragraf 2
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik yang Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Pasal 148
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa
berfungsi mengembangkan
potensi keunggulan
peserta didik menjadi prestasi nyata
sesuai dengan karakteristik
keistimewaannya.
(2)
Pendidikan khusus bagi peserta didik
yang
memiliki potensi kecerdasan
dan/atau
bakat istimewa
bertujuan
mengaktualisasikan seluruh potensi
keistimewaannya
tanpa mengabaikan
keseimbangan perkembangan
kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan
kecerdasan lainnya.
(27)
Pasal 149
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa
dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal
TK/RA/BA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat.
(2) Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa :
a. program percepatan; dan/atau
b. program pengayaan.
(3) Program percepatan dan/atau pengayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan persyaratan:
a. peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang
diukur dengan tes psikologi;
b. peserta didik memiliki prestasi akademik tuinggi dan/atau bakat istimewa di
bidang seni dan/atau olahraga;
c. satuan pendidikan penyelenggara telah atau hampir memenuhi Standar
Nasional Pendidikan.
(28)
(4)
Program percepatan dan/atau pengayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dilakukan dengan
menerapkan sistem kredit semester
sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(5)
Penyelenggaraan program pendidikan khusus
bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan dalam bentuk
:
a. kelas biasa;
b. kelas khusus; atau
(29)
Pasal 150
Pemerintah
provinsi
menyelenggarakan sekurang-kurangnya
1 (satu) satuan
pendidikan khusus
bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan
dan/atau
bakat istimewa
.
Pasal 151
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan
nonformal.
Pasal 152
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan khusus diatur dengan
(30)
Bagian Ketiga
Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 153
(1)
Pendidikan layanan khusus
bertujuan menyediakan
akses pendidikan
bagi
peserta didik agar haknya untuk memperoleh pendidikan terpenuhi.
(2)
Pendidikan layanan khusus
berfungsi memberikan layanan pendidikan bagi
peserta didik di daerah:
a.
terpencil atau terbelakang;
b. yang mengalami
bencana alam;
c. masyarakat
adat terpencil;
d. yang mengalami
bencana sosial;
dan/atau
(31)
Pasal 154
(1) P
endidikan layanan khusus
dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal,
nonformal
, dan
informal
.
(2)
Pendidikan layanan khusus
pada jalur
pendidikan formal
diselenggarakan
dengan cara
menyesuaikan waktu, tempat, sarana
dan
prasarana pembelajaran,
pendidik, tenaga kependidikan
, dan/atau
sumberdaya pembelajaran
lainnya
dengan
kondisi kesulitan
peserta didik.
Pasal 155
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menyelenggarakan pendidikan layanan khusus.
Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendidikan layanan khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
(32)
All UN member states declared that by 2005 the following goals will be realised:
Goal 1: Eradicate
extrame poverty
and hunger
• Reduce by half the proportion of people living on less than a dollar a day • Reduce by half the proportion of people who suffer from hunger
Goal 2: Achieve universal
PRIMARY EDUCATION
• Ensure that all boys and girls complete a full course of primary schooling
Goal 3: Promote gender equality and empowerment of women
• Eliminate gender disparity in
PRIMARY AND SECONDARY EDUCATION
preferably by 2005, and at all level by 2015
Goal 4: Reduce child mortality
• Reduce by two thirds the mortality rate among children under five
Goal 5: Improve maternal health
• Reduce by three quarters the maternal mortality ratio
Goal 6: Combat
HIV/AIDS, malaria and other diseases
• Halt and begin to reverse the spread of HIV/AIDS
(33)
33
UNE
Goal 7: Ensure environmental sustainability
• Integrate the principles of sustainable development into country policies and programmes; reverse loss of environmental resources
• Reduce by half the proportion of people without sustainable access to safe drinking water
• Achieve significant improvement in lives of at least 100 million slum dwellers, by 2020
Goal 8: Development of Global Partnership for development
• Develop further an open trading and financial system that is rule-based, predictable and non-discriminatory, includes a commitment to good governance, development and poverty reduction nationally and internationally
• Address the least developed countries’ special needs. This includes tariff- and quota-free access for their exports; enhanced debt relief for heavily indebted poor countries; cancellation of official bilateral debt; and more generous official development
assistance for countries commited to poverty reduction
• Address the special needs of landlocked and small island developing State
• Deal comprehensively with developing countries’ debt problems through national and international measures to make debt sustainable in the log term
• In cooperation with the developing countries, develop decentand productive work for youth
• In cooperation with pharmaceutical companies, provide access to affordable essential drugs in developing countries
• In cooperation with the private sector, make available the benefits of new technologies especially information and communications technologies
(34)
Article 3
[…] It is an education geared to tapping each individual’s talents and potential, and
developing learners’ personalities, so that they can improve their lives and transform their societies.
Article 6
Education is a fundamental human right. […]
Article 7
We hereby collectively commit ourselves to the attainment of the following goals:
(i)expanding and improving comprehensive EARLY CHILDHOOD CARE AND EDUCATION,
especially for the most VULNARABLE AND DISADVENTAGED CHILDREN;
(ii)ensuring that by 2015 all
CHILDREN IN DIFFICULT CIRCUMSTANCES
and those belonging toETHNIC MINORITIES, have access to and complete
,FREE AND
COMPULSORY PRIMARY EDUCATION OF GOOD QUALITY
;(iii)ensuring that the LEARNING NEEDS OF ALL YOUNG PEOPLE AND ADULTS are met through equitable access to appropriate learning and life-skill programmes;
(iv)achieving a 50 per cent improvement in levels of adult literacy by 2015, especially for women, and equitable access to basic and continuing education for all adults;
(v)ELIMINATING GENDER DISPARITIES IN PRIMARY AND SECONDARY
EDUCATION
by 2005, and achieving gender equality in education by 2015, with a focus on ensuring girl’ full and equal access to and echievement in basic education of good quality;(35)
1.
