Dinamika Forgiveness Pada Orang Dewasa Yang Pernah Mengalami Child Abuse
DINAMIKA FORGIVENESS PADA ORANG DEWASA
YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE
S K R I P S I
G u n a M e m e n u h i P e r s y a r a t a n U j i a n S a r j a n a P s i k o l o g i
OLEH :
REINIDAR DEVIRASARI NIRMALA HAYATI 031301009
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
BAB I PENDAHULUAN
I. A Latar Belakang Masalah
Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh
secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi Kebutuhan-kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada
umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang
dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak)
(Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang
murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan
aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka
(Horney, dalam Feist, 2002)
Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar
dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung
perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock,
1998).
Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak
mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu
atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau
membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang
mengaku menyayangi anaknya namun tetap tega menyakiti anak atas nama
(3)
Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan
terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006
meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri,
dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan
angka keseluruhan anak yang mengalami penganiayaan oleh orang tua di
Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga
sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga
merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya
di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua.
Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk
mengemukakan pendapat.
Peristiwa penganiayaan anak biasa dikenal dengan istilah child abuse atau
child maltreatment. Child abuse atau child maltreatment meliputi dua perilaku
yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan
kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama
sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Perilaku abuse dan neglect ini
memiliki empat tipe. Pertama, physical abuse, yaitu kekerasan terhadap fisik anak
yang dapat berupa pukulan, tendangan atau pembakaran. Kedua, neglect,
merupakan pengabaian atau kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan
pendidikan dasar anak. Ketiga, sexual abuse, merupakan kegiatan seksual yang
melibatkan anak. Keempat, emotional maltreatment, meliputi tindakan maupun
(4)
The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam
McDonal, 2007) menyatakan bahwa child abuse merupakan penganiayaan
terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan anak, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada
orang tua sebagai pelaku child abuse.
Rafeinstein (2000) mengutip pengalaman Rebecca sebagai anak yang
tumbuh dengan ibu yang abusive secara fisik dan verbal, serta ayah yang jarang
ada di rumah :
“...Ibuku sering memanggilku dengan sebutan ‘bodoh’ atau ‘idiot’. Kalau aku melakukan kesalahan ibu akan memukul dan membenturkan kepalaku... sedangkan ayah menyayangiku tapi tidak pernah ada saat aku membutuhkannya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya.”
Pada umumnya, orang dewasa yang yang melakukan kekerasan terhadap
anak mereka sendiri kurang memiliki kontrol atas dorongan agresi dan memiliki
pemikiran yang tidak realistik bahwa anak-anak dapat memenuhi kebutuhan
emosionalnya sendiri. Biasanya mereka juga memiliki sejarah kekerasan ketika
mereka kecil (Kempe et al. dalam Berk, 2000). Sejarah kekerasan biasanya
merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar
pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk
menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak
sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).
Papalia (2004) menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami
kekerasan berasal dari semua usia, namun angka tertinggi adalah usia 3 tahun ke
(5)
biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali
lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki.
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi,
dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah,
anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta
anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami
child abuse.
Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan
kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang
kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan
child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih
dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong
untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima
adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang
terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000)
Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik
perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah
tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi
kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000).
Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik,
maupun psikis. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
(6)
tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004).
Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung
tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi
(Berns, 2004).
Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi,
mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child
abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka
berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi
pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut
orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua
(Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak
dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman
yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks,
dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis
seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk
membalas dendam (Herman, 1997).
Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah
anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan
merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak
kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan
(7)
dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi
(Wibisono, 2004).
Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang
memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa
intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi
orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan
membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka.
Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya
sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan
setelah ia dewasa dan berkeluarga:
“Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku benar-benar kacau."
Banyak survivors mengungkapkan bahwa selain merasa marah, mereka
juga merasakan ketidakberdayaan dan ketakutan ketika dianiaya atau melihat
anggota keluarga lain (bahkan hewan peliharaan) dianiaya. Mereka kemudian
belajar mengembangkan keahlian mengenal tanda-tanda akan terjadi kekerasan,
misalnya perubahan ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang tua. Apabila
orang tua menunjukan reaksi tersebut, mereka berusaha melindungi diri dengan
menghindar atau melarikan diri, dan jika gagal, mereka akan berusaha menjadi
‘anak yang baik’ untuk menenangkan orang tua (Herman, 1997). Seperti yang
(8)
tirinya marah-marah sehingga ia memilih menghindar, berharap ibu tirinya tidak
semakin marah.
“..Ya kami baek-baek lah. Jangan sampek tambah marah pula dia kan.... Bis tu kami pigi aja masuk kamar. Takut kami mamak tiri kami tambah marah…”(komunikasi personal, 26 Agustus 2007)
Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi ‘anak yang baik’ membuat
anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan,
pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan
cara-cara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child
abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan
atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci
atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan
menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan “sesuatu” tanpa
sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999).
Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan
pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami
physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia
berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave
dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya:
“...Ingin rasanya aku melompat dari dudukku, berdiri di depannya, lalu berteriak persis di depan wajahnya yang menjijikkan itu, ‘Kau perempuan jalang tak waras! Kau anggap aku mainan! Budak yang bisa kau perintah seenaknya! Kau merendahkan diriku, menghapus namaku, dan menyiksaku sampai nyaris mati’... Masih dengan nafas berat, aku meneruskan kemarahanku dalam hati, ‘Sadarkah kau apa yang bisa kulakukan terhadapmu sekarang ini, saat ini juga? Aku bisa mencekik lehermu yang tembam itu, dan membuat nyawamu melayang. Atau, aku bisa juga membuatmu menderita perlahan-lahan, perlahan-lahan sekali. Kau tidak
(9)
langsung kubunuh, tapi kucopot daya hidupmu perlahan-lahan. Aku bisa melakukannya, sungguh aku bisa’” (hal 281-282)
Individu yang mengalami emosi-emosi tersebut di atas dikatakan sedang
berada dalam keadaan unforgive (tidak memaafkan). Unforgiveness didefinisikan
sebagai emosi "dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan rasa benci,
bersamaan dengan motivasi untuk menghindari atau membalas transgresor
(pelaku kejadian penyerangan). Emosi dingin tidak mudah hilang seiring
berjalannya waktu, kecuali apabila dilakukan intervensi yang tepat (Worthington,
1999).
Emosi-emosi dingin ini mengakibatkan dampak buruk bagi individu yang
mengalaminya antara lain menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan depresi
(Zechmeister, 2004). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa
setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, orang tersebut menjadi lebih
mungkin terkena masalah kesehatan. Emosi-emosi negatif dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan kanker dan individu akan sulit
mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, individu berusaha
menghilangkan atau setidaknya mengurangi unforgiveness.
Ada banyak cara sehingga seseorang dapat mengurangi unforgiveness,
misalnya dengan langsung membalas, membalas dendam, menuntut keadilan atau
dengan defense psikologis (represi, proyeksi, denial, dan sebagainya). Cara-cara
tersebut mungkin dapat mengurangi beberapa emosi negatif, namun emosi negatif
(10)
mengatasi unforgiveness yaitu dengan forgiveness (pemaafan) (Worthington &
Wade, 1999).
Menurut Lucia (2005), ketika seseorang memaafkan, ia mengganti
perasaan unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati,
dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang
dirasakan seseorang.
Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi
emosi. Disonansi emosi terjadi ketika korban mengalami emosi-emosi positif
seperti empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai.
