MODEL INTERNALISASI NILAI DZIKIR PADA IKHWAN THARIQAT TIJANIYAH :Studi pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes Jawa Tengah.

(1)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ……… PERNYATAAN ……….. ABSTRAK ………... KATA PENGANTAR ………. DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR/BAGAN ……….. DAFTAR LAMPIRAN………... BAB I PENDAHULUAN ………

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Rumusan Masalah ……….. C. Tujuan Penelitian ……… D. Manfaat Penelitian ……….. E. Asumsi yang Melandasi Penelitian ……… F. Metode Penelitian ……….. BAB II INTERNALISASI NILAI DZIKIR DI KALANGAN IKHWAN THARIQAT ……….

A. Makna Internalisasi dalam Pendidikan ………. 1. Makna Internalisasi ………. 2. Teknik-teknik Internalisasi dalam Pendidikan ………….

i iii iv vi ix xiii xiv xv 1 1 14 14 15 15 16 18 18 18 20


(2)

x

3. Internalisasi dalam Konteks Pendidikan Nilai …………. a. Pengertian Pendidikan Nilai ………... b. Tujuan Pendidikan Nilai ………. c. Institusi Pendidikan Nilai ………... d. Landasan Pendidikan Nilai ……… 4. Internalisasi dalam Konteks Pendidikan Umum ……….. a. Essensi Pendidikan Umum ………. b. Tujuan Pendidikan umum ……….. B. Konsep Dzikir dalam Islam ……… 1. Makna Dzikir ……… 2. Dzikir dalam Perspektif Tasawwuf ……….. a. Pengertian Tasawwuf ………. b. Sejarah lahirnya Tasawwuf ……… c. Maqamat dan Ahwal ……….. C. Makna Thariqat dalam Islam ………..

1. Makna Thariqat ……… 2. Model Internalisasi Nilai Dzikir dalam Thariqat ………. a. Tujuan Thariqat ……….. b. Wirid ………... c. Baiat ………... d. Khataman ………... e. Manaqiban ……….. 3. Tijaniyah sebagai Thariqat dalam Tasawwuf …………...

28 28 38 39 51 53 53 58 61 61 68 69 74 77 87 87 94 94 94 97 97 98 99


(3)

xi

BAB III METODE PENELITIAN ………. A. Definisi Operasional ……….………... B. Pendekatan Penelitian ……….………. C. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian ………. D. Instrumen Penelitian ……….………... E. Teknik Pengumpulan Data ……….. F. Teknik Analisis Data ………...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Darussalam Brebes ………... B. Macam-macam Dzkikir yang Dipraktikkan di Pondok Pesantren Darussalam Brebes ……….………. C. Proses Internalisasi Nilai Dzikir pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah ..

1. Mempersiapkan Ikhwan untuk Talqin Tharikat Tijaniyah …… 2. Talqin Thariqat Tijaniyah ……….………. 3. Menjalani Kewajiban sebagai Ikhwan Tijani ……… 4. Tarbiyah ……….……… 5. Mengikuti Kegiatan (Tradisi-tradisi Tijaniyah) ………

a. Tradisi Ritual Dzikir Lazimah (Wajibah) ……… b. Tradisi Ijtima Hailallah ………... c. Tradisi Dzikir Ikhtiari ………..

108 108 109 117 120 124 128 132 132 135 150 151 151 153 154 208 208 209 210


(4)

xii

d. Tradisi Manaqiban ……….. e. Tradisi Haul Akbar ……….. f. Tradisi Idul Khotmi ……….. g. Tradisi Haul Syekh Ahmad al-Tijani ………. D. Peranan Muqaddam dalam Internalisasi Nilai Dzikir ………. E. Hasil Internalisasi Nilai Dzikir ……… F. Pembahasan ……….……… 1. Amalan Dzikir Ikhwan Thariqat Tijaniyah ………... 2. Proses Internalisasi Nilai Dzikir ………

a. Persiapan Talqin Thariqat………. b. Baiat atau Talqin Thariqat ………... c. Menjalani Kewajiban Thariqat Tijaniyah……… d. Tarbiyah ……….……… e. Kegiatan (Tradisi Tijaniyah)……… 3. Peranan Muqaddam……….. 4. Hasil Internalisasi Nilai Dzikir……….. G. Telaah terhadap Model Internalisasi Nilai Dzikir Ikhwan Tijani… BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ……..

A. Kesimpulan ……….. B. Implikasi Hasil Penelitian ……… C. Rekomendasi ……….……….. DAFTAR PUSTAKA ……….……… LAMPIRAN-LAMPIRAN 212 214 214 218 218 232 236 236 260 260 262 268 272 276 281 285 286 294 294 299 300 302


(5)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.3 KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF ………….. Tabel 2.4 JADWAL KEGIATAN IDUL KHOTMI TINGKAT

NASIONAL ………..………

113


(6)

xiv

DAFTAR GAMBAR/BAGAN

Bagan 1.3 PARADIGMA PENELITIAN MODEL INTERNALISASI NILAI ……… Bagan 2.3 SITUASI SOSIAL (INTERNALISASI NILAI DZIKIR).. Bagan 3.3 TAHAPAN ANALISIS DATA ……… Bagan 4.4 MODEL INTERNALISASI NILAI DZIKIR PADA IKHWAN THARIQAT TIJANIYAH……….. Bagan 5.4 MODEL INTERNALISASI NILAI DZIKIR

DI SEKOLAH ………...

116 119 131

235


(7)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. PEDOMAN WAWANCARA ………

2. SK PROMOTOR ………

3. SURAT KETERANGAN MELAKSANAKAN PENELITIAN … 4. DOKUMENTASI PHOTO ……… 5. RIWAYAT HIDUP ………..

307 310 311 312 321


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan dan perubahan zaman. Bahkan dalam pasal 3 dikemukakan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam tujuan Pendidikan Nasional di atas, ada hal yang menarik perhatian penulis yakni pendidikan di Indonesia diarahkan pada pembentukkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang akan tercermin dari pribadinya yang berakhlak mulia.

Gambaran orang yang beriman dan bertaqwa banyak kita temukan dalam al-Quran, di antaranya terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 3-4, yaitu:

(Orang yang bertaqwa) adalah mereka yang beriman kepada yang ghaib,

yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami


(9)

(al-2

Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah

diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)

akhirat.

Dalam ayat yang lain dijelaskan, orang-orang yang bertaqwa itu adalah:

Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun

sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan

(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau

menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun

terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa

selain dari pada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya

itu, sedang mereka mengetahui. ( Ali Imran:134-135).

Pribadi manusia yang beriman dan bertaqwa merupakan penjabaran dari sosok seorang muslim yang mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, yang di dalam al-Quran disebut muslim kaffah (QS. al-Baqarah: 208). Yakni muslim yang beragama Islam secara total. Totalitas di sini bisa diartikan tidak setengah-setengah, baik di bidang aqidah, ibadah, maupun muamalah.

Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan di atas, maka keberadaan Pendidikan Umum mutlak diperlukan, mengingat Pendidikan Umum merupakan program yang diberikan pada setiap orang, dengan memberikan


(10)

3

pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan makna esensial, serta keterampilan yang diperlukan oleh setiap manusia dalam upaya membina siswa menjadi manusia yang baik, yang berkepribadian menyeluruh terpadu. Dengan demikian Pendidikan Umum dalam perspektif Indonesia merupakan pendidikan yang harmonis yang mengembangkan aspek kognitif (pengetahuan, pengertian, pemahaman dan sebagainya), aspek afektif (nilai, moral, sikap dan sebagainya), dan psikomotor (keterampilan). Namun penekanannya lebih pada aspek afektif, yakni untuk membina warga negara Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, terpadu, dan terdidik, membentuk manusia seutuhnya (Maftuh, 2009:19).

Terwujudnya konsep manusia utuh adalah merupakan target dari Pendidikan Umum, mengingat bidang ini mempersiapkan peserta-didik, terutama generasi muda untuk menjadi “manusia yang sesungguhnya”, yang manusiawi, yang mengenal diri sendiri dan manusia lain di sekelilingnya, sadar akan kehidupan yang luas dengan segala masalah dan kondisinya, yang menjadi hak dan kewajiban tiap orang untuk memberdayakannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga negara dan dunia, dan akhirnya selaku umat manusia sebagai ciptaan Tuhan Maha Pencipta.

Pendidikan Umum merupakan upaya mengembangkan keseluruhan kepribadian seseorang dalam kaitannya dengan masyarakat lingkungan hidup, dengan tujuan agar: 1) peserta didik memiliki wawasan yang menyeluruh tentang segala aspek kehidupan, serta 2) memiliki kepribadian yang utuh. Istilah menyeluruh dan utuh merupakan dua terminologi yang memerlukan isi dan


(11)

4

bentuk yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya dan keyakinan suatu bangsa. (Mulyana,1999: 4)

Wahab (dalam Mulyana, 1999:9) mengungkapkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam Pendidikan Umum adalah membentuk warga negara yang baik, Rochman Natawidjaja mengungkapkan misi dan tujuan pendidikan umum adalah mempersiapkan manusia yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan Dahlan (dalam Mulyana; 1999: 13) lebih berorientasi kepada QS. al-Qashash ayat 71 dan 72. Ia mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang menarik untuk menjadi garapan dalam pendidikan umum, yakni 1) qolbun qoswatun, 2) qolbun naasiyun, dan 3) qolbun salimun atau qolbun waahidun (manusia yang berwawasan sangat luas).

Pendidikan Umum berfungsi menanamkan akhlaqul mahmudah (akhlak yang terpuji) dan meninggalkan akhlaqul mazmumah (akhlak yang tercela). Kita tahu bahwa akhlak bersangkut paut dengan gejala jiwa yang dengannya dapat menimbulkan perilaku. Akhlakul mahmudah mengajak agar kita selalu berdzikir pada Allah, sabar, syukur, istiqamah, amanah, tawakal, ridho, tabah, dan ikhlas. Ia merupakan nilai positif. Penanaman kualitas nilai positif berguna bagi pembentukan watak (charakter building).

Penanaman nilai-nilai positif melalui Pendidikan Umum menyebabkan bidang ini juga memiliki spesifikasi Pendidikan Nilai, mengingat Pendidikan Nilai merupakan pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten ( Mulyana, 2004:119). Pendidikan Nilai diberikan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan


(12)

5

mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Dan untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada prilaku yang baik dan benar perlu diperkenalkan oleh peserta didik.

Adapun misi Pendidikan Nilai adalah sebagai berikut:

1. Membina peserta didik agar memahami dan menyadari nilai-nilai dirinya dan nilai-nilai orang lain (termasuk nilai individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia) serta sumber-sumber nilai (agama, social, budaya, adat, hokum, metafisik) dan muatan nilai (ideology, politik, ekonomi, social, budaya, agama).

2. Membina peserta didik agar mampu mengaktualisasikan diri (mengapresiasi dan melakonkan) sebagai pribadi yang memiliki akhlakul karimah dan berkepribadian mulia dalam hubungan di antara manusia (keluarga, masyarakat, bangsa, dunia), dalam hubungannya dengan alam sekitar (ruang, waktu dan budaya) serta hubungannya dengan pencipta, yakni ibadah pada Allah SWT. (ibadah mahdoh dan ghair mahdoh) dalam menata hidup hari ini, esok dan hari kemudian.

3. Membina peserta didik agar mampu melakukan proses pembelajaran nilai (dalam pendidikan formal maupun non/in formal) dalam bentuk cognitive moral, affective moral (pendekatan qalbiyah), behavior moral, pendekatan


(13)

6

Dari sekian banyak nilai positif yang merupakan bagian dari akhlakul karimah yang hendak ditanamkan oleh Pendidikan Nasional, melalui Pendidikan

Umum, khususnya Pendidikan Nilai adalah nilai dzikir.

Nilai dzikir adalah suatu konsep di mana seseorang berada dalam kondisi dzikir pada Allah SWT. Dzikir itu sendiri artinya mengingat. Dalam makna yang lebih luas, dzikir ialah sikap kita secara totalitas yang selalu ingat kepada ajaran Allah SWT. (El Sulthani, 1997: 6). Ingat bahwa Allah lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dzikir tidak mengenal ruang dan waktu. Dalam situasi dan kondisi apapun, kita dianjurkan dan diperintahkan berdzikir, baik ketika berdiri, duduk atau berbaring, artinya selama manusia masih dalam keadaan sadar, selagi jantung masih berdenyut dan nafas masih berhembus, seseorang diwajibkan untuk berdzikir.

Dzikir ada tiga macam, yaitu dzikir dengan hati, lisan, dan perbuatan, asalkan niatnya ikhlas semata mengingat Allah. Di dalam al-Quran, Allah memberi peringatan tentang pentingnya niat. Karena ternyata ada beberapa bentuk amalan yang muncul ke permukaan seperti dan seolah-olah dzikir, ternyata isinya adalah hawa nafsu atau ambisi pribadi.

Bentuk dzikir kepada Allah klasifikasinya sangat banyak sekali. Ada yang diatur dalam bentuk formal doktrinal, yang tata cara dan waktunya ditentukan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Ada juga yang bentuknya tidak formal, yakni tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, seperti membaca takbir, tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar. Membaca basmallah ketika memulai sesuatu yang baik dan membaca hamdallah ketika selesai


(14)

7

mengerjakannya. Membaca tasbih ketika melihat sesuatu yang luar biasa dan membaca istighfar ketika kita melakukan kesalahan. Bahkan ada juga dzikir dalam bentuk perbuatan dan karya nyata, seperti beramal saleh, menolong dan membantu saudara atau orang lain yang sedang kesusahan, menyisihkan sebagian rizki yang kita peroleh untuk orang yang membutuhkan. Menyumbangkan tenaga dan fikiran untuk berbagai aktifitas yang positif, baik kepada perorangan, kelompok masyarakat maupun kepada bangsa dan negara. Semua itu adalah manifestasi dari dzikir. Karena kita menyadari bahwa seluruh kelebihan yang kita miliki itu semata-mata adalah karunia dan amanat titipan dari Allah.

Dengan dzikir kepada Allah, keyakinan akan teguh, iman akan terbina, juga bisa memperdalam cinta kepada Allah, bisa tahan dan tangguh dalam menghadapi godaan, jiwa kuat dalam menghadapi tipu daya nafsu. Bahkan dzikir juga bisa jadi senjata yang ampuh dalam menghadapi semua rintangan dan cobaan dalam berjihad di jalan Allah. Dengan berdzikir akan terjalin hubungan yang indah dengan Allah dan sesama umat manusia. Dengan berdzikir juga kita akan dilimpahi petunjuk dan kemampuan dalam menghadapi cobaan hidup di dunia. Bahkan dengan berdzikir, nikmatnya kehidupan di dunia dan akhirat akan dirasakan.

Sebaliknya tanpa dzikir, kehidupan akan hampa tiada arti. Karena berbagai penyakit rohani akan muncul, seperti sombong, takabur, serakah, hasud, dan bohong. Bahkan muncul pula puncak dari segala penyakit ruhani, yakni kafir dan musyrik, dengan segala bentuknya.


(15)

8

Penyakit tersebut muncul ke permukaan dalam bentuk pola sikap dan pola pikir yang negatif. Karena sombong dan takabur, orang sering kali menyepelekan dan menganggap kecil orang lain. Karena serakah, maka orang korupsi dan manipulasi. Karena hasud dan dengki, orang sering kali menebar fitnah yang keji dan mengadu domba orang lain. Bahkan ada yang karena kufur, orang menganggap dirinya "Tuhan", juga karena syirik, orang menggantungkan nasib hidupnya kepada dukun atau tempat keramat yang tidak jelas dasar hukumnya.

Belakangan ini, muncul satu masalah di dunia pendidikan, yakni "masalah kehilangan anak". Masalah ini telah menjadi problem dunia pendidikan yang serius baik di barat maupun di timur. Kehilangan anak, bukan kehilangan secara fisik dari lingkungan mereka, melainkan kehilangan secara psikis dari harapan orang tua. Anak yang lahir sebagai anugerah, belahan hati, kebanggaan dan tumpuan harapan, bisa berbalik jadi musibah yang mempermalukan dan menyengsarakan orang tuanya, jika kebutuhan ruhaniahnya terlantarkan.

Masyarakat modern kini telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupannya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di Indonesia ditandai oleh gejala kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, mengambil hak orang lain sesuka hati dan perbuatan-perbuatan


(16)

9

biadab lainnya. Gejala kemerosotan akhlak tersebut, dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua, ahli didik dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluhkan sebagian pelajar yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

Menyimak laporan dari lembaga-lembaga yang mengadakan survey terhadap tindakan amoral anak-anak yang sedang duduk di bangku pendidikan, maka gambaran lulusannya akan nampak sebagai bayang-bayang manusia yang sangat menakutkan. Contoh 47 % remaja di Kota Bandung mengaku pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Sementara di Jabotabek 51 %, Surabaya 54 %, dan Medan 52 %. Hal itu disampaikan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat Sugiri Syarief (PR, 7 Desember 2009:18). Bahkan katanya pula, data di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengenai seks bebas pra nikah lebih memprihatinkan. Dari 1.660 mahasiswi di Yogyakarta, 97,05 % sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Di antara mahasiswi tersebut, 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi. Angka itu diketahui dari hasil penelitian tempat kos mahasiswa yang dilakukan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK Pusbih).

Selain hubungan seksual pra nikah, kata Sugiri (PR, 7 Desember 2009:18), kasus HIV AIDS juga penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja. Berdasarkan data BNN tahun 2004, 78 % dari 3,2 juta jiwa orang yang ketagihan narkoba adalah remaja. Sedangkan berdasarkan data Depkes 2009, dari 17.699 kasus


(17)

10

AIDS, 50,07 % di antaranya remaja. Angka kenakalan lainnya, seperti tawuran dan perkelahian jumlahnya lebih banyak lagi. Sementara prilaku-prilaku aneh, seperti hura-hura, dan gaul bebas tatkala syukuran kelulusan, perayaan hari-hari besar, semuanya sudah dianggap lumrah.

Ini adalah kenyataan yang aneh. Kenyataan yang sangat menakutkan bagi orang tua yang masih memiliki iman. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dunia pendidikan? Mengapa dunia pendidikan seperti kurang memperhatikan aspek moral anak didiknya? Padahal beberapa dekade terakhir ini, berbagai komponen dan aspek pendidikan telah mengalami lonjakan kemajuan yang spektakuler. Kurikulum dan strategi pembelajaran ditinjau dan diperbaharui setiap tahun. Kualifikasi tenaga pengajar ditingkatkan minimal Sarjana Strata 1. Fasilitas dan berbagai media pendidikan dan lain sebagainya mengalami pengembangan secara signifikan, jauh meningkat dibanding dengan kondisi 10 apalagi 20 tahun yang lalu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan telah mengantarkan ilmu dan teknologi ke tingkat yang sangat maju. Dengan temuan-temuan ilmu dan teknologi, berbagai pekerjaan tidak lagi dikerjakan secara manual, semuanya serba mudah dan praktis. Akan tetapi di sisi lain, ternyata kemajuan ilmu dan teknologi telah membuat jurang yang menjebak manusia itu sendiri, manusia telah kehilangan makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Karena mereka telah dijauhkan dari akar-akar keagamaan dan dikikis dari keterikatannya kepada Sang Pencipta. Ini adalah fenomena munculnya penyakit ruhani. Padahal ilmu dan teknologi secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa


(18)

11

merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiannya. Ilmu dan teknologi harus bisa mendorong manusia pada pengakuan atas kemahabesaran Sang Pencipta hingga membawa kepada ketaatan dan ketundukan kepadaNya.

Bentuk-bentuk penyakit ruhani lainnya seperti mencuri, berjudi, mabuk-mabukkan, membunuh, memperkosa dan lain-lain, semuanya membahayakan diri sendiri dan menghancurkan hidup dan kehidupan umat manusia. Itu semua bisa terjadi karena manusia tidak dalam kondisi dzikir pada Allah. Padahal dzikir itu harus terus-terusan, yang dalam bahasa agama disebut istiqamah.

Istiqamah adalah sebuah komitmen dalam menjalankan satu program untuk menuju satu tujuan. Istiqamah mengandung: 1) Konsisten, sehingga secara terus menerus apa yang dianggap baik itu dijalankan, 2) tahan uji kepada godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat, menjadi halangan kita sampai pada tujuan yang di cita-citakan (Aziz, 2009:1).

Istiqamah adalah suatu sikap yang menunjukkan ketundukan kita kepada Allah. Indikator ketaqwaan kita ada pada sikap istiqamah. Dalam menjalankan sesuatu, sendirian atau berjamaah, dalam keadaan senang atau susah, walaupun iman naik dan turun, sementara ujian datang dan pergi, sikapnya sama aja. Itulah sikap orang yang istiqamah.

Dalam al-Quran (QS. Fushilat: 30) Allah menerangkan akan memberikan imbalan kepada orang yang memiliki sikap istiqamah dalam ketaqwaan berupa: 1. Menurunkan malaikat untuk menghiburnya dengan kata-kata: Jangan takut dan

jangan berduka cita, dan bergembiralah dengan sorga yang telah dijanjikan kepadamu.


(19)

12

2. Allah menjadi pelindungnya pada masa hidup di dunia dan di akhirat.

3. Baginya di sorga segala keinginan hatinya dan baginya di sorga apa yang dia minta.

Dalam suatu hadits diceritakan, sahabat Abi Amrah Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Rasulullah saw. Agar dengan nasihat itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal Islam kepada orang lain. Lalu Rasulullah bersabda: Qul Amantu Billahi Tsumma Istaqim (katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan

lalu bersikaplah istiqamah) (HR. Muslim).

Hadits tersebut mengajarkan agar kita istiqamah dalam beriman kepada Allah. Ini mengisyaratkan bahwa kita harus senantiasa berdzikir. Karena, banyaknya prilaku-prilaku yang menyimpang disebabkan oleh tidak istiqamahnya kita dalam berdzikir kepada Allah SWT.

Berbicara tentang perlunya istiqamah dalam berdzikir, salah satu madzhab dalam tasawwuf, yakni Thariqat Tijaniyah memiliki cara-cara bagaimana menjadikan orang bisa istiqamah dalam berdzikir.

Tijaniyah adalah nama yang dinisbahkan kepada Syekh Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Tijani yang lahir pada tahun 1150 H. di 'Ain Madi Aljazair. Ajaran Thariqat Tijaniyah, yang berisi perintah membaca istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali diterima oleh Syekh Ahmad al-Tijani r.a dari Nabi Muhammad saw. pada tahun 1196 H, di Abu Samghun, suatu tempat terkenal di padang pasir Aljazair, Afrika Utara. Ketika itu As-Syekh Ahmad al-Tijani r.a berumur 46 tahun.


(20)

13

Setelah Syekh Ahmad al-Tijani r.a berumur 50 tahun/ 1200 H, maka wirid dari Nabi Muhammad saw. yang asalnya membaca istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali, ditambah membaca Laa ilaaha illa Allah 100 kali.

Pada tahun 1214 H. bulan Muharram dalam usia 64 tahun Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani r.a diangkat dan dianugerahi martabat Al-Quthbaniyatil ‘Uzhma, martabat Quthub yang teragung. Dan pada tanggal 18 Shafar 1214 H,

Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani r.a dianugerahi martabat tertinggi dalam kewalian, yaitu : “Al-Khatmu/ Khatmul Auliya” (Pemimpin para wali).

Perkembangan Thariqat Tijaniyah sangat pesat. Sambutan umat Islam setelah mengenalnya besar sekali, sebab :

1. Wiridnya yang ringan, mudah dikerjakan dan tidak menyita waktu dalam kesibukan.

2. Peraturan yang menjadi kewajiban bagi Ikhwan Tijani menyejukkan perasaan yang gersang dan haus embun siraman ruhani. Dan itu sangat dibutuhkan masyarakat dalam pergaulan sosial.

Oleh karena itu, Thariqat Tijaniyah disambut di mana-mana. Mu’tamar internasional Thariqat Tijaniyah yang pertama, yaitu pada tanggal 10-16 Rabi’ul Tsani 1406 H/ 13-19 desember 1985 M di Faz Maroko, dihadiri Ikhwan Tijani dari negara non muslim, seperti negara adidaya (Amerika), negara super model (Perancis) dan negara super penduduk (Cina). Indonesia, sekalipun tidak mengirim utusan waktu itu, namun ikhwan Thariqat Tijaniyahnya sangat banyak.

Thariqat Tijaniyah masuk ke Indonesia pada tahun 1922 M. dibawa oleh KH. Anas Abdul Jamil dari Mekkah ke Cirebon (Buntet) Jawa Barat dibantu oleh


(21)

14

saudaranya KH. Abbas. Dan pada tahun 1926 M. gurunya datang ke Jawa Barat membawa kitab “Munyatul Murid”, yaitu Sayyid Ali bin Abdullah At-Thayib, beliau adalah guru hadits di Madinah Al-Munawwaroh,. Tiga serangkai inilah kemudian yang menyebarkan Thariqah Tijaniyah dari Cirebon Jawa Barat ke Tasikmalaya, Garut, Bogor, dan sampai ke Jati Barang Brebes Jawa Tengah.

Di Jati Barang Brebes Jawa Tengah, tepatnya di Pondok Pesantren Darussalam yang pimpinannya adalah juga seorang muqaddam (mursyid) tijani, Thariqat Tijaniyah sekarang terus menyebarkan dakwah, agar orang senantiasa istiqamah dalam berdzikir.

Untuk itu perlu diteliti bagaimana nilai dzikir diinternalisasikan di Pondok Pesantren Darussalam ?

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana model internalisasi nilai dzikir pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes?" Agar masalah penelitian tersebut lebih jelas dan terfokus, berikut ini penjabarannya dalam bentuk pertanyaan:

1. Bagaimana gambaran umum Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes ?

2. Macam-macam dzikir seperti apa yang dipraktikkan di pesantren tersebut ? 3. Bagaimana proses internalisasi nilai dzikirnya ?

4. Bagaimana peran kiyai/ustadz dalam proses internalisasi nilai dzikir tersebut ? 5. Bagaimana hasil internalisasi nilai dzikirnya ?


(22)

15 C.Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk menemukan model internalisasi nilai dzikir pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes, yang meliputi:

1. Mengetahui gambaran umum Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes.

2. Mengetahui macam-macam dzikir seperti apa yang dipraktikkan di pesantren tersebut.

3. Mengetahui proses internalisasi nilai dzikirnya.

4. Mengetahui peran kiyai/ustadz dalam proses internalisasi nilai dzikir tersebut. 5. Mengetahui hasil internalisasi nilai dzikirnya.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bersifat praktik dan teoritik sebagai berikut:

1. Secara teoritik, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah model internalisasi nilai dzikir yang dapat dijadikan masukan dalam menyusun model pembinaan nilai dzikir bagi peserta didik.

2. Secara praktik, (a) hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi elementer para pakar Pendidikan Islam untuk selalu berinovasi mengembangkan model-model pendikan Islam dalam hal ini model-model internalisasi nilai dzikir di pesantren / sekolah; (b) masukan bagi para pemegang kebijakan di tingkat pemerintahan umumnya dan pesantren / sekolah pada khususnya dalam mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan pembinaan nilai-nilai


(23)

16

keberagamaan bagi peserta didik di pesantren / sekolah; (c) masukan dan sekaligus ajakan kepada para kiyai / ustadz / guru di pesantren / sekolah dalam melaksanakan pembinaan nilai-nilai keberagamaan bagi peserta didik. E.Asumsi yang Melandasi Penelitian

Penelitian ini di dasarkan pada asumsi sebagai berikut:

1. Menemukan sebuah model penanaman nilai mutlak diperlukan dalam rangka pengayaan dan pemaknaan nilai pada diri peserta didik, agar ia tumbuh menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Seperti yang diamanatkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Nilai dzikir harus ditanamkan sejak dini, mengingat orang yang berdzikir akan senantiasa mengingat Allah SWT. Dia akan cepat sadar ketika melakukan suatu perbuatan yang keliru, dan berusaha memperbaikinya, sehingga kemungkinan terjerumus pada hal-hal yang terlarang akan terjaga.

3. Kebiasaan berdzikir akan melahirkan istiqamah dalam beribadah. Dan orang yang istiqamah akan konsisten, sehingga secara terus menerus menjalankan apa yang dianggapnya baik dan tahan uji kepada godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat atau menjadi halangan sampainya pada tujuan yang di cita-citakan.

4. Thariqat Tijaniyah sebagai salah satu madzhab dalam tasawwuf, memiliki konsep bagaimana menginternalkan nilai dzikir pada murid-muridnya.


(24)

17 F. Metode Penelitian

Penelitian ini diorientasikan untuk mengkaji "Bagaimana Model Internalisasi Nilai Dzikir pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah”. Penelitian ini

bersifat kualitatif dengan menggunakan Metode deskriptif analitis.

Di samping menggunakan metode deskriptif analitik, penelitian ini juga menggunakan strategi grounded research, yaitu suatu metode penelitian ilmiah yang biasa digunakan untuk memahami atau mengetahui secara mendalam tentang aktivitas yang dilakukan oleh subjek penelitian di lapangan. Grounded theory merupakan suatu tindak aksi dan interaksi yang berorientasi pada

pembentukan teori dan dapat digunakan untuk meneliti individu, kelompok, atau kolektivitas (Basri, 2004: 10).

Dalam penelitian ini, ada tahapan-tahapan yang ditempuh yaitu:

1. Sebagai langkah awal, peneliti melakukan penelitian awal untuk mengidentifikasi masalah.

2. Peneliti melakukan persiapan penelitian, berupa perumusan masalah penetilian, penyiapan instrumen, dan penetapan lokasi penelitian.

3. Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan grounded research. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara

observasi partisipatif, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Dan untuk menguji kredibilitas data, peneliti juga menggunakan teknik triangulasi.

4. Analisa dan pembahasan hasil penelitian. 5. Pelaporan hasil penelitian dan rekomendasi.


(25)

(26)

1 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Sebelum membahas metode penelitian, terlebih dahulu perlu dijelaskan definisi operasional mengenai istilah-istilah kunci untuk mempertegas, memberikan arah, dan menghindari kesalah pahaman. Beberapa istilah kunci yang dipandang penting untuk didefinisikan adalah: 1) Model, 2 ) Internalisasi, 3) Nilai, 4) Dzikir, 5) Nilai Dzikir, 6) Ikhwan, dan 7) Thariqat Tijaniyah.

1. Model artinya sesuatu yang ideal dan sangat wajar untuk ditiru.

2. Internalisasi adalah suatu proses memasukkan nilai yang sebelumnya berada di

luar, agar tergabung dalam pemikiran dan tindakan seseorang sehingga nilai tersebut menjadi miliknya (mempribadi dalam dirinya).

3. Nilai adalah sesuatu (konsep) yang dianggap penting oleh seseorang.

4. Dzikir artinya ingat, yakni ingat pada Allah SWT. Secara garis besar, dzikir ada tiga macam, yaitu: a) dzikir dalam hati artinya hatinya dalam keadaan sadar akan siapa dirinya, dari mana asalnya, siapa penciptanya, apa tugasnya, dan kemana tujuan hidupnya, b) dzikir dengan lisan artinya lisannya selalu melafalkan kalimat-kalimat yang mengandung makna ingat pada Allah SWT, seperti bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, shalawat, ataupun membaca al-Quran, dan c) dzikir dengan perbuatan diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.


(27)

2

5. Nilai Dzikir adalah suatu konsep dimana seseorang berada dalam kondisi mengingat Allah.

6. Ikhwan adalah sebutan untuk orang-orang yang mengamalkan Thariqat

Tijaniyah, lebih tepatnya sebutan untuk murid dalam Thariqat Tijaniyah.

7. Thariqat Tijaniyah adalah nama sebuah thariqat yang dinisbahkan kepada Syekh Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad at-Tijani yang lahir pada tahun 1150 H. di 'Ain Madi Aljazair.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena penulis menganggap bahwa karakteristiknya sangat cocok dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. Menurut Sugiono (2008: 21-22), pendekatan kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Dilakukan pada kondisi yang alamiah (lawannya eksperimen), langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci.

2. Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.

3. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome.

4. Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif.


(28)

3

Alwasilah (2009: 104-107) sejalan dengan pemikiran Guba dan Lincoln mengungkapkan bahwa terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut:

1. Latar alamiah; secara ontologism suatu objek harus dilihat dalam konteksnya

yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu. Sebab makna objek itu tidak identik dengan jumlah keseluruhan bagian-bagian tadi. Pengamatan juga akan mempengaruhi apa yang diamati, karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal keseluruhan objek itu harus diamati.

2. Manusia sebagai instrumen; Penelian menggunakan dirinya sebagai

pengumpul data utama. Benda-benda lain selain manusia tidak dapat menjadi instrument karena tidak akan mampu memahami dan menyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya. Hanya manusialah yang mampu melakukan interaksi dengan instrumen atau subjek penelitian tersebut dan memahami kaitan kenyataan-kenyataan itu.

3. Pemanfaatan pengetahuan non-proporsional; Peneliti naturalistis

melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat atau pengetahuan lain yang tak terbahaskan (tacit knowledge) selain pengetahuan proporsional (proportional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden. Pengetahuan itu banyak diperoleh dari responden terutama sewaktu peneliti mengintip nilai-nilai, kepercayaan dan sikap yang tersembunyi pada responden.


(29)

4

4. Metode-metode kualitatif; Peneliti kualitatif memilih metode-metode

kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi.

5. Sampel purposif; Pemilihan sampel secara purposive atau teoritis disebabkan

peneliti ingin meningkatkan cakupan dengan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang beragam, sehingga segala temuan akan terlandaskan secara lebih mantap karena prosesnya melibatkan kondisi dan nilai local yang semuanya saling mempengaruhi.

6. Analisis data secara induktif; Metode induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang beragam di lapangan, membuat interaksi antara peneliti dengan responden lebih eksplisit, Nampak, dan mudah dilakukan, serta memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi.

7. Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka tidak berangkat dari teori apriori karena teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan dihadapi di lapangan.

8. Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian yang muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dan responden.


(30)

5

9. Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang diperoleh dari mereka.

10. Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara

pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti. Juga mudah diadaptasi untuk menjelaskan hubungan antara peneliti dengan responden.

11. Interpretasi idiografik; Data yang terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiografik, yaitu secara kasus, khusus, dan kontekstual, tidak secara nomotetis, yakni berdasarkan hukum-hukum generalisasi.

12. Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam. Setiap temuan adalah hasil interaksi peneliti dengan responden dengan memperhatikan nilai-nilai dan kekhususan lokal, yang mungkin sulit diprediksi dan diduplikasi, jadi memang sulit untuk ditarik generalisasinya.

13. Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah territorial kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan interaksi lebih mantap antara peneliti dan ressponden pada konteks tertentu. Batas penelitian ini akan sulit ditegakan tanpa pengetahuan kontekstual dari fokus penelitian.


(31)

6

14. Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internal validity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi

para peneliti naturalistic, karena memang bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistic. Keempat istilah tersebut dalam penelitian naturalistic diganti dengan credibility, transferability, dependability, dan confirmability.

Pada bagian yang lain, Alwasilah (2009: 92) menjelaskan karakteristik penelitian kualitatif seperti dalam tabel berikut:

TABEL 1.3

KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF

Aspek

Ciri khas Dalam Penelitian Kualitatif • Fokus penelitian

• Akar filsafat • Frase terkait

• Tujuan

• Disain • Latar • Sampel

• Kualitas

• Fenomenoligi, interaksi simbolik

• Kerja lapangan, etnografi naturalistic, grounded, subyektif

• Pemahaman, deskripsi, temuan, pemunculan hipotesis

• Kenyal, berevolusi dan mencuat • Alami, akrab

• Kecil, tidak acak, teoritis • Peneliti sebagai instrument inti


(32)

7 • Pengumpulan data

• Modus analisis • Temuan

• Induktif oleh peneliti

Komprehensif, holistik dan ekspansif

Pada penelitian kualitatif ini peneliti dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh sumber data. Di sini peneliti bersifat perspektif emic, artinya memperoleh data bukan sebagaimana seharusnya, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data (Sugiono, 2008: 296).

Sementara metode yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan kebanyakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata (2008 :72) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia.

Di samping menggunakan metode deskriptif analitik, penelitian ini juga menggunakan strategi grounded research, yaitu suatu metode penelitian ilmiah yang biasa digunakan untuk memahami atau mengetahui secara mendalam


(33)

8

tentang aktivitas yang dilakukan oleh subjek penelitian di lapangan. Grounded theory merupakan suatu tindak aksi dan interaksi yang berorientasi pada

pembentukan teori dan dapat digunakan untuk meneliti individu, kelompok, atau kolektivitas (Basri, 2004: 10).

Berbeda dengan jenis penelitian lain, penelitian ini tanpa diawali oleh hipotesis dan kerangka teori secara ketat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sugiono (2008: 96) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif tidak perlu merumuskan hipotesis.

Model penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teori atau menghasilkan teori substantif, bahkan general theory. Karena itu, data yang diperoleh dapat memunculkan suatu teori. Sebab itulah sebuah penelitian kualitatif, terutama yang menggunakan metode ini, seringkali berangkat dari pikiran yang kosong dalam rangka membangun suatu konsep atau preposisi (Basri, 2004: 10).

Grounded research ini oleh peneliti digunakan untuk menelaah

macam-macam dzikir yang dipraktikkan di Pondok Pesantren Darussalam Brebes serta bagaimana proses internalisasi nilai dzikirnya terhadap ikhwan Thariqat Tijaniyah di pesantren tersebut.


(34)

9 BAGAN 1.3

PARADIGMA PENELITIAN MODEL INTERNALISASI NILAI DZIKIR PADA IKHWAN THARIQAT TIJANIYAH

HASIL YANG INGIN

DICAPAI TUJUAN YANG INGIN DICAPAI

METODE PENELITIAN

• • • !


(35)

10

Berdasarkan bagan di atas, maka alur berpikir dalam penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama peneliti menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni menemukan model internalisasi nilai dzikir pada ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes. Untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai, dipilihlah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode Deskriptif Analitis dan Grounded Research. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatif,

wawancara, studi pustaka, dokumentasi, juga triangulasi. Dengan teknik-teknik tersebut, peneliti berusaha menjaring data-data mengenai macam-macam dzikir yang diamalkan Ikhwan Tijani di Pondok Pesantren Darussalam, bagaimana proses internalisasi nilai dzikirnya, sampai pada bagaimana hasil internalisasi nilai dzikir tersebut. Dan dari data-data tersebut, setelah diolah maka akan ditemukanlah konsep model internalisasi nilai dzikir pada ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes.

C.Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian

Penelitian ini akan mengambil lokasi di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes Jawa Tengah. Adapun yang menjadi alasan tempat ini dijadikan lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Dalam pandangan peneliti, pesantren ini punya keunggulan dalam internalisasi nilai dzikir, hal itu terlihat dari konsistennya para santri dalam berdzikir.

2. Pimpinan Pondok Pesantren ini adalah merupakan salah seorang Muqaddam Thariqat Tijaniyah di Indonesia, karena itu amaliyah-amaliyah


(36)

11

di pesantren ini menjadi rujukan bagi penganut Thariqat Tijaniyah di daerah lainnya.

3. Peneliti memandang perlu merekam dan memotret model internalisasi nilai dzikir di pesantren ini untuk memperkaya khazanah model pendidikan nilai, selanjutnya bisa ditemukan model internalisasi nilai dzikir yang dipraktikkan di pesantren ini.

4. Model internalisasi nilai dzikir yang sudah ada ini kemudian bisa dijadikan bahan analisa untuk merumuskan model hipotetik yang bisa diterapkan di tempat yang lain walaupun suasana lingkungannya berbeda.

Dalam penelitian kualitatif, istilah populasi tidak digunakan, tetapi oleh Spradley sebagaimana dikutip Sugiyono (2008: 297) dinamakan social situation atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial pada penelitian ini Pondok Pesantren Darussalam Brebes berikut penghuni dan aktivitasnya. Situasi sosial tersebut, dapat dinyatakan sebagai objek penelitian yang ingin difahami secara lebih mendalam "apa yang terjadi" di dalamnya. Pada situasi sosial atau objek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada di pesantren ini. Situasi sosial seperti ditunjukkan pada bagan 2.3


(37)

12

BAGAN 2.3

SITUASI SOSIAL (INTERNALISASI NILAI DZIKIR) Pesantren Darussalam Brebes

Ikhwan Tijaniyah Aktivitas

Istilah populasi tidak digunakan karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian.

Agar data yang diperoleh akurat, maka sampel sebagai sumber data sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya.

2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti.

3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi. Situasi


(38)

13

4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil "kemasannya" sendiri.

5. Mereka yang pada mulanya tergolong cukup asing dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara sumber (Sugiono, 2008: 303).

Adapun teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara:

1. Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek / situasi sosial yang diteliti.

2. Snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada

awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang lengkap, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar.

D. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti sendiri. Nasution (dalam Sugiono, 2008: 306-307) menyatakan:

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas


(39)

14

sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.

Dalam penelitian ini, peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuan yang ada.

Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen dilakukan oleh peneliti sendiri, melalui evaluasi diri, seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan (Sugiono, 2008: 306).

Moleong (2007: 169-172) mengungkapkan bahwa ciri-ciri manusia sebagai instrumen mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Responsif. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan

terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya. Ia tidak hanya responsif terhadap tanda-tanda, tetapi ia juga menyediakan tanda-tanda kepada orang-orang. Tanda-tanda yang diberikan biasanya dimaksudkan untuk berinteraksi secara sadar dengan konteks yang ia upayakan untuk memahaminya. Ia responsif karena menyadari perlunya merasakan dimensi-dimensi konteks dan berusaha agar dimensi-dimensi itu menjadi eksplisit.

2. Dapat menyesuaikan diri. Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data. Manusia sebagai peneliti dapat melakukan tugas pengumpulan data sekaligus.


(40)

15

3. Menekankan kebutuhan. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi

dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti. Pandangan yang menekankan keutuhan ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memandang konteksnya dimana ada dunia nyata bagi subjek dan responden dan juga memberikan suasana, keadaan dan perasaan tertentu. Peneliti berkepentingan dengan konteks dalam keadaan utuh untuk setiap kesempatan.

4. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki

oleh peneliti sebelum melakukan penelitian menjadi dasar-dasar yang membimbingnya dalam melakukan penelitian. Dalam praktiknya, peneliti memperluas dan meningkatkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya. Kemampuan memperluas pengetahuannya juga diperoleh melalui praktik pengalaman lapangan dengan jalan memperluas kesadaran terhadap situasi sampai terwujud pada dirinya keinginan-keinginan melebihi pengetahuan yang ada dalam dirinya, sehingga pengumpulan data dalam proses penelitian menjadi lebih dalam dan lebih kaya.

5. Memproses data secepatnya. Kemampuan lain yang ada pada diri manusia

sebagai instrumen adalah memproses data secepatnya setelah ia peroleh, ia menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondennya. Hal demikian akan membawa peneliti


(41)

16

untuk mengadakan pengamatan dan wawancara yang lebih mendalam lagi dalam proses pengumpulan data itu.

6. Memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan.

Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden. Sering hal ini terjadi apabila informasi yang diberikan oleh subjek sudah berubah, secepatnya peneliti akan mengetahuinya, kemudian ia berusaha menggali lebih dalam lagi apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Kemampuan lainnya yang ada pada peneliti adalah kemampuan mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak diceritakan oleh responden dalam wawancara. Kemampuan mengikhtisarkan itu digunakannya ketika suatu wawancara berlangsung.

7. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan

idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula kemampuan untuk

menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi. Kemampuan peneliti bukan menghindari melainkan justru mencari dan berusaha menggalinya lebih dalam. Kemampuan demikian tidak ada tandingannya dalam penelitian mana pun dan sangat bermanfaat bagi penemuan ilmu pengetahuan baru.


(42)

17 E.Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan empat teknik yakni observasi/pengamatan berperanserta, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.

1. Teknik Observasi

Observasi merupakan suatu cara untuk mengadakan penelitian dengan jalan mengadakan pengamatan langsung dan pencatatan sistematis dengan menggunakan seluruh alat indra terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Margono, 2004:158).

Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif, yaitu peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden, dalam hal ini muqaddam dan ikhwan Thariqat Tijaniyah ketika sedang berlangsung proses internalisasi nilai dzikir. Namun kegiatan itu tidak sepenuhnya diikuti, artinya dalam batas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan responden.

Agar hasil observasi dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian, sebagaimana dijelaskan Alwasilah (2009: 215-216) yang sejalan dengan Merriam bahwa dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai berikut:

a. Latar (setting), merujuk pada aspek fisik dari latar, untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana lingkungan fisiknya ?


(43)

18

b. Pelibat (participant), untuk mencari jawaban atas pertanyaan siapa saja yang terlibat ? Berapa banyak dan apa peran masing-masing ?

c. Kegiatan dan interaksi (activity and interaction), untuk mencari jawaban atas pertanyaan kegiatan apa yang dilakukan ? Bagaimana urutannya ? Dan bagaimana responden berinteraksi satu sama lain dalam kegiatan itu ?

d. Frekuensi dan durasi (frequency and duration), untuk mencari jawaban atas pertanyaan berapa kali kegiatan itu berlangsung ? Berapa lama ? Kapan mulai dan berakhirnya ?

e. Faktor subtil (subtile factors), untuk mencari jawaban atas makna simbolik dan konotatif dari kosakata yang dipergunakan, juga komunikasi non-verbal seperti pakaian dan tata ruang.

2. Teknik Wawancara

Menurut Esterberg, sebagaimana dikutip Sugiyono (2008:317) wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan informan (Sugiyono, 2008: 320).

Wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) dengan tetap berpegang pada pedoman wawancara yang telah dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar arah percakapan tidak terlalu menyimpang dari data yang digali, juga untuk


(44)

19

menghindari terjadinya bias penelitian. Untuk mendapatkan validitas informasi maka pada saat wawancara berlangsung, peneliti berusaha membina hubungan baik dengan cara menciptakan iklim saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi dan menerima.

Lincoln dan Guba, sebagaimana dikutip Alwasilah (2009: 195) menyebut lima langkah penting dalam melakukan wawancara, yakni:

a. Menentukan siapa yang akan diinterviu b. Menyiapkan bahan-bahan interviu c. Langkah-langkah pendahuluan d. Mengatur

Teknik wawancara ini digunakan oleh peneliti untuk menjaring data-data mengenai gambaran umum Pesantren Darussalam, macam-macam dzikir yang diamalkan di sana, bagaimana proses internalisasi nilai dzikirnya, sampai pada bagaimana hasil internalisasi nilai dzikir tersebut.

3. Teknik Dokumentasi

Moleong (2006: 216) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Di samping itu Nasution (1996:86) mengungkapkan bahwa dokumen dapat memberikan latar belakang yang luas mengenai pokok penelitian, dan dapat dijadikan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data. Dokumen dapat dipandang sebagai info yang dapat membantu dalam menganalisis dan menginterpretasi data.


(45)

20

Moleong (2006:17) mengungkapkan bahwa dokumen digunakan untuk keperluan penelitian dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti berikut ini:

a. Dokumen dan record digunakan karena merupakan sumber yang stabil, kaya, dan mendorong.

b. Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.

c. Keduanya berguna dan sesuai dengan penelitian kualitatif karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks serta lahir dan berada dalam konteks.

d. Record relatif murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen harus dicari dan ditemukan.

e. Keduanya tidak reaktif sehingga sukar ditemukan dengan teknik kajian isi. f. Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh

pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki. 4. Teknik Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data ilmiah dari berbagai literature yang berhubungan dengan Pendidikan Umum, Pendidikan Nilai, Tasawwuf, Thariqat, Thariqat Tijaniyah, dan Metode Penelitian Pendidikan.

Untuk memperoleh data-data ilmiah itu, peneliti mengkaji referensi-referensi kepustakaan dari perpustakaan UPI, perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPs UPI, perpustakaan pribadi dan teman, internet, majalah, koran, dan sumber lainnya.


(46)

21 5. Triangulasi

Dalam tehnik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai tehnik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai tehnik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2008:330). Caranya bisa dengan:

a. Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipasif, wawancara mendalam dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak.

b. Triangulasi sumber, berarti untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan tehnik yang sama

c. Triangulasi waktu, berarti untuk mendapatkan data yang sama, dilakukan pengumpulan data berulang-ulang.

Melalui tehnik ini, sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data dengan berbagai tehnik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Tujuan triangulasi bukan hanya untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,


(47)

22

menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan, dalam Sugiyono, 2008: 334).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa analisis data itu adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh peneliti maupun orang lain.

Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Setelah ada hipotesis, kemudian dicarikan data lagi berulang-ulang sampai ditetapkan apakah hipotesis tersebut bisa diterima atau ditolak. Jika ternyata hipotesisnya diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.

Langkah-langkah analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti Model Milies and Huberman (dalam Sugiyono, 2008: 337) yaitu: 1. Reduksi Data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan


(48)

23

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

Dalam mereduksi data, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu ditemukannya model internalisasi nilai dzikir pada ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Brebes dijadikan pegangan. Karena itu ketika peneliti menemukan sesuatu yang nampak asing, berbeda, justru itulah yang menjadi perhatian peneliti dalam mereduksi data.

2. Penyajian Data (Data Display)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dan dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, atau sejenisnya. Namun yang paling sering digunakan untuk menyajikan data, menurut Miles and Huberman adalah teks yang bersifat naratif (Sugiyono, 2008: 341).

Mengingat obyek penelitian adalah fenomena sosial yang bersifat komleks dan dinamis, maka ketika di lapangan ditemukan adanya perkembangan data, peneliti terus-menerus menguji apa yang telah ditemukan di lapangan. Dan bila pola-pola yang ditemukan telah di dukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut telah menjadi pola yang baku dan tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya disajikan pada laporan akhir penelitian.

3. Conclution Drawing/ Verification

Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dan kesimpulan yang kredibel dalam penelitian kualitatif adalah apabila kesimpulan yang dikemukakan tersebut


(49)

24

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti mengumpulkan data-data di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah merupakan temuan mengenai model internalisasi nilai dzikir pada ikhwan Thariqat Tijaniyah di Pondok Pesantren Darussalam Brebes.

Ilustrasi mengenai langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini tergambar dalam gambar berikut ini:

BAGAN 3.3

TAHAPAN ANALISIS DATA

Catatan Lapangan

Reduksi Data

Penyajian Data


(50)

(51)

1 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A.Kesimpulan

Berdasarkan rangkaian kegiatan penelitian yang telah dilakukan, beberapa hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pondok Pesantren Darussalam adalah merupakan lembaga pendidikan pesantren yang terletak di Desa / Kecamatan Jatibarang Brebes. Didirikan pada tahun 1988 M. oleh KH. Sholeh Muhammad Basalamah, seorang alumni Pondok Pesantren Assayyid Muhammad Alawy Al-Maliki Al-Hasani Makkah Al-Mukarromah. Dalam menjalankan aktifitasnya, Pondok Pendidikan Pesantren Darussalam Brebes disamping sebagai lembaga pendidikan pesantren, juga mengemban dakwah untuk menyebarkan Thariqat Tijaniyah. Mengingat pimpinan pesantren tersebut KH. Sholeh Muhammad Basalamah adalah juga seorang muqaddam, sebutan untuk guru/mursyid dalam Thariqat Tijaniyah.

2. Dzikir yang dipraktikkan Ikhwan Tijani di Pondok Pesantren Darussalam ada tiga macam, yakni: Dzikir bil jinan (dzikir dengan hati), dzikir bil lisan, dan dzikir dengan perbuatan. Namun dari ketiga macam dzikir tersebut di atas, yang menjadi kewajiban Ikhwan Tijani adalah pengamalan dzikir lisan, melalui pengamalan wirid, baik lazimah, wadzifah, maupun hailallah. Adapun pengamalan dzikir hati dan dzikir perbuatan, tidak ada ketentuan secara khusus, dan pengamalannya sama dengan kebanyakan kaum muslimin.


(52)

2

3. Thariqat Tijaniyah tidak punya ciri khas dzikir qalbu seperti Naqsyabandiyah, dzikirnya lisan (dzikir jahar) asal terdengar telinga sendiri, berbeda dengan Qadiriyah yang dzikir lisan( dzikir jahar) nya keras menggema.

4. Thariqat Tijaniyah adalah thariqat yang berpegang teguh pada syariat. Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at adalah beliau selalu menimbang semua persoalan dan fatwanya dengan kacamata syari'at. Beliau berkata: "Jika kalian mendengar sesuatu dariku, maka pertimbangkan dengan neraca syara'. Sesuatu yang sesuai syara', kerjakanlah dan sesuatu yang menyimpang, tinggalkanlah".

5. Amalan dzikir Thariqat Tijaniyah yang berisi istighfar, shalawat, dan tahlil yang dikemas dalam wirid lazimah, wadzifah, dan hailallah memiliki sandaran yang kokoh dalam al-Quran dan hadits.

6. Dalam keyakinan Ikhwan Tijani, Syekh Ahmad al-Tijani adalah Wali Khatm yang bermakna penutup martabat kewalian atau puncak tertinggi derajat kewalian ummat Nabi Muhammad saw. Namun keyakinan seperti itu memicu kontroversi di antara ikhwan thariqat yang lain, sebab hanya berdasar pada pengakuan Shahibut Thariqah, yang tidak ditunjang oleh adanya nash. Berbeda dengan posisi Nabi Muhammad sebagai Sayyidul Anbiya wal Mursalin, martabatnya dijelaskan dalam nash, baik dalam al-Quran maupun

dalam hadits yang notabene itu adalah wahyu dari Allah. Di samping itu, semua thariqat juga menganggap bahwa Shahibut Thariqatnya adalah wali yang sudah sampai pada maqam ma'rifat. Karenanya, mereka akan tahu siapa pemimpin mereka. Sementara Shahibut Thariqah yang lain tidak menjelaskan


(53)

3

martabat Syekh Ahmad al-Tijani, seperti keterangan mengenai martabat Syekh Abdul Qadir Jailani yang menempati kedudukan sebagai Sulthanul Auliya.

7. Thariqat Tijaniyah tidak mengenal urutan maqam, mereka hanya memulai amaliahnya dari bertaubat, selanjutnya melakukan serangkaian amal (yang oleh thariqat lain disebut maqam) secara bersamaan. Seperti, pada saat yang sama mereka harus ikhlas dalam beribadah, harus bersyukur ketika menerima nikmat, dan harus bersabar ketika menerima musibah.

8. Proses internalisasi nilai dzikir di Pondok Pesantren Darussalam dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Mempersiapkan Seorang Ikhwan untuk Talqin Thariqat Tijaniyah. b. Talqin Thariqat Tijaniyah

c. Menjalani Kewajiban sebagai Ikhwan Tijani d. Tarbiyah

e. Mengikuti Kegiatan (Tradisi-tradisi Tijaniyah) seperti: 1) Tradisi Ritual Dzikir Wajibah

2) Tradisi : Ijtima” Hailallah” 3) Tradisi Dzikir Ikhtiyari 4) Tradisi Manaqiban 5) Tradisi Haul Akbar

6) Idul Khotmi


(54)

4

9. Jika dinilai secara keseluruhan, dengan mengaitkannya pada 5 nilai dasar yang hendaknya menjadi acuan dalam segenap tindakan, pikiran dan prilaku kita, maka model internalisasi nilai dzikir pada Ikhwan Thariqat Tijaniyah bisa dikatakan memiliki nilai ilahiyah/ teologis, karena unsur pokok amalan dzikir mereka yang terdiri dari istighfar, shalawat, dan tahlil mengandung muatan nilai-nilai ketuhanan dan memiliki sandaran yang kokoh dari wahyu. 10. Hasil penilaian muqaddam dan pengakuan dari beberapa Ikhwan Tijani,

setelah mereka mengikuti proses internalisasi nilai dzikir, dirasakan adanya perubahan, mereka merasa dekat dengan Allah SWT., ketenangan batin diperoleh dan mereka merasakan adanya kebahagiaan dalam hidup. Ini jelas menggambarkan adanya nilai teleologis/guna/manfaat pada model internalisasi nilai tersebut.

11. Kalau melihat proses internalisasi nilai dzikir terhadap Ikhwan Tijani di Pesantren Darussalam yang dilakukan melalui tahap-tahap: 1) Mempersiapkan Seorang Ikhwan untuk Talqin Thariqat Tijaniyah, 2) Talqin Thariqat Tijaniyah, 3) Menjalani Kewajiban sebagai Ikhwan Tijani, 4) Tarbiyah, dan 5) Mengikuti Kegiatan (Tradisi-tradisi Tijaniyah) seperti: a) Tradisi Ritual Dzikir Wajibah, b) Tradisi : Ijtima” Hailallah”, c) Tradisi Dzikir Ikhtiyari, d) Tradisi Manaqiban, e) Tradisi Haul Akbar, f) Idul Khotmi, dan g) Tradisi Haul Syekh Ahmad al-Tijani, di mana tujuannya agar

Ikhwan Tijani selalu dalam kondisi dzikir, maka proses internalisasi nilai dzikir tersebut dapat dikatakan memiliki nilai logis.


(55)

5

12. Namun jika yang dilihat pola bacaan istighfar yang diamalkan oleh Ikhwan Tijani berupa astaghfirullahal'adzim alladzi laa ilaha illa Huwalhayyulqayyum tanpa diakhiri dengan kalimat wa atubu ilaika (Aku

bertobat kepada Allah) seperti tidak konsisten, sebab bacaan istighfar itu berarti permohonan ampunan kepada Allah. Dan memohon ampunan Allah itu adalah bagian dari taubat. Tidak bisa difahami oleh logika atau tidak dipandang memiliki nilai logis, ketika ada orang yang memohon ampun pada Allah SWT. sementara dia tidak memiliki niat untuk bertaubat.

13. Begitupun ketika seorang ikhwan mempersiapkan diri untuk talqin thariqat, di situ ada syarat dia harus kosong dari semua thariqat, karena Thariqat Tijaniyah tidak boleh dirangkap dengan thariqat lain. Juga adanya larangan berziarah kepada wali bukan Tijani. Ketentuan ini akan dikatakan tidak memiliki nilai etis apalagi estetika, karena adanya syarat bahwa seorang ikhwan harus kosong dari semua thariqat dan Thariqat Tijaniyah tidak boleh dirangkap dengan thariqat lain mengandung pengertian bahwa yang bersangkutan tidak boleh mengamalkan dzikir di luar amalan dzikir Ikhwan Tijani. Padahal sebagai umat Islam, yang berpedoman pada al-Quran dan hadits diperintahkan untuk menerima apapun yang bersumber dari kedua sumber tersebut. Adapun larangan berziarah kepada wali bukan Tijani akan menyebabkan seorang ikhwan putus silaturahmi. Padahal silaturahmi sangat dianjurkan dalam Islam.

14. Begitu juga adanya ketentuan bahwa seorang ikhwan ketika akan talqin thariqat harus berniat untuk masuk seumur hidup, dan jika keluar akan


(56)

6

dihukumi murtad. Ini dipandang tidak memiliki nilai etis, sebab sebutan murtad hanya berlaku bagi orang yang keluar dari agama Islam. Seorang muslim dilarang saling mengkafirkan.

B.Implikasi Hasil Penelitian

Intenalisasi nilai dzikir terhadap Ikhwan Tijani di Pondok Pesantren Darussalam Brebes telah berhasil menanamkan konsep dzikir di kalangan Ikhwan Tijani. Dengan demikian, penelitian ini berhasil menambah khazanah model

Pendidikan Nilai yang digali dari kalangan thariqat/ tasawwuf. Karena itu model internalisasi nilai dzikir ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan teori Pendidikan Umum / Nilai.

Tahapan-tahapan dalam proses internalisasi nilai dzikir yang dipraktikkan di Pondok Pesantren Darussalam Jati Barang Brebes, mulai dari: 1) Mempersiapkan Seorang Ikhwan untuk Talqin Thariqat Tijaniyah, 2) Talqin Thariqat Tijaniyah, 3) Menjalani Kewajiban sebagai Ikhwan Tijani, 4) Tarbiyah, 5) Mengikuti Kegiatan (Tradisi-tradisi Tijaniyah) seperti; a) Tradisi Ritual Dzikir Wajibah, b) Tradisi : Ijtima” Hailallah”, c) Tradisi Dzikir Ikhtiyari, d) Tradisi Manaqiban, e) Tradisi Haul Akbar, f) Idul Khotmi, g) Tradisi Haul Syekh Ahmad al-Tijani dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama mengenai talqin thariqat yang berisi janji setia seorang ikhwan/ murid untuk mengamalkan apa yang dianggapnya sebagai kewajiban thariqat.

Secara praktis hasil penelitian ini juga dapat memperkaya model pembelajaran Agama Islam, karena akan sangat efektif untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan bagi mahasiswa. Di samping juga bisa memperkaya


(57)

7

strategi dakwah Islam di masyarakat, terutama di masjid-masjid dan majlis ta'lim, karena model internalisasi nilai dzikir ini tidak terlalu sukar untuk diterapkan, tinggal bagaimana membuat seorang mahasiswa atau jamaah masjid dan majlis ta'lim komitmen dengan keinginan untuk senantiasa berada dalam kondisi dzikir pada Allah SWT.

C.Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diberikan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepada Pemerintah, direkomendasikan agar mengembangkan model-model internalisasi nilai dzikir. Karena penerapan model internalisasi nilai dzikir dapat mendorong tercapainya tujuan Pendidikan Nasional, yakni untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2. Kepada Prodi Pendidikan Umum/Nilai SPS UPI, direkomendasikan untuk terus memperkaya khazanah model Pendidikan Nilai, melalui arahan dan motivasi kepada para mahasiswa agar dalam penulisan tesis atau disertasi, mereka juga menggali model-model dari kalangan thariqat / tasawwuf.

3. Kepada rekan-rekan dosen Pendidikan Agama Islam, para Kyai, Ustadz, dan Muballigh direkomendasikan agar model internalisasi nilai dzikir ini dapat dijadikan masukan dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan umat.


(58)

8

Kepada Peneliti, direkomendasikan agar dilakukan penelitian-penelitian lanjutan, mengingat sangat dibutuhkan adanya verifikasi, pengembangan model yang sudah ada. Di samping juga perlu pula menggali model-model internalisasi nilai dzikir dari thariqat yang lain.


(1)

Kepada Peneliti, direkomendasikan agar dilakukan penelitian-penelitian lanjutan, mengingat sangat dibutuhkan adanya verifikasi, pengembangan model yang sudah ada. Di samping juga perlu pula menggali model-model internalisasi nilai dzikir dari thariqat yang lain.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. (1985). Sufi dari zaman ke zaman (terjemahan). Bandung. Pustaka.

A. Atmadi dan Setyaningsih (Ed.). (2000). Transformasi Pendidikan Memasuki Millenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

A. Hanafi. (1976). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Abdurrahmansyah. (2004). Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi, dan Tantangan Pendidikan Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Achmadi. (2005). Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alberty HB & Alberty. (1965). Recognizing the High School Curiculum Third Edition. New York: The Macmillan Company.

Al-Bakri, Sayyid. Tt.I'anah Thalibin. Mesir. Dar al-Maarif.

Al-Haddad, Habib Alwi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah bin Alwi. (2009). Mutiara Zikir dan Do'a. Bandung. Pustaka Hidayah.

Ali, Yunasril. (2005). Pilar-pilar Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia.

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. (1979). Falsafat Tarbiyyah al-Islâmiyyah, (Terj. Hasan Langgulung: Falsafah Pendidikan Islam), Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Uwaisi, Syekh Fakhruddin Ahmad dan Syekh Soleh Muhammad Basalamah. (2009). Syekh Ahmad At-Tijani Keturunan Rasulullah yang mirip Rasulullah saw. Brebes. Pondok Pesantren Darussalam.

Alwasilah, Chaedar. (2009). Pokoknya Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.

An-Nahlawi, Abdurrahman. (1989). Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam. Bandung. Diponegoro.

An_Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf. (1986). Riadhus Shalihin. Bandung. Al-Ma'arif.


(3)

Arifin, Shohibulwafa Tajul. (1970). Miftahus Shudur. Tasikmalaya. Pondok Pesantren Suryalaya.

Asyafah, Abas. (2010). Pengembangan Metode Tadabur Qurani dalam Pembelajaran Agama Islam untuk Meningkatkan Keimanan. Disertasi. SPS UPI.

At-Tijani, Assayid Muhammad Al-Kabir Al-Hasani. Alih bahasa Syekh Sholeh Basalamah. (2010). Thoriqoh Tijaniyah adalah Perahu Keselamatan. Brebes. Ponpes. Darussalam.

At-Tijani, Mustholih Nur. (2009). Majmu'atul Mawalid. Surabaya. Darul Ulum Al-Islamiyah.

Azra, Azyumardi. (2008). Ensiklopedi Tasawuf Jilid I,II,III. Bandung: Angkasa.

--- (2000). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.

Aziz, Abdul. (2009). Istiqamah, Kunci sukses Dunia Akhirat. Surabaya. Alfalah. Basalamah, Syekh Sholeh. (2006). Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan

Sunnah. Jakarta: Kalam Pustaka.

Badruzzaman, Ikyan. (2007). Syekh Ahmad Al-Tijani dan Thariqat Tijaniyah di Indonesia. Garut: Zawiyah Thariqat Tijaniyah.

B. Hurlock, Elizabeth, (1974), Personality Development, USA : McGraw-Hill. Bertens K. (1994). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Buseri, Kamrani. (2003). Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah: Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.

Basri, Hasan. (2004). Minuman Cinta Menyelami Esensi Ajaran Tasawuf. Jakarta: Paramarta.

Depag RI, (1982), Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta.

Djahiri, Kosasih A. (2004). Pendidikan Nilai Moral Humaniora. Bandung: PPS UPI.

--- (1996). Menelusuri Dunia Afektif. Pendidikan Nilai Moral. Edisi Pembaharuan. Seri Pendidikan Nilai. Bandung. IKIP/UPI.


(4)

--- (1985). Strategi Pembelajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Ganes dalam VCT(1985:15), Bandung IKIP/UPI.

El Sulthani, Mawardi Labay. (1997). Dzikir dan Do'a dalam kesibukan. Jakarta. Pesantren Modern Al Iman Yayasan Al-Mawardi.

Fathullah, A. Fauzan Adhiman. (2007). Thariqat Tijaniyah Mengemban Amanat Rahmatan lil Alamin. Kalimantan Selatan: Yayasan Al-Anshari.

Frondizi, Risieri. (2007). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Furchan, Arief, 2005, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Gazalba, Sidi. (1981). Sistematika Filsafat: Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, dan Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang.

Harris, CW. (1960). Encyclopedia of Educational Research. New York: The Mac Millan Company.

Hall, Calvin S & Gardner Lindzey.(1993). Teori-teori Holistik (Ed. Supratiknya), Yogyakarta:Penerbit Kanisius.

Hakam, Kama, (2008). Pendidikan Nilai. Bandung. Value Press.

Harazim, Ali. (tt.). Jawahir Ma'ani wa Bulug Ma'ani. Mesir. Mustafa al-Babi al-Halabi.

Henry, N.B. (1952). The Fifty - First Yearbook of the National Society of Education The Study Of Educational: Part 1. Genera Education. Chicago: The University of Chicago Press.

Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. (2001). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:

Pustaka.

Isa, Syeikh Abdul Qadir. (2010). Hakekat Tasawuf. Jakarta. Qisthi Press.

Jalal, Abdul Fattah. (1988). Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung. Diponegoro. Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. (2007). Tasawuf dan Ihsan. Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta.

Kaplan, Abraham. (1964). The Conduct of Incuiry: Methodology for Behavioral Science.Scranton: An ntex Publisher.


(5)

Krathwohl, DR, Bloom, BS et al. (1971). Taxonomy of Educational Objectives , Book 2 Affective Domain. New York. David McKay Company. Inc.

Maftuh, Bunyamin. (2009). Bunga Rampai Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai. Bandung: Yasindo Multi Aspek.

Mahmud, Abdul Halim. (2002). Tasawuf di Dunia Islam. Bandung. Pustaka Setia. Margono, S. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Meleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Muhaimin. (2005). Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah. Bandung. Rosdakarya.

Muhammad, Abdul Rasul. (2007). Jangan Asal Zikir. Bandung. Pustaka Hidayah. Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung.

Alfabeta.

--- (1999). Cakrawala Pendidikan Umum. Bandung: Ikatan Mahasiswa dan Alumni Pendidikan Umum (IMA-PU) PPS IKIP Bandung. Mustansyir, Rizal dan Musnal Munir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Nasution, Harun. (1996). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.

--- (1983). Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

--- (1978). Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya. Jakarta: UI Press.

Nasution, S. (2002). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Nata, Abuddin. (2003). Akhlak Tasawuf. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Nawawi, Ismail. (2008). Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Surabaya: Karya Agung.

Pusat Bahasa Depdigbud. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.


(6)

Rosyadi, Khaeron.( 2004). Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sabiq, Sayyid. (1987). Fiqh Sunnah. Bandung. Al-Ma'arif.

Sadulloh, Uyoh. ( 2004 ). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta. Sanusi, Achmad. (2009). Spiral Dynamics, Apresiasi Sejawat dan Teman pada

Pemikiran Prof.Dr. Achmad Sanusi. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Islam Nusantara.

Sarief, Sugiri. (2009). 47 % Remaja Berhubungan Seks. Bandung. PR edisi 7 Desember 2009.

Sauri, Sofyan. (2008). Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Nilai. Bandung. Yasindo Multi Aspek.

Sofa. Struktur Sosial Budaya, Pranata Sosial Budaya dan Proses Sosial Budaya. Dalam [email protected]. 14 Desember 2007.

Sholihin, Muhammad. (2004). Tasawuf Aktual. Semarang. Pustaka Nuun.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI-Rosda Karya.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

Sumantri, E. (2003). Resume Perkuliahan Filsafat Nilai dan Moral. Bandung: Pascasarjana UPI.

Syahidin. (2001). Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum: Studi Kasus di IKIP Bandung Tahun 1966-1999, Disertasi Sarjana Pendidikan. Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah.

--- (2009). Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Quran. Bandung. Alfabeta.

Tafsir, A. (2010). Filsafat Pendidikan Islami. Bandung. Rosdakarya.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UPI. (2009). Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah.

Wijaya, Cuk Ananta. (2001). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.