Penyelesaian Kredit Macet Pada PT. Bpr Duta Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang Dihubungkan Dengan Undang – Undang Perbankan
BAB II
PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DI DALAM BANK
A. Tinjauan Umum Tentang Bank 1. Pengertian Bank
Bank adalah sebuah tempat yang tidak asing lagi bagi semua orang. Pada umumnya semua pernah ke bank. Kata bank berasal dari bahasa Italia banque atau Italia banca yang berarti penukaran uang, berbeda dengan pekerjaan kebanyakan orang yang tidak memungkinkan mereka untuk duduk sambil bekerja.
Beberapa pengertian bank menurut para ahli ;11
- Pengertian Bank Menurut Kasmir dalam bukunya Manajemen Perbankan, secara sederhana bank dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.
- Pengertian Bank Menurut Prof G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Poltik, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit, baik dengan alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, dengan jalan mengedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.
11
(2)
- Pengertian Bank menurut. H. Malayu S.p Hasibuan “Bank adalah lembaga keuangan berarti Bank adalah badan usaha yang kekayaan terutama dalam bentuk asset keuangan (Financial Assets) serta bermotivasi profit dan juga sosial, jadi bukan mencari keuntungan saja.”
Beberapa Pengertian Bank Menurut UU Republik Indonesia:12
- Definisi bank menurut UU No. 14 tahun 1967 Pasal 1 Tentang Pokok-Pokok Perbankan adalah : “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”, dan pengertian bank menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yaitu “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
- Definisi bank menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
- Definisi bank menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
12
(3)
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk menarik seperti menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut. Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:13
- Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka pendek (yield enhancement).
- Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.
- Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).
Fungsi perbankan yaitu :
13
(4)
- Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri.
- Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa mendatang.
Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.14
2. Sejarah Bank
Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian. Hal ini jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan bangsa.
Sejarah bank dimulai pada saat pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahu berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk
14
(5)
bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis. Akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan, kemudian berdasarkan gagasan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu dua belas hari.
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada berkembang ke ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan pada masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada
(6)
tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:
- De Javasce NV - De Post Poar Bank - Hulp en Spaar Bank
- De Algemenevolks Crediet Bank - Nederland Handles Maatscappi (NHM) - Nationale Handles Bank (NHB)
- De Escompto Bank NV
- Nederlansche Indische Handelsbank
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari’ah, dan juga BPR Syari’ah (BPRS). Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut
(7)
Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu :
- Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No. 23 Tahun 1999. Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
- Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi :
1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
- Bank Negara Indonesia (BNI ’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.
(8)
- Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yang berada di luar Bank Negara Indonesia Unit.
- Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No. 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
- Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No. 13 Tahun 1962.
- Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No. 20 Tahun 1968.
- Bank Mandiri
Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
(9)
3. Jenis – jenis Bank
Bank memiliki banyak jenisnya jika dilihat dari berbagai segi, yaitu : a) Jenis-jenis bank berdasarkan fungsinya
1. Bank Umum
Menurut Undang - undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Kegiatan - kegiatan yang dilakukan bank umum antara lain:
- Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan.
- Memberikan kredit.
- Menerbitkan surat pengakuan hutang.
- Membeli, menjual, menjamin resiko sendiri maupun kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
- Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah.
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Menurut Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
(10)
b) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya
Menurut Kasmir jenis-jenis bank berdasarkan kepemilikannya dibedakan menjadi dua yaitu bank milik pemerintah dan bank milik swasta.
1. Bank Milik Pemerintah
Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya dan akte pendiriannya didirikan oleh pemerintah.
2. Bank Milik Swasta
Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya dan akte pendiriannya didirikan oleh swasta.
c) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Status
Jenis-jenis bank berdasarkan status dibedakan menjadi dua yaitu bank devisa dan bank non devisa.
1. Bank Devisa
Bank devisa adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dapat memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri dan sudah mendapat izin dari Bank Indonesia.
2. Bank Non Devisa
Bank non devisa adalah bank yang belum mendapat izin dari Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri seperti bank devisa.
(11)
d) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Cara Menentukan Harga
Jenis-jenis bank berdasarkan cara menentukan harga dibedakan menjadi dua yaitu bank berdasarkan prinsip konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah.
1. Bank Berdasarkan Prinsip Konvensional
Bank yang berdasarkan prinsip konvensional menetapkan bunga sebagai harga dan mengenakan biaya dalam nominal atau persentase tertentu (fee base) dalam mendapatkan keuntungan dan menentukan harga produk bank. 2. Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
Bank yang berdasarkan prinsip syariah menggunakan aturan perjanjian menurut hukum islam dalam pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpapilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
4. Fungsi Bank
Bank juga memiliki fungsinya di dalam kehidupan masyarakat. Selain sebagai tempat menyimpan uang, bank juga merupakan lembaga perantara keuangan yang resmi. Selain memiliki fungsi-fungsi umum lembaga perantara keuangan, bank umum memiliki pula fungsi-fungsi khususnya. Berikut fungsi bank menurut para ahli.
