Hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri.
HUBUNGAN ANTARA KEKERASAN VERBAL PADA REMAJA DENGAN KEPERCAYAAN DIRI
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma
Ninda Sekar Nidya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. Subjek penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 hingga 18 tahun sebanyak 111 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan terdiri dari dua skala, yaitu skala kekerasan verbal dan skala kepercayaan diri. Data penelitian ini dianalisis dengan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah - 0,300 dengan signifikansi (p 0,001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kekerasan verbal pada remaja dan kepercayaan diri.
(2)
THE RELATIONSHIP BETWEEN VERBAL VIOLANCE IN ADOLESCENTS AND SELF-CONFIDENT
Study in Psychology Department of Sanata Dharma University
Ninda Sekar Nidya
ABSTRACT
This study aims to test the relationship between verbal violence in adolescent’s and self-confident. The hypothesis for the relationship between verbal violence in
adolescent’s and self-confident has been suggested. Subjects were 111 adolescences at the age of 15-18. The instrument in collecting the data consists of two scales. There are verbal violence and self-confident. The data of this study has analyzed by using product moment correlation from person. The result of Correlation Coefficient is -0,300 with signification (0,001). It means the significance of negative relationship of adolescent still exists.
(3)
REMAJA DENGAN KEPERCAYAAN DIRI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Ninda Sekar Nidya
Nim : 10 9114 013
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
(4)
i
REMAJA DENGAN KEPERCAYAAN DIRI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Ninda Sekar Nidya
Nim : 109114013
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
(5)
(6)
(7)
iv
Motto hidup
Hidup
Adalah suatu tantangan yang harus dihadapi Adalah suatu perjuangan yang harus dimenangkan Adalah suatu kesusahan yang harus diatasi
Adalah suatu rahasia yang harus digali Adalah suatu tragedi yang harus dialami
Adalah suatu kegembiraan yang harus disebarkan Adalah suatu cinta yang harus dinikmati
Adalah suatu tugas yang harus dilaksanakan Adalah suatu romantika yang harus dirangkul Adalah suatu resiko yang harus diambil
Adalah suatu lagu yang harus dinyanyikan Adalah suatu anugrah yang harus dipergunakan Adalah suatu impian yang harus diwujudkan Adalah suatu perjalanan yang harus diselesaikan Adalah suatu janji yang harus dipenuhi
Adalah suatu kesempatan yang harus dipakai Adalah suatu persoalan yang harus dipecahkan Adalah suatu kesulitan yang harus dipecahkan Adalah suatu kesulitan yang harus dikalahkan Adalah suatu rahmat yang harus dijaga dan dicintai
(8)
v
Tuhan Yesus dan Bunda Maria, yang melalui kasihNya aku dapat diberikan kekuatan dalam
menjalani perkuliahan dan dalam proses mengerjakan skripsi,
Kedua orangtuaku, mama dan papa yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan, yang
selalu mengingatkan aku disaat aku sedang lelah dan bermalas-malasan, terimakasih ma, pa atas
doanya,
Kakak kiki dan dek cindy, yang selalu mengingatkan dan mensupport aku untuk jangan pantang
menyerah dalam menghadapi segala hal,
Dosen pembimbingku, Ibu Sylvia Carolina MYM., M.si. atas bimbingannya selama proses
mengerjakan skripsi, atas dukungan yang selalu ibu berikan kepada anak didiknya,
Ian Shandy Christianto,S.Ds pacarku yang sudah menemaniku selama 8 tahun ini, terimakasih atas
support, doa dan bantuannya, rela nganter aku kesana kemari
BCSku ( Riska, Maya, Dita, Cha-cha dan Tutut) yang selalu meluangkan waktu untuk ngobrol, yang
telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yang selalu mendukung dan menemani, semoga
kita selalu Bahagia, Ceria dan Sukses
Teman-teman psikologi seperjuangan, semangat terus, kita pasti akan sukses kalau kita terus
berusaha dan selalu berdoa
(9)
(10)
vii
HUBUNGAN ANTARA KEKERASAN VERBAL PADA REMAJA DENGAN KEPERCAYAAN DIRI
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma
Ninda Sekar Nidya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. Subjek penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 hingga 18 tahun sebanyak 111 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan terdiri dari dua skala, yaitu skala kekerasan verbal dan skala kepercayaan diri. Data penelitian ini dianalisis dengan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah - 0,300 dengan signifikansi (p 0,001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kekerasan verbal pada remaja dan kepercayaan diri.
(11)
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN VERBAL VIOLANCE IN ADOLESCENTS AND SELF-CONFIDENT
Study in Psychology Department of Sanata Dharma University
Ninda Sekar Nidya
ABSTRACT
This study aims to test the relationship between verbal violence in adolescent’s and self-confident. The hypothesis for the relationship between verbal violence in adolescent’s and self-confident has been suggested. Subjects were 111 adolescences at the age of 15-18. The instrument in collecting the data consists of two scales. There are verbal violence and self-confident. The data of this study has analyzed by using product moment correlation from person. The result of Correlation Coefficient is -0,300 with signification (0,001). It means the significance of negative relationship of adolescent still exists.
(12)
(13)
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan kekuatan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini hingga selesai. Banyak hal yang harus penulis hadapi dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama rasa malas dalam mengerjakan revisi-revisi dan rasa ingin menyerah ketika belum dapat menemukan referensi yang dibutuhkan. Namun karena kasihNya dan KaruniaNya yang senantiasa selalu penulis rasakan, maka penulis selalu termotivasi untuk bangkit dan menghindari segala rasa malas dalam mengerjakan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sehingga penulis menyadari bahawa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Atas semua itu, dengan tulus hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus, karna Engkaulah penulis mampu menjalani pendidikan mulai dari TK hingga kini mendapat gelar sarjana. Serta Bunda Maria yang selalu memberikan perlindungannya.
2. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah mempermudah serta memperlancar segala proses yang terkait dengan permohonan ijin pengambilan data penelitian.
(14)
xi
3. Ibu Sylvia Carolina MYM.,M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan memberikan saran serta kritik kepada penulis, hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Mbak P. Henrietta PDADS.,M.A, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari awal masuk kuliah hingga mampu meyeselesaikan studi.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas ilmu serta bimbingan belajar yang telah diberikan kepada penulis dari awal penulis yang tidak mengerti hingga akhirnya memiliki cukup banyak ilmu pengetahuan.
6. Seluruh staf non akademik Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Mas Gandung, Bu Nanik dan Pak Gik, yang selalu membantu dan memberikan pelayanan di sekretariat. Mas Muji dan Mas Doni yang selalu memberikan pelayanan di lab, menyediakan alat-alat tes dan keperluan praktek lainnya. 7. Kepala Sekolah SMA Tarakanita, Bapak Stephanus yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk mengambil data.
8. Bapak Aditya, selaku guru BK dan kepada guru-guru SMA Tarakanita yang telah membantu dalam proses pengambilan data dan memberikan waktu kepada penulis untuk membagikan angket kepada murid-murid SMA Tarakanita.
9. Mama dan Papa yang selalu mendukung, mengikatkan untuk selalu rajin mengerjakan skripsi. Doa dan kasih sayang mama papa selalu membuat penulis semangat dalam mengerjakan skripsi ini.
(15)
xii
10. Kakak kiki dan adek cindy, yang selalu memberi dukungan dan doanya, serta keponakanku Tara Nandita yang imut-imut, lucu, gemesin.
11. Saudara-saudaraku yang selalu menanyakan kapan kelulusanku, hehehe. 12. Tunanganku, Ian Shandy Christyanto, S.Ds terimakasih atas dukungannya,
rela nganter kejogja terus buat bimbingan, doa-doanya, bantuannya, pencerahannya disaat aku lagi putus asa buat ngerjain skripsi, hehe.
13. Teman-teman dekatku, Dita makasih ya udah selalu bantuin buat input data, makasih atas ilmu-ilmu yang ditularkan buat aku, haha. Caca, Maya, Riska, Tutut, yang selalu memberikan tawa dan canda di setiap harinya, yang selalu kasih support, yang selalu kasih bantuan, terimakasih untuk kebersamaan kita selama masa kuliah.
14. Teman-teman bimbingan, Riska, Tutut, Yovi, Maya, Sondra, Fiona, Hoyi, Lola, Daning, Puji, Tyas, Yuti, Keket, tetap semangat buat kita semua.
15. Teman-teman psikologi kelas A, terimakasih atas dukungan dan kebersamaan kita selama ini.
(16)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
(17)
xiv
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II ... 10
A. Kepercayaan Diri ... 10
1. Pengertian Kepercayaan Diri ... 10
2. Aspek Kepercayaan Diri ... 12
3. Faktor Kepercayaan Diri ... 14
B. Kekerasan Verbal ... 17
1. Pengertian Kekerasan Verbal ... 17
2. Bentuk Kekerasan Verbal ... 17
3. Karakteristik Kekerasan Verbal ... 19
4. Faktor Yang Mempengaruhi Orang Tua Melakukan Kekerasan Verbal ... 20
C. Remaja ... 22
1. Pengertian Remaja Dan Batasan Usia ... 22
2. Masa Perkembangan Remaja ... 22
3. Penyesuaian Diri Remaja... 24
4. Hubungan Antara Kekerasan Verbal Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja ... 26
5. Skema Hubungan Antara Kekerasan Verbal Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja ... 31
6. Hipotesis ... 32
BAB III ... 33
A. Jenis Penelitian ... 33
(18)
xv
C. Definisi Operasional ... 34
1. Kekerasan Verbal ... 34
2. Kepercayaan Diri ... 35
D. Subjek Penelitian ... 35
E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ... 36
F. Validitas, Seleksi Item, Dan Reliabilitas ... 40
1. Validitas Alat Tes ... 40
2. Seleksi Item ... 41
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 46
G. Metode Analisis Data ... 47
1. Uji Prasyarat Analisis ... 47
2. Uji Hipotesis ... 48
H. Prosedur Pengambilan Data ... 48
BAB IV ... 50
A. Pelaksanaan Penelitian... 50
B. Deskripsi Subyek Penelitian ... 51
C. Hasil Penelitian ... 53
1. Uji Normalitas ... 53
2. Uji Linearitas ... 55
3. Uji Hipotesis ... 55
D. Pembahasan ... 56
BAB V ... 60
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran Penelitian ... 60
(19)
xvi
2. Saran Bagi Orang Tua ... 61
3. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
(20)
xvii
DAFTAR TABEL
TABEL 1 PEMBERIAN SKOR ITEM SKALA ... 37
TABEL 2 PEMBERIAN SKOR ITEM SKALA ... 38
TABEL 3 SPESIFIKASI SKALA KEPERCAYAAN DIRI ( SEBELUM UJI COBA ) ... 39
TABEL 4 SPESIFIKASI SKALA KEKERASAN VERBAL ( SEBELUM UJI COBA ) ... 40
TABEL 5 SPESIFIKASI SKALA KEPERCAYAAN DIRI ( SETELAH UJI COBA ) ... 43
TABEL 5.1 SPESIFIKASI SKALA KEPERCAYAAN DIRI ( SETELAH DIRATAKAN PADA SETIAP ASPEK )... 44
TABEL 6 SPESIFIKASI SKALA KEKERASAN VERBAL ( SETELAH UJI COBA ) ... 45
TABEL 6.1 SPESIFIKASI SKALA KEKERASAN VERBAL ( SETELAH DIRATAKAN PADA SETIAP ASPEK ) ... 46
TABEL 7 DESKRIPSI JENIS KELAMIN SUBYEK ... 51
TABEL 8 DESKRIPSI USIA SUBYEK ... 51
TABEL 9 DESKRIPSI KONDISI ORANG TUA SUBYEK ... 52
TABEL 10 DESKRIPSI DATA PENELITIAN...52
TABEL 11 ONE-SAMPLE KOLMOGROV-SMIRNOV TEST ... 54
(21)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses perkembangannya, remaja sedang berada dalam tahap proses pencarian identitas. Menurut Erickson (dalam Papalia, 2009) tugas utama yang harus dihadapi remaja adalah ‘krisis’ dari tahap identity versus role confusion. Dalam tahap ini, remaja biasanya akan mengalami krisis atau
kebingungan-kebingungan yang akan dihadapi dalam proses menjadi individu dewasa yang unik dan memiliki peran yang baik di masyarakat. Menurut Sarwono (2013) dalam proses mencapai kedewasaannya, remaja membutuhkan sikap kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan dalam menghadapi kehidupan.
Kepercayaan diri menjadi salah satu aspek penting bagi kehidupan remaja. Menurut Rohayati (2011) kepercayaan diri merupakan suatu modal dalam kehidupan remaja yang penting untuk ditumbuhkan agar mereka dapat menjadi pribadi yang mampu mengontrol berbagai aspek dalam dirinya sehingga dapat mengatur tujuan dalam hidup yang mengarah pada keberhasilan. Hamdan (2009) mengatakan bahwa motivasi berprestasi akan dimiliki oleh remaja apabila kepercayaan dirinya baik. Semakin tinggi kepercayaan diri remaja maka motivasi berprestasinya akan semakin tinggi. Sejalan dengan itu, menurut Idrus & Rohmiati (2011) salah satu hal yang
(22)
dapat memicu munculnya keberhasilan dan kesuksesan pada setiap individu adalah kepercayaan diri. Individu yang memiliki kepercayaan diri dapat diprediksi kesuksesan dan keberhasilan hidupnya.
Kepercayaan diri menurut Lindenfield (1997) adalah perasaan puas terhadap dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kepercayaan diri adalah individu yang merasa puas terhadap dirinya sendiri. Sedangkan, Al-Uqshari (2001) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah suatu pegangan dalam meraih kesuksesan. Pendapat lain dikemukakan oleh Fatimah (dalam Hamdan, 2009) yang mengatakan bahwa kepercayaan diri merupakan sikap positif yang dimiliki oleh seseorang untuk mengembangkan penilaian positif pada diri sendiri, lingkungan dan situasi yang sedang dihadapinya.
Menurut Al-Uqshari (2001) persentase orang yang mengalami krisis kepercayaan diri pada masyarkat modern sebesar 25%. Hasil penelitian Afiatin, dkk pada tahun 1994 (dalam Afiatin & Andayani, 1998) mengatakan bahwa masalah kurangnya kepercayaan diri banyak dialami oleh remaja. Kurangnya kepercayaan diri pada remaja dipicu oleh beberapa faktor, yaitu faktor psikologis dan faktor sosiologis. Faktor-faktor psikologis dikaitkan dengan remaja yang sedang mengalami perkembangan fisik, psikis dan sosial. Faktor sosiologis berkaitan dengan tuntutan yang ada di luar diri remaja, seperti: tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya memperoleh prestasi yang baik. Apabila hal tersebut tidak dapat dicapai, maka akan membuat anak merasa gagal sehingga menurunkan kepercayaan dirinya.
(23)
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, menurunnya kepercayaan diri pada seseorang dapat disebabkan oleh rendahnya dukungan sosial dari orang di sekitar remaja (Afiatin & Andayani, 1998), tingginya tingkat kecemasan pada saat berkomunikasi di depan banyak orang (Siska, Sudardjo & Purmaningsih, 2003), dan pola asuh orang tua yang tidak sesuai terhadap remaja (Idrus & Rohmiati, 2011). Pola asuh yang tidak sesuai adalah pola asuh yang menghambat, yaitu orang tua yang menakut-nakuti anak, menghukum anak ketika melakukan kesalahan dan memarahi anak. Selain itu, pola asuh yang tidak sesuai adalah orang tua yang membiarkan anak melakukan sesuatu tanpa pengawasan dari orang tua.
Menurut Puspasari (2007) dalam proses membentuk identitas remaja yang baik yaitu remaja yang percaya diri, diperlukan pola komunikasi yang baik. Orang tua sebaiknya memberikan arahan yang tegas tetapi tidak memberikan tekanan-tekanan yang membebankan remaja. Akan tetapi, masih banyak orang tua yang melupakan untuk mengarahkan anak remaja melalui komunikasi yang halus. Banyak orang tua yang cenderung tegas dan keras dalam mendisiplinkan anak remajanya. Salah satunya dengan memberikan kata-kata kasar atau kata-kata yang tidak pantas kepada anak, yang disebut dengan kekerasan verbal.
Terdapat sebuah kasus nyata berdasarkan hasil studi fenomenologis di Jawa Tengah (Arsih, 2010). Ada empat remaja laki-laki yang sering mengalami kekerasan verbal dari orang tuanya. Mereka cenderung mengalami kekerasan verbal tersebut semenjak usia 5-7 tahun. Mereka sering
(24)
mendapatkan kekerasan verbal pada saat mengalami permasalahan di sekolah, seperti pada saat mendapatkan nilai yang jelek disekolah, pada saat mengalami pertengkaran atau permasalahan dengan teman sebaya. Bentuk kekerasan verbal yang sering di alami oleh keempat anak ini seperti menyebut nama dengan tidak pantas (nama binatang atau menyebut anak bodoh) dan memberikan bentakan-bentakan serta memarahi. Dampak yang dirasakan korban yaitu: adanya keinginan untuk selalu membantah orang tua, perasaan kecewa terhadap diri sendiri dan orang tua, serta merasa sakit hati.
Selain kasus diatas, terdapat sebuah survey yang dilakukan oleh
department of statistics dan UNICEF pada lima provinsi di tahun 2004. Dari
hasil survey tersebut menunjukkan bahwa 30% dari ibu-ibu suka berteriak atau membentak-bentak anaknya dan 45% ibu-ibu suka menampar anaknya agar anak-anak mereka mau menuruti keinginan ibunya (www.googleplus.com/teguhprasetyo, diakses pada 5 Oktober 2014). Dari hasil survey tersebut, terlihat bahwa persentase kekerasan fisik lebih besar dari pada kekerasan vebal. Akan tetapi, kekerasan verbal juga salah satu jenis kekerasan yang perlu untuk kita soroti. Kekerasan verbal menjadi salah satu jenis kekerasan yang tidak mudah dikenali. Ada kemungkinan bahwa banyak kekerasan verbal yang terjadi di sekitar kita, tetapi kita tidak menyadari akan hal tersebut.
Kekerasan verbal merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan. Kekerasan pada umumnya digolongkan dalam empat jenis. Menurut Lawson (dalam Huraerah, 2012) kekerasan diklasifikasikan menjadi empat bentuk,
(25)
yaitu: kekerasan secara fisik (physical abuse) merupakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang hingga melukai tubuh seseorang, kekerasan emosional (emotional abuse) terjadi ketika seseorang sedang membutuhkan perhatian tetapi justru diabaikan, kekerasan secara verbal (verbal abuse) terjadi ketika seseorang memberikan penghinaan, pelecehan, melabeli dalam pola komunikasi, kekerasan seksual (sexual abuse) terjadi ketika seseorang melakukan pemaksaan hubungan seksual.
Menurut Vissing, Straus, Gelles dan Harrop (1991) kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dapat menyebabkan anak memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan fisik, menjadi nakal dan memiliki masalah interpersonal. Masalah interpersonal yang dihadapi oleh anak seperti bermasalah dengan teman sebayanya, kurang mendapatkan prestasi di sekolah, bermasalah dengan perilakunya atau bermasalah dengan kedisiplinannya, baik di rumah maupun disekolah. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua lebih berpengaruh terhadap masalah psikososial pada anak yaitu kesulita-kesulitan dalam proses pencarian identitas, dari pada orang tua yang melakukan kekerasan fisik.
Berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan, kekerasan verbal merupakan tindak kekerasan yang tidak mudah dikenali (Suyanto, 2003). Banyak orangtua yang melakukan tindak kekerasan ini, namun tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Seringkali orang tua menganggap bahwa yang mereka lakukan adalah salah satu cara mudah untuk membuat anak mereka menjadi disiplin. Seperti halnya orang tua yang memiliki anak remaja. Remaja sering kali menganggap
(26)
dirinya paling benar dan mengabaikan perkataan orang tua. Ketika anak mulai melakukan pemberontakan, orang tua akan memarahi anaknya, mencemooh dan memberikan kata-kata kasar kepada anaknya sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang dibuat oleh anaknya.
Menurut Surya (2007) lingkungan pada dasarnya memberikan pengaruh terhadap pembentukan persepsi terhadap diri remaja. Pengaruh lingkungan yang buruk dapat membentuk persepsi negatif pada remaja. Lingkungan yang penuh dengan kekerasan verbal, yaitu tindakan seperti melecehkan, meremehkan, mengejek, mencemooh dianggap sebagai lingkungan yang kurang baik. Selain itu, menurut Suyanto (2003) korban yang mengalami kekerasan verbal akan mengalami situasi perasaan yang tidak aman dan nyaman, menurunya harga diri, dan martabat korban.
Menurut Lindenfield (1997) ketika seseorang mengalami rasa tidak aman atau mengalami ketakutan, maka hal tersebut akan menjadi musuh terbesar bagi tumbuhnya rasa percaya diri. Menurut Puspasari (2007) persepsi yang buruk terhadap diri sendiri dan harga diri yang rendah akan menumbuhkan kepercayaan diri yang rendah. Menurut Ghufron (dalam Ratnasari, Sari & Lukito, 2011) salah satu faktor yang membentuk kepercayaan diri pada remaja adalah harga diri. Branden (dalam Sari, 2009) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan apa yang individu pikirkan dan rasakan, bukan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Tumbuhnya harga diri pada remaja dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu adanya perasaan diterima, adanya perasaan mampu atau yakin dan adanya perasaan berharga.
(27)
Pada saat remaja merasa tidak diterima oleh kelompok atau lingkungan terdekatnya, merasa tidak yakin dapat mencapai suatu hal yang diinginkan dan merasa tidak berharga keberadaannya, remaja akan memiliki penilaian-penilaian yang buruk tentang dirinya sendiri. Apabila remaja merasa dirinya buruk, maka akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dirinya.
Menurut Kartono (dalam Hamdan, 2009) masa remaja merupakan masa bergejolak dimana seseorang sedang menghadapi berbagai masalah, konflik, serta kebingungan dalam proses menemukan diri dan menemukan tempatnya di masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kepercayaan diri agar remaja dapat menghadapi berbagai permasalahan.
Kepercayaan diri dapat muncul dalam setiap remaja apabila mereka mendapat dukungan dan dorongan dari orang tua. Diperlukan lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang penuh dengan kekerasan verbal merupakan lingkungan yang tidak baik, sehingga menurunkan kualitas kepercayaan diri pada remaja. Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa ada hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. Peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri karena belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti hal tersebut. Adapun penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan seperti persepsi orang tua tentang kekerasan verbal pada anak (Putri & Santoso, 2012), studi fenomenologis mengenai kekerasan verbal pada remaja (Arsih, 2010), analisis bentuk, faktor penyebab dan dampak kekerasan verbal orang tua terhadap perilaku tokoh “lola” dalam film “LOL” (Pradana, 2014).
(28)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat dirumuskan pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian, yaitu: Apakah ada hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat terutama bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi perkembangan serta dapat dijadikan bahan referensi penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan kekerasan verbal dan kepercayaan diri pada remaja.
2. Manfaat praktis
a. Bagi remaja atau subyek
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para remaja, terutama subyek mengenai tindak kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak. Penelitian ini dapat memberikan gambaran apa itu kekerasan verbal dan bentuk-bentuk
(29)
kekerasan verbal sehingga remaja yang mengalami hal tersebut, dapat mewaspadai dan mengantisipasi agar terhindar dari kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua.
b. Bagi orang tua
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan penjelasan secara empiris mengenai hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja. Melalui penelitian ini, diharapkan agar orang tua dapat memahami akan tindakan kekerasan verbal itu sendiri dan mengerti dampak yang ditimbulkan sehingga tidak melakukan tindak kekerasan verbal lagi.
(30)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kepercayaan Diri
1. Pengertian Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri pada dasarnya dapat dimiliki oleh setiap orang. Kepercayaan diri yang ada dalam diri setiap remaja sangat erat kaitannya dengan bagaimana orang tua dalam memberikan kasih sayang dan kebebasan yang sewajarnya (Santrock, 2003). Menurut Hartono (1997) individu yang memiliki kepercayaan diri merasa lebih tenang dalam menghadapi persoalan-persoalan pada lingkungannya dan memiliki kemauan yang besar dalam mencoba hal-hal yang baru.
Menurut Liendenfield (1997) orang yang percaya diri adalah orang yang merasa puas terhadap diri sendiri, sebaliknya orang yang tidak percaya diri adalah orang yang tidak merasa puas terhadap diri sendiri.
Menurut Al-Uqshari (2001) kepercayaan diri adalah suatu pegangan dalam meraih kesuksesan. Rasa percaya diri merupakan salah satu kunci kesuksesan bagi seseorang, karena tanpa rasa percaya diri seseorang tidak akan sukses dalam berinteraksi dengan orang lain. Rasa percaya diri pada diri seseorang secara alami akan memberikan efektivitas kerja, kesehatan lahir-batin, kecerdasan, keberanian, daya kreativitas, kemampuan mengambil keputusan yang tepat, kontrol diri,
(31)
sikap toleran, rasa puas dalam jiwa dan ketenangan jiwa. Individu yang memiliki rasa percaya diri akan merasa bahwa ia adalah individu yang positif dan dapat ikut bagian serta dapat bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai hal atau segmen.
Pendapat lain juga dikemukakan Lumpkin (2004) dimana individu yang memiliki kepercayaan diri adalah individu yang tidak terpaku pada kesalahan-kesalahan di masa lalu. Seseorang yang terpaku pada masa lalu dan tidak berusaha untuk memperbaiki kesalahan hidupnya, tidak akan meraih kesuksesan.
Menurut Rini (2002) kepercayaan diri merupakan sikap positif yang dimiliki seseorang yang dapat membuat dirinya dapat mengembangkan pandangan positif terhadap diri, lingkungan sekitarnya dan terhadap permasalahan yang sedang di hadapi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Bandura (dalam Siska, Sudardjo & Purmaningsih, 2003), kepercayaan diri merupakan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk dapat memperoleh hasil seperti yang diharapkan.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, peneliti memberi kesimpulan bahwa kepercayaan diri adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam berperilaku sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan dan dapat mengatasi masalah dengan sikap dan pandangan-pandangan positif.
(32)
2. Aspek Kepercayaan Diri
Lauster (1990) mengungkapkan bahwa terdapat 5 aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri. 5 aspek tersebut adalah:
a. Ambisi. Ambisi merupakan suatu keinginan yang dimiliki seseorang dalam mencapai hasil yang diinginkan. Orang yang percaya diri selalu berpikir positif dan merasa yakin akan kemampuan yang dimiliki. Menurut Lindenfield (1997) individu yang memiliki ambisi selalu memiliki tujuan hidup yang jelas. Mereka cenderung dapat menentukan hal apa yang akan dilakukan dan mengetahui hasil yang akan dicapai. Individu yang memiliki tujuan hidup biasanya akan lebih bersemangat dan memiliki motivasi, tekun dalam melakukan hal-hal kecil yang mengarah pada tujuan hidupnya, mampu menilai diri sendiri dan berani dalam membuat keputusan. b. Mandiri. Berani untuk melakukan suatu hal karena merasa
yakin akan kemampuan yang dimiliki. Lindenfield (1997) berpandangan bahwa individu yang mandiri dapat mengetahui hal baik apa yang harus dilakukan untuk dirinya sendiri.
c. Optimis. Selalu merasa yakin akan memperoleh keberhasilan dimana keberhasilan yang didapatkan berasal dari usaha dan kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri. Menurut Gannis (dalam Kasmayati, 2008) orang yang optimis adalah orang
(33)
yang merasa yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Rasa optimis merupakan panduan antara dorongan fisik dan psikis dalam mempertahankan diri dan mengembangkan diri.
d. Tidak mementingkan diri sendiri. Tidak hanya peduli terhadap diri sendiri tetapi juga peduli terhadap orang lain. Lindenfield (1997) mengatakan bahwa individu akan cenderung memikirkan perasaan, pikiran dan perilaku mereka, serta selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain tentang diri mereka.
e. Toleran. Mau menerima perbedaan (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) antara dirinya dan orang lain. Menurut Lindenfield (1997) individu yang memiliki sikap toleran mampu berpikir positif, sehingga dapat melihat kehidupan dari sisi yang lain. Individu yang memiliki pemikiran yang positif memiliki harapan hidup yang menyenangkan, selalu memandang sisi positif seseorang, percaya bahwa setiap masalah dapat dihadapi, selalu ingin belajar dan percaya bahwa masa depan akan selalu lebih baik.
(34)
3. Faktor Kepercayaan Diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri pada seseorang adalah:
a. Pola asuh yang sesuai
Menurut Rini (2002) salah satu faktor yang paling mendasar dalam mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri adalah pola asuh dan interaksi di usia dini. Orangtua yang selalu memberikan kasih sayang kepada anak, memarahi anak dengan cara yang wajar, dan tidak mengabaikan anak akan membuat anak merasa diterima di dalam keluarga, sehingga anak merasa aman dan percaya diri.
b. Pola pikir positif
Menurut Rini (2002) orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah orang yang selalu berpikir positif. Pikiran-pikiran tersebut berasal dari diri sendiri. Menurut AL-uqshari (2001) orang yang memiliki kepercayaan diri adalah orang yang mampu menerima kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya. Orang yang mau menerima kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya mampu mengetahui hal apa yang harus dilakukan sehingga dapat mengambil keputusan yang yang tepat dan mampu melihat hal-hal positif dalam dirinya.
(35)
c. Konsep diri yang positif
Menurut Ghufron (2011) terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang berawal dari perkembangan konsep dirinya. Konsep diri itu sendiri merupakan gambaran atau gagasan tentang diri sendiri. ketika seseorang memiliki pandangan positif tentang dirinya, maka akan memiliki konsep diri positif. Menurut Rogers (dalam Prabawa, 2009) tumbuhnya konsep diri yang positif dipengaruhi oleh adanya penghargaan yang diterima remaja dari lingkungannya, adanya pujian dan penerimaan dari orang lain dan memiliki kepribadian yang sehat.
d. Harga diri yang tinggi
Menurut Ghufron (2011) harga diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri. Individu yang mempunyai harga diri tinggi memandang dirinya sebagai individu yang berhasil, individu yang dapat diterima oleh orang lain sehingga akan merasa percaya diri dan tidak mengalami masalah sosial dalam pergaulan. Perkembangan harga diri pada seseorang di mulai pada saat usia dini. Perkembangan harga diri berlangsung secara perlahan-lahan melalui proses interaksi dengan orang tua. Menurut Rogers (dalam Prabawa, 2009) tumbuhnya harga diri pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu adanya penghargaan dari orang di
(36)
sekitar remaja, adanya pujian dan pengakuan dari orang lain, adanya perasaan diterima di lingkungan sekitarnya, dan memiliki kepribadian yang sehat.
e. Dukungan dari orang tua
Menurut Santrock (2003) Dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri pada anak. Adapun dukungan sosial yang dimaksudkan adalah memberikan kasih sayang terhadap anak, memberikan perhatian-perhatian yang sedang dihadapi oleh anak, lingkungan keluarga yang harmonis, adanya aktivitas bersama di dalam keluarga, memberikan saran dan mengarahkan anak pada hal-hal yang baik, memberikan peraturan yang baik dan memberikan kebebasan yang sewajarnya bagi anak.
f. Dukungan dari teman sebaya
Menurut Santrock (2003) dukungan dari teman sebaya juga memiliki peranan yang cukup penting terhadap perkembangan kepercayaan diri. Dukungan teman sebaya dapat berasal dari teman satu kelas maupun teman akrab.
(37)
B. Kekerasan Verbal
1. Pengertian Kekerasan Verbal
Menurut Suharto (1997) kekerasan verbal merupakan tindakan yang meliputi penghardikan dan penyampaian kata-kata kasar. Sejalan dengan itu, Lawson (1999) mengatakan bahwa verbal abuse atau kekerasan verbal adalah tindakan yang berupa penghinaan, pelecehan, dan memberi label seseorang dalam suatu pola komunikasi. Huraerah (2012) mengatakan bahwa kekerasan verbal adalah tindakan yang dilakukan seseorang dalam bentuk memarahi, memaki, mengomel dan membentak secara berlebihan, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut terhadap anak. Pendapat lain mengatakan bahwa kekerasan verbal merupakan jenis kekerasan yang tidak mudah untuk dikenali. Wujud konkret dari kekerasan verbal adalah penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan umum dan melontarkan ancaman yang berupa kata-kata (Suyanto, 2003).
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan verbal merupakan tindakan lisan seseorang yang meliputi penyampaian kata-kata kasar, penghinaan, memarahi, mengomel dan membentak secara berlebihan, serta memberikan ancaman terhadap orang lain.
2. Bentuk Kekerasan Verbal
Bentuk-bentuk kekerasan verbal orangtua terhadap anak menurut Vardigan (dalam Noh & Talaat, 2012) adalah sebagai berikut:
(38)
a. Memanggil nama anak yang tidak sepantasnya, meremehkan, menyumpahi dan menghina.
Misalnya: “heh anak bodoh” atau “kamu anak busuk”.
b. Menolak atau mengancam dalam bentuk pengabaian. Orangtua menciptakan rasa bahwa anak tidak diinginkan oleh keluarga.
Misalnya: Ibu mengatakan kepada anak “Saya menyesal telah melahirkan kamu”.
c. Mengancam dengan membahayakan tubuh. Kekerasan verbal erat kaitannya dengan kekerasan fisik. Kekerasan verbal yang intesitasnya semakin tinggi dapat disertai dengan adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak.
d. Mengkambing hitamkan atau menyalahkan. Hal ini akan membuat anak merasa sebagai orang yang jahat dan tidak layak mendapat kebahagiaan.
Misalnya: Ibu mengatakan “Kehadiranmu membuat keluarga ini menjadi berantakan”.
e. Menyindir anak.
Ketika anak melakukan sebuah kesalahan, orangtua memberikan pujian yang tidak sebenarnya. Misalnya: ketika anak menumpahkan makanan di lantai, orangtua mengatakan “Nah, itu baru namanya anak pintar”.
(39)
3. Karakteristik Kekerasan Verbal
Karakteristik kekerasan verbal menurut Hamptom (dalam Shafira, 1999) adalah:
a. Kekerasan verbal merupakan suatu hal yang menyakitkan bagi korban dan dapat membuat korban merasa ada yang salah dalam dirinya sehingga merasa tidak berharga. Kekerasan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti: orang tua, kerabat dan teman.
b. Kekerasan verbal dapat terjadi dalam tindakan yang tidak tampak secara langsung, seperti: memberikan kata-kata yang tidak pantas, merendahkan orang lain melalui tindakan lisan. c. Kekerasan verbal pada akhirnya bertujuan untuk mengontrol
korban, membuat korban merasa bingung dan akhirnya dapat dikontrol.
d. Kekerasan verbal membuat self esteem korban menurun, korban akan menarik diri dari lingkungan, mengubah perilaku dan pasrah pada apa yang terjadi.
e. Tindakan kekerasan verbal tidak dapat diprediksi, biasanya berupa makian dan komentar pedas.
f. Kekerasan verbal dapat meningkat intensitasnya. Biasanya berlanjut pada kekerasan fisik.
(40)
4. Faktor Yang Mempengaruhi Orang Tua Melakukan Kekerasan
Verbal
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam melakukan kekerasan verbal (Soetjiningsih, 1995). Faktor-faktor tersebut adalah:
4.1 Faktor Internal
a. Faktor Pengetahuan Orang Tua
Banyak orang tua yang tidak mengenal atau mengetahui tentang perkembangan anak remajanya. Misalnya, anak belum mampu untuk melakukan suatu hal, akan tetapi orang tua tetap memaksakan kehendaknya. Ketika anak remajanya tetap tidak bisa melakukan hal tersebut, orang tua bisa menjadi marah, membentak dan mencaci karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, orang tua memiliki pandangan yang salah mengenai posisi anak di dalam keluarga. Beberapa orang tua memanggap bahwa anak remajanya adalah orang yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, orang tua mengganggap dapat melakukan apapun terhadap anak.
b. Faktor Pengalaman Orang Tua
Orang tua yang mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan pada masa kecil merupakan salah satu
(41)
pencetus terjadinya kekerasan. Individu yang mendapatkan perilaku kekerasan pada masa kecil akan menjadikan individu yang agresif. Oleh karena itu, ketika dewasa individu tersebut akan melakukan kembali pengalaman di masa kecilnya kepada anak-anaknya.
4.2 Faktor Eksternal a. Faktor Ekonomi
Faktor yang paling mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kemiskinan dan tekanan hidup. Orang tua yang kecewa dan marah akan kondisi hidup yang tertekan, rentan melampiaskan emosi terhadap anaknya. Oleh karena itu, kekerasan baik secara fisik ataupun verbal sangat mungkin terjadi.
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi orang tua melakukan tindak kekerasan. Televisi menjadi media yang paling efektif dalam menyampaikan pesan dan berpotensial paling tinggi untuk mempengaruhi orang tua melakukan kekerasan kepada anak.
(42)
C. REMAJA
1. Pengertian Remaja dan Batasan Usia
Menurut Santrock (2003) Remaja adalah masa perkembangan dari setiap individu, dimana terjadi suatu transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Transisi ini biasanya diawali pada 10-12 tahun dan berakhir pada 18-22 tahun.
Menurut Papalia (2009) menyebutkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa dalam suatu perkembangan hidup individu yang berlangsung dari usia 10 hingga 20 tahun.
Menurut WHO batasan usia remaja adalah 10 hingga 20 tahun. WHO membagi remaja menjadi dua bagian, yaitu remaja awal adalah remaja yang berusia 10 hingga 14 tahun dan remaja akhir adalah remaja yang berusia 15 hingga 20 tahun.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang dimulai dari umur 11 hingga 20 tahun.
2. Masa Perkembangan Remaja a. Perkembagan Fisik
Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi tidak hanya secara psikologis, melainkan secara fisik juga. Menurut Muss (dalam
(43)
Sarwono, 2013) perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan seperti: terjadinya pertumbuhan tulang (sehingga anak bertambah tinggi), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu-bulu halus pada kemaluan, mendapat haid dan tumbuh bulu-bulu pada ketiak. Sedangkan perubahan fisik pada anak laki-laki seperti: testis mulai membesar, tumbuh bulu-bulu di kemaluan, terjadi perubahan pada suara, ejakulasi, bumbuh bulu-bulu pada ketiak dan dada, tumbuh rambut halus di wajah (kumis dan jenggot), serta rambut di wajah bertambah tebal dan gelap.
b. Perkembangan Kognitif
Menurut pendapat Piaget (dalam Papalia, 2009) remaja sedang berada dalam tingkat perkembangan kognitif yang tertinggi, yaitu tahap operasional formal (formal operation). Dalam tahap ini, remaja mengembangkan kapasitas untuk berpikir abstrak. Remaja akan cenderung lebih fleksibel dalam menerima informasi dan tidak terpaku pada hal-hal yang ada saat ini saja, tetapi dapat lebih memahami waktu dan ruang dalam konteks masa lalu.
Menurut Elkind (dalam Papalia, 2009) remaja memiliki ketidakmatangan dalam berpikir. Hal tersebut disebutkan dalam enam ciri, yaitu: idealis dan mudah mengkritik orang lain, selalu berusaha untuk memamerkan penalaran mereka, sulit untuk membuat keputusan, menganggap orang lain memiliki pemikiran
(44)
yang sama dengan dirinya, menganggap diri sebagai pribadi yang unik dan istimewa, serta kurang menyadari dalam perbedaan antara mengekspresikan sesuatu yang ideal.
c. Perkembangan Psikososial
Menurut seorang tokoh, yaitu Erikson (dalam Papalia, 2009) berpandangan bahwa tugas utama yang dihadapi oleh remaja adalah “krisis” dari tahap identitas versus kekacauan identitas (identity versus role confusion). Dalam tahap ini remaja mengalami “krisis”dalam menjadi individu dewasa yang unik dan memiliki peran di dalam masyarakat. Pembentukan identitas pada remaja merupakan penggabungan antara identifikasi yang sebelumnya. Identitas pada remaja yang terbentuk merupakan penyelesaian dari tiga permasalahan besar, yaitu: pekerjaan, pemilihan nilai-nilai yang dianut dalam hidup dan identitas seksualnya.
3. Penyesuaian Diri Remaja
Remaja seringkali dikatakan sebagai proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses transisi tersebut, remaja mengalami kebingungan dalam diri sehingga harus melakukan proses penyesuaian diri. Adapun proses penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh remaja (Sarwono, 2013) adalah:
(45)
a. Menerima perubahan dan pertumbuhan fisik serta mengintegrasikannya dalam kepribadian.
b. Menentukan peran dan fungsi seksual dalam kebudayaan dimana ia berada.
c. Mencapai proses kedewasaan dengan sikap kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan dalam menghadapi kehidupan.
d. Mencapai posisi yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar. e. Mengedepankan tanggung jawab, moralitas, dan nilai-nilai
yang dianggap sesuai dengan lingkungan dan kebudayaannya.
f. Dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan lingkungannya.
Menurut Blos (dalam Sarwono, 2013) terdapat tiga tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu:
a. Remaja awal
Dalam tahap ini, remaja masih terheran-heran akan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya dan timbul dorongan-dorongan yang menyertai perubahan fisik tersebut. Pada tahap ini remaja menjadi mudah sekali untuk tertarik pada lawan jenis.
(46)
b. Remaja madya
Pada tahap ini, remaja membutuhkan banyak teman yang menyukai dirinya. Terdapat kecenderungan narcisistic pada dirinya. Selain itu, remaja cenderung mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan sikap.
c. Remaja akhir
Pada tahap ini, remaja mulai mengembangkan egonya untuk dapat bersatu dengan orang lain, identitas seksualnya mulai terbentuk, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga mementingkan orang lain.
D. Hubungan Antara Kekerasan Verbal dengan Kepercayaan Diri Pada
Remaja
Remaja merupakan proses transisi dari anak-anak menuju dewasa. Dalam proses transisi menuju kedewasaan, setiap remaja membutuhkan proses untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik, kognitif, dan sosialnya (Sarwono, 2013). Dalam proses penyesuaian diri yang dialami oleh remaja, keluarga turut serta dalam membimbing proses tersebut sehingga nantinya remaja dapat tumbuh menjadi remaja yang berkualitas dan dapat diterima oleh masyarakat.
Keluarga pada dasarnya merupakan fondasi primer bagi pembentukan karakter dan kepribadian individu (Huraerah, 2012). Dalam membentuk
(47)
karakter dan kepribadian individu diperlukan peran dari orangtua. Orangtua menjadi bagian di dalam sebuah keluarga yang bertanggung jawab dalam mendidik remaja. Orangtua yang berkualitas akan memberikan kebutuhan-kebutuhan bagi anak agar nantinya dapat berkembang dengan sewajarnya sehingga anak memiliki karakter yang berkualitas pada saat remaja.
Pemenuhan kebutuhan kasih sayang, pengertian, perhatian dan merawat remaja dengan sebaik-baiknya merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh orangtua (Huraerah, 2012). Dalam hal ini, anak remaja tidak hanya di tuntut untuk selalu meraih prestasi akademis dan non akademis saja, tetapi juga perlu diperhatikan apa saja kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtuanya. Melihat banyaknya tuntutan akademis dari sekolah terhadap anak remaja, membuat orangtua fokus pada prestasi akademis anak dan melupakan kebutuhan lain yang harus diberikan kepada anak.
Saat ini banyak orangtua yang mengabaikan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh remaja. Ketika ada anak yang melakukan kesalahan, anak justru akan dimarahi, di bentak-bentak, di cemooh, dan tindakan-tindakan lisan lainnya yang berlebihan. Sebagai contoh ketika anak mendapatkan nilai jelek saat menghadapi ujian semester, orangtua akan memarahi anak, membentak-bentak, bahkan mengatakan bahwa anak tersebut sebagai anak yang bodoh. Tindakan-tindakan seperti ini, termasuk dalam kekerasan verbal yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak.
(48)
Saat ini, banyak orang tua yang justru melakukan tindak kekerasan verbal terhadap remaja. Kegagalan orangtua dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada remaja. Dampak-dampak tersebut seperti: terganggunya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan sosial remaja (Huraerah, 2012).
Tindak kekerasan verbal yang dilakukan orangtua terhadap anak remajanya akan memberikan pengalaman buruk dan akan terbawa hingga dewasa nanti apabila dilakukan secara terus menerus. Tidak hanya itu, kata-kata kasar yang diberikan orang tua kepada remaja dapat melukai perasaannya dan membuat remaja memiliki pemikiran yang negatif tentang dirinya sendiri. Ketika remaja memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, akan ada kecenderungan untuk menganggap diri sebagai orang yang buruk (Rini, 2002). Oleh karena itu remaja akan merasa rendah diri.
Pemikiran-pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri dapat mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri atau harga diri seseorang. Menurut Handayani dkk (1998) harga diri dapat berkembang sesuai dengan kualitas lingkungan di sekitarnya. Kekerasan verbal yang terjadi di dalam keluarga, memberikan lingkungan yang buruk di dalam keluarga itu sendiri. Menurut Surya (2007) lingkungan yang buruk dapat mempengaruhi persepsi atau penilaian terhadap diri remaja. Pengaruh lingkungan yang buruk dapat membentuk penilaian atau harga diri yang buruk. Suyanto (2003) juga menegaskan bahwa remaja yang mengalami kekerasan verbal di dalam
(49)
keluarga akan mengalami perasaan yang tidak aman dan tidak nyaman, serta menurunnya harga diri dan martabat korban.
Menurut Rogers (dalam Prabawa, 2009) tumbuhnya harga diri pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya penghargaan dari orang lain, mendapatkan pujian dari orang lain, merasa diterima oleh orang lain, dan memiliki kepribadian yang sehat. Individu yang mendapatkan kekerasan verbal di dalam keluarga, akan merasa bahwa dirinya kurang diterima di dalam keluarga. Perasaan tidak diterima di dalam keluarga akan mempengaruhi penilaian-penilaian terhadap dirinya sendiri.
Menurut Hampton (dalam Shafira, 1999) tingkat penilaian atau harga diri seseorang berpengaruh terhadap kepercayaan diri. Individu yang harga diri nya rendah cenderung mengahargai diri sendiri dan menerima diri sendiri sesuai dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu, individu yang harga dirinya rendah kurang percaya diri dan terbentur pada permasalahan sosial atau pergaulan. Sejalan dengan itu, menurut Murbekti (2010) remaja yang harga dirinya rendah maka kepercayaan dirinya juga rendah.
Menurut Kartono (dalam Hamdan, 2009) masa remaja merupakan masa yang bergejolak dimana remaja akan mengalami banyak tantangan, kebingungan dalam proses menemukan diri dan tempatnya di masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan diri sangat penting dimiliki oleh setiap individu termasuk remaja. Kepercayaan diri merupakan suatu modal dalam kehidupan remaja yang penting untuk ditumbuhkan agar mereka dapat menjadi pribadi
(50)
yang mampu mengontrol berbagai aspek dalam dirinya sehingga dapat mengatur tujuan dalam hidup yang mengarah pada keberhasilan (Rohayati, 2011). Kepercayaan diri tidak dapat datang begitu saja, tetapi perlu dipelajari dan dibentuk oleh orangtua (Afiatin dan Andayani, 1998).
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan diatas, peneliti menduga bahwa terdapat hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja. Peneliti menduga bahwa remaja yang sering mendapatkan kekerasan verbal dari orangtuanya, akan memiliki kepercayaan diri yang rendah.
(51)
Berikut ini adalah skema hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja:
Gambar 1.1 : Skema hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja.
Tidak melakukan kekerasan verbal. Memberikan kasih sayang, perhatian dan merawat dengan baik.
Melakukan kekerasan verbal terhadap anak.
Harga diri rendah Harga diri tinggi
Kepercayan diri rendah Kepercayaan diri
tinggi
Keluarga sebagai pondasi primer dalam
pembentukan kepribadian remaja
(52)
E. Hipotesis
Berdasarkan pada uraian diatas, hipotesis yang diajukan oleh peneliti adalah hipotesis negatif, yaitu: Semakin tinggi tingkat kekerasan verbal yang diterima oleh remaja, maka tingkat kepercayaan diri remaja semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kekerasan verbal yang diterima oleh remaja, maka tingkat kepercayaan diri remaja semakin tinggi.
(53)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah korelasional. Menurut Suryabrata (2011) penelitian korelasional memiliki tujuan untuk mencari sejauh mana variasi-variasi dalam suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada faktor lain yang didasarkan pada koefisien korelasi. Sama halnya dengan Narbuko dan Achmadi (2007) yang mengatakan bahwa jenis penelitian korelasional digunakan untuk mengetahui sejauh mana variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lain. Menurut Narbuko dan Achmadi (2007) ciri-ciri dalam penelitian ini adalah peneliti menggunakan beberapa variabel dalam pengukurannya dan jenis penelitian ini akan menunjukkan ada atau tidaknya hubungan dari variabel-variabel yang telah ditentukan tersebut.
B. Variabel Penelitian
Menurut Suryabrata (2011) variabel adalah sesuatu yang akan dijadikan objek pengamatan penelitian. Sedangkan menurut Siregar (2013) variabel merupakan konsep yang memiliki berbagai macam nilai, berupa nilai kuantitatif maupun kualitatif. Sejalan dengan itu, Purwanto & Sulistyastuti (2007) mengatakan bahwa variabel penelitian merupakan suatu konsep yang akan mengalami berbagai variasi nilai. Terdapat beberapa jenis variabel penelitian. Jenis variabel dalam penelitian ini adalah variabel independen dan
(54)
dependen. Menurut Purwanto & Sulistyastuti (2007), variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi pengaruh pada perubahan variabel dependen. Sedangkan variabel dependen atau variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.
Sesuai dengan judul “Hubungan Antara Kekerasan Verbal Pada Remaja Dengan Kepercayaan Diri”, maka variabel dari penelitian ini terdiri dari 2 (dua) variabel, yaitu:
1. Variabel bebas : Kekerasan verbal 2. Variabel tergantung : Kepercayaan diri
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Menurut Hadi (dalam Murbani, 2010) definisi operasional adalah batasan-batasan dalam suatu variabel yang secara konkrit berhubungan dengan realitas dan merupakan manifestasi dari apa yang akan diamati oleh peneliti. Sedangkan menurut Purwanto & Sulistyastuti (2007), definisi operasional merupakan jembatan antara suatu teori dengan hasil observasi yang ada.
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah: 1. Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal adalah tindakan lisan seseorang yang meliputi penyampaian kata-kata kasar, penghinaan, memarahi, mengomel dan membentak secara berlebihan, serta memberikan ancaman terhadap orang lain. Subyek yang mendapatkan skor tinggi
(55)
dalam skala ini, menunjukkan bahwa tingkat kekerasan verbal yang diterima oleh subyek tergolong tinggi. Sebaliknya, subyek yang mendapatkan skor rendah dalam skala ini menunjukkan bahwa tingkat kekerasan verbal yang diterima subyek tergolong rendah.
2. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam berperilaku sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan dan dapat mengatasi masalah dengan sikap dan pandangan-pandangan positif. Subyek yang mendapatkan skor tinggi dalam skala ini, menunjukkan bahwa subyek memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Sebaliknya, subyek yang memiliki skor rendah dalam skala ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.
D. Subyek Penelitian
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua remaja yang memenuhi kriteria, yaitu yang berumur 11-18 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subyek sebanyak 116 siswa SMA di Magelang yang terdiri dari kelas XI IPS 1, XI IPA, XI IPS 2, dan kelas XII IPA 1.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Menurut Siregar (2013) purposive sampling adalah suatu metode yang digunakan untuk menetapkan responden yang akan dijadikan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti
(56)
mengambil sampel sebanyak 60 siswa. 60 siswa yang menjadi sampel adalah siswa-siswi SMA kelas X IPS 1 sejumlah 31 siswa dan siswa-siswi SMA kelas X IPS 2 sejumlah 29 siswa.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Menurut Siregar (2013) metode pengumpulan data merupakan proses pengumpulan antara data primer dan sekunder pada sebuah penelitian. Pengumpulan data merupakan suatu proses yang penting karena data-data yang dikumpulkan dapat digunakan sebagai pemecahan masalah dalam suatu penelitian.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala yang berisi pernyataan yang berkaitan dengan kekerasan verbal dan kepercayaan diri. Pernyataan tersebut dibuat oleh peneliti melalui bentuk –bentuk kekerasan verbal dan aspek kepercayaan diri. Metode skala itu sendiri merupakan suatu metode dengan memberikan pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa untuk mengungkap suatu atribut melalui respon yang muncul dari pertanyaan yang diajukan (Azwar, 2012).
Jenis skala yang digunakan adalah skala Likert. Menurut Siregar (2013) skala Likert adalah suatu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang mengenai suatu fenomena. Skala Likert sendiri memiliki dua bentuk pernyataan, yaitu pernyataan favorable dan
unfavorable. Sedangkan menurut Purwanto & Sulistyastuti (2007), skala Likert digunakan untuk mengukur opini atau respon dari responden
(57)
berdasarkan pada tingkat persetujuan dan ketidaksetujuan. Skala ini memiliki lima atau tujuh kategori peringkat dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju.
Dalam penelitian ini, pilihan jawaban yang digunakan dalam skala kepercayaan diri menggunakan empat pilihan jawaban saja, yaitu: Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Pada skala kekerasan verbal, peneliti juga menggunakan empat pilihan jawaban saja, yaitu: Tidak Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR), dan Selalu (SL). Dalam setiap skala peneliti hanya menggunakan empat pilihan jawaban dan meniadakan jawaban tengah atau netral dengan tujuan menghindari adanya kecenderungan responden dalam memilih jawaban tengah (Central
Tendency effect). Pemberian skor yang digunakan pada kedua skala, untuk
setiap item favorable dan unforable dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable Item Unfavorable Sangat Tidak
Setuju (STS)
1 4
Tidak Setuju (TS) 2 3
Setuju (S) 3 2
Sangat Setuju (SS) 4 1
Cara menjawab pernyataan pada skala kepercayaan diri adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom pilihan jawaban yang ada dan yang sesuai dengan kondisi subjek. Adapun pilihan jawaban yang tersedia adalah Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS)
(58)
Tabel 2
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable Item
Unfavorable
Tidak Pernah (TP) 1 4
Jarang (JR) 2 3
Sering (SR) 3 2
Selalu (SL) 4 1
Cara menjawab pernyataan pada skala kepercayaan diri adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom pilihan jawaban yang ada dan yang sesuai dengan kondisi subjek. Pilihan jawaban yang tersedia adalah Tidak Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR) dan Selalu (SL). Adapun skala dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Skala Kepercayaan Diri
Untuk mengukur kepercayaan diri pada remaja digunakan skala kepercayaan diri. Skala ini disusun atas 5 aspek, yaitu:
a. Ambisi b. Mandiri c. Optimis
d. Tidak mementingkan diri sendiri e. Toleran
(59)
Tabel 3
Spesifikasi Skala Kepercayaan Diri (Sebelum Uji Coba)
No. Aspek Kepercayaan Diri
Nomer Item
Favorable
Nomer Item
Unfavorable
Jumlah Soal
Bobot
1. Ambisi 1, 3, 5, 7, 9
2, 4, 6, 8, 10 10 20%
2. Mandiri 11, 13,
15, 17, 19
12, 14, 16, 18, 20
10 20%
3. Optimis 21, 23,
25, 27, 29
22, 24, 26, 28, 30
10 20%
4. Tidak
mementingkan diri sendiri
31, 33, 35, 37, 39
32, 34, 36, 38, 40
10 20%
5. Toleran 41, 43,
45, 47, 49
42, 44, 46, 48, 50
10 20%
Jumlah Soal 50 100%
2. Skala Kekerasan Verbal
Untuk mengukur tingkat kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap remaja, peneliti menggunakan skala kekerasan verbal. Skala kekerasan verbal berdasarkan pada bentuk-bentuk kekerasan verbal. Adapun bentuk-bentuk kekerasan verbal adalah sebagai berikut:
a. Memanggil nama anak yang tidak sepantasnya, meremehkan, menyumpahi dan menghina.
b. Menolak atau mengancam dalam bentuk pengabaian. c. Mengancam dengan membahayakan tubuh.
d. Mengkambinghitamkan atau menyalahkan. e. Menyindir anak.
(60)
Tabel 4
Spesifikasi Skala Kekerasan Verbal (Sebelum Uji Coba)
No. Aspek
Kepercayaan Diri Nomer Item Favorable Nomer Item Unfavor able Jumlah Soal Bobot
1. Memanggil nama anak yang tidak sepantasnya,
meremehkan, menyumpahi, dan menghina
1, 3, 5, 7, 9 2, 4, 6, 8, 10
10 20%
2. Menolak atau
mengancam dalam bentuk pengabaian
11, 13, 15, 17, 19
12, 14, 16, 18, 20
10 20%
3. Mengamcam dengan
membahayakan tubuh
21, 23, 25, 27,
22, 24, 26, 28, 29, 30
10 20%
4. Mengkambing hitamkan atau menyalahkan
31, 33, 35, 37, 39
32, 34, 36, 38, 40
10 20%
5. Menyindir anak 41, 43, 45, 49
42, 44, 46, 47, 48, 50
10 20%
Jumlah Soal 50 100%
F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas
1. Validitas Alat Tes
Menurut Azwar (2011) Validitas pada dasarnya berasal dari kata
validity yang memiliki arti sebagai sejauh mana ketepatan dan kecermatan
dari suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur atau alat tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi pengukurannya dan memiliki hasil yang sesuai dengan
(61)
tujuan pengukuran tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa valid atau tidaknya suatu alat ukur bergantung pada mampu tidaknya alat tersebut dalam mencapai tujuan dari penelitiannya (dalam Azwar, 2011).
Menurut Azwar (2011) validitas juga memiliki arti sebagai kecermatan dari pengukuran. Suatu alat ukur yang dapat dikatakan valid tidak sekedar dapat mengungkap data dengan tepat tetapi juga harus cermat dalam menggambarkan data. Cermat yang dimaksud adalah mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan kecil antara subjek yang satu dengan subjek yang lain.
Dalam penelitian ini, jenis validitas yang digunakan adalah validitas isi. Menurut Suryabrata (2008), validitas isi adalah validitas yang dilakukan dengan cara menelaah dan merevisi setiap butir pertanyaan atau pernyataan melalui professional judgment. Peneliti membuat skala berdasarkan aspek kepercayaan diri dan bentuk-bentuk kekerasan verbal. Skala yang dibuat telah di telaah dan di revisi melalui beberapa proses oleh dosen pembimbing sebagai professional judgment.
2. Seleksi Item
Menurut Azwar (2011) setiap item yang diujikan pada uji coba akan diketahui item mana yang kualitasnya sudah baik dan item mana yang kualitasnya kurang baik. Apabila terdapat item yang kurang baik, maka item tersebut akan digugurkan terlebih dahulu sebelum pengambilan data. Pada saat pengambilan data, item yang disajikan dalam skala hanya item-item yang memiliki kualitas baik.
(62)
Menurut Azwar (2011) pengujian fungsi item dengan fungsi tes dilakukan dengan cara komputisasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor total. Komnputisasi ini pada umumnya menghasilkan korelasi item-total (rix) atau indeks daya beda item.
Batasan yang digunakan dalam kriteria pemilihan item yang berkualitas berdasarkan korelasi item-total adalah (rix) ≥ 0,3. Setiap item
yang memiliki koefisien korelasi minimal 0,3 memiliki daya beda yang baik dan setiap item yang memiliki koefisien korelasi dibawah 0,3 memiliki daya beda yang kurang baik.
Berdasarkan hasil uji coba pada 29 Agustus 2014 terhadap 60 subjek, prosedur analisis item yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson dengan program komputer SPSS
for windows versi 16.00. Berikut ini adalah distribusi item skala setelah
ujicoba:
a. Skala Kepercayaan Diri
Hasil pengujian terhadap 50 item skala kepercayaan diri menunjukkan bahwa 31 item lolos seleksi. Adapun item-item yang gugur adalah item nomor 1, 3, 4, 5, 7, 9, 14, 15, 16, 18, 24, 25, 29, 31, 44, 45, 47, 48, dan 49. Pada aspek ambisi, kelima item favorable gugur sehingga hanya ada item unfavorable saja. Berikut ini adalah tabel distribusi skala kepercayaan diri setelah ujicoba:
(63)
Tabel 5
Spesifikasi Skala Kepercayaan Diri (Setelah Uji Coba)
No. Aspek Kepercayaan Diri
Nomer Item
Favorable
Nomer Item
Unfavorable
Jumlah Soal
Bobot
1. Ambisi - 2, 6, 8, 10 4 12,9%
2. Mandiri 11, 13,17, 19
12, 20 6 19,3%
3. Optimis 21, 23, 27 22, 26, 28, 30
7 22,5%
4. Tidak
mementingkan diri sendiri
33, 35, 37, 39
32, 34, 36, 38, 40
9 29%
5. Toleran 41, 43 42, 46, 50 5 16,1%
Jumlah Soal 31 100%
Berdasarkan tabel distribusi, yaitu pada tabel 5, terlihat bahwa persebaran item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu, terdapat beberapa item yang digugurkan kembali agar persebaran pada setiap aspek menjadi rata. Pada aspek ambisi, tidak terdapat pernyataan favorable yang lolos seleksi. Oleh karena itu, peneliti menggunakan item yang memiliki koefisien korelasi ≥ 0,25 sehingga item nomor satu dapat dipakai.
(64)
Tabel 5.1
Spesifikasi Skala Kepercayaan Diri (Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek) No. Aspek
Kepercayaan Diri
Nomer Item
Favorable
Nomer Item
Unfavorable
Jumlah Soal
Bobot
1. Ambisi 1 2, 4, 6, 8, 10 6 20%
2. Mandiri 11, 13,17, 19
12, 20 6 20%
3. Optimis 21, 23, 27 22, 28, 30 6 20%
4. Tidak
mementingkan diri sendiri
35, 37, 39 32, 38, 40 6 20%
5. Toleran 41, 43 42, 44, 46, 50
6 20%
Jumlah Soal 30 100%
b. Skala Kekerasan Verbal
Hasil pengujian terhadap 50 item skala kekerasan verbal menunjukkan bahwa 41 item lolos seleksi. Adapun item-item yang gugur adalah item nomor: 3, 4, 10, 11, 13, 34, 41, 45, dan 49. Adapun item lain yang digugurkan karena double dengan item lain adalah nomor: 19, 26, 42. Berikut ini adalah tabel distribusi skala kekerasan verbal setelah ujicoba:
(65)
Tabel 6
Spesifikasi Skala Kekerasan Verbal (Setelah Uji Coba)
No. Aspek
Kepercayaan Diri Nomer Item Favorable Nomer Item Unfavor able Jumlah Soal Bobot
1. Memanggil nama anak yang tidak sepantasnya,
meremehkan, menyumpahi, dan menghina
1, 5, 7, 9 2, 6, 8, 7 18,42%
2. Menolak atau
mengancam dalam bentuk pengabaian
15, 17 12, 14, 16, 18, 20
7 18,42%
3. Mengamcam dengan
membahayakan tubuh
21, 23, 25, 27
22, 24, 28, 29, 30
9 23,68%
4. Mengkambing hitamkan atau menyalahkan
31, 33, 35, 37, 39
32, 36, 38, 40
9 23,68%
5. Menyindir anak 43 44, 46,
47, 48, 50
6 15,78%
Jumlah Soal 38 100%
Berdasarkan tabel distribusi, yaitu pada tabel 6, terlihat bahwa persebaran item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu, terdapat beberapa item yang digugurkan kembali. Peneliti menggunakan enam item pada setiap aspek, karena angka terkecil dari dari jumlah soal pada setiap aspek adalah enam.
(66)
Tabel 6.1
Spesifikasi Skala Kekerasan Verbal (Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek)
No. Aspek
Kepercayaan Diri Nomer Item Favorable Nomer Item Unfavor able Jumlah Soal Bobot
1. Memanggil nama anak yang tidak sepantasnya,
meremehkan, menyumpahi, dan menghina
1, 5, 7, 9 2, 8 6 20%
2. Menolak atau
mengancam dalam bentuk pengabaian
15, 17 12, 16, 18, 20
6 20%
3. Mengamcam dengan
membahayakan tubuh
21, 27 22, 24, 28, 29
6 20%
4. Mengkambing hitamkan atau menyalahkan
33, 37 32, 36, 38, 40
6 20%
5. Menyindir anak 43 44, 46,
47, 48, 50
6 20%
Jumlah Soal 30 100%
3. Reliabilitas Alat Ukur
Menurut Azwar (2011) Reliabilitas pada dasarnya berasal dari kata
rely dan ability. Suatu penelitian dapat dikatakan reliable apabila hasil dari
pengukuran tersebut dapat dipercaya. Dapat dikatakan dipercaya apabila memperoleh hasil yang cukup sama jika dilakukan pengukuran berulang kali apabila aspek yang di ukur sama.
Uji reliabilitas skala dalam pengukuran ini menggunakan formula Alpha dari program SPSS for windows versi 16.00. Reliabilitas pada skala
(67)
kepercayaan diri mencapai 0,854 dan reliabilitas pada skala kekerasan verbal mencapai 0,921
G. Metode Analisis Data
1. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Linearitas
Menurut Ghozali (2009) uji linearitas memiliki tujuan untuk menguji apakah model penelitian regresi atau hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung membentuk suatu garis yang lurus atau tidak.
Uji linearitas ini dapat di lihat melalui nilai p. Apabila nilai p < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung linear. Apabila nilai p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung tidak linear.
Menurut Santoso (2010) apabila suatu hubungan dalam penilitian merupakan hubungan yang linear, berarti bahwa kuantitas data pada variabel tergantung akan meningkat atau menurun sejalan dengan variabel bebas secara linear.
b. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2009) uji normalitas memiliki tujuan untuk menguji apakah model penelitian regresi, variabel pengganggu, atau residual memiliki distribusi yang normal. Uji normalitas ini dapat
(68)
dilihat melalui nilai p. Menurut Santoso (2010) apabila nilai p < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran data yang tidak normal. Sebaliknya, jika nilai p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran yang normal.
2. Uji Hipotesis
Setelah memenuhi persyaratan analisis data, maka langkah selanjutnya adalah proses pengujian hipotesis penelitian. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik Correlation Product Moment dari Pearson dengan menggunakan program SPPS for Windows versi 16.00 untuk menguji hipotesis hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja.
H. Prosedur Pengambilan Data
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai prosedur penelitian melalui tahap persiapan, yaitu:
1. Membuat dan mempersiapkan alat ukur
Penelitian ini menggunakan alat ukur skala.Terdapat dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala kepercayaan diri dan skala kekerasan verbal.
(69)
2. Melakukan uji coba
Uji coba dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 2014. Uji coba diberikan kepada siswa-siswi SMA Tarakanita Magelang. Terdapat 63 siswa yang mengikuti uji coba, yaitu siswa kelas X IPS 1 sejumlah 34 anak dan X IPS 2 sejumlah 29 anak. Adapun siswa yang memenuhi kriteria dalam memberikan respon terhadap skala sebanyak 60 siswa.
3. Menganalisis item-item skala 4. Mengolah data hasil uji coba
(70)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti diawali dengan proses perijinan. Pada tanggal 5 Agustus 2014 peneliti melakukan proses perijinan pada salah satu sekolah swasta di Magelang dan peneliti langsung mendapatkan ijin dari pihak sekolah.
Proses pengambilan data awal atau try out berlangsung pada hari jumat tanggal 29 Agustus 2014. Peneliti diizinkan untuk mengambil data
try out di dua kelas, yaitu kelas X IPS 1 dan X IPS 2. Peneliti membagikan
angket ke dalam dua kelas tersebut secara bergantian. Pada saat membagikan angket peneliti memberikan instruksi kepada siswa yang berupa perkenalan, membacakan informed consent, pengisian identitas, instruksi mengerjakan skala.
Proses pengambilan data yang kedua berlangsung pada bulan September. Sebelumnya peneliti sudah melakukan proses seleksi item pada skala sehingga skala yang dibagikan memiliki jumlah item yang berbeda dengan skala yang dibagikan pada saat try out. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 20, 21 dan 24 September 2014. Pengambilan data dilakukan di empat kelas yaitu kelas XI IPS 1, XI IPS 2, XI IPA, dan XII IPA 1. Proses pembagian angket dilakukan dengan cara yang sama pada saat melakukan try out. Pada saat membagikan angket peneliti
(71)
memberikan instruksi kepada siswa yang berupa perkenalan, membacakan
informed consent, pengisian identitas, instruksi mengerjakan skala.
B. Deskripsi Subyek Penelitian dan Data Penelitian
1. Deskripsi Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja yang masuk dalam masa remaja madya dengan rentang usia 15 hingga 18 tahun. Subyek adalah para remaja yang bersekolah di SMA yang berada di Kota Magelang. Subyek yang telah memenuhi karakteristik subyek dan kuota sebanyak 116 orang. Akan tetapi, setelah melalui proses penyaringan data hanya tersisa 111 orang yang dapat digunakan sebagai data penelitian ini.
Tabel 7
Deskripsi Jenis Kelamin Subyek Penelitian Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan Tidak
Teridentifikasi
55 55 1
Total 111
Tabel 8
Deskripsi Usia Subyek
Usia
15 16 17 18
9 69 28 5
(72)
Tabel 9
Deskripsi Kondisi Orang tua Subyek
Kondisi Orang tua Subyek Keduanya masih
hidup
Salah satu atau keduanya sudah
meninggal
Tidak teridentifikasi
105 5 1
Total 111
2. Deskripsi Data Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada remaja, maka peneliti memperoleh hasil data penelitian yang dapat membandingkan data teoritik dan data empiris. Data tersebut digunakan untuk melihat hubungan kekerasan verbal dan kepercayaan diri dengan cara membandingkan mean teoritik dan mean empiris. Berikut hasil data penelitian yang diperoleh :
Tabel 10
Deskripsi Data Penelitian
Teoritik Empirik
� � � �� Mean � � � �� Mean
Kekerasan verbal
30 120 75 79 109 93,10
Kepercayaan diri
30 120 75 35 98 51,02
Berdasarkan hasil data penelitian tersebut terlihat bahwa hasil mean teoritik pada variabel kekerasan verbal sebesar 75 dan mean empiris sebesar 51,02 (Mean Teoritik > Mean Empirik). Data ini menunjukkan bahwa rata-rata subyek mendapatkan kekerasan verbal dengan intensitas yang rendah.
(73)
Pada variabel kepercayaan diri diperoleh mean teoritik sebesar 75 dan mean empirik sebesar 93,10 (Mean Teoritik < Mean Empirik). Data ini menunjukkan bahwa rata-rata subyek memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
C. Hasil Penelitian
Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti melakukan pengujian asumsi terhadap data penelitian agar data tersebut dapat memenuhi syarat-syarat data yang tepat yang disesuaikan dengan analisis data yang dilakukan. Pengujian asumsi terhadap data penelitian dilakukan melalui dua cara, yaitu:
1. Uji Normalitas
Menurut Santoso (2010) uji normalitas merupakan suatu langkah pengujian yang dilakukan untuk melihat data penelitian yang dikumpulkan berasal dari populasi yang sebarannya normal atau tidak. Uji normalitas ini penting untuk dilakukan agar semua perhitungan statistik yang dilakukan memiliki asumsi normalitas sebaran. Kaidah normalitas sebaran dapat dilihat melalui nilai p. Apabila nilai p lebih kecil dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran data yang tidak normal. Sebaliknya, jika nilai p lebih besar dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran data yang normal (Santoso, 2010). Uji normalitas dilakukan dengan melihat outlier
(74)
dan uji Kolmogorov-Smirnov Z melalui SPSS versi 16.00 for
windows.
Tabel 11
(One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test) Unstandarized Residual
Kolmogrov-Smirnov Z .474
Asymp. Sig (2-Tailed) .978 a. Test distribution is normal
Data awal pada penelitian ini sebanyak 116 subyek. Akan tetapi terdapat beberapa data yang residualnya menjadi outlier dan menyebabkan data tidak terdistribusi secara normal. Menurut Santoso (2010) data outlier merupakan data yang memiliki nilai yang dianggap ektrem yang disebabkan oleh situasi yang tidak biasa. Misalnya: subyek mengisi skala dengan sembarangan sehingga nilainya menjadi sangat rendah atau tinggi. Nilai-nilai ekstrem ini dapat dihilangkan agar data dapat terdistribusi dengan normal.
Berdasarkan pada tabel 10 menunjukkan bahwa uji
Kolmogrov-Smirnov Z memiliki nilai p> 0,05 yaitu (p 0,978).
Dari nilai p tersebut, dapat diketahui bahwa telah terdistribusi secara normal.
(75)
2. Uji Linearitas
Menurut Santoso (2010) uji linearitas digunakan untuk melihat apakah hubungan antar variabel yang akan di analisis mengikuti garis lurus atau tidak. Menurut Ghozali (2009), kaidah uji linearitas dapat dilihat melalui nilai p. Apabila nilai p < 0,05 maka hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung linear. Sebaliknya, apabila nilai p > 0,05 maka hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung tidak linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Compare Mean pada SPSS 16.00
for windows.
Tabel 12
(ANOVA Uji Linearitas) Between Groups (Combined)
Linearity (Sig)
Mean_KD*Mean_KV 0.026
Berdasarkan tabel 11, data antara variabel bebas dan variabel tergantung berada pada satu garis lurus atau linear. Hal ini terlihat dari nilai p < 0,05, yaitu antara dara kepercayaan diri dengan kekerasan verbal (p 0,026).
3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment Pearson. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa skor korelasi untuk variabel kekerasan
(76)
verbal dengan variabel kepercayaan diri adalah -0,300** dengan p 0,001. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima, yaitu adanya hubungan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja.
D. Pembahasan
Penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja. Dari hasil uji hipotesis, didapatkan koefisien korelasi antara variabel kekerasan verbal dengan variabel kepercayaan diri sebesar -0,300 (p 0,001). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif dan signifikan antara kekerasan verbal dengan kepercayaan diri pada remaja. Artinya, semakin tinggi remaja mendapatkan kekerasan verbal dari orang tua maka semakin rendah kepercayaan diri pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah remaja mendapatkan kekerasan verbal dari orang tua maka semakin tinggi kepercayaan diri pada remaja.
Menurut Suyanto (2003) kekerasan verbal merupakan salah satu jenis kekerasan yang sulit untuk dikenali. Dampak yang dirasakan korban, tidak memberi bekas yang nampak bagi orang lain. Tidak sama dengan korban yang mengalami kekerasan fisik. Korban yang mengalami kekerasan verbal akan mengalami situasi perasaan yang tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri dan martabat korban.
(77)
Menurut Ghufron (2011) harga diri menjadi salah satu faktor bagi terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi juga. Menurut Rogers (dalam Prabawa, 2009) tumbuhnya harga diri pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu adanya penghargaan dari orang lain, adanya pujian dari orang lain, perasaan diterima oleh lain, dan memiliki kepribadian yang sehat.
Remaja yang mendapatkan kekerasan verbal di dalam keluarganya, akan mengalami situasi yang tidak nyaman berada di dalam lingkungan tersebut. Remaja akan merasa rendah diri dan merasa tidak di terima oleh orang tuanya. Ketika remaja memiliki harga diri yang rendah, maka kepercayaan diri remaja juga akan rendah.
Selain itu, menurut Lindenfield (1997), ketika seseorang mengalami rasa tidak aman atau mengalami ketakutan, maka hal tersebut menjadi musuh terbesar bagi timbulnya rasa percaya diri. Seseorang yang mengalami rasa tidak aman akan sulit mengembangkan pandangan positif tentang diri mereka sendiri, orang lain dan pandangannya tentang dunia luar.
Menurut Lidenfield (1997) setiap orang yang lahir memiliki kecenderungan untuk menjadi orang yang percaya diri. Akan tetapi, hal terpenting dalam menumbuhkan rasa percaya diri pada remaja adalah bagaimana cara orang tua mendorong dan mengembangkan kepribadian anak. Dalam menumbuhkan kepercayaan diri pada remaja tentu saja tidak
(1)
LAMPIRAN 8
(2)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 111
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation 5.93271195 Most Extreme Differences Absolute .045 Positive .038 Negative -.045 Kolmogorov-Smirnov Z .474 Asymp. Sig. (2-tailed) .978
a. Test distribution is normal
Gambar 1
(3)
Gambar 2
(Uji Outlier dari sebaran data)
Gambar 3
(4)
Gambar 4
(5)
LAMPIRAN 9
UJI KORELASI
(6)
Correlations
TS_KD TS_KV TS_KD Pearson Correlation 1 -.300**
Sig. (2-tailed) .001 N 111 111 TS_KV Pearson Correlation -.300** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 111 111 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).