Efektivitas Penerapan The Support Group Method Untuk Meningkatkan Self-Efficacy Pada Korban Bullying

(1)

EFEKTIVITAS PENERAPAN

THE

SUPPORT GROUP METHOD

UNTUK MENINGKATKAN SELF-EFFICACY

PADA KORBAN BULLYING

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Psikologi Profesi

SRI NURRAHAYU FITRIA

107029008

Kekhususan Klinis Anak

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan Penuh Rasa Syukur Atas Nikmat Yang

Diberikan Allah SWT

Kepersembahkan Karya ini Kepada

Yang paling Kukasihi Ayahanda Fadli, TA

dan Kesayanganku Ibunda Hasniati

Dua Insan yng Tiada Henti Melimpahkan Perhatian

Kasih Sayang & Juga

Panjatan Do’a Mu

Dan Untuk,

Kedua Adikku, T.Rahmad Sidqi dan Sri Nurhalisma

Kedua pilar yang Selalu Menyokong Semangatku

Melihat dan Memikirkan Kalian Berdua Membuatku

Berani & Pantang Menyerah Menunjukkan Hal Terbaik

Yang Dapat Ku Tunjukkan & Menangguhkan Rasa Letih

Yang tersisa sebagai Kekuatan

Yang Tak bias Kuingkari Kehadirannya Seseorang

Yang Datang sebagai Sahabat terbaik Ketika Susahku

Terima Kasih Atas Kehadiranmu Abang.


(3)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Karunia dan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang telah disusn sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan di Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara sampai akhinya dapat merampungkan tesis ini.

Penyelesaian tugas tesis ini tidak terlepas dari banyaknya dukungan dari orang-orang disekitar penulis. Utuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Irna Minauli, M.Si. psikolog selaku dosen pembimbing dalam menyelesaikan tesis ini serta turut memberikan dukungan dan motivasi yang sangat besar. Terima kasih atas waktu, kesabaran, nasehat selama proses bimbingan tesis.

3. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si. psikolog selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran yang membangun untuk menyempurnakan tesis ini. 4. Dosen-dosen Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

ilmu, saran-saran dan informasi dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh staf pegawai Psikologi terkhusus bagian Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam hal administrasi.

6. Kedua orang tuaku yang tersayang, Drs. Fadli, TA dan Hasniati yang telah memberikan dukungan moril dan materil. Terima kasih dan sayang tak terbalas untuk cinta kasih. Begitu juga untuk, adik-adikku dan abang terkasih


(4)

7. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku (Tata, Kiki, dan Vera) yang tak letih memberi suntikan semangat dan memberi canda sebagai amunisiku menuntaskan kewajibanku ini. Serta para keluarga MC (Bu ida, B’Ronal, Kak

Vira, Tiwi, Ca’i, Putra, Emma dan Sule) Thanks for u all

8. Teman-teman seperjuangan angkatan V terkhusus profesi Klinis Anak (K’ning, Kak Wina dan Achi), semoga kesuksesan menaungi kita. Salam rindu dan bahagia untuk kebersamaan kita selama ini.

9. Keluarga Prima (Bu Yayak, Fadli, Hafiz, Kory, Heri, Dilla, Fitri, B’ Renzi dan Kak Tia). Terima kasih buat kebersamaan dan keceriaan selama ini. 10.Seluruh partisipan yang telah memberikan waktu, tenaga dan kebersamaannya

dalam penelitian tesis ini, salam rindu untuk adik-adik selalu.

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat kesalahan baik isi dan tata tulisnya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukkannya untuk kelengkapan karya tulis selanjutnya. Akhir kata tiada yang dapat penulis berikan sebagai balasan. Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala perbuatan dan keikhlasan bapak-ibu, saudara dan teman-teman berikan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 8 Desember 2014


(5)

Efektivitas The Support Group Method Untuk Meningkatkan

Self-efficacy Pada Korban Bullying

Sri Nurrahayu Fitria dan Irna Minauli Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Abstrak

Bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia, tidak hanya menjadi permasalahan di Indonesia. Bullying memiliki dampak serius secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, dapat mengakibatkan luka ataupun kerusakan tubuh sedangkan secara psikologis dapat mengakibatkan rendahnya harga diri, rasa tidak berdaya (low self-efficacy) hingga depresi. Interaksi lingkungan sosial yang melibatkan teman sebaya turut mempengaruhi munculnya perilaku bullying. Pihak sekolah dapat menggunakan dukungan kelompok (group support) sebagai intervensi bullying. Berdasarkan hal tersebut penelitian eksperimen dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh intervensi kelompok teman sebaya (the support group method) terhadap self-efficacy pada siswa-siswi SMP yang mengalami bullying. Dengan memakai pretest-postest control group design yang melibatkan 16 siswa-siswi. Analisis statistik menggunakan analisis non-parametrik Mann-Whitney dan menunjukkan hasil p = 0.015. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa intervensi the support group method efektif meningkatkan self-efficacy siswa-siswi SMP yang mengalami bullying. Perubahan tingkat self-efficacy tersebut dipengaruhi oleh dinamika kelompok yang tercipta yang menumbuhkan rasa empati dari anggota kelompok dan rasa percaya dari korban bullying terhadap anggota kelompok yang lain. Hal ini menunjukkan dukungan teman sebaya merupakan kunci interaksi interpersonal yang baik yang dapat mengembangkan terbentuknya karakter siswa-siswi yang positif sehingga mereka akan menggunakan pendekatan perilaku yang sesuai ketika menghadapi bullying.


(6)

EFFECTIVITY OF THE SUPPORT GROUP METHOD TO IMPROVE SELF-EFFICACY OF THE BULLYING VICTIM

Sri Nurrahayu Fitria and Irna Minauli Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

Bullying is becoming the global issue which also happend in indonesia. Bullying has serious impact not only physical but also psychological. It may can cause pain or bodily damage and it lowers one’s self esteem, self efficacy, also increases depression. Social interaction involved peers can gives influances onset bullying. School can use support group approach as intervention of bullying. The researcher do experimental study for purposed to know the effectivity of the support group method to improve self-efficacy of students were bullied. Use pretest-postest control group design with 16 students as partisipant. Use statistical anaysis non-parametric Mann-Whitney and had a result p = 0.015. Based on that the conclusion is the support group method effectively improve self-efficacy the secondary students who were bullied. That shows peer support is the key of good interpersonal interaction which develop positive character of the students. In order to make them apply adequate behavioral when being bullied.

Keyword : bullying, the support group method and self-efficacy, junior high school.


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ...ii

PERSEMBAHAN ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

a. Manfaat Teoritis ... 7

b. Manfaat Praktis ... 7


(8)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Self Efficacy ... 9

2.1.1. Pengertian Self-Efficacy ... 9

2.2.2. Dimensi Self-Efficacy ... 10

2.2.3. Fungsi Self-Efficacy ... 12

2.2.4. Proses yang Mempengaruhi Self-Efficacy ... 14

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy ... 16

22.6. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi Dan Self-Efficacy Rendah ... 19

2.2. Bullying ... 20

2.2.1. Pengertian Bullying... 20

2.2.2. Bentuk Perilaku Bullying ... 21

2.2.3. Segitiga Bullying... 22

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Bullying ... 28

2.2.5. Dampak Bullying Terhadap Korban, Pelaku Serta Penonton ... 30

2.3. The Support Group Method ... 32

2.4. Pengaruh The Support Group Method Terhadap Perilaku Anak Dan Remaja ... 37

2.5. Efektivitas The Support Group Method Terhadap Self-Efficacy Pada Korban ... 40


(9)

BAB III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 44

3.2. Defenisi Operasional ... 45

3.3. Subjek Penelitian ... 45

3.4. Desain Penelitian ... 46

3.5. Pengukuran Variabel Penelitian ... 46

3.5.1. Variabel Tergantung... 46

3.5.2. Variabel Bebas ... 46

3.6. Prosedur Penelitian... 47

3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 45

3.6.2. Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 54

4.1. Hasil Interpretasi Data... 54

4.1.1.Data Subjek Penelitian... 54

4.1.2. Data Sebelum Perlakuan ... 55

4.1.3. Pelaksanaan Kegiatan Perlakuan (Intervensi) ... 57

4.1.4. Hasil Data Setelah Perlakuan ... 58

4.1.5. Hasil Analisis Data ... 59


(10)

4.2.1. Pembahasan Kelompok ... 73

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 78

5.2.1. Saran Metodologis ... 78

5. 2.2. Saran Praktis ... 79

DAFTAR PUSTAKA………. 80


(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Desain Penelitian... 46

2. Tabel 2. Data Subjek Penelitian ... 55

3. Tabel 3. Data Subjek Penelitian Pretest ……….. ... 56

4. Tabel 4.Pelaksanaan Perlakuan (Intervensi) ... 57

5. Tabel 5. Data Subjek Penelitian Posttest ... 59

6. Tabel 6. Hasil 2 Independent Sample mann-Whitney Skala Self-Efficacy…………. ... 61

7. Tabel 7. Rekapitulasi Peningkatan Self-Efficacy Kelompok Eksperimen Pretest-posttest ……….. ... 72


(12)

