PERBANDINGAN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGIS

PERBANDINGAN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DI INDONESIA DAN BERBAGAI NEGARA

Tugas Mata Kuliah Perbandingan Kosntitusi

OLEH: DENDEN IMADUDIN SOLEH NPM. 1406509965 HUKUM KENEGARAAN SORE PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar". Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyatdilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. 1

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu. 2

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin

1 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.

2 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar HTN Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, 1988), hlm. 329

3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.

memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. 4

Dari awal kemerdekaan Indonesia telah 11 kali melaksanakan pemilihan umum yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan yang terakhir 2014. Pelaksanaan Pemilu 2014 ini mendapat berbagai tanggapan salah satunya karena menyebabkan banyaknya politik uang, salah satu penyebab maraknya praktek politik uang adalah sistem

proporsional terbuka dengan sistem suara terbanyak. 5 Bahkan salah satu politisi Golkar mengatakan pelaksanaan Pemilu 2014 inkonstitusional karena sistem suara terbanyak itu

bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana diberitakan dalam media online Suara Pembaharuan sebagai berikut 6 :

Sistem suara terbanyak dengan terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 22E Ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Itu artinya UUD 1945 mengatur pileg itu lebih bersifat impersonal, bukan personal seperti saat ini. Tetapi substansi dalam UU Pemilu justru mendistorsi UUD 1945 yang impersonal menjadi personal,

dimana peserta pemilunya adalah caleg dan bukan partai politik,” kata Wakil Ketua MPR RI, Hajriyanto Y Thohari dalam diskusi “bertema “Pemilu Dalam Perspektif Konstitusi” di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (24/2).

Menurut Hajriyanto, dalam sistem pemilu impersonal, partai politik adalah peserta pemilu, dia yang menentukan nomor urut calon anggota legislatif. Tetapi pasal itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Desember 2008, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatanrakyat dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.

“Saya tidak mengerti mengapa MK

mengeluarkan keputusan seperti itu, padahal jelas-jelas UUD 1945 pasal 22E Ayat 3 mengatakan, peserta pemilu adalah partai politik,” katanya.

4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah

5 http://politik.tempo.co/read/news/2013/12/13/078537186/Politik-Uang-Marak-Sistem-Suara-Terbanyak- Digugat%204 diakses tanggal 25 November 2014

6 http://sp.beritasatu.com/home/pileg-sistem-suara-terbanyak-inkonstitusional/50096 diakses tanggal 25 November 2014

Politisi Partai Golkar itu lebih jauh mengatakan, dengan sistem suara terbanyak, pileg menjadi ajang persaingan antar caleg. Rakyat kemudian mencari caleg, bukan partai politik. Karena itu, yang bekerja keras menjelang pileg adalah caleg. Politik gentong babi atau pork barel tidak terhindar lagi. Para caleg datang sendiri ke masyarakat, berjuang mempengaruhi pemilih untuk memilih dia, bahkan dengan iming-imingan duit, sumbangan barang, semen, kursi, bola voli, dan sebagainya.

Ironisnya, ketika caleg yang terpilih dalam sistem pemilu personal masuk menjadi anggota DPR RI, dia harus taat pada partai politik. Kalau tidak taat, dinilai membangkang dan akan di- PAW. “Ini paradoks dalam pemilu. Bagaimana seorang anggota DPR terpilih dengan sistem personal, mau memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi gagal karena terbentur dengan kepentingan politik partai. Kalau tidak mengikuti keinginan partai, ya PAW,” kata Hajriyanto.

Belum lagi kalau ada masalah, maka caleg yang dirugikan, karena sang caleg tidak bisa melakukan tuntutan hukum selain partai politik. Sementara partai politik tidak punya infrastruktur untuk menggugat. “Lengkaplah penderitaan si caleg akibat sistem pemilu personal yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi,” katanya. Anggota Komisi II DPR RI dari FPKS, Al-Muzzammil Yusuf mengatakan, FPKS DPR RI sangat kecewa dengan sistem suara terbanyak ini. “Jujur kami sangat kecewa dengan sistem suara terbanyak ini. Kami ingin sistem tertutup, karena sistem tersebut akan menguntungkan kader- kader partai,” katanya. Sistem terbuka, kata dia, hanya akan menguntungkan kader kutu loncat dan kader yang bekerja keras membesarkan partai tidak akan duduk di DPR. “Sekarang yang terjadi adalah siapa yang punya uang banyak dan populer yang akan duduk sebagai anggota DPR. Kita tidak tahu kualitas mereka seperti apa,” katanya. “Terus terang kami kecewa, tetapi kami kalah dalam memperjua ngkan hal itu di paripurna. Kami hanya didukung FPPP,” katanya.

Dengan sistem suara terbanyak, kata dia, banyak kandidat profesor yang berniat masuk DPR akhirnya mundur, karena takut bersaing dengan caleg artis yang lebih populer. “Mereka kalah populer dan orang-orang hebat seperti itu tersingkir. Karena itu, harus ada perubahan konstitusi. Saat ini kita sudah keluar dari koridor demokrasi,” katanya

Meskipun dianggap menyuburkan politik uang bahkan ada yang menganggap inkonstitusional, disisi lain sistem proporsional terbuka ini merupakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Putusan ini telah menganulir semua aturan Meskipun dianggap menyuburkan politik uang bahkan ada yang menganggap inkonstitusional, disisi lain sistem proporsional terbuka ini merupakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Putusan ini telah menganulir semua aturan

Melihat permasalahan mengenai pelaksaana dari sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka tersebut penulis akan membandingkan sistem pemilu Indonesia dengan negara lain yang juga merupakan negara kesatuan yang menggunakan sistem proporsional , distrik dan/atau berbagai modifikasi dari sistem yang ada atau campuran agar diperoleh gambaran mengenai sistem pemilu dan perkembangannya diberbagai negara. Dengan memahami perkembangan di negara lain, kita diharapkan dapat lebih mengerti apa yang mesti dikembangkan di tanah air setelah kita mengadopsikan sistem pemilihan itu dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perbandingan sistem pemilu di Indonesia dan berbagai negara kesatuan?

2. Bagaimana hubungan sistem pemilu dengan sistem perwakilan di berbagai negara kesatuan?

C. Tujuan

1. Mengetahui sistem pemilu di Indonesia dan berbagai negara kesatuan.

2. Mengetahui hubungan sistem pemilu dengan sistem perwakilan di berbagai negara kesatuan

D. Kerangka Teori

1. Demokrasi

Kata demokrasi atau ”democracy” dalam bahasa Inggris diadaptasi dari kata demokratie dalam bahasa Prancis pada Abad ke-16. Namun asal kata sebenarnya berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos (rakyat) dan kratos (memerintah). Demokrasi artinya adalah bentuk pemerintahan yang, jika dibandingkan dengan monarkhi atau aristokrasi, dijalankan oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya demokrasi menghasilkan komunitas politik Diana semua rakyat dipandang memiliki kesetaraan politik. ’Pemerintahan oleh rakyat’ mungkin dipandang sebagai konsep yang ambigu, namun pandangan tersebut bisa saja menipu. Sejarah

7 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 7 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008

Demokrasi adalah sistem politik yang sudah sangat tua. Gagasan mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan, dan terutama demokrasi secara genealogis intelektual bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan polis atau city state. 9

Gagasan tentang ”pemerintahan rakyat” terus mengalami perkembangan. Pada abad pertengahan, John Locke tampil kemuka dengan berbagai konespnya tentang masyarakat sipil

dan kekuasaan politik.25 Dalam masterpiece-nya, The Second Treatise of Government, Locke secara argumentatif memaparkan kritik yang mendasar dari konsep Filmer tentang monarkhi absolut dalam bukunya Patriarcha. 10

Locke menentang pendapat Filmer bahwa kekuasaan penguasa itu merupakan hak alamiah patriarkhi. Kalaupun kekuasaan bersifat patriarkhis, menurut Locke akan tetap saja ada batasnya. Kekuasaan hanyalah absah bila kekuasaan itu mempunyai consent. Menurut Locke, masyarakat menjadi satu badan, jika masing-masing individu memberikan persetujuan untuk bergabung menjadi satu komunitas. Komunitas yang menjadi satu itu berhak melakukan berbagai tindakan atas dasar suara mayoritas. Dalam konteks sosiologi, pemikiran Locke ini mendasari pemikiran masyarakat sebagai mekanisme. Sebuah pandangan yang individualistis, atomistis, dan mekanistis. 11 Dari pandangan masayarakat individualistis, atomistis, dan mekanistis inilah

kebebasan, kesetaraan atau persamaan, konsensus, dan kehendak mayoritas menemukan tempatnya. Dan dalam konteks itulah demokrasi didasarkan.

2. Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy)

Dalam sistem demokrasi, di mana secara harfiah bermakna ’rakyat yang memerintah’, diperlukan adanya mekanisme penyaluran pendapat dan aspirasi rakyat dalam menentukan kebijakan yang akan diambil suatu negara. Demokrasi era Athena dimana rakyat dapat menentukan secara langsung masih dimungkin disebabkan sempitnya wilayah dan sedikitnya penduduk. Praktik demokrasi yang terjadi di Athena, yakni dengan demokrasi langsung (direct democracy) tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan pada era modern. Luasnya wilayah sebuah negara dan semakin besarnya populasi penduduk suatu negara mengahdirkan kesulitan-kesulitan teknis

8 David Held, Models of Democracy, terj. Abdul Haris (Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006) hal xxiii 9 Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal 5 10 Ibid. hal 186 11 K.J.Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi

(Jakarta: PT Gramedia, 1985) hal 68 (Jakarta: PT Gramedia, 1985) hal 68

Menurut Jimly Asshiddiqie, pengambilan keputusan dan penyaluran pendapat secara langsung dapat dilakukan melalui delapan cara, yaitu:

a. pemilihan umum (general election)

b. referendum

c. prakarsa

d. plebisit

e. recall

f. mogok kerja

g. unjuk rasa, dan

h. 13 pernyataan pendapat melalui pers bebas Di samping delapan cara tersebut, rakyat yang berdaulat juga dapat menyalurkan aspirasi melalui

sarana kebebasan pers, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat, baik secara lisan seperti dengan mengadakan unjuk rasa maupun secara tertulis, kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan berserikat (freedom of association), dan hak untuk mogok menurut ketentuan perundang-undangan.

Adapun pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat secara tidak langsung dilakukan lembaga perwakilan rakat atau parlemen. Dalam konteks Indonesia, wujud dari demorasi tidak langsung ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 14 Dewan Perwakilan Daerah, 15 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 16 Salah satu wujud dari demokrasi perwakilan ini adalah mengenai pembentukan undang-undang. Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 telah menggariskan secara rinci kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah (Presiden) dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan demikian, sesuai dengan teori representative democracy dan ketentuan UUD 1945 maka DPR dan Presiden memiliki peran kunci dalam pembentukan undang-undang.

12 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta Bhuana Ilmu Populer, 2007. hal 739- 740

13 Ibid. 14 Ketentuan khusus mengenai Dewan Perwakilan Rakyat ini termaktub dalam Bab VII UUD 1945 Pasal 19-22B

15 Ketentuan khusus mengenai Dewan Perwakilan Daerah ini termaktub dalam Bab VIIA UUD 1945 Pasal 22C- 22D

16 Ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termaktub dalam Pasal 18 Angka (3) UUD 1945

3. Pemilihan Umum

Demokrasi mempercayai bahwa pemilu memainkan peranan vital untuk menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana transisi demokrasi, pemilu dalam proses konsolidasi demokrasi membutuhkan prakondisi yang spesifik. 17 Pada dasarnya ada, ada tiga tujuan dalam pemilihan umum. Ramlan Surbakti menyebutkan tujuan pemilu sebagai berikut 18 :

Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi pada pemimpin pemerintahan dan alternatif dan alternatif kebijakan umum (publicpolicy). Dalam demokrasi. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil- wakilnya (demokrasi perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipiil beberapa negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.

Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses musyawarah (deliberation).

Ketiga, pemilu merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi liberal (negara-negara industri maju) kendati sifatnya berebeda.

Dalam rangka mewujudkan pemilihan umum yang demokratis, diperlukan sebuah sistem yang mendukung ke arah tersebut. Sistem adalah adalah bagian-bagian atau komponen- komponen yang saling bergantung kepada yang lain dan saling mengadakan interaksi. Ciri sebuah sistem adalah pertama, bahwa setiap perubahan dalam satu bagian dari sistem itu mempengaruhi seluruh sistem. Kedua, bahwa sistem itu bekerja dalam suatu lingkungan yang lebih luas dan

17 Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi (Semarang: LP3i, 2003) hal 18-19 18 Ramlan Surbakti, op. cit hal 181-182 17 Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi (Semarang: LP3i, 2003) hal 18-19 18 Ramlan Surbakti, op. cit hal 181-182

Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. 20 Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Dalam praktik, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas saja pun, kedaulatan rakyat itu tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan jalannya suatu peme- rintahan. Lagi pula, dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, tingkat kehidupan berkembang sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan warga yang tidak merata dan dengan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam. Akibatnya, kedaulatan rakyat tidak mungkin dila- kukan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistim perwakilan (representation).

Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Di dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil- wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen. Para wakil rakyat itu bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulah yang menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka waktu yang relatif pendek. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang menyebut diri sebagai negara demokrasi, pemilihan umum (general election) merupakan ciri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu.

Peserta pemilihan umum itu dapat bersifat kelembagaan atau perorangan calon wakil rakyat. Peserta pemilihan umum merupakan perorangan apabila yang dicalonkan adalah bersifat

19 Menurut Miriam Budiarjo konsep sistem meminjam dari istilah ilmu biologi. Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993 cet ke-13) hal 47

20 Kusnardi dan Ibrahim, op. cit., hal. 328.

pribadi. 21 Akan tetapi, meskipun calon itu bersifat pribadi, biasanya mesin politik untuk mendukung pencalonan dan kegiatan kampanye tetap diperlukan yang bersifat kelembagaan.

Kelembagaan yang dimaksud itulah yang biasanya disebut partai politik, yaitu organisasi yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik, seperti untuk kepentingan rekruitmen politik dan komunikasi politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, partai politik terkait erat dengan kegiatan pemilihan umum. Bahkan, dapat dikatakan partai politik itu meru- pakan pilar yang penting dalam sistim demokrasi perwakilan yang secara periodik menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum.

4. Sistem Pemilihan Umum

Oleh karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara (i) sistem pemilihan mekanis, dan (ii) sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai masa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.

Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme dan khususnya komunisme, lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam semua aliran pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai masa individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.

Sementara itu, dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai

21 Lihat mengenai ketentuan calon peserta pemilu, baik itu bagi calon anggota DPR, DPD, DPRD, maupun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden dalam UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 42 Tahun 2008.

macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ- organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demi- kian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang di- utamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan itulah yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil- wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat.

Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas, pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional (function representation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of Lords Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut. Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai atau pun multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu-partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.

Menurut sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sedangkan, menurut system yang kedua (organis), lembaga perwakilan rakyat itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan- persekutuan hidup itu masing-masing. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, sistem yang pertama (mekanis) menghasilkan parlemen, sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi (korporatif). Kedua sistem ini sering dikombinasikan dalam struktur parlemen dua- kamar (bikameral), yaitu di negara-negara yang mengenal sistem parlemen bikameral. 22

Seperti yang sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris dan Irlandia yang bersifat bikameral mencerminkan hal itu, yaitu pada sifat perwakilan majelis tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House of Lords, dan di Irlandia pada Senatnya yang para anggotanya semua dipilih tidak melalui sistem yang mekanis, tetapi dengan sistem organis.

E. Metode Penelitian

22 Jimly Assiddiqie, Op Cit, hal.181

Metode penelitian ini mengunakan sistem perbandingan, seperti yang ditegaskan oleh Sri Soemantri bahwa Perbandingan Hukum dapat dibedakan antara 23 :

1. Perbandingan Hukum yang menggambarkan, yaitu suatu analisa terhadap perbedaan- perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum. Dengan perbandingan ini si peneliti tidak mempunyai maksud untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan tertentu, baik dalam yang abstrak maupun yang praktis. Adapun metode perbandingan yang dilakukan untuk memperoleh penjelasan atau informasi mengenai hal tertentu.

2. Perbandingan hukum terapan, yaitu bahwa analisa yang dilakukan kemudia diikuti dengan menyusun satu sintesa dengan tujuan untuk memecahkan satu masalah. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan pembaharuan sesuatu cabang hukum atau untuk mempersatukan bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang yang sama.

Berdasar hal tersebut penulis mengambil perbandingan hukum yang menggambarkan pelaksanaan dari sistem pemilu di berbagai negara yang berbentuk kesatuan, penulis berusaha memperoleh penjelasan atau informasi mengenai sistem pemilu di berbagai Negara beserta modifikasi-modifikasinya.

23 Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: CV. Rajawali, Edisi Kedua 1984 Hal.4

BAB II PEMBAHASAN

A. Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Umum Menurut Jimly, melaksanakan kedaulatan rakyat, oleh rakyat dilakukan dengan cara

(turut) menentukan sesuatu kebijakan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu. Cara ini dapat dilakukan secara tidak langsung melalui perwakilan (representative democracy) atau secara langsung (direct democracy). Dalam hal perwujudan kedaulatan rakyat secara tidak langsung dapat ditemukan dalam pembentukan UU yang ditetapkan dengan persetujuan antara Pemerintah dan para wakil rakyat di DPR. Artinya dalam hal ini, rakyat berdaulat ikut menentukan melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR. Sedangkan penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat dan juga untuk memilih para pejabat publik tertentu yang akan memegang tampuk kepemimpinan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan eksekutif, baik pada tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten atau kota, diadakan pemilu secara berkala, yaitu setiap lima tahun sekali. 24

Berdasarkan pandangan Jimly tersebut terlihat bahwa pemilu memiliki makna penting dan menjadi salah satu syarat pokok bagi negara yang menganut paham kedaulatan rakyat. Karena sebagaimana yang dinyatakan Riff, kedaulatan rakyat hanya akan ada jika setiap rakyat memiliki kesamaan hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses politik dan negara menjaminnya, yang salah satu caranya diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilu, sebagaimana yang dikemukakannya:

…Popular sovereignty exist when the people rule - when individual possess equal rights of participation in political processes and when The sole object of government is to safeguard

the interests of people as a whole, rather than those of particular sections or interest groups… In practical terms sovereignty has to be expressed through institutions which are

far form perfect, but which at least allow the people to elect representatives, and, directly or indirectly, to select a government. Election is the source of political legitimacy. 25

Berbeda jauh dengan Riff, dalam kacamata Claes G. Ryn –melalui hasil penelitiannya terhadap perkembangan faham konstitusionalisme Amerika Serikat – adanya Pemilu memang menempatkan rakyat sebagai pemegang otoritas politik tertinggi dalam negara karena rakyat

24 Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007). hal. 739

25 M.A. Riff (ed), Dictionary of Modern Political Ideologies (Manchester: Manchester University Press, 1987) hal. 171.

berkuasa penuh untuk memilih dan menentukan siapa yang nantinya akan mengisi jabatan- jabatan lembaga-lembaga Negara (baik Presiden, Senat maupun House of Representative). Namun demikian, masyarakat sebenarnya tidak berdaulat secara langsung karena paskah pemilu otoritas politik itu telah beralih kepada lembaga-lembaga negara.

Kedaulatan rakyat sebenarnya telah dikekang dan dibatasi oleh prinsip cecks and balances antar kekuasaan negara. Disamping itu, setiap kebijakan yang dilahirkanvoleh lembaga-lembaga negara sebenarnya berjalan secara sepihak, karena setiapvkebijakan yang lahir hampir tidak ada yang dimintakan persetujuan langsung dari rakyat melalui referendum. 26

Pandangan Ryn tersebut sebenarnya cenderung mengikuti pemikiran Rosseau yang tidak menginginkan kedaulatan rakyat diwakili oleh lembaga negara apapun karena kedaulatan hakekatnya tidak dapat diwakilkan dan dibagikan. Oleh karena itu Rosseau tidak menghendaki adanya lembaga perwakilan rakyat, karena kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara langsung dengan mencontohkan praktik sistem demokrasi di masa Romawi. 27

Namun sebagaimana menurut Richard S. Katz, pemilu dalam sistem demokrasi pada akhirnya tidak terhindarkan ketika demokrasi dihadapkan pada suatu kondisi ketidak-mungkinan diselenggarakannya sistem demokrasi secara langsung. Pertumbuhan populasi masyarakat yang begitu pesat dalam suatu negara pada akhirnya melahirkan sistem demokrasi representasi (representatif democracy), untuk itulah maka pemilu diselenggarakan, dengan tujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. 28

Senada dengan Katz, Frans Magnis Suseno melihat sejarah pemilu pada dasarnya telah dimulai sejak Revolusi Perancis yang kemudian berkembang ke dalam demokrasi representatif. Rakyat sebagai pihak yang berdaulat tidak langsung membuat undang-undang melainkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Melalui pemilu para warga negara menentukan partai mana yang akan (ikut) memerintah negara. 29

Dalam praktik, penyelenggaraan pemilu setiap negara memiliki sistem pemilu yang berbeda-beda. Perbedaan itu diakibatkan oleh berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pilihan atas sebuah sistem pemilu menjadi perdebatan sengit di kalangan partai politik sampai saat ini. Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilu yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan parpol guna menetapkan sistem pemilu yang akan dipakai. Paling tidak menurut Donald L.Horowitz, sistem pemilu harus

26 Claes G. Ryn, Democracy and Ethical Life, A Phillosophy of Politics and Community, Second Edition (Louisiana: Louisiana State University Press, 1990), hal.154-164.

27 J.J. Rousseau, The Social Contract (New York: Hafner Publishing Company, 1951),. hal. 16-21 28 Richard S Katz, Democracy and Elections (New York: Oxford University Press, 1997) hal. 69

29 Frans Magnis Suseno, Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. 290-291 29 Frans Magnis Suseno, Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. 290-291

Pertimbangan yang diberikan Horowitz menekankan pada aspek hasil pemilu. Hal yang menarik adalah, sistem pemilu yang baik mampu membuat koalisi antar etnis dan antar agama serta minoritas dapat duduk di jabatan publik. Ini sangat penting di negara-negara multi etnis dan multi agama seperti Indonesia. Terkadang, minoritas agak terabaikan dan konflik antar etnis/antar agama muncul.

Dengan sistem pemilu yang baik, kondisi ini dapat diredam menjadi kesepakatan antar pimpinan politik di tingkat parlemen. Konflik, sebab itu, dibatasi hanya di tingkat parlemen agar tidak menyebar di tingkat horisontal (masyarakat).

Pertimbangan lain dalam memilih sistem pemilu juga diajukan Andrew Reynold, et.al 31 . Menurut mereka, hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam memilih sistem pemilu adalah :

perhatian pada representasi; membuat pemilu mudah digunakan dan bermakna; memungkinkan perdamaian; memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil; pemerintahan yang terpilih akuntabel; pemilih mampu mengawasi wakil terpilih; mendorong parpol bekerja lebih baik; mempromosikan oposisi legislatif; mampu membuat proses pemilu berkesinambungan; dan memperhatikan standar internasional.

Pengertian dari sistem pemilu sendiri menurut Arent Lijphart diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. 32 Sementara menurut

Dieter Nohlen sistem pemilu mengandung 2 (dua) pengertian. Dalam arti luas, sistem pemilu adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Dalam arti sempit, sistem pemilu adalah cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut

ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik. 33

B. Sistem Pemilihan Umum

Dalam kaitannya dengan sistem pemilu, menurut Morissan secara umum dikenal 2 (dua) cara untuk mengisi kenggotaan lembaga perwakilan, yaitu: melalui pemilihan organis dan

30 Donald L. Horowitz, “Electoral Systems and Their Goals : A Primer foR Decision-Makers”, Paper on James B. Duke Professor of Law and Political Science, Duke University, Durham, North California, January 2003

31 Andrew Reynolds, dkk, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005) hal.9-14.

32 Arend Lijphart, Electoral Systems, dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2000), hal. 255.

33 Dieter Nohlen, “ Electoral Systems” dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz- Bacha, Encyclopedia of political communication, (California: Sage Publications, 2008) 33 Dieter Nohlen, “ Electoral Systems” dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz- Bacha, Encyclopedia of political communication, (California: Sage Publications, 2008)

Dalam pandangan Strong, sistem pemilihan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang yaitu berdasarkan “hak suara” dan berdasarkan “konstituensi” (wakil terpilih). Dari sudut pandang hak suara, terba gi antara negara yang menerapkan “pemilih dewasa” dan “pemilih dewasa bersyarat”. Negara yang menerapkan “pemilih dewasa” berarti hak pilih hanya dimiliki semua orang dewasa

baik pria maupun wanita dengan batas usia tertentu tanpa perlu ada persyaratan khusus. Sementara bagi negara yang menerapkan “pemilih dewasa bersyarat” biasanya hak pilih hanya diberikan kepada orang dewasa dengan syarat-syarat tertentu, misalnya tidak buta huruf dan lain- lain. Dari sudut pandang konstituensi, terdapat negara yang menghasilkan 1 (satu) wakil dalam setiap daerah pemilihan (biasanya negara yang menerapkan sistem mayoritas) dan negara yang menghasilkan lebih dari 1 (satu) wakil di setiap daerah pemilihan (biasanya negara yang

menerapkan sistem perwakilan proporsional). 35 Dari berbagai literatur yang menjabarkan sistem pemilu, sebagian besar memetakan

sistem pemilu menggunakan pendekatan konstituensi. Dari pendekatan tersebut, jika menggunakan hasil pemetaaan Reynolds, sistem pemilu terbagi ke dalam 4 (empat) sistem yang dipakai oleh negara-negara di dunia, yaitu: sistem mayoritas/pluralitas; perwakilan proporsional,

campuran dan sistem pemilu lainnya. 36

1. Mayoritas/Pluralitas

Sistem Mayoritas/Pluralitas adalah sistem pemilu yang menekankan pada suara terbanyak (mayoritas) dimana mayoritas tersebut berasal dari berbagai kekuatan (pluralitas). Sistem Mayoritas/Pluralitas tersebut terbagi ke berbagai varian-varian sistem diantaranya: First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote. 37

34 Morissan,. Hukum Tata Negera Era Reformasi (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), hal.221 35 C.F. Strong, Op.Cit. hal.95-97 36 Andrew Reynolds, et.al. Op.Cit. hal.21 37 Ibid. hal.35

Sistem First Past The Post (FPTP) adalah sistem pemilu dengan menggunakan model the winner take all dimana kandidat dengan perolehan suara terbanyak otomatis menjadi kandidat terpilih. Di setiap daerah pemilihan hanya diambil 1 (satu) pemenang saja. 38 Sistem FPTP di

Indonesia juga sering dikenal dengan istilah “sistem pemilu distrik” karena sistem FPTP menghendaki daerah pemilihan dalam ruang lingkup yang lebih kecil (setingkat distrik). Luas wilayah distrik biasanya setara dengan kabupaten/kota. Dengan luas wilayah distrik yang relatif kecil, diharapkan akan memudahkan para pemilih untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam mengenai profil masing-masing kandidat. Disamping itu, faktor kedekatan antara rakyat (pemilih) dengan para kandidat juga akan membuka ruang komunikasi politik yang lebih intensif diantara keduanya sehingga kerja-kerja di parlemen lebih bersifat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan rakyat.

Beberapa kelebihan sistem FPTP diantaranya adalah terbangunnya proses konsolidasi politik antar parpol menuju sistem kepartaian yang lebih sederhana. Sebab dengan menggunakan sistem wakil tunggal (1 pemenang) akan memaksa parpol-parpol kecil berkoalisi dan berfusi agar dapat memenangkan pemilihan di setiap distrik. Sistem FPTP yang menghendaki sistem kepartaian yang lebih sederhana pada akhirnya ikut mendorong terbentuknya pemerintahan yang lebih stabil karena konfigurasi kekuasaan pemerintah hanya dipimpin oleh satu partai pemenang dalam setiap peroide pemerintahan, dan partai yang kalah otomatis menjadi oposisi sebagai alat kontrol dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. 39

Kelebihan lain dari sistem FPTP, sistem ini mengijinkan kandidatkandidat independen ikut dalam pemilihan, sehingga kelompok-kelompok minoritas yang aspirasinya tidak terwakili oleh parpol-parpol peserta pemilu dapat mengajukan wakilnya melalui jalur independen. Lebih jauh dari itu, dengan karakter the winner take all sistem ini menjadi sistem yang paling sederhana dibandingkan sistem pemilu lain terutama dari sisi metode penghitungan suaranya karena kandidat yang memperoleh suara terbanyak otomatis menjadi kandidat terpilih. 40

Walaupun demikian, sistem FPTP masih memiliki kelemahan yang cukup mendasar khususnya dalam hal potensi hilangnya suara rakyat. Sebab dengan model the winner take all yang hanya menghendaki satu pemenang saja dalam satu distrik akan berakibat terbuangnya suara rakyat yang kandidatnya kalah dalam pemilihan. Resiko kehilangan suara tersebut akan semakin besar jika terjadi pertarungan antar kandidat yang dicalonkan oleh parpol-parpol besar. Selain itu, model the winner take all selama ini juga dinilai kurang memberi ruang kepada pluralisme politik

38 Electoral Reform Society, What Is First Past The Post? http://www.electoralreform.org. uk/article.php?id=54 39 Andrew Reynold. Op.Cit. hal.38-39 40 Ibid. hal.40 38 Electoral Reform Society, What Is First Past The Post? http://www.electoralreform.org. uk/article.php?id=54 39 Andrew Reynold. Op.Cit. hal.38-39 40 Ibid. hal.40

Negara yang selama ini menjadi contoh terbaik penerapan sistem FPTP adalah Inggris dan Amerika Serikat. Namun menurut Refly Harun di Inggris sendiri sistem ini terus digugat dan diperdebatkan. Dua hal yang sering diperdebatkan adalah keterwakilan (representativeness) dan akuntabilitas (accountability). Sistem FPTP sering dipersepsikan mengandung masalah dalam soal keterwakilan karena banyak suara yang terbuang. Dan dalam kenyataannya sistem FPTP di Inggris selama ini telah meminggirkan parpol-parpol kecil dan kelompok minoritas dari keterwakilan. Rakyat Inggris hanya diberikan alternatif pemerintahan yang itu-itu saja. Sebelum pemerintahan beralih ke kubu Buruh pada 1997, Inggris diperintah Konservatif selama 18 tahun dengan Margareth Thatcher sebagai ikonnya. Sekarang hal yang sama berulang kembali karena Buruh sudah memerintah selama 12 tahun. 41

Sistem mayoritas pluralitas yang kedua adalah sistem Block Vote (BV). Sistem ini hampir sama dengan sistem FPTP karena sama-sama memakai wilayah distrik sebagai daerah pemilihannya. Perbedaannya, jika FPTP hanya menghendaki wakil tunggal dari masing-masing distrik, sebaliknya BV menghendaki wakil banyak dalam setiap distrik. Perbedaan lainnya, jika dalam FPTP masyarakat hanya memilih 1 (satu) kandidat saja, dalam sistem BV masyarakat diberi hak untuk memilih kandidat sebanyak jumlah kursi yang diperebutkan. Dalam menggunakan hak pilihnya tersebut, masyarakat dapat memilih semua kandidat sampai sesuai

dengan jumlah kursi atau memilih sebagian (satu) kandidat saja. 42 Dengan hak pilih yang bersifat ganda maka masyarakat lebih mendapatkan keleluasaan

dalam menentukan kandidat-kandidat pilihannya. Namun sistem ini juga akan melahirkan persaingan antar kandidat di internal parpol sehingga berdampak pada kesulitan parpol dalam mengkonsolidasi kekuatan politik internalnya. 43

Sistem mayoritas/pluralitas yang ketiga adalah sistem Party Block Vote (PBV). Sistem PBV prinsipnya hampir sama dengan sistem FPTP dengan model the winner take all-nya dimana hanya diperoleh satu pemenang saja dalam setiap distrik. Perbedaannya jika dalam sistem FPTP, parpol hanya boleh mencalonkan 1 (satu) kandidat saja di masing-masing distrik, sebaliknya dalam sistem PBV parpol boleh mencalonkan lebih dari satu kandidat. Namun masyarakat tetap hanya diberi hak untuk memilih 1 (satu) kandidat saja. Parpol yang memperoleh suara terbanyak

41 Refly Harun, Menggugat Sistem Pemilu Kita, http://reflyharun.blogspot.com/2009/04/menggugat-sistem- pemilukita.html, diakses 28 November 2014.

42 Andrew Reynolds. et. al. Op.Cit. hal.44-45 43 Ibid. hal.46 42 Andrew Reynolds. et. al. Op.Cit. hal.44-45 43 Ibid. hal.46

Kelebihan dari sistem PBV hampir sama dengan sistem FPTP yaitu akan melahirkan sistem kepartaian yang lebih sederhana dan kuat. Kelemahannya adalah potensi hangusnya suara rakyat dalam skala besar karena hanya diperoleh satu pemenang saja dalam setiap distrik. 45

Sistem mayoritas/pluralitas yang keempat adalah sistem Alternative Vote (AV). Sistem ini juga hampir sama dengan sistem FPTP yang menghendaki wakil tunggal di setiap distrik. Perbedaannya, jika dalam FPTP rakyat hanya diberikan hak untuk memilih satu kandidat saja, di dalam sistem AV rakyat diberikan hak untuk memilih seluruh kandidat yang tercantum di dalam kertas suara, namun harus dengan cara merangking. Kandidat yang paling dipercaya dan

diyakininya ditempatkan pada rangking pertama dan seterusnya. 46 Dengan sistem demikian, maka masyarakat akan lebih memiliki ruang dalam mengekspresikan pilihannya terhadap semua

kandidat. Dan bagi para kandidat, sistem ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur tingkat legitimasi mereka di mata masyarakat. Misalnya bagi kandidat yang berada di rangking kedua, walaupun dia kalah dalam pemilihan, namun ia kalah dengan terhormat karena tetap mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat yang ditunjukkan dengan besarnya dukungan rakyat yang berhasil menempatkannya di posisi kedua. 47

Kelebihan dari sistem AV akan menuntut para kandidat untuk bekerja lebih keras dalam menarik simpati pemilih khususnya para pemilih yang berasal dari luar partai mereka, yang paling tidak akan menempatkannya di ranjing kedua dan seterusnya. Kelemahan dari sistem ini akan menuntut masyarakat untuk lebih kritis lagi dalam menganalisis profil masing-masing kandidat yang tentu saja tidak mudah. Disamping itu, sistem ini juga menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih sehingga hanya bisa diterapkan di negara-negara yang

sistem pendidikannya telah merata. 48 Sistem mayoritas/pluralitas yang kelima adalah sistem Two Round System (TRS). Sistem ini

di Indonesia lebih dikenal dengan sistem “dua putaran” di mana pemilu dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap seperti dalam Pilpres. Tahak kedua akan dilaksanakan jika di dalam tahap pertama tidak ada kandidat yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (biasanya 50% + 1). 49 Pelaksanaan pemilu putaran kedua di masing-masing negara cukup bervariasi. Sistem yang

44 Ibid. 45 Ibid. hal.46 Lihat juga International Democracy and Electoral Assistance, Countries Using Party Blocked Vote, http://www.idea.int/esd/type.cfm?electoralSystem=PBV, diakses tanggal 28 November 2014. 46 Lihat Electoral Reform Society, The Alternative Vote. What is The Alternative Vote? http://www.electoral-reform. org.uk/article.php?id=55, diakses tanggal 28 November 2014. 47 Andrew Reynolds et. al. Op.Cit. hal.47 48 Ibid. 49 Ibid. hal.52 44 Ibid. 45 Ibid. hal.46 Lihat juga International Democracy and Electoral Assistance, Countries Using Party Blocked Vote, http://www.idea.int/esd/type.cfm?electoralSystem=PBV, diakses tanggal 28 November 2014. 46 Lihat Electoral Reform Society, The Alternative Vote. What is The Alternative Vote? http://www.electoral-reform. org.uk/article.php?id=55, diakses tanggal 28 November 2014. 47 Andrew Reynolds et. al. Op.Cit. hal.47 48 Ibid. 49 Ibid. hal.52

Kelebihan dari sistem TRS paling tidak akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengubah pilihannya di putaran kedua. Disamping itu, dengan adanya putaran kedua akan memungkinkan bersatunya kepentingan yang berbeda, yang awalnya suaranya terpecah-pecah pada putaran pertama kemudian terakumulasi kepada satu kandidat di putaran kedua. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak mendukung penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien karena dengan adanya putaran kedua akan membuat penyelenggara pemilu bekerja dua kali dan pembiayaan pemilu yang akan memakan anggaran cukup besar. 50

2. Perwakilan Proporsional