(12)
Menurut A. Howard D. Crosse dan George H. Hempel bahwa bank mempunyai tujuh fungsi pokok yaitu:15
1. Credit Creation (penciptaan kredit). 2. Depository Function (fungsi giral).
3. Payments and Collections (pembayaran dan penagihan).
4. Savings Accumulation and Investment (akumulasi tabungan dan investasi).
5. Trust Services (jasa-jasa 'trust'). 6. Other Services (jasa lain-lain).
7. Perolehan laba untuk imbalan para pemegang saham.
Menurut Oliver G. Wood, jr mengatakan bahwa bank umum melaksanakan lima fungsi utama dalam perekonomian yaitu:16
1. Memegang dana nasabah.
2. Menyajikan mekanisme pembayaran. 3. Menciptakan uang dan kredit.
4. Menyajikan pelayanan 'trust'. 5. Menyajikan jasa lain-lain.
Menurut C. Herbert Spero dan Lewis E. Davids menyebutkan ada lima buah fungsi bank, tetapi dengan rincian yang berbeda; yaitu:17
1. Menerima dan menyimpan dana setoran.
2. Membayar tagihan (penarikan cek. deposito, tabungan).
15
Howar D. Cross dan George H. Hempel, Management Politicie for Commercial Bank, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J. 1973, hl.3
16
Oliver G. Wood, Jr. Commercial Banking, D. Van Nostrand Company, New York, 1978, hlm. 12
17
(13)
3. Memberikan kredit kepada perusahaan – perusahaan untuk modal kerja, atau membeli aktiva tetap.
4. Memberikan kredit kepada pemerintah.
5. Memberikan pinjaman perorangan dalam bentuk kredit konsumsi atau kredit bangunan
Menurut American Bankers Association menyebutkan ada empat fungsi ekonomi utama bank yaitu :18
1. The depositfunction (fungsi penyimpanan dana).
2. The payments function (fungsi pembayaran).
3. The loanfunction (fungsi pemberian kredit).
4. The moneyfunction (fungsi uang)
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank ada 7 fungsi secara umum yaitu :
1. Fungsi Pengumpulan Dana.
Dana yang berasal dari masyarakat yang disimpan di bank pada umumnya dalam bentuk giro (demand deposits) sering pula disebut checking deposits, deposito (time deposits) sering disebut dengan deposito berjangka, dan tabungan (savings deposits). Ketiga sumber dana inilah yang merupakan sumber-sumber dana utama bank, selain sumber yang berasal dari modal sendiri (networth) bank, yang terdiri dari modal pesertaan dan laba yang tidak dibagikan. Ketiga sumber dan simpanan inilah memerlukan perhatian pengelola bank jauh lebih banyak
18
American Bankers Association, Principle of Bank Operation, American Institute of Banking, USA, 1971, hlm. 9-20.
(14)
daripada perhatian yang dicurahkan untuk mengelola sumber dana modal sendiri. Hal ini kiranya mudah dipahami, kalau kita ingat bahwa di satu pihak jumlahnya boleh dikatakan tidak berubah-ubah, dana simpanan di lain pihak, besarnya setiap harinya berubah dengan perubahan dua arah, yaitu dalam artian bisa bertambah dan bisa berkurang, dan juga bisa dengan jumlah yang cukup besar. Untuk bank yang sehat seluruh jumlah dana pihak ketiga ini bersama-sama dengan sisa modal sendiri perusahaan beserta sumber pembelanjaan berupa utang jangka panjang yang tidak tertanam dalam bentuk aktiva tetap fisik dan pesertaan modal di perusahaan lain secara permanen, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan untuk memenuhi kebutuhan kredit para nasabahnya, seperti tersebut pada butir 2 dan 3 di bawah ini.
2. Fungsi Pemberian Kredit.
Yaitu dana yang dikumpulkan melalui penerimaan giro, deposito, dan tabungan seperti yang dimaksud di atas, oleh bank harus segera "dijalankan" atau "diputar", sebab terhadap dana yang dikumpulkan tersebut bank terkena beban biaya berupa jasa giro , bunga deposito, bunga tabungan dan biaya operasional, seperti misalnya gaji, sewa gedung atau penyusutan dan sebagainya. Alternatif pemakaian dana yang pada umumnya bagi bank paling menguntungkan dan tidak banyak mengganggu likuiditas bank adalah pemberian kredit jangka pendek kepada pihak ketiga yang membutuhkan; yaitu yang singkatnya kita sebut sebagai nasabah pemakai kredit jangka pendek, atau lebih singkat lagi, debitur jangka pendek.
