TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR: SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL.

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT

EDARAN KAPOLRI NOMOR: SE/06/X/2015 TENTANG

PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (

HATE SPEECH

) DI

MEDIA SOSIAL

SKRIPSI

Oleh : Feni Hidayati NIM. C03212011

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Siyasah Jinayah

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Surat Edaran Kapolri

Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media

Sosial” adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang, 1. Bagaimana

Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate

Speech) Di Media Sosial? 2.Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap Surat Edaran

Kapolri Nomor: SE 06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di

Media Sosial?

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode normatif dan dengan pola fikir deduktif sehingga sesuai dengan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 Tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang terjadi di media sosial untuk memperoleh

kesimpulan yang khusus dan dianalisis menurut hukum pidana Islam.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Penanganan pihak kepolisian terhadap pelaku ujaran kebencian di media sosial terutama yang terkait dengan pencemaran nama baik sangat diperlukan sehingga dibentuklah Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebagai langkah awal pencegahan terhadap ujaran kebencian di media sosial. Penanganan diawali dengan tindakan preventif, dilanjutkan dengan tindakan represif dan diakhiri dengan tindakan pemidanaan oleh pihak kepolisian sesuai dengan sumber hukum rujukan. Ini dilakukan sebagai penerapan dari diberlakukannya Surat Edaran Kapolri. Sementara itu, didalam hukum pidana Islam hukuman terhadap pelaku ujaran kebencian di media sosial adalah hukuman takzir berupa penahanan dalam penjara terbatas artinya sudah ditentukan waktunya oleh hakim. Hukuman takzir pemidanaan diberikan dalam rangka pencegahan (preventif), pendidikan (edukatif) dan pengarahan (represif) kepada kemaslahatan pelaku. Meskipun penanganan yang dilakukan berbeda dilangkah awal namun, memiliki maksud yang sama yakni menimbulkan efek jera dan pembelajaran terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Menyarankan kepada pihak aparat penegak hukum, terutama para hakim agar menegakkan hukum dengan adil terhadap pelaku pencemaran nama baik dengan

mempertimbangkan berbagai aspek sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Dan juga

masyarakat, dengan adanya sanksi yang akan diterima kepada pelaku tindak pidana pencemaran nama baik, maka diharapkan tidak akan ada lagi kejahatan yang sama.


(7)

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN………... . iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Blakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM ... 19

A. Pencemaran Nama Baik Dalam Islam ... 19

1. Pengertian Pencemaran Nama Baik ... 20

2. Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik ... 21

B. Hukuman Dalam Islam ... 23

1. Pengertian Hukuman ... 23

2. Pengertian Takzir dan Bentuk-Bentuk Hukuman Takzir ... 26

3. Dasar Hukum Pemberlakuan Takzir ... 29

4. Hikmah Disyariatkannya Hukuman Takzir ... 20


(8)

1. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Badan... 31

2. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang ... 33

3. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Harta ... 34

4. Sanksi Takzir Dalam Bentuk Lain ... 36

BAB III SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR: SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL………. ... 37

A. Pencemaran Nama Baik (Ujaran Kebencian) ... 37

1. Pengertian Pencemaran Nama Baik Dalam Ujaran Kebencian . 38 2. Sumber Hukum Rujukan Ujaran Kebencian... 42

B. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian ... 43

C. Penanganan Pelaku Ujaran Kebencian ... 49

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR: SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL.. ... 63

A. Analisis Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media Sosial ... 63

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media Sosial ... 70

BAB V PENUTUP... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi sudah sangat canggih, cepat dan

mudah, sehingga menjadi gaya hidup (lifestyle) bagi masyarakat di seluruh

dunia tidak terkecuali di Indonesia juga terkena pengaruh perkembangan

teknologi informasi di era globalisasi ini. Diikuti dengan jumlah penduduk

Indonesia yang setiap tahun selalu bertambah populasi penduduknya karena

angka kelahiran terus meningkat, sehingga pemanfaatan teknologi sangat

diperlukan untuk menunjang pekerjaan sehari-hari. Salah satu pemanfaatan

teknologi informatika dengan munculnya berbagai macam situs jejaring sosial

(media sosial), pengguna situs jejaring sosial ini menyebar luas ke berbagai

macam kalangan anak-anak, mahasiswa, ibu rumah tangga, ekonomi atas

sampai ekonomi bawah dan masih banyak yang lainnya dapat menggunakan

situs jejaring sosial untuk kebutuhan masing-masing pengguna.

Sehingga media sosial banyak digunakan oleh masyarakat dunia

khususnya Indonesia, bisa kita temukan melalui mesin pencari seperti Google

atau Mozilla firefox dan yang lainnya, namun yang paling populer dikalangan

para pengguna media sosial diantaranya adalah Facebook, Twitter, BBM,

WhatsApp, Instagram, dan banyak yang lainnya.

Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait


(10)

2

khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan

hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Sebagai akibat dari

perkembangan yang demikian, maka lambat laun, teknologi informasi dengan

sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dari peradaban manusia

secara global.1

Namun, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan

dampak positif saja, namun juga memberikan dampak negatif, tindak pidana

penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech) dan/atau penghinaan, serta

penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa

kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat

tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tindak

pidana tersebut selain menimbulkan dampak yang tidak baik juga dapat

merugikan korban dalam hal pencemaran nama baik, dengan modus operandi

menghina korban dengan menggunakan kata-kata maupun gambar dan meme2

kata yang menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus ini

diperlukan adanya ketegasan pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi

kesalahpahaman yang akhirnya merugikan masyarakat.

Dengan adanya pasal 27 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan: “Setiap orang dengan

sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

1

Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (CYBERCRIME), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 2.

2

Meme atau mimea adalah neologisme yang dikenal sebagai karakter dari budaya, yang termasuk didalamnya yaitu gagasan, perasaan, ataupun perilaku (tindakan).


(11)

3

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.3

Di dalam istilah tindak pidana penghinaan yang tercantum di dalam

pasal 310 KUHP ayat (1) berbunyi:

Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya

Rp.4.500,-.4 Dikatakan sebagai suatu istilah umum dalam menggambarkan

tindak pidana terhadap kehormatan.

Tindak pidana kehormatan ini, menurut hukum pidana terdiri dari

empat bentuk, yakni:

1. Menista secara lisan;

2. Menista secara tertulis;

3. Fitnah;

4. Penghinaan ringan;5

Didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga berisi

tindak pidana lain terhadap kehormatan, yang sangat berkaitan dengan

kehormatan dan nama baik, yakni:6

3

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang R.I. Tentang Pornografi dan Informasi dan Data Transaksi Elektronik, (Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011), 44.

4

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), 225.

5

Leden Marpaung, Tindak Pidana Kehormatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 15.

6


(12)

4

1. Pemberitahuan palsu;

2. Persangkaan palsu;

3. Penistaan terhadap yang meninggal;

Kasus-kasus pencemaran nama baik yang masuk dalam ranah ujaran

kebencian yang berujung pada pelaporan pidana sering dilakukan oleh mereka

yang merasa dirugikan oleh para haters (pengikut jejaring sosial namun

dengan komentar yang menjatuhkan bahkan menghina) dengan menggunakan

pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang Transaksi Elektonik dan

KUHP.