Memperluas dan memperbaiki
keseluruhan perawatan dan
pendidikan anak dini usia, terutama bagi
anak-anak
yang
sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak,
khususnya
anak perempuan
,
anak-anak dalam keadaan
sulit
dan mereka yang termasuk
minoritas etnik
,
mempunyai akses dan menyelesaikan
pendidikan dasar
yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar
semua manusia muda
dan orang dewasa
terpenuhi melalui akses yang adil pada
program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills)
yang sesuai
.
(36)
4.
Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang
dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum
perempuan, dan
akses yang adil
pada
pendidikan dasar
dan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa
5. Menghapus
disparitas gender
dalam
pendidikan dasar
dan
menengah
menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan
gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatu
fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama
pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang
baik
6. Memperbaiki semua aspek
kualitas pendidikan dan menjamin
keunggulannya
, sehingga hasil belajar yang
diakui dan
terukur dapat diraih
oleh semua, terutama dalam keaksaraan,
angka dan
kecakapan hidup
(life skills) yang penting.
(37)
37
UNE
"In a school moving Towards Inclusion quality education should be provided in a child and learning friendly environment, where diversity is experienced, embraced and recognised as enrichment for all involved. Curricula, and teaching approaches and methods should be characterised by emphasising social aspects of learning, dialogue, sensitivity to children's needs and interests, sharing - rather than competing and creative and flexible teachers and classroom management. All children, also children experiencing barriers to learning, development and participation, including children with disabilities, have the right for quality education in a school that is close to their home and a class that suits their age." [By Miriam Donath Skjorten, 2005]
(38)
Integrated Education
Inclusive Education
• Children are different;
• All children can learn;
• Different abilities, ethnic groups,
size, age background, gender;
• Change the system to fit the child.
(39)
HUMAN RIGHTS
1. All children have thr right to
LEARN TOGETHER
.2. Children should NOT BE DEVALUED or DISCRIMINATED againts by being excluded or sent away because of their disability or learning difficulty.
3. Disabled adults, describing themselves as special school survivors, are demanding an and to segregation.
4. There are no legitimate reasons to separate children for their education. Children belong together – with advantages and benefits for everyone. They do not need to be protected from each other.
GOOD EDUCATION
5. Research shows children do better, academically and socially, in inclusive settings. 6. There is no teaching or care in a segregated school which cannot take place in an
ordinary school.
7. Given commitment and support, inclusive education is a more efficent use of educational resources
SOCIAL SENSE
8. Segregated teacher children to be fearful, ignorant and breeds prejudice.
9. All children need an education that help them develop relationships and prepare them for life in the mainstream.
10. Only inclusion has the potential to reduce fear and to build friendship, respect and understanding.
(40)
National Education Minister Bambang Sudibyo recently said he was upbeat that Indonesia, with its HETEROGENEOUS POPULATION, would be able to create a strategy and make a breakthrough in implementing so-called INCLUSIVE EDUCATION, the goal of which is to promote an INCLUSIVE SOCIETY irrespective of social status, race, faith and ability, with differences being respected and valued.
He further stated that Indonesia’s education policy is already in line that developed by UNESCO, including education for all, long-life education and education for ongoing development.
But the minister refrained from explicitly disclosing how he planned to implement inclusive education in the country, and what kinds of breaktrrough he would make.
The idea of unveiling inclusive education is certainly highly relevant to our current conditions, where differences in religion, faith, gender, ethnicity and ability are often seen as a threat rather than a source of richness and diversity.
However, inclusive education can be implemented only if its principles are taken into account in the policy-making process. These encompass citizens’ inherent right to
education on the bases of EQUALITY, exclusion from any kind of discrimination (race, color, sex, language, religion, ethnicity and social status), and respect for diversity and individual differences. It must be admitted that much of our education policy is often at odds with these principles.
(41)
Moreover, the number of students dropping out of school is getting higher,
especially in POVERTY-STRICKEN AREAS. Students are forced to leave school due to their parents’ POOR ECONOMIC condition, and to work to help their parents make ends meets. This leads to the growing number of CHILD LABORERS, which in turn leads to PHYSICAL and PHYSICOLOGICAL DISABILITIES.
The majority of children living in REMOTE AREAS are unable to enjoy schooling in proper buildings. Many of them study in dilapidited and makeshift buildings, and are assisted only by a few dedicated teachers.
Another serious challenge is the fact that most DISABLED PEOPLE are still
excluded from equal access to mainstream education. In fact, they have become the ones who are side-lined by an exclusive education policy.
A centralized education policy is an exclusively one-sided policy, which in often the main cause of segregation and discrimination. The case in point is the is the endlessly controversial national exam, which fails to accommodate students’ diverse
backgrounds and needs.
Also, CURRICULA are not designed on the basis of FLEXIBILITY and tend to be content-heavy. With such a rigid curriculum, students with special educational needs are excluded and even marginalized from main stream education.
Other challenges abound, further encumbering the implementation of inclusive education here. It is not easy, for example, to limit the scope of inclusive education to be included in the curriculum. As a result, designing teaching materials that cover students’ diverse needs and cultural back grounds is problematic.