Efektivitas The Support Group Method Untuk Meningkatkan

Self-efficacy Pada Korban Bullying

Sri Nurrahayu Fitria dan Irna Minauli Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Abstrak

Bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia, tidak hanya menjadi permasalahan di Indonesia. Bullying memiliki dampak serius secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, dapat mengakibatkan luka ataupun kerusakan tubuh sedangkan secara psikologis dapat mengakibatkan rendahnya harga diri, rasa tidak berdaya (low self-efficacy) hingga depresi. Interaksi lingkungan sosial yang melibatkan teman sebaya turut mempengaruhi munculnya perilaku bullying. Pihak sekolah dapat menggunakan dukungan kelompok (group support) sebagai intervensi bullying. Berdasarkan hal tersebut penelitian eksperimen dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh intervensi kelompok teman sebaya (the support group method) terhadap self-efficacy pada siswa-siswi SMP yang mengalami bullying. Dengan memakai pretest-postest control group design yang melibatkan 16 siswa-siswi. Analisis statistik menggunakan analisis non-parametrik Mann-Whitney dan menunjukkan hasil p = 0.015. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa intervensi the support group method efektif meningkatkan self-efficacy siswa-siswi SMP yang mengalami bullying. Perubahan tingkat self-efficacy tersebut dipengaruhi oleh dinamika kelompok yang tercipta yang menumbuhkan rasa empati dari anggota kelompok dan rasa percaya dari korban bullying terhadap anggota kelompok yang lain. Hal ini menunjukkan dukungan teman sebaya merupakan kunci interaksi interpersonal yang baik yang dapat mengembangkan terbentuknya karakter siswa-siswi yang positif sehingga mereka akan menggunakan pendekatan perilaku yang sesuai ketika menghadapi bullying.


(13)

EFFECTIVITY OF THE SUPPORT GROUP METHOD TO IMPROVE SELF-EFFICACY OF THE BULLYING VICTIM

Sri Nurrahayu Fitria and Irna Minauli Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

Bullying is becoming the global issue which also happend in indonesia. Bullying has serious impact not only physical but also psychological. It may can cause pain or bodily damage and it lowers one’s self esteem, self efficacy, also increases depression. Social interaction involved peers can gives influances onset bullying. School can use support group approach as intervention of bullying. The researcher do experimental study for purposed to know the effectivity of the support group method to improve self-efficacy of students were bullied. Use pretest-postest control group design with 16 students as partisipant. Use statistical anaysis non-parametric Mann-Whitney and had a result p = 0.015. Based on that the conclusion is the support group method effectively improve self-efficacy the secondary students who were bullied. That shows peer support is the key of good interpersonal interaction which develop positive character of the students. In order to make them apply adequate behavioral when being bullied.

Keyword : bullying, the support group method and self-efficacy, junior high school.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini berita tentang kasus bullying semakin marak ditayangkan di televisi. Memang terlalu miris ketika melihat generasi bangsa yang selalu penuh dengan kekerasan. Kisah yang digambarkan dalam setiap tindakan kekerasan hanya akan menyisakan tekanan psikologis korban. Beberapa waktu lalu terdengar permasalahan mengenai perilaku penganiayaan sesama murid sekolah. Tentu saja berbagai tanggapan pun muncul mengenai bullying. Dengan demikian diperlukan beberapa langkah untuk mengurangi dampak psikologis pada korban bullying. (Kompas, 2011).

Bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia, tidak hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Dari data National Mental Health and Education Center tahun 2004 di Amerika diperoleh data bahwa bullying merupakan bentuk kekerasan yang umumnya terjadi dalam lingkungan sosial antara 15% dan 30% siswa adalah pelaku bullying dan korban bullying (Kompas, 2011). Banyak aksi anak-anak mengejek, mengolok-olok atau mendorong teman yang lainnya, namun perilaku tersebut sampai saat ini dianggap hal yang sangat biasa, hanya sebatas bentuk relasi sosial antar anak saja, padahal hal tersebut sudah pada bentuk perilaku bullying. Namun, banyak orang tidak menyadari konsekuensi yang terjadi jika anak mengalami bullying. Hal ini seperti yang dialami oleh Rinto, dalam kutipan berikut ini:


(15)

Suatu hari ketika hendak berangkat sekolah, Rinto mengeluh sakit kepala, mual, dan sakit perut. Ia menolak untuk masuk sekolah karena sakit. Pada saat Rinto dibawa ke dokter, dokter tidak menemukan gejala penyakit dan setelah beberapa jam di rumah Rinto tampak baik-baik saja, seperti tidak sakit sedikitpun. Apakah Rinto berbohong untuk tidak masuk sekolah? Ibu mengatakan sehari sebelumnya Rinto pulang dengan wajah lesu sambil mengusap kepalanya dimana menurut penuturannya ia dipukul temannya karena tidak mau membantunya mengerjakan tugas mereka”.

(Kompas, 28 Desember 2011)

Bullying biasanya terjadi berulang-ulang dan di dalamnya terdapat ketidakseimbangan (ada yang lemah dan ada yang kuat) kekuatan (Coloroso, 2007). Unsur-unsur yang terdapat di dalam bullying di antaranya adalah ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, dan ancaman teror lebih lanjut. Korban bullying biasanya mengalami penderitaan fisik maupun psikologis (Coloroso,2007). Bullying adalah pengalaman yang biasa dialami oleh banyak anak-anak dan remaja di sekolah.

Bentuk-bentuk bullying, antara lain; bullying secara fisik, bullying secara emosional, bullying secara verbal, bullying relasional yang biasa disebut dengan bullying secara sosial dan yang terakhir adalah electronic bullying atau biasa disebut cyberbullying (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler & Blais, 2007). Mencermati kondisi bullying, perilaku (bullying) memiliki dampak yang serius. Secara fisik, kekerasan ini dapat mengakibatkan luka dan kerusakan tubuh, secara psikologis (bullying) mengakibatkan rendahnya harga diri hingga depresi dan pada jangka panjang bullying dapat mengakibatkan trauma. Penelitian menunjukkan penderitaan siswa yang ditindas memiliki self-efficacy yang rendah (Jolliffe and Farrington, 2004).


(16)

Self-efficacy adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan atau menghadapi suatu persoalan untuk mencapai hasil tertentu (Bandura, 1997). Penelitian di Italia yang dilakukan oleh Gini , Albiero, Benelli & Altoe (2007) menemukan bahwa siswa yang membela korban bullying berhubungan rasa empati dan self-efficacy yang tinggi akan tetapi siswa yang pasif berhubungan dengan empati yang tinggi namun self-efficacy rendah. Hal ini menunjukkan bahwa self-efficacy merupakan ranah dari hubungan interpersonal. Self-Efficacy dapat membantu mengarahkan dan memberi pengetahuan pada anak-anak mengenai bullying dan penderitaan. Hal ini mengarah pada spesifikasi perilaku yang berhubungan dengan perilku bullying atau kekerasan di sekolah, adapun perilku tersebut seperti : memiliki kepercayaan diri bahwa anak dapat menghindar dari perilaku kekerasan, mendukung teman yang menjadi korban bullying, mencegah korban bullying menjadi lebih agresif, dan membuat rendah tingkat perilaku kekerasan (Kim, Meyers, Varjas & Henrich, 2011).

Adapun karakteristik individu yang memiliki self-efficacy rendah menunjukkan hal-hal seperti; individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi permasalahan yang sulit, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan atau permasalahan (Bandura, 1997). Hal ini terlihat berbanding lurus dengan karakteristik korban bullying sehingga anak yang mengalami tindakan bullying akan terlihat membutuhkan


(17)

bantuan dari orang-orang disekitarnya karena jika penanganannya tidak diberikan dengan segera akan menimbulkan efek jangka panjang.

Anak memperoleh pendidikan akademik sebaik belajar kemampuan sosial dan perilaku sosial. Kelompok sebaya dan lingkungan atau iklim sekolah secara umum juga memiliki efek kuat (Anderson, Kaufman & Simon, 2001). Membangun kemampuan sosial untuk meningkatkan interaksi interpersonal yang baik dapat lebih baik dilakukan semenjak dini karena ini merupakan salah satu kunci terbentuknya karakter siswa yang positif (Greeg, 1998). Kelompok teman sebaya memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya perilaku bullying di sekolah. Menurut Benitez dan Justicia (2006) kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang negatif bagi sekolah seperti kekerasan, perilaku membolos, rendahnya sikap menghormati kepada sesama teman dan guru. Teman di lingkungan sekolah idealnya berperan sebagai

partner” siswa dalam proses pencapaian program-program pendidikan. Sehingga

idealnya ketika perilaku bullying terjadi di sekolah, hal tersebut harus dilaporkan dan segera ditindak oleh pihak sekolah selaku pihak yang berwenang.

Peneliti dan pelayanan sekolah harus memperluas teknik assessment sosiometri untuk mengidentifikasi dinamika kelompok anak termasuk di dalamnya bullying. Program intervensi tanpa sketsa jaringan sosial antara pelaku bullying dan korban sama halnya program tanpa peta dari ekologi sosial. (Espalage & Swearer, 2004). Melalui sekolah dan kelompok sebaya (group support) kebanyakan intervensi anti-bullying dicoba untuk diterapkan bekerja sama dengan guru dan aparatur sekolah. Perlunya membangun kemampuan untuk


(18)

menyelesaikan konflik dan berlaku baik terhadap sesama merupakan salah satu kunci efektifnya program anti-bullying sekolah. Mendeteksi dan menghentikan perilaku bullying dibutuhkan kebijakan untuk mengatasi bullying. Kebijakan ini diterapkan pada guru, staf dan pihak sekolah sebagai wujud tanggung jawab untuk mengurangi dampak pengalaman negatif dari bullying.

Salah satu pendekatan kelompok yang telah diterapkan di sekolah-sekolah di Eropa adalah The Support Group Method, yang merupakan pendekatan ekosistem. Metode ini merupakan strategi yang mengarahkan anak dan remaja menggunakan cara yang sesuai dalam menghadapi situasi bullying (Putter, 2007). Intervensi ini melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu anak yang mengalami bullying menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Kelompok bisa terdiri dari pelaku, korban dan bystander (penonton). Fokus pada Problem solving (pemecahan masalah), pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan (Sue Young, 1998). Tujuan akhirnya ialah ia mampu menemukan solusi atau kepercayaan dirinya menghadapi ketika menghadapi peristiwa yang sama pada suatu saat nanti (Robinson & Maine, 2008).

Metode ini dinilai efektif dan berguna dalam konteks respon anti-bullying dan hal baiknya adalah bagaimana pemecahan dari suatu konflik memberikan sebuah a win-win solution. Metode ini bekerja dengan dua tujuan yakni; tugas pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying (Robinson & Maines, 2008). Intervensi ini dinilai


(19)

sukses diterapkan di sekolah-sekolah di Inggris khususnya dan mulai merambah di Eropa (Young, 1998). Alasan mengapa the support group dinilai bekerja cukup baik bukan hanya dinilai dari efektivitasnya namun juga solusi yang berkembang diluar dari pengaruh guru-guru melainkan dari berkembang dari siswa-siswa itu sendiri. Hal ini muncul akibat dinamika dalam dukungan kelompok. Penelitian psikologi kelompok memberikan pemahaman mengenai dukungan kelompok sebagai sebuah intervensi anti-bullying dinilai efektif (Young, 1998).

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan pertanyaan penelitian dalam

penelitian ini adalah “ apakah intervensi the support group method efektif untuk meningkatkan self-efficacy pada korban bullying”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana efektivitas intervensi the support group dapat meningkatkan self-efficacy siswa SMP yang mengalami bullying. Selain itu juga intervensi kelompol dapat membantu remaja menerapkan perilaku pro-sosial yang lebih sesuai dalam menghadapi perilaku bullying.


(20)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi ilmiah, dan memberi masukan bagi perkembangan psikologi khususnya psikologi anak.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi Anak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi anak yang mengalami bullying seperti merasa aman dan mengembalikan rasa percaya mereka terhadap diri sendiri dan meningkatkan kepekaan para penonton (bystander) agar bisa memutuskan efek atau perilaku bullying yang ia lihat.

b. Bagi sekolah

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan solusi bagi pihak guru dan sekolah pada umumnya terutama dalam hal pencegahan anak menghadapi bullying sehingga terhindar dari efek negatif dari fenomena ini, seperti membuat kelompok penasehat atau detektif keamanan dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan kepedulian siswa terhadap tindak kekerasan di sekolah.


(21)

1.5. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I. Pendahuluan: Bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan pustaka: Bab ini diuraikan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian yaitu bullying dan efektivitas support method group untuk meningkatkan self efficacy korban bullying.

Bab III. Metode penelitian: Bab ini diuraikan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek dan lokasi penelitian, prosedur penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV. Hasil dan Pembahasan. Bab ini berisi mengenai uraian hasil yang ditemukan dalam penelitian dan membuat pembahasannya.

Bab V. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran. Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan pembahasan, dan perbandingan hasil penelitian dengan teori-teori atau dari hasil penelitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SELF- EFFICACY

2.1.1. Pengertian Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menyelesaikan tugas tertentu (Bandura, 1997). Selanjutnya, Baron and Byrne (2000) mengungkapkan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu. Teori self-efficacy berkaitan dengan kemampuan secara kognitif, sosial, emosi dan perilaku.

Pandangan Hugnes, Ginnett & Curphy (2009) melihat self-efficacy terdiri dari dua jenis; positive self-efficacy dan negative self-efficacy. Self-efficacy dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki individu bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk menciptakan apa yang diinginkan atau harapan. Self-efficacy yang negatif yakni ketika keyakinan yang dimiliki individu membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy yang


(23)

negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan (Baron and Byrne ,2000).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya mencapai tujuannya.

2.1.2. Dimensi Self-Efficacy

Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi:

a. Tingkat (Level)

Self-efficacy individu dalam menghadapi suatu tugas atau permasalahan berbeda untuk setiap orangnya. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan lebih mudah menyelesaikan tugas atau permasalahan yang sederhana atau juga pada tugas-tugas yang rumit. Zimerman (2003) menyatakan Level terbagi atas 3 bagiannya yaitu:

1) Analisa pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampui batas kemampuannya.


(24)

b. Keluasaan (Generality)

Generality yaitu sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas atau situasi sulit. Generality merupakan perasaan mampu yang ditunjukkan individu pada konteks tugas atau situasi yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.

c. Kekuatan (Strength)

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu sendiri. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.


(25)

2.1.3. Fungsi Self-Efficacy

Teori self-efficacy menyatakan bahwa persepsi mengenai kemampuan seseorang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, motivasi, dan tindakannya. Bandura (1995) menjelaskan bahwa ketika perasaan efficacy telah terbentuk, maka akan sulit untuk berubah. Kepercayaan mengenai self-efficacy merupakan penentu yang kuat dari tingkah laku. Terdapat beberapa fungsi dari self-efficacy, yaitu (Bandura, 1997):

a. Tugas menentukan pemilihan tingkah laku. Orang cenderung akan melakukan tugas tertentu dimana ia merasa memiliki kemampuan yang baik untuk menyelesaikannya. Jika seseorang memiliki keyakinan diri yang besar bahwa ia mampu mengerjakan tugas terntentu, maka ia akan lebih memilih mengerjakan tugas tersebut daripada tugas yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa self-efficacy juga menjadi pendorong timbulnya suatu tingkah laku.

b. Sebagai penentu besarnya usaha dan daya tahan dalam mengatasi hambatan atau pengalaman aversif. Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy menentukan berapa lama individu dapat bertahan dalam mengatasi hambatan dan situasi yang kurang menyenangkan. Self-efficacy yang tinggi akan menurunkan kecemasan yang menghambat penyelesaian tugas, sehingga mempengaruhi daya tahan individu. Dalam belajar, orang dengan self-efficacy tinggi cenderung menunjukkan usaha yang lebih keras daripada orang-orang dengan tingkat self-efficacy yang rendah.


(26)

c. Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosioanal. Beck (Bandura, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional individu, baik dalam menghadapi situasi saat ini maupun dalam mengantisipasi situasi yang akan datang. Orang-orang dengan self-efficacy yang rendah selalu menganggap dirinya kurang mampu menangani situasi yang dihadapinya. Dalam mengantisipasi keadaan, mereka juga cenderung mempersepsikan masalah-masalah yang akan timbul jauh berat daripada yang sesuangguhnya. Collins (dalam Bandura, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy yang dipersepsikan membentuk cara berpikir kausal seseorang. Dalam mencari pemecahan masalah yang rumit, individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mempersepsikan dirinya sebagai orang yang berkompetensi tingi. Ia akan merasa tertantang jika dihadapkan pada tugas-tugas dengan derajat kesulitan dan risiko yang tinggi. Sebaliknya, orang dengan self-efficacy yang rendah akan menganggap dirinya tidak kompeten dan menganggap kegagalan akibat dari ketidakmampuannya. Individu seperti ini lebih sering merasa pesimis terhadap hasil yang akan diperoleh, mudah mengalami stress dan mudah putus asa.

d. Sebagai peramal tingkah laku selanjutnya. Individu dengan self-efficacy tinggi memiliki minat dan keterlibatan yang tinggi dan lebih baik dengan lingkungannya. Demikian juga dalam menghadapi tugas, dimana keyakinan mereka yang tinggi. Mereka tidak mudah putus asa dan menyerah dalam mengatasi kesulitan dan mereka akan menampilkan usaha


(27)

yang keras lagi. Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih pemalu dan kurang terlibat dalam tugas yang dihadapi. Selain itu mereka lebih banyak pasrah dalam menerima hasil dan situasi yang dihadapi daripada berusaha merubah keadaan.

2.1.4. Proses yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam Self-efficacy yang turut berperan dalam diri individu ada empat yakni proses kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi.

a. Proses kognitif

Proses Kognitif merupakan proses berfikir, didalamnya termasuk pengolahan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self- efficacy yang rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).

b. Proses Motivasi

Kebanyakan motivasi individu ditimbulkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan


(28)

akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Menurut Bandura (1997) ada tiga teori motivator; Pertama causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaiknya individu dengan self-efficacy yang rendah, cenderung menganggap kegagalannya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Kedua outcomes experiences (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Ketiga goal theory, dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.

c. Proses Afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang


(29)

kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan.

Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

d. Proses Seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997).

2.1.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-efficacy

Menurut Bandura (1994) ada sumber yang dapat mempengaruhi self-efficacy, yaitu:

a. Enactive mastery experience (Pengalaman keberhasilan)

Merupakan sumber informasi self-efficacy yang paling berpengaruh. Dari pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh


(30)

kemampuannya untuk meraih keberhasilan (Bandura, 1997). Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang yangpositif akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Kegagalan di berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut mampu utuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya.

b. Vicarious experience (pengalaman orang lain)

Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatubidang/tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura, 1997).

Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh perilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan


(31)

cara berfikir model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997). c. Verbal persuasion (Persuasi verbal)

Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemamuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997).

d. Physiological and Affective state ( Keadaan fisik dan emosi)

Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu diinterpretasikan.

Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut. Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya (Bandura,1997).


(32)

2.1.6. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self Efficacy Rendah.

Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam usaha yang dilakukannya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Karakter individu yang memiliki self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut dan konsekuensi dari kegagalannya serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).


(33)

2.2. Bullying

2.2.1. Pengertian Bullying

Bullying adalah sebuah tindakan agresif yang mana didalamnya terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan terjadi secara berulang (Coloroso, 2004). Unsur-unsur yang terdapat di dalam bullying di antaranya adalah ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, dan ancaman teror lebih lanjut. Bullying cenderung terorganisasi, sistematis, dan tertutup. Aktivitas ini kadang-kadang dilakukan bila ada kesempatan, tetapi sekali saja dimulai ini akan berkelanjutan. Korban bullying biasanya mengalami penderitaan fisik maupun psikologis.

Pengalaman yang biasa dialami oleh banyak anak-anak dan remaja di sekolah. Perilaku bullying dapat berupa ancaman fisik atau verbal. Bullying terdiri dari perilaku langsung seperti mengejek, mengancam, mencela, memukul, dan merampas yang dilakukan oleh satu atau lebih siswa kepada korban atau siswa yang lain (Olweus 1999).

Selain itu bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung, misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang dianggap berbeda. Baik bullying langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali dan secara terus-menerus membentuk pola kekerasan (Coloroso, 2007).

Ada begitu banyak definisi bullying, namun disini peneliti akan membatasi konteksnya dalam ranah school bullying. School bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memilki


(34)

kekuasaan terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Djuwita, Soesetio & Riauskina. 2005).

Berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa pengertian bullying adalah perilaku menindas yang terjadi antara dua pihak (adanya ketidakseimbangan kekuatan didalamnya), yang mana mengakibatkan pihak yang satu mengalami ketidakberdayaan baik itu secara fisik ataupun psikologis.

2.2.2. Bentuk Perilaku Bullying

Perilaku yang termasuk dalam kategori bullying terbagi dalam physical bullying, verbal bullying, relational bullying dan electronic bullying/cyberbullying (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler & Blais, 2007).

a. Bentuk Fisik

Yang termasuk dalam bullying secara fisik yakni memukul, menendang, mendorong, mengambil dengan paksa yang bukan miliknya, mencubit, meludahi, menyerang dengan makanan atau dengan benda lain. Semakin kuat dan besar sang penindas semakin berbahaya jenis serangannya.

b. Bentuk verbal

Bullying secara verbal terkadang lebih menyakitkan dibandingkan dengan fisik. Menurut beberapa anak, bullying secara fisik bisa saja menyakitkan secara fisik namun perkataan akan memberikan luka yang lebih lama. Adapun contohnya seperti memanggil nama yang menyinggung, rasis, mengintimidasi, berbisik di depannya. Verbal email saat ini bisa juga ditemukan dari surat elektronik (email) ataupun surat tulisan tangan.


(35)

c. Relasional atau bullying secara sosial.

Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar, ini adalah pelemahan harga diri korban hal ini bisa terkait dengan rasial atau seksual. Hal ini juga terkait dengan interaksi kelompok, contohnya seperti menyebarkan isu atau gossip sehingga kelompok mengucilkan korban.

d. Electronic Bullying atau biasa disebut Cyberbullying.

Merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone atau telepon genggam, internet dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, gambar atau rekaman video atau film yang mengintiminasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler , & Blais, 2007).

Ada begitu banyak bentuk-bentuk bullying yang dikemukan, maka peneliti menarik kesimpulan mengenai bentuk-bentuk bullying yakni physical bullying, verbal bullying, relational bullying and electronic bullying (cyberbullying).

2.2.3. Segitiga Bullying

Bullying terdiri dari 3 partisipan yakni the bully (pelaku), victim or target (korban) dan bystander (saksi peristiwa).


(36)

a. The Bully (Pelaku).

Pelaku bullying memiliki kecenderungan utuk menindas karena berbagai faktor yakni lingkungan dan karakter (genetis). Biasanya lebih banyak anak laki-laki menjadi penindas dibandingkan anak perempuan (Murphy,G & Banas, L. 2009). Beberapa dari para penindas (The bully) tidak selalu dapat diidentifikasi melalui penampilan mereka. Namun mereka dapat dibedakan dari perilakunya.

Mereka memiliki kalimat dan tindakan buruk hal ini bisa diakibatkan oleh peran-peran yang dilatih di rumah, petunjuk dari film-film yang mereka saksikan, permainan yang dilakukan, sekolah dan budaya yang mengelilingi mereka. Ketika mereka melakukan saat itu mereka terlibat dalam pertunjukan yang serius dengan konsekuensi-konsekuensi serius untuk diri mereka sendiri, anak-anak yang mereka jahati dan komunitas secara keseluruhan (Coloroso, 2007).

Kendati cara dan gaya (bullying) mungkin berbeda ditunjukkan oleh the bully (penindas), namun mereka memiliki sifat yang sama yakni; suka mendominasi orang lain, memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka, menggunakan kesalahan atau kritikan atau tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan kesalahan mereka pada targetnya, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka dan menuntut ingin diperhatikan (Coloroso, 2007). Ada 3


(37)

alasan individu melakukan perilaku bully (Olweus, 1999; Coloroso, 2007) diantaranya adalah:

1. Adanya kebutuhan untuk mendominasi dan mengontrol orang lain. 2. Adanya kepuasan dengan menyakiti orang lain dan perilaku kekerasan

yang dibangun dengan lingkungannya.

3. Adanya “keuntungan” yang didapat dari perilakunya, misalnya “meminta” korbannya untuk menyediakan barang-barang yang pelaku inginkan.

Selain pelaku bully dan korban bully, ada juga yang menjadi pelaku sekaligus korban bully. Harris dan Petrie (2003) berkata pelaku bully yang sekaligus menjadi korban bully adalah remaja yang pernah menerima perilaku bully dan setelahnya mencari cara untuk mem-bully orang lain. b. Korban (Victim)

Anak yang menjadi korban muncul dalam berbagai kriteria. Satu kesamaan yang dimiliki oleh anak-anak yang ditindas (bullying) yakni mereka menjadi sasaran dari seorang penindas atau sekelompok. Dimana mereka menjadi objek hinaan dan penerima agreasi verbal, fisik atau relasional hanya karena berbeda dalam hal-hal tertentu.

Adapun ciri-ciri korban yang dapat diamati seperti: Anak baru di lingkungan sekolah

Anak yang pernah mengalami trauma

Anak penurut (anak yang tidak percaya diri dan cemas) Anak miskin atau kaya


(38)

Anak dari etnis atau ras yang dipandang minoritas begitu juga dengan keyakinan/agama yang minoritas

Anak cerdas atau berbakat Anak gemuk atau kurus

Anak yang memiliki kekurangan secara fisik atau mental

Anak yang memiliki masalah kesehatan kulit khususnya serta anak yang berada pada saat yang salah (Coloroso, 2007).

Anak yang menjadi sasaran bullying kerap didasarkan pada perilaku dan kondisi anak setelah berkali-kali mengalami bullying. Segera setelah ia menjadi sasaran the bully, maka cara anak itu menanggapi akan mempengaruhi apakah ia akan beralih dari target menjadi korban atau tidak. Jika seorang anak menyerah pada serangan atau dan memberikan hal yang dituntut the bully dengan memperlihatkan rasa takut, tertekan atau apatis (gagal menanggapinya secara asertif atau agresif) maka ia akan berubah baik secara fisik atau mental. Perasaan bersalah, malu dan gagal yang dirasakan korban atau target karena tidak dapat menghadapi ini akan membuat perasaannya hancur. Ketika ia menjadi semakin terisolir dari teman sebayanya, mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan sekolah.

Cara penonton menanggapi korban serta penindas (the bully) juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi korban atau penindas (the bully) yang membuat penindas semakin berani dan anak tertindas semakin lemah. Adapun ciri-ciri anak yang mengalami tindakan bullying adalah:


(39)

Adanya penurunan minat yang tiba-tiba di sekolah atau tidak mau pergi ke sekolah

Prestasi anak di kelas menurun

Anak tidak mau terlibat dalam kegiatan keluarga dan sekolah. Mereka ingin dibiarkan sendiri

Sepulang sekolah anak merasa lapar serta mengaku kehilangan uang jajan atau tidak lapar di sekolah

Sesampai di rumah, anak tergesa-gesa pergi ke kamar mandi Anak merasa sedih, pendiam, tetapi gampang marah atau anak menjadi ketakutan setelah merima telepon atau e-mail.

Anak melakukan sesuatu yang bukan karakternya

Anak yang menderita cedera fisik yang tidak konsisten dengan penjelasannya

Anak mengalami sakit perut, pusing, panik, keadaan sulit tidur atau sangat sering tidur, kelelahan

Baju berantakan, robek, atau hilang. (Coloroso, 2007)

Banyak anak setelah merasa terhina, malu dan babak belur, mengenakan topeng normalitas setiap hari. Namun di balik senyum palsu dan tawa yang gugup terdapat sakit yang dalam. Jika anak atau siswa/siswi menjadi target seorang penindas jangan harap ia akan memberitahu guru atau orang tua dengan terus terang karena beberapa alasan salah satunya adalah; mereka takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberi tahu, mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang dapat menolong mereka


(40)

dan mereka belajar bahwa mengadukan seorang teman sebaya adalah hal yang buruk, tidak keren, kekanak-kanakan (Coloroso, 2007).

c. Penonton atau saksi (Bystander)

Para penonton atau saksi adalah peran pendukung yang membantu atau mendorong the bully (penindas) selama tindakan balas dendam dan kesalahan. Mereka bisa berdiam diri dan memandangi saja, mendorong penindas secara aktif atau bergabung dan menjadi salah satu anggota penindas.Tidaklah lazim bagi anak laki-laki atau perempuan praremaja untuk menggunakan kritik-kritik kejam yang bersifat verbal, fisik, dan relasional kepada anak yang menjadi sasaran guna meninggikan status mereka di dalam kelompok sebaya. Kurangnya konsekuensi negatif terlihat, rasa bersalah dan banyaknya reward (hadiah) bagi penindas menambah penegakan tindakan bullying ini (Rigby, 2001).

Bystanders sendiri memberikan respon yang berbeda-beda ketika menyaksikan tindakan bully (Harris & Petrie, 2003). Ada yang mengabaikannya, merasa takut, merasa itu adalah se uatu yang lucu, atau ikut merasa sedih. Bagaimanapun juga, tindakan bully berpengaruh pada bystanders.

The bully tidak lagi bertindak seorang diri, para penonton telah menjadi segerombolan penindas yang bersama-sama memperlakukan targetnya dengan semakin jahat. Keadaan ini juga mengurangi perasaan bersalah para penindas. Hal ini mempersulit anak-anak untuk mengembangkan empati, belas kasih, dan pengambilan perspektif


(41)

(menempatkan diri pada posisi orang lain). Penonton yang pasif atau menyingkir memiliki konsekuensi tersendiri, dimana rasa percaya diri dan harga diri penonton terkikis ketika mereka mengalahkan perasaan takut karena telah terlibat dan mengabaikan fakta bahwa dengan tidak melakukan apa-apa berarti tanggung jawab moral mereka pada teman-teman sebaya yang menjadi target atau korban telah hilang (Coloroso, 2007).

Ketika orang dewasa dan teman-teman sekolah tidak mengambil tindakan, maka anak-anak akan belajar untuk menerima perilaku bullying itu sebagai tindakan yang biasa. Ketika seseorang melihat peristiwa bullying dan kamu tidak melakukan apapun terhadap hal tersebut, maka kamu atau individu tersebut mengirimkan pesan kepada pelaku bahwa perbuatannya itu diterima dan tidak menjadi suatu masalah bagi kamu. Hal itu juga menjadi sebuah indikasi yang memberi pesan bahwa si target atau korban patut menerimanya ( Julie & Matthews, 2011).

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Bullying

Bully atau pelaku bullying adalah seseorang yang secara langsung melakukan agresi baik fisik, verbal atau psikologis kepada orang lain dengan tujuan untuk menunjukkan kekuatan atau mendemonstrasikan pada orang lain. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying. Faktor-faktor penyebabnya antara lain (Coloroso, 2007):


(42)

a. Faktor keluarga: Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu menyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam. Selain itu faktor cara pengasuhan orang tua yang terlalu overprotektif menjadi penyebab awal terbentuknya pribadi anak yang lemah dan kurang inisiatif.

b. Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c. Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam


(43)

kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

2.1.5. Dampak Bullying terhadap Korban (The Victim), pelaku (the bully) serta penonton (bystander)

Bullying adalah sebuah isu yang tidak semestinya dipandang sebelah mata dan diremehkan, bahkan disangkal keberadaannya. Siswa-siswa yang menjadi korban akan menghabiskan banyak waktu untuk memikirikan berbagai cara untuk menghindari gangguan di sekolah sehingga mereka hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Pelaku (the bully) juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan relasi sosial dan apabila perilaku ini terjadi hingga mereka dewasa tentu saja akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Siswa-siswa yang menjadi penonton juga berpotensi untuk menjadi pelaku bullying (Coloroso, 2007).

Bullying atau bukanlah soal kemarahan tetapi juga bukan konflik. adalah tentang penghinaan, sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap sesorang yang dianggap tidak berharga, lemah atau tidak layak mendapatkan penghargaan (Coloroso, 2007). Bullying tidak termasuk perilaku normal anak-anak seperti persaingan atau perkelahian satu lawan satu antarsaudara kandung atau antarteman sebaya karena tuntutan persaingan. Bullying juga tidak termasuk tindakan agresif impulsif, dengan kata lain agresi adalah tindakan spontan, serangan yang tidak pandang bulu, tanpa ditujukan pada target tertentu (Coloroso, 2007).


(44)

Mencermati kondisi tersebut, perilaku bullying memiliki dampak yang serius pada korban. Secara fisik, kekerasan ini dapat mengakibatkan luka dan kerusakan tubuh antara lain memar, luka sayatan, luka bakar, luka organ bagian dalam, hingga kondisi koma. Secara psikologis bullying mengakibatkan rendahnya harga diri hingga depresi dan pada jangka panjang mengakibatkan trauma.

Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan bakat mereka untuk menindas orang lain. Tidak ada satu faktor pun yang dapat menjelaskan hal tersebut secara keseluruhan. Para penindas (the bully) tidak lahir sebagai penindas. Temperamen bawaan sejak lahir adalah sebuah faktor. Namun ada juga faktor lain, yaitu pengaruh linkungan yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu (Bronfenbrenner,1994). Penindas (the bully) ada yang datang dari seorang anak yang tertindas. Kekasaran yang tidak simpatik dan tanpa hati adalah selubung keras yang digunakan untuk membungkus dirinya (Coloroso, 2007).

Anak yang tertindas menyerah tanpa daya hingga seolah tampaknya tidak akan membalas atau mengatakan kepada siapapun tentang tersebut. Penindas memastikan bahwa saksi atau para penonton menjadi pihak yang terlibat secara aktif atau mendukung . Maka, dimulailah suatu siklus kekerasan atau . Untuk dapat diterima dan merasa aman sepanjang saat menjelang remaja dan sepanjang masa remaja, anak-anak tidak saja bergabung dengan kelompok-kelompok namun mereka juga membentuk kelompok yang disebut klik. Klik memiliki kesamaan minat, nilai, percakapan, dan selera. Ini bagus, akan tetapi ada juga


(45)

ekslusivitas dan pengecualian, hal ini tidak bagus. Budaya sekolah yang menyuburkan klik-klik tersebut akan menyuburkan diskriminasi dan .

Olweus menjelaskan bahwa kegunaan lingkaran (penindas, korban dan penonton) sebagai alat bantu bagi para guru, orang tua dan para siswa dalam mendiskusikan cara-cara mengatasi dan mencegah serta cara agar anak-anak mampu berperan aktif memutuskan mata rantai bullying ini (Coloroso, 2007).

2.3. The Support Group Method

Mendeteksi dan menghentikan perilaku bullying dibutuhkan kebijakan untuk mengatasi bullying. Kebijakan ini diterapkan pada guru, staf dan pihak sekolah sebagai wujud tanggung jawab untuk mengurangi dampak pengalaman negatif dari bullying.M Salah satu pendekatan kelompok yang telah diterapkan di sekolah-sekolah di Eropa adalah The Support Group Method, yang merupakan pendekatan ekosistem. Metode ini merupakan strategi yang mengarahkan anak dan remaja menggunakan cara yang sesuai dalam menghadapi situasi bullying (Putter, 2007). Intervensi ini melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu anak yang mengalami bullying menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Kelompok bisa terdiri dari pelaku, korban dan bystander (penonton). Fokus pada Problem solving (pemecahan masalah), pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan (Young, 1998). Maines dan Robinson merancang sebuah intervensi bullying dengan nama The Support Group Method. Metode ini nantinya melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu korban bullying


(46)

menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Metode ini mengikutsertakan dukungan kelompok yang bisa terdiri dari pelaku, korban dan bystander (penonton).

Dalam beberapa kasus, penggunaaan metode dukungan teman sebaya terbukti membantu korban bullying (Council of Europe dalam Robinson & Maines, 2008). Salah satu metode teman sebaya yang dianggap memiliki pengaruh dan terbukti dapat meningkatkan kemampuan sosial siswa yang terkena dampak bullying adalah the support group method.

Dimana tujuan akhirnya ialah ia mampu menemukan solusi atau kepercayaan dirinya menghadapi ketika menghadapi peristiwa yang sama pada suatu saat nanti (Robinson & Maine, 2008). Dengan menggunakan pendekatan Problem solving (pemecahan masalah), pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan (Sue Young, 1998). Rancangan intervensi ini dilakukan dengan dua tujuan yakni; tugas pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying (Robinson & Maines,2008).

The support group method menawarkan tujuh langkah tahapan yang dapat digunakan oleh guru atau fasilitator. Setiap langkahnya direncanakan dengan hati-hati dan catatannya adalah setiap langkah agar tercapai tujuannya (Robinson & Maines, 2008). Adapun langkah-langkah tersebut adalah:

a. Langkah pertama- berbicara dan mendengarkan korban Adapun tujuan dari langkah ini adalah:


(47)

1. Untuk memahami perasaan sedih atau rasa sakit dari pengalaman korban

2. Menjelaskan mengenai metode dan keuntungan selama prosesnya 3. Mendiskusikan siapa yang terlibat dan menjadi mentor dalam the

support group ini

4. Untuk menyetujui apa yang diceritakan dalam kelompok

Saat fasilitator menemukan perilaku bullying, dia akan berbicara kepada korban. Selama proses percakapan berlangsung penting bagi fasilitator untuk menangkap perasaan yang dirasakan oleh korban dan juga bagi korban dimana mereka memahami apa yang sebenar mereka rasakan saat itu (Robinson & Maines, 2008). Terkadang situasi tersebut membawa pada ketakutan dan kepedihan pada korban tanpa disudutkan. Adapun tujuan dalam hal ini adalah membuat ia (korban) lega dan merasa sama setelah menceritakan hal tersebut.

Korban akan membantu fasilitator untuk memilih anggota kelompok dengan menanyakan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Mereka bisa jadi sebagai bystander, pelaku atau bahkan korban juga (Robinson & Maines, 2008). Sangat penting untuk membangun aturan dalam kelompok dan nantinya fasilitator seharusnya mengakhiri pertemuan dengan:

Mengecek bahwa tidak ada rahasia yang telah didiskusikan dimana tidak seharusnya diungkapkan dalam kelompok

Mengundang korban untuk mengeluarkan atau memberi ilustrasi mengenai ketidakbahagiaannya


(48)

Menawarkan korban kesempatan untuk berbicara kembali selama proses diskusi berlangsung jika proses ini tidak berlangsung baik.

b. Langkah kedua - membuat pertemuan dengan orang-orang yang akan terlibat dalam kelompok

Fasilitator nantinya mengatur pertemuan dengan anggota kelompok yang dipilih oleh target. Kelompok tersebut terdiri dari enam hingga delapan orang, ini sebuah kesempatan bagi fasilitator untuk menggunakan pertimbangannya untuk membantu kelompok menemukan kekuatan dalam kelompok untuk menemukan hasil terbaik.

c. Langkah ketiga – Menjelaskan permasalahan

Fasilitator memulai dengan memberitahu mengenai permasalahan yang dialami korban, kemudian meminta kelompok untuk mendengarkan kekhawatirannya. Kemudian fasilitator kembali menceritakan mengenai kesedihan atau kemalangan yang dialami target yang nantinya akan di diskusikan dalam kelompok.

d. Langkah keempat – berbagi tanggung jawab

Setelah pertanggungjawaban itu selesai, pendengar bisa jadi sedih atau tidak nyaman atau tidak yakin dengan alasan pertemuan ini. Beberapa mungkin terlihat cemas dengan kemungkinan hukuman. Fasilitator disini membuat sebuah perubahan dengan pernyataan tegas mengenai:

- Tidak ada seorangpun disini yang akan dihukum

- Ini merupakan tanggung jawab fasilitator untuk menolong korban agar menjadi merasa lebih aman dan tenang tetapi hal ini tidak bisa ia lakukan tanpa bantuan kelompok


(49)

- Kelompok diundang dengan maksud membantu memecahkan permasalahan ini.

e. Langkah kelima Menanyakan setiap anggota kelompok mengenai ide-ide mereka

Setiap anggota kelompok diajak untuk menyarankan sebuah langkah dimana korban dapat terbantu untuk lebih merasa lega dan bahagia. Ide-ide dapat

dinyatakan dalam bentuk “saya” tujuan bahasa: “saya akan berjalan ke sekolah dengan dia.” “Saya akan mengajaknya untuk duduk bersama ketika makan di

kantin. ”Ide-ide yang dimiliki oleh anggota kelompok dan tidak didesak oleh fasilitator. Fasilitator akan memberikan respon yang positif tetapi dia tidak akan melanjutkan untuk merangkum hal itu untuk meningkatkan perilaku.

f. Langkah Keenam Leave it up kepada mereka

Fasilitator mengakhiri pertemuan tersebut dengan meninggalkan tanggung jawab kepada kelompok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemudian Fasilitator akan memberikan ekspresi penghargaan sebagai hasil positif dan mengatur kembali pertemuan selanjutnya dengan mereka untuk melihat sejauhmana perkembangan yang terjadi nantinya.

g. Langkah Ketujuh– Pertemuan kembali

Setelah beberapa hari, fasilitator berdiskusi dengan setiap siswa termasuk korban, melihat bagaimana perkembangan terbaru. Hal ini membantu fasilitator memonitor perilaku bullying dan menjaga keterlibatan para siswa atau remaja terlibat aktif dalam proses ini. Pertemuan ini nantinya bisa dilakukan secara


(50)

individual dari setiap anggota kelompok tentang kontribusinya terhadap korban tanpa menciptakan atmosfir kompetisi diantara yang lain.

Kebijakan anti yang kuat yang dinyatakan secara jelas, dilaksanakan secara konsisten dan dikomunikasikan secara meluas. Kebijakan tersebut memastikan adanya prosedur-prosedur dan program-program yang mendukung dan meneguhkan kebijakan yang aman dan peduli bagi para siswa. Kebijakan yang dimiliki hanyalah satu hal yakni benar-benar berbeda untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut bukan sekedar plakat di dinding sekolah atau sebuah kutipan tulisan yang inspirasional. Budaya sekolah dan lingkungan sosial yang diciptakan sekaligus direfleksikan oleh kebijakan-kebijakan, prosedur dari program preventif ini.

2.4. Pengaruh Group Support Terhadap Perilaku Anak / Remaja

Dalam sebuah kajian yang dilaksanakan oleh Kaiser Foundation pada tahun 2001 (Coloroso, 2007) mengungkapkan bahwa hampir tiga perempat anak mengalami di sekolah. Mereka diejek atau ditindas di sekolah, mereka mengatakan bahwa (bullying) adalah sebuah “masalah besar” di sekolah. Statistik terakhir menunjukkan bahwa guru-guru, staf-staf di sekolah dan orang tua sangat meremehkan frekuensi (bullying) bila dibandingkan dengan tanggapan para siswa. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan pemahaman pihak sekolah mengenai bullying masih relatif terbatas.

Untuk menghentikan siklus ini, pihak sekolah khususnya diharapkan memiliki kebijakan mengenai (bullying), berkenaan dengan realism, kebijakan,


(51)

prosedur dan program pencegahan di sekolah harus bekerja sama. Langkah awal dengan mengakui bahwa sikap-sikap rasial memang ada di sekolah-sekolah kita. Penelitian Newman et al (2004) membuktikan bahwa perilaku bullying pada anak-anak dapat berkurang secara signifikan berkat kerjasama masyarakat, sekolah, konselor, guru, dan siswa. Sekolah memegang peranan penting untuk melakukan koordinasi keempat komponen tersebut.

Dukungan kelompok atau biasa disebut dengan supporting peers merupakan salah satu metode yang efektif yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di luar negeri. Peer atau teman kelompok dapat berperan sebagai mediator, mentor, konselor atau teman. Ada banyak peran terjadi di dalammya sehingga nantinya akan membangun sebuah hubungan yang memunculkan kepercayaan dan saling menghargai (Robinson & Maines, 2008).

Peer atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai teman kelompok adalah seseorang yang memiliki status yang sama karena ia bisa saja siswa atau anggota dari kelompok yang dibuat. Teman kelompok sebaya tersebut tidak harus seusia. Akan sangat membantu jika dukungan teman sebaya tersebut adalah orang yang lebih tua, berpengalaman atau memiliki lebih banyak pengetahuan. Teman kelompok memiliki pengaruh yang positif, karena mereka dapat saling mendengar dan memberi opini, sugesti, strategi-strategi dari setiap anggota kelompok karena mereka merupakan bagian dari kelompok itu sendiri.

Saya telah mengalami bullying selama bertahun-tahun dan saya tidak memiliki kepercayaan diri namun walaupun begitu saya dapat berbagi apa yang saya pelajari dari yang lain. (dalam Sullivan, 2005).


(52)

Teman kelompok memiliki keuntungan dibandingkan dengan otoritas yang lain dalam membantu. Mereka dapat menggunakan dan memahami dalam bahasa yang sama terhadap siswa atau anak yang mereka bantu. Teman kelompok tidak akan menawarkan siswa yang bermasalah menerima solusi mereka. Akan tetapi pengalaman mereka akan membantu siswa yang bermasalah dengan memancing fleksibilitas dalam berpikir. Seorang mentor kelompok dapat bertindak sebagai seorang pembuka jalan agar siswa tersebut menemukan jalannya sendiri (Helen and Jennifer, 2008). Mentor kelompok berbeda dengan teman. Mereka bisa jadi seorang guru, konselor atau psikolog dimana mereka menggunakan pengalaman pertemanan tetapi mereka bertindak objektif lebih dari seorang teman. Membangun sebuah program dukungan dari teman sebaya (Peer Support Group) di sekolah akan berguna dan lebih dipercaya oleh para siswa itu sendiri.

2.5. Efektivitas The Support Group Method Terhadap Self-Efficacy Pada Korban.

Pengertian efektivitas dalam penelitian ini adalah keberhasilan the support group method program yang diberikan kepada aparatur sekolah dimana guru dan staf sekolah memiliki pemahaman, ketrampilan serta mampu bersama-sama menciptakan sebuah kebijakan anti-bullying. Ada begitu banyak fenomena bullying terjadi di lingkungan siswa-siswi membuat sekolah-sekolah perlu menciptakan suatu tindakan sebagai antisipasi ataupun tindakan agar kejadian ini dapat semakin meluas dampaknya.


(53)

Kebanyakan sekolah di Eropa memiliki kebijakan anti-bullying tertentu. Kebijakan sekolah bervariasi yang memberikan kerangka kerja bagi respon setiap sekolah yang melibatkan seluruh komunitas dalam sekolah yakni siswa, guru, mentor pembelajaran, staf pendukung sekolah, kepala sekolah, dan orang tua (Robinson & Maines, 2008). Sebuah penemuan berkaitan dengan dukungan kelompok teman sebaya (group support ) yakni kualitas pertemanan adalah sesuatu yang sangat penting dalam mengurangi efek dari bullying. Anak yang memiliki teman sebaya yang kurang memiliki kualitas untuk melindungi temannya akan meningkatkan kesempatan untuk menjadi korban bullying dan juga meningkatkan masalah internal seperti frustrasi, depresi, low-self-esteem dan juga self-efficacy yang rendah (Helen, 2008).

Sebuah cara untuk memperluas proteksi di dalam grup pertemanan adalah dengan menciptakan atmosfer optimistis and harapan bahwa hubungan pertemanan tidak membutuhkan kekerasan, ataupun eksploitasi (Seligman, Reivich, Jaycox & Gillham 1995). Sekolah dapat mefasilitasi ini dengan mengembangkan sistem dukungan kelompok sebaya (Group Support) dengan prinsip kesetaraan, peduli terhadap sesama dan berempati terhadap perasaan orang lain (Shulman, 2002). Di Spanyol sistem ini sudah diterapkan dan mendapat respon yang positif disekolah, komunitasnya diberi nama convivencia dengan arti hidup dan bekerja bersama dalam harmoni.

Metode ini dinilai efektif dan berguna dalam konteks respon anti-bullying dan hal baiknya adalah bagaimana pemecahan dari suatu konflik memberikan sebuah a win-win solution. Metode ini bekerja dengan dua tujuan yakni; tugas


(54)

pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying (Robinson & Maines,2008). Intervensi ini dinilai sukses diterapkan di sekolah-sekolah di Inggris khususnya dan mulai merambah di Eropa (Sue Young, 1998). Alasan mengapa the support group dinilai bekerja cukup baik bukan hanya dinilai dari efektivitasnya namun juga solusi yang berkembang diluar dari pengaruh guru-guru melainkan dari berkembang dari siswa-siswa itu sendiri. Hal ini muncul akibat dinamika dalam dukungan kelompok. Penelitian psikologi kelompok memberikan pemahaman kenapa dukungan kelompok sebagai sebuah intervensi anti-bullying dinilai efektif (Young, 1998).

Berdasarkan hasil penelitian diatas peneliti tertarik untuk mencoba intervensi kelompok ini. Mencoba meningkatkan perilaku alturisasi pro-sosial pada remaja dan mengekspresikan ketidaksukaan mereka terhadap tindak bullying. Penelitian diatas menggambarkan bagaimana bukti bahwa dukungan kelompok sebaya dapat memberikan manfaat dari membuka kesempatan dalam membantu korban yang mengalami tindak bullying sehingga mereka lebih dapat mampu melindungi diri dan meningkatkan rasa percaya mereka terhadap diri mereka sendiri (Self-efficacy).

Kerangka berfikir penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima komponen yang terlibat angsung maupun tidak langsung terhadap perilaku bullying. Komponen tersebut adalah pelaku, korban, sekolah, keluarga, masyarakat, dan budaya (Swearer & Espelage, 2004). Dalam penelitian ini intervensi diberikan


(55)

pada korban, maka diberikan the support group method sebagai upaya untuk meningkat self-efficacy.

--- Korban memiliki self efficacy yang tinggi sehingga

Ia mampu mengahadapi perilaku bullying

Keterangan:

--- batas penelitian

Gambar 2. Kerangka berfikir

2.6. Hipotesis

Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:

BULLYING

Pelaku Korban Bystander

Self-efficacy yang rendah

Pemberian intervensi pada korban melalui The Support

Group Method, adapun metode ini terdiri dari tujuh

tahapan.

1.Langkah Pertama - berbicara dan mendengarkan korban. 2.Langkah kedua - membuat

pertemuan dengan siswa-siswa yang terpilih dalam kelompok. 3.Langkah Ketiga- menjelaskan

permasalahan

4.Langkah Keempat - berbagi tanggung jawab

5.Langkah Kelima - Menyingkap ide-ide dari setiap anggota kelompok

6.Langkah Keenam - Leave itup (memberikan mereka tanggung jawab).


(56)

Ho : Tidak ada peningkatan self-efficacy pada korban bullying yang sudah mengikuti intervensi the support group method.

Ha : Ada peningkatan self-efficacy pada korban bullying yang sudah mengikuti intervensi the support group method.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran mengenai hasil penelitian efektifitas the support group method untuk meningkatan self-efficacy korban bullying.

2.6. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian efektifitas the support group method untuk meningkatkan self-efficacy korban bullying dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Intervensi the support group method dinilai cukup efektif terhadap peningkatan self-efficacy pada korban bullying. Hal ini ditunjukkan pada hasil pengujian hipotesis sebelumnya, dimana nilai P (2- tailed) atau taraf signifikan sebesar 0.015. Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya terdapat peningkatan self-efficacy pada korban bullying setelah mengikuti intervensi the support group method.

2. Ada perbedaan peningkatan self-efficacy pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilihat dari perbedaan Mean pada kedua kelompok, dimana kelompok eksperimen mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

3. Peningkatan self-efficacy pada subjek penelitian menunjukan munculnya sikap antisipasi dan dukungan dalam menghentikan bullying di sekolah.


(2)

4. Rasa empati, komitmen dan rasa percaya antar anggota kelompok merupakan hasil dinamika kelompok yang turut mempengaruhi self-efficacy.

2.7. Saran

2.7.1. Saran Metodologis

Berdasarkan pelaksanaan dan hasil penelitian ini maka saran metodologis yang dapat disampaikan adalah:

a. Dalam penelitian ini subjek penelitian yang dipilih tergolong relatif kecil sehingga untuk hasil dan penarikan kesimpulan tidak bisa digeneralisasikan, hanya bisa dibandingkan untuk kelompoknya sendiri. Sehingga diharapkan kepada peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini untuk memperhatikan ranah sample ini.

b. Berkaitan dengan skala yang digunakan yakni Olweus Bullying Questionnaire sebagai bentuk screening sample dan The Self-Efficacy Questionnaire for Children yang diadopsi sebagai alat ukur self-efficacy sebelum dan sesudah intervensi terlebih dahulu diujikan lagi agar validitas dan reabilitasnya teruji dan bebas budaya.

2.7.2. Saran Praktis

Berdasarkan pada penjelasan di atas, penerapan intervensi the support group method dapat dijadikan rekomendasi. Sebagai suatu cara alternatif penanggulangan efek atau bahkan mengurangi tindak bullying, baik itu di


(3)

lingkungan sebaya khususnya di sekitar lingkungan sekolah oleh karenanya, beberapa saran atau rekomendasi berdasarkan penelitian ini:

1. Kepada siswa/siswi yang mengalami tindakan bullying dari seseorang diharapkan dapat memberitahukan teman terdekat atau sekedar berbagi cerita dengan siswa lain yang mengalami perilaku yang sama atau dengan siswa yang diperkirakan dapat memberikan masukan dalam mengatasi permasalahan akibat tindak bullying.

2. Kepada Sekolah dan Guru (bagian BP)

Bagi guru terutama bagian guru BP, the support group method dapat dijadikan suatu satu alternatif dalam menanggulagi tindak bullying dan dampak bullying terhdap siswa yang menjadi korban tindak bullying. Jika guru terkendala dalam menjalankan intervensi the support group method. Sebaiknya dilakukan diskusi dengan narasumber yang ahli dibidang psikologi atau dibidang pendidikan, agar intervensi tersebut bisa efektif. 3. Bagi orang tua, guru dan staf sekolah umumnya, diharapkan memberikan

dukungan positif dan perhatian yang lebih terhadap tindakan bullying di sekolah dengan membuat plakat anti-bullying agar penanggulangan terhadap perilaku di sekolah ini lebih optimal.

Penelitian bullying menunjukkan bahwa siswa dengan self-efficacy tinggi menunjukkan ketahanan terhadap tindak bullying (Robinson & Maines, 2008). Penelitian bullying menunjukkan bahwa siswa dengan self-efficacy tinggi menunjukkan ketahanan terhadap tindak bullying (Robinson & Maines, 2008).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, M., Kaufman, J., Simon, T.R, Barrios,L., Paulozzi, L., Ryan, G. School-associated violent deaths study group. (2001). Journal of the American Medical Association, 286, 2695-270.

Bandura, A (1997). Self-efficacy: the exercise of control. W.H. Freeman/Times Books. Henry Holt & Co, New York.

Bernard, M. & Milne, M. (2008). Safe schools are effective schools – schools procedure and practices for responding to students who bully. Commissioned by Victorian Department of Education and Early Childhood Development. Christensen, B.L. (2006). Experimental methodology. Pearson/Allyn & Bacon.

Boston.

Coloroso, B. (2007). Stop bullying, memutuskan rantai kekerasan anak dari Prasekolah hingga SMU. Terjemahan dari the bully, the bullied and the bystander from preschool to high school. PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta. Cowie, H & Jennifer, D. (2008). New perspective on bullying. Open University

Press, New York.

Djuwita, R, (2005). Masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di indonesia. Workshop Bullying.29 April. Jakarta: Universitas Indonesia. http://www.google.com/bullying/WEBSITE--Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Espelage,D.L.& Swearer,S.M. (Eds.) (2004). Bullying in American school: A social-ecological perspective on prevention and intervention. London: Lawrence Erlbaum.

Fathurrohman.(2007). Strategi belajar mengajar melalui penanaman konsep umum dan konsep islami. Bandung: Refika Aditama.

Gini, G., Albiero, P., Benelli, B., & Altoe, G. (2007). Does empathy predict adolescents bullying and defending behavior? Aggressive Behavior,33, 467- 476.

Greeg, S. (1998). School-based programs to promote safety and civility. ael policy briefs. Charleston, WV: Appalachia Educational Labortatory. 9ED 419 –


(5)

Harris,S. ,Petrie, F. (2003). Bullying: the bullies, the victims, the bystanders. Lanham, Md: Scarecrow Press. New York.

Horne, A. M., Orpinas, P., Newman-Carlson, D., & Bartolomucci, C. L. (2004). Elementary school bully busters program: Understanding why children bully and what to do about it. In D. L. Espelage & S. M. Swearer (Eds.), Bullying in American Schools (pp. 297–325). Mahwah, NJ: Erlbaum

Hughes, R. Ginnett, R. & Curphy, G. (2009). Leadership: enhancing the lessons of experience. 6th edn. New York: McGraw Hill.

Http://www.echs.edwrds.k12.il.us/Student bullying survey.pdf. Tanggal Akses 20 Maret 2014.

Jolliffe,D & Farrington, D.P.(2004). Empathy and offending systemic

review and metaanaly sis. Agression and Violent Behavior,9,

441-476.

Kompas (2011). Bullying sering dianggap sepele. Ketua Child Protection Program Manager Plan Indonesia Kompas, 2011.

Latipun (2004). Psikologi eksperimen. UMM Press, Malang.

Julie,M. (2011). Stop the bullying. Trinity Beach, Qld. : Seashell Publishers. Queensland, Australia.

Kim, S., Varjas, K., Meyers, J., & Henrich, C. C. (2011). Bullying victim self-efficacy scale. Atlanta, Ga: center for research on school safety, school climate, and classroom management. Georgia State University

Muris, P. (2001). A brief questionnaire for measuring self-efficacy in youths. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment,23, 145–149.

Olweus, D. (1999). Bully/victim problems among school children: basic facts and effects of a school-based intervention program.” In D. J. Pepler and K. H. Rubin (Eds.), The Development and Treatment of Childhood Aggression: (441-48). Hillsdale, N.J.Erlbaum.

Pozoli, T.,Gini. G. (2010). Active defending and passive bystanding behavior in bullying: the role of personal characteristics and perceived peer pressure. Journal of Clinal Child Psychology. 38, 815–827.


(6)

Putter, S. (2007). Peer victimization: the role of self-eeficacy in children’s coping strategies. 5, 82-86. Departement of Psychology, Macquarie University-Sydney, Australia.

Rigby, K & Baines, E. (2002). New perspektives on bullying. Jessica Kingsley Publisher Ltd 116 Pentonville Road, England

Robinson, G., Maines, B. (2008). Bullying a complete guide to the support group method. SAGE Publication Ltd. London.

Sabitelli, R., Assessing outcomes in child and youth programs: a practical handbook, revised edition. Sabitelli, R., et al. (pages 53-56).

Seligman, Reivich, Jaycox & Gillham. (1995). Prevention of depressive symptoms in schoolchildren: Two-year follow-up. Psychological Science, 6, 343-351.

Sue Young. (2008). The support group approach to bullying in school. Journal Educational Psychology in Practice. 14,32-39.

Sugiyono, Dr. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta.

Zimmerman, B. J., & Schunk, D. H. (2003). Educational psychology: A century of contributions. Mahwah, NJ: Erlbum.