Emosi-emosi ini bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) yang
dirasakan korban sehingga korban merasa tidak nyaman dan akan berusaha
menyeimbangkan emosinya. Akan tetapi, mengalami disonansi emosi tidak berarti
menyebabkan forgiveness. Orang yang merasakan disonansi emosi juga mungkin
saja malah kembali unforgive (Worthington & Wade, 1999).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness antara lain empati,
rumination (merenungi kejadian yang menimbulkan sakit hati), kualitas
hubungan, permintaan maaf (McCullough, 2000), agama dan kepercayaan
(Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor tersebut ada yang berkorelasi positif
dan ada yang berkorelasi negatif dan dapat mempengaruhi disonansi emosi pada
diri korban, namun apakah individu forgive atau kembali unforgive ditentukan
oleh korban sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Worthington & Wade
(1999) bahwa forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban untuk
(11)
Anda (bukan nama sebenarnya) memiliki ayah yang dulunya adalah
seorang penjudi dan pemabuk. Sejak kecil ia dan anggota keluarganya yang lain
sering dipukuli ayahnya. Perasaan unforgive-nya juga diperparah karena ia tidak
tahan melihat ibunya menderita. Pada akhirnya, Anda memilih forgive setelah
melihat ibunya bahagia setelah ayahnya sadar dan berubah.
“..masalah abang sama bapak kan karna dia mabok-mabok itu. Kalo udah mabok woo.. Bukannya apa, Abang paling gak tahan nengok mamak. Dulu kalo dibilang dendam, dendam kali Abang sama dia Vi. Tapi nengok bapak sekarang udah berubah rasanya abang bersukur juga la. Gak penting sama Abang dia harus ngomong apa sama Abang. Yang penting dia udah berubah, terus nengok mamak udah seneng Abang juga seneng..” (komunikasi personal, tanggal 23 November 2007)
Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf,
Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun
ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia
menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf
ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat.
“…Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi. Tak bisa kumaafkan dia…Udah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev kayakmana perasaanku ini Dev?”(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)
Forgiveness sendiri tidak menjamin adanya pemulihan hubungan
(rekonsiliasi). Setelah memaafkan pun, survivor belum tentu memiliki hubungan
yang erat seperti sebelum child abuse terjadi atau seperti layaknya hubungan
orang tua dan anak pada umumnya. Akan tetapi, forgiveness lebih memberikan
konsekuensi positif daripada unforgiveness, yang meliputi meningkatnya
(12)
Worthington, 1999), mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil
(Worthington, 1998), memperbaiki hubungan interpersonal dan meningkatkan
kesejahteraan (well-being) (Konstam, 2000).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa child abuse memiliki
dampak-dampak buruk bagi anak, salah satunya anak akan membawa emosi
negatif (unforgiveness) yang akan dibawa anak hingga dewasa apabila tidak
tercapai solusi yang tepat dan dapat mengganggu hubungan anak dan orang tua.
Setiap individu berbeda-beda responnya terhadap unforgiveness, namun, cara
yang paling baik untuk mengurangi dan mengatasi unforgiveness adalah dengan
forgiveness karena forgiveness dapat melepas perasaan dendam dalam jiwa
seseorang, dan membantu individu memperbaiki hubungannya dengan orang
tuanya sehingga menuntun orang tersebut ke hidup yang lebih bahagia.
Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Akan
tetapi, disonansi emosi tidak hanya menyebabkan forgiveness. Seseorang yang
merasakan ketidaknyamanan disonansi emosi bisa saja kembali unforgive.
Dinamika ini lah yang tertarik untuk peneliti teliti.
I. B Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah
utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana dinamika forgiveness pada orang
(13)
I. C Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada
orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
I. D Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa
manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi
klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang
dewasa yang pernah mengalami child abuse.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan
bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat
forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan
wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak
pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi
pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child
abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan
(14)
BAB I : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari
teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma
penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian,
metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur
penelitian.
BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil
Berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di
dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, dan
hasil wawancara, serta rangkuman analisis hasil penelitian antar
partisipan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi
tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran, baik saran
praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan, yang berhubungan
(15)
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A FORGIVENESS
Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive
(tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness memang baru dapat muncul setelah
adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti
pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan satu cara untuk
mengatasi unforgiveness. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menjelaskan
mengenai unforgiveness sebelum membahas forgiveness.
II. A. 1 Definisi Unforgiveness
Unforgiveness didefinisikan sebagai "emosi dingin" yang melibatkan rasa
marah, sakit hati, dan permusuhan, bersama dengan motivasi untuk meghindar
atau membalas transgresor (orang yang melakukan kesalahan) (Worthington &
Wade, 1999).
Worthington (dalam Zechmeister, 2004) mendefinisikan unforgiveness
sebagai kemarahan, permusuhan, ketakutan dan stress ruminatif yang terjadi
setelah penyerangan interpersonal.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
unforgiveness adalah emosi “dingin” yang merupakan gabungan dari rasa marah,
rasa benci, permusuhan, sakit hati, rasa takut, dan stres, bersamaan dengan
(16)
II. A. 2 Definisi Forgiveness
McCullough, Worthington, & Rachal (dalam Hall, 2006) mendefinisikan
forgiveness sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon
destruktif terhadap transgresor, dengan respon yang konstruktif.
Forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja
maupun tidak) untuk melepaskan unforgiveness, dan jika dirasa aman, mungkin,
dan bijaksana, maka rekonsiliasi dengan transgresor dapat terjadi. Forgiveness
tidak sama halnya dengan resolusi konflik. Seseorang mungkin saja memecahkan
konflik tetapi tidak forgive atau mungkin saja forgive padahal konflik belum
dipecahkan (Worthington & Wade, 1999).
Forgiveness merupakan suatu set perubahan motivasi prososial yang ada
dalam diri korban sehingga keinginannya untuk membalas dendam dan
menghindar berkurang, atau sikapnya menjadi lebih baik pada transgresor (Tsang,
2006).
Menurut Lucia (2005), ketika seseorang forgive, ia mengganti
unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan
seseorang.
McCullough et al. (dalam Zechmeister, 2004) menekankan bahwa respon
forgiveness merefleksikan perubahan motivasi dasar yang melawan
kecenderungan natural individu untuk membalas.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness
(17)
kecenderungan natural individu untuk membalas, menuntut ganti rugi, atau
menghindari orang yang pernah menyakitinya dan mengganti keinginan destruktif
tersebut dengan respon yang lebih konstruktif seperti simpati, empati, cinta, dan
kemungkinan berekonsiliasi dengan transgresor.
II. A. 3 Proses Forgiveness – Unforgiveness
Worthington & Wade (1999) membuat sebuah model yang menjelaskan
proses forgiveness dan unforgiveness dalam hubungan interpersonal. Proses ini
dibuat sebagai suatu siklus karena proses ini dapat berulang apabila transgresi
(18)
SKEMA II.1. Interpersonal Process of Forgiveness and Unforgiveness (Worthington & Wade, 1999)
–
6.b. FORGIVENESS
6. RESOLUSI DISONANSI
EMOSI
4.b.1. Rumination 6.a. UNFORGIVENESS
1. Konteks:
Personal context Valence context Person x relationship
context
2. Transgresi 4. Reaksi
emosional awal 4.b. Respon pasif 4.a. Respon aktif 4.a.2. Pro-Relationship Behavior 4.a.1. Retaliation, Avoidance
Partner is positively affected by event (path A) (path B)
+
+
+/-
+
+
++
+
+
+
–
–
3. Persepsi korban atas transgresi7. Perubahan pada atribusi, optimisme dan harapan
5. Respon transgresor dan persepsi korban
(19)
Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. KONTEKS
(a) Personal Context
Faktor kepribadian mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan suatu
kejadian. Orang dengan emotional intelligence yang tinggi dapat membedakan
situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk meningkatkan
interaksi sosial yang positif mereka. Pride, kecenderungan-merasa bersalah
(guilt-proneness), dan kecenderungan merasa malu (shame-proneness) juga
berpengaruh terhadap bagaimana orang berhadapan dengan transgresi.
(b) Emotional Valence of the Relationship
Terjadinya peristiwa yang dirasakan secara positif maupun negatif akan
mempengaruhi persepsi terhadap kualitas suatu hubungan. Peristiwa yang
negatif, seperti transgresi, membuat hubungan yang positif menjadi kurang
positif, merubahnya menjadi negatif, atau membenarkan pandangan negatif
korban terhadap hubungan yang sudah negatif, sedangkan peristiwa positif
bertindak sebaliknya. Sekali hubungan dianggap sebagai hal yang negatif,
peristiwa yang berikutnya dirasakan dan direspon dengan negatif pula.
(c) Interaksi antara Personal Context dan Valence of the Relationship
Seseorang mungkin berperilaku berbeda pada suatu hubungan yang
berbeda pula, misalnya, seorang anak mungkin pendiam dan penurut di rumah,
(20)
2. TRANSGRESI
Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau
menimbulkan rasa sakit/kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban.
Transgresi bersifat destruktif terutama ketika berulang, dipenuhi dengan emosi
negatif, severe (parah), dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari
transgresor (orang yang melakukan transgresi). Transgresi itu bersifat objektif,
artinya orang lain (selain transgresor dan korban) juga setuju bahwa transgresi
telah terjadi. Dalam penelitian ini transgresi yang dimaksud adalah child abuse
sehingga pelaku akan disebut sebagai abuser.
3. PERSEPSI KORBAN ATAS TRANSGRESI
Persepsi memotivasi respon individu terhadap suatu kejadian. Suatu
peristiwa dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Contohnya,
seseorang mungkin merasakan suatu komentar negatif yang ambigu sebagai
humor dan merespon dengan tertawa atau dengan tidak peduli. Hal ini dapat
menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki
stabilitas hubungan (lihat figur 1, path A). Seseorang juga dapat menganggap
komentar tersebut sebagai penyerangan personal sehingga ia berespon secara
defensif dan muncullah reaksi emosi awal.
4. REAKSI EMOSI AWAL
Ketika seseorang mempersepsikan suatu kejadian sebagai transgresi, ia
akan mengalami reaksi emosional negatif yang disebut sebagai unforgiveness.
(21)
defense psikologis yang kemudian menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat skema II.1, path B).
Akan tetapi, unforgiveness juga dapat menyebabkan motivasi pembalasan dan
permusuhan yang berkepanjangan terhadap transgresor sehingga memicu
mekanisme coping aktif dan pasif.
4.a. Respon interpersonal aktif
Respon aktif adalah tindakan eksternal yang dapat bersifat memperbaiki atau
malah merusak hubungan ketika berhadapan dengan kejadian interpersonal.
Ada dua tipe respon aktif:
4.a.1. Retaliation yaitu membalas dengan berteriak atau melakukan tindakan
yang menimbulkan rasa sakit yang sama pada transgresor. Avoidance
yaitu berusaha menjauh atau menghindari transgresor. Pelepasan seperti
itu umumnya tidak membantu dan sebaliknya dapat menyebabkan
distress.
4.a.2. Constructive Relationship Behavior, yang bertujuan
mengkomunikasikan rasa sakit (harm) sehingga tidak merusak hubungan
antara kedua belah pihak, namun dalam merespon peristiwa yang
menimbulkan reaksi emosi negatif, respon konstruktif ini hampir
mungkin merupakan respon agresif.
4.b. Respon interpersonal pasif
Respon pasif merupakan cara lain bagi korban merespon emosi negatif
akibat transgresi. "Pasif" lebih mengarah pada hubungan interpersonal,
(22)
korban tidak membalas transgresor, tapi ia selalu mengingat-ingat
penyerangan tersebut). Respon pasif juga meliputi perasaan, perilaku, atau
pikiran yang tidak dikomunikasikan secara langsung kepada transgresor –
meliputi berdiam diri, tindakan agresi-pasif, menyalahkan diri sendiri, dan
rumination (Skema II.1, box 4.b.1.).
5. RESPON TRANSGRESOR DAN PERSEPSI KORBAN
Respon transgresor yaitu berupa account (respon yang ditawarkan) untuk
menjelaskan, membenarkan, atau untuk mengurangi efek negatif dari transgresi.
Accounts dapat berupa penolakan (refusal), pembenaran (justifications), memberi
alasan (excuses), atau concessions. Refusal menyangkal peran sebagai penyebab
apapun dalam kerugian interpersonal dan akibat-akibatnya, dan menolak hak
orang lain menanyakan integritas dan ke-bersalah-annya. Justifications
membenarkan adanya perbuatan salah namun menolak bertanggungjawab.
Excuses, membenarkan adanya kesalahan dan bertanggung jawab untuk
mengurangi rasa bersalah personal. Concessions yaitu mengakui kesalahan dan
bertanggung jawab atas akibat transgresi dan penggantirugian.
Reaksi transgresor yang positif (excuses atau concessions) seharusnya
diikuti juga dengan persepsi positif korban sehingga menyebabkan disonansi
emosi (skema II.1, box 6). Akan tetapi, jika respon transgresor negatif (refusal
atau justifications), maka rasa sakit yang dirasakan korban akan semakin kuat dan
(23)
6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI
Disonansi emosi memfasilitasi munculnya forgiveness setelah individu
mengalami unforgiveness. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor
memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami
emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai,
humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta
maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi
seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi
hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan emosi awal
(unforgiveness) ini menyebabkan korban merasa ketidaknyamanan emosional
sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Disonansi emosi
dapat diatasi dengan kembali ke unforgiveness (Skema II.1, box 6.a.) atau menuju
ke forgiveness (Skema II.1, box 6.b.). Unforgiveness merupakan resolusi negatif
dari disonansi emosi sedangkan forgiveness merupakan resolusi positif dari
disonansi emosional. Perlu diingat, forgiveness-unforgiveness merupakan siklus
atau proses yang dapat berulang. Korban mungkin forgive saat ini namun, suatu
saat nanti ruminate kembali apabila korban merasakan transgresi baru.
7. PERUBAHAN PADA ATRIBUSI, OPTIMISME DAN HARAPAN
Forgiveness menyebabkan unforgiveness menurun dan motivasi untuk
memiliki hubungan yang baik meningkat. Rekonsiliasi dapat muncul apabila
mungkin dan bijaksana dilakukan. Hal-hal lain yang dapat berubah sebagai akibat
(24)
(Skema II.1, box 7). Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan
menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi
stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis
tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang
memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful.
II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness
Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara
lain:
A. Kecerdasan emosi
Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi
dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema
interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting
jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami
keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf,
mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban (Worthington &
Wade, 1999).
B. Respon transgresor
Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta
maaf dengan tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam. Permintaan maaf
(25)
McCullough, 2000). Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari
transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness (Worthington &
Wade, 1999).
C. Munculnya empati
Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman
kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi
hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness (McCullough dalam
Worthington & Wade, 1999). Munculnya empati ketika transgresor meminta
maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor (McCullough, 2000).
Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk
meningkatkan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006). Wanita lebih mudah
merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap
forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada
kemampuan (Toussaint, 2005).
D. Kualitas hubungan sebelum transgresi
Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh
kedekatan, komitmen, dan kepuasan (McCullough, 2000). Forgiveness juga
berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan
secure attachment style (Lawler, 2006). Dengan kata lain, forgiveness lebih
mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif.
E. Rumination
Semakin sering individu ruminate (merenung atau mengingat-ingat)
(26)
Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan
motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge). Orang yang
memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih
memiliki kesulitan untuk forgive (Strelan, 2006; McCullough, 2000).
F. Komitmen Agama
Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua
pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran
agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada
unforgiveness (Worthington & Wade, 1999).
G. Faktor Personal Korban
Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap
stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya
forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan
merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness (Tangney, dalam
Worthington, 1998). Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh
karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang
berbangga diri (pride) lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya
sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu
(shame-proneness) akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang
menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan
transgresornya terpisah secara emosional (dan mungkin secara fisik).
Kecenderungan merasa bersalah (guilt-proneness) dapat menyebabkan disonansi
(27)
H. Faktor Peristiwa
Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin
tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga
semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness (Zechmeister, 2004;
Worthington & Wade, 1999). Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan
transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive (Worthington, 1998).
Peristiwa yang menimbulkan rasa malu (shame) cenderung mengarah pada
unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt). Rasa
malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung
merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya,
peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt) memicu transgresor meminta
maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu
terjadinya forgiveness (Worthington & Wade, 1999).
II. A. 5 Manfaat Forgiveness
Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan
fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk
(Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright,
2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali
seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah
kesehatan.
Di sisi lain, forgiveness, dapat menurunkan anxiety dan depresi, serta
(28)
dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan
dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat
sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam
Worthington, 1999).
Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan
persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive (Worthington, 1998).
Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat
dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak
senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk
mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain
(Corey&Corey, 2006).
Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah
hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa
selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat
meningkatkan kesejahteraan (well-being).
II. B CHILD ABUSE
II. B. 1. Definisi Child Abuse
Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para
profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan
yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock,
(29)
Barnett dkk. (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai
tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik
pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak,
menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak.
Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah
pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan
neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang
merusak anak (Papalia, 2004).
The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam
McDonal, 2007) mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada
tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau
emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau
caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse
adalah tindakan (misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak) atau tidak
ada tindakan sama sekali (misalnya lalai dalam pemeliharaan anak) yang
dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan (harm)
baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.
II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse
Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan
neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,
(30)
pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi
lagi menjadi :
a. Physical abuse
Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak
seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain.
b. Sexual abuse
Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan
seksual yang melibatkan anak.
c. Neglect
Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik,
emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.
d. Emotional Abuse
Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama
sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi
anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi,
eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan
dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.
II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak
abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah
kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan
(31)
mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku
anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi,
dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga
yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial
sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan
membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan
orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.
Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan
domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).
Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang
berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang
menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi
krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino
dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan
perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd
dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan
(Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)
(32)
Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai
survivor (Herman, 1997), abuse survivor (Crosson, 2002), atau adult survivor
(Biere, 1992).
Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada
orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan
tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect
setelah mereka dewasa (Crosson, 2002). Tanpa intervensi yang tepat, anak yang
merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga.
Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif
jangka panjang dari pengalaman mereka (Biere, 1992).
Crosson (2002) mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors
hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain:
a. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan
kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak
kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima
pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang
mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau
kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai
orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan
dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga
(33)
dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak
memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasi/menarik diri.
b. Merasa dikhianati
Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa
kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan
membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk
kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang
sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang
telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan
dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri
sendiri, dan lingkungannya.
c. Rasa marah
Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon
normal pada anak yang mengalami child abuse (Herman, 1997).
Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah
anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa
marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang
dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat
disebabkan oleh proses belajar dari cara orang tua menyelesaikan masalah.
(34)
d. Harga diri rendah
Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima
disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya.
Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering
memandang dunia dari dua sisi, sebagai ‘hitam’ dan ‘putih’ atau ‘baik’ dan
‘buruk’. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau
orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala
kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa
dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun
akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka
juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai
pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi
akibat tidak dapat menjadi lebih baik.
Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan
rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan
orang lain.
e. Ketidakseimbangan hubungan
Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan
kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat
kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan
dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan
problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina
(35)
disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya
pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis
bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga
mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain.
f. Penyalahgunaan zat
Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau
sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan
zat-zat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan
sebagainya. Berns (2004) mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan
yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu
mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan
obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi.
g. Masalah fisik
Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan
fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan
atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan
kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan
kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi
cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena
kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan
(Berns, 2004). Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena
penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, dan tidak jarang masalah fisik
(36)
h. Trauma
Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat
berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena
mengalami peristiwa yang menyakitkan hati (misalnya child abuse). Anak
yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa
abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua – pada situasi dan
ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini
kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami
kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan.
Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah
mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul
kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa.
Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan
dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse,
dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness – unforgiveness oleh Worthington &
(37)
(-) (+)
(+) (-)
HUB. ORANG TUA & ANAK
Child abuse
Persepsi anak
Reaksi emosi awal (negatif)
unforgiveness Disonansi emosi forgiveness
pasif aktif
Respon org tua
Reaksi emosi akhir (positif)
diabaikan diakui
Pilih emosi awal
Pilih emosi akhir
Kualitas hub. menjadi lebih
negatif
Kualitas hub. menjadi lebih
positif
KETERANGAN:
: Terjadi peristiwa : Menimbulkan/maka
: Hub. kembali seperti sebelum terjadi
child abuse
: Bentuk respon : Maka semakin
: Reaksi emosi negatif dan positif terjadi bersamaan
(38)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. PENDEKATAN KUALITATIF
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat dinamika forgiveness
pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse dilakukan oleh orang tua,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini mengingat topik
penelitian seperti ini merupakan pengalaman pribadi yang melibatkan
penghayatan subjektif yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu partisipan
(Poerwandari, 2001)
III.B. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam sebagai metode utama dan observasi sebagai metode
tambahan yang dilakukan pada saat wawancara.
Yang dimaksud dengan wawancara mendalam merupakan satu bentuk
wawancara yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan
mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan
penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk
menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan
gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga
(39)
dipahami individu sesuai dengan topik penelitian (Banister dkk dalam
Poerwandari, 2001).
Observasi dalam penelitian ini bukanlah sebagai metode utama melainkan
sebagai metode tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk
melihat reaksi partisipan, antara lain: penampilan fisik, reaksi partisipan terhadap
peneliti dan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, keadaan partisipan
pada saat wawancara serta hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama proses
wawancara.
III.C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah digital
recorder, pedoman wawancara dan lembar observasi.
III.C.1. Digital Recorder (Alat Perekam)
Menurut Poerwandari (2001), sebaiknya wawancara direkam dan dicatat
dalam bentuk verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat perekam akan
mempermudah peneliti dalam mengulangi hasil wawancara dan tidak perlu sibuk
mencatat jalannya wawancara. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan
observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam dilakukan
setelah ada persetujuan dari partisipan.
III.C.2. Pedoman Wawancara Mendalam
Pedoman wawancara berupa open ended question. Pada pelaksanaannya,
pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup
(40)
penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang
didapatkan lebih lengkap dan akurat.
III.C.3. Lembar Data Keluarga
Lembar data keluarga digunakan untuk memperoleh gambaran lingkungan
keluarga partisipan, kehidupan keluarga dan masa kecil partisipan penelitian.
III.D. PARTISIPAN PENELITIAN
III.D.1. Karakteristik Partisipan Penelitian
a) Wanita atau pria dewasa dengan usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini
menggunakan partisipan usia dewasa karena setelah dewasa individu
diharapkan dapat mandiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri
sehingga orang tua tidak lagi menjadi caregiver utama yang memiliki
kewajiban penuh terhadap kesejahteraan dan kehidupan anak (Hurlock,
1999).
b) Pernah mengalami child abuse
c) Orang tua (kandung, tiri, ataupun angkat) sebagai abuser
III.D.2. Teknik Sampling
Prosedur pengambilan partisipan penelitian ini adalah dengan purposive
sampling. Partisipan diambil berdasarkan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori
tentang orang yang menjadi partisipan penelitian (Poerwandari, 2001). Partisipan
dipilih berdasarkan adanya kriteria khusus yang telah ditentukan sebelumnya. Hal
ini dilakukan agar sampel bersifat representatif yang artinya dapat mewakili
(41)
III.D.3. Jumlah Partisipan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah partisipan penelitian,
yang terpenting dalam pemelitian kualitatif adalah yang dapat memberikan
sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya kemampuan
partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya
sampel menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian
(Gay dan Airasian, 2003). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 (dua)
orang dengan pertimbangan masih sedikit orang yang mau terbuka akan kejadian
sensitif dalam keluarga sehingga sulit untuk mendapatkan partisipan penelitian
dalam jumlah besar.
III.E. PROSEDUR PENELITIAN III.E.1 Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan forgiveness
pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse
2. Mencari partisipan penelitian
3. Menyusun pedoman wawancara
4. Persiapan untuk pengumpulan data
5. Membuat inform consent
(42)
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diawali dengan perkenalan serta memberi penjelasan pada
partisipan mengenai tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan mengenai
prosedur dan kerahasiaan data penelitian. Kemudian wawancara dilakukan di
tempat yang disepakati oleh peneliti dan partisipan penelitian serta akan direkam
dengan digital recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat
bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam
sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin
kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah
wawancara dilakukan peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut yaitu
memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan atau ketikan.
III.F. METODE ANALISIS DATA
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari
(2001), yaitu:
a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh.
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data
secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan
lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif
(43)
satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak
sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan
bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi
data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001).
b. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi
data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang
baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan
data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang
penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan
lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya
(transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode khusus
dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan
langkah analisis.
c. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang
pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil
seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik
merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema,
model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait
dengan tema itu atau hal-hal di antara/ gabungan dari yang telah disebutkan.
Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara
(44)
d. Tahapan Interpretasi/ analisis
Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu
pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada
tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan oleh Kvale (dalam
Poerwandari, 2001) yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (‘self
understanding’) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk
yang lebih padat (condensed) apa yang oleh partisipan penelitian sendiri
dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak
dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman
diri partisipan penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian partisipan
penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis
(critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh
dari pemahaman diri partisipan penelitiannya. Peneliti mungkin akan
menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka
pemahaman partisipan, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan partisipan,
baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada partisipan yang
membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap ditempatkan dalam
konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai
masyarakat umum dalam mana partisipan penelitian berada. Ketiga, konteks
interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada
tingkat ketiga ini kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami
pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks
(45)
e. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita
mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan
kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus
dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul
dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus
menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data
yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal
ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda
mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk
memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari
(46)
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS HASIL
Penelitian ini melibatkan dua orang partisipan dewasa yang keduanya
wanita. Partisipan pertama mengalami emotional abuse dan neglect dari ayah
kandung, serta physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu tiri.
Partisipan kedua mengalami neglect dan emotionalabuse dari ayah kandung,
physical abuse, emotional abuse, dan neglect ibu kandung, serta sexual abuse, dan emotional abuse dari ayah tiri. Bab ini akan memaparkan identitas diri partisipan,
deskripsi umum partisipan, observasi dan wawancara, pembahasan dalam skema,
serta rangkuman dinamika forgiveness partisipan terhadap orang tua
masing-masing. Berikut gambaran umum kedua partisipan :
Pertisipan 1 Partisipan 2
Nama * Asti Sita
Usia 33 tahun 18 tahun
Jenis kelamin Perempuan Perempuan
Suku bangsa Jawa Jawa-Sunda
Agama Islam Islam
Pendidikan terakhir
SD SMP
Pekerjaan Pembantu rumah tangga Tidak bekerja
Anak ke_dari_ 2 dari 5 4 dari 7
Status Janda Belum menikah
Usia awal mengalami child
abuse
8 tahun Sejak lahir (neglected by father)
Pelaku child
abuse
Ayah Kandung
Ibu Tiri Ayah
kandung
Ibu kandung
Ayah tiri
Jenis child abuse Emotional abuse dan neglect Physical & emotional abuse, dan neglect Neglect, emotional abuse Physical& emotional abuse, dan neglect Sexual & emotional abuse
(47)
IV. A. PARTISIPAN I IV. A. 1. IDENTITAS
Nama* : Asti
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Pembantu rumah tangga (PRT)
Urutan dalam keluarga : Anak ke 2 dari 5 bersaudara
Status : Janda
Jumlah anak : 3 orang
Usia awal terjadi child abuse : 8 tahun
Jenis child abuse : Physical abuse, emotional abuse, neglect
Pelaku child abuse : Ibu tiri dan ayah kandung
Data Orang Tua (Abuser)
AYAH IBU
Status Kandung Tiri Nama* Amir Nana
Usia 58 tahun 60 tahun
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Pendidikan terakhir SMA SMP
Pekerjaan Pensiunan PU Ibu rumah tangga
Abuse terhadap
Asti
Emotional abuse dan neglect Physical abuse, emotional abuse, neglect
*) Bukan nama sesungguhnya **) Partisipan penelitian
(48)
SILSILAH KELUARGA ASTI
Yuni 26 RIP 2000 Iqbal 11 Boy 14 Iwan 15 Adi Lena 50 RIP 1982 Nana 60 Ella 38 Siti 30 RIP 1991 RIP 1992 RIP Keterangan:: berpisah (divorce,
separate, death)
: anak angkat : hubungan dekat : neglect
: physical abuse
Heri 31 Amir 58 Asti 33
(49)
IV. A. 2. DESKRIPSI UMUM ASTI
Semasa kecil, Asti hidup bahagia bersama ayah, ibu serta seorang adik
laki-lakinya di rumah mereka di daerah Mandala. Ayah Asti bekerja sebagai
Pegawai Negeri di bagian Pekerjaan Umum (PU) yang juga pemegang warisan
keluarga, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Akan tetapi, kehidupannya
berubah semenjak ibu kandungnya meninggal dunia karena melahirkan adik
bungsu dan ketika itu Asti belum genap 8 tahun. Asti dan adik-adiknya kemudian
diasuh oleh nenek-kakeknya (orang tua ibu kandung), sedangkan ayah tetap
tinggal di rumah mereka.
Sekitar tiga bulan setelah ibunya tiada, ayahnya menikah lagi tanpa
sepengetahuan Asti dan keluarga tempat ia tinggal. Kemudian ayah datang
menjemput Asti dan adik-adiknya kembali ke Mandala. Nenek tidak mengabulkan
permintaan ayah karena berita yang tiba-tiba tersebut. Namun, nenek
menyerahkan keputusan pada Asti sebagai anak sulung apakah mau ikut ayah atau
tetap di rumah nenek. Ternyata, Asti lebih memilih ikut ayah setelah ayah
meyakinkannya bahwa akan ada ibu baru yang akan menggantikan ibu
kandungnya yang telah tiada. Asti dan adik laki-lakinya pun ikut ayah kembali ke
rumah sedangkan adik bungsu yang masih bayi tetap di rumah nenek karena telah
diangkat menjadi anak oleh Lena, adik ibu kandung.
Sejak Asti dan adik laki-lakinya kembali ke rumah, sepulang bekerja
sebagai PNS, ayah bekerja sampingan sebagai tukang becak. Hal ini dikarenakan
ibu tiri merasa penghasilan ayah kurang mencukupi dengan bertambahnya jumlah
(50)
Asti merasa bahagia memiliki pengganti ibu kandungnya yang telah tiada.
Akan tetapi, kebahagiaan tidak berlangsung lama. Ibu tiri mulai sering
marah-marah tanpa sebab dan menyuruh Asti mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga saat ayah tidak ada di rumah. Ibu tiri bahkan juga melakukan physical
abuse, seperti tidak memberikan makanan yang layak, memukul, menyiram
dengan air panas atau membenturkan kepala Asti hingga berdarah.
Asti mulai tidak tahan dan mengadu pada ayah. Ternyata ayah tidak
menghiraukan keluhannya bahkan terus membela ibu tiri. Kemudian Asti
mengadu pada neneknya. Ia bahkan pernah melarikan diri ke sana untuk mencari
perlindungan tetapi ia malah disuruh bersabar dan kembali ke rumah. Asti pun
pulang dengan perasaan tidak berdaya.
Ia kemudian mengadu pada para tetangga. Sama seperti keluarga di rumah
nenek, tetangganya hanya dapat menasehati Asti agar bersabar karena tidak dapat
mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Akan tetapi, mereka tetap prihatin
dengan keadaan Asti dan bersedia membantu semampunya seperti bersedia
mendengarkan saat Asti ingin bercerita serta memberi Asti dan adiknya makanan.
Ternyata, ibu tiri tidak menyukai kedekatan Asti dengan para tetangga.
Asti kemudian dilarang keluar rumah bahkan untuk sekolah sekalipun sehingga
frekuensi perilaku abusive ibu tiri meningkat. Akibatnya, kondisi kesehatan Asti
pun memburuk karena kurang gizi dan terserang gejala bronchitis.
Salah seorang tetangga prihatin dengan kondisi Asti dan kemudian
memberikan Asti uang untuk melarikan diri ke rumah nenek bersama adiknya.
(51)
beberapa hari. Kedua orangtuanya tidak pernah menjenguknya di rumah sakit dan
juga tidak pernah datang ke rumah nenek untuk menjemputnya. Nenek dan
tantenya sempat datang ke rumah ayah untuk meminta pertanggung-jawaban,
namun ayah dan ibu tiri telah melepaskan tanggung jawab mereka sebagai
orangtua. Sejak saat itu, Asti dan adik laki-lakinya diasuh oleh neneknya.
Usia 17 tahun ia menikah namun pernikahan tersebut sering diwarnai
pertengkaran dan suaminya sering mengancam akan menikah lagi ketika sedang
bertengkar. Tahun 2004 Asti dan Adi bercerai. Asti mengambil alih pengasuhan
ketiga anak mereka sedangkan Adi sampai sekarang tidak pernah lagi
mengunjungi mereka ataupun memberikan biaya hidup bagi ketiga anak mereka.
Sampai sekarang, Asti tetap tidak dapat melupakan dan tidak mau
memaafkan orangtuanya atas child abuse yang dialaminya. Ia hidup dengan
membawa amarah dan keinginan membalas dendam terhadap ibu tiri. Selain itu, ia
juga tetap menyimpan rasa kesal dan kecewa terhadap ayah yang tidak
mempedulikannya ketika child abuse terjadi. Beberapa waktu lalu, ayahnya
datang dan meminta maaf padanya. Melihat keadaan ayah yang sudah tua dan
sakit-sakitan, timbul perasaan kasihan dalam dirinya. Ia juga kembali teringat
saat-saat bahagia bersama ayahnya ketika ibu kandung masih ada. Namun,
ternyata emosi-emosi positif tersebut tetap tidak membuatnya memaafkan
ayahnya. Baginya, ayahnya tetap bersalah dan walaupun ayah telah menyesal,
(52)
IV. A. 3. OBSERVASI DAN WAWANCARA
Peneliti dan Asti membuat kesepakatan tentang pengambilan data setelah
beberapa kali pertemuan sejak bulan April hingga Juli 2007. Wawancara pertama
berlangsung pada awal Agustus 2007 dan berakhir pada akhir September 2007. OBSERVASI
Asti memiliki tinggi sekitar 157 cm dan berat sekitar 50 kg. Rambutnya
tidak dibiarkan panjang sampai menutupi leher supaya tidak mengganggu
pekerjaannya sebagai PRT. Pada setiap pertemuan, baik untuk wawancara
maupun saat peneliti berkunjung, Asti lebih sering menggunakan baju kaos lengan
pendek dan celana jeans yang digulung atau dipotong hingga betis atau lutut.
Pada beberapa sesi pengambilan data, peneliti ditemani oleh seorang
teman setelah sebelumnya disetujui oleh Asti dan ada kalanya peneliti hanya
sendiri.
Wawancara dilakukan di dua tempat yaitu di rumah Asti dan di rumah
Lena (tante Asti). Rumah Asti adalah rumah yang dikontrak secara bersama-sama
dengan satu keluarga lain. Asti menempati sekitar sepertiga bagian belakang
rumah yang berukuran 6x18m2 tersebut. Bagian sepertiga itu dibatasi dengan bahan triplex tetapi masih dapat menghubungkan antara kedua pemilik rumah
sehingga tetap tidak ada ruang pribadi kecuali kamar tidur. Bagian rumah Asti
memiliki satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan dua kamar tidur,
sedangkan dapur dan kamar mandi terletak di luar rumah. Asti juga mendapat
separuh bagian halaman rumah yang luasnya 30x30m2. Halaman tersebut digunakannya untuk menanam bunga pacar air. Wawancara di rumah Asti
(53)
pertama kali dilakukan di ruang tamu. Akan tetapi, karena tetangganya dianggap
mengganggu proses wawancara, wawancara-wawancara selanjutnya dilakukan di
kebun pacar air dan di kamar tidur.
Wawancara juga dilakukan di rumah Lena, rumah warisan keluarga yang
jaraknya sekitar 300 m dari rumah Asti. Rumah tersebut berdinding kayu namun
lebih luas dari rumah Asti. Wawancara di rumah Lena dilakukan pada saat Asti
sedang istirahat sambil menunggu jam kerjanya selanjutnya.
Pada wawancara pertama, Asti sempat salah tingkah sebelum peneliti
menjelaskan prosedur wawancara. Asti berulang kali mengatakan pada peneliti
bahwa ia bingung harus bercerita dari mana. Ia juga tertawa ketika peneliti
menjelaskan bahwa dalam prosesnya wawancara akan direkam. Setelah peneliti
menjelaskan mengapa harus direkam, Asti setuju dan bersikap kooperatif selama
proses wawancara. Sebelum wawancara dimulai, peneliti memberikan lembar data
keluarga pada Asti namun Asti tidak mau menulis sendiri dengan alasan
tulisannya jelek sehingga peneliti membantunya menulis lembar tersebut. Setelah
lembar data keluarga diisi, wawancarapun dimulai. Asti tampak defensif dengan
posisi duduk menjauhi peneliti dan recorder, serta volume suara yang semakin
mengecil. Kemudian, ketika menceritakan kejadian child abuse, Asti mulai
tampak emosional dengan intonasi suara yang meninggi, posisi duduk yang
berubah lebih tegak dan lebih banyak melakukan gerakan, serta beberapa kali
menggunakan kata-kata makian. Asti juga terlihat sangat mudah terpancing untuk
(54)
Ada beberapa hal menarik selama proses wawancara. Asti beberapa kali
berusaha membanding-bandingkan kehidupannya dengan peneliti. Hal menarik
lain, untuk menyebut dirinya Asti menggunakan tiga kata ganti yaitu ‘aku’, ‘awak,
dan ‘kami’. Selain itu, peneliti sempat kebingungan ketika Asti menyebut
tantenya dengan kata ‘Uwek’ (dalam bahasa Jawa berarti nenek). Asti juga banyak
menggunakan kata ‘ya kan?’ dan banyak menyebut nama peneliti di akhir
kalimat-kalimatnya.
WAWANCARA
Terlahir dalam keluarga kecil yang mapan, Asti hidup bahagia bersama
kedua orangtua kandung dan seorang adik laki-laki yang bernama Heri. Kedua
orangtuanya menyayanginya, namun secara emosional ia lebih dekat dengan ibu
kandungnya. Kasih sayang ibunya begitu membekas di hatinya, apalagi di saat
Asti sakit ibunya lah yang senantiasa menjaganya sepanjang hari.
“…Aku dekatnya sama mamak….”( P1.W3/hal.25/k.40)
“…Dulu itu ya mamak kami ya kalo buat anak-anaknya dibikin makanan yang enak-enak. Makanya dulu waktu kecil aku sehat kali….Terus kan, kalo kami ada apa lah, kalo bapak kami gajian lebih, kami nanti diajak jalan-jalan, dibeliin baju. Kalo sakit lagi. Makanan makin enak. Pokoknya kami dimanjain kali sama mamak. Minta apa aja dikasih….” (P1.W3/hal.28-29 /k.204-214)
“..Kalo sakit mamak la yang jaga. Sampek gak tidur mamak kami jagain kami Dev. Kalo ayah mana mau. Ngantuk ya tidur dia. Tapi ayah tetap sayang…”( P1.W3/hal.29 /k.221-225)
Ibunya memiliki penyakit yang melarangnya hamil dan melahirkan lagi.
(55)
kandungnya masuk Rumah Sakit, Asti berserta kedua adiknya diasuh oleh nenek
(orangtua ibu) dan berpisah dari ayah. Di rumah nenek yang terletak di KB itu,
Asti hanya bisa menunggu dan berdo’a untuk kesembuhan ibu serta untuk
mengatasi rasa takutnya. Sebulan setelah melahirkan ibunya pun meninggal dunia.
“…Abis ngelahirin sebulan mamak kami di rumah sakit terus. Tu la meninggal dia.”( P1.W1/hal.8 /k.341-342)
“….Kami di rumah berdo’a aja la mudah-mudahan gak kenapa-kenapa. Takut juga. Kekmana kalo mamak gak ada. Terus, gak lama meninggal juga. Terus ditelepon ayah kami. ‘Siap-siap la kelen, udah meninggal…’”(P1.W3/hal.26/k.77-82)
Asti dilanda kesedihan mendalam dan pikiran-pikiran tentang masa depan
tanpa ibu, tempat ia menumpahkan seluruh perasaannya. Akan tetapi, Asti
kemudian menyadari bahwa ia tidak bisa terus meratapi kepergian ibunya. Ia pun
berhenti menangis dan pasrah menerima nasibnya.
“meninggal ya kayakmana lah. Dah macem orang gila. Namanya kami masih kecil….Gak da mamak.. Susah lah...Gak da mamak. Kita gak bisa ngadu, gak bisa apalah…”(P1.W3/hal.25/k.46-50)
“…Masih kecil emaknya udah ‘ninggal. Koq kasian kali ya... Cemana la hidup awak nanti ya kan. Ya diem aja lah... Pasrah aja. Namanya awak masih kecil. Gak bisa ngapa-ngapain lah ya. Mau teriak-teriak cemana. Ya udah paling nangis-nangis gitu lah. Abis tu diem aja. Pasrah.”(P1.W3/hal.26/k.91-99)
Setelah ibu meninggal dunia, Asti dan kedua adiknya tetap tinggal di
rumah nenek, sementara ayah tetap di rumah mereka di Mandala. Beberapa bulan
setelah ibu meninggal, ayah datang kembali. Kali ini ayah berniat membawa Asti
dan adik-adiknya kembali ke rumah mereka. Selain itu, ayah juga membawa
(56)
meninggal. Terkejut dengan berita tersebut, nenek Asti menolak permintaan ayah.
Akan tetapi, nenek menyerahkan semua keputusan pada Asti sebagai anak sulung.
Nenek juga tidak membolehkan ayah membawa Yuni karena masih bayi.
“…Jadi kan kami tinggal ma nenek. Trus kan ayah kawin lagi. Pas ayah kawin dibilangnya gini kan… ‘kami ambek (ambil) aja,’ gitu kan.” (P1.W1/hal.1/k.22-53)
“Pertama nenek marah juga. Kan gak kenal gitu kan. Tiba-tiba aja orang itu kawin. Tapi nenek kami bilang, ‘terserah si Asti aja.’ Ya awak kan anak paling besar. Gitu. Tapi yang baby gak dibolehin….”(P1.W1/hal.1-2/k.40-43)
Asti harus membuat keputusan seorang diri di usia yang masih sangat
muda. Sejujurnya, Asti sangat merindukan kasih sayang seorang ibu. Sebaliknya,
ia juga memiliki ketakutan akan mitos-mitos kekejaman seorang ibu tiri seperti
yang sering ia dengar. Melihat keraguan Asti, ayah berusaha mempengaruhinya
dengan mengatakan bahwa ibu tiri tidak seperti mitos yang pernah didengarnya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke rumah bermodalkan rasa percaya
pada ayahnya.
”... ‘Ayo lah kita ke sana, ada mamak baru.’ ‘Ah nanti kami dipukuli,’ kami bilang. Tau lah ibu tiri. ‘Enggak…baek ini baek. Ibu tirinya baek.’ Namanya awak masih anak-anak, dibilangin gitu ya…..”(P1.W1/hal.2/k.65-69)
“…Namanya awak masih anak-anak. Takut juga pertama kami diajak tinggal sama ibu tiri. Takutnya ibu tirinya gak sayang. Tapi ayah bilang sayang, ya…awak nurut aja. Namanya masih kecil….”
( P1.W3/hal.29/k.244-227)
“…Pertama kan kami diajak sama ayah ke sana. Dibilang sama ayah kalo ibu baru kami ini baek. Ya kami percaya aja la…”( P1.W4/hal.38/k.80-82)
(1)
119 A. Saran Praktis :
a. bagi partisipan penelitian
Menyadari dampak negatif unforgiveness dan manfaat melepas unforgiveness.
Kedua partisipan sama-sama menghindar sehingga permasalahan tidak tuntas. Oleh karena itu, diharapkan kedua partisipan untuk melakukan komunikasi dengan abuser dan jika perlu dibantu oleh mediator.
b. bagi orang tua
Mengadakan komunikasi dengan anak dan melibatkan anak dalam mengambil keputusan.
Perlu adanya sikap konsisten dan penjelasan yang dapat dimengerti oleh anak agar anak paham mengapa ia menerima perlakuan tertentu.
c. bagi keluarga, masyarakat, dan pihak2 yang menangani kasus child abuse Menjadi mediator untuk mempermudah komunikasi antara orang tua dan
anak yang bermasalah.
Memberikan social support agar mereka merasa diterima sehingga dapat mencegah efek residu child abuse.
Melakukan sosialisasi tentang child abuse yang meliputi hak-hak anak dan hukum/sanksi bagi abuser yang terdapat dalam UU perlindungan anak dan UU KDRT. Sosialisasi dapat dilakukan oleh LSM, bidan dan pemuka masyarakat.
Para praktisi psikologi dapat membuat program-program intervensi bertema forgiveness untuk mengatasi efek residu child abuse.
(2)
B. Saran untuk Penelitian Selanjutnya :
Memberikan pengarahan awal mengenai child abuse agar proses wawancara lebih terarah.
Menambah metode pengumpulan data dengan observasi partisipan/non partisipan untuk melihat reaksi partisipan penelitian pada saat bertemu orang tua (abuser) nya.
Meneliti child abuse yang dilakukan oleh orang tua angkat mengingat abuser pada kedua partisipan adalah orang tua kandung dan tiri.
Meneliti sexual abuse yang dilakukan oleh orang tua kandung.
Meneliti survivor laki-laki mengingat kedua partisipan penelitian ini adalah wanita.
Meneliti survivor yang memilih tetap tinggal bersama abuser mengingat kedua partisipan pada penelitian ini memilih menjauh dari abuser.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Berk, Laura. (2000). Child Development. USA: Allyn and Bacon.
Berns, Roberta M. (2004). Child, Family, School, Community. 6th ed. USA: Wadsworth.
Briere, John. N. (1992). Child Abuse Trauma: Theory and Treatment of the Lasting Effects. Newbury Park, CA: Sage.
Corey & Corey. (2006). I Never Knew I Had a Choice: Explanation in Personal Growth. 8 edth. USA: Thomson Brooks/Cole.
Crosson-Tower, Cynthia. (2002). Understanding Child Abuse. 5th edition. Boston: Allyn&Bacon.
Enright, R. D. (2005). Forgiveness Is a Choice: A Step by Step Process for Resolving and Restoring Hope. Washington DC: American Psychological Association
Feist & Feist. (2002). Theory of Personality. New York: McGrawHill.
Hall, Julie. H. (2006). Relationship Dissolution Following Infidelity: The Roles Of Attributions And Forgiveness. Journal of Social and Clinical Psychology. Vol.25, Iss. 5. Dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1060410471&sid=7&Fmt=4&clie ntId=63928&RQT=309&VName=PQD (tanggal akses januari 2007)
Herman, Judith. (1997). Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence from Domestic Abuse to Political Terror. New York: BasicBooks.
Hogg, Michael. (2002). Social Psychology. London. Prentice Hall.
Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
(4)
Konstam et al. (2000). Forgiving: What Mental Health Counselors are Telling Us. Journal of Mental Health Counseling; 22, 3; Academic Research Library pg. 253
Lawler-Row, Kathleen A.; Younger, Jarred W.; Piferi, Rachel L.; Jones, & Warren H. (2006). The Role of Adult Attachment Style in Forgiveness Following an Interpersonal Offense. Journal of Counseling and Development. v84 i4 p493(10). American Counseling Association
Lucia, Lynn Santa. (2005). The Power of Forgiveness. Dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=769204521&sid=11&Fmt=4&clie ntId=63928&RQT=309&VName=PQD (diakses januari 2007)
McCullough, Michael E. (2000). Forgiveness as Human Strength: Theory, Measurement, and Links to Well-Being. Journal of social and clinical psychology, vol. 19. no. 1. 2000. pp. 43-55.
McDonal, Kelly Colleen. (2007). Child Abuse: Approach and Management. American Family Physician. Kansas City. Vol.75, Iss. 2; pg. 221, 8 pgs. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1191939271&sid=18&Fmt=3&cli entId=63928&RQT=309&VName=PQD (tanggal akses januari 2007)
Morgan, Cliffort. (1986). Introduction to Psychology. New York. McGraw Hill.
Papalia, Diane. (2004). Human Development. 9th edition. New York: McGrawHill.
Pelzer, Dave. 2003. A Man Named Dave. Jakarta: Gramedia.
Purwandari, Kristi. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Rafenstein, Mark. (2000). Forgiveness: A Path to a Better You. Current Health 2. Vol.27, Iss. 4; pg. 13.Dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=64862804&sid=9&Fmt=3&clientI d=63928&RQT=309&VName=PQD (tanggal akses januari 2007)
(5)
Santrock, John. W. (1998). Child development. New York: McGrawHill.
Strelan, Peter & Covic, Tanya. (2006). A Review of Forgiveness Process Models and a Coping Framework to Guide Future Research. Journal of Social and Clinical Psychology. New York.Vol.25, Iss. 10; pg. 1059, 27 pgs. Dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1193568551&sid=8&Fmt=3&clie ntId=63928&RQT=309&VName=PQD
Tsang, Jo-Ann, McCullough, Michael E , & Fincham, Frank D. (2006). The Longitudinal Association Between Forgiveness and Relationship Closeness and Commitment. Journal of Social and Clinical Psychology. New York: Apr .Vol.25, Iss. 4; pg. 448, 25 pgs. Dalam http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1033193121&sid=2&Fmt=4&clie ntId=63928&RQT=309&VName=PQD
Toussaint, Loren & Webb, Jon. (2005). Gender Differences in the Relationship Between Empathy and Forgiveness. The Journal of Social Psychology. Washington:Vol.145, Iss. 6; pg. 673, 13 pgs. Dalam http://proquest.umi.com/pqdweb?did=939463251&sid=8&Fmt=4&client Id=63928&RQT=309&VName=PQD
Wibisono, Sonny. (2004). Kalingga: Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Anak. Medan: PKPA.
Worthington, Everett. L. (1998). Dimension of Forgiveness: Psychological Research & Technological Perspectives. Philadelphia & London: Templeton Foundation Press.
Worthington, Everett. L & Wade, Nathaniel. G. (1999). The Psychology of Unforgiveness and Forgiveness and Implications for Clinical Practice. Journal of Social and Clinical Psychology.
Vol.18, Iss. 4; pg. 385, 34 pgs. Dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=49278312&sid=4&Fmt=4&clientI d=63928&RQT=309&VName=PQD (tanggal akses januari 2007)
Zechmeister, Jeanne S , Garcia, Sofia , Romero, Catherine , & Vas, Shona N . (2004). Don't Apologize Unless You Mean It: a Laboratory Investigation of Forgiveness and Retaliation. Journal Of Social And Clinical
(6)
Psychology. New York: Vol.23, Iss. 4; pg. 532, 33 pgs. Dalam http://proquest.umi.com/pqdweb?did=688723061&sid=2&Fmt=4&client Id=63928&RQT=309&VName=PQD.