(42)
No less important a challenge is the lack of teacher training in dealing with students hailing from heterogeneous cultural milieu. Teaching students issues related to
inclusiveness in all walks of live requires a SPECIAL SKILL, which can be acquired through a specific training program.
For instance, it takes a special effort to teach students how to appreciate differences in culture, race, ethnicity and religion if the students come from belief systems and
cultures where exclusiveness and homogeneity and highlyrespected and valued, and ethnocentricity is culturally rooted.
Implementing inclusive education here can only be viable provided that the minister is cognizant of these challenges and bases his strategies on them. It is also very
important the whole society be prepared to accept the inclusive policies.
The writer is chief editor of the Indonesian Journal of English Language Teaching and has taught English composition for 10 years al Atma Jaya University, Jakarta. He can be reached at setiono.sugiharto@atmajaya.ac.id.
(43)
REKOMENDASI KOMISI OMBUDSMAN UNTUK PERBAIKAN SISTEM PELAYANAN
PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Definisi Pendidikan Inklusif
a. Saat ini ada persepsi yang beragam tentang pendidikan inklusif. Kadang-kadang diartikan secara sempit maka pendefinisian pendidikan inklusif hanya didasarkan pada bangunan asumsi bahwa “anak (berkebutuhan khusus) sebagai obyek masalah yang memerlukan penanganan penyelesaian”.
b. Definisi pendidikan inklusif secara luas adalah pendidikan yang menyertakan anak sebagai subyek bukan saja sebagai obyek, pendapat semua anak dapat diakomodir dan dipertimbangkan dengan baik untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, hingga terwujud pendidikan untuk semua (education for all).
c. Perbedaan antara pendidikan inklusif dengan pendidikan pada satuan pendidikan khusus terletak pada bagaimana pendekatan yang digunakan dalam melakukan identifikasi dan memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah.
d. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang melihat pada kebutuhan bukan kepada keterbatasan.
e. Identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus diperlukan guna penyesuaian
pembelajaran secara normal bukan untuk mengkhususkan pendidikan yang diterimanya sebagaiman pengertian dari pendidikan inklusif yaitu sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan siswa umum sebayanya.
(44)
f. Berbeda dengan pendidikan pada satuan pendidikan khusus yang lebih melihat pada keterbatasan yang dimiliki, dan memberikan pelajaran sesuai keterbatasannya, walaupun sebenarnya anak berkebutuhan khusus tersebut memiliki kemampuan seperti siswa normal.
g. Memperhatikan definisi mengenai pendidikan inklusif di atas, dapat dirasakan sesungguhnya konsepsi pendidikan inklusif lebih banyak kesamaannya dengan konsepsi “pendidikan untuk semua”. Pendidikan inklusif mencoba memberikan solusi untuk mengatasi kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan dalam belajar dan berpartisipasi.
h. Selain definisi sosiologis seperti diuraikan diatas, secara entimologis definisi pendidikan inklusif bias ditelusuri dengan membedah kata inklusif itu sendiri. Kata inklusif adalah turunan dari kata dasar “inklusi” yang berasal dari kata include dalam bahasa Inggris. Kata
include artinya menjadi bagian dari sesuatu, atau being a part of something,menyatu
dalam kesatuan being embraced into the whole. (Villa; Thousand,2005).
i. Dengan demikian, pendidikan inklusif secara entimologis dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar (pendidikan) yang menempatkan siswa-siswa (berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat) menjadi bagian dari suatu kesatuan proses belajar mengajar dengan anak-anak normal.
j. Sehingga secara filosofis kata inklusi pada dasarnya mengandung prinsip keadilan dan persamaan hak. Dikaitkan dengan konteks pendidikan, kata “inklusi” yang dilekatkan di depan kata “pendidikan” memberikan makna yang lebih dalam tentang prinsip keadilan dan kesamaan dalam mengakses pendidikan bagi setiap warga masyarakat yang mempunyailatar belakang berbeda.
(45)
k. Fuad Fachruddin , dalam artikelnya yang dimuat Harian Media Indonesia (18/08/08) mengutip pendapat Loreman menguraikan unsur pokok yang terkandung dalam pendidikan inklusif antara lain sebagai berikut:
• Sikap positif terhadap anak-anak yang memiliki kelainan, • Rasa penghargaan yang tinggi terhadap pembelajaran, dan
• Kemauan serta kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kelainan individu
l. Definisi Pendidikan Inklusif juga dirumuskan dalam sebuah seminar internasional untuk penyandang cacat yang diselenggarakan di Agra, India pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusif Education.
m. Beberapa hal penting yang terkandung dalam definisi pendidikan inklusif versi Agra dan South African White Paper memberikan makna yang lebih komprehensif karena antara lain: • Cakupan pendidikan inklusif lebih luas daripada pendidikan formal, karena meliputi
pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
• Mengakui bahwa semua anak dapat belajar, sehingga memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
• Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan,status HIV/AIDS jll.
• Mengartikan pendidikan inklusif sebagai suatu proses yang dinamis sehingga senantiasa berkembang sesuai denagn budaya dan konteksnya.
• Pendidikan inklusif ditempatkan sebagai bagian dari strategi yang lebih lias untuk mempromosikan masyarakat inklusif.
