Tarekat qadiriyah naosabandiyah dan peningkatan kesalehan sosial ikhwan (Studi Analitis Terhadap Ikhwan TQN di Ciomas )

(1)

TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH DAN PENINGKATAN KESALEHAN SOSIAL IKHWAN

(Studi Analitis Terhadap Ikhwan TQN di Ciomas )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam

Oleh Fakhri Mubarok NIM : 100054019996

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FDAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH DAN PENINGKATAN KESALEHAN SOSIAL IKHWAN

(Studi Analitis Terhadap Ikhwan TQN di Ciomas )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam

Oleh Fakhri Mubarok NIM : 100054019996

Di bawah bimbingan

Drs. S. Hamdani, M.A.

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FDAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan (Studi Analitis Terhadap Ikhwan TQN di Ciomas)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.

Jakarta, 21 Januari 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Murodi, M.A. Ismet Firdaus, M.Si NIP 150254102

Anggota

Penguji I Penguji II

Nurul Hidayati, M.Pd. Tan Tan Hermansyah, M.Si NIP 150277649 NIP 150282125

Pembimbing

Drs. S. Hamdani, M.A. NIP 150270813


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bogor, 23 Desember 2007


(5)

ABSTRAKSI

Fakhri Mubarok

TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH DAN PENINGKATAN KESALEHAN SOSIAL IKHWAN” (STUDI ANALITIS TERHADAP PARA IKHWAN TQN DI CIOMAS)

Kesalehan Sosial merupakan salah satu sendi penting dalam Islam. Kesalehan social merupakan aplikasi dari muamalah seseorang yang menjadi salah satu barometer bagi tingkat Kesalehan ritual seseorang. Kesalehan Sosial mempunyai cakupan yang sangat luas dalam membangun hubungan yang dinamis sesama insan. Hal inilah yang kemudian dianggap kurang maksimal dilakukan oleh perorangan dan perlu didukung oleh program-program yang terlembaga.

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) merupakan lembaga Sosial— keagamaan yang juga mempunyai andil dalam mewujudkan program kesalehan social minimal bagi kelompoknya. Dalam hal ini TQN bersinergi melakukan kedua kesalehan baik ritual maupun social demi mencapai khairu ummah yang diidamkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana TQN melakukan upaya mewujudkan program kesalehan social bagi para ikhwan sampai pada tingkat peningkatan kualitas maupun kuantitas kesalehan social mereka.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitiannya adalah ikhwan TQN di Ciomas, dan objeknya adalah peningkatan kesalehan social ikhwan. Diharapkan denga penelitian ini dapat memberikan motivasi bagi para praktisi pengembang masyarakat untuk turut mensukseskan program kesalehan social yang terlembaga.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TQN berhasil melakukan peningkatan kesalehan social dalam program-program mereka yang terinspirasi dari pembentukan kesadaran kolektif sebagai awal terwujudnya solidaritas mekanik karena program ini dimediasi oleh lembaga pesantren yang memiliki


(6)

hokum-hukum yang mengikat. Peningkatan ini didasarkan pada terpenuhinya criteria-kriteria peningkatan kesalehan social baik jumlah maupun mutu.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Segala puji penulis sanjungkan kehadirat Allah SWT, Sang Maha Perencana yang telah menganugerahkan rahmat, hidayah dan nikmat-Nya, sehingga skipsi ini dapat selesai dibuat.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sufi yang paling sufi, Rasul penutup kenabian yaitu Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan kepada seluruh ummatnya yang sepenuh hati mengikuti jejal langkah dakwah yang telah dibawanya.

Skripsi yang berjudul : “Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan” (Studi Analitis terhadap Para Ikhwan TQN di Ciomas) ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai ucapan terimakasih yang tidak terhingga atas selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghormatan dan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyusunan skripsi ini, khususnya kepada :

1. Dr. Murodi, MA. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan banyak kesempatan termasuk perpanjangan studi bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

2. Dra. Mahmudah Fitriah ZA, M.Pd. dan Wati Nilamsari, M.Si. Sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan PMI yang telah banyak memberikan bantuan bagi penyelesaian skripsi ini.

3. Drs. S. Hamdani, MA. Sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak pelajaran bagi penulis untuk berbuat yang lebih baik.

4. Para Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan materi yang berharga pada mata kuliah yang penulis ambil sehingga memenuhi jumlah SKS sebagai syarat penyusunan skripsi ini.

5. Pengurus dan staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan banyak kontribusi dalam menyediakan berbagai referensi yang mendukung penyusunan skripsi ini.

6. Pengurus dan staf Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah mengijinkan penulis untuk memperkaya keilmuan penulis dan memperoleh literatur yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu tercinta, Drs. H. Akbar dan Hj. Siti masyrifah yang tiada henti-hentinya memberikan motivasi berupa dukungan moral, do’a serta restunya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang dapat dibilang sangat terlambat ini. Juga kepada dua adik penulis (Iqbal Husen dan Abdul Aziz Masykuri), jangan ikuti kejelekan kakakmu ya.

8. Ermi Anggraini, mantan pacar yang sekarang sudah resmi berpredikat istri, yang tiada hentinya memberikan tanda sayangnya dengan terus mendesak agar penulis menyegerakan penyelesaian skripsi ini yang sudah terbengkalai sekian lama, juga kepada buah hati hasil pernikahan kami (Aqeela Zahra Falisha) yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis dalam segala hal. ‘Dede’,


(9)

setiap melihat muka dede ingin sekali cepet lulus. Doakan Abi ya. Nanti foto bersama sama Abi yang pakai baju toga.

9. Mamah dan Ayah (mertua) yang di Aceh serta saudara-saudara dari pihak istri: Hendra, Syahrul, Agam, dan Ibra. Doakan semoga Aa selesai.

10.K.H. Ali Nurdin, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Barokah Ciomas yang telah memberikan waktu dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian dan wawancara di pesantern yang beliau pimpin.

11.Para ikhwan TQN Ciomas, khususnya Ust. Fahrurrozi dan H. Khoerullah yang telah memberikan banyak motivasi dan banyak informasi bagi penulis untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.

12.Teman-teman seangkatan PMI angkatan 2000 yang telah mendahului penulis lulus dari UIN, akhirnya bisa menyusul juga. Dan teman-teman HMI-wan HMI-wati KOMFAKDA yang memberikan banyak kontribusi keilmuan bagi penulis

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan do’a, semoga segala imu yang telah di dapat selama penulis berada di bangku kuliah dapat diaktualisasikan menjadi kesalehan sosial untuk perkembangan masyarakat Islam.

Semoga Allah SWT selalu membimbing setiap niat, napas, gerak, dan langkah penulis dalam menatap kehidupan setelah lulus nanti.

Bogor, Desember 2007


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I. PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5

D. Metodologi Penelitian... 6

1. Metode Penelitian... 6

2. Subjek dan Objek Penelitian... 6

3. Lokasi Penelitian... 6

4. Subjek Penelitian... 7

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 7

6. Teknik Analisa Data... 8

7. Buku Metodologi... 9

E. Sistematika Penulisan... 9

BAB II. LANDASAN TEORI... 1

A. Tarekat... 1

1. Pengertian, Tujuan, dan Manfaat... 1

2. Tujuan... 8

3. Manfaat... 9


(11)

5. Macam-macam Tarekat... 14

6 Hubungan Tarekat dengan Kesalehan Sosial... 15

B. Kesalehan Sosial... 17

1. Pengertian Kesalehan Sosial dan Peningkatan Kesalehan Sosial... 17

2. Wilayah Kesalehan Sosial... 23

3. Indikator-indikator Kesalehan Sosial... 26

4. Potensi dan Masalah... 27

BAB III. GAMBARAN SINGKAT TAREKAT QADIRIAH NAQSABANDIYAH DI CIOMAS... 1

A. Sejarah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah... 1

B. Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas... 19

C. Program-program Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas... 22

BAB IV. ANALISA PENINGKATAN KESALEHAN SOSIAL IKWAH TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH DI CIOMAS... 1

A. Kegiatan-kegiatan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas... 1

B. Indikator Peningkatan Kesalehan Sosial... 11

C. Analisa Data... 12


(12)

A. Kesimpulan... 1

B. Saran... 3

DAFTAR PUSTAKA... 1


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam secara subtansial mengajarkan kepada manusia untuk memahami dunia, yang tidak sedikit memberikan petunjuk tentang bagaimana idealnya manusia untuk hidup dalam tuntutan zaman yang semakin berkembang.

Dalam sosiologi, dikenal adanya klasifikasi mengenai masyarakat perkotaan dan pedesaan. Masyarakat perkotaan diindikasikan antara lain dengan pola kemasyarakatan yang hedonistik, dengan jenis mata pencaharian yang heterogen, dan yang lebih terlihat adalah pola interaksi sosial yang cenderung individual yang dapat dilihat dengan pembangunan pagar rumah yang tinggi, pemeliharaan anjing sebagai penjaga rumah atau intensitas jam kerja yang hampir tidak menyempatkan waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, sehingga satu sama lain terkadang tidak saling mengenal. Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang dikenal dengan ciri-ciri antara lain bermata pencaharian yang seragam, komunikasi keluarga yang lebih terjalin baik, termasuk interaksi sosial yang terbentuk kokoh dengan dasar nilai ajaran agama (diniyah), semangat tolong menolong (ta’awuniyah), toleransi (tasammuh), maupun saling mengingatkan untuk mengerjakan yang ma’ruf

dan meninggalkan yang munkar (irsyadiyah).

Dari indikasi-indikasi di atas, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa masyarakat pedesaan lebih tendensius dengan Kesalehan Sosial yang lebih nyata terlihat dibandingkan dengan masyarakat kota.