Seperti kasus dari Yulianus selaku pemilik akun twitter

@YPaonganan yang menghina Presiden Joko Widodo dengan memasang foto

dengan tulisan porno Presiden Joko Widodo dan artis Nikita Mirzani

disebarkan kepada masyarakat umum. Kasus ini dilaporkan ke polisi namun

bukan Presiden Joko Widodo sendiri yang melaporkannya, dan pada kamis, 17

Desember 2015, ia ditangkap oleh penyidik dari Subdirektorat Cyber Crime

Mabes Polri. Atas tindakannya menghina Presiden Joko Widodo, Yulianus

disangkakan telah melanggar pasal pasal 4 ayat 1 huruf a dan e UU Nomor 44

Tahun 2008 Tentang Pornografi, pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE).7

Dan masih banyak lagi kasus mengenai penghinaan, pencemaran nama

baik dengan menggunakan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo,

7 Iqbal Fadil, “Hina Joko

wi di Media Sosial, orang-orang ini ditangkap polisi”, dalam


(13)

5

terutama dalam meme kata dan karakter yang sering diposting oleh para

pengguna jejaring sosial, bisa juga ditemui dalam

www.memekomikIndonesia.com, yang dari semua pelaku berpendapat secara

pribadi dengan menggunakan kata kebebasan ber-ekspresi dan hak asasi

manusia. Sehingga tindak pidana mengenai penghinaan, pencemaran nama

baik dengan menggunakan ujaran kebencian diperlukan kejelasan dalam

penanganan.

Dari munculnya polemik permasalahan dan semakin banyaknya kasus

pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian terhadap

Presiden Joko Widodo, maka diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor:

SE/6/X/2015 yang menyebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak

pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan

ketentuan pidana lainnya diluar KUHP. Surat Edaran ini dirilis oleh Kepala

Polri Jenderal Badrodin Haiti yang dikeluarkan pada 8 Oktober 2015.8

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini memiliki harapan,

bahwasanya bagi warga masyarakat dan khususnya bagi para pengguna

internet (netizen), untuk ekstra hati-hati dalam menyampaikan pendapat

diruang publik, khususnya di ranah jejaring sosial.

Didalam Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan

Ujaran Kebencian ditekankan bahwasanya surat edaran ini bisa digunakan

sebagai rujukan, terdapat macam-macam ujaran kebencian yang telah diatur

oleh KUHP dan digunakan pihak kepolisian secara internal untuk memahami

8

Novianti indah, “Surat Edaran Kapolri Mengenai Ujaran Kebencian di Media Sosial”, dalam http://www.noviantiindah.com/2015/11/surat-edaran-kapolri-mengenai-ujaran.html?m=1, diakses pada 01 April 2016.


(14)

6

langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian dengan melakukan tindakan

secara preventif sehingga bagi pelaku yang terbukti menghina dan melakukan

ujaran kebencian akan ditangani dengan cara mediasi terlebih dahulu,

mengedepankan fungsi binmas untuk kerjasama dengan tokoh masyarakat

sebagai tindakan represif namun, apabila tidak ada kesepakatan dalam mediasi

dan masih dilakukan pengulangan terhadap perbuatan tersebut maka dilakukan

tindakan secara pidana yaitu menjerat dengan tuduhan tindak pidana sesuai

dengan pasal yang disangkakan.9

Islam sebuah agama yang raḥmatan lil ālamīn yang mengajarkan

hubungan keTuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar, Islam sebagai

agama yang raḥmatan lil ālamīn benar-benar mengharamkan perbuatan

menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, mencaci maki,

memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang

menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun, menghinakan

orang-orang yang melakukan dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji

yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka dalam golongan

orang-orang yang fasik, karena Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk

merendahkan orang lain. Sehingga dalam Islam mensyariatkan adanya hukuman (‘uqūbāh) sebagai salah satu tindakan yang diberikan sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syariat, dengan tujuan

untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga

9

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar, 2015), 4.


(15)

7

untuk melindungi kepentingan individu. Adapun jenis-jenis hukuman sendiri

ada tiga macam yakni:

1. jarimah hudud; adalah semua jenis tindak pidana yang telah ditetapkan

jenis, bentuk dan sanksinya oleh Allah SWT.

2. jarimah qisas; adalah kesamaan antara perbuatan pidana dengan sanksi

hukumnya.

3. jarimah takzir; adalah jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur

dalam Alquran dan hadis.

Seperti contoh pada zaman Nabi Muhammad SAW. Disebutkan bahwa

fitnah pernah menimpah istri Nabi Aisyah ra. Pada saat dalam perjalanan

kembali dari perang, rombongan kaum muslimin berhenti disuatu tempat

untuk beristirahat, pada saat itu Aisyah keluar dari tandu untuk membuang

hajat dan pada saat kembali Aisyah merasa kalungnya hilang lalu pergi

kembali untuk mencari kalung. Pada saat tiba ditempat istirahat rombongan

Aisyah sudah ditinggal dengan persangkaan rombongan Aisyah masih

didalam tandu. Akhirnya Aisyah menunggu beberapa jam untuk menunggu

rombongan yang lain. Akhirnya Aisyah bertemu dengan Shafwan bin Mu’aththal dan mempersilahkan Aisyah untuk menaiki untanya sampai ke Madinah. Sesampai di Madinah fitnah keji mulai bertebaran di kalangan

masyarakat, terutama dilakukan oleh tokoh munafik Abdullah bin Umay bin

Salul, dan kaum muslimpun juga melakukannya seperti Hasan bin Tsabit,

Hamnah binti Jahsy dan Misthah bin Utsatsah, sehingga Nabi menjatuhi


(16)

8

kali cambukan.10

Tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik melalui ujaran

kebencian belum diatur dalam hukum pidana Islam, kasus diatas masuk dalam

kategori pencemaran nama baik dengan hukuman cambuk oleh karena itu,

tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori jarimah takzir karena tidak

ditentukan dalam Alquran maupun hadis. Hukuman takzir adalah hukuman

yang bersifat mencegah, menolak timbulnya bahaya, sehingga penetapan

timbulnya jarimah adalah wewenang penguasa atau hakim menyangkut

kemaslahatan umum.11

Atas dasar pemikiran yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik

untuk mengkaji, meneliti, menganalisis masalah ini dalam skripsi yang berjudul: “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Surat Edaran Kapolri

Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Di Media Sosial”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah

diatas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai

berikut:

1. Sanksi pidana penghinaan dengan ujaran kebencian (hate speech) di media

sosial menurut UU No. 11 Tahun 2008.

2. Kriteria dan penyebab penghinaan dengan ujaran kebencian (hate speech).

10

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 56-57.

11


(17)

9

3. Dampak penghinaan dengan ujaran kebencian (hate speech).

4. Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran

Kebencian (hate speech) Di Media Sosial.

5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor:

SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) Di

Media Sosial.

Dari beberapa identifikasi masalah diatas, perlu dijelaskan

batasan-batasan atau ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini

agar skripsi ini dapat terarah pembahasannya, maka penulis membatasi

permasalahan yang akan dibahas yaitu:

1. Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran

Kebencian (hate speech) Di Media Sosial.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor:

SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) Di

Media Sosial.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah serta pembatasan masalah

diatas maka penulis merumuskan beberapa masalah guna mempermudah

pembahasan masalah serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) di Media Sosial?


(18)

10

Nomor: SE 06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate

speech) di Media Sosial?

D. Kajian Pustaka

Penelitian tindak pidana penghinaan dengan ujaran kebencian menjadi

pembicaraan yang aktual setelah dikeluarkannya Surat Edaran Kapolri Nomor:

SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang dalam hal ini

melibatkan pihak kepolisian secara langsung untuk menangani masalah

terhadap ujaran kebencian yang dilakukan melalui media sosial. Maksud dari

dikeluarkannya SE ini adalah sebagai langkah awal mediasi terhadap pelaku

ujaran kebencian untuk menghentikan aksinya sebelum di bawa ke ranah

hukum pidana.

Kajian pustaka ini merupakan upaya untuk mengetahui penelitian

mana yang sudah pernah dilakukan dan mana yang belum dan mana posisi

penelitian yang dilakukan diantara penelitian-penelitian yang sudah ada itu.

Hal ini bertujuan, agar tidak ada duplikasi atau bentuk-bentuk plagiat dalam

penelitian yang dilakukan.

Skripsi karya oleh Muhammad Mujahidin tahun 2013 dengan judul:

Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Nama Baik/Penghinaan Via Jejaring Sosial Menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.12 Penulis skripsi ini menyatakan bahwa

12 Muhammad Mujaidin, “Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Nama

Baik/Penghinaan Via Jejaring Sosial Menurut UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 18.


(19)

11

berdasarkan hukum positif sanksi pidana pencemaran nama baik via jejaring

sosial menurut undang-undang nomor 11 tahun 2008 termaktub dalam pasal

27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) yang menjatuhkan pidana penjara paling lama

enam tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,00,- (satu miliyar rupiah).

Sedangkan dalam hukum Islam atau fiqih jinayah masuk dalam ranah jarimah

takzir bukan termasuk jarimah qisas dan hudud, sebab bisa dipastikan bahwa

pada masa Rasulullah belum ditemukan teknologi komputer dan internet

seperti zaman ini, sehingga diperlukan wewenang khusus kepada ulil amri

(pemimpin) untuk menjatuhkan hukum atas kasus tersebut.

Skripsi karya Lilik Masfiyah tahun 2014 dengan judul: Sanksi

Pencemaran Nama Baik Oleh Pers Menurut Fiqih Jinayah dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.13 Penulis skripsi ini menyatakan bahwa sanksi

pidana pencemaran nama baik oleh pers menurut fiqh jinayah menggunakan

jarimah takzir dan jenis sanksinya diserahkan kepada ulil amri yakni penguasa

dan hakim dilembaga peradilan yang mempunyai otoritas untuk

menetapkannya. Sedangkan menurut UU No. 40 Tahun 1999 berbentuk

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.

500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah). Hal ini bahwa penerapan pasal

mengenai pencemaran nama baik di Indonesia memang sangat rancu,

undang-undang pers belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan

berlakunya Undang-Undang lain.

13Lilik Masfiyah, “Sanksi Pidana Penc

emaran Nama Baik Oleh Pers Menurut Fiqih Jinayah Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers” (Skripsi-- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 19.


(20)

12

Skripsi karya Ahmad Kamal Abdul Jabbar tahun 2016 dengan judul:

Tren Meme dan Ruang Kebebasan Dalam Fanpage Meme Comic Indonesia.14

Penulis skripsi ini menyatakan bahwa motif yang digunakan oleh anggota

komunitas meme comic indonesia terbagi atas tiga motif, (1) motif

pengalihan; (2) motif identitas personal; (3) motif aktualisasi diri. Ketiganya

timbul karena dorongan kebutuhan yang berbeda-beda dan tidak bersifat

hirarkis dan tidak bersifat idealis. Sehingga, dalam satu proses ekspresi

melalui meme juga dapat didasari oleh beberapa jenis motif sekaligus. Cara

berekspresi yang dilakukan oleh meme comic indonesia secara garis besar

merupakan representasi dari fungsi media pers pada umumnya mengacu pada

UU No. 40 Tahun 1999.

Dengan demikian penelitian ini termasuk baru dan bukan termasuk

pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya dan menjadi alasan yang cukup kuat bagi penulis bahwa “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran

Kebencian (Hate Speech) Di Media Sosial” perlu dianalisis lebih lanjut.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini dalam rangka menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial.

14 Ahmad Kamal Abdul Jabbar, “Tren Meme Dan Ruang Kebebasan Dalam Fanpage Meme


(21)

13

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap Surat Edaran

Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Terhadap Penanganan Ujaran Kebencian

(Hate Speech) di Media Sosial.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, penulis ingin mempertegas kegunaan

hasil penelitian yang ingin dicapai dalam skripsi ini sekurang-kurangnya

dalam dua aspek yaitu:

1. Aspek teoritis

Hasil studi ini menambah dan memperkaya keilmuan serta menjadi

sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada aspek

hukum Islam yang dalam hal ini banyak berkaitan dengan hukum pidana

Islam.

2. Aspek praktis

Hasil studi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dan

bahan penyuluhan informatif serta edukatif untuk masyarakat, sehingga

dapat mengetahui terhadap ujaran kebencian, dan penanganannya baik

secara mediasi maupun melalui jalur hukum.

G. Definisi Operasional

Dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih jelas serta agar tidak

terjadi kesalahan dalam memahami topik pembahasan dari penelitian, maka

perlu dijelaskan beberapa istilah atau kata-kata di dalam judul tersebut:


(22)

14

digali dan disimpulkan dari Alquran dan hadis

tentang kriminalitas yang berkaitan dengan

keamanan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh, baik

menyangkut lima aspek (agama, nyawa, akal,

kehormatan dan harta) maupun tidak.15

Ujaran kebencian : Perkataan, perilaku, tulisan ataupun

pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu

terjadinya tindakan kekerasan dan sikap

prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut

atau korban dari tindakan tersebut.16

Surat Edaran Kapolri : Aturan yang dikeluarkan oleh Jenderal polisi,

dengan Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015

yang bertujuan untuk dilakukannya penanganan

secara preventif dan represif sebagai langkah

awal dari adanya penanganan ujaran

kebencian.17

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tuntunan tentang bagaimana secara

ter-struktur penelitian dilakukan, menggunakan alat dan bahan apa, prosedurnya

15

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 12.

16

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian, 2.

17


(23)

15

bagaimana, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara

metodologis dan sistematis.18

Dalam metode penelitian ini yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, didasarkan pada

penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan

menghimpun data, yaitu:

a. Sumber hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas.19 Bahan hukum primer terdiri dari aturan

hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan

perundang-undangan, kasus penghinaan dari media sosial, hukum

takzir dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), serta Hukum Pidana

Islam.

b. Sumber hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah, dan

jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat

memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan

penelitian.20

c. Sumber hukum tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum,

18

Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah Demi Langkah Pelaksanaan Penelitian, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 68.

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), 141.

20


(24)

16

kamus hukum, dan bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan

dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian.21

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dipergunakan teknik

dokumentasi (technique of documentation) dalam meninjau ujaran

kebencian berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015

tentang penanganan ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial.

Teknik tersebut, melakukan pengkajian terhadap isi surat, peraturan

perundang-undangan dan hukum Islam yang berhubungan dengan tema

penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan teknis analisis data yang secara

nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunaannya.

Masing-masing teknik analisis data diuraikan pengertiannya dan dijelaskan

penggunaannya untuk menganalisis data yang mana.22

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif, penelitian normatif adalah metode penelitian yang

mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan analisis hukum terhadap

Surat edaran kapolri tentang penanganan ujaran kebencian di media sosial.

Penelitian hukum normatif (legal research) terdiri dari inventarisasi

21

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) 106.

22

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 9-10.


(25)

17

hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah dalam hukum

positif, serta penemuan hukum in concreto.23

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta

diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan

dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data

ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas

tentang pendapat kemudian menjelaskannya secara lengkap dan

komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok

persoalan yang ada dalam penelitian ini, serta penarikan kesimpulan

dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif. Dengan demikian

kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan

dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini dan

agar dapat dipahami secara sistematis dan terarah, penulis menggunakan

sistematika pembahasan yang menjawab pokok permasalahan yang

dirumuskan. Sistematika pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan dari pembahasan skripsi yang

meliputi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

23


(26)

18

Bab kedua membahas tentang ujaran kebencian di media social dalam

tinjauan hukum pidana Islam berdasarkan takzir meliputi pengertian

penghinaan atau pencemaran nama baik dalam ujaran kebencian menurut

hukum pisana Islam, unsur-unsur penghinaan atau pencemaran nama baik,

dasar hukum pemberlakuan takzir, macam-macam takzir dan hikmah

disyariatkannya hukuman takzir.

Bab ketiga membahas tentang Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015

tentang penanganan ujaran kebencian di media sosial, pada bab ini berisikan

pengertian ujaran kebencian, hukum-hukum yang dijadikan rujukan,

bentuk-bentuk ujaran kebencian, tujuan ujaran kebencian terhadap

individu/kelompok, macam-macam bentuk ujaran kebencian melalui media,

uraian kasus dan bentuk penanganan pelaku ujaran kebencian oleh pihak

kepolisian.

Bab keempat merupakan pokok pembahasan dari seluruh pembahasan

dalam skripsi ini, oleh karenanya bab ini dikemukakan tentang analisis

aplikasi Surat Edaran Kepolisian Nomor: SE/06/X/2015 tentang penanganan

ujaran kebencian (hate speech) di media social dan analisis sanksi terhadap

ujaran kebencian di media sosial menurut hukum pidana islam terhadap Surat

Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian

(hate speech) di media sosial.

Bab kelima merupakan penutup dari keseluruhan pembahasan skripsi


(27)

19

BAB II

UJARAN KEBENCIAN (

HATE SPEECH

) DI MEDIA SOSIAL

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pencemaran Nama Baik Dalam Islam

Islam sebuah agama yang raḥmatan lil ālamīn yang mengajarkan

hubungan keTuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar dengan berbagai

macam syariat yang ada didalamnya sebagai hukum dalam melaksanakan

sesuatu agar tidak bertentangan dengan larangan agama. Kemanusiaan

menuntun untuk kehidupan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan syariat,

bertujuan untuk melindungi harkat serta martabat manusia. Setiap perilaku

yang merendahkan harkat dan martabat manusia baik secara pribadi maupun

sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT.1 Islam sebagai

agama yang raḥmatan lil ālamīn benar-benar mengharamkan perbuatan

menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, mencaci maki,

memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang

menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun, menghinakan

orang-orang yang melakukan dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji

yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka dalam golongan

orang-orang yang fasik, karena Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk

merendahkan orang lain.2 Ujaran kebencian sangat erat kaitannya dengan

penghinaan dan pencemaran nama baik dan merupakan pelanggaran yang

1

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 60.

2


(28)

20

menyangkut harkat dan martabat orang lain, yang berupa penghinaan biasa,

fitnah/tuduhan melakukan perbuatan tertentu, berita yang terkait dengan

ujaran kebencian sangat besar pengaruhnya dan sangat jauh akibatnya, karena

dapat menghancurkan reputasi, keluarga, karir dan kehidupan didalam

masyarakat tentunya. Didalam Alquran Allah SWT. berfirman:

ي

ا ي أ

ٱ

نيذل

ون م ء

ل

س ي

ر خ

و ق

نم

و ق

ع

ى س

أ

ونوك ي

ي خ

ر

نم

م

ل

ا سن

ء

نم

ا سن

ء

ى س ع

أ

نك ي

ي خ

ر

نم

ن

ل

ت

ز

مك س ن أ

ل

ز با ن ت

ب

ٱ

ل

ل ق

ب

ب

س

ٱ

ِ

س

م

ٱ ل

وس

ع ب

د

ٱ

ل

ي

ن

ن م

مل

بت ي

ل أ ف

ك

مه

ٱ

ظل

و

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang

yang dzalim. (QS.al- ujurāt (49): 11).3

Berdasarkan ayat tersebut, maka kiranya perlu di pahami mengenai

bagaimana pencemaran nama baik ini. Terutama dalam hal pengertian dan

unsur-unsurnya yaitu:

1. Pengertian Pencemaran Nama Baik

Dalam kitab Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin membagi tiga model

pencemaran nama baik yaitu:

a. Sukhriyyah: yaitu meremehkan atau menganggap remeh orang lain

karena sebab tertentu.

3


(29)

21

b. Lamzu: yaitu menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau

dengan kejelekan orang lain.

c. Tanabuz: yaitu model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau

memanggil lawan bicara dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang

paling buruk adalah memanggil wahai fasik atau wahai Yahudi pada

orang Islam.4

Sementara dalam pandangan al-Ghazali perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang berupa pencemaran nama baik adalah menghina

(merendahkan) orang lain didepan manusia atau didepan umum.5

Sedangkan Abdul Rahman al-Maliki membagi penghinaan menjadi tiga:

a. Al-Zammu: penisbahan sebuah perkara tertentu kepada seseorang

berbentuk sindiran halus yang menyebabkan kemarahan dan

pelecehan manusia.

b. Al-Qadhu: segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan

harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu.

c. Al-Taḥqir: setiap kata yang bersifat celaan atau mengindikasikan

pencelaan atau pelecehan.6

2. Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik

Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Disebutkan bahwa fitnah

pernah menimpah istri Nabi Aisyah ra. Pada saat dalam perjalanan

4

Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), 428.

5

Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihyaul Ulumuddin, (Ciputat: Lentera Hati, 2003), 379.

6


(30)

22

kembali dari perang, rombongan kaum muslimin berhenti disuatu tempat

untuk beristirahat, pada saat itu Aisyah keluar dari tandu untuk membuang

hajat dan pada saat kembali Aisyah merasa kalungnya hilang lalu pergi

kembali untuk mencari kalung. Pada saat tiba ditempat istirahat

rombongan Aisyah sudah ditinggal dengan persangkaan rombongan

Aisyah masih didalam tandu. Akhirnya Aisyah menunggu beberapa jam

untuk menunggu rombongan yang lain. Akhirnya Aisyah bertemu dengan Shafwan bin Mu’aththal dan mempersilahkan Aisyah untuk menaiki untanya sampai ke Madinah. Sesampai di Madinah fitnah keji mulai

bertebaran di kalangan masyarakat, terutama dilakukan oleh tokoh

munafik Abdullah bin Umay bin Salul, dan kaum muslimpun juga

melakukannya seperti Hasan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah

bin Utsatsah, sehingga Nabi menjatuhi hukuman bagi kaum muslimin

penyebar fitnah tersebut dengan delapan puluh kali cambukan.7

Dari kisah diatas terdapat unsur pencemaran nama baik namun,

tidak dapat dipidana apabila seseorang dalam hal perbuatan yang

dilakukan tersebut, tidak tahu atau belum ada suatu aturan yang mengatur

sebelumnya. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan orang

yang melakukan perbuatan meninggalkan perbuatan tadi. Seperti bunyi

kaidah:

ل

ج

ر

ي

ة

ل

ع

ق

و

ب ة

ل

ب

نلا

ص

7


(31)

23

Tidak ada hukuman dan tidak ada tindak pidana (jarimah) kecuali

dengan adanya nash.8

Abdul Qadir Audah melakukan kontekstualisasi dengan

membedakan ruang lingkup hukum pidana Islam yang dalam hal ini

mengenai unsur umum jarimah, untuk jarimah itu ada tiga macam yaitu:9

a. Al-rukn al-syar’ī, atau unsur formil adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku jarimah apabila

sebelumnya telah ada nas atau undang-undang yang secara tegas

melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku.

b. Al-rukn al-mādī atau unsur materiil adalah unsur yang menyatakan bahwa untuk bisa dipidananya seorang pelaku jarimah, pelaku harus

benar-benar telah melakukan perbuatan baik yang bersifat positif (aktif

melakukan sesuatu) maupun yang negatif (pasif tidak melakukan

sesuatu).

c. Al-rukn al-adabī atau unsur moril adalah unsur yang menyatakan

bahwa seorang pelaku tindak pidana harus sebagai subjek yang bisa

dimintai pertanggungjawaban atau harus bisa dipersalahkan.

B. Hukuman Dalam Islam 1. Pengertian Hukuman

Hukuman berasal dari bahasa arab ‘uqūbāh yang menurut bahasa

berasal dari kata (‘aqoba) yang artinya: mengiringinya dan datang

dibelakangnya. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu dapat

8

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 298.

9


(32)

24

disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah

perbuatan itu dilakukan.10

Dapat dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang

diberikan oleh syariat sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar

ketentuan syariat, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan

kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan

individu.

Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan

dalam fiqh jinayah/jarimah dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan

aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah

berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman, serta ditegaskan tidaknya

oleh Alquran dan hadis. Atas dasar ini, mereka membaginya menjadi tiga

macam yaitu:

a. Jarimah Hudud adalah semua jenis tindak pidana yang telah ditetapkan

jenis, bentuk, dan sanksinya oleh Allah SWT. dalam Alquran dan oleh

Nabi Muhammad SAW. dalam hadis. Sehingga hukuman had tidak

memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal

(tertinggi).11 Jarimah hudud terdiri atas:

1) Jarimah al-zinā (tindak pidana berzina);

2) Jarimah al-qadzf (tindak pidana menuduh muslimah baik-baik

berzina);

10

Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997), 35.

11

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid 1, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), 99.


(33)

25

3) Jarimah syurb al-khamr (tindak pidana meminum-minuman yang

memabukkan);

4) Jarimah al-sariqah (tindak pidana pencurian);

5) Jarimah al-hirābah (tindak pidana perampokan/pengacau); 6) Jarimah al-riddah (tindak pidana murtad), dan

7) Jarimah al-baghyu (tindak pidana pemberontakan).12

b. Jarimah qisas/diat adalah kesamaan antara perbuatan pidana dengan

sanksi hukumnya, seperti dihukum mati akibat membunuh dan dianiaya

akibat menganiaya. Jarimah qisas/diyat terdiri atas:

1) Pembunuhan

a) Pembunuhan sengaja (al- qatlul ‘amd),

b) Pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibhul ‘amd), dan

c) Pembunuhan tersalah (al-qatlul khata’).

2) Penganiayaan

a) Penganiayaan sengaja (al- jinayah ‘alā mā dūnan nafsi amdan),

dan

b) Penganiayaan semi sengaja (al-jinayah ‘alā mā dūnan nafsi

khata’).13

c. Jarimah takzir adalah semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas

diatur dalam Alquran dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaan

jarimah takzir ditentukan oleh penguasa atau hakim setempat melalui

12

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 28.

13


(34)

26

otoritas yang ditugasi untuk hal ini. Jenis jarimah takzir sangat banyak

dan tidak terbatas.14 Jarimah takzir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Jarimah hudud atau qisas diat yang subhat atau tidak memenuhi

syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya, percobaan

pencurian, percobaan pembunuhan dan pencurian aliran listrik.

2) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Alquran dan hadis, namun

tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak

melaksanakan amanah dan menghina agama.

3) Jarimah-jarimah yang ditentukan penguasa/hakim untuk

kemaslahatan umum. Misalnya pelanggaran peraturan lalu lintas.15

2. Pengertian Takzir dan Bentuk-Bentuk Hukuman Takzir a. Definisi Takzir

Secara bahasa, takzir bermakna al-Man’u (pencegahan).

Menurut istilah, takzir bermakna, at-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil

(pengekangan). Adapun definisi takzir secara syariat yang digali dari

nas-nas yang menerangkan tentang sanksi-sanksi yang bersifat

edukatif, adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang

didalamya tidak ada had dan kafarat.16

Sehingga dapat dipahami bahwasanya jarimah takzir terdiri

atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had

14

Ibid., 100.

15

Djazuli, Fiqih Jinayah, 13.

16


(35)

27

dan tidak pula kafarat, jadi hanya didasarkan pada perbuatan maksiat.

Disamping itu juga hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu

dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan

maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang

termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan karena perbuatan tersebut

tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila

sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan dan (illat)

dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan

atau merugikan kepentingan umum.17 Jadi apabila dalam suatu

perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka

perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dapat dikenakan

hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat

unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan

jarimah dan pelakunya tidak dikenakan hukuman.

b. Macam-Macam Takzir

Berdasarkan hak yang dilanggar, ada dua macam jarimah

takzir, yaitu:18

1) Jarimah takzir yang menyinggung hak Allah.

Artinya, semua perbuatan yang berkaitan dengan

kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat

kerusakan di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok dan

penyelundupan.

17

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249.

18


(36)

28

2) Jarimah takzir yang menyinggung hak individu.

Artinya, setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian

kepada orang-orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya,

pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan dan pemukulan.

Dari segi sifatnya, jarimah takzir dapat dibagi menjadi tiga

bagian yaitu:

1) Takzir karena melakukan perbuatan maksiat

2) Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan

kepentingan umum.

3) Takzir yang melakukan pelanggaran (mukhalafah)

Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum atau penetapannya,

takzir juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:

1) Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan qisas

tetapi syarat-syarat tidak terpenuhi, atau ada subhat, seperti

pencurian yang tidak mencapai nishab atau oleh keluarga sendiri.

2) Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam syariat tetapi

hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi

takaran timbangan.

3) Jarimah takzir yang baik jenis dan sanksinya belum ditetapkan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan pada penguasa atau hakim, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.


(37)

29

Menurut Abdul Aziz Amir membagi jarimah takzir secara rinci

kepada beberapa bagian, yaitu:

1) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan.

2) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan.

3) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap

kehormatan dan kerusakan akhlak.

4) Jarimah takzir yang berkaitan dengan harta.

5) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.19

Sedangkan macam-macam hukuman takzir adalah sebagai

berikut:20

1) Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan.

a) Hukuman mati.

b) Hukuman cambuk.

2) Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

a) Hukuman penjara.

b) Hukuman pengasingan.

3) Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta

4) Hukuman takzir dalam bentuk lain.

3. Dasar Hukum Pemberlakuan Takzir

Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam hadis Nabi

saw. Yang diriwayatkan oleh Hasan ra.:

19

Ibid., 19.

20


(38)

30

َ نِإ

َ

اَمْوَ ق

َ

اْوَلَ تَتْ قا

َ

ََلِتُقَ ف

َ

َْمُهَ نْ يَ ب

َ

َالْيِتَق

َ

ََثَعَ بَ ف

َ

ََلْوُسَر

َ

َِلا

َ

ى لَص

َ

َُلا

َ

َِهْيَلَع

َ

ََمّّّلَسَو

َ

َْمُهَسَبَحَف

َ

Ada dua kaum saling berbunuhan, kemudian diantara mereka ada yang

terbunuh. Lalu kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., selanjutnya

beliau memenjarakan mereka.21

4. Hikmah Disyariatkannya Hukuman Takzir

Hukuman takzir, Islam mensyariatkan sebagai tindakan edukatif

terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar

dari tatanan peraturan perundang-undangan. Hikmahnya hukuman takzir

adalah:

a. Hukuman takzir yang pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi

masing-masing orang.

b. Hukuman takzir itu diperbolehkan untuk meminta grasi sesudah

kasusnya dilaporkan kepada hakim.

c. Sesungguhnya orang yang mati akibat hukuman takzir orang yang

melaksanakannya harus bertanggung jawab terhadap kematiannya.

Oleh karena itu, bagi orang yang melakukan ujaran kebencian baik

itu menghina dengan terang-terangan maupun sindiran, maka dia berhak

untuk mendapatkan hukuman, baik itu hukuman yang paling ringan

maupun yang paling berat yang nantinya berdasarkan keputusan hakim

dan diharapkan hakim memberikan hukuman yang adil dan sepantasnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman penghinaan atau pencemaran

21


(39)

31

nama baik itu bermacam-macam hukumannya, yaitu peringatan keras,

dipenjara, dicambuk maupun dihukum mati.22

C. Pencemaran Nama Baik dalam Jarimah Takzir

Dalam konteks ujaran kebencian dalam hal ini pencemaran nama baik

sendiri terdapat banyak macamnya termasuk jenis, kadar dan akibat yang

ditimbulkandari pencemaran nama baik/penghinaan yang telah dilakukan.

Berikut ini hukuman-hukuman takzir yang dijatuhkan terhadap pelaku

pencemaran nama baik/penghinaan:

1. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Badan.

Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman mati dan

hukuman cambuk, dengan uraian:23

a. Hukuman Mati

Pada dasarnya hukuman takzir dalam hukum islam adalah

hukuman yang bersifat mendidik dan memberikan pengajaran,

sehingga dalam hukuman takzir tidak boleh ada pemotongan anggota

badan maupun penghilangan nyawa.

Menurut madzhab hanafi, membolehkan sanksi takzir dengan

hukuman mati dengan syarat perbuatan itu dilakukan berulang-ulang

dan akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan menurut ulama

hukuman mati adalah sebagai sanksi takzir tertinggi dan hanya

diberikan kepada pelaku jarimah yang berbahaya sekali, yang

22

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 25.

23


(40)

32

berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban masyarakat atau

apabila sanksi-sanksi sebelumnya tidak memberi pengaruh baginya.

Oleh karena itu, sangatlah tepat kiranya menetapkan hukuman mati

bagi koruptor serta produsen dan pengedar narkoba yang termasuk

kedalam kategori jarimah takzir yang sangat merugikan masyarakat

dan kepentingan umum.

b. Hukuman Cambuk

Hukuman ini cukup efektif dalam memberikan efek jera bagi

pelaku jarimah takzir. Jumlah cambukan dalam jarimah hudud zina

ghairu muhshan dan penuduhan zina telah dijelaskan dalam nas

keagamaan. Namun dalam jarimah takzir, penguasa atau hakim

diberikan kewenangan untuk mentapkan jumlah cambukan yang

disesuaikan dengan bentuk jarimah, kondisi pelaku dan efek bagi

masyarakat.

Adapun sifat dari hukuman cambuk dalam jarimah takzir

adalah untuk pelajaran dan tidak boleh menimbulkan cacat. Apabila

terhukum adalah seorang laki-laki, maka bajunya harus dibuka

sedangkan apabila terhukum adalah perempuan maka bajunya tidak

boleh dibuka karena auratnya akan terbuka, serta hukuman cambuk

tidak boleh diarahkan ke wajah, kepala dan kemaluan, biasanya


(41)

33

takzir dengan pemukulan dan cambukan tidak boleh lebih dari 10 kali

pukulan atau 10 kali cambukan.24

2. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang. Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara

dan hukuman pengasingan, yaitu:25

a. Hukuman Penjara

Hukuman penjara adalah hukuman yang menghalangi atau

melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan bisa menjadi

hukuman pokok dan menjadi hukuman tambahan.26 Hukuman penjara

menjadi hukuman tambahan apabila hukuman pokok yang berupa

hukuman cambuk tidak membawa dampak bagi terhukum. Hukuman

penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu hukuman

penjara terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas.

1) Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara

tegas. Hukuman penjara ini ditetapkan untuk pelaku jarimah

penghinaan, penjualan khamr, riba, pelaggaran kehormatan bulan

suci ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa halangan,

pengairan lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci

24

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam , 255.

25

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 100.

26


(42)

34

maki antara dua orang yang berperkara di depan siding pengadilan

dan kesaksian palsu.

2) Hukuman Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktu tetap. Dengan

kata lain berlangsung sampai orang yang dihukum itu meninggal

atau bertaubat dan bias dikatakan menjadi hukuman seumur hidup,

dalam hukum pidana islam hukuman ini dikenakan kepada

penjahat yang sangat berbahaya.

b. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan atau buang termasuk hukuman had

yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana perampokan, namun

dalam praktiknya hukuman ini juga ditetapkan untuk hukuman takzir.

Diantara hukuman takzir yang dikenakan hukuman pengasingan adalah

orang yang berperilaku mukhannats (waria) yang pernah dilaksanakan

oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar wilayah Madinah.

3. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Harta.

Hukuman takzir dengan mengambil harta bukan berarti mengambil

harta pelaku untuk diri hakim atau kas Negara, melainkan hanya

menahannya untuk sementara waktu. Apabila pelaku tidak bias diharapkan

untuk bertaubat, hakim dapat meng-tasharruf-kan (memanfaatkan) harta


(43)

35

Imam Ibnu Taimiyah membagi hukuman takzir ini menjadi tiga

bagian dengan mempehatikan pengaruhnya terhadap harta:27

a. Menghancurkannya (al-Itlāf)

Penghancuran harta yang berlaku untuk benda-benda yang

bersifat mungkar, namun penghancuran ini tidak selamanya

merupakan kewajiban, melainkan dalam kondisi tertentu boleh

disedekahkan.

b. Mengubahnya (al-Taghyīr)

Mengubah sesuatu dalam hal ini apabila seorang muslim

memiliki sebuah patung maka patung tersebut bias dirubah bentuknya

sehingga memiliki kemanfaatan lain. Ini ditujukan untuk memberi

hukuman terhadap pelaku melalui barang kesayangannya.28

c. Memilikinya (al-Tamlīk)

Hukuman takzir dalam bentuk ini juga disebut sebagai

hukuman denda, yaitu hukuman takzir yang berupa pemilikan harta

pelaku. Hukuman denda dapat merupakan hukuman pokok yangberdiri

sendiri namun didalam syariat Islam tidak menetapkan batas terendah

atau tertinggi dari hukuman denda, namun selain denda juga ada

hukuman takzir yang berkaitan dengan harta yakni penyitaan dan

perampasan yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama.

27

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 107.

28


(44)

36

4. Sanksi Takzir Dalam Bentuk Lain

Selain hukuman-hukuman takzir yang telah disebutkan, ada bentuk

sanksi takzir lain yaitu:29

a. Peringatan keras;

b. Dihadirkan dihadapan sidang;

c. Nasihat;

d. Celaan

e. Pengucilan;

f. Pemecatan dan

g. Pengumuman kesalahan secara terbuka, seperti diberitakan di media

cetak dan elektronik.

29


(45)

37

BAB III

SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR: SE/06/X/2015

TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (

HATE

SPEECH

) DI MEDIA SOSIAL

A. Pencemaran Nama Baik (Ujaran Kebencian)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah

mempengaruhi banyak aspek kehidupan manusia yang fundamental,

khususnya dalam berkomunikasi dan bertransaksi. Teknologi telah

memberikan manfaat positif bagi masyarakat luas. Komunikasi dan transaksi

yang menjadi kebutuhan manusia saat ini dapat dilakukan dari mana saja serta

kapan saja dengan bantuan media elektronik dan internet. Selain itu,

komunikasi dan transaksi menjadi semakin cepat dan semakin murah.

Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan, dan dengan komunikasi kita

membentuk saling pengertian menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih

sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban.

Akan tetapi teknologi atau media juga dapat disalah gunakan, sehingga

menimbulkan berbagai permasalahan hukum maupun etika sehingga dengan

komunikasi kita juga menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan,

menanamkan kebencian, merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran.

Bahkan Marshall McLuhan berpendapat bahwa walaupun media membuat


(46)

38

orang, namun media ini juga membangkitkan alienasi dan kehilangan wujud

pada banyak orang.1

Sehingga masyarakat membutuhkan hukum karena pada dasarnya

merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku yang terhadap

pelanggarannya dapat dijatuhkan sanksi dari Negara. Masyarakat juga

memerlukan etika yang merupakan aturan mengenai benar dan salah, baik dan

buruk, dalam bertingkahlaku dari segi moral. Hukum diperlukan untuk

menciptakan ketertiban dalam masyarakat, untuk menjaga kepentingan

individu maupun masyarakat dan Negara, serta memberikan keadilan baik

secara individu maupun kolektif. Dan etika diperlukan dalam berkomunikasi

agar para pihak dapat saling menjaga hak dan kewajibannya masing-masing.

1. Pengertian Pencemaran Nama Baik Dalam Ujaran Kebencian

Pada dasarnya ujaran kebencian (Hate Speech) adalah Perkataan,

perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu

terjadinya tindakan kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan

harkat martabat manusia dan kemanusiaan serta menyebabkan sikap

prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut atau korban dari tindakan

tersebut.2

Persoalan mengenai ujaran kebencian di era modernisasi informasi

semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat, baik nasional maupun

internasional seiring dengan meningkatnya tingkat kepedulian masyarakat

1

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 1.

2

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar, 2015), 2.


(47)

39

terhadap isu pelanggaran HAM. Isu pelanggaran HAM merupakan titik

awal dari kasus-kasus yang sering dilaporkan kepada pihak kepolisian

terutama dalam hal pencemaran nama baik yang sering disalah artikan

dengan kebebasan berpendapat namun dalam ranah informasi

menyebabkan tersudutnya posisi si tertuduh dalam pencemaran nama baik

tersebut.

Pencemaran nama baik sendiri adalah menyerang nama baik dan

kehormatan seseorang, yang bukan dalam arti seksual, sehingga orang itu

merasa dirugikan. Kejahatan yang berkaitan dengan bidang seksual tidak

termasuk dalam bidang pencemaran nama baik disini, melainkan termasuk

dalam ruang lingkup kejahatan kesusilaan atau kejahatan terhadap

kesopanan.

Pencemaran nama baik merupakan sebuah proses, perbuatan atau

cara menghina atau menista baik itu dilakukan secara lisan maupun

dengan tulisan. Sedangkan menghina adalah merendahkan atau

memandang rendah, memburukkan nama seseorang, dan menyinggung

perasaan orang lain. Pencemaran nama baik sendiri juga merupakan kata

benda dengan perubahan kata kerja kepada penghinaan yaitu menyerang

kehormatan atau nama baik seseorang, penghinaan asal kata dari kata hina

yang berarti rendah kedudukannya atau martabatnya, keji, tercela, tidak

baik kelakuan maupun perbuatannya.3

3

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 322.


(48)

40

R. Soesilo menyatakan bahwa tindak kejahatan menghina adalah

menyerang seseorang dengan nama baik seseorang. Ber-akibat, yang

diserang merasa malu. Kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik” bukan kehormatan dalam lingkup seksual atau kehormatan yang dicemarkan karena tersinggung anggota

kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.4

Seseorang seperti yang diungkapkan oleh R.Soesilo haruslah

pribadi kodrati (naturlijck person) dan bukan pribadi hukum (recht

person). Pribadi hukum tidak mungkin mempunyai perasaan terhina atau

nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi

hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau

wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada

pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan.5

Salah satu kunci pencemaran nama baik adalah mencemarkan

nama baik, mencemarkan mempunyai arti merusak, menodai, membuat

kotor dan buruk pada suatu nama (reputation) seseorang atau kelompok

orang dengan cara-cara yang tidak baik seperti menyebarluaskan

pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Definisi lain mengenai perbuatan

penghinaan adalah pencemaran nama baik. Diberikan oleh The Reporter

Committee On Freedom Of The Press penghinaan terjadi apabila suatu

pernyataan tidak didasarkan fakta atau bernada nista mengenai seseorang

4

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), 225.

5

Teguh Arifiyadi, Gadgetmu Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis Di Medsos), (Tangerang Selatan: Literati, 2015), 156.


(49)

41

yang teridentifikasi dipublikasikan kepada pihak ketiga, sehingga

menimbulkan kerugian terhadap reputasinya.6

Namun, dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran

nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk

dipahami. Tercemar atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki

hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain,

korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian

mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah

menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan

perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu

hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada

korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama

seperti penilaian korban.7

Dengan demikian, pencemaran nama baik/penghinaan dalam

ujaran kebencian adalah suatu perbuatan yang menyerang kehormatan

seseorang baik itu berdasar atas konten maupun konteks yang

mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi seseorang, yang

penghinaan tersebut tidak berdasarkan fakta yang disebarkan kepada

khalayak ramai dan telah menimbulkan kerugian bagi pihak yang dihina.

Dan kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama

baik dan bukan dalam arti seksual.

6

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 2.

7


(50)

42

2. Sumber Hukum Rujukan Ujaran Kebencian

Didalam setiap peraturan baru yang dikeluarkan selalu ada hukum

awal yang dijadikan sebagai sumber rujukan dalam membuat sebuah

hukum baru agar tetap sesuai jalur dan tidak menyalahi aturan hukum.

Didalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), juga disebutkan beberapa

sumber hukum yang dijadikan sebagai rujukan dari terbentuknya Surat

Edaran tersebut, diantaranya:8

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi

International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi

Intentational Hak-Hak Sipil dan Politik

f) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

g) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis

h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik

Sosial

8

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 1.


(51)

43

i) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi

Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia

j) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Sumber-sumber hukum rujukan ini sangat berkaitan dengan

cyberlaw yang merupakan hukum siber baru yang dalam

perkembangannya mengalami perubahan cepat, baik dari sisi praktis

maupun implementatif. Sehingga cyberlaw tidak lagi identik dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik namun juga berakar pada hukum konvensional yang telah ada

sebelumnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) beserta hukum acaranya, dan

peraturan perundang-undangan lain yang tidak bisa dipisahkan dan saling

berkaitan satu sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung.

B. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian

Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) disebutkan bahwasanya ujaran


(52)

44

Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya diluar KUHP, yang

berbentuk antara lain:9

1. Penghinaan

2. Pencemaran nama baik

3. Penistaan

4. Perbuatan tidak menyenangkan

5. Memprovokasi

6. Menghasut

7. Penyebaran berita bohong

Pencemaran nama baik merupakan suatu hal yang menjadi konsentrasi

dari pihak kepolisian atas berbagai macam kasus yang terjadi dalam waktu

setelah dikeluarkannya SE/06/X/2015, karena pencemaran nama baik

bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap remeh oleh sebagian orang terutama

menyangkut dunia kerja yang membutuhkan nama yang bersih. Pencemaran

nama baik dalam dunia maya atau internet dapat dilakukan kapanpun oleh

orang yang memiliki kepentingan dalam kurun waktu yang tidak terbatas dan

terjadi multiplier effect (chilling effects) bergulir terus tanpa terkendali (snow

ball), sehingga bisa diketahui oleh lebih banyak orang dan dimungkinkan

untuk di share atau disebarkan secara luas ke orang lain.10

Dikatakan oleh Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes

Agus Rianto, alasan dimasukkannya pencemaran nama baik sebagai salah satu

9

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 1.

10


(53)

45

bentuk ujaran kebencian adalah karena menyangkut kepentingan orang lain. “kita masing-masing punya kepentingan, apabila menyangkut kepentingan

orang lain itu termasuk hate speech, tetapi kan kita proses ini seperti apa

perjalanannya (hukum). Tidak bisa kebebasan itu bisa bebas

sebebas-bebasnya, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 itu ada aturannya, tidak boleh

menyinggung perasaan orang lain, tidak boleh menyakiti orang lain, tidak

boleh memecah persatuan dan kesatuan, memperhatikan ketertiban umum,

tetap ada rambu-rambunya, kan kita Negara hukum tetap berpedoman pada

hukum,” kata Agus Rianto menjelaskan.11

Sedangkan penyebaran ujaran kebencian baik dalam konten dan

konteks selalu memiliki tujuan antara lain untuk menghasut dan menyulut

kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai

komunitas. Yang dibedakan dari aspek:12

1. Suku

2. Agama

3. Aliran keagamaan

4. Keyakinan/Kepercayaan

5. Ras

6. Antar golongan

7. Warna kulit

11Andriani SJ Kusni, “Hal “Aneh” Di Era Jokowi”,

Tribunnews Makassar, (02 November 2015), 2.

12

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 3.


(54)

46

8. Etnis

9. Gender

10. Kaum difabel (cacat)

11. Orientasi seksual

Konten serta konteks dalam ujaran kebencian yang menistakan atau

merendahkan martabat seseorang karena latar belakang agama, suku, dan ras

diperlukan penindakan dengan cara ketegasan karena kebebasan berekspresi

tidak boleh disalahgunakan untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang

yang lain. Sehingga sering kali menyebabkan timbulnya konflik yang

menyebabkan perpecahan baik itu intern golongan maupun antar golongan.

Konflik adalah sebuah fakta yang tidak bisa dicegah karena timbul atas dasar

rasa kebersamaan golongan yang ingin mempertahankan kemenangan dan

ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah

maupun pengajian. Tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan

ujaran kebencian dengan menista kelompok lain baik intra maupun antar

agama, menuduh orang, kelompok atau aliran lain sebagai thagut dan sesat,

sehingga memicu konflik yang berkaitan dengan SARA.13

Dan macam-macam ujaran kebencian juga dilakukan melalui media

oleh beberapa pihak , dalam hal ini media tersebut juga telah disebutkan dalam

Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran

Kebencian (Hate Speech) sebagai berikut:14

13Ayumardi Azra, “Ujaran Kebencian dan Kebebasan”,

Republika, (05 November 2015), 4.

14

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 4.


(55)

47

1. Dalam Orasi Kegiatan Kampanye

2. Spanduk atau Banner

3. Jejaring Media Sosial

4. Penyampaian Pendapat di Muka Umum (Demonstrasi)

5. Ceramah Keagamaan

6. Media masa cetak maupun elektronik

7. Pamflet

Euforia kebebasan ujaran kebencian terlihat sejak masa Presiden

Soeharto, yang merajalela dan mewabah di tanah air. Wabah itu paling jelas

terlihat di dunia maya dan media sosial. Dari poin-poin diatas, potensi terbesar

sumber Ujaran Kebencian (hate speech) adalah melalui media sosial Twitter

dan Facebook, serta blog-blog independen. Media sosial Twitter dan

Facebook adalah inovasi terbesar awal abad 21 ini, karena tidak hanya sebagai

media connecting dan sharing, media sosial mampu melakukan perubahan

besar dan menjadi media kampanye politik yang efektif.

Dengan media sosial orang dengan mudah menemukan berbagai

bentuk ujaran kebencian khususnya terkait SARA. Politisi ingin menciptakan

citra yang baik pada pemilihnya dengan cara menjatuhkan pihak lain dengan

penggunaan kata-kata di spanduk, bukan untuk masuk surga tetapi untuk

masuk menduduki jabatan DPR dan menghindari masuk kotak. Media massa

mengangkat sebuah issu yang belum tentu akan kebenarannya di masyarakat

umum.15

15


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menyelesaikan penulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di Media Sosial”, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), bahwasanya penanganan ujaran kebencian di media sosial terhadap para pelaku hate speech yang dilakukan oleh pihak kepolisian sebelum ke arah pemidanaan dilakukan beberapa tindakan terlebih dahulu dengan menggunakan tindakan preventif dan apabila sudah dilakukan namun masalah masih belum terselesaikan dan semakin menjadi rumit, maka dilakukan tindakan represif namun apabila dalam langkah penanganan awal tidak bisa menanggulangi kejahatan pencemaran nama baik tersebut maka dilakukan tindakan pemidanaan dengan menjerat pelaku dengan sumber hukum rujukan yang tercantum didalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) oleh pihak kepolisian. Seperti contoh kasus pencemaran nama baik yang dialami oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 yang


(2)

76

dilakukan oleh pemilik akun @YPaonganan yang bernama Yulianus dengan melakukan re-upload foto dengan tulisan yang mengarah kepada pornografi yakni dengan kata “Papa Doyan Lonte” dengan menyertakan hastag #papamintapaha dan #papadoyanlonte, 200 kali postingan di Twitter selama 12-14 Desember 2015 yang melanggar UU Pornografi dan UU ITE dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dengan denda 1 miliar.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) di media social yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tentunya dalam hal ini kepolisian juga sebagai penegak hukum dituntut untuk menjalankan hukum dengan seadil-adilnya dan dengan berbagai pertimbangan, sehingga hukuman bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik adalah hukuman takzir (hukuman dari semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur dalam Alquran dan hadis). Hukuman takzir yang diberikan berupa hukuman penahanan dalam hukuman penjara terbatas (belum ditentukan batas waktu) oleh hakim, dalam rangka memberikan pendidikan dan pengarahan kepada kemaslahatan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

B. Saran

1. Adanya peraturan-peraturan dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian, diharapkan


(3)

77

dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya menaati peraturan yang ada. Hal itu dilakukan untuk menjaga kepentingan kehidupan masyarakat yang rukun. Serta Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan salah satu bentuk hukum yang dihasilkan oleh pakar yang semestinya tidak hanya dipahami sebatas wacana hukum, akan tetapi perlu dijadikan ketegasan dalam menegakkan hukum.

2. Masyarakat yang sebagai warga negara serta orang tua bagi anak-anaknya yang sangat menyukai terhadap media sosial, diharapkan mampu memberikan cerminan yang baik dan memberikan pembelajaran moral terhadap penggunaan media sosial yang baik kepada anaknya, sehingga tidak akan terjadi lagi perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain seperti pencemaran nama baik dalam ujaran kebencian yang dalam hal ini akan merusak nama baik orang lain.


(4)

78

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abdul Hamid. Ihyaul Ulumuddin. Ciputat: Lentera Hati, 2003. Al-Maliki, Abdurrahman. Sistem Sanksi Dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul

Izzah, 2002.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Arifiyadi, Teguh. Gadgetmu Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis Di Medsos). Tangerang Selatan: Literati, 2015.

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid 1, Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007.

Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Djazuli, Fiqih Jinayah, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997.

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Irfan, M.Nurul, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2016.

Jabbar, Ahmad Kamal Abdul, “Tren Meme Dan Ruang Kebebasan Dalam Fanpage Meme Comic Indonesia”, Skripsi-- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016.

Jalaluddin, Imam. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Kehormatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Masfiyah,Lilik. “Sanksi Pidana Pencemaran Nama Baik Oleh Pers Menurut Fiqih Jinayah Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers”, Skripsi-- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014.

Mujahidin, Muhammad. “Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Nama Baik/Penghinaan Via Jejaring Sosial Menurut UU No. 11


(5)

79

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

1994.

Suhariyanto, Budi. Tindak Pidana Teknologi Informasi (CYBERCRIME). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995.

Widi, Restu Kartiko. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah Demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Azra, Ayumardi. “Ujaran Kebencian dan Kebebasan”. Republika. (05 November 2015). 4.

Dariyanto, Erwin. “Tanggapan Yusril Soal Putusan PN Jaksel yang Bebaskan

Ongen @YPaonganan”, dalam

http://m.detik.com/news/berita/3207050/tanggapan-yusril-soal-putusan-pn-jaksel-yang-bebaskan-ongen-ypaonganan”, diakses pada 21 Juni 2016. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Fajar Mulya,

2012.

Fadil, Iqbal. “Hina Jokowi di Media Sosial, orang-orang ini ditangkap polisi”, dalam http://m.merdeka.com/peristiwa/hina-jokowi-di-media-sosial-orang-orang-ini-ditangkap-polisi.html, diakses pada 24 Mei 2016.

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015. Indah, Novianti. “Surat Edaran Kapolri Mengenai Ujaran Kebencian di Media

Sosial”, dalam http://www.novi antiindah.com/2015/11/surat-edaran-kapolri-mengenai-ujaran.html?m=1, diakses pada 01 April 2016.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015. Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar, 2015.

Kombes Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono, Peran Polri Dalam Menjaga Kebhinekaan Indonesia: Respons Terhadap Kelompok Agama Garis Keras, Seminar, Surabaya: Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya, 31 Maret 2016.


(6)

80

Kusni, Andriani SJ. “Hal “Aneh” Di Era Jokowi”. Tribunnews Makassar. (02 November 2015). 2.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang R.I. Tentang Pornografi dan Informasi dan Data Transaksi Elektronik. Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011.

Ridwan, Muhammad. “Citizen Journalism”. Kompasiana. (04 November 2015). 6. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar