TINGKAT RESILIENSI USIA LANJUT DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO, PAKEM, SLEMAN, YOGYAKARTA.

(1)

i

TINGKAT RESILIENSI USIA LANJUT

DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO, PAKEM, SLEMAN, YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Diah Erlita Widowati NIM 11104241029

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

 Semua yang dimulai harus diselesaikan dengan baik, entah dengan cara berlari, melangkah, ataupun merangkak sekalipun. (Penulis)

 Engkau tak dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal, yaitu cerdas, selalu ingin tahu, tabah, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama. (Ali bin Abi Thalib)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Ibu, Bapak dan Adik, orang-orang yang paling aku hormati juga aku sayangi, yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang, perhatian, semangat, serta doanya.

2. Almamaterku tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta 3. Agama, Bangsa, dan Negara


(7)

vii

TINGKAT RESILIENSI USIA LANJUT

DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO, PAKEM, SLEMAN, YOGYAKARTA

Oleh

Diah Erlita Widowati NIM 11104241029

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif menggunakan jenis penelitian survey. Subyek penelitian ini adalah usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang berusia 60 hingga 74 tahun sejumlah 39 orang dan pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling, dengan populasi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso sejumlah 129 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu skala resiliensi. Validitas instrumen menggunakan validitas logis dengan menggunakan expert judgement. Reliabilitas skala resiliensi diukur menggunakan analisis uji reliabilitas alpha cronbach. Hasil skala reliabilitas skala resiliensi sebesar 0,932. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rumus prosentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang memiliki tingkat resiliensi sangat baik tidak ada, yang memiliki tingkat resiliensi baik sejumlah 9 orang usia lanjut (23.1%), yang memiliki tingkat resiliensi cukup baik sejumlah 30 orang (76.9%), dan yang memiliki tingkat resiliensi kurang baik tidak ada. Secara umum, tingkat resiliensi subyek penelitian berada pada kategori cukup baik.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya serta memberikan ridhonya, sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Tingkat Resiliensi pada Usia Lanjut pada Usia Lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso”.

Sebagai ungkapan syukur, penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak atas segala bantuan, dukungan dan kerjasama dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan penulis dalam melaksanakan penelitian.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin dan kesempatan penulis dalam melaksanakan penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan banyak kesempatan dan pengalam dalam mewakili jurusan untuk berprestasi.

4. Bapak Sugihartono, M.Pd, sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan segenap ilmu dan waktu serta penuh kesabaran beliau dalam membimbing serta memberikan arahan selama proses penyusunan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan lancar.

5. Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, yang telah memberikan izin observasi dan pengambilan data.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 10

C. Batasan Masalah... 11

D. Rumusan Masalah... 12

E. Tujuan Penelitian... 12

F. Manfaat Penelitian... 12

G. Definisi Operasional... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Resiliensi... 15

1. Definisi Resiliensi... 15

2. Aspek-Aspek Resiliensi... 16

3. Fungsi Resiliensi... 18

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi... 21


(11)

xi

1. Definisi Usia Lanjut... 27

2. Proses Menua... 28

3. Karakteristik Usia Lanjut... 29

4. Perubahan yang Terjadi pada Usia Lanjut... 31

5. Tugas-Tugas Perkembangan Usia Lanjut... 35

6. Usia Lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha... 36

C. Resiliensi Usila di Panti Sosial Tresna Werdha... 39

D. Pertanyaan Penelitian... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian... 43

B. Variabel Penelitian... 44

C. Populasi dan Sampel Penelitian... 45

D. Tempat dan Waktu Penelitian... 47

E. Teknik Pengumpulan Data... 47

F. Instrumen Penelitian... 48

G. Uji Coba Instrumen... 57

H. Teknik Analisis Data... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi dan Subyek Penelitian... 62

B. Deskripsi Data Penelitian... 64

C. Analisis Data... 65

D. Pembahasan... 71

E. Keterbatasan Penelitian... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 79

B. Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 83

LAMPIRAN... 85 DAFTAR TABEL


(12)

xii

Hal

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Skala Resiliensi... 54

Tabel 2. Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 59

Tabel 3. Standar Kriteria Objek... 61

Tabel 4. Data Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin... 63

Tabel 5. Data Subyek Berdasarkan Usia... 63

Tabel 6. Gambaran nilai minimum, nilai maksimum, mean, dan standar deviasi tingkat resiliensi... 65

Tabel 7. Kriteria Kategorisasi Resiliensi pada Usia Lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso... 66

Tabel 8. Kategorisasi Aspek Regulasi Emosi... 67

Tabel 9. Kategorisasi Aspek Pengendalian Impuls... 67

Tabel 10. Kategorisasi Aspek Optimisme... 68

Tabel 11. Kategorisasi Aspek Kemampuan Menganalisis Masalah... 68

Tabel 12. Kategorisasi Aspek Empati... 69

Tabel 13. Kategorisasi Aspek Efikasi Diri... 70

Tabel 14. Kategorisasi Aspek Pencapaian... 70


(13)

xiii

Hal

Lampiran 1. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen………... 86

Lampiran 2. Kategorisasi Tingkat Reseiliensi Usia Lanjut di PSTW Abiyoso………... 87

Lampiran 3. Kategorisasi Tingkat Resiliensi Usia Lanjut di PSTW berdasarkan per Aspek………... 88

Lampiran 4. Hasil Analisis Berdasarkan Aspek Resiliensi Usia Lanjut di PSTW Abiyoso……….. 90

Lampiran 5. Data Uji Coba Reliabilitas Instrumen ………... 94

Lampiran 6. Hasil Expert Judgement………. 95

Lampiran 7. Instrumen Penelitian……….. 105


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia menjalani kehidupan untuk mencapai tujuan tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu. Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam mencapai tujuan hidup dan dapat menjalani kehidupannya, ketika manusia tersebut merasa memiliki orang-orang yang menyayanginya, maka seseorang tersebut akan merasa bahwa hidupnya berharga dan berguna.

Manusia dalam rentang hidupnya, melewati tahap-tahap perkembangan dimana dalam tiap tahap kehidupannya memiliki berbagai tugas perkembangannya masing-masing. Tahap-tahap perkembangan pada manusia menurut Hurlock, (1) Periode Pranatal; masa sebelum kelahiran, (2) Bayi; kelahiran sampai minggu kedua, (3) Masa bayi; akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua, (4) Awal masa kanak-kanak; dua sampai enam tahun, (5) Akhir masa kanak-kanak; enam sampai sepuluh atau dua belas tahun, (6) Masa pubertas; sepuluh atau dua belas sampai tiga belas atau empat belas tahun, (7) Masa remaja; tiga belas atau empat belas sampai delapan belas tahun, (8) Awal masa dewasa; delapan belas sampai empat puluh tahun, (9) Usia pertengahan; empat puluh sampai enam puluh tahun, (10) Masa tua atau usia lanjut enam puluh tahun sampai meninggal (2006: 21-25).

Pada rentang kehidupan manusia tersebut, menurut Hurlock (dalam Rita dkk, 2008:1) terdapat fase-fase yang saling bertentangan yakni


(15)

2

pertumbuhan (evolusi) dan fase kemunduran (involusi). Pada awal kehidupan manusia yang berperan adalah evolusi sedangkan involusi lebih berperan pada akhir kehidupan yakni perubahan-perubahan yang bersifat mundur.

Usia lanjut yang merupakan fase terakhir kehidupan seseorang yang merupakan cerminan bagaimana seseorang tersebut belajar dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi hari tuanya, sehingga proses belajar individu tersebut di masa-masa sebelumnya sangat berpengaruh terhadap kondisi usia lanjut tersebut di masa tua, hal ini berhubungan dengan psikologi perkembangan individu tersebut dimasa muda.

Pada usia lanjut akan ditemui berbagai kemunduran yang akan dialami oleh setiap manusia, yakni kondisi fisik, fungsi kognitif, hubungan sosial, dan kemunduran-kemunduran lainnya. Untuk melalui proses-proses tersebut tidaklah mudah, yakni dalam rangka menjadi usia lanjut yang berhasil. Apalagi saat ini sedang terjadi peningkatan jumlah usia lanjut di Indonesia.

Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, pada tahun 2000-2005 Usia Harapan Hidup (UHH) adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi usia lanjut tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi usia lanjut tahun 2045 adalah 28,68%). Begitu pula dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi usia lanjut adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi usia lanjut adalah 7,56%) dan pada


(16)

3

tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi usia lanjut adalah 7,58%). (Kementrian Kesehatan RI, 2008: 1)

Menurut data hasil wawancara dengan petugas Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, jumlah usia lanjut yang semakin meningkat itu mengakibatkan semakin banyak usia lanjut yang terlantar secara sosial dan ekonomi yang mengakibatkan usia lanjut tersebut berada di panti sosial. Alasan sosial yang menyebabkan kebanyakan usia lanjut berada di panti sosial yakni jika dilihat dari segi pola pikirnya, para usia lanjut kebanyakan memandang dirinya sudah tua, memiliki banyak pengalaman, harus dihormati, suka mengatur tetapi tidak ingin diatur. Hal tersebut mengakibatkan usia lanjut tersebut mengalami konflik dengan keluarganya dan menyebabkan mereka tinggal di panti sosial.

Usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ini memiliki jumlah keseluruhan 126 orang (maksimal), dimana panti sosial ini memberikan dua macam pelayanan, yaitu: (1) pelayanan utama diperuntukkan bagi usia lanjut yang terlantar sosial-ekonomi (berjumlah 113 orang) dan seluruh biaya ditanggung pemerintah; dan (2) pelayanan untuk golongan menengah atas (jumlah maksimal 13 orang) dan membayar. Berdasarkan jumlah maksimal yang ditentukan oleh Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso tersebut, menurut hasil wawancara dengan petugas panti sosial ini ternyata masih banyak daftar tunggu usia lanjut yang akan dijadikan klien di panti sosial ini. Seperti yang penulis lihat saat sedang berkunjung ke panti sosial tersebut, terdapat seorang ibu paruh baya yang sedang


(17)

4

menanyakan perihal persyaratan menjadi klien di panti sosial tersebut, akan tetapi petugas menjawab bahwa daftar tunggu klien di panti sosial tersebut sudah sangat banyak sehingga ibu paruh baya tersebut tidak jadi menitipkan orangtuanya ke panti sosial tersebut, melainkan menanyakan apakah ada panti sosial lain yang masih dapat menampung orangtuanya dalam waktu dekat.

Usia lanjut yang dapat tinggal dan menjadi klien di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ini diharuskan memenuhi beberapa persyaratan, yaitu antara lain: (1) Berusia 60 tahun keatas, (2) Sehat jasmani dan rohani ketika masuk, (3) Mandiri (dapat makan, mandi dan mengurusi keperluan pribadi secara mandiri), (4) Ketika klien merasa tidak kerasan atau meninggal, klien dikembalikan kepada penanggungjawab, (5) Klien berada di panti dengan sukarela (6) Antara keluarga dan klien harus tetap ada komunikasi dan menjenguk klien.

Persyaratan-persyaratan untuk menjadi klien di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso tersebut dalam prakteknya ternyata ada yang tidak terpenuhi, seperti klien yang berada di panti sosial ini harus dengan sukarela. Pada kenyataannya ternyata ada klien yang dibohongi oleh keluarganya agar mau untuk tinggal di panti tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas panti, ada keluarga klien yang mengatakan pada klien tersebut bahwa klien hanya ditinggal sebentar oleh keluarganya untuk nantinya dijemput kembali, akan tetapi pada kenyataannya keluarganya tidak pernah menjemput klien tersebut untuk kembali pulang.


(18)

5

Persyaratan lainnya yang terkadang tidak terpenuhi adalah adanya komunikasi antara pihak keluarga dengan klien yang seharusnya tetap terjaga guna meningkatkan motivasi dari para klien tersebut. Pada kenyataannya, menurut hasil wawancara dengan petugas panti, ada keluarga yang menghilang selepas menitipkan klien ke panti tersebut. Padahal klien merasa sangat rindu dengan keluarganya, sehingga pihak panti sibuk menelepon dan mencari dimana keluarganya berada akan tetapi pihak panti tidak menemukan dimana keluarganya berada.

Persyaratan lainnya yang terkadang ada yang tidak terpenuhi adalah ketika klien merasa tidak betah tinggal di panti tersebut, maka akan dikembalikan ke penanggungjawab. Menurut hasil wawancara dengan petugas panti, ada beberapa klien yang tidak betah berada di panti tersebut, namun penanggungjawab tidak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk mengembalikan klien tersebut.

Menurut hasil wawancara dengan PA (22) mahasiswa keperawatan yang pernah praktek merawat klien di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, PA merasa kasihan dengan para klien yang merasa kesepian dan tidak betah berada di lingkungan panti dikarenakan dia rindu dengan keluarganya. Selain itu juga alasan kesehatan yang menjadikan PA merasa iba, karena di usia yang sudah lanjut tersebut para klien seharusnya membutuhkan keluarganya untuk mensupport dan merawat klien, akan tetapi pada kenyataannya para klien dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya harus tinggal di panti sosial tersebut bersama dengan sesama usia lanjut.


(19)

6

Menurut hasil wawancara dengan salah satu klien, sebut saja A (75), selama tinggal di panti sosial A merasa kesepian dan merasa tersingkirkan dari keluarganya, terutama anaknya. A merasa kecewa dengan anaknya karena dirinya dititipkan di panti sosial dan sudah sangat lama tidak dijenguk. A merasa bahwa kegiatan di panti sosial tidaklah menarik bagi dirinya dan dirinya merasa malas mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Akan tetapi, karena diwajibkan mengikuti kegiatan, A terpaksa mengikutinya.

Menurut hasil observasi di lapangan, para usia lanjut di panti tersebut merasa membutuhkan orang untuk berbagi pengalaman. Seperti ketika peneliti sedang berkeliling di kawasan panti sosial, ada beberapa orang usia lanjut yang memanggil-manggil peneliti untuk diajak bercerita. Seperti B (79) yang sedang duduk-duduk di samping aula memanggil-manggil peneliti dan mengajak kenalan dengan sangat penuh harap lalu dia menceritakan bagaimana dirinya sudah 10 tahun berada di lingkungan panti dan dirinya mencoba mengikuti kegiatan-kegiatan panti, seperti ikut menari dalam acara karawitan setiap hari sabtu dan senam setiap pagi agar dia memiliki banyak teman sehingga tidak merasa kesepian. Dan C (72) yang sedang duduk-duduk di teras wismanya juga memanggil-manggil peneliti, untuk diajak bercerita dan bermaksud menghalangi peneliti untuk pulang, kemudian C menceritakan selama tinggal di panti sosial, C merasa mau tidak mau harus tinggal di panti karena adanya konflik dengan anak angkatnya sedangkan saat itu dirinya sudah tidak memiliki sanak saudara yang mau merawatnya. C merasa kesepian dan merasa tersingkirkan dari keluarganya, terutama anak angkatnya


(20)

7

tersebut karena C tidak memiliki anak kandung sedangkan suaminya telah meninggal.

Lain halnya dengan D (83), D ketika diminta menceritakan tentang apa yang dirasakan dan tentang keluarganya, D menceritakan tentang keempat anaknya yang sukses dan D berhasil menyekolahkan semua anak-anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi. D terlihat sangat senang dan bangga ketika menceritakan tentang anak-anaknya. Dan di lain waktu peneliti melihat D sedang dikunjungi oleh anaknya dan cucunya, dan D terlihat sangat bahagia.

Menurut hasil observasi dan wawancara terhadap petugas panti, perawat yang praktek dan usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dialami para usia lanjut kebanyakan adalah berkaitan dengan perasaan kecewa karena tidak pernah dijenguk dan diberikan motivasi oleh keluarganya, sehingga mereka merasa kesepian, sendiri dan memiliki beban hidup yang sangat berat. Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya para usia lanjut membutuhkan orang-orang terdekat yang menyayanginya agar dapat terus men-support dirinya.

Permasalahan lainnya yang seringkali dialami para usia lanjut adalah berkaitan dengan hubungan antar usia lanjut di panti sosial yang seringkali tidak harmonis dikarenakan masing-masing usia lanjut memiliki padangan yang sama bahwa dirinyalah yang harus dihormati, senang mengatur tetapi tidak ingin diatur, sehingga seringkali menimbulkan konflik antar individu. Seperti hasil wawancara dengan petugas panti bahwa di panti sosial tersebut


(21)

8

seringkali terjadi adu mulut dan pertengkaran antar klien. Dan seringkali klien yang baru masuk ke lingkungan panti dikerjai oleh klien senior yang sudah lebih dulu tinggal di panti sosial tersebut.

Resiliensi merupakan ranah bimbingan pribadi sosial dimana menurut Hiew (dalam Fransisca dkk: 103) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan adaptasi yang ada dalam diri individu untuk mengatasi permasalahan yang sulit dalam hidupnya dan tetap terbebas dari simtom psikopatologi.

Dalam tahap perkembangan usia lanjut sangat diperlukan adanya resiliensi dalam rangka menyesuaikan diri dan bertahan dalam keadaan yang malang dan/atau tidak menyenangkan dalam hidupnya, terlebih untuk para usia lanjut yang tinggal di panti sosial. Adanya resiliensi tersebut akan berpengaruh terhadap pencapaian kebahagiaan di usia lanjut.

Resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002: 36-46) memiliki tujuh aspek pembentuk, yaitu: (1) regulasi emosi, (2) pengendalian impuls, (3) optimisme, (4) kemampuan menganalisis masalah, (5) empati, (6) efikasi diri, dan (7) pencapaian.

Menurut penuturan petugas panti terdapat beberapa klien di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang dapat dengan mudah menyesuaikan dan melenturkan diri dengan lingkungan panti, yaitu klien yang memiliki sikap ‘lembah manah’ dan ‘nerimo’ sehingga klien tersebut dapat meregulasi emosinya, mengendalikan keinginan-keinginan negatifnya, mampu menganalisis masalah serta memiliki pencapaian yang lebih baik. Seperti


(22)

9

wawancara yang telah dilakukan dengan E (77), dirinya bisa menceritakan masa lalunya dengan gembira, kemudian menceritakan bahwa dirinya dapat berada disana karena sebelumnya E tinggal bersama kakak laki-lakinya sedangkan saat ini kakak laki-lakinya sudah meninggal sehingga sudah tidak ada yang mengurusinya lagi, dan E mengatakan bahwa E yang sudah 5 tahun lebih tinggal di panti tersebut merasa betah disana karena disana lingkungannya sejuk dan disana dia punya banyak teman, selain itu E juga selalu mengikuti kegiatan-kegiatan panti.

Begitu pula hasil wawancara dengan F (60) bahwa F semenjak awal memang menginginkan dirinya untuk tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso sehingga F mencari informasi tentang keberadaan PSTW Abiyoso yang kemudian mengajukan diri untuk dapat tinggal didalam PSTW Abiyoso tersebut. F juga mengaku senang dengan tempat tinggalnya sekarang karena F memang menyukai banyak kegiatan dan senang melakukannya dibandingkan hanya duduk-duduk tanpa kegiatan. F juga mengaku senang karena adanya kegiatan-kegiatan di panti, F dapat berkenalan dan memiliki banyak teman.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas panti, bahwa ada beberapa orang klien di panti tersebut mengalami permasalahan psikologis berkaitan dengan tidak mampunya mereka dalam menyesuaikan diri dan melenturkan diri dengan lingkungan panti. Diantara mereka ada yang sering menyendiri dan merasa kesepian, terutama mereka yang baru saja tinggal di dalam panti tersebut. Selain itu diantara mereka juga ada yang seringkali bertengkar karena tidak saling mengalah sehingga timbul permasalahan antar


(23)

10

klien. Hal lain yang seringkali timbul adalah adanya ‘ospek’ dari klien yang

lebih dahulu tinggal di dalam panti tersebut kepada klien yang baru saja tinggal di dalam panti menyebabkan mereka merasa tidak betah dan tertekan. Pihak panti sendiri sudah memberikan layanan psikologis rutin bagi semua klien dan ada layanan psikologis khusus bagi klien yang benar-benar membutuhkan.

Berdasarkan data wawancara dan observasi diatas dapat disimpulkan bahwa usia lanjut merupakan usia sulit dalam hidup berkaitan dengan permasalahan kesehatan, menurunnya kondisi fisik dan hubungan sosial serta diperlukan adanya resiliensi (penyesuaian diri/kelenturan dalam menghadapi permasalahan dan kesengsaraan hidup) khususnya bagi usia lanjut yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang tinggal jauh dari keluarganya. Usia lanjut berada di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso cenderung memiliki kemampuan beresiliensi yang cukup rendah, maka hal tersebut mendukung “Tingkat Resiliensi Usia Lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta” untuk diteliti.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul antara lain:

1. Pada usia lanjut akan ditemui berbagai kemunduran yang akan dialami oleh setiap manusia.


(24)

11

2. Semakin banyak usia lanjut yang terlantar secara sosial dan ekonomi yang mengakibatkan usia lanjut tersebut berada di panti sosial.

3. Konflik dengan keluarganya dan menyebabkan mereka tinggal di panti sosial.

4. Banyak usia lanjut di panti sosial yang tidak pernah dijenguk dan diberikan motivasi oleh keluarganya, sehingga mereka akan merasa memiliki beban hidup yang sangat berat.

5. Hubungan antar satu usia lanjut dengan usia lanjut yang lain seringkali tidak harmonis dan rawan konflik.

6. Resiliensi atau kelenturan sangat dibutuhkan dalam rangka menyesuaikan diri dan bertahan dalam keadaan yang sulit untuk para usia lanjut yang tinggal di panti sosial.

7. Banyak dari usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang kurang lentur dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan panti dan permasalahan-permasalahan dalam hidupnya.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas dapat diambil batasan masalah dalam penelitian ini yakni: Banyak dari usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta yang kurang lentur dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan panti dan permasalahan-permasalahan dalam hidupnya.


(25)

12 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas, dapat dirumusan permasalahan dalam penelitian ini: Bagaimanakah tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan berkaitan dengan resiliensi usia lanjut yang bertempat tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha beserta tujuh aspek pembentuknya. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kemampuan resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang terbentuk berdasarkan tujuh aspek pembentuk, untuk nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan di Panti Sosial Tresna


(26)

13

Werdha Abiyoso dalam rangka meningkatkan kemampuan beresiliensi.

b. Bagi Para Perawat di Panti Sosial Tresna Werdha

Penelitian ini diharapkan akan menambah informasi tentang tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso beserta tujuh aspek pembentuknya, agar nantinya dapat dijadikan pegangan dalam rangka memberikan perhatian yang sesuai bagi para usia lanjut dalam upaya meningkatkan resiliensi dan kenyamanan para usia lanjut.

c. Bagi Usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian bagi para usia lanjut dalam rangka mendukung proses resiliensi para usia lanjut dalam usia senjanya.

d. Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi para mahasiswa Bimbingan dan Konseling dalam rangka memahami proses perkembangan usia lanjut, khususnya dalam aspek resiliensinya.

G. Definisi Operasional

Judul penelitian ini adalah “Tingkat Resiliensi Usia Lanjut di Panti

Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta.” Untuk menghindari kesalahpahamaan serta kekeliruan dalam penafsiran judul


(27)

14

tersebut, maka penelilti menjelaskan arti kata atau istilah dalam judul tersebut berdasarkan pada penelitian umum yang berlaku. Istilah yang perlu dijelaskan oleh peneliti yakni: Resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan pada diri individu dalam beradaptasi, memulihkan diri, dan mengatasi kesulitan, untuk menghadapi segala bentuk kesengsaraan atau masalah yang dihadapi, dengan cara mengidentifikasi, membangun pertahanan, meningkatkan kualitas dalam diri dan dengan cara melakukan pola adaptasi yang positif.


(28)

15 BAB II KAJIAN TEORI A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Pengertian resiliensi adalah sesuatu yang mampu pulih dari atau menyesuaikan atas kemalangan atau perubahan (Windle & Markland, 2010:1). Resiliensi merupakan kemampuan untuk dapat pulih dan menyesuaikan diri atas kemalangan.

Sedangkan pengertian resiliensi menurut Richardson (dalam Short, Jennifer L dan Mayhew, Shelly Russell, 2009, 31:214) adalah “The process of coping with adversity, change, or opportunity in manner that result in the identification, fortification, and enrichment of qualities or protective factors.” Proses resiliensi adalah proses dalam rangka mengatasi kesulitan, perubahan atau peluang dengan cara mengidentifikasi, membangun pertahanan, dan meningkatkan kualitas dalam diri yang dapat melindungi dari dampak buruk adanya kesulitan.

Resiliensi menurut Masten dan Obravic (dalam Mamta and Nov Rattan Sharma, 2013, Vol.39, No.2, 281) adalah “Resilience is a broad concept covering many domains concepts related to positive patterns of adaptation in the context of adversity.” Resiliensi adalah sebuah konsep dalam menghadapi kesulitan yang berkaitan dengan pola adaptasi positif. Berdasarkan pengertian-pengertian resiliensi diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan pada diri individu dalam beradaptasi, memulihkan diri, dan mengatasi kesulitan, untuk


(29)

16

menghadapi segala bentuk kesengsaraan atau masalah yang dihadapi, dengan cara mengidentifikasi, membangun pertahanan, meningkatkan kualitas dalam diri dan dengan cara melakukan pola adaptasi yang positif.

2. Aspek-Aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002: 36-46), memaparkan tujuh aspek kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :

1. Regulasi Emosi (Emotion Regulation) 2. Pengendalian Impuls (Impuls Control) 3. Optimis (Optimism)

4. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis) 5. Empati (Empathy)

6. Efikasi Diri (Self-Efficacy) 7. Pencapaian (Reaching Out)

Regulasi Emosi (Emotion Regulation) menurut Reivich & Shatte adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisiyang menekan. (2002: 36). Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun berada dalam situasi di bawah tekanan.

Pengendalian Impuls (Impuls Control) menurut Reivich & Shatte Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. (2002: 38). Kontrol terhadap impuls merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls, baik berupa keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri dan kemampuan


(30)

17

mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan berpikir yang jernih dan akurat.

Optimisme (Optimism) adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich dan Shatte, 2002: 40). Optimisme adalah ketika seseorang yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik dan dapat melihat bahwa masa depan seseorang tersebut cemerlang. Optimis berarti individu mempunyai harapan dan kontrol atas kehidupannya.

Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis) menurut Reivich & Shatte adalah kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi (2002: 41). Kemampuan menganalisis masalah pada diri individu dapat dilihat dari bagaimana individu dapat mencari tahu sebab-sebab dari permasalahan-permasalahan yang dialaminya dengan tepat.

Empati (Empathy) menurut Reivich & Shatte yaitu kemampuan individu untuk bisa membaca, melihat dan merasakan bagaimana perasaan, serta emosi orang lain dan seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich dan Shatte, 2002: 44). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca dan merasakan tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain hal ini sangat berpengaruh terhadap hubungan interpersonal individu tersebut, apabila kemampuan empati


(31)

18

individu baik maka hubungan individu tersebut dengan orang lain juga akan baik.

Efikasi Diri (Self-Efficacy) adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich dan Shatte, 2002: 45). Efikasi diri adalah dimana individu menyadari dan merasa yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang menimpanya.

Pencapaian (Reaching Out) adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich dan Shatte, 2002: 46). Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk dapat mengambil hal-hal positif dari setiap hal yang tidak menyenangkan yang pernah dialaminya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya.

3. Fungsi Resiliensi

Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich & Shatte, 2002: 15-30):

a. Overcoming

Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk


(32)

19

dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Steering through

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan


(33)

20

resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan. d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.


(34)

21

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Hartuti & Frieda M. Mangunsong (2009: 108), faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi dibagi menjadi dua, yakni faktor-faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang mempengaruhi adalah: a. Komunikasi dan kerjasama

b. Empati

c. Kemampuan memecahkan masalah d. Efikasi diri

e. Kesadaran diri f. Tujuan dan aspirasi g. Religiusitas.

Komunikasi dan kerjasama membuat seseorang dapat membuat seseorang merasa memiliki kawan sehingga resiliensi dari diri seseorang akan meningkat. Komunikasi dan kerjasama akan membuat seseorang merasa bahwa masalah yang dia alami dapat dibagi dengan orang lain.

Empati atau kemampuan untuk ikut merasakan emosi orang lain, dapat membuat seseorang memahami dan mengerti bahwa orang lainpun memiliki masalah dan bukan hanya dirinya. Empati ini dapat membuat individu belajar untuk menyikapi permasalahan.

Kemampuan memecahkan masalah yang dimiliki oleh individu dapat digunakan sebagai senjata untuk menghadapi permasalahan. Ketika individu sudah terbiasa dalam memecahkan masalah dengan berbagai alternatif penyelesaian yang


(35)

22

dimilikinya, maka adanya suatu masalah yang menimpa tidaklah akan terasa sulit.

Efikasi diri atau keyakinan terhadap kemampuan diri mampu membuat individu merasa bahwa dirinya mempunyai kemampuan yang besar dalam rangka menyelesaikan permasalahannya. Hal tersebut menjadikan individu merasa mampu dan kuat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang menimpanya dan itu berarti resiliensi atau kelenturan dari individu tersebut akan meningkat.

Kesadaran diri pada individu, akan membuat individu tersebut paham dimana posisinya, masalah apa yang sedang menimpanya, dan apa saja yang dia miliki untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Kesadaran diri yang dimiliki individu akan mempercepat individu tersebut untuk menyesuaikan dirinya dengan permasalahan yang dimiliki.

Tujuan dan aspirasi yang ada pada diri individu akan menjadikan sebuah pegangan yang akan selalu dijadikan individu untuk mampu mengatasi setiap permasalahan-permasalahannya. Semakin besar tujuan dan aspirasi dari diri individu akan semakin besar pula resiliensi dari diri individu tersebut.

Religiusitas adalah hal yang sangat penting untuk ada pada diri individu. Religiusitas akan membuat individu merasa dekat dengan Tuhannya dan merasa lebih nyaman juga tenang.


(36)

23

Religiusitas ini berkaitan erat dengan penjernihan pikiran untuk nantinya dapat digunakan individu untuk memikirkan alternative penyelesaian masalahnya.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah: a. Hubungan hangat

b. Pengharapan tinggi

c. Partisipasi berarti dalam lingkungan. (2009: 108)

Hubungan hangat yang dimiliki individu akan membuat individu merasa memiliki orang lain yang mau menerima dirinya dalam segala hal. Hubungan hangat inilah yang dapat menguatkan diri individu dalam menhadapi segala hal yang dialaminya. Ketika individu memiliki hubungan yang hangat, maka upaya penyelesaian setiap masalah yang dihadapinya tidaklah akan terasa berat.

Pengharapan tinggi dari orang-orang sekitar terhadap individu, bahwa bagi orang-orang sekitar individu merasa bahwa individu adalah orang yang dapat diandalkan dan merupakan orang yang dibutuhkan, maka hal tersebut akan membuat individu memunculkan rasa optimis dengan sendirinya.

Partisipasi yang berarti pada lingkungan, dapat membuat individu melihat bahwa ada banyak hal yang dapat dia lakukan di lingkungannya dan tidak membuat individu hanya berkutat pada permasalahan yang dihadapinya.


(37)

24

Sedangkan faktor-faktor pembentuk resiliensi menurut Edith Grotberg (1995: 5-6), di bagi menjadi tiga, yaitu:

a. I HAVE (SAYA MEMPUNYAI) , yaitu faktor pendukung dan sumber daya dari luar yang meningkatkan resiliensi. Seseorang membutuhkan dukungan dan sumber daya dari luar untuk mengembangkan perasaan atau keselamatan dan keamanan yang

menjadi dasar, yang inti, untuk pengembangan resiliensi. Faktor ‘I

HAVE’ meliputi:

1) Orang-orang disekitar saya yang saya percayai dan mencintai saya tak peduli apapun

2) Orang-orang yang mengingatkan saya dan membatasi saya, sehingga saya tahu kapan harus berhenti sebelum terjadi masalah atau bahaya

3) Orang-orang yang memberikan saya contoh bagaimana untuk melakukan sesuatu dengan benar

4) Orang-orang yang menginginkan aku untuk belajar melakukan sesuatu dengan caraku sendiri

5) Orang-orang yang membantu saya ketika saya sakit, dalam bahaya atau membutuhkan pelajaran.

Faktor I HAVE yang merupakan faktor-faktor pendukung dari luar tersebut membuat individu meyakini bahwa ada orang-orang sekitar yang senantiasa memperhatikan keseharian dan


(38)

25

perkembangan diri individu tersebut yang mendorong motivasi hidup dan dapat meningkatkan resiliensi.

b. I AM (SAYA), yakni faktor dari dalam diri seseorang, kekuatan diri diantaranya adalah adanya perasaan, sikap dan keyakinan dalam diri anak. Faktor ‘I AM’ meliputi:

1) Seseorang yang dapat disukai dan dicintai orang-orang

2) Senang melakukan hal baik untuk orang lain dan memperlihatkan perhatian saya

3) Menghormati diri sendiri dan orang lain

4) Bersedia untuk bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan 5) Percaya bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja

Faktor I AM yang merupakan faktor-faktor positif dari dalam diri individu yang menjadi pondasi individu dalam menghadapi setiap permasalahan dan sangat berkaitan erat dengan kemampuan beresiliensi individu tersebut. Semakin baik pondasi dalam diri individu maka semakin baik pula resiliensi atau kelenturannya dalam menghadapi segala bentuk permasalahan.

c. I CAN (SAYA DAPAT), yakni faktor yang berkaitan dengan kemampuan sosial dan interpersonal seseorang. Seseorang dapat mempelajarinya berdasarkan interaksi. Faktor ‘I CAN’ meliputi:

1) Berbicara pada orang lain tentang hal-hal yang menakutkanku atau merepotkanku


(39)

26

2) Menemukan beberapa jalan untuk menyelesaikan masalah yang menimpaku

3) Mengontrol diri sendiri ketika saya merasa seperti sedang melakukan hal yang tidak benar atau berbahaya

4) Mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berbicara dengan seseorang atau mengambil tindakan

5) Menemukan seseorang untuk membantuku ketika aku membutuhkannya

Faktor I CAN atau faktor-faktor yang berkaitan dengan interaksi sosial dan kemampuan sosial akan membawa individu untuk mengetahui seberapa pentingkah dan seberapa mampukah individu tersebut dapat berperan dalam lingkungannya. Hal ini dapat melatih kelenturan individu tersebut dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dalam hidupnya.

Berdasarkan pernyataan Edith Grotberg diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi dibentuk berdasarkan 3 faktor, yang pertama adalah faktor pendukung dari luar yang dipunyai individu, yang kedua adalah faktor dari dalam diri individu yaitu kekuatan yang dimiliki, dan yang terakhir adalah faktor yang berkaitan dengan kemampuan interpersonal dan sosial individu. Faktor I HAVE yang merupakan faktor-faktor pendukung dari luar tersebut membuat individu meyakini bahwa ada orang-orang sekitar yang senantiasa memperhatikan keseharian dan perkembangan diri individu tersebut


(40)

27

yang mendorong motivasi hidup dan dapat meningkatkan resiliensi. Faktor I AM yang merupakan faktor-faktor positif dari dalam diri individu yang menjadi pondasi individu dalam menghadapi setiap permasalahan dan sangat berkaitan erat dengan kemampuan beresiliensi individu tersebut. Faktor I CAN atau faktor-faktor yang berkaitan dengan interaksi sosial dan kemampuan sosial akan membawa individu untuk mengetahui seberapa pentingkah dan seberapa mampukah individu tersebut dapat berperan dalam lingkungannya.

B. Usia Lanjut

1. Definisi Usia Lanjut

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut, yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas. Usia lanjut merupakan rentang usia diatas 60 tahun yang tahap menjadi akhir dari kehidupan manusia dan menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan seseorang semasa muda.

Usia Lanjut menurut Departemen Kesehatan RI adalah seseorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Usia lanjut terbagi menjadi dua yaitu usia lanjut yang masih memiliki potensi untuk berperan aktif dalam pembangunan dan usia


(41)

28

lanjut yang sudah tidak memiliki potensi untuk berperan dalam pembangunan.

Sedangkan menurut Giriwijoyo dan Komariah (2002: 27) secara kronologik usia lanjut berumur 60–70 tahun, sedangkan usia lanjut yang berisiko tinggi berusia di atas 70 tahun atau di atas 60 tahun yang mengidap penyakit. Usia lanjut yang mengidap penyakit lebih beresiko tinggi, karena hal tersebut menyebabkan usia lanjut tersebut tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

Usia lanjut merupakan seorang laki-laki ataupun perempuan dengan rentang usia diatas 60 tahun, yang terbagi menjadi dua yaitu usia lanjut yang masih memiliki potensi untuk berperan aktif dalam pembangunan dan usia lanjut yang sudah tidak memiliki potensi untuk berperan dalam pembangunan. Sedangkan usia lanjut yang mengidap penyakit lebih beresiko tinggi, karena hal tersebut menyebabkan usia lanjut tersebut tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

2. Proses Menua

Proses menjadi tua menurut Rita dkk disebabkan oleh faktor biologis yang terdiri atas 3 fase, yaitu fase progresif, fase stabil, dan fase regresif. Dalam fase regresif mekanisme lebih kearah kemunduran yang dialami dalam sel, komponen terkecil dari tubuh manusia. Sel-sel menjadi menurun fungsinya karena lama berfungsi sehingga


(42)

29

mengakibatkan kemunduran yang dominan dibandingkan dengan terjadinya pemulihan. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokemis pada jaringan tubuh, dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan fisik secara keseluruhan. Proses dan kecepatan kemunduran ini sangat berbeda untuk masing-masing individu. Disamping itu, masing-masing organ mengalami proses dan kecepatan kemunduran atau kerusakan secara berbeda pula antara organ yang satu dengan yang lain. (2008: 167)

Proses menua ini tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis usia lanjut, yang tadinya mereka dapat melakukan aktivitas dengan mudah, saat mereka sudah mengalami proses menua maka akan menjadikan mereka dalam beraktivitas tidak dapat seteliti, seterampil dan selincah dahulu lagi.

3. Karakteristik Usia Lanjut

Menurut Bustan (2007:76) ada beberapa karakterisktik usia lanjut yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan usia lanjut yaitu:

a. Jenis Kelamin


(43)

30 b. Status Perkawinan

Status pasangan masih lengkap dengan tidak lengkap akan mempengaruhi keadaan kesehatan usia lanjut baik fisik maupun psikologi.

c. Living Arrangement

Keadaan pasangan, tinggal sendiri, bersama istri atau suami, tinggal bersama anak atau keluarga lainnya.

d. Kondisi Kesehatan

Pada kondisi sehat, usia lanjut cenderung untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Sedangkan pada kondisi sakit menyebabkan usia lanjut cenderung dibantu atau tergantung kepada orang lain dalam melaksanakan aktivitas sehai-hari.

e. Keadaan ekonomi

Pada dasarnya usia lanjut membutuhkan biaya yang tinggi untuk kelangsungan hidupnya, namun karena usia lanjut tidak produktif lagi pendapatan usia lanjut menurun sehingga tidak semua kebutuhan usia lanjut tidak terpenuhi.

Jenis kelamin usia lanjut yang ada saat ini lebih dominan perempuan dibandingkan laki-laki, keadaan pasangan hidup masih ada atau sudah meninggal dan dengan siapa usia lanjut itu tinggal akan mempengaruhi kesehatannya, kondisi kesehatan yang baik menyebabkan usia lanjut masih bisa beraktifitas secara mandiri namun bagi usia lanjut yang memiliki kondisi kesehatan yang kurang


(44)

31

baik akan menyebabkan usia lanjut bergantung pada orang lain, dan ketidakproduktifan usia lanjut yang mengakibatkan keadaan ekonomi yang semakin menurun membuat usia lanjut tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara maksimal.

4. Perubahan yang Terjadi pada Usia Lanjut

Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Kondisi Fisik

Departemen Kesehatan RI (dalam Rita dkk, 2008: 168) menyatakan bahwa menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat dari gejala kemunduran fisik, antara lain: (1) kulit mulai mengendur dan pada wajah timbul keriput serta garis-garis yang menetap, (2) rambut mulai beruban, (3) gigi mulai tanggal, (4) penglihatan dan pendengaran mulai berkurang, (5) mulai lelah, (6) gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, dan (7) kerampingan tubuh menghilang, terjadi timbunan lemak terutama dibagian perut dan pinggul.

Semakin tua usia seseorang maka akan semakin banyak kemunduran-kemunduran fisik yang terlihat.

b. Fungsi Kognitif

Departemen Kesehatan RI (dalam Rita dkk, 2008: 169-170) menyatakan bahwa menjadi tua ditandai oleh adanya kemunduran-kemunduran kognitif, antara lain sebagai berikut: (1) mudah lupa,


(45)

32

ingatan tak berfungsi dengan baik, (2) ingatan kepada hal-hal pada masa muda lebih baik daripada kepada hal-hal yang baru terjadi, yang pertama dilupakan adalah nama-nama, (3) orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang/tempat mundur, karena daya ingat sudah mundur dan juga karena penglihatan biasanya sudah mundur, (4) meskipun telah mempunyai banyak pengalaman, skor yang dicapai dalam tes inteligensi menjadi lebih rendah, dan (5) tidak mudah menerima hal-hal atau ide-ide baru.

Semakin tuanya usia seseorang membuat kemampuan berfikir seseorang menjadi semakin menurun, hal ini tentu saja berkaitan dengan kondisi kesehatannya yang kian menurun.

c. Pekerjaan dan Masa Pensiun

Dalam hal bekerja, para usia lanjut sebenarnya masih banyak yang menginginkan pekerjaan agar tidak menjadi beban orang lain, akan tetapi masa bekerja bagi seseorang terkait umur. Di berbagai lembaga pemerintah atau swasta ada aturan yang mengatur seorang pegawai atau karyawan harus berhenti dari pekerjaannya yakni yang disebut dengan purnatugas atau pensin. Hal tersebut mengakibatkan para usia lanjut tidak banyak yang memiliki pekerjaan. (Rita dkk, 2008: 170)

Usia yang menua membuat sebagian besar usia lanjut kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan, entah berkaitan dengan masa jabatan di instansi yang memberikan batas maksimal usia


(46)

33

seseorang atau berkaitan dengan ketidakmampuannya untuk bekerja secara maksimal.

d. Kondisi Sosioemosional 2) Teori Sosial Usia Lanjut

a) Teori Disangement: semakin tinggi usia manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh semakin mundurnya interaksi sosial, fisik dan emosi dengan kehidupan dunia. b) Teori Activity: semakin tua seseorang akan semakin

memelihara hubungan sosial, fisik, maupun emosionalnya.(Rita dkk, 2008: 171)

Semakin tua usia seseorang, maka seseorang akan semakin kehilangan aktifitas sosial, baik dikarenakan pasangan hidup ataupun rekan-rekan seusia yang sudah banyak yang meninggal, ataupun dikarenakan orang-orang yang lebih muda tidak ingin berinteraksi dengan para usia lanjut karena faktor-faktor tertentu. Semakin tua usia seseorang, maka seseorang itu akan menjaga hubungan dengan orang-orang sekitar yang masih berada didekatnya, karena para usia lanjut tersebut membutuhkan teman dalam menjalani kehidupannya.

3) Stereotip Usia Lanjut

Stereotip usia lanjut yang ada biasanya tercermin sebagai miskonsepsi, bahwa usia lanjut biasanya lelah, kurang koordinasi, dan cenderung kepada infeksi dan kecelakaan, yang


(47)

34

sebagian besar dari mereka tinggal disuatu lembaga, dimana mereka tidak berminat pada kegiatan seksual, bahwa mereka terisolasi dari orang lain, bahwa mereka tidak menggunakan waktunya secara produktif, dan bahwa mereka kasihan dan sakit-sakitan. Stereotip yang negatif ini merugikan bagi eksistensi usia lanjut. (Rita dkk, 2008: 171-172)

Stereotip negatif yang diberikan masyarakat kepada usia lanjut menjadikan orang-orang merasa enggan berhubungan dengan para usia lanjut. Hal ini tentunya dikarenakan orang-orang merasa malas berurusan dengan orang-orang-orang-orang yang sudah tidak dapat lagi berperilaku normal selayaknya orang-orang dengan usia yang masih muda.

4) Keluarga dan Hubungan Sosial

Pola kehidupan keluarga mengalami perubahan seiring meningkatnya usia seseorang. Pensiun yang berarti berkurangnya pendapatan, kematian pasangan baik istri maupun suami, keduanya juga mempengaruhi kehidupan dalam keluarga. Semua perubahan itu menuntut penyesuaian. Keluarga merupakan sumber utama terpenuhinya kebutuhan emosional, semakin besar dukungan emosional, semakin menimbulkan rasa senang dan bahagia dalam keluarga begitupun sebaliknya. (Rita dkk, 2008: 172)


(48)

35

Usia lanjut memiliki perubahan sosial dan keluarga yang harus menuntut mereka untuk beradaptasi secara positif, baik beradaptasi dengan meninggalnya pasangan hidup, ditinggal anak-anaknya karena anak-anaknya sudah memiliki kehidupan sendiri, dan sebagainya.

5. Tugas-Tugas Perkembangan Usia Lanjut

Tugas-tugas perkembangan pada usia lanjut menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2006: 264) antara lain sebagai berikut:

1) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga.

3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup. 4) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia. 5) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan. 6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Adanya penurunan kondisi fisik pada usia lanjut mengakibatkan para usia lanjut harus dapat menyesuaikan diri, baik pada kesehatan yang menurun, ingatan yang tidak secermat dahulu, kondisi badan yang mudah lelah, uban yang semakin banyak, kulit yang keriput dan sebagainya.

Pada masa usia lanjut kebanyakan dari para usia lanjut tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, dan berkaitan dengan hal tersebut, para usia lanjut harus menyesuaikan diri, bahwa kebutuhan-kebutuhan dirinya sudah tidak dapat dipenuhi seperti dahulu lagi.

Kematian pasangan hidup tentu saja merupakan hal yang sangat berat untuk dirasakan. Ketika seorang usia lanjut harus tinggal sendiri


(49)

36

dan mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan dari pasangan hidup, tentunya hal ini membutuhkan penyesuaian pada diri individu.

Usia lanjut perlu memiliki hubungan baik dengan teman sebaya agar para usia lanjut tersebut dapat saling melihat, berbagi dan belajar pengalaman dari masing-masing individu yang telah berusia lanjut tersebut. Hal tersebut akan membelajarkan banyak hal pada individu.

Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan akan membuat para usia lanjut merasa bahagia dan bangga. Para usia lanjut harus berusaha menjadikan kehidupan sehari-harinya menyenangkan.

Para usia lanjut juga perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, dimana para usia lanjut harus mengetahui bahwa pada usia tersebut para usia lanjut memiliki peran sebagai apa, tentunya sudah tidak seperti ketika usia masih muda.

6. Usia Lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ini secara keseluruhan berjumlah 126 orang, dimana panti sosial ini memberikan dua macam pelayanan, yaitu: (1) pelayanan utama diperuntukkan bagi usia lanjut yang terlantar sosial-ekonomi (berjumlah 113 orang) dan seluruh biaya ditanggung pemerintah; dan (2) pelayanan untuk golongan menengah atas (jumlah maksimal 13 orang) dan membayar.

Syarat-syarat untuk menjadi klien Panti Sosial Abiyoso ini adalah: 1) Berusia 60 tahun keatas


(50)

37

3) Mandiri (dapat makan, mandi dan mengurusi keperluan pribadi secara mandiri)

4) Ketika klien merasa tidak kerasan atau meninggal, klien dikembalikan kepada penanggungjawab

5) Klien berada di panti dengan sukarela

6) Antara keluarga dan klien harus tetap ada komunikasi dan menjenguk klien.

Dalam panti sosial ini terdapat 11 wisma yang diperuntukkan sebagai tempat para usia lanjut yang menjadi klien di panti sosial, dimana setiap wisma berisikan beberapa orang usia lanjut dengan jumlah yang berbeda-beda. Pembagian dalam wisma tersebut sistemnya seperti sebuah keluarga dan pada masing-masing wisma terdapat usia lanjut yang kuat dan yang lemah baik dalam hal fisik dan psikis.

Permasalahan-permasalahan usia lanjut yang sering muncul di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso adalah adanya ketidakcocokan antara satu usia lanjut dengan usia lanjut lain dikarenakan masing-masing usia lanjut memandang dirinya sudah tua, memiliki banyak pengalaman dan patut untuk dihormati yang seringkali menyebabkan timbulnya pertengkaran. Permasalahan lain yang sering timbul adalah ketika ada penghuni atau usia lanjut baru di wisma yang mereka tempati, mereka yang lebih dulu menghuni merasa bahwa dirinya lebih senior dibandingkan dengan usia lanjut yang baru. Hal tersebut menyebabkan usia lanjut yang baru masuk mengalami ‘ospek’ oleh usia lanjut yang


(51)

38

telah tinggal di wisma tersebut lebih dahulu. Selain itu permasalahan yang kerap dialami para usia lanjut adalah mereka merasa kesepian karena jarang atau bahkan tidak pernah dijenguk oleh keluarganya. Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan usia lanjut yang baru masuk tersebut merasa tidak betah berada di Panti.

Usia lanjut yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso memiliki berbagai kegiatan sehari-hari yang telah ditentukan oleh pihak panti sosial tersebut dan wajib diikuti oleh semua usia lanjut yang masih mampu untuk mengikuti kegiatan. Adanya berbagai kegiatan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan resiliensi yang merupakan ranah bimbingan pribadi sosial, sehingga dengan adanya berbagai kegiatan tersebut diharapkan para usia lanjut di panti sosial dapat mengaktualisasikan dirinya dan dapat menggunakan waktunya secara efektif dan bermanfaat di masa tuanya. Bermacam kegiatan tersebut diperlukan demi dapat memberikan kepuasan hidup bagi para usia lanjut di panti sosial yang hidup jauh dari keluarga dan sanak saudaranya.

Gaya hidup aktif atau partisipasi pada aktivitas sosial seperti pergi ke pertemuan-pertemuan, bepergian, dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis akan lebih puas kehidupannya dibandingkan usia lanjut yang setia tinggal di rumah. Begitu juga dengan orang yang memiliki jaringan sosial pertemanan dan keluarga yang luas akan lebih puas dibanding usia lanjut yang terisolasi secara sosial.


(52)

39

Adanya kegiatan-kegiatan untuk para usia lanjut diharapkan akan dapat meningkatkan hubungan sosial, kreatifitas, kepercayaan diri, optimisme dan kepuasan hidup bagi usia lanjut tersebut. Hal-hal tersebut berkaitan erat dengan adanya resiliensi yang merupakan ranah bimbingan pribadi-sosial.

Kegiatan-kegiatan para usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso antara lain:

1) Senam setiap pagi hari kecuali pada hari libur 2) Bimbingan rohani setiap Senin dan Kamis 3) Bimbingan keterampilan setiap Selasa dan Rabu 4) Kerjabakti pada Jumat pertama

5) Bimbingan psikologi pada Jumat minggu ke-2 dan ke-4 6) Sarasehan pada Jumat minggu ke-3 dan ke-5.

C. Resiliensi Usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha

Usia lanjut adalah fase paling akhir dari rentang kehidupan manusia, dimana dalam fase tersebut terdapat proses kemunduran dalam hal fungsi fisik, kognitif, sosial dan emosional. Adanya kemunduran-kemunduran tersebut menyebabkan timbulnya stress dan individu berada dalam kondisi tertekan. Individu yang berada pada kondisi tertekan, mengalami kemunduran, kemalangan, seperti kehilangan pasangan hidup, permasalahan pernikahan, dan lain-lain, sulit untuk mencapai sebuah kesejahteraan atau kepuasan tanpa adanya resiliensi. Menurut Corner, untuk mengatasi stres,


(53)

40

depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (dalam Fransisca 2004: 103).

Kemampuan untuk beresiliensi sangat dibutuhkan oleh para usia lanjut, khususnya bagi para usia lanjut yang tinggal jauh dari keluarga yakni tinggal di panti sosial. Permasalahan-permasalahan yang kerap dialami oleh para usia lanjut dipanti sosial seperti yang ditemukan di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso adalah ketidakcocokan antara anggota atau antara klien panti sosial yang sama-sama berusia lanjut. Selain itu adalah masalah yang kerap dialami usia lanjut yang baru saja masuk ke panti sosial Abiyoso, karena hampir semua usia lanjut ‘baru’ di panti sosial tersebut harus menyesuaikan diri tinggal bersama orang-orang baru dan seringkali para usia lanjut yang sudah lama menghuni di panti tersebut akan menjadi penguasa di wisma tempat mereka tinggal dimana usia lanjut baru akan mengalami masa-masa ‘ospek’ di panti tersebut.

Kemampuan resilien individu dalam Panti Sosial Tresna Werdha diasah dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan bagi para usia lanjut yang tinggal di panti sosial tersebut. Kegiatan-kegiatan rutin yang diwajibkan bagi para usia lanjut tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar usia lanjut dan meningkatkan kreatifitas bakat sekaligus untuk mengisi waktu luang para usia lanjut tersebut.


(54)

41

Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah senam, bimbingan rohani, bimbingan keterampilan, bimbingan psikologi, kerjabakti, dan sarasehan. Selain itu para usia lanjut di Panti Sosial Abiyoso juga dituntut untuk dapat bekerjasama antar sesama usia lanjut di wismanya dimana pada masing-masing wisma ada pembagian tugas seperti mengambil jatah makanan, membersihkan wisma dan sebagainya.

Kemampuan beresiliensi para usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ini berbeda-beda, dan dapat diukur melalui aspek-aspek dari resiliensi yaitu berdasarkan: (1) aspek regulasi emosi (emotion regulation), (2) aspek kontrol terhadap impuls (impuls control), (3) optimisme (optimism), (4) aspek kemampuan menganalisis masalah (causal analysis), (5) aspek empati (empathy), (6) aspek efikasi diri (self-efficacy), dan (7) aspek pencapaian (reaching out).

D. Pertanyaan Penelitian

Guna mendapatkan serta mengarahkan proses pengumpulan data dan informasi mengenai tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta dapat akurat dan terarah, peneliti akan menguraikan dengan lebih merinci rumusan permasalahan sebelumnya menjadi pertanyaan-pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Pertanyaan penelitian tersebut adalah:

1. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek regulasi emosi (emotion regulation)nya?


(55)

42

2. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek pengendalian impuls (impuls control)nya? 3. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha

Abiyoso ditinjau dari aspek optimisme (optimism)nya?

4. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek kemampuan menganalisis masalah (causal analysis)nya?

5. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek empati (empathy)nya?

6. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek efikasi diri (self-efficacy)nya?

7. Bagaimana tingkat resiliensi usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso ditinjau dari aspek pencapaian (reaching out)nya?


(56)

43 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian survey. Menurut Sugiyono (2006: 14) terdapat beberapa jenis penelitian, antara lain: (1) penelitian kuantitatif, yaitu penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan; (2) penelitian kualitatif, yaitu penelitian dengan hasil berupa data kualitatif (berbentuk kata, skema, dan gambar).

Berdasarkan teori tersebut diatas, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, dimana data yang diperoleh dari sampel populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan kemudian diinterpretasikan.

Penelitian survey menurut Wuradji (2006: 1) adalah jenis penelitian dimana peneliti mengumpulkan data tentang fakta-fakta sosial, kemudian memberikan penilaian dan interpretasi terhadap kejadian-kejadian distribusi, dan hubungan antar variabel yang ada pada gejala yang diteliti.

Tujuan dari survey menurut Wuradji (2006: 1) adalah digunakan secara luas untuk menggambarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi dan berkembang secara alami, dalam arti bahwa variabel-variabelnya tidak dimanipulasi oleh peneliti. Hasil dari penelitian survey dapat disajikan secara deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi maupun dalam bentuk korelasi antar variabel.


(57)

44

Lingkup dan fokus penelitian survey yang digunakan adalah Survey Sample, yaitu penelitian survey yang tidak melibatkan seluruh populasi melainkan menarik sampel dari populasi tersebut. Menurut waktu pelaksanaannya, penelitian ini menggunakan Cross-Sectional Survey, yaitu penelitian survey yang meneliti sampel atau populasi pada satu waktu tertentu.

B. Variabel Penelitian

Variabel menurut Suharsimi Arikunto (2013: 96) adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Sedangkan menurut Wuradji 2006: 25) variabel merupakan gejala penelitian yang menunjukkan adanya variasi-variasi.

Variabel penelitian menurut Wuradji (2006: 25-26), dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Variabel kategoris (catagorial variable)

2. Variabel kontinum (continuous variable), yang dapat di golongkan menjadi dua, yaitu (a) variabel yang dapat diukur (measured variable) dan (b) variabel yang dapat di kendalikan oleh peneliti.

Variabel dari penelitian ini merupakan variabel yang dapat diukur, setelah terlebih dahulu ditetapkan indikator-indikatornya secara jelas. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal, yaitu resiliensi. Resiliensi memiliki varian sangat baik, baik, cukup baik dan kurang baik.


(58)

45 C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Menurut Suharsimi Arikunto, (2013: 109) populasi adalah jumlah keseluruhan dari suatu gejala yang mempunyai karakteristik yang sama. Sedangkan Sugiyono (2006: 55) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dengan demikian populasi adalah jumlah keseluruhan atau wilayah generalisasi yang mempunyai obyek/subyek yang sama.

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso dengan jumlah populasi 126 orang. 2. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto, (2013: 108), “Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan tertentu (Wuradji, 2006: 58). Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2013: 33), purposive sampling yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal.


(59)

46

Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Pengambilan sampel ini berdasarkan batasan-batasan umur usia lanjut menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Nugroho (2000:13), yaitu:

1) Usia pertengahan (midlle age) kelompok 45-59 tahun. 2) Usia lanjut (Elderly) antara 60 – 74 tahun.

3) Usia lanjut tua (Old) antara 75 – 90 tahun.

4) Usia lanjut sangat tua (Very Old) diatas 90 tahun.

Sampel dari penelitian ini adalah usia lanjut yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso dengan batasan usia lanjut (elderly) yang rentang usia 60 hingga 74 tahun.

b. Memilih sampel yang tidak mengalami gangguan ingatan (demensia) agar pengisian skala resiliensi dapat valid dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari para usia lanjut.

c. Memilih sampel yang tidak sedang berada diruang isolasi dikarenakan sedang mengalami masalah kesehatan agar tidak mengganggu perawatan khusus.

Tujuan dari dipilihnya sampel penelitian tersebut adalah memilih usia lanjut yang berusia 60 hingga 74 tahun yang merupakan usia lanjut awal dan dalam kondisi yang sehat dan tidak mengalami gangguan ingatan (demensia) untuk memudahkan komunikasi dalam pengisian


(60)

47

instrumen serta data yang diperoleh dapat valid karena ingatan dan pola pikir subyek masih baik.

D. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lokasi yang akan digunakan untuk penelitian adalah di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso yang beralamat di Pakembinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus hingga tanggal 19 September 2015.

E. Teknik Pengumpulan Data Skala

Metode pengumpulan data menurut Suharsimi Arikunto (2013: 136) adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data penelitiannya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan skala.

Menurut Syaifuddin Azwar (2006: 3-4), skala psikologi sebagai alat ukur yang memiliki karakteristik khusus sebagai berikut:

1. Cenderung digunakan untuk mengatur aspek bukan kognitif melainkan aspek afektif


(61)

48

2. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

3. Jawabannya bersifat proyektif.

4. Selalu berisi banyak item berkenaan dengan atribut yang diukur.

5. Respon subyek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau

“salah”, semua jawaban dianggap benar sepanjang sesuai keadaan yang sebenarnya, jawaban yang berbeda diinterpretasikan berbeda pula.

F. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan skala sebagai alat pengumpul data. Skala yang digunakan berbentuk skala resiliensi yang berupa pertanyaan-pertanyaan tertutup dengan bentuk variasi jawaban: tidak pernah, kadang-kadang, sering dan sangat sering, yang digunakan untuk mengungkap kemampuan resiliensi usia lanjut.

Instrumen yang digunakan adalah Skala Resiliensi. Penerapan penyusunan instrumen Skala Resiliensi tersebut berdasarkan 7 aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002: 36-46) yang sebagian merupakan modifikasi dari tes RQ dan menggunakan langkah-langkah penyusunan instrumen menurut Suharsimi Arikunto (2013: 135) adalah:

1. Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada di dalam rumusan judul penelitian atau yang tertera di dalam problematika penelitian.

2. Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel. 3. Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel. 4. Menderetkan deskriptor dari setiap indikator.


(62)

49

5. Merumuskan setiap deskriptor menjadi butir-butir instrumen. 6. Melengkapi instrumen dengan (pedoman atau instruksi) dan kata

pengantar.

Berdasarkan uraian langkah-langkah menurut Suharsimi Arikunto diatas, maka penyusunan instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada di dalam rumusan judul penelitian atau yang tertera di dalam problematika penelitian.

Setelah mengidentifikasi rumusan judul penelitian atau yang tertera di dalam problematika penelitian, ditemukan variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu resiliensi. Dimana resiliensi adalah kemampuan yang berbeda-beda pada diri individu dalam beradaptasi, memulihkan diri, dan mengatasi kesulitan, untuk menghadapi segala bentuk kesengsaraan atau masalah yang dihadapi, dengan cara mengidentifikasi, membangun pertahanan, meningkatkan kualitas dalam diri dan dengan cara melakukan pola adaptasi yang positif.

2. Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel.

Menurut Suharsimi Arikunto (2013: 136), apabila sudah diketahui variabelnya, maka penyusun mencoba menjabarkan setiap variabel menjadi sub variabel, yaitu aspek-aspek atau bagian-bagian dari variabel. Rincian atau bagian variabel dapat dipandang antara lain dari bagian atau kelompok yang ada di dalamnya, atau aspek.


(63)

50

Sub variabel dari resiliensi dapat dilihat dari aspek-aspek pembentuk resiliensi. Reivich dan Shatte (2002: 36-46), memaparkan tujuh aspek kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.

b. Pengendalian Impuls (Impuls Control)

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri demi tercapainya hasil yang lebih memuaskan.

c. Optimis (Optimism)

Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis. d. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis)

Kemampuan menganalisis masalah adalah kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi.

e. Empati (Empathy)

Empati adalah kemampuan individu untuk bisa membaca, melihat dan merasakan bagaimana perasaan, serta emosi orang lain


(64)

51

dan seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.

f. Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Efikasi Diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.

g. Pencapaian (Reaching Out)

Pencapaian adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.

3. Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan setelah mencari sub indikator adalah dengan mencari indikatornya. Menurut Suharsimi

Arikunto (2013: 137), ‘indikator’ berasal dari kata berbahasa Inggris to

indicate artinya ‘menunjukkan’ atau ‘menyatakan’. Kata ‘indikator’ di dalam penelitian ini menunjuk pada hal atau sesuatu yang dapat menunjukkan atau menjadi petunjuk bagi sub variabel atau variabel.

Indikator dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Regulasi Emosi


(65)

52 b. Pengendalian Impuls

Indikator: Mampu mengontrol keinginan diri yang negative demi mencapai hasil yang lebih baik.

c. Optimisme

Indikator: Percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik.

d. Kemampuan Menganalisis Masalah

Indikator: Mampu mengidentifikasi masalah yang dialami secara akurat

e. Empati

Indikator: Mampu membaca kondisi psikis dan emosi orang lain f. Efikasi Diri

Indikator: Yakin bahwa diri sendiri bermanfaat bagi lingkungan sekitar

g. Pencapaian

Indikator: Mampu mengambil aspek positif berdasarkan pengalaman yang pernah dialami

4. Menderetkan deskriptor dari indikator

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menderetkan deskriptor dari indikator. Menurut Suharsimi Arikunto (2013: 137),

‘deskriptor’ berasal dari kata berbahasa Inggris ‘to describe’ yang artinya

‘menggambarkan’, ‘memaparkan’, ‘menjelaskan lebih lanjut’ atau


(66)

53

masing-masing indikator dapat dijabarkan menjadi bagian yang lebih kecil yaitu deskriptor. Deskriptor dari indikator tersebut yaitu:

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

1) Tidak mudah terbawa emosi dalam situasi yang tidak menyenangkan

2) Dapat memposisikan diri dengan baik meskipun dalam situasi yang sulit

b. Pengendalian Impuls (Impuls Control)

1) Mampu mengendalikan keinginan yang tidak bermanfaat bagi masa depan

2) Mampu memfokuskan pikiran pada hal yang lebih penting c. Optimisme (Optimism)

1) Percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik d. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis)

1) Mampu mengidentifikasi penyebab masalah

2) Mampu menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah

3) Mampu mempertimbangkan dampak dari masing-masing alternatif penyelesaian masalah

e. Empati (Empathy)

1) Mengetahui kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan perilaku dan sikap

2) Mengetahui kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan nada bicara


(67)

54

3) Mengetahui kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan ekspresi wajah

f. Efikasi Diri (Self Efficacy)

1) Yakin bahwa diri sendiri mampu menyelesaikan permasalahan

2) Yakin bahwa kemampuan diri dapat membawa pada kesuksesan

3) Yakin bahwa diri sendiri dapat memimpin penyelesaian masalah g. Pencapaian (Reaching Out)

1) Senang dengan hal-hal yang baru

2) Pengalaman dapat menjadikan diri lebih baik

5. Merumuskan setiap deskriptor menjadi butir-butir instrumen

Sebelum menuliskan butir-butir pertanyaan, terlebih dahulu dibuat kisi-kisi kuesioner. Kisi-kisi kuesioner ini disusun berdasarkan deskriptor yang telah dijabarkan diatas, yang kemudian dibentuk menjadi sebuah tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Skala Resiliensi Vari

abel

Sub

Variabel Indikator

Deskriptor Item Fav

Item

Unfav Jumlah Resi liens i Regulasi Emosi Tetap tenang di bawah kondisi yang menekan

Tidak mudah terbawa emosi dalam situasi yang tidak

menyenangkan

1 2 2

Dapat

memposisikan diri dengan baik meskipun dalam situasi yang sulit

3 4 2

Pengend alian Impuls

Mampu mengendali kan pikiran dan

keinginan

Mampu

mengendalikan keinginan yang tidak bermanfaat bagi masa depan


(68)

55 diri yang negatif demi mencapai hasil yang lebih baik

Mampu memfokuskan pikiran pada hal yang lebih penting

7 8 2

Optimis me

Percaya masa depan cerah

Percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik

9 11 10 12 4 Kemamp uan Mengana lisis Masalah Kemampua n untuk mengidentif ikasi masalah yang dialami secara akurat Mampu mengidentifikasi penyebab masalah

13 14 2

2 Mampu

menemukan

berbagai alternatif penyelesaian

masalah

15 16 2

Mampu

mempertimbangka n dampak dari masing-masing alternatif penyelesaian masalah

17 18 2

Empati Mampu mengetahui kondisi psikis dan emosi orang lain

Mengetahui

kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan perilaku dan sikap

19 20 2

Mengetahui

kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan nada bicara

21 22 2

Mengetahui

kondisi psikis dan emosional orang lain berdasarkan ekspresi wajah

23 24 2

Efikasi Diri

Yakin bahwa diri sendiri bermanfaat bagi

Yakin bahwa diri sendiri mampu menyelesaikan permasalahan

25 26 2


(69)

56 lingkungan

sekitar

kemampuan diri dapat membawa pada kesuksesan Yakin bahwa diri sendiri dapat memimpin

penyelesaian masalah

29 30 2

Pencapai an Mampu mengambil aspek positif berdasarkan pengalaman yang pernah dialami

Senang dengan hal-hal yang baru

31 32 2

Pengalaman dapat menjadikan diri lebih baik

33 34 2

Total 34

Pilihan alternatif jawaban dan penilaian setiap item dalam skala resiliensi adalah mengacu pada penskalaan Likert dengan empat alternatif jawaban yaitu tidak pernah, kadang-kadang, agak sering, dan sangat sering (Sugiyono, 2006: 93). Pemberian skor pada setiap alternatif jawaban pada skala resiliensi adalah : (1) untuk item instrumen yang favorabel, jawaban tidak pernah bernilai 1, jawaban jarang bernilai 2, jawaban sering bernilai 3 dan jawaban selalu bernilai 4; dan untuk item instrumen yang unfavorabel, jawaban tidak pernah bernilai 4, jawaban jarang bernilai 3, jawaban sering bernilai 2, dan jawaban selalu bernilai 1.


(1)

108

INSTRUMEN SKALA RESILIENSI

NO PERNYATAAN

ALTERNATIF JAWABAN

SL SR JR TP

1. Bisa menjaga amarah pada teman yang

sedang membicarakan hal yang tidak saya senangi

2. Kesal jika saya disalahkan oleh orang lain

3. Dapat mengerjakan tugas dengan baik

meskipun saya sedang merasa kesepian 4. Malas mengikuti kegiatan panti ketika

suasana hati sedang tidak baik

5. Lebih penting untuk mengerjakan tugas dibanding hanya duduk dan bersantai-santai 6. Lupa mengerjakan tugas ketika saya asik

bersantai-santai

7. Mengutamakan tugas agar tidak terbengkalai 8. Sulit memusatkan pikiran pada satu hal yang

menurut saya penting

9. Ketika dihadapkan dengan situasi yang sulit, saya yakin bahwa itu akan berjalan dengan baik

10. Membayangkan masa depan saya buruk

11. Percaya bahwa kebaikan yang saya lakukan akan berbuah manis di masa depan

12. Khawatir tentang kesehatan masa depan saya

13. Saat menghadapi masalah, saya bisa

mengetahui penyebab kesulitan saya

14. Berpikir bahwa penyebab masalah tidak penting untuk dipikirkan

15. Dapat menemukan banyak cara ketika

menyelesaikan masalah


(2)

109 dipikiran ketika terjadi masalah

17. Mempertimbangkan resiko dalam setiap

memecahkan masalah

18. Merasa malas memusingkan diri dengan banyak cara penyelesaian masalah

19. Paham dengan apa yang dirasakan oleh teman yang sedang menyendiri

20. Bingung dengan teman yang bersikap dingin pada saya

21. Dapat mengetahui apa yang dirasakan orang lain ketika orang tersebut berbicara dengan nada yang keras

22. Berfikir bahwa orang yang suka marah-marah itu aneh

23. Ketika melihat wajah teman ketika berbicara, saya dapat melihat apa yang sedang dia rasakan

24. Bingung dengan teman yang berwajah

murung

25. Percaya bahwa saya mampu menyelesaikan masalah yang saya alami sendiri

26. Meragukan kemampuan diri dalam

mengatasi masalah

27. Yakin saya mampu membuat diri saya

bahagia suatu hari nanti 28. Merasa diri tidak berguna

29. Dapat memimpin teman-teman

30. Bergantung pada orang lain

31. Mencoba kegiatan-kegiatan baru yang

diyakini dapat membuat diri menjadi lebih baik

32. Curiga dengan orang-orang baru di sekitar saya


(3)

110

33. Ketika gagal dapat mengambil pelajaran untuk masa yang akan datang

34. Takut jika menjadi satu-satunya orang yang harus bertanggungjawab


(4)

111 Lampiran 8.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH MEMBACA AL-QURAN DENGAN METODE TAHSIN TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO PAKEM YOGYAKARTA

0 2 87

PENDAHULUAN DESAIN PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA ABIYOSO SLEMAN, YOGYAKARTA.

0 4 11

TINJAUAN UMUM DESAIN PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA ABIYOSO SLEMAN, YOGYAKARTA.

3 23 36

PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO.

8 37 194

HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA UNIT BUDI LUHUR YOGYAKARTA

0 0 21

PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP KEJADIAN INSOMNIA PADA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP KEJADIAN INSOMNIA PADA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL

0 0 11

PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP INSOMNIA PADA USIA LANJUT DI PANTI SOSIAL TERSNA WERDHA ”ABIYOSO” PAKEMBINANGUN, PAKEM, SLEMAN, YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP INSOMNIA PADA USIA LANJUT DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA “ABIYOSO” P

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA SLEEP HYGIENE DENGAN KUALITAS TIDUR PADA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA YOGYAKARTA UNIT ABIYOSO PAKEMBINANGUN PAKEM SLEMAN NASKAH PUBLIKASI - Hubungan antara Sleep Hygiene dengan Kualitas Tidur pada Lanjut Usia di Panti Sosial T

0 0 12

HUBUNGAN LONELINESS LEVEL DENGAN KUALITAS TIDUR LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA UNIT ABIYOSO PAKEM SLEMAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Loneliness Level Dengan Kualitas Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Pakem Sleman Yog

0 0 12

HUBUNGAN KADAR ASAM URAT DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA UNIT ABIYOSO PAKEM SLEMAN NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Kadar Asam Urat dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Pakem Sle

0 0 14