PENGGUNAAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SD KREBET PAJANGAN BANTUL.

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan nasional memiliki tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dimiliki seseorang. Pendidikan di tingkat Sekolah Dasar, proses pembelajaran mempunyai arti sangat penting dan bernilai strategis. Pengalaman hasil belajar yang diperoleh anak sejak di bangku Sekolah Dasar akan menjadi dasar bagi penerimaan pengetahuan berikutnya. Seperti yang dinyatakan John Dewey (Dwi Siswoyo. dkk, 2008: 18), bahwa pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya.

Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang diharapkan dalam proses belajar mengajar, seorang guru dituntut untuk menguasai materi pelajaran dengan baik dan sesuai dengan rencana serta kurikulum yang berlaku. Salah satunya pada mata pelajaran matematika, dimana menurut Bandi Delphie (2009: 2), ruang lingkup matematika meliputi pengoperasian penghitungan, pengukuran, aritmatika, kalkulasi, geometri, dan aljabar. Penguasaan materi yang baik terhadap matematika tentu saja erat kaitannya dengan bagaimana daya upaya komponen yang berpengaruh dalam pendidikan, maka peningkatan mutu pengajaran matematika harus selalu diupayakan, sehingga mampu mengatasi permasalahan pendidikan seiring


(2)

dengan tuntutan jaman.

Kenyataan yang terjadi di SD Krebet UPT PPD Kecamatan Pajangan menunjukan bahwa nilai hasil belajar matematika siswa kelas IV rendah. Hal itu dapat dilihat dari nilai Ulangan Tengah Semester I dari 42 siswa kelas IV sebanyak 11 siswa (74%) belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dan Ulangan Akhir Semester I sebanyak 16 siswa (62%) belum mencapai KKM yaitu 68. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat berpengaruh pada Ujian Nasional saat kelas VI kelak mengingat hasil Ujian Nasional pada tahun pelajaran 2012/2013 dimana dari tiga mata pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, IPA, dan Matematika) nilai Matematika merupakan nilai terendah. Berikut daftar nilai Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013 dapat di paparkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil UN Siswa SD Krebet Tahun Pelajaran 2012/2013

NILAI BHS INDONESIA MATEMATIKA IPA

Klasifikasi A B A

Rata-rata 7,94 6,61 7,86

Terendah 5,80 3,00 6,00

Tertinggi 9,20 9,25 9,50

Berdasarkan pengamatan dan keterangan dari guru kelas pada tanggal 15 Januari 2014, salah satu hal yang menyebabkan nilai matematika siswa rendah adalah kurangnya pemahaman tentang suatu konsep matematika termasuk salah satunya konsep pecahan. Dengan kurang pahamnya siswa terhadap suatu konsep matematika akan mempengaruhi cara penyelesaian soal. Sebagian siswa hanya sembarang menghitung angka-angka yang ada dalam soal.


(3)

Selain itu, guru masih mendominasi pelaksanaan pembelajaran matematika, dimana guru masih berperan sebagai sumber utama dalam pembelajaran sementara siswa cenderung pasif mendengarkan. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih bersifat monoton. Anak hanya sering menghafal cara cepat pengerjaan soal. Padahal menurut Daryanto (2009: 9), belajar itu yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari tetapi mengerti atau memperoleh insight. Selain itu, kenyataan yang terjadi saat Ujian Nasional soal disajikan dalam bentuk pilihan ganda sehingga memungkinkan siswa untuk menjawab tanpa memahami maksud soal serta langkah-langkah pengerjaan. Sementara hal yang menjadi tolok ukur keberhasilan dan sorotan masyarakat adalah hasil akhir, bukan proses pengerjaannya.

Perlu disadari bahwa guru juga ikut andil dalam penyajian proses belajar mengajar yang berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa. Guru lebih banyak menerangkan di depan kelas, memberi contoh pengerjaan kemudian meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan sesuai dengan yang telah dicontohkan, tanpa menggunakan media dan alat peraga. Dengan kata lain guru hanya menggunakan model pembelajaran ekspositori yaitu. Pertama, guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Kedua, guru menyampaikan pesan atau konsep kepada siswa secara lisan atau tertulis yang biasanya disertai contoh. Ketiga, guru meminta siswa menggunakan konsep dengan cara mengerjakan soal latihan (Mucthar A. Kharim, 1996: 28). Hal itu menjadikan proses pembelajaran menjadi tidak


(4)

bermakna. Seharusnya guru dapat menciptakan suasana belajar yang santai dan menyenangkan misalnya dengan benda konkret maupun memanipulasi benda-benda sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman secara langsung. Menurut Slameto (2003: 92), guru harus mempergunakan banyak metode pada waktu mengajar. Variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, dan kelas menjadi hidup. Guru hendaknya mengaitkan materi pembelajaran dengan pengalaman kehidupan sehari-hari anak

Apabila permasalahan di atas tidak segera diatasi berakibat pada proses belajar mengajar yang kurang efektif dan akhirnya mempengaruhi tingkat hasil belajar matematika siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan pendekatan pendidikan matematika realistik. Pendidikan matematika realistik merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa saat proses pembelajaran dan di dalamnya menggunakan konteks nyata. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan anak dimana anak usia SD lebih ditekankan pada belajar melalui pengalaman sendiri menggunakan benda-benda konkret. Namun Pendidikan Matematika Realistik ini belum diterapkan di SD Krebet sehingga pembelajaran matematika belum optimal.

Melihat kondisi di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan pendidikan matematika realistik dengan judul penelitian “Penggunaan pendidikan matematika realistik untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet Pajangan Bantul”.


(5)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. rendahnya nilai hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika, 2. pendekatan mengajar yang cenderung berpusat pada guru,

3. pengajaran konsep pecahan di SD Krebet belum menggunakan media dan alat peraga,

4. kurang bermaknanya proses pembelajaran karena siswa masih diberi cara cepat pengerjaan soal,

5. belum optimalnya keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika, dan 6. pendidikan matematika realistik belum diterapkan di SD Krebet.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti akan membatasi permasalahan pada rendahnya nilai hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi pecahan dan Pendidikan Matematika Realistik belum diterapkan di SD Krebet.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana penggunaan Pendidikan Matematika Realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet, Pajangan, Bantul?”


(6)

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika materi pecahan melalui penerapan PMR pada siswa kelas IV SD Krebet, Pajangan, Bantul.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak seperti berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Sebagai alternatif dan bahan masukan tentang pentingnya penerapan PMR dalam meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal matematika yang melibatkan pecahan.

b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

1) Guru memiliki alternatif pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.

2) Sebagai alternatif dan bahan masukan tentang pentingnya penggunaan PMR dalam meningkatkan kemampuan dan pemahaman siswa.


(7)

3) Masukan bagi guru agar dapat meningkatkan profesionalisme dalam pengajaran melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (PTK).

b. Bagi Sekolah

Mendukung peningkatan kualitas pendidikan khususnya dalam mata pelajaran Matematika.

c. Bagi Siswa

Dengan menggunakan pendekatan PMR memberikan kontribusi untuk meningkatkan minat, motivasi, dan kemampuan dalam pembelajaran sehingga hasil belajarnya akan meningkat.

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan pengalaman penelitian guna memberikan sumbangsih bagi dunia pendidikan di Indonesia. e. Bagi Pembaca

Penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

G. Definisi Operasional Variabel

Definisi dari variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil belajar siswa merupakan hasil pengalaman yang diperoleh siswa

dari proses belajar yang berupa aspek kognitif pada mata pelajaran Matematika.

2. Matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi pecahan. Pecahan dapat diartikan sebagian dari sesuatu yang utuh. Materi pecahan


(8)

meliputi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan yang dikaitkan dengan permasalahan sehari-hari.

3. Pendidikan matematika realistik adalah inovasi dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan konteks nyata. Pembelajaran matematika diawali dengan menyajikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan pecahan kepada siswa. Siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan cara mereka sendiri menggunakan model alat peraga yang disediakan. Dari peragaan dengan menggunakan model alat peraga tersebut siswa mulai membangun pemahaman mengarah pada pemahaman matematika formal. Tahap selanjutnya siswa dapat menyelesaikan permasalahan penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan menggunakan prosedur formal.