(14)

Namun dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin otomat seperti sekarang ini, nampaknya identitas masyarakat perkotaan dan pedesaan semakin sulit untuk dikenali. Di satu sisi, masyarakat pedesaan sedikit demi sedikit beranjak meninggalkan identitasnya sebagai masyarakat yang lebih relijius dengan mengikuti pola modernisasi yang memudarkan integritas keimanan mereka. Di sisi yang lain, masyarakat perkotaan merasa jenuh dengan ketertekanan akibat aktivitas yang padat yang membuat mereka miskin akan pencerahan agama sehingga kebutuhan akan jalan spiritual merupakan jalan keluar setelah hal itu sempat gagal menyokong aspirasi masyarakat perkotaan yang umumnya terpelajar dan lebih rasional.

Dalam kehidupan masyarakat yang semakin beragam tersebut tentunya paradigma ‘khairu ummah’ masih menjadi cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Bukan berarti tidak ada usaha untuk menuju cita-cita tersebut, akan tetapi masyarakat Islam perkotaan maupun pedesaan yang selalu berusaha istiqamah dalam memberikan kontribusi positif bagi perkembangan agama atau setidaknya tetap melaksanakan ibadah dan muamalah mereka sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al-Quran dan sunnah mulai kehilangan orientasi keagamaan mereka.1

Masyarakat Kecamatan Ciomas merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang dahulu masih mempunyai indikator-indikator untuk dikatakan sebagai masyarakat pedesaan seperti mata pencaharian yang seragam yaitu pertanian, hubungan kekerabatan dan kemasyarakatan yang kental serta makmurnya pengembangan keagamaan di mesjid-mesjid atau majlis taklim. Namun kurang dari 20 tahun, pergeseran nilai mulai terlihat dengan berubahnya hampir seluruh wilayah pertanian menjadi perumahan, rumah toko (ruko), serta pembangunan lain untuk mendukung modernisasi.

1

Yusuf Al-Qardhawy. Anatomi Masyarakat Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000). h. xi


(15)

Padahal masyarakat Ciomas masih mempunyai hak untuk membentuk kesadaran kolektif dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum dalam upaya pencapaian doktrin “khoiru ummah” tersebut2, atau minimal tetap mempertahankan kesalehan ritual dan Kesalehan Sosial yang selama ini tertanam di hati masyarakat.

Pemikiran keagamaan masyarakat yang seperti itu tidak instan terjadi dalam masyarakat. “Peranan elite agama maupun lembaga sosial keagamaan dipandang perlu dijadikan ujung tombak bagi pembentukan benteng akidah, akhlak, dan moral masyarakat di zaman modern seperti sekarang ini.”3

Salah satu hal yang unik dalam masyarakat Kecamatan Ciomas yang beranjak modern tersebut adalah terdapatnya ritual tarekat di beberapa mesjid dan sebuah Pondok Pesantren, yang terletak tepat di pinggir jalan utama Ciomas sebagai gerbang modernisasi dalam hal transportasi. Tarekat yang dimaksud adalah Terkat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN), salah satu tarekat terbesar di Indonesia yang mempunyai perwakilan di daerah Bogor yang dikembangkan oleh Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Di mesjid-mesjid dan Pondok Pesantren tersebut saat ini setiap ba’da Maghrib, para pengikut tarekat sekitar sudah terbiasa melakukan ritual dzikir khas TQN, padahal mesjid-mesjid dan pesantren tersebut di samping terletak di daerah yang modern, bahkan mesjid-mesjid tersebut juga bukan mesjid milik TQN.

Tarekat menjadi fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. “Munculnya minat yang lebih tinggi terhadap jalan spiritual pada abad ke-21 ini merupakan tanda bahwa tarekat telah menjadi salah satu pilihan

2

Ibid, hlm xiv

3

Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok Elite; Peranan elit-penentu dalam masyarakat modern (Jakarta: RaJawali Pers, 2000). h. 96-104


(16)

ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensinya di tengah dinamika kehidupan modern.”4 Tidak sedikit para selebriti, politisi, teknokrat, dan pengusaha yang menjadikan tarekat sebagai penyeimbang aktifitas mereka di perkotaan. Mereka berharap tarekat dapat memberikan ketenangan batin agar mereka tidak terlalu jauh melenceng dari aturan agama.

Secara garis besar, “tarekat mengajarkan kelembutan spiritual melalui peningkatan kesalehan ritual, khususnya dzikir baik secara profan maupun sakral, sehingga jamaahnya dapat lebih mengendalikan hati agar terus terikat dengan Allah.”5 Permasalahnnya, apakah keberadaan TQN itu berdampak banyak bukan hanya terhadap peningkatan kesalehan ritual melainkan juga pada peningkatan Kesalehan Sosial masyarakat, khususnya para ikhwan ?.

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mengambil judul skripsi : “Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan

(Studi Analitis terhadap Para Anggota TQN Ciomas)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk memberikan gambaran terarah tentang penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu membuat batasan dan perumusan masalah. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah peningkatan Kesalehan Sosial yang mungkin terjadi pada setelah anggota masyarakat secara resmi

4

Anto Dwiastoro, “Spiritualitas Perkotaan,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.duniaesai.com/

5

Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 63-64


(17)

menjadi ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Peningkatan sosial para ikhwan tersebut yang merupakan respon dari keberadaan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kecamatan Ciomas itu sendiri.

2. Perumusan Masalah

Sedangkan rumusan masalahnya adalah :

a. Apa saja kegiatan yang terdapat pada Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Ciomas dalam peningkatan Kesalehan Sosial

Ikhwan ?

b. Bagaimana dampak keberadaan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Ciomas dalam meningkatkan Kesalehan Sosial Ikhwan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana dampak keberadaan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah terhadap peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan.

2. Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan apa saja yang terdapat pada Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dalam upaya peningkatan Kesalehan Sosial

Ikhwan.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Manfaat Akademis

Untuk memperkaya khasanah keilmuan khususnya di Fakultas Dakwah dan Komunikasi tentang pengembangan masyarakat Islam melalui Lembaga sosial—keagamaan.


(18)

2. Manfaat Praktis

Untuk memberikan kesempatan bagi praktisi pengembang masyarakat dalam mengoptimalkan peran lembaga sosial—keagamaan dalam mengembangkan masyarakat.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan didukung oleh penelitian deskriptif-analitis, yaitu suatu tipe penelitian yang menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta sifat-sifat serta berusaha melukiskan realitas sosial yang kompleks melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-konsep yang dapat menjelaskan suatu gejala sosial secara analitis.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah para ikhwan

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kecamatan Ciomas, sedangkan objek penelitiannya adalah peningkatan Kesalehan Sosial ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kecamatan Ciomas.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Ciomas dan disentralkan di Pondok Pesantren Al-Barokah yang terletak di Jl. Raya Cikoneng No.33


(19)

Kelurahan Pagelaran Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Waktu penelitian ini adalah sejak tanggal 1-11 Desember 2007 mulai dari pengamatan sampai terkumpulnya data yang dibutuhkan. Adapun alasan pemilihan tempat tersebut karena didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut : (a) di sanalah penulis menemukan permasalahan yang akhirnya menjadi judul skripsi ini, dan (b) lokasi tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penulis.

4. Subjek Penelitian

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka yang menjadi subjek penelitian ini adalah seluruh ikhwan Terkat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kecamatan Ciomas yang jumlahnya kurang dari 100 orang.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Observasi”. Teknik observasi digunakan untuk mendapatkan data objektif tentang segala hal yang berhubungan dengan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kecamatan Ciomas seperti proses ritual, kegiatan, keadaan para ikhwan, dan lain-lain.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Catatan Lapangan

Catatan Lapangan adalah data yang didapat melalui coretan seperlunya, singkat, dan dapat berisi segala pengamatan penelitian baik gambar, pembicaraan, dan lain-lain.


(20)

b. Wawancara mendalam (depth interview)

Wawancara merupakan suatu alat untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung pada responden. Cara yang digunakan adalah mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan kepada responden.

c. Dokumentasi

Yaitu mengumpulkan literatur-literatur dan data-data yang berhubungan dengan masalah, dengan melihat dokumen-dokumen yang ada pada suatu lembaga. Dalam hal ini peneliti akan melihat dokumen-dokumen TQN yaitu :

1) Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari responden ataupun informan dan situasi-situasi sosial melalui metode dan cara yang telah dijelaskan di atas.

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah dan catatan-catatan atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian maupun instansi yang terkait lainnya.

6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data dilakukan dengan menggambarkan data yang diperoleh secara kualitatif untuk memberikan makna pada data dan menjelaskan pola atau kategori yang dibuat berdasarkan temuan lapangan, yang selanjutnya dicari hubungan antar kata kunci atas temuan lapangan


(21)

untuk kemudian dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dalam penelitian ini.

7. Buku Metodologi

Buku Metodologi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi)” yang dikarang oleh Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., yang diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya Bandung tahun 2004.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori, berisi tentang pengertian tarekat, sejarah perkembangan tarekat, pengertian Kesalehan Sosial, wilayah Kesalehan Sosial, indikator Kesalehan Sosial, Potensi dan Masalah.

BAB III : Gambaran Singkat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas, berisi tentang sejarah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas, Program-program Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas.

BAB IV : Analisa Peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Ciomas, berisi tentang Kegiatan-kegiatan


(22)

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Kec. Ciomas, indikator peningkatan Kesalehan Sosial, dan analisa data.


(23)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tarekat

1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat

Tarekat berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “tharaqa”.6 Setelah di-masdar-kan, kata dasar “tharaqa” dapat diartikan dalam beberapa kondisi yaitu :

1. Memukul atau mengetuk

2. Meminum air yang kotor (yang biasa dipakai minum unta) 3. Beban

4. Menjadikan sesuatu menjadi jalan alternatif (yang tidak umum) 5. Berpakaian

6. Kawin.7

Apabila dilihat dari beberapa kemungkinan di atas, nampaknya yang dimaksud dengan tarekat sebagai bahasan skripsi ini adalah kemungkinan keempat yaitu menjadikan sesuatu menjadi jalan alternatif yang tidak umum digunakan seseorang untuk menuju sesuatu yang dalam hal ini tujuannya adalah taqarrub kepada Allah.

Namun apabila tarekat dipandang sebagai suatu terminologi, maka tarekat berasal dari bahasa Arab “thariqah”, jamaknya “tharaiq”, yang dapat diartikan dalam beberapa kondisi yaitu :

6

Louis Ma’luf, Munjid (PT Mutiara, 1977), cet.22, h.464

7


(24)

1. Jalan atau petunjuk jalan atau cara 2. Metode, sistem (al-uslub)

3. Mazhab, aliran, haluan (al-mazhab) 4. Keadaan (al-halah)

5. Tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).8

Dilihat dari berbagai kemungkinan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya disadari atau tidak, setiap orang pasti ber-tarekat. Yang membedakan hanyalah apakah tarekat yang dijadikan sebagai metode dalam pencapaian tujuannya terlembaga atau tidak.

Istilah tarekat yang diambil sebagai bagian dari bahasan skripsi ini adalah cabang dari ilmu tasawuf yang setidaknya mempunyai dua pengertian, pertama berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Allah. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti Pondok Pesantren Suryalaya sebagai basis Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.

Kalimah tarekat tercantum dalam beberapa ayat suci Al-Quran yaitu sebagai berikut :

a. Q.S. Thaha : 63

!

"

#

$

%"&'(

) *

+,-.&

0

1

3

8

Webmaster “Tarekat,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.id.wikipedia.org/


(25)

) *&4

5

5

5

5

6

789: ;<.#

=&

Artinya : Mereka berkata "Sesungguhnya dua orang Ini adalah

benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.

b. Q.S. Thaha : 104

<"# >?

)9@ A

.

6

B

#C

D B

,)<EF@ ;#(

G

G

G

G

 J#K

LM

NO

P(,

=+Q

Artinya : Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika Berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: "Kamu tidak berdiam (di dunia), melainkan hanyalah sehari saja".

c. Q.S. Al-mu’minuun : 17

3

SP# 9@

T

 *

,

U

V,1

W

X

X

X

X

Y

Y

YZ

Y

Z

Z

Z

(3

[\ !

=" 

XU@

#]

^X

&_

`

=+a

Artinya : Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit); dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).

d. Q.S. Al-Jin : 11

bc

3

[\&(

<

@ de

[\&(3

<f

1&

C

[\ !

X

X

X

X

Y

Y

YZ

Y

Z

Z

Z

Pf

&

=++

Artinya : Dan Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.


(26)

M

3

<.

JW

89: 

&G

G

G

G

M

M5

M

M

5

5

5

)<E SP#

Wgh

i Z

[(

j

`

=+&

Artinya : Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).

Beberapa ahli berpendapat mengenai definisi tarekat berdasarkan tinjauan masing-masing antara lain :

a. Jamil Shaliba

“Secara harfiah tarekat berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.”9

b. Mustafa Zahri

“Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in dan tabi’in tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini.”10

c. Harun Nasution

“Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sesekat mungkin dengan Tuhan.”11

d. Hamka

“Diantara makhluk dan Khalik itu ada perjalanan hidup yang harus ditempuh. Inilah yang kita katakan tarekat.”12

e. Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M)

9

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 269

10

ibid, h. 270

11 ibid

12 ibid


(27)

“Tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.”13

Sebagai salah satu perpanjangan dari tasawuf, tarekat tentunya memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri yang jelas terlihat adalah adanya transmisi rohaniah guru tarekat kepada guru yang lebih muda yang biasanya dikenal dengan sebutan "silsilah tarekat". Silsilah ini merupakan sistem hirarki yang memperkokoh kedudukan guru tarekat yang disebut "mursyid" yaitu orang yang mendapat amanat untuk membimbing murid-murid dalam mendekatkan diri kepada Allah, setelah mendapat ijazah atau "hirqah shufiyah".

Ciri lainnya adalah lembaga formal yang menaungi aktifitas tarekat yang dikenal dengan beberapa istilah seperti Ribath, Zawiyah, Khanaqah, atau Taqiyah Melalui lembaga inilah amaliah-amaliah ketarekatan serta sombol-simbol tarekat dapat menjadi sebuah identitas yang mampu membedakan antara tarekat satu dengan tarekat lainnya.14

Selain ciri-ciri di atas, terdapat beberapa ciri umum yang biasanya terdapat dalam tarekat antara lain :

1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.15

Dalam tarekat, dikenal Empat Tingkatan Spiritual Umum yaitu syariat, thariqah atau tarekat, hakikat dan ma'rifat.16 Dalam arti bahwa segala hal yang dipelajari dalam tarekat tidak lepas dari bingkai

13

“Tarekat,” http://www.id.wikipedia.org/

14

Nata, Akhlak Tasawuf, h. 271

15

ibid, h. 271-272

16


(28)

pengetahuan agama yang selama ini disyariatkan melalui Rasulullah. Pengamalan itulah yang terkadang berbeda dalam cara dan metodenya. Cara pengamalan itulah yang dikenal dengan istilah tarekat. Hakikat dikenal dengan kebenaran atau realitas Tuhan yang tertinggi yang merupakan esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut dan

ma’rifat sebagai main goal atau tujuan utama yaitu mengenal lebih jauh akan Allah SWT.

2. Mengamati dan memaksimalkan jejak guru17

Peran seorang Mursyid merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa seorang ikhwan hanya akan meraih kegagalan spiritual apabila tidak dibimbing oleh mursyid. Kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul akibat tidak adanya bimbingan mursyid bisa saja muncul karena jebakan-jebakan jalan sufi akan terus bermunculan dan bertambah banyak. Hal utama yang paling dikhawatirkan adalah apabila seorang ikhwan tidak dibimbing oleh

mursyid dalam mendalami dunia tarekat, maka dia tidak dapat membedakan tanda-tanda yang datang dari Allah, malaikat, syetan, atau jin. Tentunya tidak sembarang guru dapat disebut mursyid, karena untuk mencapai maqomat dalam tarekat yang dibutuhkan adalah

mursyid yang kamil mukammil. Karena itulah seharusnya pengikut

17


(29)

tarekat mengikuti dan mengoptimalkan apa yang telah diajarkan oleh para mursyid agar meminimalisir kekhawatiran-kekhawatiran tersebut.

3. Tidak mencari keringanan dalam beramal18

Islam adalah agama yang ringan dan mengenal keringanan (rukhshah), namun bukan berarti umat Islam dapat begitu saja memilih amalan-amalan yang dianggap ringan saja tanpa mengerjakan hal-hal yang dianggap berat padahal wajib dilaksanakan. Begitu juga dalam tarekat. Ritual-ritual tarekat seperti dzikir dan amaliah sehari-hari juga sepatutnya dilaksanakan tanpa memilih mana yang ringan dan mana yang berat sehingga apabila kita melaksanakan semua ritual, maka tujuan yang ingin dicapai akan lebih maksimal didapatkan.

4. Efektif dan efisien dalam wirid dan doa.19

Program-program amaliah harian, bulanan, atau insidental dalam tarekat merupakan target yang harus dipenuhi oleh para ikhwan jika tidak ingin dianggap rugi karena telah menyia-nyiakan kesempatan. Target-target yang terprogram itulah yang dianggap sebagai pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi. Pencapaian maqomat itu tentu saja tidak instan terjadi tanpa usaha, sehingga diperlukan amaliah-amaliah yang berkesinambungan sehingga target-target yang ingin dicapai menjadi efektif dan efisien.

18 ibid

19 ibid


(30)

5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.20

Imam Ghazali pernah menanyakan tentang “hal apa yang paling besar di dunia ini ?” Para muridnya ada yang menjawab “bumi, bulan, dan matahari”. Imam Ghazali pun membenarkan jawaban mereka, namun menurutnya ada hal yang lebih besar dari yang mereka sebutkan itu yaitu hawa nafsu, karena dengan hawa nafsu manusia akan bertindak di luar batas norma sosial. Nafsu tentu saja tidak perlu dibunuh karena nafsu hanya cukup dikendalikan agar tidak mendominasi perilaku. Dalam tarekat pun pengekangan hawa nafsu menjadi ciri khas karena ilmu tasawuf mengajarkan zuhud (asketisme), itsar (mementingkan kepentingan umum), serta amaliah pengekang hawa nafsu lainnya dengan harapan segala efektifitas dan efisienitas amaliah tarekat tetap terjaga.

2. Tujuan

Dari pengertian tarekat di atas, maka dapat kita tarik beberapa tujuan tarekat antara lain :

a) Sebagai interpretasi Islam secara transformatif. Maksudnya adalah memperkaya bentuk-bentuk pengembangan keIslaman dengan metode yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini penting dilakukan agar Islam dapat lebih diterima walaupun melalui interpretasi yang berbeda

20 ibid


(31)

mengenai metode pelaksanaan ibadahnya, asalkan tidak keluar dari jalur-jalur yang telah ditetapkan agama.

b) Sebagai penyerahan diri secara langsung kepada Allah melalui amalan batin. Maksudnya adalah “mistisme tasawuf”21 sebagai bagian yang integral dalam tarekat menjadikan sesuatu yang kasat mata mengenai kemungkinan melakukan pendekatan yang lebih mendalam kepada Allah yang selama ini hanya dilakukan melalui ibadah-ibadah yang secara jelas terlihat, sebenarnya dapat didukung dengan amalan-amalan batin yang salah satu caranya adalah dengan mengikuti ajaran-ajaran tarekat.

3. Manfaat

Keinginan masyarakat mengikuti tarekat tentunya tidak akan dilakukan apabila tarekat tidak memberi manfaat bagi kehidupan mereka. Dari paparan-paparan mengenai tarekat di atas, setidaknya terdapat beberapa manfaat tarekat bagi kehidupan pengikutnya antara lain yaitu : a) Pemenuhan jalan spiritual sebagai konsekuensi penderitaan psikis

masyarakat yang tertekan, baik karena beban kerja yang berat, krisis ekonomi atau masalah mental yang lain seperti trauma akan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sempat terjadi pada awal perkembangan TQN di Jawa Barat.

21

Mistisme Tasawuf adalah konsep Rabi’ah Adawiyah dalam mengkonversi konsep asketisme (zuhud) yang dianut oleh banyak sufi menjadi mistis. Maksudnya adalah, menurut beliau tasawuf tidak hanya dapat dijalankan sebatas amaliah seperti zuhud dan itsar saja, tetapi juga harus melalui pendekatan alur mistis atau metafisik.


(32)

b) Menentramkan hati. Hal ini dapat terjadi dengan mengikuti tarekat yang medianya mayoritas didominasi oleh dzikir, dan Allah menjanjikan dalam Al-Quran bahwa dzikir dapat menentramkan hati. c) Membentuk persaudaraan sufi (sufi brotherhood). Manfaatnya

beragam, karena tergabung dalam satu kelompok, bisa saja ide-ide besar tercetus untuk mengembangkan TQN atau Islam pada umumnya secara sosial.

4. Sejarah Perkembangan Tarekat

Tarekat mempunyai sejarah yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Konsep pembebasan keraguan dan keputusasaan yang ditawarkan tasawuf cukup berhasil menarik minat kaum muslim yang terkenal mempunyai kecenderungan zuhud.22

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW, tokoh yang dikenal sebagai sufi yang paling sufi. Dengan gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan, Nabi Muhammad SAW berhasil menyandingkan perilaku zuhud dengan tugasnya sebagai Rasul yang akhlaknya tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian Al-Quran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan awal cita-cita pergerakan tasawuf dalam Islam.

Sepeninggalnya Rasul, Khulafaurrasyidin, dan para tabi’in, sedikit demi sedikit sifat zuhud kaum muslim mulai terkikis dan mulai berubah menjadi budaya yang mementingkan keduniaan. Bentuk perilaku seperti ini umumnya dilakukan oleh orang-orang kaya yang hidup dengan

22


(33)

berfoya-foya dan berpotensi melakukan berbagai kemaksiatan karena harta yang melimpah ruah mereka tersebut. “Hal itulah yang kemudian membuat Hasan Basri, Sufyan Tsauri, Ibrahim ibn Adham, Rabi’ah Adawiyah, Syaqiq Balkhi beserta zahid lainnya kecewa dengan degradasi akhlak masyarakat aghniya. Pada abad ke-2 H, mereka merubah ke-zuhud -an menjadi gerak-an y-ang saat ini dikenal deng-an tasawuf.”23

Adalah Rabi’ah Adawiyah yang kemudian memperkenalkan konsep mahabbah yang berhasil memunculkan revolusi ketekunan para zahid pada taraf yang lebih ‘abid, zuhud, tawakkul, serta

mujahadah dengan berakhir pada ma’rifah Allah dimana pintu hijab antara makhluk dan Sang Khalik melalui mata batin terbuka lebar. Konsep mahabbah Rabi’ah Adawiyah itu yang pada abad ke-3 Hijriyah membuat tasawuf dikonversi oleh para zahid dari asketisme (zuhud) menjadi mistisme.24

Dalam pandangan keilmuan tasawuf, konsep ma’rifah ibarat dua sisi mata uang. Pada sisi yang begitu positif, konsep ma’rifah menjadikan tasawuf menjadi sebuah sumbangan berharga bagi khazanah Islam.

Konsep ma’rifah dijadikan salah satu kriteria bagi kenaikan tingkat seorang sufi apakah mereka hanya sebatas zahid atau telah dipromosikan pada tingkat yang lebih tinggi seperti arif-shufi-waly.25

Namun di sisi lain, konsep ma’rifah menjadi begitu subjektif karena mistisme tasawuf harus dipandang dengan kacamata tasawuf dan tidak dapat dibuktikan melalui metodologi keilmuan modern. Subjektifitas individu para sufi inilah yang kemudian membuat tasawuf menjadi rawan akan penyimpangan akidah. Hal inilah yang akhirnya dipertentangkan oleh fuqaha dan mutakallimin (ahl al-zawahir) disatu sisi melawan pandangan para sufi (ahl al-bawathin). 26

23

ibid, h. 63-64

24

ibid, h. 64

25 ibid

26 ibid


(34)

Pandangan-pandangan mereka yang terlihat jelas perbedaannya setidaknya dapat dilihat pada beberapa hal yaitu :

1. Ahl al-zawahir menonjolkan pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syiar-syiar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahl al-bawathin menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.

2. Adanya teori-teori ahl al-bawathin yang menggusarkan para Ahl al-zawahir, misalnya teori al-fana fi ‘l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi’ah al-‘Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminterminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri, atau bahkan statemen “ana al-haqq” yang diucapkan oleh al-Hallaj. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para Ahl al-zawahir.

3. Sebagian ahl al-bawathin tidak merasa terikat dengan syiar-syiar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syariah.

4. Ahl al-bawathin mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).


(35)

Banyak sufi yang sebenarnya setuju bahwa konsep ma’rifah

ternyata potensial untuk disamarkan oleh para pseudo-sufi yang menjadikan tasawuf susah dikendalikan dan diortodoksikan kembali, sampai akhirnya sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali melalui karya besarnya Ihya ‘Ulumuddin berhasil memadukan pandangan ulama syariah dan kalam dengan pandangan para sufi yang konsensusnya adalah diterimanya tasawuf di kalangan ulama.27

Hasil yang cukup menggembirakan ini membawa tasawuf ke dalam perkembangan baru, bahkan pada abad ke-5 Hijriyah disinyalir menjadi titik awal “booming” tasawuf yang mendominasi aktifitas masyarakat muslim di dunia.

Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarekat itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghana dan Jawa. Tidak hanya satu, ratusan bahkan ribuan tarekat tersebar di dunia Islam. Di Mesir dikenal Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Sayid Ahmad al-Rifa’i (w. 1182). Tarekat Syadziliyah yang didirikan Abu Madyan Shuhaib (w. 1258) di Maroko dan Tunisia serta dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Belum lagi tarekat Mauliyah-nya penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M) yang menggunakan media alat musik sebagai sarana dzikir.28

Di Indonesia, tasawuf atau tarekat diperkirakan mengalami perkembangan pada abad ke-16 Masehi. Hal itu ditandai dengan ditemukannya bukti-bukti karya tulis berbentuk manuskrip, primbon,

27

ibid, h. 64-65

28

Ali Yafie, “Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.almanaar.wordpress.com/


(36)

maupun naskah dalam bahasa Jawa dan Sumatera. Temuan ini juga memperlihatkan adanya pertentangan dua kubu di atas.29

Namun dari semua temuan yang sekarang disimpan di bibliotek Leiden Belanda dan perpustakaan Ferrara Italia tersebut disimpulkan oleh Steenbrink bahwa tasawuf pertama yang berkembang di Jawa adalah kolaborasi yang dibawa Al-Ghazali yang mementingkan pelaksanaan syariah dibandingkan konsep milik Ibnu ‘Arabi tentang wihdat al-wujud.30

Tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Sanusiyah, termasuk Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN).

5. Macam-Macam tarekat

Dari sejarah perkembangan tarekat yang telah dibahas sebelumnya, dapat dilihat bahwa meskipun Al-Ghazali berhasil mengislahkan pendangan dua kubu, namun tetap saja benih-benih perseteruan antar keduanya berkembang tanpa dapat dimonitor. Dari permasalahan itulah akhirnya timbul upaya seleksi agar pergerakan tarekat dapat dikontrol. Hasil seleksi itu adalah pengklasifikasian tarekat ke dalam dua bagian yaitu mu’tabarah (sah) dan ghairu mu’tabarah (tidak sah).

Tentunya untuk mencapai predikat mu’tabarah bagi sebuah tarekat harus memiliki beberapa kriteria. Setidaknya ada dua kriteria utama bagi sebuah tarekat untuk mencapai predikat mu’tabarah tersebut yaitu :

29

Bakhtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, h. 66-67

30 ibid


(37)

a) Ajaran-ajaran tarekat tersebut harus sesuai syariat yang digariskan Al-Quran dan Sunnah. Hal ini penting karena hanya dengan dikembalikan pada Al-Quran dan Sunnahlah ajaran-ajaran sebuah tarekat bisa dikatakan menyimpang atau tidak dari ajaran Islam.

b) Wirid yang diamalkan adalah warisan yang tidak terputus mulai dari nabi Muhammad SAW dan seterusnya sampai mursyid terakhir tarekat tersebut. Hal ini dapat dijadikan sebuah indikasi bahwa wirid yang diamalkan tarekat tersebut benar-benar terbukti pada garis ajaran dan sanad ke-mursyid-an yang benar.31

Dari kriteria-kriteria di ataslah beberapa tarekat melakukan terobosan dengan menjalin koordinasi dalam sebuah wadah organisasi. Maka sejak tahun 1950-an dibentuklah suatu organisasi yang memayungi predikat mu’tabarah tarekat-tarekat itu yang dikenal dengan nama

Jam’iyah Ahlal-Thariqah al-Mu’tabarah.32

Tidak sebatas organisasi itu, bahkan di Mesir, pembinaan dan koordinasi antar tarekat dilakukan di bawah bimbingan Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi), agar hak-hak para pengikut tarekat untuk dilindungi dan mengembangkan potensi dapat tetap berjalan secara tertib.33

6. Hubungan Tarekat dengan Kesalehan Sosial

31

Turmudi, Perselingkuhan Kiai, h. 65

32

“Pengertian Tasawuf”, artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www. suryalaya.org/

33 ibid


(38)

Setiap ibadah, baik mahdhah maupun ghair mahdhah seharusnya pasti berimplikasi sosial bagi para pelakunya. Implikasi sosial tersebut dapat dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran. Misalnya dalam ibadah shalat, maka Al-Quran menggariskan bahwa shalat dapat mencegah keji dan munkar, maka dapat disimpukan bahwa ketika ada seseorang yang terlihat sangat rajin shalat namun tidak berhasil mewujudkan implikasi sosial shalat berupa pencegahan terhadap hal-hal yang keji dan munkar, kemungkinan besar ada sesuatu yang salah dalam shalatnya.

Contoh lain misalnya menunaikan ibadah haji yang mempunyai implikasi sosial dengan gelar haji mabrur, dalam arti orang yang telah berhaji seharusnya akan menimbulkan perubahan yang signifikan dalam intensitas ritual maupun perbaikan interaksi sosial dengan masyarakat. Apabila ternyata yang terjadi malah sebaliknya, yaitu orang yang haji tersebut malah cenderung sombong dengan gelar hajinya, dan interaksi dengan masyarakat terganggu, maka kemungkinan ada yang salah dalam hajinya.

Ibadah-ibadah yang langsung berhubungan dengan ekonomi seperti zakat, infak, shadaqah, wakaf, warisan, atau hadiah tentu mempunyai implikasi sosial yang langsung terlihat membantu sesama dengan cara meningkatkan potensi harta bagi yang diberi.

Puasa juga mempunyai implikasi sosial yang sangat kental. Batasan-batasan yang diberlakukan bagi orang yang berpuasa seperti pengurangan sampai penghilangan pahala puasa apabila orang yang berpuasa melanggar beberapa perilaku seperti membicarakan orang lain,


(39)

marah, atau berbohong menjadikan orang-orang yang berpuasa lebih menghargai orang lain.

Sama halnya dengan ibadah-ibadah di atas, tarekat yang merupakan jalan alternatif bagi sebagian orang untuk beribadah dengan khas masing-masing yang tentunya lebih dominan berbentuk dzikir dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT juga mempunyai implikasi sosial.

Ada dua hal yang perlu dilihat dalam mencari hubungan antara tarekat dengan Kesalehan Sosial. Pertama, tarekat yang dipandang dari segi ritualnya. Kedua, tarekat dipandang sebagai tasawuf yang melembaga atau tarekat dipandang dari segi organisasi.

Pandangan pertama mengenai tarekat yang dipandang dari segi ritualnya dalam hal ini berbentuk dzikir mempunyai gambaran jelas yang telah digariskan Al-Quran.

B. Kesalehan Sosial

1. Pengertian Kesalehan Sosial dan Peningkatan Kesalehan Sosial

Istilah “Kesalehan Sosial” berasal dari dua kata yaitu “kesalehan” dan “sosial”. Sebelum mendapatkan awalan dan akhiran, kata “kesalehan” berasal dari kata dasar “saleh” atau “shaleh”.

Kata “shaleh” berasal dari bahasa Arab yaitu “shaluha” yang apabila diartikan merupakan kebalikan dari kata “fasad”.34 Apabila “fasad” dapat dikatakan sebagai “membuat kerusakan”, maka “sholuha” dapat diartikan sebagai “membuat kebaikan”.

34


(40)

Setelah ditambah dengan awalan “ke” dan akhiran “an”, kata “shaleh” berubah menjadi “kesalehan” yang diartikan sebagai kesungguhan hati dalam hal menunaikan agama atau dapat diartikan juga kebaikan hidup.35

Louis Ma’luf dalam kamus Munjid mengatakan bahwa setidaknya terdapat beberapa kemungkinan kondisi yang dapat menggunakan kata “shaleh” ditinjau dari segi bahasa, yaitu :

a) Telah baik keadaan

b) Aktifitas yang menjadikan baik (majas)

c) Membiasakan kebaikan (jika dihubungkan dengan perbuatan) d) Berbuat baik kepada objek

e) Kondisi yang menjadikan baik f) Mendamaikan (islah).36

Adapun kata “sosial” berasal dari kata Latin “socius” yang berarti kawan atau teman. Sosial dapat diartikan sebagai bentuk perkawanan atau pertemanan yang berada dalam skala besar yaitu masyarakat. Berarti sosial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau kemasyarakatan.37Yang lebih penting adalah bahwa kata sosial mengandung pemahaman adanya sifat berjiwa pertemanan, terbuka untuk orang lain dan tidak bersifat individual atau egoistik atau tertutup terhadap orang lain.

35

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 856

36

Ma’luf, Munjid, h. 432

37


(41)

Istilah “sosial” besar kaitannya dengan ilmu sosial yang dikenal dengan sosiologi.

Teori Sosiologi yang digunakan dalam skripsi ini adalah Teori Solidaritas Sosial yang dipaparkan oleh Durkheim dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan TQN di Ciomas secara langsung mengikat mereka dalam sebuah persaudaraan sufi yang dengan pertimbangan ekonomi berhasil memunculkan kesadaran kolektif (Collective Conscience) dalam perwujudan kegiatan-kegiatan perbaikan ekonomi bagi kalangan TQN. Kesadaran kolektif itulah yang kemudian menjadikan para ikhwan TQN membuat seperangkat kegiatan yang diatur oleh hokum-hukum yang bersifat represif dan menekan potensi individu. Ciri-ciri kegiatan seperti itu adalah cirri khas dari solidaritas mekanik.

Teori lain yang digunakan adalah teori tindakan social Weber dimana dengan solidaritas mekanik yang tadi terbentuk oleh kesadaran kolektif ikhwan mengharuskan mereka untuk melakukan tindakan nyata dengan membuat beberapa unit usaha secara musyawarah untuk mencapai suatu keputusan bersama. Tindakan social jenis ini menurut Weber tergolong dalam Tindakan Sosial tipe Rasionalitas Instrumental (Zweckrationalität) karena rasionalitas dalam penentuan jenis usaha, alat yang digunakan, tujuan yang ingin dicapai, hambatan-hambatan yang mungkin ada benar-benar dikedepankan sebagai penentuan untuk mencapai consensus.


(42)

Setelah digabungkan menjadi istilah Kesalehan Sosial, kata kesalehan dan sosial memiliki arti yang lebih luas. Beberapa ahli telah mencoba mendefinisikan arti dari Kesalehan Sosial ini antara lain :

a. Mustafa Bisri

“Kesalehan Sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok kesalehan ritual dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.”38

b. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

“Kesalehan Sosial adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praksis hidup keseharian kita. “39

c. Prof. Dr. HM. Djawad Dahlan

“Kesalehan Sosial adalah mutu atau kualitas kebaikan individu yang berpangkal pada berbagai istilah, seperti manusia kaffah, khalifah fil-ardli, muttaqin, shalihin, mu’minin, syakirin, dan muflihin.” 40

d. Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, MS.

“Kesalehan Sosial adalah aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial.” 41

e. Dr. KH Miftah Faridl

38

Mustafa Bisri, “Menimbang Arti Kesalehan Sosial,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.kesalehansosial.blogspot.com/

39

Muhammad Sobary, “Kesalehan Sosial, Kesalehan Ritual,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2001 dari http://www.kesalehansosial.blogspot.com/

40

Djawad Dahlan, dkk., Kumpulan Makalah Nilai dan Aplikasi Kesalehan Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat (T.tp: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2005), h. 2

41 ibid


(43)

“Kesalehan Sosial adalah perwujudan sifat masyarakat bertaqwa yang merupakan kesatuan utuh dari pengetahuan, sikap, serta nilai-nilai yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.”42

Keberadaan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah diharapkan menjadikan Kesalehan Sosial mengalami “peningkatan”. Kata “peningkatan” berasal dari kata dasar “tingkat” dan mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an”. Kata “peningkatan” dapat diartikan dalam beberapa kondisi yaitu :

a) Menginjak, menaiki atau memanjat

b) Naik dalam berbagai hal seperti meninggi, membumbung, dan menaik c) Beralih kepada peristiwa atau masa

d) Menjadi bertambah banyak.43

Peningkatan Kesalehan Sosial adalah penambahan kualitas maupun kuantitas kesalehan seseorang secara sosial melalui interaksi terencana maupun insidental yang akan menimbulkan dampak sosial bagi subjek pelaksana kegiatan Kesalehan Sosial maupun objek kegiatan Kesalehan Sosial.

Kesalehan Sosial mendapatkan tempat yang sangat diperhitungkan dalam aktifitas umat Islam, khususnya di Jawa Barat. Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan hampir tidak pernah terlewatkan untuk menyampaikan pentingnya menumbuhkan sikap "Kesalehan Sosial" yang merupakan salah satu esensi atas makna visi pembangunan Jawa Barat yaitu, "Jawa Barat dengan iman dan taqwa

42 ibid 43


(44)

sebagai provinsi termaju di Indonesia dan mitra terdepan ibu kota negara tahun 2010".

“Konsep-konsep ‘Kesalehan Sosial’ Jawa Barat diharapkan tidak hanya berhenti pada tataran konsep dan tuntutan konstitusional seperti yang termaktub dalam Perda No. 1/2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah (Propeda) mengenai visi Jawa Barat,”44 tapi langsung disosialisasikan dan implementasikan dalam kerja nyata. Hal itulah yang kemudian mendorong Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat melakukan banyak seminar dan lokakarya yang melibatkan ormas-ormas Islam Jawa Barat sebagai ujung tombak realisasi konsep Kesalehan Sosial, salah satunya yang diikuti oleh penulis berupa “Sosialisasi dan Implementasi Kesalehan Sosial di Jawa Barat Tahun 2005” yang dilaksanakan di Cianjur.

Salah satu bentuk perwujudan konsep ini adalah dengan membuat akselerasi 5 (lima) agenda utama Jawa Barat yaitu :

a) Peningkatan kualitas dan produktifitas Sumber Daya Manusia Jawa Barat

b) Pengembangan struktur perekonomian daerah yang tangguh c) Pemantapan kinerja pemerintah daerah

d) Peningkatan implementasi pembangunan berkelanjutan

44

Nu’man Abdul Hakim, “Menggali Visi Kesalehan Sosial Gubernur Jabar,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.pikiran-rakyat.com/


(45)

e) Peningkatan kualitas kehidupan sosial yang berdasar agama dan budaya daerah.45

Program Kesalehan Sosial Jawa Barat dapat dilihat dari akselerasi agenda utama yang kelima.

2. Wilayah Kesalehan Sosial

Kata kesalehan setelah digabung dengan sosial tentunya mempunyai wilayah yang sangat luas karena semua aspek yang berkembang dalam masyarakat dapat menjadi bagian dari masalah sosial. Namun secara garis besar wilayah Kesalehan Sosial sejalan dengan perbaikan (islah) yang diupayakan melalui Al-Quran. Menurut Prof. Dr. Muhammad Abdul Azhim, seorang ahli ilmu Al-Quran dan Sunnah, upaya

islah yang dilakukan Al-Quran yang sejalan dengan wilayah Kesalahen Sosial dapat dinilai dari beberapa segi antara lain :

a. Kesalehan Sosial dalam Pemantapan Akidah (islahul ‘aqoid)46

Al-Quran seringkali menyandingkan kata iman dan amal shaleh dalam satu kalimat. Hal itu menunjukkan betapa kedua hal tersebut baik Kesalehan Ritual (ritual piety) dan Kesalehan Sosial (social piety) menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berbicara mengenai Kesalehan Ritual dalam hal ini “iman” harus berimplikasi amal shaleh. Begitu juga sebaliknya, untuk mengaplikasikan Kesalehan Sosial dalam hal ini “amal shaleh” harus dilandasi oleh

45

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Sosialisasi Implementasi Kesalehan Sosial di Jawa Barat, (T.tp: T.pn., 2005)

46


(46)

akidah yang kokoh sehingga perjalanan dunia akhirat menjadi seimbang dan responsible.

b. Kesalehan Sosial dalam Pemantapan Ibadah (islahul ‘ibadah)47

Banyak barometer yang dapat digunakan dalam Islam. Salah satunya adalah kesalehan seseorang atau kelompok dapat dilihat dari shalatnya. Apabila shalatnya berhasil memenuhi patokan-patokan yang telah ditetapkan seperti pengaturan shaff, pemilihan imam, maupun aplikasi ritual shalatnya, maka dapat dipastikan orang atau kelompok tersebut merupakan orang atau kelompok yang juga shaleh secara sosial. Sebaliknya jika orang atau kelompok tersebut mengalami hambatan dalam kehidupan sosial, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah terdapatnya kesalahan dalam shalatnya. Untuk itulah Kesalehan Sosial erat kaitannya dengan pemantapan ibadah. Semakin intensif ibadah seseorang seharusnya dia semakin shaleh secara sosial.

c. Kesalehan Sosial dalam Pemantapan Akhlak (islahul akhlak)48

Barometer lain yang dapat digunakan dalam Islam adalah “apabila hari ini lebih baik dari kemarin, maka kita tergolong orang yang beruntung. Apabila hari ini sama dengan hari kemarin maka kita tergolong orang yang rugi. Dan apabila hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka kita tergolong orang yang mal’un atau dilaknat oleh Allah SWT”.

47 ibid

48 ibid


(47)

Umat Islam secara individu mempunyai potensi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan ibadah yang dilakukan setiap harinya. Ibadah itu tidak hanya yang mahdhah, tetapi juga yang ghair mahdhah seperti perbaikan akhlak sebagai misi awal diturunkannya Rasulullah Muhammad SAW. Potensi Kesalehan Sosial tentunya berbanding lurus dengan pemantapan akhlak karena secara sosial, keinginan untuk menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin menjadikan optimalisasi pemantapan akhlak menjadi lebih besar.

d. Kesalehan Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat (islahul ijtima’)49 Al-Quran memberikan banyak seruan untuk kita melakukan Kesalehan Sosial dalam berkehidupan di masyarakat. Berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabaqulkhairaat), tolong menolong dalam kebaikan dan takwa (ta’awun ‘ala al-Birri wa at-taqwa), silaturahmi,

egality, dan berbagai norma sosial adalah contoh betapa pentingnya kehidupan bermasyarakat sebagai modal untuk melakukan Kesalehan Sosial yang dapat menguntungkan semua pihak dalam masyarakat tersebut.

e. Kesalehan Sosial dalam Pemantapan Politik (islahus siyasah)50

Wilayah politik tidak dikesampingkan sebagai bagian penting dalam penerapan Kesalehan Sosial. Konsep musyawarah, demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan menjadi kampanye penting bagi

49 ibid

50 ibid


(48)

penerapan kehidupan politik yang shaleh. Intervensi Kesalehan Sosial dalam daerah politik membuktikan bahwa politik tidak selamanya buruk, tapi dapat ditata sesuai koridor yang telah digambarkan melalui dalil-dalil Al-Quran maupun Sunnah.

f. Kesalehan Sosial dalam Kehidupan Ekonomi (islahul mal)51

Islam mengakui adanya hak individu setiap orang dalam mengelola harta. Namun proses mendapatkan dan menggunakan harta perlu mempertimbangkan Kesalehan Sosial dimana dalam harta kita ada hak orang lain yang harus dikeluarkan, baik berupa pengeluaran wajib seperti zakat maupun yang tidak wajib seperti infak, shadaqah, dan wakaf.

Selain itu Kesalehan Sosial juga ditopang dengan menghindari hal-hal tercela seperti riba, korupsi, kolusi, khianat, dzalim, atau tindakan penipuan sebagai motif meraih keuntungan dalam ekonomi.

g. Kesalehan Sosial dalam Kedudukan Wanita (islahun nisa)52

Wanita ditempatkan dalam posisi yang terhormat dalam Islam. Al-Quran juga tidak lupa memberikan konsep mengenai kesetaraan gender, maupun perlindungan hak, martabat, dan kehormatan wanita.

h. Kesalehan Sosial dalam Perdamaian Dunia (islahul jaryi)53

51 ibid

52 ibid


(49)

Kesalehan Sosial sebagai bagian dari perdamaian dunia dapat dilakukan dengan cara mencintai tanah air, merawat alam semesta, tidak melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menghargai perjanjian yang telah dibuat dalam hubungan dengan Negara lain.

3. Indikator-indikator Kesalehan Sosial

Setelah melihat wilayah Kesalehan Sosial yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Muhammad Azhim di atas, dapat diambil benang merah untuk menentukan indikator Kesalehan Sosial. Indikator-indikator ini adalah implementasi kedelapan upaya islah di atas. Secara umum indikator Kesalehan Sosial tercantum dalam Tafsir Ruhul Bayan karya Ismail al-Buruswi yang minimal berupa :

a. Tidak menyekutukan Allah b. Bekerja tanpa pamrih

c. Bersih dari sikap riya, ujub dan ingin dipuji

d. Mengikuti jejak langkah dan sunnah Rasulullah SAW e. Mengajak yang ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar

f. Hatinya terbuka untuk menerima kebenaran, lidahnya terjaga, punya perangai baik

g. Memberi manfaat kepada sesama manusia h. Mementingkan kepentingan orang lain i. Terbinanya ukhuwah Islamiyah

53 ibid


(50)

j. Terwujudnya kesetiakawanan sosial berupa kasih sayang, ingin menolong dan memberi.54

4. Potensi dan Masalah

Kesalehan Sosial sebagai implementasi dari Kesalehan Ritual tentunya tidak dapat begitu saja dilakukan dengan tanpa adanya masalah. Namun masalah-masalah yang dihadapi berbanding terbalik dengan potensi-potensi yang ada yang memungkinkan intensitas Kesalehan Sosial semakin terasa. Berikut ini adalah potensi dan masalah yang dihadapi umat Islam dalam mengoptimalkan aplikasi Kesalehan Sosial.

a. Potensi

1) Indonesia adalah Negara dengan penduduk yang beragama Islam mayoritas, malah terbanyak di dunia. Ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikan oleh para pendakwah menjadikan umat Islam yang mayoritas tersebut terkena efek positif akan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam salah satunya adalah aplikasi Kesalehan Sosial.

2) Agama Islam adalah agama yang sangat memperbolehkan ikhtilaf

yang dapat saja muncul karena perbedaan cara pandang dan interpretasi. Ikhtilaf yang merupakan rahmat tersebut tentu saja tidak selamanya buruk karena terdapat segi positif yang berpotensi mendorong implementasi Kesalehan Sosial. Ikhtilaf yang muncul dapat menjadi alasan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

54 ibid


(51)

3) Kehidupan di era yang modern seperti sekarang ini memunculkan banyak kesempatan untuk berbuat lebih bagi kemajuan individu maupun kelompok. Apabila modernisasi ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang baik, bisa jadi Kesalehan Sosial akibat banyaknya aktifitas tambahan melalui modernisasi ini semakin banyak dilakukan.

4) Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia sangat mendukung tingginya kemungkinan aplikasi Kesalehan Sosial. Misalnya, jutaan rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan, usaha, perdagangan, pertanian, atau kegiatan apapun yang mengoptimalkan kedua sumber daya tersebut menjadikan Indonesia secara otomatis merupakan pabrik potensial untuk melakukan Kesalehan Sosial.

5) Potensi ekonomi yang tinggi, seperti yang digambarkan misalnya dengan potensi zakat yang tinggi yang dapat mencapai triliyunan rupiah atau banyaknya minat melaksanakan ibadah haji meskipun dalam keadaan krisis ekonomi menjadi sebuah ilustrasi bahwa betapa kemungkinan masyarakat untuk berbuat shaleh secara sosial sebenarnya besar, asal dioptimalkan secara serius dengan sebaik-baiknya.


(52)

1) Ikhtilaf yang terjadi antar umat Islam karena pemikiran yang berbeda seperti yang dikatakan sebelumnya tidak semuanya negatif, namun perbedaan itu bukan berarti tanpa masalah karena tidak jarang antar kelompok saling menyalahkan. Apabila yang dipermasalahkan adalah masalah yang esensial dalam Islam tentu tidak dapat disalahkan, namun apabila yang dipermasalahkan adalah masalah furu’iyah, maka ikhtilaf berpotensi menjadi malapetaka bagi aplikasi Kesalehan Sosial.

2) Modernisasi yang disatu sisi merupakan potensi yang mendukung bagi aplikasi Kesalehan Sosial juga mempunyai dampak yang begitu menghambat. Meningkatnya angka kriminalitas akibat dunia yang semakin modern adalah salah satu contoh betapa modernisasi juga dapat dijadikan sebagai “kesalahan sosial” bagi sebagian orang yang sangat mungkin pelakunya adalah orang Islam akibat efek “mayoritas”.

3) Saat ini yang terjadi antara kesalehan pribadi dan Kesalehan Sosial seolah berbanding terbalik. Betapa tidak, masih banyak di sekitar kita fenomena individu yang shaleh dalam ritual pribadinya seperti rajin shalat, tidak pernah terlewat puasa fardlu ataupun sunnah, bahkan beberapa kali naik haji, namun membiarkan tetangganya bermasalah dalam ekonomi.

4) Kurangnya sosialisasi bahwa Kesalehan Sosial tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai bagian integral dari keimanan.


(53)

Terkadang kita masih tanpa sadar menganggap wilayah Kesalehan Sosial masih sempit sehingga kita tidak tahu harus berbuat apa. Padahal apabila Kesalehan Sosial dikampanyekan sebagai sebuah gerakan, hasilnya mungkin akan lebih baik dari sekarang.


(54)

BAB III

GAMBARAN SINGKAT TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH DI CIOMAS

A. Sejarah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) merupakan perpaduan dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah. TQN didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Ibn Abd. Ghaffar Al-Sambasi Al-Jawi (w. 1878 M)55. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekkah.56

Beliau berangkat ke Mekkah pada usia 19 tahun untuk belajar keilmuan Islam termasuk tasawuf. Lama di sana menjadikan posisi beliau semakin diperhitungkan oleh teman-temannya, bahkan beliau menjadi Imam Besar Masjidil Haram serta menjadi tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia.57

Beliau belajar pada banyak guru diantara adalah Syeikh Daud bin Abdullah bin Idris al-Fatani, Syeikh Syamsuddin, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syeikh Abdullah al-Shomad al-Palimbani, Syeikh Abdul al-Hafidz Ajami, Syeikh Muhammad Shalih Rays, Syeikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul Attar (Syeikh Rays dan Syeikh al-Attar merupakan mufti Syafi’i yang juga pernah menjadi guru sahabatnya semasa di Mekkah yaitu Muhammad bin Ali al-Sanusi pendiri Tarekat Sanusiyah dan Muhammad Utsman al-Mirghani pendiri Tarekat Khatimiyah). Beliau juga rajin mengikuti ceramah Syeikh Bisri al-Jabati, seorang mufti Maliki, Sayyid Ahmad al-Marzuki, seorang mufti Hanafi,

55

“Pengertian Tasawuf,” http://www.suryalaya.org/

56

Sri Mulyati, et al., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia

(Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 253

57 ibid


(55)

Sayyid Abdullah (bin Muhammad) Mirghani, dan Utsman bin Hasan al-Dimyati.58

Melihat latar belakang guru-guru beliau kita dapat mengetahui bahwa Syeikh Ahmad Khatib belajar kepada guru tiga dari empat madzhab fiqih terkemuka59.

Syeikh Ahmad Khatib akrab dikenal sebagai pengarang kitab Fath al-Arifin, dan berhasil mencapai tingkat yang tertinggi saat berguru pada Syeikh Syamsuddin sehingga beliau diberi gelar sebagai mursyid kamil mukammil60.

Syeikh Ahmad Khatib merupakan mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsabandiyah. Beliau meramu kedua tarekat tersebut dan mengamalkan kedua jenis dzikir yaitu dzikir jahar

(Qadiriyah) dan dzikir khafi (Naqsabandiyah) dan mengajarkannya dalam satu kesatuan.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti dari sanad mana beliau menerima “hirqah shufiyah” dari Tarekat Naqsabandiyah karena beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja.61 Kemungkinan beliau mendapat baiat dari Tarekat Naqsabandiyah karena saat beliau di Mekkah, ajaran Tarekat Naqsabandiyah memang tersebar dengan nyata di Mekkah dan Madinah.

Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani bin Abu Shalih bin Jamidust (1077-1167). Abdul Qadir yang bermadzhab Hambali sejak kecil pergi ke Baghdad untuk belajar Hadits dan Fiqih kepada Abu Sa’ad

58 ibid

59

ibid, h. 254-255

60

ibid, h. 253-255

61


(56)

al-Mubarok al-Mukharrami, Syeikh Ahmad Abu al-Khair al-Dabbas dan beberapa guru lain tanpa melepaskan ke-Hambaliannya.62

Sepulang dari pengembaraannya di Irak, beliau sedikit demi sedikit mulai melakukan ceramah-ceramah pada acara-acara publik dan semakin lama semakin dikenal sebagai sufi besar yang alim dan zahid, serta banyak

karamah-nya seperti yang dapat kita baca dalam kitab Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani yang berisi riwayat hidup dan kesalehannya.63

Sepeninggal beliau, kegiatan-kegiatan kesufiannya dilanjutkan secara turun temurun mulai oleh putranya Abdul al-Wahhab (1157-1196 M), putranya yang lain Abdul al-Salam (1213 M), putranya juga Abdul al-Razzaq (1134-1206 M), kemudian oleh cucunya Syamsuddin.64

H.A.R. Gibb mengatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir mempunyai

ribath (tempat melakukan suluk dan latihan-latihan spiritual) di Baghdad.

Ribath Qadiriyah yang lain sudah berdiri di Mekkah pada masa Syeikh Abdul Al-Qadi.65

Semasa hidupnya, Syeikh Abdul Qadir banyak mengeluarkan karya-karya diantaranya Ghunyah li Talibi Tariq Haqq fi Akhlaq wa al-Tashawwuf wa al-Dab al-Islamiyyah, Futuh al-Ghayb, al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani, bahkan ada kitab yang dibuat untuk beliau yaitu al-Fuyudhat al-Rabbaniyyah fi al-Ma’atsir wa al-Awrad al-Qadiriyyah.66

Tarekat Qadiriyah tidak dinamai oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani, namun oleh murid sekaligus mursyid di bawahnya yaitu Syeikh Abdul Aziz.

62

Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 256

63 ibid

64 ibid

65 ibid

66


(57)

Tarekat ini dikenal dengan metode dzikir yang disebut dzikir jahar (diucapkan dengan suara keras).

Tarekat Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari (717-791/1318-1389) dari Bukhara (dulu bagian dari Uni Sovyet). Naqsabandi berasal dari kata “Naksyaband” yang berarti lukisan, atau penjagaan bentuk kebahagiaan hati. Tarekat ini diberi nama Naqsabandiyah karena Syeikh Bahauddin dalam memberikan lukisan kehidupan gaib.67

Syeikh Bahauddin belajar tarekat dan ilmu adab pada Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371), namun dalam segi kerohanian, beliau belajar pada Abd al-Khaliq al-Ghujdawani (w. 617/1220)68. Beliau juga pernah belajar tasawuf kepada Muhammad Baba Sammasi (w. 740/1340) di al-Sammas, Bukhara, pada usia delapan belas tahun.69

Orang yang dianggap sebagai pendiri pertama tarekat Naqsabandiyah adalah Abdul. Khaliq al-Ghujdawani. Beliau bersama Khwajagan (para tuan guru) tinggal di Asia Tengah dan mengajarkan dzikir khafi (zikir dalam hati) kepada Syeikh Bahauddin sebagai dzikir khas Tarekat Naqsyabandiyah.70

Syeikh Ahmad Khatib tidak serta merta menggabungkan ajaran dua tarekat besar di atas. Beliau menganggap bahwa kedua tarekat tersebut memiliki kesamaan pandangan mengenai tasawuf yang tidak mengesampingkan syariat serta menentang faham wihdah al-Wujud, sehingga jenis dan metode dzikirnya dapat saling melengkapi. Tarekat Qadiriyah mengajarkan dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Tarekat Naqsabandiyah mengajarkan dzikir Sirri Ism Dzat. Penggabungan ini juga membuat metode murakkabah menjadi lebih efektif dan efisien sehingga diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi.71

67

ibid, h. 257

68 ibid

69 ibid

70 ibid 71


(58)

Syeikh Ahmad Khatib menyebutkan dalam kitabnya Fath al-Arifin, bahwa TQN sebenarnya tidak hanya menggabungkan Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah saja namun merupakan modifikasi dari lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Anfasiyah, Tarekat Junaidiyah, dan Tarekat Muwaffaqah (Samaniyah).72

Dominannya ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah menyebabkan nama tarekat ini dinamai Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.

Tidak seperti tarekat lainnya, meskipun secara ajaran dan ritual TQN mempunyai khas tersendiri, namun Syeikh Ahmad Khatib tidak menamai tarekat ini dengan Tarekat Khatibiyah atau Sambasiyah.

Nama besar Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Syeikh Bahauddin an-Naqsabandi begitu beliau kagumi dan hormati sehingga karena tarekat ini merupakan modifikasi dari karya kedua tokoh tersebut, maka salah satu ijtihad Syeikh Ahmad Khatib yaitu tetap menjadikan nama Qadiriyah dan Naqsabandiyah nama tarekatnya.73

Sebagai sebuah tarekat mu’tabarah, TQN didasari oleh Qur’an, Al-Hadits, serta sumber-sumber terpercaya lainnya sehingga ajaran yang disampaikan diyakini kebenarannya. Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan

murakkabah.74

Ajaran TQN bersumber pada kitab Fath al-Arifin karangan Syeikh Ahmad Khatib. Isinya mengenai cara-cara membaiat, sepuluh macam

lathifah, dzikir dua tarekat yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat

72 ibid 73

ibid

74 ibid


(59)

Naqsabandiyah, tiga syarat sufi yaitu dzikir diam dalam mengingat, selalu merasa diawasi Allah, dan mengabdi pada syeikh, diakhiri dengan dua puluh macam muraqqabah (meditasi), serta ditutup dengan silsilah dan

khatam tarekat Syeikh Abdul Qadir Jailani.75

Penyebaran TQN dianggap tidak berhasil selain di Asia Tenggara, dan paling sukses di Indonesia. Syeikh Ahmad Khatib dikenal memiliki banyak wakil, diantaranya Syeikh Abdul Karim di Banten, Syeikh Ahmad Thalhah di Cirebon, Syeikh Ahmad Hasbullah di Madura, Muhammad Ismail Ibn Aburrahim di Bali, Syeikh Yasin di Kedah Malaysia, Syeikh Haji Ahmad di Lampung, dan Syeikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah Al-Khatib di Palembang. Penyebaran ajaran tarekat ini mulai dilakukan di daerah masing-masing.76

Syeikh Abdul Karim Banten menyebarkan TQN di Singapura beberapa tahun sebelum pulang ke Lempuyangan pada tahun 1872 dan dipanggil ke Mekkah tahun 1876 sebagai pimpinan tertinggi TQN di sana.77

Penyebaran TQN di Sambas Kalimantan Barat (tempat asal Syeikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syeikh Naruddin dari Filipina, dan Syeikh Muhammad Sa’ad dari Sambas. Namun, penyebaran TQN di luar Jawa dianggap tidak optimal karena di luar Jawa TQN tidak didukung dengan fasilitas lembaga permanen seperti pondok pesantren.78

Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa pada tahun 70-an terdapat empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu di Rejoso, Jombang dibawah pimpinan Kiai Tamim, di Mranggen pimpinan kiai Muslih, di Suryalaya, Tasikmalaya dibawah pimpinan K.H. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom), dan di Pagentongan, Bogor dipimpin oleh Kiai Thohir Falak.79

75

Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 258

76

“Pengertian tasawuf,” http://www.suryalaya.org/

77

Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 258-259

78

“Pengertian Tasawuf,” http://www.suryalaya.org/

79


(1)

ketika mengetahui anda mengikuti TQN ?

sependapat, mungkin karena kebisaaan dzikir yang beda kali ya. Tapi lama kelamaan akhir-nya bisa meakhir-nyadari sendiri kok, malah sekarang ikutan TQN

sependapat tapi akhirnya ikut TQN

6 Apa yang dilakukan keluarga ketika mengetahui anda mengikuti TQN ?

Yang paling kelihatan sih agak sinis, tapi setelah diskusi bareng tentang itu, mulai cair

Sinis tapi cair dengan diskusi

7 Bagaimana pengaruh keikutsertaan anda dalam TQN bagi diri anda ?

Seperti yang Bapak bilang tadi, kalau bahasa kerennya se-karang kayak ESQ lah, lebih mampu me-nguasai emosi

Lebih mampu kuasai emosi

8 Bagaimana pandangan anda tentang TQN ?

Tidak lebih dari metode praktis yang lebih memungkinkan bisa bertaqarrub pada Allah

Metode taqarrub pada Allah

III. PELAKSANAAN PROGRAM-PROGRAM TQN 1 Program apa saja yang

anda ikuti dalam TQN ?

Program amaliah. Ada dzikir harian, khataman mingguan, dan mana-qib bulanan.

Amaliah

2 Apa manfaat anda me-ngikuti program-program TQN ?

Buat diri pribadi sih jadi lebih PD aja. Terus bisa lebih solid sesama ikhwan

Lebih percaya diri dan lebih solid


(2)

3 Kapan saja anda bisaa mengikuti program-prog-ram TQN ?

Ya…kalau waktu me-mungkinkan, minimal sebulan sekali harus

Kalau waktu me-mungkinkan mi-nimal sebulan se-kali

4 Apa program-program TQN sama dengan prog-ram-program serupa pada umumnya ?

Paling yang beda baca-annya aja

Hanya beda ba-caan

5 Hambatan apa yang anda alami ketika mengikuti program-program TQN ?

Selama ini sih belum ada, tapi kadang-kadang orang-orang yang masuk TQN kurang punya bekal syariat, kayak jarang shalat. Jadinya masya-rakat mandang lain. Kok TQN nerima orang yang jarang shalat

Belum ada, hanya masalah bekal syariat yang di-miliki calon ikh-wan

6 Bagaimana pelaksanaan program-program TQN di Pesantren Al-Barokah ini ?

Perkembangan Pondok Pesantren Al-Barokah sebagai salah satu tempat yang aktif menyelenggarakan ritual TQN nampaknya telah mencapai hasil yang menggembirakan. Setelah sempat gagal dalam membuat lem-baga pendidikan for-mal, Al-Barokah de-ngan leader yang

Mencapai hasil yang menggem-birakan


(3)

mempunyai relasi yang luas menjadikan ikh-wan TQN Ciomas menjadi selangkah le-bih maju karena selain bermanfaat bagi per-baikan ekonomi ikh-wan, usaha-usaha yang dilakukan baik berupa usaha angkutan mau-pun Swamitra Syariah juga sebagai langkah nyata perwujudan Ke-salehan Sosial ikhwan TQN bagi masyarakat sekitarnya

IV. PENGARUH SETELAH MENGIKUTI TQN 1 Bagaimana keadaan anda

sebelum mengikuti TQN di sini ?

Yang Bapak rasakan sih agak malas ber-ibadah dan kurang khu-syuk kalau sedang shalat

Malas ibadah dan kurang khusyuk shalat

2 Pengaruh apa yang anda rasakan setelah mengikuti TQN di sini ?

Ya…kebalikannya. Se-karang sudah stabil dan khusyuk dalam shalat

Stabil dan khus-yuk shalat

3 Apakah TQN merupakan jalur yang anda senangi ?

Dalam kondisi ideal iya, karena TQN tidak menghilangkan syariat

Iya, karena TQN tidak meninggal-kan syariat 4 Menurut anda efektifkah

program-program TQN yang diterapkan di sini ?

Efektif, sekalipun pro-sentase perkembangan-nya tidak terlalu drastis

Efektif walau tidak drastis


(4)

5 Bagaimana perubahan anda dalam segi sosial setelah mengikuti TQN ?

Kepedulian terhadap sesama lebih mendomi-nasi

Peduli terhadap sesama

6 Bagaimana interaksi antara ikhwan dengan masyarakat sekitar yang non TQN ?

Normal-norma saja, hanya dalam beberapa kasus memang ada masalah tapi kecil.

Normal. Kalau-pun ada kecil


(5)

TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH DAN PENINGKATAN KESALEHAN SOSIAL IKHWAN

(Studi Kasus Ikhwan TQN di Ciomas) PEDOMAN WAWANCARA

I. Identitas dan Latar Belakang Kehidupan Responden 1. Siapa nama anda ?

2. Berapa usia anda ? 3. Dimana alamat anda ?

4. Bagaimana urutan anda dalam keluarga ? 5. Jenis pendidikan apa yang telah anda tempuh ?

6. Selama menempuh pendidikan, apakah anda pernah mengikuti kegiatan organisasi di sekolah ?

7. Sewaktu anda sekolah, mata pelajaran apa yang anda sukai ?

8. Sewaktu anda sekolah, pernahkah anda mengalami masalah yang berat dan bagaimana cara mengatasinya ?

9. Bagaimana jumlah tanggungan dalam keluarga anda ? 10.Siapa saja dalam keluarga anda yang mengikuti TQN ?

II. Seputar Keikutsertaan dalam TQN 1. Sejak kapan anda mengikuti TQN ? 2. Dari siapakah anda mengetahui TQN ?

3. Apa yang menyebabkan anda tertarik mengikuti TQN ?

4. Bagaimana pengaruh teman sesama ikhwan dalam keterlibatan anda mengikuti TQN ?

5. Bagaimana reaksi keluarga ketika mengetahui anda mengikuti TQN ? 6. Apa yang dilakukan keluarga ketika mengetahui anda mengikuti TQN ? 7. Bagaimana pengaruh keikut sertaan anda dalam TQN bagi diri anda ?


(6)

8. Bagaimana pandangan anda tentang TQN ?

III. Pelaksanaan Program-program TQN

1. Program apa saja yang anda ikuti dalam TQN ?

2. Apa manfaat anda mengikuti program-program TQN tersebut ? 3. Kapan saja anda biasa mengikuti program-program TQN ?

4. Apakah program-program TQN sama dengan program-rogram serupa pada umumnya ?

5. Hambatan apa yang anda alami ketika mengikuti program-program TQN ? 6. Bagaimana pelaksanaan program-program TQN di Pesantren Al-Barokah

ini ?

IV. Pengaruh setelah mengikuti TQN

1. Bagaimana keadaan anda sebelum mengikuti TQN di sini ? 2. Pengaruh apa yang anda rasakan setelah mengikuti TQN di sini ? 3. Apakah TQN merupakan jalur yang anda senangi ?

4. Menurut anda efektifkah program-program TQN yang diterapkan disini ? 5. Bagaimana perubahan anda dalam segi social setelah mengikuti TQN ? 6. Bagaimana interaksi antar ikhwan dengan masyarakat sekitar yang non