(46)
n. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang dapat menerima semua anak dengan berbagai kondisi. Dengan demikian, pendidikan inklusif dapat berarti sekolah biasa/umum yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan/atau Sekolah Luar Biasa/Khusus yang mengakomodasi anak normal.
o. Dari berbagai definisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kata inklusif secara gramatikal memilki makna yang sangat luas dan mendalam. Oleh karena itu pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan untuk semua, yang menjujung tinggi kesamaan hak dan keadilan. Pendidikan inklusif sebagai salah satu bentuk pelayanan public juga terkait pada prinsip-prinsip pemberian pelayanan public yang baik sebagaiman terkandung dalam azas-azas umum pemerintahan yang baik (good governance).
Ada beberapa prinsip dasar dalam pendidikan inklusi (Fuad Fachruddin),
•Pertama, semua anak bangsa dengan berbagai latar belakang berhak atas pendidikan. Hal ini merupakan perwujudan dari hak asasi, yaitu the right to education and education for all. Oleh sebab itu, sekolah inklusif merupakan jawaban atas kebutuhan pesrta didik yang plural, mengakomodasi keragaman cara belajar serta menjamin bahwa setiap individu dapat mengenyam pendidikan bermutu menggunakan kurikulum yang disesuaikan, strategi mengajar yang tepat, dan penggunaan sumber yang ada serta dukungan masyarakat.
(47)
• Kedua, pebelajaran yang berbasis pada pesrta didik. Konsep pendidikan atau Pembelajaran berbasis pada peserta didik ini mengandung cirri-ciri sebagai pendidikan yang menempatkan kebutuhan pesrta didik sebagai isu utama, memberikan kebebasan (otonomi) dan tanggung jawab kepada pesrta didik atas Pembelajaran yang menjadi pilihanya guna memperdalam pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing pribadi pesrta didik.
• Ketiga, anak-anak yang memerlukan pendidikan secara khusus (special education)
ditempatkan sebagai bagian dari program pembinaan pendidik (teacher assistance).
Selanjutnya, Pembelajaran diadaptasikan sedemikian rupa dengan kebutuhan pesrta didik. Misalkan dengan cara menyediakan bantuan ekstra, demokratis, komit terhadap keadilan dan anti diskriminasi.
p. Dengan demikian dalam konteks demokrasi, pedidikan inklusif merupakan suatu proses penanaman sikap toleran (tasamuh) di kalangan peserta didik agar mereka siap menghadapi dan apresiatif terhadap perbedaan dalam kehidupan sehari-hari,seperti perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan., budaya dan ideologi termasuk juga perbedaan komdisi fisik. Dengan pendidikan inklusif membangunkesadaran kritis terhadap isu-isu keadialan terutma dalam bidang pendidikan ditumbuhkan melalui pembentukan siakp dan prilaku kehidupan sehari-hari.
(48)
q. Dalam cara pandang lama dikenal adanya tradisional dualistik sistem, yakni suatu sistem pendidikan yang memisahkan anak-anak normal dengan anak-anak berkelainan dalam persekolahan. Anak-anak yang berkelainan mendapat layanan pendidikan khusus (special
education) melalui sekolah luar biasa (SLB). Sedangkan anak-anak normal mendapat
layanan pendidikan melalui sekolah umum/regular. Pada sistem pendidikan seperti ini interaksi antar kedua kelompok anak tersebut tidak terjadi. Model ini menimbulkan keterpisahan (segregasion) dan keterasingan (alienation) anak-anak berkelainan dalam komunitas kehidupan anak-anak lainnya.
r. Kritik terhadap tradional dualistik system tersebut telah melahirkan paradigma baru mengenai sistem pendidikan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Pendekatan yang digunakan dalam paradigma baru ini lebih bersifat integral, antara siswa normal dengan siswa berkrbutuhan khusus memperoleh pendidikan dalam sekolah atau kelas yang sama. Sistem pendidikan ini diwadahi dalam bentuk pendidikan inklusif. Sesuai dengan Pedoman Umum Inklusi Direktorat PSLB ada empat karakteristik yang melekat pada sistem pendidikan inklusif ini, yaitu;
• Pendidikan inklusif merupakan proses yang berjalan terus-menerus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak;
• Pendidikan inklusif dilaksanaka untuk memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar;
• Pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada anak untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.
(49)
s. Dengan demikian inti dari pendidikan inklusif adalah bagaimana anak-anak berkelainan dan/berkebutuhan khusus dapat mengakses pendidikan yang bermutu. Pendidikan inklusif dilaksanakan melalui sekolah-sekolah inklusif yang mempunyai misi untuk memberi kesempatan yang sama dan menjamin anak-anak berkelainan diakui sebagai warga belajar serta memenuhi kebutuhan khusus mereka. Sehingga dalam pelaksanaanya, konsep pendidikan inklusi sangat berkaitan dengan :
• Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktek untuk merespon keberagaman siswa dalam lingkungannya;
• Pembelajaran dan partisipasi semua anak yang rentan akan tekanan eksklusifitas termasuk bagi anak-anak normal yang bukan siswa penyandang cacat;
• Meningkatkan mutu siswa maupun guru dan staf disekolah;
• Mengatasi hambatan akses dan partisipasi siswa berkebutuhan khusus; • Pemenuhan hak siswa untuk didik di dalam lingkungan masyarakatnya;
• Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai masalah; • Saling memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat;
• Memandang pendidikan inklusi sebagai satu aspek dari Masyarakat Inklusif.
t. UNESCO,menyebutkan system pendidikan inklusif sebagai suatu gerakan. Tidak hanya itu, UNESCO bahkan mengaitkannya langsung dengan peningkatan mutu sekolah. Pendidikan Inklsif telah berkembang sebagai suatu gerakan untuk menantang kebijakan dan praktek pendidikan eksklusif yang selama ini di terpkan. Ruang lingkup pendidikan inklusif dan eksklusif saling terkait satu sama lain karena keduanyamerupakan sebuah proses peningkatan partisipasi siswa yang menuntut adanya pengurangan tekanan yang
(50)
Cakupan Konsep Nilai-nilai dalam konsep
Konsep-konsep tentang anak Semua anak berhak memperoleh pendidikan
didalam komunitasnya sendiri
Semua anak dapat belajar, dan siapapun dapat
mengalami kesulitan dalam belajar.
Semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar. Pengajaran yang terfokus pada anak bermanfaat
bagi semua anak. Konsep-konsep tentang sistem pendidikan dan
persekolahan
Pendidikan lebih luas dari pada persekolahan formal Sistem pendidikan yang fleksibel dan responsif
Lingkungan pendidikan yang memupuk kemampuan
dan ramah
Peningkatan mutu sekolah – sekolah yang efektif Pendekatan sekolah yang menyeluruh dan
kolaboarasi antar mitra. Konsep-konsep tentang keberagamaan dan
diskriminasi
Memberantas diskriminasi dan tekanan untuk
mempraktekan eksklusi
Merespon/merangkul keberagamaan sebagai
sumber kekuatan, bukan masalah
Pendidikan inklusif mempersiapkan siswa untuk
masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan
u. Konsep-konsep utama yang tertulis Inclusive Education Where There Are Few Resource,
(51)
Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi
Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi Meningkatkan partisipasi nyata bagi semua orang Kolaborasi, kemitraan
Metodologi partisipatori, Penelitian tindakan Penelitian kolaborotif
Konsep-konsep tentang sumber daya Membuka jalan ke sumber daya setempat Redistribusi sumber daya yang ada
Memandang orang (anak, orang tua, guru, anggota
kelompok termarjinalisasi dll)sebagai sumber daya utama
Sumber daya yang tepat yang terdapat di dalam
sekolah dan pada tingkat lokal dibutuhkan untuk berbagai anak, misalnya Braille, alat asistif.
(52)
2. Penerapan Pendidikan Inklusif di Beberapa Negara
Pendidikan inklusif pada mulanya diprakarsi dan dipraktekkan oleh negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia) yang menganut faham welfare state.Untuk mengetahui perjalanan sejarah pelaksanaan sistem pendidikan inklusif tersebut, berikut ini diuraikan praktek pendidikan inklusif diberbagai negara :
a.Amerika Serikat & Inggris
Pada tahun 1960 Amerika Serikat belajar tentang penerapan sistem pendidikan inklusif dari Negara-negara skandinavia dengan mengirimkan pakar-pakar pendidikan mereka. Setelah itu pemerintah Amerika Serikat resmi melaksanakan sistem pendidikan inklusif di negaranya. Adapun Negara Inggris mulai memperkenalkan konsep pendidikan inklusif setelah terjadi pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integrative. Pergeseran model ini tertuang dalam Education Act 1991.
b. Cina
Di China, Propinsi Anhui merupakan daerah yang untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan pendidikan inklusif. Anhui adalah satu propinsi yang miskin dengan penduduk 56 juta oarang, dan untuk mencapai pendidikan untuk semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu di-inklusif-kan. Pendidikan usia dini sudah diprioritasikan dan sistem pendidikan taman kanak-kanak berkembang dengan pesat di Anhui waktu itu. Bahkan ada banyak diantarannya mempunyai lebih dari seribu orang siswa penyandang cacat.
(53)
Program perintis pendidikan inklusif di Cina ketika itu telah mendorong terjadinya perubahan-perubahan banyak aspek dalam lingkungan belajar mengajar anak. Anak belajar lebih aktif, dalam kelompok kerja dan bermain. Selain itu juga terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga melalui pendekatan seluruh sekolah (whole school
approach) dan dukungan belajar antar teman sebaya. Dukungan dari administrator
(pemerintah lokal) dan masyarakat setempat juga sangat signifikan melalui pembentukan komite sekolah, disamping juga pelatihan guru yang itensif mengenai sekolah yang berkesinambungan. Akhirnya, proses re-integrasi anak tunagrahita ke lingkungan masyarakat normal terus terjadi secara bertahap.
c. Laos
Pada awal tahun 1990-an Laos mengalami Reformasi Pendidikan. Reformasi ini ditandai dengan diperkenalkannya sebuah metode pengajaran yang aktif dan terfokus pada diri anak untuk meningkatkan kualitas dengan biaya murah. Tujuannya agar pendidikan bisa dinikmati semua anak. Memberikan pendidikan kepada anak penyandang cacat merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dicanangkan Laos waktu itu secara nasional. Program perintis pendidikan inklusif dilaksanakan, dan berhasil karena sepenuhnya dikaitkan dengan reformasi sistem.
Reformasi pendidikan juga menyentuh pada aspek metodelogi mengajar dan pendidikan guru. Kurikulum yang ada juga diperbaharui sehingga menjadi relevan dan mempelancar jalan bagi terjadinya proses integrasi sosial. Laos tidak memilik sekolah khusus untuk anak penyandang cacat, dan ini merupakan keuntungan yang sangat besar bagi Kementrian Pendidikan karena dengan demikian dapat membangun sistem yang menjangkau semua anak.