(9)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pembelajaran Matematika 1. Pembelajaran Matematika

Kehidupan sehari-hari secara langsung memerlukan keterampilan berkaitan dengan menghitung, misalnya saat kita berbelanja. Keterampilan berkaitan dengan menghitung berupa pengembalian uang belanja, menginterpretasikan ukuran-ukuran dalam resep makanan, dan menghitung harga barang yang dibeli. Untuk itu manusia perlu memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan penalaran dan hitung menghitung melalui pelajaran di sekolah. Lampiran I Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (2009: 9), menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Lebih lanjut dijelaskan pula pemberian pendidikan matematika dapat digunakan untuk sarana dalam pemecahan masalah dan mengomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

Ebbutt dan Straker 1995 (Marsigit, 2003 : 2-3), memberikan pedoman bagi guru agar siswa menyenangi matematika di sekolah


(10)

berdasarkan kepada anggapan tentang hakikat matematika dan hakikat subyek didik beserta implikasinya terhadap pembelajaran matematika sebagai berikut.

a. Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan

Dalam pembelajaran matematika, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola dan untuk menentukan hubungan. Kegiatan dapat dilakukan melalui percobaan untuk menemukan urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dan sebagainya serta memberi kesempatan siswa untuk menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya. b. Matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan

penemuan

Dalam pembelajaran matematika, guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir berbeda menggunakan pola pikir mereka sendiri sehingga menghasilkan penemuan mereka sendiri. Guru juga meyakinkan siswa bahwa penemuan mereka bermanfaat walaupun terkadang kurang tepat dan siswa diberi pengertian untuk selalu menghargai penemuan dan hasil kerja orang lain.

c. Matematika adalah kegiatan problem solving

Guru berupaya mengembangkan pembelajaran sehingga menimbulkan masalah matematika yang harus dipecahkan oleh siswa dengan menggunakan cara mereka sendiri.


(11)

d. Matematika merupakan alat berkomunikasi

Guru harus berusaha menjadikan kegiatan pembelajaran matematika yang memfasilitasi siswa mengenal dan dapat menjelaskan sifat-sifat matematika. Guru juga diharapkan dapat menstimulasi siswa untuk dapat menjadikan matematika sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Memperhatikan penjelasan tentang pembelajaran matematika di atas, dengan mengacu pada pendapat Ebbutt dan Straker maka dapat diketahui bahwa guru harus mempunyai pedoman dalam melakukan kegiatan pembelajaran matematika sehingga diharapkan pembelajaran matematika menyenangkan bagi siswa, bermanfaat, dan sesuai dengan tingkat perkembangannya.

2. Teori Belajar Matematika

Menurut Piaget (Pitadjeng, 2006: 28), perkembangan belajar matematika anak malalui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak. Pada tahap konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman langsung atau memanilupasi objek-objek konkret. Pada tahap semi konkret sudah tidak perlu memanipulasi objek-objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud. Kegiatan yang dilakukan anak pada tahap semi abstrak memanipulasi/melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir abstrak. Sedangkan pada tahap abstrak anak sudah mampu berpikir secara abstrak dengan melihat


(12)

lambang/simbol atau membaca/mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek-objek konkret.

Bruner (Karso, dkk 2009: 1.12), menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa atau benda tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa atau benda yang dialaminya atau dikenalnya. Lebih lanjut Bruner (Karso, dkk. 2009: 1.12), menyatakan hal-hal tersebut sebagai proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu.

a. Tahap Enaktif atau Tahap Kegiatan (Enactive)

Tahap pertama anak belajar konsep adalah berhubungan dengan benda-benda real atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya. Pada tahap ini anak masih dalam gerak reflek dan coba-coba; belum harmonis. Ia memanipulasikan, menyusun, menjejerkan, mengutak-atik, dan bentuk-bentuk gerak lainnya (serupa dengan tahap sensori motor dari Peaget)

b. Tahap Ikonik atau Tahap Gambar Bayangan (Iconic)

Pada tahap ini, anak telah mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Degnan kata lain anak dapat membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialami atau dikenalnya pada tahap enaktif, walaupun peristiwa itu telah berlalu atau benda real itu tidak lagi berada di hadapannya (tahap pre-operasi dari peaget) c. Tahap simbolik (Symbolic)

Pada tahap terakhir ini anak dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simbol dan bahasa. Apabila ia berjumpa dengan suatu simbol maka bayangan mental yang ditandai itu akan dapat dkenalnya kembali. Pada tahap ini anak sudah mampu memahami simbol-simbol dan menjelaskan dengan bahasanya. (serupa dengan tahap operasi konkret dan formal dari Peaget).

Setelah memperhatikan teori belajar bruner di atas maka dapat diketahui bahwa memang untuk memudahkan pemahaman dan


(13)

keberhasilan anak pada pembelajaran matematika haruslah secara bertahap dimulai dari hal yang nyata menuju ke abstrak.

3. Tujuan Pendidikan Matematika

Menurut Mathematical Sciences Education Board-National

Research Council (Ariyadi Wijaya, 2012: 7), terdapat empat tujuan

pendidikan matematika ditinjau dalam lingkungan sosial, meliputi: a. Tujuan praktis

Tujuan praktis dari matematika ialah berkaitan pengembangan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan matematika untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

b. Tujuan kemasyarakatan

Tujuan pendidikan matematika ini yaitu mengupayakan pengembangan kemampuan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam hidup bermasyarakat. Sudah saatnya pendidikan matematika tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa namun pendidikan matematika juga harus dapat mengembangkan kemampunan sosial siswa.

c. Tujuan profesional

Tujuan profesional dari pendidikan matematika berorientasi pada mempersiapkan siswa untuk terjun di dunia kerja. Seperti kita ketahui seluruh jenis pekerjaan yang ada sekarang baik langsung maupun tidak langsung menuntut kemampuan matematika.


(14)

d. Tujuan budaya

Pendidikan merupakan suatu bentuk budaya dan diharapkan pendidikan matematika dapat dijadikan bagian dari suatu budaya manusia sehingga berperan dalam mengembangkan kebudayaan.

Sementara dalam Lampiran I Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (2009: 10), menyebutkan tujuan pembelajaran matematika bagi siswa di sekolah dasar adalah sebagai berikut.

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan

manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa penekanan pembelajaran matematika terletak pada penataan nalar, pemecahan masalah, pembentukan sikap, dan keterampilan dalam penerapan matematika. 4. Ruang Lingkup Pelajaran Matematika di SD

Adapun ruang lingkup pelajaran matematika yaitu bilangan, geometri, dan pengukuran, serta pengolahan data. Abdurrahman, 1996 (Bandi Delphie, 2009: 3), menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika yang diajarkan di sekolah dasar mencakup tiga cabang, yaitu


(15)

aritmatika, aljabar, dan geometri. Kompetensi dalam bilangan ditekankan pada kemampuan memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

Pengukuran dan geometri ditekankan pada kemampuan mengidentifikasi pengelolaan data dan bangun ruang serta menentukan keliling, luas, volume, dalam pemecahan masalah. Pengelolaan data ditekankan pada kemampuan mengumpulkan, menyajikan dan membaca data.

Materi pelajaran Matematika kelas IV semester 2 tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Kurikulum Matematika Kelas IV semester 2 Sekolah Dasar Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

5. Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat

6. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah.

7. Menggunakan lambang bilangan Romawi

8. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun.

5.1 Mengurutkan bilangan bulat 5.2. Menjumlahkan bilangan bulat 5,3. Mengurangkan bilangan bulat 5.4. Melakukan operasi hitung campuran 6.1. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya 6.2. Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan. 6.3. Menjumlahkan pecahan.

6.4. Mengurangkan pecahan.

6.5. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan

7.1. Mengenal lambang bilangan Romawi 7.2. Menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan

Romawi dan sebaliknya.

8.1. Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana. 8.2. Menentukan jaring-jaring balok dan kubus. 8.3. Mengidentifikasi benda-benda dan bangun datar

simetris

8.4. Menentukan hasil pen-cerminan suatu bangun datar

Adapun dalam penelitian ini, peneliti memilih materi tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan.


(16)

B. Pecahan

1. Pengertian Pecahan

Menurut Heruman (2007: 43), “pecahan dapat diartikan sebagai bagian

dari sesuatu yang utuh”. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud

adalah bagian yang diperhatikan. Contoh:

Kegiatan pembelajaran

a. Untuk peragaan dengan kertas dalam pengenalan pecahan 12 , siswa menyediakan kertas berbentuk persegi panjang, lalu kertas tersebut dilipat menjadi dua bagian yang sama. Berilah garis bekas lipatan dan arsir salah satu bagian lipatan.

Kertas utuh dilipat menjadi salah satu bagian dua bagian diarsir

b. Siswa kemudian diberi serangkaian pertanyaan:

1) Berapa bagian kertas yang telah dilipat? (Jawaban yang diharapkan: 2 bagian)

2) Berapa bagian kertas yang diarsir) (Jawaban yang diharapkan: 1 bagian)


(17)

3) Berapa bagian kertas yang diarsir dari semua bagian? (jawaban yang diharapkan: 1 dari 2)

Apabila ditulis dalam bentuk pecahan: 12

1 disebut sebagai pembilang dan 2 disebut sebagai penyebut.

2. Operasi Pecahan

a. Penjumlahan Pecahan Berpenyebut Sama Contoh:

Kegiatan pembelajaran

1) Sebagai pengantar, siswa diingatkan lagi tentang nilai pecahan dan pecahan senilai.

2) Siswa menyediakan media pembelajaran (dalam hal ini dua helai kertas lipat), lembar kertas pertama dilipat menjadi empat bagian yang ama, dan salah satu bagian diarsir untuk menunjukkan pecahan 1

4. Kemudian, kertas kedua dilipat menjadi 4 bagian yang sama, dan salah satu bagian juga diarsir untuk menunjukkan pecahan 14.

3) Siswa memperhatikan dua kertas hasil lipatan yang telah diarsir.

kertas pertama kertas kedua

1

4 1 4


(18)

2 4

4) Dalam peragaan berikut, kita akan menunjukkan hasil penjumlahan 1

4 + 1 4 = ....

dipotong dan ditempelkan pada kertas yang satunya

1 4

1 4 +

1 4 =

1+1 4 =

2 4

Dari contoh di atas, dapat kita tuliskan aturan penjumlahan pecahan berpenyebut sama sebagai berikut.

Penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama dilakukan dengan menjumlahkan pembilang-pembilangnya. Sedangkan penyebutnya tidak dijumlahkan.

b. Pengurangan Pecahan Berpenyebut Sama Contoh :

Kegiatan Pembelajaran

1) Sebagai pengantar siswa diingatkan lagi tentang penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama.

2) Siswa melipat kertas menjadi empat bagian yang sama, dua bagian diarsir untuk menunjukkan pecahan 2


(19)

1 2

3) Dengan peragaan kita akan menunjukkan pengurangan 2 4 -

1 4 = ....

satu bagian yang diarsir dihapus

Dari contoh di atas, dapat kita tuliskan aturan pengurangan pecahan yang berpenyebut sama sebagai berikut.

Pengurangan pecahan yang berpenyebut sama dilakukan dengan mengurangkan pembilang-pembilangnya. Sedangkan penyebutnya tidak dikurangkan.

c. Penjumlahan Pecahan Berpenyebut Tidak Sama Contoh peragaan

1 2

-

1 4

= ...

Satu bagian dipotong lalu digabungkan

+ =

Adapun penulisan dalam bentuk bilangannya menjadi: 1

2

+

1 4

=

3 4

2 4 -

1 4 =

2−1 4 =

1 4 1 4 3 4


(20)

1 2

Untuk menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak sama, langkah pertama adalah menyamakan penyebutnya dengan KPK kedua bilangan (mencari bentuk pecahan yang senilai). Setelah itu jumlahkan pecahan baru seperti pada penjumlahan pecahan berpenyebut sama.

d. Pengurangan Pecahan Berpenyebut Tidak Sama Contoh peragaan

dilipat menjadi

sisa = diambil bagian

Adapun penulisan dalam bentuk bilangannya menjadi: 1

2

-

1 4

=

1 4

Untuk melakukan pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama langkah pertama adalah menyamakan penyebut dengan KPK kedua bilangan (mencari bentuk pecahan yang senilai). Kemudian kurangkan pecahan baru seperti pada pengurangan pecahan berpenyebut sama.

2 4

1 4 1


(21)

C. Pendidikan Matematika Realistik

1. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang berkembang di Belanda sejak tahun 1970an yang dicetuskan oleh Hans Freudenthal. Menurut Freudenthal (Ariyadi Wijaya, 2012: 20), matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia. Masih menurut Hans Freudenthal (Daitin Tarigan, 2006: 4), bahwa matematika sebagai kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan, melandasi pengembangan Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics

Education). Kata realistik sering disalahartikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang harus menggunakan masalah sehari-hari tetapi sebenarnya fokus Pendidikan Matematika Realistik adalah menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan oleh siswa.

Menurut Daitin Tarigan (2006: 4), Pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan yang orientasinya menuju kepada penalaran siswa yang bersifat realistik yang ditujukan kepada pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah.


(22)

Menurut Nyimas Aisyah, dkk (2007: 7-1), pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan matematika kepada siswa. Dalam pendekatan matematika realistik menggunakan masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari sebagai titik awal pembelajaran matematika yang menandakan matematika dekat dengan kehidupan siswa. Alat peraga dan media pembelajaran matematika realistik menggunakan benda-benda nyata yang akrab dengan kehidupan siswa sehari-hari.

Ariyadi Wijaya (2012:21), berpendapat bahwa dalam pembelajaran realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk pembelajaran (a source for learning). Pernyataan yang sejalan juga disampaikan Daitin Tarigan (2006: 3), bahwa pembelajaran ini menekankan pentingnya konteks nyata yang dikenal murid dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh murid sendiri.

Dari beberapa definisi tentang pendidikan matematika realistik di atas, maka dapat diketahui bahwa pendidikan matematika realistik yaitu pembelajaran matematika yang menggunakan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai titik awal pembelajaran dan menggunakan benda-benda yang realistik serta sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai media pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.


(23)

2. Proses Matematisasi dalam Pembelajaran Matematika Realistik Dalam pembelajaran matematika realistik, harus melalui tahapan yang dinamakan proses matematisasi sebagai jembatan pengetahuan bagi siswa. Proses matematisasi merupakan kegiatan menghubungkan antara dunia nyata menjadi konsep-konsep matematika. De Lange (Ariyadi Wijaya, 2012 : 42), membagi matematisasi menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.

Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa bantuan konteks.

Dengan kata lain matematisasi vertikal merupakan kegiatan lanjutan dari matematisasi horizontal yaitu setelah siswa sudah dapat menerjemahkan soal-soal dari dunia nyata mereka dengan menggunakan bahasa dan cara mereka sendiri, maka pada tahap matematika vertikal siswa diajak untuk menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika yang berlaku untuk soal sejenis.

Berhubungan dengan proses matematisasi vertikal dan horizontal dalam hubungannya dengan tingkat aktivitas pemodelan dalam PMR,


(24)

Frans Moerlands (Sugiman, 2011:8), mendiskripsikan tipe pendekatan realistik dalam gagasan gunung es (iceberg) yang mengapung di tengah laut. Proses pembentukan gunung es di laut selalu dimulai dari bagian dasar di bawah permukaan laut dan seterusnya akhirnya terbentuk puncak gunung es yang muncul di atas permukaan laut. Bagian dasar gunung es lebih luas dari pada puncaknya, dengan demikian konstruksi gunung es tersebut menjadi kokoh dan stabil. Dalam model gunung es terdapat empat tingkatan aktivitas, yakni :

a. Orientasi lingkungan secara matematis

Pada tahap ini anak akan dibiasakan menyelesaikan masalah sehari-hari tanpa harus mengaitkan secara tergesa-gesa pada matematika formal. Anak akan memodelkan secara situasi permasalahan matematika yang berhubungan dengan konteks yang diberikan. Kegitan matematis yang bersentuhan dengan berbagai konteks real yang menuju pada suatu konsep matematika akan menjadi landasan bagi siswa dalam tingkatan selanjutnya.

b. Model alat peraga

Pada tahap ini menekankan pada kemampuan siswa untuk memanipulasi alat peraga untuk memodelkan situasi pada beragam konteks pada tahap sebelumnya. Tahap ini sangat berguna untuk pemahaman prinsip-prinsip matematika sebelum menggunakan bahasa matematika.


(25)

c. Pembuatan pondasi (building stone)

Pada aktivitas ini aktivitas siswa mengarah pada pemahaman matematika dengan menggunakan model untuk matematika formal. d. Matematika formal.

Pada tahap ini, anak sudah dapat menggunakan konsep atau prosedur matematika formal.

Dalam mengajarkan pecahan, pada awalnya siswa melakukan aktivitas berdasarkan permasalahan kontekstual dengan beragam konteks, selanjutnya memodelkan masalah berdasarkan pemahaman mereka tentang situasi permasalahan kontekstual yang diberikan. Pada tahap berikutnya siswa menggunakan alat peraga pecahan sebagai model dari beragam situasi (model of) masalah kontekstual yang diberikan pada tahap orientasi masalah. Selanjutnya pada tahap pembuatan pondasi, gambaran tentang permasalahan menggunakan alat peraga membawa mereka menuju matematika formal. Pada akhirnya siswa dapat menyelesaikan permasalahan penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan menggunakan prosedur formal.

3. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik

Traffers (Ariyadi Wijaya, 2012: 21), merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:

a. Penggunaan Konteks

Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah


(26)

dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan dari pengetahuan dan matematika tingkat konkret menuju matematika tingkat formal. Model bukan merujuk pada alat peraga melainkan sebagai bentuk representasi matematis dari suatu masalah (dalam Ariyadi Wijaya, 2012: 46).

c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. d. Interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

e. Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan kepada


(27)

siswa secara terpisah satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika dapat mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan (walau ada konsep yang dominan).

4. Langkah-langkah Pendidikan Matematika Realistik

Menurut Zulkardi (Nyimas Aisyah, 2007: 7-20), secara umum langkah-langkah pembelajaran pendidikan matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Persiapan

Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

b. Pembukaan

Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.

c. Proses pembelajaran

Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum. d. Penutup

Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari


(28)

pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal. D. Hasil Belajar Matematika

1. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang

membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product)

menunjuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Sementara belajar didefinisikan oleh banyak ahli, seperti Santrock dan Yusen (Sugihartono, 2007: 74), mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen karena adanya pengalaman. Sedangkan Reber (Sugihartono, 2007: 74), mendefinisikan belajar dalam 2 pengertian. Pertama, belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil yang diperkuat. Belajar diartikan sebagai karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain dan dilakukan sebagai aktifitas manusia sepanjang hidupnya. Belajar dapat dilakukan oleh siapa saja. Belajar merupakan proses yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang dapat membawa perubahan. Perubahan itu bisa menuju arah yang lebih baik ataupun sebaliknya. Kualitas belajar itu ditentukan oleh seseorang melalui pengalaman-pengalaman yang diperolehnya saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar.


(29)

Belajar sama saja dengan latihan. Menurut Baharudin dan Esa Nur Wahyuni (2010:12), belajar merupakan aktifitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan atau pengalaman. Melalui latihan dan pengalaman, hasil belajar akan tampak dalam keterampilan-keterampilan tertentu sebagai hasil latihan. Misalnya agar seseorang lancar membaca maka orang itu harus sering melakukan latihan membaca. Woolfolk, 1995 (Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:14), menyatakan bahwa “ learning occurs when experience causes a relatively permanent change in an individual’s knowledge or behavior”. Menekankan bahwa pengalaman dan latihan

adalah mediasi bagi kegiatan belajar.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Dengan belajar, manusia akan menjadi tahu, paham dan mengerti tentang sesuatu.

Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Winkel (Purwanto, 2010: 45), mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Soedijarto (Purwanto, 2010: 46), juga mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat tingkat penguasaan


(30)

yang dicapai oleh mahasiswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan menurut Dimyati (2002: 3), hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.

Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas dapat dapat diketahui bahwa hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai dari proses belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran matematika sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar diukur untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan sehingga hasil belajar harus sesuai dengan tujuan pendidikan.

2. Tipe hasil belajar

Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga bidang yakni bidang kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai) serta bidang psikomotor (kemampuan/keterampilan bertindak/berperilaku). Selanjutnya Nana Sudjana (2002: 50-54), menjelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam ketiga aspek tersebut sebagai berikut.

a. Tipe hasil belajar bidang kognitif 1) Tipe hasil belajar pengetahuan

Pengetahuan hafalan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata

“knowledge” dari Bloom. Cakupan dalam pengetahuan hafalan termasuk pengetahuan yang bersifat faktual, disamping pengetahuan yang mengenai hal-hal yang perlu diingat kembali.


(31)

2) Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention)

Tipe hasil belajar pemahaman lebih tinggi satu tingkat dari tipe hasil belajar pengetahuan hafalan. Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu dari suatu konsep.

3) Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi) 4) Tipe hasil belajar analisis

5) Tipe hasil belajar sintesis 6) Tipe hasil belajar evaluasi b. Tipe hasil belajar bidang afektif

Bidang afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat tinggi.

c. Tipe hasil belajar bidang psikomotor

Hasil belajar psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu seseorang.

E. Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Menurut Piaget (Rita Eka Izzaty, dkk. 2008: 35) perkembangan kognitif anak dapat diuraikan dalam empat tahap perkembangan kognitif:

sensorimotor, preoperational, concrete operational, dan formal operational.

Tahapan perkembangan kognitif menguraikan ciri khas perkembangan kognitif tiap tahap dan merupakan suatu perkembangan yang saling berkaitan dan berkesinambungan.


(32)

Tabel 3. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Pieget

Usia Tahap Perilaku

Lahir – 18 bl Sensorimotor

-Belajar melalui perasaan -Belajar melalui refleks -Mamanipulasi bahan

18 bl – 6 th Praoperasional

-Ide berdasarkan presepsinya -Hanya dapat memfokuskan pada

satu variabel pada satu waktu -Menyamaratakan berdasarkan

pengalaman terbatas 6 th – 12 th Operasional konkret

-Ide berdasarkan pemikiran -Membatasi pemikiran pada

benda-benda dan kejadian yang akrab

12 th atau lebih Operasional formal -Berpikir secara konseptual -Berpikir secara hipoteses

Siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan dengan objek yang bersifat konkret. Sedangkan Bruner (Sugihartono, dkk. 2007: 112), menjelaskan perkembangan kognitif dalam tiga tahap:

1. Enaktif (0 – 3 tahun) yaitu pemahaman anak dicapai melalui eksplorasi dirinya sendiri dan manipulasi fisik-motorik melalui pengalaman sensori

2. Ikonik ( 3 – 8 tahun) : anak menyadari sesuatu ada secara mandiri melalui imej atau gambar yang konkret bukan yang abstrak

3. Simbolik ( >8 tahun) : anak sudah memahami simbol-simbol dan konsep seperti bahasa dan angka sebagai representasi simbol. F. Kerangka Pikir

Banyak siswa sekolah dasar yang menganggap dan mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika sehingga mengakibatkan hasil belajar matematika mereka rendah. Salah satu faktor penyebabnya adalah


(33)

pembelajaran matematika yang bersifat ekspositori, yaitu guru menyampaikan tujuan pembelajaran, pesan, konsep, beserta contoh soal matematika kepada siswa setelah dirasa cukup dilanjutkan dengan mengerjakan soal latihan yang serupa dengan yang sudah dicontohkan. Pembelajaran seperti ini menjadi kurang bermakna karena mengakibatkan siswa hanya dapat melakukan prosedur pengerjaan soal-soal matematika tanpa mengetahui konsep-konsep matematika secara mendalam.

Untuk dapat menanamkan konsep-konsep matematika kepada siswa dapat menggunakan pembelajaran alternatif, salah satunya yaitu pendidikan matematika realistik. Dalam pendidikan matematika realistik siswa melakukan pembelajaran yang lebih aktif dan kreatif karena siswa dihadapkan pada persoalan matematika yang sering dialami dalam peristiwa sehari-hari dan menuntun siswa untuk mengubah dari dunia nyata menuju konsep-konsep matematika yang abstrak. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik anak SD dimana usia SD berkisar antara 6- 12 tahun dan berada pada pemikiran yang konkret serta kejadian yang akrab.

Pendidikan matematika realistik berawal dari masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari siswa dan dibawa menuju kedalam bentuk matematika formal melalui proses matematisasi. Pembelajaran menggunakan media kertas dan mika pecahan untuk menanamkan konsep penjumlahan maupun pengurangan pecahan pada siswa. Melalui media tersebut siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan diharapkan dengan pendidikan


(34)

matematika realistik ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV SD Krebet.

G. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan bahwa melalui penerapan Pendidikan Matematika Realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet pada materi pecahan.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut I G A K Wardani dan Kuswaya Wihardit (2009: 1.4), penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Suharsimi Arikunto, dkk (2006: 3), mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Lebih lanjut ia menjelaskan tindakan yang diberikan berasal dari guru dan dilakukan oleh siswa.

Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat diketahui bahwa penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilakukan oleh seorang guru di kelas sebagai refleksi pembelajaran di kelasnya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Penelitian yang digunakan penelitian ini adalah model penelitian tindakan kelas kolaborasi. Peneliti bekerjasama dengan guru kelas, guru bidang studi, serta siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika materi pecahan siswa kelas IV SD Krebet dengan menerapkan Pendidikan Matematika Realistik pada semester 2 tahun pelajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini


(36)

peneliti bertindak sebagai pengajar sedangkan guru kelas dan guru bidang studi sebagai pengamat.

B. Setting Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV SD Krebet yang beralamat di Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV di SD Krebet Tahun Pelajaran 2013/2014. Dalam kelas ini ada 42 siswa yang terdiri dari 26 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan.

3. Objek Penelitian

Objek yang diteliti adalah hasil belajar matematika pada soal yang melibatkan penjumlahan dan pengurangan pecahan.

4. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2013/2014, yaitu pada bulan Mei 2014. Penelitian dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan. Siklus I dua kali pertemuan, siklus II juga dua kali pertemuan. Jadwal pelaksanaan penelitian menyesuaikan dengan jadwal pembelajaran matematika di SD Krebet dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan guru kelas IV semester II tahun pelajaran 2013/2014 untuk mata pelajaran matematika.


(37)

C. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin McTaggart. Mereka menggunakan empat komponen penelitian dalam setiap siklus yaitu perencanan, tindakan, observasi, dan refleksi. Pada langkah pertama, kedua dan seterusnya terjadi secara berkesinambungan membentuk sistem spiral yang saling terkait yang perlu diperhatikan oleh peneliti. Komponen tindakan dan observasi menjadi satu komponen karena kedua kegiatan ini dilakukan secara simultan (Pardjono, dkk, 2007: 22-23).

Gambar1. Model Spiral Kemmis Taggart (Pardjono, dkk, 2007: 22)

Setiap siklus dalam penelitian ini terdiri dari dua pertemuan dan masing-masing siklus diakhiri dengan evaluasi berupa post test. Tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut.


(38)

1. Siklus I

a. Perencanaan

1) Menentukan masalah kontekstual yang sesuai dengan materi penjumlahan pecahan sebagai titik awal dari pembelajaran matematika realistik.

2) Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan pembelajaran matematika realistik.

3) Mempersiapkan alat peraga yang akan digunakan dalam pembelajaran untuk mempermudah pemahaman siswa

4) Menyusun lembar observasi untuk siswa dan guru. 5) Menyiapkan LKS dan media pembelajaran untuk siswa. 6) Menyusun soal evaluasi untuk siswa.

b. Pelaksanaan tindakan

Pelaksanaan tindakan ini merupakan penerapan dari rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. Pembelajaran dilakukan dengan menerapkan Pendidikan Matematika Realistik. Pelaksanaan tindakan bersifat fleksibel dan terbuka terhadap perubahan selama tidak merubah yang telah direncanakan dalam RPP. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dibuat. Pelaksanaan tindakan pada siklus I adalah sebagai berikut. 1) Persiapan

a) Guru menyiapkan perangkat pembelajaran. b) Guru mengkondisikan siswa.


(39)

c) Guru memberikan motivasi kepada siswa. 2) Pembukaan

a) Guru melakukan apersepsi.

b) Guru mengaitkan apersepsi dengan konsep dasar matematika yang sudah dikenal siswa.

c) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. 3) Proses Pembelajaran

a) Siswa menyimak masalah kontekstual (soal yang berkaitan dengan pecahan) yang disampaikan oleh guru.

b) Siswa diberi kesempatan untuk memahami dan menanyakan hal yang belum jelas.

c) Siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan menggunakan bantuan media.

d) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.

e) Siswa berkelompok untuk mengerjakan tugas kelompok berupa LKS.

f) Siswa dibimbing dan dipantau oleh guru dalam berdiskusi kelompok.

g) Siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan atau mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

h) Siswa memperhatikan tanggapan dan arahan dari guru dalam menyelesaikan masalah.


(40)

i) Siswa memperhatikan arahan dari guru untuk menemukan prosedur formal matematika yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika tanpa menggunakan media. 4) Penutup

a) Siswa dibimbing untuk membuat kesimpulan.

b) Guru memberikan soal test evaluasi kepada siswa secara individual.

c. Observasi

Observasi yang disebut juga dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra, dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan pengecap (Suharsimi Arikunto, 2006: 156). Observasi dilakukan selama pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai aktivitas siswa selama proses pembelajaran matematika melalui pendidikan matematika realistik. Sedangkan aktivitas guru yang diamati yaitu kegiatan guru di awal pembelajaran, kegiatan inti, dan akhir pembelajaran dalam penerapan pendidikan matematika realistik.

d. Refleksi

Refleksi adalah autokritik atau perenungan kembali terhadap apa yang belum tercapai, apa yang sudah tercapai, dan apa yang perlu dilakukan untuk perbaikan-perbaikan (Sa’dun Akbar, 2010: 42-43). Pada


(41)

tahap ini peneliti sebagai pengajar bersama dengan guru yang bertindak sebagai observer mengevaluasi dan menganalisis hasil dari observasi yang didapat saat melakukan tindakan pembelajaran di kelas. Tujuan dari refleksi ini adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan tindakan siklus pertama.

Apabila sudah diketahui ketercapaian pembelajaran dan penyebab yang memungkinkan terjadinya kekurangan atau kelemahan penerapan Pendidikan Matematika Realistik, guru bersama pengamat menentukan perencanaan tindakan pada siklus berikutnya.

2. Siklus II

Hasil penelitian pada siklus I akan dijadikan bahan revisi dan perbaikan untuk rencana tindakan siklus II. Jika hasil penelitian telah mencapai indikator keberhasilan yang telah ditentukan maka penelitian dapat dihentikan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Terdapat berbagai teknik pengumpulan data yang dapat digunakan dalam penelitian tindakan kelas antara lain observasi, interview (wawancara), angket (kuesioner), tes, skala bertingkat ataupun dokumentasi. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan tes.


(42)

1. Observasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 156), observasi yang disebut juga pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra, dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan pengecap.

Pada penelitian ini, objek yang diamati adalah semua aktivitas guru dan siswa dalam menerapkan pendidikan matematika realistik selama proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi guru dan lembar observasi siswa.

2. Tes

Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 150), tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.

Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal yang melibatkan penjumlahan maupun pengurangan pada bilangan pecahan. Tes dilaksanakan pada setiap akhir siklus yaitu setelah akhir siklus I dan siklus II.

E. Instrumen penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 203), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Dalam


(43)

penelitian ini peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi dan tes.

1. Lembar observasi

Observasi dilakukan ketika proses pelaksanaan tindakan berlangsung. Dalam penelitian ini akan diamati aktivitas guru dan siswa dalam menerapkan pendidikan matematika realisitk selama pembelajaran. Adapun kisi-kisi lembar observasi adalah sebagai berikut: Tabel 4. Kisi-kisi Lembar Observasi Guru

No. Indikator No. Item Jumlah

Item 1. Menggunakan masalah

kontekstual 1a 1

2. Keterkaitan materi 2a, 2b 2

3. Matematika Horizontal 3a, 3b 2

4. Matematika Vertikal 4a 1

5.

Interaktivitas 5a, 5b, 5c, 5d,

5e 5

6. Penggunaan hasil konstruksi

siswa 6a 1

Tabel 5. Kisi-kisi Lembar Observasi Siswa

No. Indikator No. Item Jumlah

Item 1. Menggunakan masalah

kontekstual 1a 1

2. Matematika Horizontal 2a, 1

3. Matematika Vertikal 3a 1

4.

Interaktivitas 4a, 4b, 4c, 4d,

4e 5

5. Penggunaan hasil konstruksi


(44)

2. Soal tes

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah post test pada akhir pertemuan setiap siklus. Tujuan dari test ini adalah untuk mengetahui perubahan prestasi belajar matematika siswa setelah melalui tindakan pembelajaran matematika realistik. Adapun kisi-kisi soal tesnya adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Kisi-kisi tes Siklus I Standar

Kompetensi

Kompe-tensi Dasar

Indikator No. soal Jumlah Butir Soal Mengguna-kan pecahan dalam pemecahan masalah Menjum-lahkan pecahan.

 Menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut sama dalam pemecahan masalah sehari-hari (pertemuan 1)  Menjumlahkan dua

pecahan biasa yang berpenyebut tidak sama dalam pemecahan masalah sehari-hari (pertemuan 2) 1, 2, 3, 4, 5 1, 2, 3, 4, 5 5 5

Tabel 7. Kisi-kisi tes Siklus II Standar

Kompetensi

Kompe-tensi Dasar

Indikator No. soal Jumlah Butir Soal Mengguna-kan pecahan dalam pemecahan masalah Mengu-rangkan pecahan

 Mengurangkan dua pecahan biasa yang berpenyebut sama dalam pemecahan masalah sehari-hari (pertemuan 1)  Mengurangkan dua

pecahan biasa yang berpenyebut tidak sama dalam pemecahan masalah sehari-hari (pertemuan 2) 1, 2, 3, 4, 5 1, 2, 3, 4, 5 5 5


(45)

F. Teknik Analisis Data

Pardjono, dkk (2007: 55), menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian tindakan kelas merupakan tindakan dinamik yang dilakukan oleh tim peneliti, bergerak dari komponen tindakan dalam satu siklus ke siklus lain, sampai terbangun interpretasi dengan fokus utama rencana (plan) dan tindakan (act) atau aspek praktis lain yang mendukung terjadinya perbaikan. Lebih lanjut ia juga mengemukakan bahwa analisis data bertujuan mengolah informasi kuantitatif maupun kualitatif sedemikian rupa sampai informasi itu menjadi lebih bermakna.

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif deskriptif dan kuantitatif deskriptif. Analisis data ini bertujuan untuk memberikan informasi terhadap tingkat ketercapaian KKM dan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet semester 2 tahun pelajaran 2013/2014. Kedua analisis data tersebut dilakukan melalui langkah-langkah yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Analisis Data Kualitatif

Analisis data dalam penelitian tindakan kelas ini melalui observasi dan dianalisis secara naratif deskriptif yaitu menentukan kriteria aktivitas dengan memperhatikan pedoman observasi tingkat aktivitas siswa dan aktivitas guru. Data kualitatif diperoleh dari observasi yang dilakukan selama tindakan pendidikan matematika realistik di kelas terhadap aktivitas siswa dan guru. Menurut Pardjono,


(46)

dkk (2007: 63) proses analisis data pada penelitian terbagi menjadi beberapa langkah yang saling terkait, yaitu.

a. Menghimpun data

Menghimpun data merupakan kegiatan mengumpulkan berbagai data dan mengelompokkan data ke dalam kelompok-kelompok sejenis yang menjadi fokus dalam penelitian.

b. Melakukan koding

Koding adalah proses menemukan pola dan makna dari data yang terkumpul dari hasil observasi.

c. Menampilkan data

Data disusun sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dengan cara menghubungkan berbagai variabel secara deskripsi naratif.

d. Reduksi data

Mereduksi data yaitu merangkum data dari hasil observasi dari setiap pertemuan baik yang berasal dari siswa ataupun yang berasal dari guru.

e. Verifikasi data

Verifikasi data merupakan usaha menarik kesimpulan atas informasi yang telah valid didapat.


(47)

f. Menginterpretasikan data

Menginterpretasikan data merupakan kegiatan menggunakan informasi yang telah diperoleh dari hasil penelitian untuk mengetahui ketercapaian tujuan.

2. Analisis Data Kuantitatif

Menurut Pardjono, dkk(2007: 54), data kuantitatif merupakan informasi yang muncul di lapangan dan memiliki karakteristik yang dapat ditampilkan dalam bentuk angka. Data kuantitatif penelitian ini diperoleh dari hasil tes yang dilakukan ada akhir setiap siklus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif yaitu dengan mencari nilai rata-rata dan persentase ketuntasan belajar siswa. Untuk mencari nilai rata-rata siswa dalam satu kelas dapat menggunakan rumus yang diutarakan oleh Nana Sudjana (2008: 138), sebagai berikut.

X =

Keterangan :

= rata-rata kelas (mean) = Jumlah seluruh skor

N = banyaknya siswa

Setelah diketahui nilai rata-rata siswa dalam satu kelas, analisis data kuantitatif juga menghitung banyaknya siswa yang telah lulus atau nilainya telah mencapai KKM. Untuk menghitung persentase jumlah


(48)

siswa yang telah mencapai KKM dapat mengadopsi rumus frekuensi relatif (angka persenan) Anas Sudijono (2010: 43), sebagai berikut.

Keterangan :

P = angka persentase

f = jumlah siswa yang telah mencapai KKM

N = jumlah seluruh siswa yang menjadi subjek penelitian

Dari rumus diatas dapat ditemukan rata-rata nilai post test siswa setiap siklus dan prosentase siswa yang telah mencapai KKM. Hasil post

test siswa diakhir siklus pertama dibandingkan dengan hasil post test

diakhir siklus kedua, jika terjadi peningkatakan maka dapat diasumsikan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet.

G. Indikator Keberhasilan

Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila:

1. Nilai test rata-rata siswa meningkat dari siklus I ke siklus II, dan 2. Minimal 80% dari seluruh jumlah siswa mendapat nilai evaluasi ≥ 68.


(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di SD Negeri Krebet yang beralamat di Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Secara geografis SD Negeri Krebet berlokasi sebelah barat laut kota Bantul merupakan wilayah yang tergolong dataran tinggi. Dusun krebet merupakan desa wisata untuk kerajinan batik kayu sehingga wilayah ini sering didatangi oleh wisatawan baik lokal maupun asing.

Kondisi fisik bangunan SD Negeri Krebet sudah dapat dikatakan memenuhi standar minimum pendidikan karena sudah melakukan renovasi terutama setelah terguncang gempa pada tahun 2006 silam. Selain itu juga terdapat penambahan gedung kelas baru yang bersumber dari DAK. Selain bangunan ruang kelas juga terdapat bangunan pendukung yang lain seperti perpustakaan, kamar mandi guru, kamar mandi siswa, musholla, kantor kepala sekolah, kantor guru, tempat parkir guru, dan tempat parkir siswa.

Dalam melakukan kegiatan pembelajaran, SD Negeri Krebet memiliki 13 orang tenaga pendidik yang terdiri dari 1 orang kepala Sekolah, 7 orang guru kelas, dan 5 orang guru bidang studi. Dari 13 orang tenaga pendidik tersebut 11 orang tenaga pendidik bersekolah induk di SD Negeri Krebet dan 2 orang tenaga pendidik bersekolah induk di sekolah lain. Latar belakang pendidikan tenaga pendidik adalah Diploma dan Sarjana.


(50)

2. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SD Negeri Krebet kelas IV yang berjumlah 42 orang, terdiri dari 26 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan. Siswa tersebut merupakan gabungan dari kelas paralel sejak semester II. Semula kelas IV ada dua kelas namun karena terdapat guru yang pensiun dan pindah maka untuk kelas IV ini dijadikan satu kelas. Mata pencaharian orang tua/ wali bermacam-macam, seperti Pegawai Negeri, Wiraswasta, Petani, Buruh, dan Pengrajin.

3. Deskripsi Pratindakan

Berdasarkan hasil wawancara yang melibatkan guru kelas dan guru bidang studi diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang sering mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal matematika. Saat pembelajaran berlangsung ada siswa yang kurang antusias dengan kegiatan pembelajaran ditandai dengan masih adanya siswa yang asyik bermain saat kegiatan pembelajaran. Namun ada juga yang aktif memperhatikan guru saat diberi penjelasan. Maka tak jarang nilai prestasi mereka yang masih rendah.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti saat pembelajaran berlangsung, kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh guru. Guru masih berperan sebagai sumber utama di kelas sedangkan siswa berperan sebagai penerima informasi yang diberikan oleh guru. Bagi beberapa siswa pembelajaran yang seperti itu dirasa membosankan sehingga kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Dapat dikatakan partisipasi siswa di kelas


(51)

adalah pasif karena hanya menerima informasi dari guru dan mengerjakan soal-soal latihan.

Dari data guru bidang studi dan guru kelas, peneliti memperoleh data nilai siswa pada pertemuan sebelumnya. Dari data tersebut diketahui nilai rata-rata 72,50 dan siswa yang sudah mencapai KKM adalah 22 siswa ( 52,38%), sedangkan siswa yang belum mencapai KKM adalah 20 siswa (47,62%). Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti bermaksud meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal matematika yang melibatkan penjumlahan dan pengurangan pecahan.

Berbekal data awal kemampuan siswa tersebut, maka disusunlah rencana perbaikan pembelajaran. Melalui rencana perbaikan ini diharapkan siswa yang belum berhasil mencapai KKM yang telah ditetapkan, dapat mencapainya kemudian hari. Dari hasil analisa, diperlukan pembelajaran alternatif yang baru untuk dapat meningkatkan aktivitas siswa dan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak merasa bosan di kelas dan berimbas pada peningkatan nilai hasil belajar siswa. Pembelajaran yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi masalah tersebut adalah pembelajaran dengan menerapkan pendidikan matematika realistik.

Dalam penerapan pendidikan matematika realistik, pembelajaran dilakukan melalui masalah dan model yang tidak asing bagi siswa dan siswa juga dituntut aktif dalam melakukan proses belajar karena pembelajaran ini tidak hanya menekankan pada hasil namun lebih kepada proses belajar.


(52)

4. Siklus I

Data yang diperoleh pada kondisi awal dijadikan acuan dalam melaksanakan tindakan pada siklus I. Adapun kegiatan yang dilakukan pada siklus I adalah sebagai berikut:

a. Perencanaan tindakan siklus I

Perencanaan penelitian merupakan rancangan tindakan yang akan dilakukan pada pelaksanaan penelitian. Rencana pelaksanaan yang akan dilakukan pada siklus I adalah sebagai berikut.

1) menentukan masalah kontekstual.

Masalah kontekstual pada siklus I ini berkaitan dengan soal penjumlahan pecahan baik yang berpenyebut sama atau berpenyebut tidak sama.

2) membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Rencana pelaksanaan pembelajaran disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. Dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, peneliti berkonsultasi dengan guru kelas yang bersangkutan agar rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat sesuai dengan karakteristik kelas.

3) menyusun lembar observasi untuk siswa dan guru.

Lembar obsevasi siswa dan guru digunakan sebagai alat untuk menilai aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dan guru. Lembar observasi yang disusun berdasarkan karakteristik pembelajaran matematika realistik.


(53)

4) menyiapkan LKS dan media pembelajaran.

Lembar kerja siswa dan media pembelajaran merupakan sarana yang disiapkan untuk siswa agar lebih cepat memahami materi penjumlahan pecahan. LKS yang digunakan adalah lembar kerja yang berisi soal dan tahap-tahap penyelesaiaiannya sedangkan media pembelajaran yang digunakan adalah mika transparan dan kertas yang sudah diarsir sebagian.

5) menyusun soal evaluasi.

Soal evaluasi digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam setiap siklusnya.

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Pelaksanaan tindakan siklus I dilakukan dalam dua kali pertemuan. Adapun deskripsi pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan ke-1 adalah sebagai berikut. 1) Pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan ke-1

Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 6 Mei 2014 pukul 07.00 - 08.10. pada pertemuan pertama ini siswa diminta untuk menjumlahkan pecahan berpenyebut sama. Berikut ini deskripsi pelaksanaan tidakan siklus I pada pertemuan pertama.

a) Kegiatan awal

Kegiatan dimulai dengan salam dan berdo’a untuk mengawali kegiatan. Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai guru melakukan presensi siswa. Tahap keterkaitan : Guru mengawali pembelajaran dengan melakukan apersepsi yaitu memberikan pertanyaan untuk mengarahkan siswa pada materi yang akan dipelajari. “pernahkan kalian diberi suatu barang atau benda tetapi


(54)

hanya sebagian?”. Spontan siswa menjawab pertanyaan dari guru. Kemudian guru menyampaikan bahwa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah berkaitan dengan pecahan.

b) Kegiatan inti

Kegiatan inti dimulai dengan guru menyajikan masalah kontekstual sebagai berikut. Ibu Erna membuat sebuah kue yang cukup besar. Kue tersebut dipotong-potong menjadi 8 bagian yang sama besar. Pulang sekolah Erna mengajak Menik ke rumahnya. Erna dan Menik masing-masing makan 2 potong kue. Berapa bagian kue yang dimakan Erna dan Menik? Untuk membantu ingatan siswa tentang soal tersebut, guru menuliskannya di papan tulis. Setelah selesai menulis, guru meminta siswa untuk memperhatikan guru dalam menyelesaikan masalah kontekstual tersebut dengan menggunakan media pembelajaran di depan kelas. Untuk menarik perhatian siswa, guru menanyakan bagian-bagian soal seperti nilai satu potong kue, nilai bagian kue yang dimakan Erna, dan nilai bagian kue yang dimakan Menik. Sebagian besar siswa memperhatikan guru dalam mendemonstrasikan media pembelajaran.

Tahap matematisasi horizontal : Guru menawarkan kepada siswa untuk melanjutkan penggunaan media pembelajaran untuk memecahkan masalah kontekstual. Di awal-awal banyak siswa yang enggan karena malu untuk maju. Untuk mengatasi hal tersebut guru membolehkan siswa untuk mengajak teman untuk maju ke depan. Terdengar siswa mengucap nama salah satu siswa yaitu Mahendra. Masih dengan ragu dan malu Mahendra bersedia


(55)

untuk maju tetapi dengan mengajak teman yaitu Wildan. Setelah berada di depan kelas mereka mulai menggunakan media pembelajaran yaitu kertas dan mika yang sudah digambar dengan beberapa bagian sudah diarsir dan menunjukkan nilai suatu pecahan. Mereka menunjukkan cara menggunakan media tersebut dengan sesekali teman yang tidak maju memberikan arahan atau masukan. Setelah selesai kedua siswa tersebut diminta untuk kembali ke tempat masing-masing dan diberi tepuk tangan. Guru menjelaskan cara menjumlahkan pecahan dengan menggunakan media tersebut.

Kegiatan selanjutnya adalah siswa dibagi menjadi 7 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 siswa. Setelah kelompok terbentuk, guru membagikan LKS dan media pembelajaran pada tiap-tiap kelompok dan memberikan pengarahan petunjuk mengerjakan LKS. Selama mengerjakan LKS terlihat ada beberapa siswa yang tidak aktif membantu kelompoknya. Guru mengelilingi setiap kelompok untuk melihat pekerjaan dan membantu kelompok yang mengalami kesulitan.

Tahap interaktivitas : Setelah tiap-tiap kelompok selesai mengerjakan LKS guru memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk menentukan wakil. Kemudian masing-masing wakil kelompok membacakan atau mempresentasikan hasil kerja kelompoknya secara bergantian. Pembacaan hasil kerja kelompok dilakukan di tempat masing-masing. Selesai melakukan presentasi setiap kelompok mengumpulkan hasil pekerjaannya kemudian dilanjutkan pembahasan dari guru tentang hasil kerja kelompok.


(56)

Guru memberikan penjelasan tentang cara menyelesaikan soal tanpa menggunakan media (matematisasi vertikal).

c) Kegiatan akhir

Tahap penggunaan hasil konstruksi siswa : pada kegiatan akhir siswa mengerjakan soal evaluasi secara individual terhadap materi yang telah disampaikan untuk mengetahui daya serap siswa. Soal evaluasi dibagikan kepada siswa dan dikerjakan tanpa bantuan media pembelajaran.

Setelah siswa selesai mengerjakan soal evaluasi, siswa dengan bantuan guru membuat kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Guru memberikan motivasi kepada siswa agar lebih rajin belajar.

2) Pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan ke-2

Pelaksanaan tindakan siklus pertama pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis, 8 Mei 2014 pukul 07.00 – 08.10. Pada pertemuan kedua ini, siswa mempelajari tentang penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Berikut uraian pelaksanaan tindakan dalam siklus I pertemuan kedua.

a) Kegiatan awal

Kegiatan dimulai dengan salam dan berdo’a untuk mengawali kegiatan. Tahap keterkaitan : Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai guru melakukan presensi siswa dilanjutkan dengan guru melakukan apersepsi dengan menanyakan kepada siswa, “apakah kalian masih ingat tentang cara menjumlahkan pecahan?”. Siswa kemudian menjawab “ya”. Guru bertanya kembali “kalau kemarin pecahan yang dijumlahkan berpenyebut sama, lalu bagaimana kalau pecahan itu berpenyebut tidak sama? Ada yang tahu?”.


(57)

Ternyata siswa kebingungan untuk menjawab pertanyaan dari guru tersebut. Guru menjelaskan bahwa materi itulah yang akan dipelajari.

b) Kegiatan inti

Pada kegiatan inti, guru memberikan sebuah masalah kontekstual. “Abid mempunyai seutas tali yang panjangnya 1

4 meter. Marbun juga mempunyai seutas tali dengan panjang 12 meter. Jika kedua tali tersebut digabung, berapa meter panjangnya?”. Guru menyediakan media pembelajaran berupa mika dan kertas yang sudah dipotong dan digambar dengan beberapa bagian diarsir menunjukkan nilai suatu pecahan.

Tahap matematisasi horizontal : Guru menawarkan kepada siswa yang dapat menjawab soal tersebut dengan media yang tersedia. Siswa bernama Diva menunjukkan keinginannya untuk maju tetapi dengan mengajak teman. Guru memperbolehkan Diva untuk mengajak teman yang bernama Dicki maju memecahkan masalah dengan media pembelajaran. Saat di depan kelas mereka dapat menggunakan media pembelajaran dengan benar. Guru menanyakan kepada siswa yang tidak maju apakah ada yang memiliki cara lain dalam menggunakan media pembelajaran tersebut. Karena tidak ada yang mempunyai pendapat maka guru menambahkan cara lain untuk menggunakan media pembelajaran. Setelah dirasa cukup, Diva dan Dicki dipersilahkan untuk kembali ke tempat masing-masing diiringi tepuk tangan dari guru dan teman-temannya sebagai wujud penghargaan.

Guru melanjutkan pembelajaran dengan membagi siswa menjadi 7 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang.


(58)

Masing-masing kelompok diberi LKS dan media pembelajaran. Guru memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk menuliskan nama kelompok dan nama anggota kelompok. Setelah semua kelompok siap untuk mengerjakan LKS, guru memberikan arahan kepada siswa agar memperhatikan petunjuk kerja yang ada dalam LKS. Saat siswa mengerjakan LKS, guru mengunjungi setiap kelompok secara bergantian untuk mengetahui hasil pekerjaan serta memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. Pada pertemuan kedua ini siswa lebih aktif karena sudah mengetahui cara menggunakan media pembelajaran yang disediakan. Namun pada saat guru berada pada suatu kelompok, salah seorang siswa bernama Yoga memanggil guru karena mengalami kesulitan untuk menggunakan media pembelajaran. Maka guru mendatangi Yoga kemudian menjelaskan cara menggunakan media pembelajaran dengan benar dan untuk mengerjakan LKS siswa cukup mengikuti langkah-langkah yang ada dalam LKS. Setelah Yoga yang bertanya, terdengar suara siswa putri yang memanggil guru. Dan siswa tersebut bernama Jeni. Jeni dan teman satu kelompoknya juga menanyakan cara menggunakan media pembelajaran yang benar. Guru pun menjelaskan cara menggunakan media pembelajaran dengan benar.

Tahap interaktivitas : Selesai mengerjakan LKS, guru mempersilahkan siswa untuk menentukan wakil setiap kelompok. Wakil kelompok tersebut diberi kesempatan untuk membacakan hasil pekerjaannya. Pada pertemuan ini pembacaan dilakukan didepan kelas secara bergantian. Guru memberikan penguatan kepada setiap kelompok yang maju dengan


(59)

tepuk tangan. Setelah semua kelompok membacakan hasil pekerjaannya, guru melanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang makna dari penggunaan alat peraga tersebut. Dengan alat tersebut membuktikan bahwa untuk menjumlahkan pecahan yang berpenyebut tidak sama, langkah yang pertama adalah menyamakan penyebut masing-masing pecahan. Setelah penyebut sama kedua pecahan tersebut dapat dijumlahkan dengan cukup menjumlahkan pembilangnya. Guru menjelaskan kepada siswa cara mengerjakan soal tanpa menggunakan media. Siswa dibimbing guru untuk menarik kesimpulan dari pembelajaran yang sudah dilaksanakan. (matematisasi vertikal)

c) Kegiatan akhir

Tahap penggunaan hasil konstruksi siswa : Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan memberikan soal evaluasi kepada siswa. Soal ini dikerjakan secara individual dan tanpa menggunakan alat peraga. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui daya serap siswa terhadap materi yang sudah diajarkan.

Setelah siswa selesai mengerjakan soal evaluasi, guru memberikan motivasi kepada siswa agar lebih rajin belajar dan mengingatkan agar dalam menjumlahkan pecahan memperhatikan jenis pecahan tersebut. Karena apabila pecahan tersebut berpenyebut tidak sama caranya sedikit berbeda dengan pecahan berpenyebut sama serta mengingatkan agar siswa lebih teliti dalam mengerjakan soal matematika.


(60)

c. Hasil Observasi Tindakan Siklus I 1) Aktivitas siswa pada siklus I

Observasi dilakukan oleh kolaborator yaitu guru kelas dan guru bidang studi selama kegiatan pembelajaran berlangsung dari awal sampai akhir pembelajaran matematika menggunakan lembar observasi yang telah disediakan. Observasi difokuskan pada aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dengan pendidikan matematika realistik.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada siklus I, siswa cukup antusias dalam mengikuti pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik. Hal ini tampak saat guru mendemonstrasikan penggunaan media dan saat diskusi kelompok. Sebagian besar siswa memperhatikan dan ingin mencoba menggunakan media pembelajaran yang dibagi pada setiap kelompok. Pada awal pembagian kelompok suasana kelas sedikit gaduh karena ada beberapa siswa yang merasa tidak cocok dengan teman kelompoknya. Masing-masing kelompok mengerjakan LKS dengan menggunakan media pembelajaran yang telah tersedia. Namun ada siswa yang tidak aktif membantu teman satu kelompoknya untuk mengerjakan LKS. Mereka sibuk bermain dan ada pula yang sering ijin keluar kelas dengan alasan membuang sampah, cuci tangan, atau cuci muka.

Setelah LKS selesai dikerjakan, wakil kelompok membacakan hasil pekerjaannya secara bergantian. Siswa membacakan hasil pekerjaannya sambil memperagakan menggunakan media pembelajaran. Saat salah satu kelompok membacakan hasil pekerjaannya masih ada siswa dari kelompok


(1)

maka penerapan pendidikan matematika realistik untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa dikatakan berhasil.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penggunaan Pendidikan Matematika Realistik yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Krebet, Pajangan, Bantul adalah dengan menerapkan karakteristik pendidikan matematika realistik pada pembelajaran matematika meliputi: penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Pelaksanaan pendidikan matematika realistik ini juga memperhatikan refleksi pada siklus I yaitu dengan memberikan penjelasan kepada siswa tentang penggunaan media pembelajaran secara benar dan memberikan bimbingan kepada siswa yang kurang berperan aktif dalam kerja kelompok.

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa penerapan pendidikan matematika realistik pada siswa kelas IV SD N Krebet dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hal itu dapat dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata kelas dan tingkat ketuntasan belajar siswa dari pretest, siklus I, dan siklus II. Pada saat sebelum diberi tindakan nilai rata-rata siswa 72,50 dengan ketuntasan belajar 52,38%. Setelah diberi tindakan, rata-rata nilai siswa pada siklus I sebesar 74,40 dengan ketuntasan belajar 64,29% dan pada siklus II rata-rata nilai siswa meningkat menjadi 79,52 dengan ketuntsan belajar 80,95%. Peningkatan juga dapat dilihat dari keaktifan siswa menyelesaikan masalah kontekstual, antusias mereka ketika menggunakan


(3)

media pembelajaran, menyampaikan hasil pekerjaan kepada kelompok lain serta memberikan tanggapan terhadap hasil pekerjaan yang telah disampaikan oleh kelompok lain.

Untuk penanganan bagi siswa yang belum tuntas belajar, peneliti berkonsultasi dengan guru kelas dan guru bidang studi tentang kelemahan-kelemahan siswa serta meminta agar memberikan tindak lanjut bagi siswa yang belum tuntas belajar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pembelajaran dengan menerapkan pendidikan matematika realistik yang dilakukan di SD Negeri Krebet, maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Bagi guru, guru diharapkan menerapkan Pendidikan Matematika Realistik pada pembelajaran matematika untuk mempermudah siswa memahami konsep matematika.

2. Bagi sekolah, sebaiknya sekolah mengadakan pelatihan terhadap guru-guru kelas mengenai pendekatan-pendekatan pembelajaran khususnya pendekatan pendidikan matematika realistik dengan mengundang pakar yang ahli dibidangnya.

3. Bagi peneliti lain, peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan pendidikan matematika realistik, diharapkan dapat menggunakan alat peraga yang dapat digunakan secara efektif untuk materi pecahan dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek-aspek lain dalam pembelajaran Matematika dengan menggunakan


(4)

pendekatan pendidikan matematika realistik dan dapat mengaplikasikannya pada pokok bahasan yang berbeda.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Ariyadi Wijaya. (2012). Pendidikan Matematika Realistik, Suatu Alternatf

Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Baharudin & Esa Nur Wahyuni. (2010). Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Bandi Delphie. (2009). Matematika Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: KTSP.

Daitin Tarigan. (2006). Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Depdiknas. Daryanto. (2009). Panduan Proses Pembelajaran. Jakarta: AV. Publisher.

Depdiknas. (2009). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SekolahDasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depdiknas.

Dimyati. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dwi Siswoyo, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Heruman. (2007). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

I G A K Wardani, Kuswaya Wihardit. (2009). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.

Karso, dkk. (2009). Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas Terbuka. Marsigit. (2003). Metodologi Pembelajaran Matematika. Makalah yang

disampaikan pada kunjungan guru-guru SD Wilayah Binaan III Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Muchtar A. Karim, dkk. (1996). Pendidikan Matematika I. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Nana Sudjana. (2002). Dasar-dasar Proses Belajar Menggajar. Bandung: Sinar

Baru Algensindo.

Nana Sudjana. (2008). Tuntunan Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.


(6)

Nyimas Aisyah. (2007). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Depdiknas.

Pardjono, dkk. (2007). Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta.

Pitadjeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Depdiknas.

Purwanto. (2010) Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press.

Sa’dun Akbar. (2010) Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: CV. Cipta Media. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sugiman. (2011). Peningkatan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Yogyakarta: UNY.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN BILANGAN PECAHAN DI KELAS IV MI GHIDAUL ATHFAL KOTA SUKABUMI TAHUN PELAJARAN 2012/2013 (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas IV M

1 40 213

Pengaruh Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV

1 5 238

PENGGUNAAN MEDIA PAPAN BERPAKU UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI Penggunaan Media Papan Berpaku untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar terhadap Siswa Kelas IV SD Negeri 03 Jatiwarno

0 0 15

Penggunaan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa Pada Kelas III SD Negeri Karangmloko 2.

0 9 239

IMPLEMENTASI METODE PENEMUAN TERBIMBING BERBASIS REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS IV SD GAYAMSARI 05 SEMARANG.

0 0 195

PENGGUNAAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA TENTANG PECAHAN SISWA KELAS IV SD

0 0 7

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK PADA MATERI BILANGAN BULAT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SD 3 PANJANG

0 0 25

PENERAPAN MODEL PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN BERBANTUAN BLOK PECAHAN SISWA KELAS IV SD 2 PIJI

0 0 24

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA BERBANTU FLASHCARD UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN MEDINI 2 DEMAK

0 0 23

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SD

0 0 10