(15)
3. Fungsi Penanaman Dana/Investasi.
Yang dimaksud dengan investasi di sini berbeda dengan apa yang dimaksud dengan investasi di bidang ekonomi makro. Dalam ekonomi makro istilah investasi selalu dimaksudkan dalam artian investasi fisik, yaitu berupa penambahan sumber daya modal dalam perekonomian, dalam bidang perbankan, terlebih lagi dalam Manajemen Bank, istilah investasi selalu digunakan dalam artian investasi finansial, yaitu penanaman dana dalam bentuk surat-surat berharga, baik surat tanda pemilikan (saham misalnya) atau pun surat tanda utang (surat obligasi, surat wesel. SBI dan sebagainya). Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu ciri khas dari penanaman modal ialah bahwa dari penanaman tersebut si penanam modal memperoleh imbalan berupa pendapatan modal yang bisa berupa bunga (termasuk di dalamnya adalah diskonto), laba atau dividen. Ini berarti bahwa dana yang tertanam dalam bentuk aktiva likuid atau aktiva cadangan primer, tidak termasuk kategori aktiva investasi.
4. Fungsi Penciptaan Uang.
Di atas sudah disinggung dari sudut pandangan ekonomi makro atau ekonomi moneter, fungsi penciptaan uang dipandang sebagai fungsi paling pokok bank umum dalam perekonomian. Namun dari sudut pandangan manajer bank dapat dikatakan, bahwa dengan melupakan sarna sekali fungsi tersebut tidak akan berpengaruh terhadap maju mundurnya bank yang dipimpinnya. Keberhasilannya dalam mengelola fungsi pertama dan fungsi kedua otomatis berarti bahwa fungsi penciptaan uang telah dilaksanakan dengan baik oleh bank yang dikelolanya.
(16)
5. Fungsi Pembayaran.
Transaksi pembayaran sering diartikan sebagai kegiatan kewajiban pelunasan secara keseluruhan atau sebagian kewajiban finansial. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan ini dalam perekonomian, lembaga perbankan merupakan lembaga pemasok jasa pembayaran terbesar. Fungsi pembayaran ini pelaksanaannya tidak hanya dilakukan melalui cek atau bilyet giro saja, melainkan juga melalui surat wesel, kupon, transfer uang, baik melalui surat ataupun telegram. Dalam masyarakat kelak, pembayaran dilakukan melalui pendebetan dan pengkreditan terhadap rekening-rekening bank dari nasabah yang terdapat dalam memori komputer bank.
6. Fungsi Pemindahan Uang.
Hal ini sering juga disebut sebagai transfer uang. Dimana seseorang ingin mengirimkan uang kepada orang lain di kota lain. Mengenai cara melaksanakan transfer dapat dipergunakan beberapa cara. Antara lain bisa dilakukan melalui telegram, (surat ataupun dengan jalan menyerahkan wesel diantara sesama kantor cabangnya. Penarikan untuk pengertian aktiva likuid dan aktiva cadangan primer, atas saldo kredit yang ada pada bank korespondennya bisa juga dilakukan secara telegram, wesel tunjuk atau dengan cek. Dalam kenyataan kegiatan transfer mengenal beberapa bentuk, yang sering tercampur dengan unsur-unsur kegiatan utama lainnya. Misalnya saja menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, menjalankan perintah untuk pemindahan uang, menerima pembayaran dari tagihan atas kertas berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga, semua ini memang bisa dikategorikan ke dalam produk
(17)
jasa perbankan yang biasa disebut jasa'trust '1'trust service'. Tetapi paling tidak sebagian dari transaksi-transaksi tersebut terdapat unsur kegiatan transfer. Contoh lain untuk 'trust service' yang bercampur dengan transfer ialah pelayanan pembayaran rekening telepon para nasabah oleh bank, dimana bank mendapatkan kepercayaan untuk menyelesaikan hutang nasabah kepada kantor telepon. Dalam transaksi tersebut di samping dijumpai unsur pemberian kuasa untuk menyelesaikan kewajiban membayar, juga ada unsur pemberian kuasa untuk menggunakan saldo debit giro milik nasabah, dan juga ada unsur transfer uang dari nasabahnya kepada kantor telepon.
7. Fungsi Pemasokan Produk Jasa Perbankan Lainnya.
IKPI membedakan produk perbankan lain-lain ke dalam dua kelompok, yaitu jasa-jasa perbankan dalam negeri dan jasa-jasa perbankan luar negeri. Dengan adanya penemuan-penemuan produk baru di bidang jasa perbankan, berbagai macam-ragam produk jasa perbankan senantiasa mengalami perubahan dengan arah lebih pada penambahan. Dengan demikian, maka macam jasa perbankan yang disebutkan dalam sumber tulisan manapun sifatnya tidak limitatif.
B. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian
Pembentuk Undang-Undang memberikan definisi di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi perjanjian adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
(18)
Menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut bahwa yang disebut perjanjian adalah “Suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.19
Menurut Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah “Suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan”.20
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berdasarkan uraian tersebut ada subyek perjanjian yaitu kreditor dan debitor. Kreditor mempunyai hak terhadap prestasi sedangkan debitor wajib memenuhi prestasi. Di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur yaitu : 21 1) Ada pihak-pihak
Pihak yang ada disini paling sedikit harus ada dua orang, para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian tersebut. Subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum.
2) Ada persetujuan para pihak
Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan keduanya, hal ini bisa disebut dengan asas konsensualitas
19
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 78
20
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1987, hlm.1
21
(19)
dalam suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan tipuan dan keraguan.
3) Ada tujuan yang akan dicapai
Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut.
4) Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu dengan yang lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya. 5) Ada bentuk tertentu
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian yang dibuat tertulis dan dibuat dalam suatu akte otentik maupun di bawah tangan.
6) Ada syarat-syarat tertentu
Isi dalam suatu perjanjian harus ada syarat tertentu, karena dalam suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
(20)
Perjanjian yang dibuat tidak dibatasi oleh siapa pihaknya, apa tujuannya, dan apa yang mereka sepakati asal sesuai dengan pasal 1320 bw yaitu :
Pasal 1320 bw : untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
1. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ;
Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan dibuat. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, tanpa ada salah satu pihak dirugikan atau bahkan kedua belah pihak saling merugikan.
2. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum yang berlaku. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak
(21)
juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:22
a) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
b) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang- Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
c) Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
22
(22)
3. Suatu hal tertentu ;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk disebutkan.
4. Suatu causa atau sebab yang halal ;
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu : 1. Syarat subyektif ;
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. 2. Syarat obyektif ;
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a) Suatu hal tertentu.
(23)
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
Istilah kontrak dengan perjanjian sering membuat banyak orang bingung. Di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) penggunaan istilah overeenkomst dan contract digunakan untuk pengertian yang sama.
Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Banyak para sarjana yang memandang ini dengan berbagai macam pandangan, ada yang mendukung ada juga yang tidak mendukung.
Pengertian yang dikemukakan di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) juga didukung oleh pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,
23
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,24 Mariam Darus Badrulzaman,25 Purwahid Patrik26 dan Tirtodiningrat 27
23
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19.
24
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19.
25
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi II, Cet. I, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 89. 26
Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 45.
yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.
(24)
Berbeda dengan para sarjana tadi, Subekti 28mengangap pengertian kontrak lebih sempit cakupannya daripada perjanjian / perikatan. Hal ini karena kontrak digunakan untuk perjanjian / perikatan yang tertulis. Sarjana lain yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah Peter Mahmud Marzuki.29
27
R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985, hlm. 72.
28
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1.
29
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal
Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.
Beliau membedakan pengertian kontrak dengan perjanjian ke dalam sistem Anglo – American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah perjanjian. Istilah kontrak adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu Contract. Didalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan menunjukkan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang dalam bahasa Belandanya adalah overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.
(25)
Rumusan baik tentang kontrak atau perjanjian di dalam BW terdpat di dalam pasal 1313, yaitu “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.30
a) hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah bentuk
hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum;
Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat 4 (empat) unsur perikatan, yaitu :
b) bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan
perikatan di Buku III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan;
c) para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan
pihak-pihak sebagai subyek hukum;
d) prestasi, artinya hubungan hukum tersebut melahirkan
kewajiban-kewajiban (prestasi) kepada para pihaknya (prestasi - kontra prestasi), yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan menggunakan alat negara.” 31
1. Syarat Subyektif
Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian ada 2, yaitu:
30
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
31
AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
(26)
a) Kesepakatan bebas kedua belah pihak
Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.
Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemui pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian kesepakatan, bagaimana
(27)
kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.32
Penyesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat di mengerti pihak lain.
Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/ sepakatnya, Jika seseorang itu memang menghendaki apa yang disepakati, karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas di antara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung jawaban dari asas konsensualitas.
33
Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.
32
AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18. 33
(28)
memuat ketentuan-ketentuan yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.
Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat dalam Pasal 1320 adalah sepakat pada saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menrbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.34
Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat hukum tertentu (Sesuatu yang dikehendaki), tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak
34
(29)
diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan kehendak. 35
Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang sempurna dan tertulis; Kedua, Bahasa yang sempurna secara lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.
36
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyaratkan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi memang benar, ada perjanjian-perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata (dalam arti luas) mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta (bentuk tertulis). Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik Suatu akta yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak, namun di samping itu, mereka bebas untuk membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif untuk adanya perjanjian sebagaimana dimaksudkan oleh undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang-undang adalah penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu,
35
J. Satrio, Op. cit, hal. 174
36
(30)
namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada perjanjian antara para pihak. Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.
Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya dilaksanakan dengan benar pula maka terjadilah perjanjian, namun adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas.
Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Cacat dalam kehendak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a) Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian; b) Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; c) Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.
a) Tentang kekhilafan dalam perjanjian
Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”.
(31)
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu:
1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu: hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Eror in substantia); Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat (Eror in pesona).
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya. Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan pengecualian tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama.
Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan diakui oleh Kitab Undang-Undang Hukum
(32)
Perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b) Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.
Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.
Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
(33)
“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun ke bawah”.
Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk di dalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun ke bawah. Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
Pasal 1324
“Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”. Pasal 1326
“Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk embatalkan perjanjian”.
Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian
(34)
kekerasan. Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.
Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang menyatakan:
“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.
c) Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, berbunyi:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.
Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan
(35)
telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.
2. Kecakapan untuk bertindak
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
(36)
Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:37
a) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
b) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
c) Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
1. Syarat Objektif
Syarat objektif sahnya perjanjian yaitu: 1. Tentang hal tertentu dalam perjanjian
Kitab undang-undang hukum perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab undang-undang hukum perdata, yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” terlihat
37
(37)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.
Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan.
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat
(38)
dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitor. Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:
“Penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya”.
Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditor kepada debitor, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitor yaitu untuk membayar hak tagih kreditor manakala debitor cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditor adalah kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitor misalnya terhadap hak (atas kekayaan intelektual) milik kreditor, yang dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah juga merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan
(39)
saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum menerbitkan perikatan bagi para pihak.
Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. 2. Tentang sebab yang halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal yaitu: pertama: Bukan tanpa sebab, kedua: Bukan sebab yang palsu, ketiga: Bukan sebab yang terlarang Undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang.
(40)
Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensialia atau yang terkait erat dengan unsur esensialia dalam perjanjian tersebut, yang tanda adanya unsur esensialia tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut akan dibuat oleh para pihak. Syarat sahnya kontrak menurut hukum kontrak (law of contract) Amerika Di dalam hukum kontrak (law of contact) Amerika syarat sahnya kontrak, yaitu:38
a. Offer dan Acceptance (penawaran dan penerimaan)
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan). Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Sedangkan yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran adalah setiap orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat adanya penawaran, yaitu :
1. Adanya konsiderasi (prestasi). 2. Sesuai dengan undang-undang.
3. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract.
4. Under doctrine of promissory estoppels.
5. By virtue of a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan menghasilkan dua macam kontrak, yaitu:
38
(41)
1) Kontrak bilateral. 2) Kontrak unilateral
Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang, dalam kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi satu janji dari satu pihak saja.
b. Metting of minds (persesuaian kehendak)
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Hal yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah adalah adanya meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Penyesesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan keadaan (undu influence) maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan.
c. Consideration (prestasi),
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration). Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu semua hak yang dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk pelanggaran
(42)
masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang dikenal dengan surat perintah (writ).
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli. Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motif atau alasan untuk membuat kontrak. Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan artinya dengan prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau jani dari masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. Konsiderasi dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan.
d. Competent parties and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak
dan pokok persoalan yang sah).
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter yaitu keabsahan dari pokok persoalan. Di dalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang dapat membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-masing negara bagian tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun untuk semua jenis kelamin dan ada juga negara bagian yang menentukan 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk membuat kontrak adalah:
1) Orang dibawah umur, dan 2) Orang gila
(43)
3) Asas-Asas Perjanjian
Ada beberapa asas yang terjadi dalam hukum perjanjian, yaitu:
1. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak)
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas pancaran hak asasi manusia. Asas ini terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menentukan bahwa para pihak bebas untuk menentukan apa yang disepakati tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketentuan undang-undang. Selain dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Secara langsung telah tampak pengertian bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian. Janji mana justru berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.
Mariam Darus berpendapat bahwa: “Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab dan mampu memelihara keseimbangan antara pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap dipertahankan yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”.39
Dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian mengantut sistem terbuka,yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan
39
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, dkk, Hukum Perikatan, (Bandung:
(44)
perjanjian-perjanjian dengan bentuk tertentu dan bebas memilih undang-undang mana yang dipakainya untuk perjanjian itu. Berarti bahwa setiap orang bebas untuk menentukan keinginan yang dituangkan dan diatur sebagai isi perjanjian. Lebih jauh berarti bahwa karena berlaku sebagai undang-undang maka wajib dilaksanakan dan bila perlu menggunakan alat paksa kepentingan umum. Asas ini berkaitan erat dengan asas konsensualisme.
2. Asas Konsensualisme
Asas ini ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini berkaitan dengan kehendak para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Asas ini berkenaan dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat perjanjian. Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang sepakat berjanji tentang suatu hal, berkewajiban untuk memenuhinya. Secara implisit asas ini lebih menekankan pada moral para pelaku. Pada perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang berjanji.
Apabila salah satu pihak ingkar maka pihak yang diingkari dapat memohon kepada Hakim agar klausa tersebut mengikat dan dapat dipaksanakan berlakunya. Selain berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak, asas ini juga berkaitan dengan asas kepercayaan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1334 KUH Perdata, yang mengatur bahwa barang yang barus ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Dalam hal ini, subjek hukum diberikan kesempatan menyatakan keinginannya yang dianggap baik untuk
(45)
mengadakan perjanjian. Maka ia harus memegang teguh kesepakatan yang diberikan kepadanya.
3. Asas Kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuh-kembangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepecayaan itu maka perjanjian tiak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Asas kepercayaan ditentukan dalam Pasal 1338 juncto Pasal 1334 KUH Perdata.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.40
Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan bahwa “Pasca sunt servanda” (janji itu mengikat). Selanjutnya ia mengatakan lagi “promissorum implemndroum obligation”. (kita harus memenuhi janji kita).
41
40
Mariam Darus Badrulzaman, Op. cit. hal. 42
41
Ibid, hal. 109.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata. Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian mengandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan tersebut akan mengikat para pihak. Asas ini hampir sama dengan asas kepatutan, karena
(46)
memang mengaitkan hal yang patut sebagai kewajiban bagi para pihak yang mengikat suatu perjanjian.
4. Asas Persamaan Hak
Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak ada pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain. Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai paksaan. Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak lainnya. Jika prinsip sama-sama menang (win win solution) tidak dapat diwujudkan secara murni, namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan dimana segala sesuatu yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja. 5. Asas Keseimbangan
Asas ini diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1244 KUH Perdata yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan itu merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak. 6. Asas Kepentingan Umum
Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata. Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian kedua belah pihak, bak kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.
(47)
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Dalam hal ini, asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Akan tetapi dalam prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Mariam Darus mengatakan bahwa: “Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.42
8. Asas Moral
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.
Asas ini terlihat dalam perikatan biasa, artinya bahwa suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak menimbukan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela (moral) maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
Faktor-faktor yang memberi motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
9. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUH Perdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
42
(48)
untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada hal-hal yang dalam kebiasaan diikuti. Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas dinyatakan.
Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya (gewonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata iala kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk
beding).43
10. Asas Sistem Terbuka
Asas ini penting diperhatikan dalam suatu perjanjian. Sitem perjanjian yang bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga dapat menuntut bila perjanjian tersebut dianggap merugikan kepentingannya.
11. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung unsur kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian.
4. Berakhirnya Perjanjian
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji.
43
(49)
Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk.44 Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of contrac ) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.45
Menurut Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu : 46
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya ; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat ; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Hukuman atau akibat–akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam yaitu :
1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian.
3) Peralihan resiko.
44
Subekti, Op. Cit, hlm. 45
45
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 87-88
46
(50)
4) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Dalam suatu perjanjian harus diketahui kapan perjanjian itu berakhir. Perjanjian dapat berakhir karena:47
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan yang berlaku untuk waktu tertentu.
2. Ditentukan oleh undang-undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum perdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.
3. Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. 4. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
a. Perjanjian kerja;
b. Perjanjian sewa-menyewa.
c. Perjanjian hapus karena putusan hakim.
47
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009) hal. 95.
(51)
d. Tujuan perjanjian telah dicapai.
e. Berdasarkan kesepakatan para pihak (herroeping).
C. Kredit Pada Umumnya 1. Pengertian Kredit
Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa yunani yaitu Credere yang di-Indonesiakan menjadi kredit, mempunyai arti kepercayaan. Seseorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan.48 Dengan demikian dasar daripada kredit adalah kepercayaan. Pihak yang memberikan kredit (kreditor) percaya bahwa penerimaan kredit (debitor) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontra prestasinya.49
Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan pengertian kredit ini, adapun pendapat para sarjana mengenai pengertian kredit
Pengertian perjanjian banyak bisa kita temukan baik menurut para ahli ataupun menurut undang – undang.
50
1) Savelberg dalam Mariam Darus Badrulzaman menyatakan kredit mempunyai dua arti antara lain :
adalah sebagai berikut:
- Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.
48
Mgs.Edy Putra The ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta, Liberty, 1989,hal. 1.
49
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 356.
50
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 24-25.
(52)
- Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 2) J.A. Levy dalam Mariam Darus Badrulzaman merumuskan arti hokum dari
kredit sebagai berikut :
“ Menyerahkan secara suka rela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari “.
3) M. Jakile dalam Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.
Sedangkan berdasarkan menurut Undang – undang yaitu di dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, kredit adalah :
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.51
Berdasarkan definisi-definisi kredit di atas, dapat kita lihat bahwa pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan menunjukkan kesamaan pendapat dengan pendapat Levy, yakni perjanjian pinjam
51
Yasabari Nasroen dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit Mengantar
(53)
uang. Bank memberikan pinjaman terhadap debitor dengan memberikan kewajiban pada debitor untuk mengembalikan pinjaman tersebut secara bertahap berikut dengan bunga.
2. Unsur – Unsur Kredit
Dilihat dari defenisi kedit yang telah dikemukan dapat dilihat adanya unsur-unsur dalam suatu perjanjian kredit, yaitu:
a) Kepercayaan
Keyakinan bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan Bank, di mana sebelumnya telah dilakukan penelitian, penyelidikan tentang nasabah baik secara interen maupun eksteren.
b) Kesepakatan
Adanya kesepakatan antara si pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur). Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing.
c) Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan mempunyai jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang disepakati. Jangka waktu itu bisa berbentuk jangka pendek, menengah dan panjang.
d) Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya/kredit macet. Semakin panjang jangka waktu suatu
(54)
kredit, maka akan semakin besar resikonya. Resiko ini menjadi tanggung jawab Bank, baik resiko yang disengaja oleh debitur yang lalai, maupun resiko yang tidak disengaja, misalnya bencana alam atau bangkrutnya debitur tanpa ada unsur kesengajaan dan melawan hukum.
e) Balas jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan Bank.
3. Fungsi dan Tujuan Kredit
Pemberian kredit oleh perbankan menempati porsi terbesar dari kegiatan usaha Bank dalam penyaluran dana, yaitu 84,32% dari seluruh aktiva produktif perbankan. Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan dan penanaman lainnya yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan.52
a. Tujuan umum
Kredit yang diberikan oleh Bank merupakan suatu pendapatan dari usaha Bank di samping jenis usaha yang lain. Pemberian kredit oleh Bank kepada debitur mempunyai tujuan tertentu, yaitu:
Sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional dan sebagai suatu sumber dana yang dapat disalurkan kepada masyarakat umum untuk digunakan dalam pembangunan nasional secara menyeluruh dalam berbagai bidang kehidupan baik hukum, ekonomi, sosial, budaya, melalui lembaga keuangan yang efisien dan
52
Heru Soepraptomo, Hak Tanggungan Sebagai Pengaman Kredit Perbankan. Bandung: Citra PT. Aditya Bakti, 1996, hal. 98.
(55)
dipercaya oleh masyarakat serta makin dijangkau oleh setiap masyarakat di seluruh tanah air dengan menciptakan iklim yang mendukung agar mampu meningkatkan peran aktif masyarakat.
b. Tujuan khusus
- Mencari keuntungan, yaitu bertujuan memperoleh hasil dari pemberian kredit, terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh Bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan pada nasabah; - Untuk meningkatkan dan membantu usaha nasabah yang memerlukan
dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Bantuan dana tersebut diharapkan dapat mengembangkan dan memperluas usaha debitur - Membantu pemerintah, bagi pemerintah semakin banyak kredit yang
disalurkan oleh pihak Bank akan semakin baik. Hal ini berarti adanya peningkatan di berbagai sektor. Keuntungan pemerintah dari pemberian kredit ini adalah sektor penerimaan pajak dari keuntungan yang diperoleh nasabah Bank, memberikan kesempatan kerja dalam hal kredit pengembangan usaha atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja, meningkatkan jumlah barang dan jasa, menghemat devisa dan meningkatkan devisa negara.
- Manfaat lain bagi pemerintah dan masayarakat adalah penyaluran kredit kepada dunia usaha secara makro ekonomi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatnya sektor riel.
Tujuan Kredit adalah sebagai berikut :
(56)
pemberian kredit berupa bunga kredit.
2) Bagi kepentingan umum dan masyarakat adalah agar dapat dicapai peningkatan produktivitas dan daya guna suatu barang/modal untuk memenuhi kebutuhan manusia yang disertai kelancaran peredaran sosial ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
3) Bagi nasabah atau debitor adalah profitability dan responsibility,yaitu untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya atas usaha yang dibiayai dengan fasilitas kredit bank dan untuk dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian.
Fungsi Kredit adalah sebagai berikut :
Suatu kredit mencapai fungsinya apabila sosial ekonomis, baik bagi debitor, kreditor maupun masyarakat membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak debitor dan kreditor, mereka memperoleh keuntungan, juga mengalami peningkatan kesejahteraan, sedangkan bagi negara mengalami tambahan penerimaan negara dari pajak, juga kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.
Sebagai lembaga keuangan, peranan bank dalam perekonomian sangatlah dominan. Hampir semua kegiatan perekonomian masyarakat membutuhkan bank dengan fasilitas kreditnya. Begitu dominannya pemberian kredit bank, sampai banyak ahli berpendapat bahwa tidak satupun usaha bisnis di dunia ini yang bebas kredit. Bahkan, negara-negara kaya pun membutuhkan kredit dari lembaga-lembaga keuangan internasional, apalagi negara-negara menengah dan negara miskin.
(57)
Fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian, perdagangan dan keuangan dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Kredit dapat meningkatkan daya guna atau utility dari uang. 2. Kredit dapat meningkatkan daya guna atau utility dari barang. 3. Kredit dapat meningkatkan peredaran uang dan lalu lintas uang. 4. Kredit adalah salah satu alat stabilisasi ekonomi.
5. Kredit menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat.
6. Kredit adalah jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional. 7. Kredit adalah sebagai alat hubungan ekonomi internasional. 4. Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Berbicara masalah Perkreditan maka perlu kiranya kita mengerti apa yang menjadi dasar di dalam pemberian dari suatu kredit. Perjanjian kredit adalah merupakan salah satu bentuk perjanjian dari banyak bentuk perjanjian yang ada di dalam dunia usaha, yang menimbulkan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh karena itu untuk sahnya perjanjian kredit sebagaimana untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata harus dipenuhi. Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
(1)
Dari berbagai definisi tersebut di atas, masing-masing terdapat kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu maka perlu dilengkapi dan disempurnakan sebagai berikut, bahwa Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah - kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. 57
1) Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukan.
Jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur. Jaminan yang baik atau ideal adalah jaminan yang mempunyai persyaratan :
2) Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan usahanya
3) Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima kredit.
Ada beberapa metode dalam penilaian jaminan diantaranya adalah:
a) Metode Nilai Reproduksi Baru ( New Reproduction Value) biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan benda baru yang sama berdasarkan harga yang berlaku saat ini dengan menggunakan bahan yang sama/sejenis dengan benda yang dinilai.
57
(2)
b) Metode Nilai Sehat (Sound Value)
Nilai benda yang diperoleh berdasarkan nilai reproduksi baru dikurangi dengan nilai penyusutan.
c) Metode Nilai Pasar (Market Value)
Nilai benda tersebut ditentukan atas transaksi yang terjadi dipasaran antara pembeli dengan penjual dengan harga yang wajar.
d) Metode Nilai Likuidasi (Liquidation Value)
Nilai benda tersebut yang ditentukan atas transaksi yang terjadi dalam kondisi penjualan mendesak, mengingat berbagai keterbatasan.
Pada umumnya bank cenderung memakai metode nilai pasar dan metode nilai likuidasi. Besarnya Nilai Pasar adalah berbeda dengan Nilai Likuidasi, perbedaan kedua nilai ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Untuk benda tidak bergerak seperti tanah, tanah/bangunan, harus diperhatikan jenis sertifikat (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Sewa, Hak Pakai, Tanah Girik) dan tingkat marketabilitynya. b. Untuk benda bergerak seperti mobil, mesin, emas, harus diperhatikan fisik
barang dan marketabilitynya.
Secara umum, pedoman perhitungan besarnya nilai likuidasi sebagai berikut: a. Untuk jaminan tanah dan tanah/bangunan maksimal 80 % dari nilai pasar. b. Untuk jaminan mobil dan mesin-mesin, maksimal 60 % dari nilai
pasarnya.
(3)
2) Asas-Asas Hukum Jaminan
Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hukum Jaminan maupun kajian terhadap berbagai literatur tentang jaminan, maka ditemukan asas dalam Hukum Jaminan sebagai berikut : 58
a) Asas Publicitet
Asas Publicitet yaitu asas bahwa semua hak, baik Hak Tanggungan. Hak Fidusia dan Hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan jaminan.
a. Asas Specialitet
Asas Specialitet yaitu bahwa Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang – barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.
b. Asas tidak dapat dibagi-bagi
Asas tidak dapat dibagi-bagi yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek dan Hak Gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. c. Asas inbezitstelling
Asas inbezitstelling yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.
58
(4)
d. Asas horizontal
Asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan Hak Pakai, baik Tanah Negara atau Hak Milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan Hak Pakai.
Selain itu, asas-asas Hukum Jaminan juga meliputi asas filosofis, asas konstitusional, asas politis dan asas operasional yang bersifat umum. Asas operasional dibagi menjadi asas sistem tertutup, asas absolut, asas mengikuti benda, asas publikasi, asas specialitet, asas totalitas, asas asesi pelekatan, asas konsistensi, asas pemisahan horizontal dan asas perlindungan hukum. 59
3) Obyek Hukum Jaminan
Menurut H. Salim HS, obyek dari Hukum Jaminan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : 60
1. Obyek Materiil
Obyek materiil yaitu bahan (materiil) yang dijadikan sasaran dalam penyelidikannya, dalam hal ini adalah manusia.
2. Obyek Formil
Obyek Formil yaitu sudut pandang tertentu terhadap obyek materiilnya. Jadi obyek Formal Hukum Jaminan adalah bagaimana subyek hukum dapat membebankan jaminannya pada lembaga perbankan atau lembaga
59
Mariam Darus Badrulzaman, Benda-benda yang dapat Dilekatkan sebagai Obyek Hak Tanggungan dalam persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 23.
60
(5)
keuangan non bank. Jaminan merupakan proses, yaitu menyangkut prosedur dan syarat-syarat di dalam jaminan.
4) Jenis-Jenis Jaminan
Jenis-jenis jaminan kredit menurut KUH Perdata yang merupakan salah satu sumber hukum di bidang keperdataan mengatur jenis-jenis jamian kredit yaitu :61
a. Jaminan lahir karena undang-undang dan lahir karena perjanjian 1. Jaminan yang lahir karena Undang-Undang
Jaminan yang lahir karena undang-undang adalah jaminan yang adanya karena ditentukan oleh undang-undang tidak perlu ada perjanjian antara kreditur dengan debitur.
2. Jaminan lahir karena perjanjian
Jaminan lahir karena perjanjian adalah jaminan ada karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur.
b. Jaminan umum dan jaminan khusus 1. Jaminan Umum
Jaminan umum lahir dan bersumber karena undang-undang, adanya ditentukan dan ditunjuk oleh undang-undang tanpa ada perjanjian dari pada pihak.
61
(6)
2. Jaminan Khusus
Jaminan khusus lahirnya karena ada perjanjian antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan atau jaminan bersifat perorangan.
c. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda itu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada dan dapat dialihkan.
d. Jaminan Penanggungan Utang
Jaminan penanggungan utang adalah jaminan bersifat perorangan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu.
e. Jaminan Benda Bergerak Dan Benda Tidak Bergerak
Salah satu penggolongan atas benda menurut sistim hukum perdata internasional yang penting adalah penggolongan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak.