Studi Kasus Mengenai Dinamika Resiliensi Pada Wanita Dewasa Awal Yang Terinfeksi HIV/AIDS Dari Suaminya di Klinik "X" Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini meneliti dinamika resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya di klinik X Bandung. Acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori resiliensi dari Bonnie Benard, teori tentang perkembangan dewasa awal dan HIV/AIDS. Teknik penarikan sampel adalah menggunakan metode purposive sampling yaitu sampel yang dipilih mengikuti suatu kriteria tertentu.

Rancangan penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus yaitu menggali setiap kasus secara mendalam tanpa menghilangkan keunikan dari setiap kasus. Penelitian dilakukan dalam situasi alamiah dan peneliti melakukan kontak langsung dengan responden. Jumlah subyek penelitian yang digunakan adalah 2 orang, dengan rentang usia antara 20-40 tahun.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan metode wawancara yang berpedoman pada teori resiliensi Bonnie Benard. Validitas dan reliabilitas diukur dengan menggunakan interrater validity atau expert validity. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan descriptive analysis dan coding analysis. Didapatkan kesimpulan bahwa kedua subyek penelitian memiliki dinamika resiliensi yang berbeda. Selain itu protective factors (caring relationships, opportunities for participations and contribution, high expectation) sangat berperan pada dinamika resiliensi yang dimiliki oleh subyek. Besarnya protective factors yang diperoleh kedua subyek dari keluarga dan teman-teman membuat mereka mampu untuk mengatasi risk factors (tingkat pendidikan formal, status sosial ekonomi, lingkungan sekitar subyek) yang mereka hadapi.

Peneliti juga mengajukan saran agar melakukan penelitian dengan menggunakan karakteristik sampel yang lebih spesifik lagi seperti memasukkan kriteria kelas sosial, tingkat pendidikan dan jenis kelamin agar dapat lebih menjaring faktor yang berpengaruh terhadap dinamika resiliensi seseorang.


(2)

ABSTRACT

This study is learning about resiliency dynamic of a young adult women who are infected by HIV/AIDS from their husband at X clinic, Bandung. The theory used is Regard to theory of resilience by Bonnie Benard, the young adult developing theory, and HIV/AIDS. We used purposive sampling method for the sampling technique, where sample is chosen by following some specific criteria.

The study is conducted by using case study method, which excavate each case in-depth without omitting the uniqueness of each case. Study was done in a natural situation and researcher performs a direct contact with respondent. The subject of the study is two respondents, age 20-40 years old.

The measuring instrument used in the study is interview method which is oriented to Bonnie Benard theory of resiliency. The validity and reliability measured turn to interrater validity or expert validity. Data analysis technique applied in the study is descriptive analysis and coding analysis. We found that both subjects have a different resilience dynamic. Besides, the protective factors (caring relationships, opportunities for participations and contribution, high expectation) play an excessive role in the residency dynamic hold by subject. The amount of protective factors obtained by both subjects from their family and friends make them be able to overcome the risk factors (formal education degree, economic social status, subject neighborhood) they deal with.

A more specific subject characteristic is suggested for the next study, such as including social class criteria, education degree, and gender to get the factor that effected individual resilience dynamic.


(3)

DAFTAR ISI

Lembaran Judul

Lembar Pengesahan...i

Abstrak...ii

Abstact...iii

Kata Pengantar ...iv

Daftar Isi ...vii

Daftar Bagan...xi

Daftar Lampiran ...xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...19

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...20

1.3.1 Maksud Penelitian...20

1.3.2 Tujuan penelitian...20

1.4 Kegunaan Penelitian...20

1.4.1Kegunaan Teoritis...20

1.4.2 Kegunaan Praktis...21

1.5 Kerangka Pikir...21

1.6 Asumsi...34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...35

2.1. Resiliensi...35

2.1.1 Empat kategori atau manifestasi Resiliensi...36


(4)

2.1.2.1 Risk Factors...45

2.1.2.2 Protective factors...46

2.2 Perkawinan dan Perkembangan Keluarga...47

2.2.1 Perkawinan...47

2.2.2 Keluarga...48

2.2.3 Tugas Perkembangan Keluarga...48

2.2.4 Pengertian Kepuasan perkawinan...50

2.2.5 Area-area Dalam Perkawinan...52

2.3 Tinjauan Umum HIV/AIDS...57

2.3.1. Pengertian HIV/AIDS...57

2.3.2. Penularan HIV /AIDS...57

2.3.3. Fase-fase penyakit HIV/AIDS...59

2.3.4. Dampak HIV/AIDS pada penderita di masyarakat...60

2.4 DEWASA AWAL...61

2.4.1 Definisi dewasa awal...61

2.4.2 Perkembangan Fisik Dewasa awal...62

2.4.3 Perkembangan Kognitif Dewasa Awal...63

2.4.4 Perkembangan Sosio-emosional Dewasa Awal...63

2.4.5 Agama Pada Masa Dewasa...64

BAB III METODE PENELITIAN ...66

3.1 Rancangan Dan Prosedur Penelitian Penelitian...66


(5)

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Oprasional...67

3.3.1. Variabel Penelitian...67

3.3.2. Definisi Oprasional...67

3.4 Alat Ukur...72

3.4.1. Alat Ukur Resiliensi...72

3.4.2. Wawancara...72

3.4.3 Data Pribadi Dan Data Penunjang...74

3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...76

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Pengambilan Sampel...76

3.5.1 Populasi Sasaran...76

3.5.2 Karateristik Populasi ...76

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel...77

3.6 Teknik Analisis Data ...77

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...79

4.1 Hasil Penelitian...79

4.2 Kasus I...79

4.2.1 Identitas Subyek I...79

4.2.2 Status Praesens...80

4.2.3 Anamnesa...81

4.2.4 Pengolahan data kasus I...97

4.2.4.1 Resiliensi ...97

4.2.4.2 Protective Factors...128

4.2.4.3 Risk Factors...132


(6)

4.3.1 Identitas Subyek II...134

4.2.2 Status Praesens...135

4.2.3 Anamnesa...136

4.2.4 Pengolahan data kasus II...159

4.2.4.1 Resiliensi ...159

4.2.4.2 Protective Factors...181

4.2.4.2 Risk Factors...186

4.4 Pembahasan Kasus...190

4.4.1 Pembahasan Kasus I...190

4.4.2 Pembahasan Kasus II...203

4.5 Pembahasan Gabungan...215

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...227

5.1 Kesimpulan...227

5.2 Saran...230

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan...230

5.2.2 Saran Praktis...230

Daftar Pustaka...231


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir...33 Bagan 3.1 Prosedur penelitian...59


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kerangka Wawancara Resiliensi...L.1-1 Lampiran 2 Data Pribadi...L.2-1 Lampiran 3 Verbatim hasil wawancara suyek I...L.3-1 Lampiran 4 Verbatim hasil wawancara suyek II...L.4-1 Lampiran 5 Verbatim hasil wawancara suyek III... L.5-1 Lampiran 6 LOC (Letter Of Concernt)...L.6-1 Lampiran 7 Lampiran Surat izin pengambilan data di klinik X...L.7-1 Lampiran 8 Penjelasan mengenai klinik X...L.8-1


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang diawali dengan terjadinya pernikahan antara dua individu yang berlawanan jenis. Dalam suatu keluarga pastilah ada harapan-harapan untuk membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Adakalanya harapan tersebut bertentangan dengan kenyataan yang mereka hadapi, namun dengan kesadaran akan cinta kasih yang terjalin, maka pasangan akan berupaya mewujudkan mimpi mereka.

Dalam suatu pernikahan tidak selamanya hal yang membahagiakan saja yang terjadi. Terkadang juga akan muncul suatu masalah yang tidak diharapkan oleh keluarga tersebut baik masalah yang muncul secara sengaja dan disadari ataupun muncul secara tidak disadari. Adapun beberapa masalah yang sering hadir di dalam sebuah keluarga, yaitu masalah finansial, hubungan dengan mertua, hubungan antar suami istri, masalah kesehatan dan masalah lainnya. Salah satu masalah kesehatan yang dapat terjadi adalah istri yang terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dari suaminya yang selama ini ia cintai dan hormati.


(10)

Beberapa kasus HIV/AIDS /AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome

atau Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang menimpa kaum perempuan yang sudah berkeluarga, tidak sedikit penderitanya berasal dari keluarga 'baik-baik'. Bahkan, ibu rumah tangga yang sepanjang hari berada di rumah hanya untuk melayani suami dan membesarkan anak pun tidak luput dari penyakit yang mematikan ini. Dari sekian banyak kasus yang dihadapi oleh Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah yayasan yang bergerak di bidang pencegahan dan penanganan HIV/ AIDS, lebih dari 40 kasus merupakan istri yang tertular virus HIV/AIDS dari suami yang selama ini dicintai dan dihormatinya (http://.www.aidsindonesia.or.id, diakses 6 maret 2009).

P e r k e m b a n g a n k a s u s H I V / A I D S d i I n d o n e s i a s u d a h s a n g a t mengkhawatirkan bahkan pada satu tahun terakhir memperlihatkan peningkatan yang cukup tajam. Di indonesia, Bandung menempati puncak klasemen penderita HIV/AIDS dengan jumlah 1.856 orang (www.aidsindonesia.or.id, diakses 13 Maret 2009). Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyatakan penyebaran penyakit HIV/AIDS di provinsi yang dipimpinnya tertinggi di Indonesia. Sejak 1989 sampai September 2009, Jawa Barat memiliki 4.929 kasus, terdiri dari 2.999 kasus AIDS dan 1.930 kasus HIV Positif. Dilihat dari usia, kasus terbanyak kasus HIV/AIDS terdapat pada kelompok usia 20-29 tahun, diikuti kelompok usia 30-39 tahun. Dengan kata lain, kasus HIV/AIDS didominasi oleh para generasi muda dan kelompok usia produktif (www.vivanews.com diakses Jumat, 21 Mei 2010, Arfi Bambani Amri).


(11)

HIV adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh manusia untuk melawan segala penyakit yang datang. Virus HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS, yaitu kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh dalam 5 sampai 10 tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh yang melemah memungkinkan penderita terserang suatu penyakit atau bahkan lebih. Sehubungan dengan lemahnya kekebalan tubuh, beberapa penyakit dapat menjadi lebih berat daripada biasanya. Meskipun demikian individu yang tertular HIV bukan berarti langsung jatuh sakit. Seseorang dapat hidup dengan HIV di dalam tubuhnya selama bertahun-tahun l a m a n y a t a n p a m e r a s a s a k i t a t a u m e n g a l a m i g a n g g u a n s e r i u s (http://.www.aidsindonesia.or.id, diakses 13 Maret 2009).

HIV dapat menular melalui cairan tubuh, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Transmisi ini dapat terjadi melalui hubungan seksual (vaginal, anal, maupun oral) yang tidak terlindung (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik, tindik, tato, narkoba yang tidak steril, mendapat transfusi darah yang mengandung virus HIV, penularan HIV antara ibu dan bayi ketika kehamilan, persalinan, atau saat menyusui, serta kontak lain dengan salah satu cairan tubuh tertentu yang ada pada diri individu yang telah tertular virus HIV (www.aidsindonesia.or.id, diakses 13 Maret 2009).

Di Indonesia individu yang terinfeksi HIV/AIDS akan mendapatkan citra negatif dan diskriminasi oleh masyarakat. Stigma masyarakat terhadap ODHA ini


(12)

tidak hanya menyakitkan bagi penderita tetapi juga keluarganya. Padahal ODHA juga manusia yang mempunyai hak untuk hidup layak, bahkan membutuhkan dukungan moral yang lebih dari orang lain. Stigma seperti inilah yang sering membuat ODHA tidak mau membuka diri (www.aidindobesia.or.id, diakses 13 Maret 2009). Stigma sosial yang disebabkan oleh HIV/AIDS lebih berat dibandingkan stigma sosial akibat kondisi yang disebabkan penyakit lainnya yang sama-sama dapat menular dan menyebabkan kematian seperti penyakit hepatitis B. Stigma sosial ini bahkan memiliki akibat yang luas, di luar akibat langsung yang disebabkan oleh penyakit tersebut (www.wiskipedia.indonesia.com, diakses 13 Maret 2009). Hal tersebut disebabkan oleh pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa penularan HIV/AIDS berkaitan dengan perilaku menyimpang dan pilihan norma yang buruk. ODHA yang diberi stigma negatif biasanya dianggap sampah masyarakat dan memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibatnya mereka dipermalukan, dihindari, ditolak, diasingkan dan diskriminasi oleh lingkungannya.

Penderita AIDS di Indonesia sering dianggap aib sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan sekitarnya. Hal ini membuat penderita HIV/AIDS umumnya menderita stres, kecemasan, depresi, bahkan ada yang sampai berkeinginan untuk bunuh diri (http://.www.aidsindonesia.or.id, diakses 26 mei 2009). Tekanan psikologis yang dialami oleh individu yang menderita HIV/AIDS itu berbeda-beda. Bagi mereka yang menderita HIV/AIDS sebagai akibat dari


(13)

perbuatan mereka sendiri umunya mereka akan menolak untuk menerima kenyataan bahwa mereka menderita HIV/AIDS, kemudian mereka akan menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan sehingga mengakibatkan mereka menderita HIV/AIDS. Mereka akan merasa tidak percaya diri, malu, stress, marah pada diri sendiri dan merasakan penyesalan yang mendalam (Harian Kompas, Senin, 30 Mei 2005, diakses tanggal 6 maret 2011) . Begitu pula pada mereka, para wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya, ketika mereka mengetahui dirinya menderita HIV/AIDS respon yang dimunculkan oleh mereka juga berbeda. Awalnya mereka akan merasa kaget, tidak bisa mempercayai keadaan tersebut, kemudian mereka akan mengalami stress, belum lagi mereka mendapatkan penolakan dari lingkungan terdekat mereka, yaitu pihak keluarga dan mertuanya. Mereka juga sering kali mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Mereka juga merasa kecewa kepada suami mereka orang yang selama ini mereka cintai dan hormati ternyata menularkan penyakit yang mematikan tersebut kepada diri mereka. Hal ini merupakan tekanan yang berat dalam hidup mereka (http://.www.aidsindonesia.or.id, diakses 13 Maret 2009).

Misalnya saja pada Rahma, ia menceritakan bagaimana perasaannya ketika ia tau bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS dari suaminya dan bagaimana perlakuan keluarga mertuanya kepada dirinya.‘’Rasanya ingin bunuh diri, campur shock saat membaca hasil tes yang menyatakan bahwa saya positif menderita HIV/AIDS. Saya merasa penyakit ini penyakitnya wong nakal,’’ ungkap Rahma


(14)

dengan mata berkaca-kaca. Rahma tidak bisa menerima kenyataan terserang AIDS. Sebab menurut dia, selama ini hidupnya selalu “lurus-lurus” saja tak pernah berbuat macam-macam, apalagi sampai berganti pasangan. Mertuanya pun memisahkan peralatan makan dan mandi mereka berdua. “Aku nangis, kok aku diperlakukan seperti ini. Aku kan kena dari anaknya. Ternyata, mertuaku dipeseni sama perawat kalau harus memisahkan semua barangku dengan anggota keluarga lain,” tuturnya. (Suara Merdeka, 17 Februari 2010, diakses tanggal 23 Februari)

Dalam menghadapi penyakit HIV/AIDS ini ODHA membutuhkan perhatian dan keyakinan yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya dan keluarganya, seperti memberikan semangat dan mendampingi mereka untuk menjalani pengobatan, memberikan semangat untuk terus menjalani hidupnya agar ia tidak merasa sendiri, dan semangat agar dapat bangkit kembali dari keterpurukanya. Hal-hal seperti itu dapat meningkatkan kepercayaan dirinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, bekerja, bersosialisasi dengan orang lain tanpa merasa malu.

Penyebaran HIV/AIDS yang semakin meluas ini harus segera ditanggulangi agar dapat mengurangi jumlah korban. Untuk menanggulangi dan melakukan pencegahan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan penyebaran virus HIIV/ AIDS, maka saat ini sudah ada panti rehabilitas dan klinik yang khusus didirikan untuk menangani kasus HIV/AIDS. Salah satunya adalah klinik X, adapun kegiatan yang sering dilakukan di klinik X adalah konseling dan pemeriksaan kesehatan secara rutin yaitu setiap bulan ODHA akan menjalankan serangkaian


(15)

tes kesehatan seperti cek darah. Pemeriksaan kesehatan rutin yang dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit yang diidap oleh ODHA. Konseling yang dilakukan di klinik X bermaksud untuk mengumpulkan orang yang mempunyai masalah yang sama dan menceritakan masalah tersebut dengan tujuan dapat membantu mengatasi masalahnya dengan baik. Klinik “X” bertujuan untuk membantu agar ODHA mendapatkan dukungan sosial dan juga perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh dirinya, sehingga membuat ODHA merasa diperhatikan oleh masyrakat dan lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi derajat ketahanan diri ODHA dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakitnya dan untuk dapat bertahan hidup dengan penyakit yang diidapnya.

Sejalan dengan keadaan mereka yang menderita HIV/AIDS, ODHA diharapkan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup yang cukup tinggi terhadap tekanan hidup yang mereka alami. Mereka juga diharapkan untuk mempunyai daya juang dan semangat hidup yang tinggi. Dalam menghadapi keadaan berat dan menekan dalam hidupnya, tidak semua orang akan berputus asa atau juga berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka. Hal ini karena setiap orang memiliki ketahanan yang berbeda-beda untuk menghadapi masalah dalam hidupnya. Ketahanan ini adalah merupakan kekuatan dalam diri individu untuk menerima keadaan yang ada dan berjuang untuk menyikapinya dengan baik yang sering sekali disebut resiliency, yaitu kemampuan untuk dapat beradapatasi dengan baik di tengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan.


(16)

Resiliensi merupakan suatu kemampuan di dalam setiap individu yang dapat diukur dari derajat tinggi dan rendahnya (Benard, 2004). Resiliensi mempunyai 4 faktor yaitu sosial competence yang merupakan kemampuan untuk menjalin relasi yang positif dengan orang lain. Problem solving skills yaitu kemampuan untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang sedang dihadapi. Autonomy yaitu kemampuan untuk mandiri dan percaya bahwa diri mampu untuk melakukan sesuatu, dan yang terakhir adalah sense of purpose and bright future yaitu kemampuan untuk mempertahankan minat yang dimilikinya sebagai sarana untuk menegembangkan diri dan memilki tujuan yang ingin dicapai (Benard, 2004).

Menurut hasil survei awal, di klinik “X” terdapat 10 orang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya dengan rentang usia 20-40 tahun. Adapun hasil wawancara dengan 3 orang wanita yang terinfeksi HIV/AIDS dari suami mereka adalah sebagai berikut:

• Ibu I, usia 23 tahun sudah 3 tahun berkeluarga dan mempunyai 1 orang anak. Ibu I baru mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS bulan Febuari 2009. Pada saat pertama kali didiagnosis mengidap HIV/AIDS ibu I merasa marah, sedih, kesal dan bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sempat kesal dan marah kepada suaminya pada saat itu. Ia tidak tau kalau suaminya dulu adalah seorang pengguna obat-obatan terlarang. Namun setelah suaminya meminta maaf dan sangat menyesali perbuatannya kepadanya akhirnya ia pun dapat memaafkan suaminya (social competence). Pada saat itu yang ada dipikiran ibu I


(17)

adalah bahwa penyakit ini mematikan dan itu bertanda bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.

Saat ini Ia masih bekerja di hotel tempat dimana ia bekerja dulu, sedangkan suaminya masih belum mendapatkan pekerjaan karena sulit untuk mencari pekerjaan karena status HIV/AIDS yang dimilikinya. Dari pekerjaannya yang sekarang ia hanya mendapatkan gaji yang pas-pasan untuk menjalani hidup dan membeli vitamin untuk anaknya.

Sampai saat ini ibu I masih merahasiakan penyakit yang diidapnya dari keluarganya sendiri. Ia akan memberitahukan kepada pihak keluarganya setelah ia merasa siap untuk melakukannya (social competence). Ibu I juga merahasiakan masalah ini dari pihak perusahaan di mana ia bekerja dan teman-temannya. Saat ini ia hanya menceritakan mengenai masalah ini kepada mertuanya saja (social competence). Mertuanya pun memberikan respon yang positif seperti meperhatikan kesehatannya dan mengingatkannya untuk mengkonsumsi obat jika waktunya telah tiba.

Setelah mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS ibu I langsung mencari tahu mengenai penyakit itu dari dokter yang ada di rumah sakit (autonomy). Setelah melakukan pemeriksaan sekali di rumah sakit H.S, ibu I dikenalkan dengan seorang pekerja sosial yang bekerja di klinik “X”. Dari itulah ibu I mulai mengenal klinik “X” dan mulai bergabung dengan klinik tersebut.


(18)

Ibu I juga sering melakukan pengecekan rutin di klinik “X” bersama dengan anaknya. Di klinik tersebut ibu I banyak mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak klinik salah satunya adalah mengikuti acara rutin yang diadakan sebulan sekali berupa penyuluhan dan acara sharing. Setelah bergabung dengan klinik “X” ibu I merasa lebih percaya diri dan lebih positif dalam menjalani hidupnya karena ia merasa mempunyai teman yang juga mengalami masalah yang sama (autonomy). Salah satu harapan ibu I untuk tetap hidup adalah karena ia ingin tetap dapat merawat anaknya dan melihat anaknya sukses di kemudian hari. Ibu I juga berharap agar kedepannya pemerintah dapat membuat undang-undang yang melindungi ODHA dalam mendapatkan pekerjaan dan menjalankan hidup. (sense of purpose and bright future). • Ibu T, usia 30 tahun dan memilki seorang anak. Ibu T pertama kali

saat mendengarkan diagnosa dokter yang memeriksanya perasaan Ibu T adalah kaget, bingung, dan sedih. Ia tidak tauh harus melakukan apa karena suaminya telah meninggal dunia. Ibu T sempat merasa marah kepada suaminya namun apa yang bisa ia lakukan, kesal kepada suaminya juga tidak ada gunanya. Akhirnya ia memutuskan untuk merahasiakan mengenai penyakitnya kepada semua orang termasuk teman-teman dan keluarganya sendiri (social competence).

Sampai saat ini lingkungan sekitar tempat tinggal dan keluarganya juga tidak mengetahui mengenai penyakitnya. Ibu T merasa beruntung


(19)

karena tidak tinggal bersama dengan keluarganya jadi ia pun tidak perlu menceritakan penyakitnya tersebut. Ia mengatakan bahwa ia akan mencoba untuk memberitahukan kepada keluarga dan teman-temannya jika suatu saat nanti penyakit HIV/AIDS ini tidak dianggap negatif oleh orang lain (social competence).

Disamping itu juga ia merasa saat ini adalah waktu yang tidak tepat untuk menceritakannya kepada keluarga dan teman. Ketika berada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya Ibu T mengaku bahwa ia sedikit canggung, walaupun ia tahu kalau masyarakat sekitar tidak mengetahui mengenai penyakitnya (social competence). Setelah mengetahui mengenai penyakit yang ia idap Ibu T banyak mencari informasi dari para dokter, dan bagaimana cara penanganan dan penularannya (autonomy).

Ibu T mengatakan bahwa ia mengetahui klinik “X” dari rumah sakit H.S yaitu ketika ia sedang pergi untuk menebus obat. Saat itu Ibu T dikenalkan kepada salah seorang pekerja sosial yang bekerja di klinik “X”, ia pun diajak untuk bergabung dengan klinik tersebut. Ibu T mulai bergabung dengan klinik “X” pada tahun 2007. Ibu T saat ini hanya memiliki pendapatan dari membuka warung di depan rumahnya (problem solving). Uang yang terkumpulkan hanya pas-pasan untuk kebutuhan hidup anaknya seperti untuk membeli susu, makan, dan biaya sekolah. Mereka mendapatkan tunjangan hidup dari klinik “X”.


(20)

nyaman dalam menjalankan hidupnya, lebih percaya diri jika berada di lingkungan sosial dan tidak kikuk, karena ia merasa bahwa banyak juga orang lain yang mengidap penyakit yang sama dengan dirinya (autonomy). Ibu T juga sangat sering melakukan pengecekan kesehatan di klinik “X”. Ia merasakan adanya perbedaan sejak ia mengikuti pengecekan rutin dan mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan, ia merasa lebih tidak gampang sakit. Harapan Ibu T mengenai hidupnya adalah agar segera ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya agar anaknya dapat menjalankan hidup yang lebih bahagia dan agar dapat menjadi orang yang sukses suatu hari nanti (sense of purpose and bright future).

Ibu D, 29 tahun mempunyai seorang anak. Ibu D sudah 2 tahun mengidap penyakit HIV/AIDS. Pertama kali Ibu D mengetahui bahwa ia mengidap penyakit HIV/AIDS adalah pada tahun 2007, setelah ia bercerai dengan suaminya. Perasaan Ibu D pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit tersebut adalah ia merasa marah, benci, bingung, dan kecewa kepada dirinya sendiri dan suaminya. Ia sempat merenung dan mengurung diri di rumah dan tidak mau keluar rumah selama beberapa minggu serta menelantarkan anaknya. Awalnya ibu D menganggap bahwa HIV/AIDS yang ia idap merupakan masalah berat dalam hidupnya. Ia menjadi sensitif terhadap semua orang, ia selalu berpikir negatif ketika melihat orang lain memandang ke arahnya. Ia merasa


(21)

bahwa ketika orang melihatnya mereka melakukannya dengan pandangan yang menghina dan merendahkan dirinya. Ia menjauhkan diri dari teman-teman dan keluarga. Ia merasa telah mengecewakan orang tuanya karena ia telah tertular HIV/AIDS. Ia merasa diri tidak berguna dan ingin mengakhiri hidup saja (adversity).

Setelah beberapa minggu berlalu akhirnya ibu D memberanikan diri untuk menceritakan mengenai penyakit yang diidapnya kepada ibunya dan keluarga serta mertuanya (social competence). Setelah ia menceritakan masalahnya tersebut kepada keluarga, ia mendapatkan respon yang positif berupa keluarganya merangkulnya dan tidak menolak dirinya (social competence). Ibu D mendapatkan perhatian dari keluarga dan mertuanya, ibunya selalu mengingatkannya untuk mengkonsumsi obat agar ia bisa tetap melakukan aktifitasnya. Mertuanya selalu menyediakan makanan sehat dan jus buah-buahan untuk menjaga kesehatan tubuhnya (caring relationship).

Keluarga dan mertuanya selalu meyakinkan dirinya bahwa ia pasti bisa melewati semua masalah yang berhubungan dengan penyakitnya dan masuh dapat menjalankan hidupnya seperti biasanya (high expectation). Ibu D dikenalkan oleh keluarganya kepada beberapa lembaga sosial yang menangani penyakit HIV/AIDS, kemudian ia pun mulai mencari tahu tempat lembaga sosial tersebut berada. Ia mulai mengunjungi lembaga R.C. karena pada saat itu di lembaga tersebut sedang diadakan acara, dari


(22)

mengikuti acara tersebut ia jadi lebih mengetahui banyak hal mengenai penyakit tersebut.

Di sana ia bertemu dengan beberapa orang yang mengidap penyakit yang sama dengan dirinya dan ia pun mulai mengenal banyak teman. Mereka sering melakukan kegiatan bersama di lembaga tersebut seperti berbagi pengalaman, mencari informasi mengenai penyakit HIV/AIDS sehingga ibu D mulai merasa nyaman dan dapat menerima keadaannya saat ini (autonomy).

Beberapa dari temannya yang berada di lembaga R.C juga memperkenalkannya pada klinik “X”, ia memutuskan untuk mengunjungi klinik “X” dan sampai saat ini ia pun sering melakukan pengecekan kesehatan rutin di klinik ”X”. Ibu D telah bergabung dengan klinik “X” sejak tahun 2007. Ibu D sebelum mengidap penyakit HIV/ AIDS pernah bekerja sebagai sales promotion girl di salah satu provider

telepon seluler. Karena saran dokter bahwa ia tidak boleh bekerja terlalu lelah akhirnya ia berhenti dari pekerjaan tersebut dan sampai saat ini ia sedang mencoba terus untuk mencari pekerjaan baru.

Dalam kehidupannya sehari-hari ibu D banyak menghabiskan waktu dengan teman dan keluarganya, jika ia sedang mempunyai masalah dengan penyakitnya atau masalah apa pun maka ia akan menceritakannya kepada teman-teman dan keluarganya dengan harapan mereka dapat memberikan masukan dan saran kepadanya untuk menanani masalahnya


(23)

tersebut. Begitu juga sebaliknya jika teman-teman atau salah satu dari anggota keluarganya sedang mempunyai masalah maka ia pun dapat memberikan dukungan dan berusaha untuk memberikan saran yang dapat membantu mereka untuk menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi (social competence).

Harapan ibu D mengenai hidupnya saat ini adalah agar para dokter dan para ahli dapat segera menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya agar ia dapat sembuh dan dapat mendampingi serta melihat anaknya sukses di tahun yang akan datang dan agar ia dapat menikah lagi agar anaknya tidak merasa malu karena tidak mempunyai ayah (sense of purpose and bright future).

Ibu F, usia 30 tahun dan mempunyai 4 orang anak. Ibu F telah mengidap HIV/AIDS sejak bulan agustus 2007. Ibu F menikah dengan pengguna narkoba jarum suntik. Ia tidak pernah mengirah bahwa dampak dari suaminya menggunakan narkoba akan memberikannya penyakit HIV/AIDS. Ia mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS ketika suaminya meninggal karena mengidap HIV/AIDS. kemudian dari pihak rumah sakit meminta dirinya untuk melakukan pengecekan darah juga untuk mengetahui statusnya apakah ia terinfeksi atau tidak. Ia pun mengikuti saran dokter dan melakukan pengetesan.

Keesokan harinya ia pun pergi ke rumah sakit sendirian untuk mengetahui hasil dari pengecekan darah. Ketika dokter


(24)

memberitahukan hasilnya bahwa ia positif HIV/AIDS pada saat itu juga ibu F sangat terpukul dan merasa bingung. Ia hanya berdiri terpaku dan tidak tau harus melakukan apa selama beberapa menit. Sampai akhirnya ia pun mencoba untuk menenangkan pikirannya dan merokok di halaman rumah sakit sambil memikirkan mengapa hal ini bisa terjadi pada dirinya, mengapa hal ini tidak terjadi pada wanita lainnya. mengapa harus HIV/AIDS, bukan penyakit lain saja. Ia langsung memikirkan bagaimana kesehatan anak pertamanya apakah juga terinfeksi atau tidak (adversity). Ia menangis dan merenungkan masalahnya sebentar. Ia juga marah kepada suaminya. Setelah ia sudah mulai sedikit tenang ia pun pulang dan ketika sampai di rumah ia langsung menceritakannya kepada keluarganya (social competence).

Awalnya keluarga sempat kaget mendengarkan berita tersebut. Orangtua dan adik-adiknya pun memarahinya, kenapa dulu ia mau menikah dengan orang seperti itu. Namun kemudian mamanya mulai memperhatikan kesehatannya. mamanya selalu mengingatkannya untuk mengkonsumsi obat tepat waktu agar badannya tetap sehat. Orangtuanya juga tidak pernah mendiskriminasikannya dengan adik-adiknya yang lain. sekarang adik-adik-adiknya juga banya membantu ibu F untuk mencari informasi mengenai HIV/AIDS, baik dari seminar maupun acara organisasi yang bergerak di bidang HIV/AIDS.


(25)

Tidak lama kemudian kesehatan orangtua ibu F pun semakin menurun dan jatuh sakit. Empat bulan kemudian orangtuannya pun meninggal dunia, hal ini membuat ibu F merasa bersalah kepada keluarganya. Ia merasa bahwa sebagai anak pertama dikeluarga dan anak perempuan satu-satunya ia telah mengecewakan kedua orangtuanya. Ibu F juga menceritakan masalah tersebut kepada mertuanya, namun mertuannya tidak menangapi apa yang dikatakan oleh ibu F (social competence). Saat ini suami ibu F telah meninggal dunia dan ia pun telah enikah lagi dengan orang lain. Sekarang ia pun telah memaafkan suaminya yang telah meninggal itu, ia merasa tidak ada gunanya jika terus mendendam dengan suami pertamanya (social competence).

Setelah beberapa kali melakukan pengecekan kesehatan di rumah sakit “R”, ibu F dikenalkan oleh dokter kepada salah satu pekerja sosial yang bekerja di klinik ”X”. Sejak saat itu ibu F pun mulai melakukan cek kesehatan di klinik “X”. Ia rutin melakukan konseling dan cek kesehatan dan mengambil obat di klinik tersebut. Banyak kegiatan yang dilakukan di klinik “X” diantaranya seperti sharing masalah mengenai penyakit yang mereka derita, alternatif pengobatan, seminar, penyuluhan. Dengan bergabung di klinik ini ibu F merasakan banyak perubahan dalam caranya mehjalani masalah mengenai HIV/ AIDS yang diidapnya. ia mendapatkan banyak teman dan banyak


(26)

informasi mengenai HIV/AIDS (autonomy). Ia tidak merasa sendiri lagi. Sekarang ia juga mengikuti organisasi yaitu ikatan perempuan positif HIV/AIDS di indonesia.

Saat ini ibu F dan suaminya masih aktif bekerja setiap hari untuk membiayai kehidupan keluarga mereka. ibu F bekerja dari pagi jam 8 sampai dengan jam 7 malam. walaupun stamina kesehatannya tidak sekuat dulu, namun ia tetap harus bekerja keras agar dapat mendapatkan uang lebih untuk membeli vitamin-vitamin yang harus dikonsumsi oleh anaknya. Ia akan menawarkan produk yang ia jual kepada semua orang yang ia temui agar ia mendapatkan lebih banyak penghasilan (problem solving).

Saat ini harapan ibu F adalah agar ia dapat tetap bertahan untuk menjalani hidup ini lebih lama lagi, agar ia dapat tetap menjaga keluarganya. ia juga berharap bahwa anaknya dapat selalu sehat dan aktif (sense of purpose and bright future).

Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa setelah responden mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV/AIDS dari suami mereka, mereka memunculkan respon yang berbeda-beda. Seperti misalnya ibu D ia langsung menceritakannya kepada keluarganya, walaupun awalnya ia merasa marah dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia terinfeksi HIV/AIDS sampai seminggu setelahnya barulah ia memberanikan diri untuk menceritakan penyakitnya kepada keluarganya. demikian halnya dengan ibu I yang menceritakan kepada


(27)

mertuanya walaupun ia sampai saat ini masih merahasiakan kepada teman-teaman, pihak keluarga besarnya, lingkungan kerja dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya (social competence).

Ibu D masih sedang mencari pekerjaan untuk membiayai kehidupannya, sedangkan ibu I dan ibu F masih memiliki pekerjaan untuk membiayai hidup keluarga mereka (problem solving). Mereka semua merasa lebih percaya diri dan dapat bersikap wajar setelah mereka bergabung di klinik “X” karena di sana mereka banyak mendapatkan informasi mengenai HIV/AIDS (autonomy). Semua responden berharap bahwa para ahli akan segera menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut (sense of purpose and bright future).

Setiap individu mempunyai dinamika resiliensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu berdasakan hal-hal yang telah diungkapkan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui dinamika resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya agar dapat membantu ODHA untuk melewati masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dideritanya.

1.2 Identifikasi masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana dinamika resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya di klinik “X” Bandung.


(28)

1.3 Maksud dan Tujuan penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Mengetahui resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya di klinik “X” Bandung.

I.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang dinamika resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya di klinik “X” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

! Penelitian ini dapat menambah informasi bagi kajian studi psikologi, khususnya dalam bidang kajian klinis, mengenai resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya.

! Memberi masukan kepada peneliti lain yang berminat meneliti lebih lanjut tentang resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/ AIDS dari suaminya.


(29)

1.4.2 Kegunaan Praktis.

! Memberikan informasi kepada keluarga ODHA mengenai dinamika resiliensi yang dimiliki oleh diri ODHA sehingga keluarga dapat bersikap lebih tepat terhadap mereka.

! Memberikan informasi kepada ODHA mengenai dinamika resiliensi yang mereka miliki agar mereka dapat mengembangkan dirinya untuk meningkatkan atau mempertahankan resiliensinya.

! Memberi informasi kepada klinik mengenai dinamika resiliensi yang ada pada ODHA agar pihak klinik dapat mentu ODHA untuk membantu ODHA mengembangkan dan mempertahankan resiliensi yang ada di dalam diri mereka.

1.5 Kerangka Pikir

Wanita dewasa awal adalah wanita dengan rentang usia 20-40 tahun. Orang dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhan fisiknya dan siap menerima kedudukannya dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Santrock, 2005). Pada wanita dewasa awal perkembangan fisik, sosio emosional, kognitif serta norma dan religi mengalami perubahan. Kemampuan berpikir berubah dari pemikiran yang kongkrit menjadi berpikir formal operasional yaitu kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar


(30)

secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia dan berpikir realistik. Perkembangan sosio-emosional pada orang dewasa adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain, menjalankan pernikahan dan membentuk keluarga. Fisik individu dewasa awal juga berkembang secara biologis, mereka diharapkan mampu mendapatkan keturunan. Perkembangan moral dan religi pada wanita dewasa awal yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan (Lewiss Sherril, dalam Santrock, 2005). Sesuai dengan perkembangan dan kesiapan fisik, kognitif, afeksi serta moral dan religi dari wanita dewasa awal, kebanyakan dari mereka memutuskan untuk menikah (Santrock, 2005).

Sebagai seorang wanita dewasa yang telah menikah mereka mempunyai tugas perkembangan yang harus dilakukan sebagai seorang istri yaitu mereka harus bisa merawat keluarganya dengan baik dan membangun kesetiaan sehingga pasangan hidupnya menjadi perhatian yang utama. Selain itu mereka juga harus dapat menerima kesediaan pasangan untuk berbagi tanggung jawab. Dalam kehidupan berkeluarga seorang istri dan suami harus dapat saling memuaskan pasangan seksualnya (Duvall & Miller, 1985). Sebagai seorang wanita dewasa awal yang telah menikah mereka diharapkan untuk dapat berperan sebagai seorang istri dan belajar untuk melakukan peranannya sebagai seorang istri (Duvall & Miller, 1985).


(31)

Di dalam suatu pernikahan bisa saja muncul berbagai masalah yang tidak diharapkan oleh keluarga tersebut, salah satu di antaranya adalah masalah seorang suami yang menularkan HIV(Human Immunodeficiency virus) /AIDS

(Acquired Immune Deficiency Syndrome) kepada istrinya. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala penyakit yang datang. Sedangkan AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani / sperma, cairan vagina, air susu ibu (ASI). HIV juga menular karena hubungan seksual (anal, oral, vaginal yang tidak terlindungi (tanpa kondom), jarum suntik (tindik/tato/ narkoba) yang tidak steril dan dipakai bergantian, mendapat transfusi darah yang mengandung HIV (http://www.aidsindonesia.or.id, diakses 18 juli 2009).

Seorang istri yang setia melayani suaminya bisa saja tidak menyadari bahwa suaminya telah menularkan penyakit tersebut kepada dirinya. Seorang istri dapat terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya pada saat mereka melakukan hubungan seksual. Istri yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya dapat memunculkan dampak yang berbeda-beda, beberapa di antara mereka merasa sedih, kesal dan syok. HIV/AIDS yang diderita oleh seorang wanita dewasa awal yang sudah menikah sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-harinya, termasuk terhadap pekerjaan mereka. Bagi sebagian individu yang bekerja, penyakit yang mereka derita sangatlah menganggu karena


(32)

pada umumnya perusahaan tidak mau menerima karyawan yang berpenyakit sehingga mengharuskan mereka untuk keluar dari pekerjaan. Selain itu HIV/ AIDS yang dideritanya juga berdampak pada kehidupan berelasinya dengan teman ataupun keluarganya. Terkadang mereka merasa kurang percaya diri, bahkan ada beberapa dari mereka yang dijauhi oleh teman-temannya.

Hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan bagi penderita dan dapat menimbulkan rasa putus asa pada penderita. Penyakit ini juga berdampak pada fisik wanita dewasa awal yang mengidapnya karena HIV/ AIDS menyerang kekebalan tubuh individu maka hal ini menyebabkan kekebalan tubuh berkurang dan wanita dewasa awal akan mudah terkena penyakit tertentu, keadaan ini disebut sebagai infeksi oportunistik (ketika kekebalan tubuh sudah sangat lemah, tubuh tidak dapat lagi melawan kuman-kuman penyakit). Ada sebagian dari mereka yang tidak mampu bangkit kembali dari keterpurukan, merasa tertekan dan sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka menderita HIV/AIDS. Namun beberapa di antara mereka ada yang memiliki kemampuan dari dalam dirinya untuk bangkit dari keterpurukan yang sedang ia hadapi dan berusaha untuk menerima kenyataan yang ada. Semua hal diatas adalah masalah bagi diri ODHA, Benard menyebutnya sebagai adversity

(Benard, 2004).

Kemampuan untuk dapat beradapatasi dengan baik di tengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan disebut resiliensi. Resiliensi


(33)

masalah yang menekan kesejahteraan hidupnya dan dapat menjalankan kehidupannya kembali. Menurut Benard (2004) resiliensi merupakan personal strength yang memiliki empat kategori yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future. Resiliensi disebut sebagai personal strength karena resiliensi merupakan karakteristik individu, atau disebut juga aset yang ada di dalam diri individu atau kompetensi pribadi dan akan muncul pada saat individu mengalami masalah krisis.

Social competence merupakan kemampuan wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya untuk dapat membangun relasi dengan sesama. Kemampuan ini mencakup kemampuan responsiveness yaitu kemampuan untuk memberikan bantuan dan perhatian kepada lingkungannya dan dapat memunculkan respon positif dari orang lain. Communication yaitu kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa menyakiti orang lain. Empathy and caring yaitu kemampuan untuk berempati dan memberikan perhatian kepada orang lain yang sedang mengalami masalah. Compassion, alutrism and forgiveness adalah kemampuan untuk peduli dan membantu seseorang untuk menghadapi masalah mereka, memberikan bantuan kepada orang lain bukan berdasarkan apa yang ingin dilakukan tetapi berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh orang yang akan dibantu, serta mampu memaafkan diri dan orang lain bahkan orang yang pernah menyakitinya (Benard, 2004). Sesuai dengan tahap perkembangan sosio emosionalnya seorang wanita dewasa awal diharapkan telah


(34)

mampu untuk menjalin relasi dengan lawan jenis dan membangun keluarga (Santrock, 2005).

Problem solving skills merupakan kemampuan wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya untuk dapat menyelesaikan masalahnya, membuat rencana tindakan yang akan dilakukan saat menghadapi masalah, memiliki fleksibilitas berpikir, berpikir kritis dan menemukan insight juga meminta bantuan kepada orang lain ketika diperlukan (Benard, 2004). Sebagai seorang wanita dewasa awal mereka telah memiliki perkembangan kognitif pada tahap formal oprasional, yaitu mereka harus mampu untuk berpikir kritis dalam menghadapi masalah (Santrock, 2005).

Autonomy merupakan kemampuan seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya untuk dapat tetap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas pribadinya, misalnya tetap mencari pekerjaan yang bisa dilakukan untuk memenuhi kehidupannya, merasa yakin terhadap diri sendiri bahwa ia mampu untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri (Benard, 2004). Ia juga memiliki positive identity yaitu memiliki penilaian akan diri sendiri yang positif, serta mampu untuk melakukan Internal locus of control yakni ia meyakini bahwa apa yang terjadi berada dalam kontrolnya dan mengambil peran aktif serta bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Ia juga memiliki inisiatif yaitu kemampuan untuk termotivasi dari dalam diri untuk mengarahkan perhatian dan upaya menuju tujuan. Selain itu individu juga memiliki self- efficacy and mastery,


(35)

kemampuannya untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Mastery merupakan perasaaan berkompeten dalam mencoba atau melakukan sesuatu dan humor yang dapat berperan untuk mengubah perasaan seseorang. Humor juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang positif dengan orang lain.

Sense of purpose and bright future merupakan kemampuan seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya untuk dapat mempertahankan dan memanfaatkan minat yang dimilikinya sebagai sarana mengembangkan diri dan memiliki tujuan yang ingin dicapai (Benard, 2004). Sebagai seorang wanita dewasa awal mereka telah memiliki perkembangan kognitif pada tahap formal oprasional sehingga mereka diharapkan mampu untuk merencanakan masa depan mereka untuk mencapai tujuan yang ingin mereka capai (Santrock, 2005).

Adapun faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah risk factors dan

protective factors. Risk factors adalah faktor-faktor yang hadir dalam kehidupan individu yang meningkatkan kemungkinan munculnya negative outcomes. Hal-hal

yang termasuk risk factor adalah tingkat pendidikan formal, status ekonomi, lingkungan sosial yang meminimalkan kesempatan dan sumber daya (Benard, 2004).

Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh. Tingkat pendidikan seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya dapat mempengaruhi bagaimana pola pikirnya dalam menyelesaikan


(36)

masalah yang sedang ia hadapi. Misalnya jika wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah jika ia mempunyai masalah dengan penyakit yang sedang dideritanya mungkin ia akan cenderung acuh tak acuh pada penyakit yang diderita olehnya (problem solving skills). Ia juga tidak akan menceritakan mengenai penyakitnya kepada orang lain dan keluarga karena takut di kucilkan oleh lingkungannya (social competence). Ia juga kurang mendapatkan informasi mnegenai penyakit yang ia derita sehingga ia merasa bahwa dengan ia mengidap HIV/AIDS maka hidupnya hancur dan merupakan aib sehingga ia tidak dapat melakukan apapun (autonomy) sehingga ia lebih pesimis dalam menjalani hidupnya (sense of purpose and bright future).

Jika ia memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka mereka akan berpikir kritis untuk mencari solusi yang tepat dan menyusun rencana agar mereka dapat menjalankan pengobatan agar mereka dapat tetap menjalani hidup (problem solving skills). Ia juga akan mencari cara yang tepat untuk menjelaskan mengenai penyakit yang sedang dideritanya kepada keluarganya serta memaafkan orang lain yang telah bersikap kasar kepadanya karena penyakit yang dideritanya (social competence). Ia juga akan mencoba untuk mencari informasi dari orang yang tepat dan ahlinya agar ia tahu bahwa walaupun ia mengidap penyakit HIV/AIDS ia masih dapat melanjutkan hidupnya dan dapat berguna bagi lingkungannya (autonomy) sehingga dalam menghadapi banyak tekanan dan masalah yang diakibatkan oleh penyakit yang dideritanya ia akan merasa lebih optimis dan lebih bersemangat (sense of purpose and bright future).


(37)

Kehidupan ekonomi wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dapat mengalami perubahan yang drastis. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan yang pada saat ini tidak mau mempekerjakan karyawan yang mengidap penyakit HIV/AIDS. Sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan agar dapat membiayai kehidupan keluarganya dan untuk melakukan pengobatan. Sedangkan jika kehidupan ekonomi wanita dewasa awal yang berasal dari kalangan ekonomi menegah ke atas maka mereka akan tetap dapat menjalankan pengobatan rutin dan juga dapat menghidupi keluarga mereka tanpa harus memikirkan masalah pekerjaannya. Kehidupan ekonomi dari seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya akan berpengaruh terhadap derajat resiliensinya, yaitu mereka yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah akan menghentikan pengobatannya karena tidak mempunyai biaya sehingga hal ini akan berdampak pada semakin parahnya penyakit yang ia derita. Hal ini dapat membuat Ia menjadi optimis untuk dapat tetap menjalankan hidupnya, sedangkan bagi mereka yang berasal dari tingkat ekonomi yang tinggi akan dapat terus menjalankan pengobatannya secara rutin sehingga ia dapat meningkatkan daya tahan tubuhnya terhadap penyakit yang diidapnya dan lebih optimis untuk dapat menjalankan hidup dengan lebih baik (sense of purpose and bright future). Kehidupan ekonomi dari seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya dapat mempegaruhi bagaimana ia akan membuat rencana untuk menjalankan pengobatan terhadap penyakitnya (problem solving).


(38)

Lingkungan sosial adalah lingkungan dimana seorang wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya tinggal dan melakukan aktifitasnya. Di Indonesia yang menganut budaya timur yang memiliki stigma negatif terhadap penyakit HIV/AIDS terutama jika yang menderita penyakit tersebut adalah seorang wanita. Hal ini dapat membuat wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/ AIDS dari suaminya di Indonesia menjadi dikucilkan oleh lingkungan dan mendapatkan penolakan dari lingkungannya. Tetapi ada juga lingkungan sosial yang dapat memberikan dukungan kepada ODHA untuk dapat tetap mejalankan hidupnya dengan baik, misalnya keluarganya. Dukungan dari lingkungan keluarga dapat berupa membantu ODHA untuk mencari informasi mengenai penyakit HIV/ AIDS, mencari alternatif untuk masalah yang berhubungan dengan penyakit (problem solving). Jika wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya maka akan berpengaruh terhadap derajat resiliensinya karena penerimaan dari lingkungan dapat meningkatkan rasa aman dan dapat membuat dirinya lebih percaya diri untuk tetap menjalankan hidupnya (autonomy). Keadaan lingkungan yang menerimanya dapat membuatnya lebih terbuka dan mau mengungkapkan masalah yang sedang ia hadapi kepada lingkungan (social competence). Keadaan lingkungan yang mendukungnya akan membuatnya cenderung optimistik dalam menjalani hidupnya (sense of purpose and bright future).

Sedangkan yang dimaksud dengan protective factors adalah karakteristik atau keadaan yang mengurangi dampak negatif yang dimunculkan oleh risk factor


(39)

yang dihadapi oleh individu. Faktor yang termasuk protective factor adalah caring relationships, high expectations, dan opportunities to participate and contribution

yang masing-masing terdapat di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Benard, 2004) namun mengingat usia sampel adalah wanita dewasa awal maka yang digunakan adalah lingkungan keluarga dan masyarakat.

Caring Relationships adalah dukungan cinta kasih tanpa syarat yang disertai oleh kepercayaan. Lingkungan yang menyajikan caring relationship berarti memberi dukungan penuh kasih sayang yang tulus, kepedulian mau saling mendengarkan. Misalnya jika wanita yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya sedang memiliki banyak masalah dan ingin menceritakan kepada keluarga atau temannya maka sebagai anggota keluarga atau seorang teman ia dapat memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat kepada dia misalnya dengan cara mendengarkan apa yang ingin diceritakan olehnya dan memberikan dukungan. Hal ini dapat membantu mereka untuk merasa dipedulikan oleh lingkungan. Seorang wanita yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya yang memliki caring relationships akan mampu untuk peduli, memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan serta pikirkan dan mampu untuk menolong meringankan beban atau masalah yang sedang dirasakan oleh orang lain (social competence).

Ia juga mampu untuk membantu orang lain mengubah amarah dan emosi menjadi tawa dan membantu orang lain untuk keluar dari keputusasaan (autonomy)


(40)

dalam membangun resiliensidan kepercayaan serta memberikan tantangan kepada individu. High expectations mendukung kekuatan resiliensi dalam berpikir kritis, menggali dan mengembangkan rasa ingin tahu juga memampukan individu untuk melakukan problem solving dan pengambilan keputusan. Lingkungan memberikan target harapan yang optimal terhadap individu, misalnya pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya, mereka diharapkan tetap mempunyai harapan yang positif dalam hidupnya. Hal ini dapat membantu mereka untuk dapat melakukan problem solving dan lebih bersemangat untuk menjalani hidup mereka, sehingga mereka dapat menilai diri mereka secara lebih positif juga yakin terhadap diri sendiri bahwa ia mampu untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri (autonomy). Jika mereka tidak memiliki harapan yang positif mereka cenderung akan mudah putus asa dan tidak mampu untuk melakukan

problem solving dalam menghadapi masalah mereka, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi dalam diri mereka.

Opportunities for participation and contribution adalah lingkungan memberikan kesempatan kepada individu untuk memberikan kontribusi dan partsipasi untuk meningkatkan rasa percaya diri dan dihargai oleh lingkungan. Misalnya wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya, mereka diberi kesempatan oleh lingkungan untuk turut berpartisipasi dalam lembaga yang bergerak dalam bidang pencegahan HIV/AIDS, sebagai nara sumber, pembicara atau sebagai aktifis dalam lembaga pencegahan HIV/AIDS.


(41)

Perkembangan:

! Fisik

! Sosio emosional

! Kognitif

! Moral dan religi

Protective factors - Caring relationships - High expectations

- Opportunities for participation and contribution

resiliensi

· Social competence · Problem solving skills · Autonomy

· Sense of purpose and bright future

Risk factors :

! Status ekonomi

! Tingkat pendidikan

! Lingkungan sosial Wanita dewasa awal

yang terinfeksi HIV/ AIDS


(42)

(43)

1.6 Asumsi

Dinamika resiliensi pada wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/ AIDS dari suaminya berbeda-beda sesuai dengan kemampuan Social Competence, Problem Solving, Autonomy, dan Sense Of Purpose and bright future yang mereka miliki.

• Resiliensi di dalam diri individu dipengaruhi oleh risk factor (status ekonomi, tingkat pendidikan, lingkungan sosial) dan protective factors

(caring relationships, high expectations, opportunities for participation and contribution).


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedua subyek sama-sama menunjukkan kemampuan problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

• Kedua subyek mampu untuk melakukan perencanaan, berpikir kritis, memikirkan alternatif solusi, dan mampu untuk mengidentifikasi sumber eksternal yang dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam menjalani hidup mereka.

• Kedua subyek memiliki kontrol terhadap diri mereka sendiri sehingga mereka dapat lebih memahami keadaan kesehatan mereka. Kedua subyek percaya bahwa mereka mampu untuk menjaga kesehatan mereka agar tetap stabil sehingga mereka dapat membuktikan kepada lingkungan bahwa mereka mampu untuk tetap bertahan hidup dengan penyakit yang mereka derita.

• Kedua subyek optimistik bahwa mereka mampu untuk menjaga kesehatan mereka agar tetap stabil. Jika mereka mengalami kejenuhan dalam menjalankan pengobatan kedua subyek mampu untuk terus memotivasi diri mereka agar tetap menjalani pengobatan. Terkadang mereka juga akan melakukan hobby mereka untuk mengatasi kejenuhan yang mereka


(45)

rasakan. Selain itu kedua subyek juga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara beribadah dan selalu bersyukur dengan keadaan mereka saat ini. Sebagai ODHA kedua subyek juga memiliki harapan dalam menjalani hidupnya.

2. Protective factors (caring relationships, opportunities for participations and contribution, high expectations) sangat berperan pada dinamika resiliensi subyek.

• Dukungan dan perhatian dari keluarga, teman-teman dan lingkungan sekitarnya merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam meningkatkan resiliensi kedua subyek.

• Kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi yang diberikan keluarga, teman-teman dan lingkungan kepada para responden juga cukup berperan dalam dinamika resiliensi kedua subyek.

High expectations dari keluarga turut berperan pula dalam mengembangkan resiliensi kedua responden. Keluarga yang mampu mengungkapkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan subyek dalam menghadapi penyakit yang dideritanya dapat membuat subyek merasa lebih percaya diri dalam menjalani pengobatannya.

3. Kedua subyek memiliki dinamika resiliensi yang berbeda dan mereka mampu untuk mempertahankan resiliensi yang ada di dalam dirinya dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Protective factors yang diberikan oleh lingkungan keluarga, teman-teman dan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya membuat Ibu D mampu untuk


(46)

memunculkan kemampuan sosial competence yang tinggi sehingga membuatnya mampu untuk memunculkan kemampuan autonomy yang dimilikinya, yang selanjutnya berpengaruh positif terhadap kemampuan problem solving-nya sehingga membuatnya mampu untuk memunculkan sense of purpose and bright future.

• Ibu IC kurang memiliki kemampuan sosial competence, namun dengan adanya dukungan, perhatian dan harapan yang positif serta kesempatan yang diberikan oleh mertua dan keluarganya membuatnya mampu untuk melakukan problem solving atas masalah-masalah yang dihadapinya. Hal ini berpengaruh positif terhadap kemampuannya untuk memunculkan autonomy dan kemampuan sense of purpose and bright future.

Besarnya protective factors yang diperoleh kedua subyek dari keluarga dan teman-teman membuat mereka mampu untuk mengatasi risk factors (tingkat pendidikan formal, status sosial ekonomi, lingkungan sekitar subyek) yang mereka hadapi.


(47)

Berdasarkan simpulan di atas dan dengan menyadari adanya beberapa keterbatasan yang mewarnai hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti merasa perlu untuk mengajukan beberapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

• Bagi para peneliti lain yang ingin meneliti mengenai wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS disarankan untuk membuat kriteria sampel yang lebih spesifik lagi. Misalnya memasukkan kriteria kelas sosial, tingkat pendidikan dan jenis kelamin agar dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi yang dimiliki oleh seseorang.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi kepada klinik X mengenai dinamika resiliensi para ODHA sehingga pihak klinik dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh ODHA guna meningkatkan resiliensi ODHA.

2. Kedua ODHA disarankan untuk dapat meningkatkan atau mempetahankan resiliensi yang mereka miliki dengan cara tetap rutin melakukan penmeriksaan kesehatan, mengikuti prtemuan-pertemuan dan penyuluhan-penyuluhan mengenai HIV/AIDS.

3. Memberikan informasi kepada keluarga subyek mengenai dinamika resiliensi subyek agar pihak keluarga dapat terus memberikan


(48)

dukungan dan perhatian kepada subyek serta mampu melihat sisi positif atau kelebihan yang masih dimiliki oleh para subyek.

4. Bagi para ODHA yang telah memiliki resiliensi yang cukup tinggi disarankan untuk dapat mendampingi dan membantu ODHA lainnya agar dapat mempertahankan dan meningkatkan resiliensi yang telah dimiliki oleh ODHA lainnya.


(49)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1997. AIDS dan Penanggulangannya. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Hawari, Dadang. 2006. Globlal Effect HIV/AIDS Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang M. Nurs. (Hons), Nursalam dan Dian Kumiawati, Ninuk, 2007. Asuhan

keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian, cetakan ketiga. Jakarta : Ghalia indonesia. Santrock, John. W. 2005. Perkembangan Masa Hidup, edisi kelima.

Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi, dan Juda Damanik. Jakarta : Erlangga

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi/E. Kristi Poerwandar; pengantar Fuad Hassan, cetakan pertama. Jakarta : Lembaga pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI, 1998.

Pujiastuti, E. & Retnowati, S. (2004). Kepuasan Perkawinan Dengan Depresi Pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Jurnal Psikologi. Vol 15, No.1.


(50)

Anwar Siswandi. 2009. Anak Muda dan Ibu Rumah Tangga Rawan Tertular AIDS. (online). Edisi 30 Juni 2009. (www.tempointeraktif.com diakses 25 Desember 2009).

Kompas. 2009. 1,7 Juta Wanita Terinfeksi HIV/AIDS. (online). Edisi 12 Agustus 2009. (www.kompas.com, diakses 24 September 2009).

Kompas. 2005. Perempuan Meruntuhkan Stigma, Melanjutkan Hidup. (online). Edisi 30 Mei 2005. (www.kompas.com, diakses 24 September 2009). Penderita HIV/AIDS JABAR Sebanyak 1.535. jurnal komunitas. (online).

(http://jurnalkomunitas.multiply.com/journal/item/51/diakses 10 January 2008).

Suara Merdeka. 2010. Ibu Rumah Tangga Jadi Korban. (online). Edisi 17 Februari 2010. (http://www.aids-ina.org, diakses 23 febuari 2010).

Saragih, R. (2003). Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita Bekerja Pasangan Single Carrer dan Pasangan Dual Carrer. Skripsi (tidak

diterbitkan). (online). Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara. Medan.(www.google.com, diakses tanggal 6 maret 2011)

www.aidsindonesia.or.id, diakses 10 January 2008. http://m.detik.com, Senin, 10/08/2009 08:25 WIB www.wiskipedia.indonesia.com, diakses 6 Maret 2009). www.aids-ina.org, Rakyat Merdeka, 08 September 2009 www.Wikipedia.com, diakses 5 januari 2010


(1)

rasakan. Selain itu kedua subyek juga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara beribadah dan selalu bersyukur dengan keadaan mereka saat ini. Sebagai ODHA kedua subyek juga memiliki harapan dalam menjalani hidupnya.

2. Protective factors (caring relationships, opportunities for participations and contribution, high expectations) sangat berperan pada dinamika resiliensi subyek.

• Dukungan dan perhatian dari keluarga, teman-teman dan lingkungan sekitarnya merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam meningkatkan resiliensi kedua subyek.

• Kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi yang diberikan keluarga, teman-teman dan lingkungan kepada para responden juga cukup berperan dalam dinamika resiliensi kedua subyek.

High expectations dari keluarga turut berperan pula dalam mengembangkan resiliensi kedua responden. Keluarga yang mampu mengungkapkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan subyek dalam menghadapi penyakit yang dideritanya dapat membuat subyek merasa lebih percaya diri dalam menjalani pengobatannya.

3. Kedua subyek memiliki dinamika resiliensi yang berbeda dan mereka mampu untuk mempertahankan resiliensi yang ada di dalam dirinya dalam menghadapi tantangan kehidupan.


(2)

219

Universitas Kristen Maranatha

memunculkan kemampuan sosial competence yang tinggi sehingga membuatnya mampu untuk memunculkan kemampuan autonomy yang dimilikinya, yang selanjutnya berpengaruh positif terhadap kemampuan problem solving-nya sehingga membuatnya mampu untuk memunculkan sense of purpose and bright future.

• Ibu IC kurang memiliki kemampuan sosial competence, namun dengan adanya dukungan, perhatian dan harapan yang positif serta kesempatan yang diberikan oleh mertua dan keluarganya membuatnya mampu untuk melakukan problem solving atas masalah-masalah yang dihadapinya. Hal ini berpengaruh positif terhadap kemampuannya untuk memunculkan autonomy dan kemampuan sense of purpose and bright future.

Besarnya protective factors yang diperoleh kedua subyek dari keluarga dan teman-teman membuat mereka mampu untuk mengatasi risk factors (tingkat pendidikan formal, status sosial ekonomi, lingkungan sekitar subyek) yang mereka hadapi.


(3)

Berdasarkan simpulan di atas dan dengan menyadari adanya beberapa keterbatasan yang mewarnai hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti merasa perlu untuk mengajukan beberapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

• Bagi para peneliti lain yang ingin meneliti mengenai wanita dewasa awal yang terinfeksi HIV/AIDS disarankan untuk membuat kriteria sampel yang lebih spesifik lagi. Misalnya memasukkan kriteria kelas sosial, tingkat pendidikan dan jenis kelamin agar dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi yang dimiliki oleh seseorang.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi kepada klinik X mengenai dinamika resiliensi para ODHA sehingga pihak klinik dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh ODHA guna meningkatkan resiliensi ODHA.

2. Kedua ODHA disarankan untuk dapat meningkatkan atau mempetahankan resiliensi yang mereka miliki dengan cara tetap rutin melakukan penmeriksaan kesehatan, mengikuti prtemuan-pertemuan dan penyuluhan-penyuluhan mengenai HIV/AIDS.


(4)

221

Universitas Kristen Maranatha

dukungan dan perhatian kepada subyek serta mampu melihat sisi positif atau kelebihan yang masih dimiliki oleh para subyek.

4. Bagi para ODHA yang telah memiliki resiliensi yang cukup tinggi disarankan untuk dapat mendampingi dan membantu ODHA lainnya agar dapat mempertahankan dan meningkatkan resiliensi yang telah dimiliki oleh ODHA lainnya.


(5)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1997. AIDS dan Penanggulangannya. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Hawari, Dadang. 2006. Globlal Effect HIV/AIDS Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang M. Nurs. (Hons), Nursalam dan Dian Kumiawati, Ninuk, 2007. Asuhan

keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian, cetakan ketiga. Jakarta : Ghalia indonesia. Santrock, John. W. 2005. Perkembangan Masa Hidup, edisi kelima.

Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi, dan Juda Damanik. Jakarta : Erlangga

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi/E. Kristi Poerwandar; pengantar Fuad Hassan, cetakan pertama. Jakarta : Lembaga pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI, 1998.

Pujiastuti, E. & Retnowati, S. (2004). Kepuasan Perkawinan Dengan Depresi Pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Jurnal Psikologi. Vol 15, No.1.


(6)

224

DAFTAR RUJUKAN

Admin2. 2008. Lebih Jauh Dengan HIV/AIDS dan Penanggulangannya. (online).

( http://netsains.com/2008/02/lebih-jauh-dengan-hivaids-dan-penanggulanggannya/ 18 juli 2009)

Anwar Siswandi. 2009. Anak Muda dan Ibu Rumah Tangga Rawan Tertular

AIDS. (online). Edisi 30 Juni 2009. (www.tempointeraktif.com diakses 25 Desember 2009).

Kompas. 2009. 1,7 Juta Wanita Terinfeksi HIV/AIDS. (online). Edisi 12 Agustus 2009. (www.kompas.com, diakses 24 September 2009).

Kompas. 2005. Perempuan Meruntuhkan Stigma, Melanjutkan Hidup. (online). Edisi 30 Mei 2005. (www.kompas.com, diakses 24 September 2009). Penderita HIV/AIDS JABAR Sebanyak 1.535. jurnal komunitas. (online).

(http://jurnalkomunitas.multiply.com/journal/item/51/diakses 10 January 2008).

Suara Merdeka. 2010. Ibu Rumah Tangga Jadi Korban. (online). Edisi 17 Februari 2010. (http://www.aids-ina.org, diakses 23 febuari 2010).

Saragih, R. (2003). Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita Bekerja Pasangan Single Carrer dan Pasangan Dual Carrer. Skripsi (tidak

diterbitkan). (online). Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara. Medan.(www.google.com, diakses tanggal 6 maret 2011)

www.aidsindonesia.or.id, diakses 10 January 2008. http://m.detik.com, Senin, 10/08/2009 08:25 WIB www.wiskipedia.indonesia.com, diakses 6 Maret 2009). www.aids-ina.org, Rakyat Merdeka, 08 September 2009 www.Wikipedia.com, diakses 5 januari 2010