PERKEMBANGAN EMOSI REMAJA TAHAP AWAL

PERKEMBANGAN EMOSI REMAJA TAHAP AWAL PADA SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 8 YOGYAKARTA

OLEH:
AGUNG KURNIYANTO ISMAIL

141314048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015

Observasi Perilaku Perkembangan Emosi Remaja Tahap Awal
Hari/Tanggal
Senin, 21 September 2015
yek Observasi
Siswa-siswi SMP Negeri 8 Yogyakarta
Alamat Observasi

Jl. Prof. Dr. Kahar Muzakir 2 Yogyakarta
Menurut Crow (1958), an emotion is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and psychological
stirredup states in the individual and that shows itself in his event behaviour.
Perasaan emosi yang ada pada setiap individu umumnya berkembang dan surut
dalam waktu singkat. Secara singkat, emosi diartikan sebagai warna afektif yang
kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik, misalnya seperti halnya bila
seseorang sedang marah, maka reaksi yang ditimbulkan yaitu bertambah cepatnya
peredaran darah dan denyut jantung lebih cepat daripada umumnya pada kondisi
yang normal, serta pupil mata akan tampak membesar.
Masa remaja banyak diartikan sebagai masa transisi atau peralihan antara
masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, seseorang belum bisa dikatakan
dewasa, namun tidak tepat juga bila masih disebut anak-anak. Masa ini juga
remaja mengalami berbagai segi perkembangan, seperti fisik, kognitif, emosi,
sosial, moral, bahkan perilaku seksual). Masa ini dirasakan sebagai masa sulit,
baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungannya.
Remaja umumnya memiliki energi yang besar dan emosi berkobar-kobar.
Namun demikian pengendalian diri mereka belum dapat dikatakan sempurna.
Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir
kesepian. Berdasarkan hasil observasi yang saya lakukan pada remaja tingkat

awal, mereka umumnya berkelompok, baik siswa putra maupun putri. Namun ada
juga satu atau dua remaja yang lebih suka untuk menyendiri (secara fisik mereka
berpostur lebih kecil atau pendek dari teman-teman lain sebayanya). Sejumlah
faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja, yaitu perubahan
jasmani, pola interaksi dengan orang tua dan teman-temannya, serta perubahan
pandangan luar.
Luella

Cole

dalam

http://shizukaumrilockhart.blogspot.com

mengemukakan, salah satunya jenis emosi yaitu emosi marah. Emosi jenis ini

2

lebih mudah timbul apabila dibandingkan dengan emosi lainnya dalam kehidupan
remaja. Penyebab timbulnya emosi marah pada diri remaja ialah apabila mereka

direndahkan, dipermalukan, dihina dan lainnya. Hal tersebut jika dihubungkan
dengan fenomena kerusuhan dalam observasi sangatlah tepat.
Dalam melakukan observasi, dengan dibantu rekan-rekan saya, Emannuel
(pewawancara dengan salah satu siswa SMPN 8 Yogyakarta), Eben Haezer Gulo
(cameramen), dan Benediktus Fatubun serta Ninon Kobak, kami berhasil
menggali permasalahan yang tengah terjadi. Tepat dengan apa yang diutarakan
oleh Luella Cole, permasalahan kerusuhan tersebut terjadi karena mereka merasa
direndahkan atau dihina.
Dalam versi pertama menerangkan bahwa kejadian ini bermula ketika
seorang yang tidak dikenal melempar batu ke salah seorang siswa dan hampir
mengenainya, maka sontak beberapa teman dari siswa yang terkena lemparan batu
keluar mencari tahu siapa orang yang berani melempar batu kepada mereka.
Dalam versi lain mengatakan kerusuhan tersebut akibat terdapat dua pihak
(kelompok) yang berselisih namun kurang jelas dengan pasti apa masalahnya.
Beberapa pedagang kecil disekitar SMPN 8 Yogyakarta mengatakan
bahwa hal tersebut sudah sangat biasa terjadi diantara siswa SMP tersebut.
Dengan kata lain, bahwa kerusuhan semacam itu sudah sering terjadi. Seorang
pedagang angkringan didepan SMP menambahkan anak-anak SMP yang tengah
tawuran biasanya akan mereda dan kembali ke sekolahnya setelah salah seorang
guru mereka turun ke lapangan dan membubarkan aksi mereka.

Dari permasalahan remaja diatas, dapat disimpulkan bahwa secara
perkembangan emosi, mereka lebih banyak mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan masa anak-anak, dimana mereka lebih dominan melibatkan
orang tua untuk menyelesaikan masalahnya. Pada tahap remaja, mereka merasa
bahwa tidak lagi “jantan/tangguh” bila masalah yang mereka hadapi harus
melibatkan orang tua. Emosi remaja sulit untuk dikontrol sehingga hal tersebut
berdampak pada aksi kekerasan fisik.
Seringkali pada masa ini mereka para remaja menganggap bahwa apa yang
mereka lakukan adalah tindakan yang benar dan perlu dilakukan demi sebuah

3

harga diri. Cara berpikir remaja sangatlah pendek, dalam melakukan aksinya
tersebut mereka tidak lagi memikirkan dampak panjang yang akan terjadi
setelahnya. Emosi remaja sangat tinggi dan besar, sehingga mengalahkan pikiran
rasional mereka. Remaja pada umunya tidak mampu berpikir baik secara radikal
(yakni berpikir dengan mengungkap suatu masalah hingga ke akar permasalahan
yang paling dalam), holistik (dengan cara mempertimbangkan secara menyeluruh,
termasuk semua aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan yang benarbenar diperhatikan dan dipertimbangkan), maupun berpikir secara sistematis (cara
berpikir secara runtut atau sistematis).

Tidak jarang kaum remaja merasa bahwa dirinya tidak butuh lagi nasehat
dari orang lain. Hal ini didasarkan atas pemikiran mereka bahwasanya mereka
sudah dewasa dan mampu berpikir sendiri. Padahal jika disadari betul mereka
masih sangat membutuhkan bimbingan orang yang lebih tua dari mereka. Namun
meskipun demikian, kita tidak bisa menyalahkan perbuatan mereka karena pada
dasarnya mereka melakukan hal demikian adalah proses pencarian jati diri. Pada
saat mereka benar-benar sudah matang, mereka akan sadar bahwa yang
dilakukannya dahulu tidaklah tepat dan seharusnya tidak dilakukan. Siklus
semacam ini akan terus berjalan dan sekali lagi kita tidak bisa menyalahkan
tindakan mereka.

4

Lampiran-lampiran

5

6

7


8

9

10

11

12