(54)
d. Nicaragua
UNESCO memberikan paket sumber berupa buku-buku tentang sistem pendidikan inklusi. Paket Sumber (penyedia sarana, prasarana dan guru pembibing khusus) UNESCO tersebut digunakan untuk mengembangkan praktek pendidikan inklusif di Nicaragua.
Paket sumber tersebut membantu guru untuk merenungkan hal-hal yang telah dipraktekkannya sendiri, melaksanakan penelitian tindakannya sendiri, mengidentifikasi masalah yang dihadapinya, mempelajari serta menganalisisnya, dan menciptakan jalan pemecahannya.
e. Mozambique
Sebuah kompetisi pendidikan inklsif diselenggarakan bagi guru-guru untuk menunjukan bagaimana mereka mengidentifikasi anak yang mengalami kesulitan dalam belajar dan bagaimana mereka meresponnya. Guru yang membuat laporan kasus terbaik diberi hadiah sepeda, radio dan buku tentang pendidikan inklusif.
Guru-guru itu menyatakan bahwa; Jelas bahwa kami memerlukan lebih banyak pelatihan dan dukungan yang terus-menerus. Penting untuk selalu berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat dari sekolah lain.Guru merupakan orang tua kedua dan mereka harus menerima semua jenis anak. Sejak ini praktek pendidikan inklusif berlangsung di Mozambique.
(55)
f. Lesotho
Lesotho pernah melakukan studi kelayakan program pendidikan inklusif. Studi ini menyimpulkan bahwa 19% anak yang sudah masuk sekolah dasar mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu program inklusif di Lesotho ini memfokuskan pada peningkatan kemampuan guru agar dapat merespon kebutuhan belajar setiap anak, termasuk menemukan cara agar kurikulum dapet diakses oleh mereka yang menyandang kecacatan.
g. India
Di India Selatan, para aktivis penyandang cacat bekerjasama dengan masyarakat untuk mempromosikan inklusi social yang pada gilirannya meretas jalan menuju inklusi dalam pendidikan. Ada dua hal penting yang mereka lakukan, dan ini menandai penerapan sistem pendidikan inklusif di India saat itu, yaitu;
• Menciptakan model peran yang positif dari siswa penyandang cacat dilatih sebagai again perubahan dan menyampaikan informasi yang berharga tentang kesehatan kepada masyarakat. Mereka mulai dipandang sebagai sumber daya yang berharga di masyarakat. • Mereka mendorong keluarga-keluarga untuk memberikan anaknya yang penyandang
cacat untuk keluar rumah dan bermain bersama anak-anak lain du tempat bermain yang inklusif. “Hal ini memberi kesempatan kepada anak penyandang cacat dan non cacat beserta orang tuanya untuk bergaul, meretas jalan menuju penerimaan dan inklusi”. Saling mengenal merupakan benih inklusi.
(56)
h. Mali
Distrik Dounentza di Mali adalah salah satu daerah termiskin di dunia. Sembilan puluh persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Hanya 8% anak yang bersekolah, dan 87% anak usia 7 tahun bekeja sekitar 6 jam perhari. Dari desa-desa yang ada, hanya 6% yang memiliki sekolah dan itupun guru-gurunya tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dan beban kerjanya sangat tinggi. Dalam konteks ini, program rintisan penddikan yang dikembangkan juga terdapat program pendidikan inklusif sebagai komponen inti.
Di Mali banyak hambatan yang menyebutkan anak penyandang cacat diabaikan, tetapi ada hambatan-hambatn tertentu yang spesifik untuk inklusi anak penyandang cacat. Anak dengan kecacatan mobilitas, penglihatan dana pendengaran diinklusifikan. Para aktivis pendidikan memulai dengan komitmen untuk mengkutsertakan anak penyandang cacat, tetapi sesungguhnya mereka tidak benar=benar yakin apakah anak penyandang cacat dapat bersekolah.
(57)
3. PENGATURAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Pengaturan mengenai sistem pendidikan inklusif dapat kita temukan di konvensi-konvensi internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. Pengaturan sistem pendidikan inklusif ke dalam beberapa konvensi internasional menunkukkan kepada kita bahwa inklusif merupakan isu yang penting dan menjadi trend global seperti halnya isu mengenai demokrasi, hak asasi manusia dan good governance.
A.Landasan Hukum Internasional
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) menegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.” Oleh karena itu dalam pasal 2 DUHAM ditegaskan bahwa Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak yang berada di wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau orang tua atau walinya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau penadapat lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran ataupun status lainnya.
Selain itu, Pasal 23 DUHAM juga menegaskan bahw Negara mengakui bahwa anak yang menyandang kecacatan mental ataupun fisik seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan utuh, dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan serta memberi kemudahan kepada anak untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
(58)
Sehubungan dengan pendidikan, sesuai Pasal 28 DUHAM Negara mengakui hak anak atas pendidikan dan pencapaian hak tersebut dilakukan secara berangsur-angsur atas dasar kesamaan kesempatan. Oleh karena itu Negara dihimbau untuk:
a) Membuat pendidikan dasar wajib dan di sediakan secara Cuma-Cuma bagi semua anak; b) Mendorong pengembangan berbagai bentuk pendidikan lanjutan, termasuk pendidikan
umum dan kejuruan, membuatnya tersedia dan dapat diakses oleh setiap anak; c) Membuat pendidikan tinggi yang dapat diakses oleh semua orang;
d) Membuat agar informasi tentang pendidikan dan pekerjaan serta bimbingan tersedia dan dapat diakses oleh semua anak;
Mengambil langkah-langkah unuk mendorong agar anak-anak dapat bersekolah secar teratur dan mengurangi angka putus sekolah. Disamping itu, Pasal 29 DUHAM menyatakan negara menyetujui bahwa pendidikan bagi anak seyognya diarahkan untuk:
a) Pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental maupun fisik anak seoptimal mungkin;
b) Pengmbangan penghargaan atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental,
c) Pengembangan penghargaan terhadap orang tua anak, identitas budayanya, bahasa dan nilai-nilai yang dianutnya, terhadap nilai-nilai nasional dari Negara tempat asalnya, dan terhadap peradaban yang berbeda dari peradabannya sendiri;
d) Penyiapan anak untuk menjalani kehidupan yang bertanggung jawab di dalam masyarakat yang bebas;
(59)
2. Konvensi Hak Anak 1989 (Convention on the rights of the Child)
Konvensi PBB tentang HAK Anak (KHA) 1989 menyatakan bahwa pendidikan dasar wajib bagi setiap anak dan Negara membebaskan biayanya (lihat pasal 28 KHA). Ada empat prinsip umum yamng dianut dala KHA yaitu:
•Prinsip Non Diskriminasi
•Prinsip Kepentingan Terbaik Anak .
•Prinsip Penghormatan atas Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan . •Prinsip Penghargaan Atas Pendapat Anak .
Selain prinsip-prinsip yang terbesar dalam berbagai pasal tersebut, Komite Monitoring pelaksanaan hasil Konferensi Hak Anak mengemukakan prinsip penting lainnya yaitu bahwa semua hak-hak anak saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.
Khusus untuk perlindungan hak anak-anak penyandang cacat diatur dalam Pasal 23 KHA. Dalam pasal ini diperkenalkan terminologi “kebutuhan khusus”, namun belum didefinisikan lebih lanjut.
3. Deklarasi Jomtien, Thailand 1990.
Pada tahun 1990 dikeluarkan Deklarasi tentang pendidikan untuk semua di Jomtien, Thailand. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan, dan adanya kelompok tertentu yang rentan akan diskriminasi dan eksklusivitas. Kelompok
rentan ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan, anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya yang
(60)
Dalam Pasal III Deklarasi Jomtien ini diuraikan mengenai universalisasi akses dan peningkatan kesamaan hak sebagai berikut :
a. Pendidikan dasar wajib diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogyanya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan.
b. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat belajar yang wajar.
c. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap
d. hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan.
e. Suatu komitmen yang aktif harus ditunjukan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin;anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil;pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras, dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang;dan penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan diskriminatif dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar.
f. Kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan askes pendidikan bagi setiap katagori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan.
(61)
4. Resolusi PBB Nomor 48/96 tahun 1993
Pada tahun 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 48/96 tentang Persamaan Kesempatan bagi orang berkelainan (the standart rules on the equalization of for persons with disabilities). Dalam Resolusi disebutkan beberapa hal terkait dengan hak-hak atas pendidikan untuk penyandang cacat sebagai berikut :
• Negara menjamin bahwa pendidikan bagi penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan.
• Para pejabat umum bertanggung jawab atas para penyandang cacat.
• Pendidikan di sekolah umum menyediakan layanan pendukung yang tepat.
• Negara memiliki kebijakan yang jelas, kurikulum yang fleksibel, serta menyediakan materi yang berkualitas, juga pelatihan guru dan dukungan yang berkelanjutan.
• Program rehabilitasi berbasis masyarakat dilihat sebagai pelengkap bagi pendidikan integrasi.
• Dalam hal di mana sistem persekolahan umum tidak secara memadai memenuhi kebutuhan semua penyandang cacat, pendidikan luar biasa dapat dipertimbangkan.
(62)
5. Deklarasi Salamanca (UNESCO)
Deklarasi Salamanca dikeluarkan dalam sebuah Konferensi Internasional yang diselenggarakan di Salamanca pada tahun 1994, Spanyol dihadiri oleh Menteri-Menteri Pendidikan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ini merupakan penegasan atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan ada.
Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak harus belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Dalam Pasal 2 Deklarasi ini dinyatakan bahwa; sistem pendidikan agar mempertimbangkan berbagai macam karakteristik dan kebutuhan anak yang berbeda-beda. Selain itu, sekolah regular dengan orientasi inklusif merupakan tempat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih jauh, sekolah tersebut memberikan pendidikan yang efektif kepada sebagian besar anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menjadi system pendidikan yang paling ekonomis.
Pengalaman menunjukan bahwa sekolah inklusif, yang memberi layanan kepada semua anak di masyarakat, sangat berhasil dalam menggalang dukungan dari mayarakat dan dalam menemukan cara yang imaginative juga inovatif untuk memanfaatkan ketersediaan sumber-sumber yang terbatas (Pasal 10). Sehingga kebijakan pendidikan pada semua level, dari level nasional hingga lokal, seyogyanya menetapkan bahwa seorang anak penyandang cacat bersekolah di lingkungan setempat tinggalnya, di sekolah yang akan dimasukinya andai kata
(63)
Level Agenda Aksi Pertanyaan Kunci
Perundang-undangan dan Kebijakan Pemerintah Kebijakan, fakta atau kebijakan internasional, regional atau nasioanl yang terkait dengan anak, pendidikan danm kecacatan – membantukah atau menghambatkah?
Lembaga Pemerintah Siapa yang bertanggung jawab untuk apa?
Siapa yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan, anggaran, implementasi?
Keahlian apa yang tersedia?
Bagaimana hubungan antara pemerintah dengan organisasi non pemerintah dan kelompok pengguna?
Masyarakat Bagaimanakah sikap dan prilaku yang ada?
Apakah anak penyandang cacat sudah bersekolah?
Dimana mereka? Apakah ada RBM? Persatuan orang tua? Organisasi penyandang cacat?
Sekolah Bagaimanakah hubungan antara sekolah dengan masyarakat dan pemerintah pada berbagai level?
Bagaimanakah sistem persekolahan yang ada? TK?SLB/unit khusus? Siapakah yang bersekolah? Siapa yang putus sekolah?
Bagaimanakah pengelolaan sekolah? Kurikulum, Metedeloginya? Pengetahuan Jenis pelatihan apa yang ada dan siapakah yang melaksanakannya?
Apakah ada pelatihan “khusus”?
Bagaimanakah perkembangan bahasa isyarat?
Jenis informasi apa yamng didapat orang mengenai kecacatan? Ada bengkel untuk memproduksi peralatan asistif?
Sumber Daya Orang tua, anggota masyarakat
Donator, organisasi internasional non pemerintah Apa yang membantu/ menghambat inklusi? Materi: fasilitas untuk braile, alat Bantu mbilitas
6. Lokakarya Laos 1995,
Pada tahun 1995, di selenggarakan lokakarya Internasional di Laos sebagai lanjutan dari Konferensi Salamanca. Lokakarya ini untuk merencanakan dan melaksanakan sistem
pendidikan inklusif. Berikut rencana aksi yang berhasil disusun dengan mengadopsi Kerangka Aksi Salamanca
(64)
7. Konvensi Hak Penyandang Cacat dan Protokol Opsional terhadap Konvensi (Resolusi PBB 61/106, 13 Desember 2006)
Dalam Mukadimah Konvensi ini tepatnya huruf v disebutkan bahwa Negara-negara pihak mengakui pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, social, ekonomi, dan budaya, terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan serta terhadap informasi dan komunikasi, untuk memampukan orang-orang penyandang cacat agar dapat menikmati dan kebebasan mendasar. Lebih lanjut dalam Pasal 24 Konvensi diatur bahwa :
1. Negara Pihak mengakui hak orang-orang penyandang cacat atas pendidikan. Dengan tujuan untuk mewujudkan hak ini tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan. Negara-negara Pihak harus menjamin suatu sistem pendidikan yang inklusif di semua tingkatan dan Pembelajaran jangka panjang yang ditujukan untuk :
a. Pengembangan potensi manusia yang sepenuhnya dan perasaan martabat dan harga diri, serta penguatan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan mendasar, dan keberagaman manusia.
b. Pengembangan personalitas, bakat, dan kreativitas, serta kemampuan mental dan fisik orang-orang penyandang cacat sejauh potensi mereka memungkinkan.
c. Memampukan orang-orang penyandang cacat untuk berpartisipasi secara efektif di masyarakat yang bebas;
(1)
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3) Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP.
(5) Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah.
Pasal 2
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran 2006/2007.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling lambat tahun ajaran 2009/2010.
(3) Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah
melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007.
(2)
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan :
a. Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar luar biasa (SDLB): - tahun I : kelas 1 dan 4;
- tahun II : kelas 1,2,4, dan 5; - tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.
b. Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) :
- tahun I : kelas 1; - tahun II : kelas 1 dan 2; - tahun III : kelas 1,2, dan 3.
(5) Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan khusus, disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di provinsi masing-masing.
(2) Bupati/walikota dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan
(3)
(3) Menteri Agama dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah (MA), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada tingkat satuan pendidikan, secara nasional.
(2) BSNP dapat mengajukan usul revisi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan keperluan berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan secara nasional;
b. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(4)
Pasal 6
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP, terhadap guru, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya yang relevan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan/atau Pusat Pengembangan dan
Penataran Guru (PPPG);
b. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP kepada dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota,
dan dewan pendidikan;
c. membantu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penjaminan mutu satuan pendidikan dasar dan menengah agar dapat memenuhi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui LPMP.
Pasal 7 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional: a. mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP; b. mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif;
c. mengembangkan dan mengujicobakan model kurikulum untuk pendidikan layanan khusus;
d. bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau LPMP melakukan pendampingan satuan pendidikan dasar dan menengah dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah;
e. memonitor secara nasional penerapan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mengevaluasinya, dan mengusulkan
rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri;
f. mengembangkan pangkalan data yang rinci tentang pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
(5)
Pasal 8 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, di kalangan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK);
b. memfasilitasi pengembangan kurikulum dan tenaga dosen LPTK yang mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 9
Sekretariat Jenderal melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kepada pemangku kepentingan umum.
Pasal 10
Departemen lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan dasar dan menengah :
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan kewenangannya dan berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional;
b. mengusahakan secara nasional sesuai dengan kewenangannya agar sarana, prasarana, dan sumber daya manusia satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangannya mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
c. melakukan supervisi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(6)
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : a. Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar;
b. Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Umum; c. Nomor 080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan; dan d. Nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa;
dinyatakan tidak berlaku bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sejak satuan pendidikan dasar dan menengah
yang bersangkutan melaksanakan Peraturan Menteri ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juni 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, TTD.