Black Widows Para Martir Peledak dari

BLACK WIDOWS
Para Martir Peledak dari Chechnya
Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Seminar Hubungan Internasional

Disusun Oleh:
Tsuroyya Salsabiil
(0801510089)

Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Al­Azhar Indonesia
Februari 2014

A. Latar Belakang Masalah
Perang sejak lama telah diakui sebagai alat politik. Dan perang juga selalu diikuti oleh duka
yang tak terelakkan. Perasaan duka inilah yang akhirnya memicu rasa frustasi, depresi, dan
trauma atas kekerasan yang dialami dalam perang. tidak jarang, perasaan-perasaan tersebut
memicu tindakan kekerasan untuk meluapkan rasa putus asa dan ketidak berdayaan sebagai
korban perang. Salah satunya adalah tindakan balas dendam, yang seringkali diungkapkan
melalui ledakan bom bunuh diri, tindakan dari korban perang yang memutuskan bahwa
kematiannya jauh lebih bernilai dibanding kehidupannya. Dalam dunia kekerasan yang

didominasi oleh nilai-nilai maskulinitas, dalam kasus bom bunuh diri ini, Chechnya memiliki
situasi yang dapat dikatakan berbeda dari kasus yang biasanya terjadi. Perbedaan ini bernama
black widows.
Black widows mulai menjadi perhatian dunia sejak terjadinya serangan bom bunuh diri
yang dilakukan oleh perempuan Chechnya pada 7 Juni 2000 1. Khaya Barayeva dan Luisa
Magomadova mengendarai sebuah truk yang berisi bahan peledak kepada markas besar pasukan
khusus Rusia (OMON) yang bertempat di desa Alkhan Yurt, Chechya. Kejadian itu memakan
korban dua orang mati dan lima luka-luka.2 Sejak saat itu gerakan teroris perempuan telah
terlibat dalam dua puluh dua dari dua puluh tujuh serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh
para pemberontak Chechnya, dengan total 110 orang pelaku bom bunuh diri, 47 diantaranya
adalah perempuan3.

1 Laura Sjoberg dan Caron E. Gentry. Mothers, Monsters, Whores; Women’s
Violence in Global Politics, (London:Zed Books, 2007), 98.
2 Anne Spekhard and Khapta Akhmedova, Black Widows: The Chechen Female
Suicide Terrorist.
3 Ibid.

Para perempuan pelaku serangan bom bunuh diri ini dikenal dengan julukan black widows,
karena sebagian besar dari mereka merupakan perempuan yang memiliki suami atau saudara

yang tewas di tangan tentara Rusia. Julukan black widows ini muncul dari nama sebuah jenis
laba-laba ganas. Laba-laba betina dari jenis ini sangat ditakuti karena racunnya 15 kali lipat
lebih berbahaya daripada ular berbisa. 4

Perumpamaan ini menggambarkan tindakan para

perempuan Chechnya yang seolah memiliki naluri untuk membunuh dengan tidak kenal ampun,
bahkan untuk membunuh laki-laki sekalipun. Kelompok black widows ini juga disebut
“Shahidka”, yang berasal dari kata syahid, ditambahkan kata “ka” di belakangnya yang berarti
perempuan. Berbeda dengan anggapan kebanyakan masyarakat dunia yang mengutuk dan
menganggap para black widows sebagai monster, bagi masyarakat Chechnya tindakan yang
dilakukan oleh para perempuan ini merupakan tindakan yang heroik.
Para black widows ini sebenarnya merupakan kelompok yang dibentuk oleh komandan
militer pemberontak Chechen, Shamil Basayev. Pada akhir 2001, Basayev mendirikan sebuah
pasukan yang diberi nama Riyad us Saliheen yang beranggotakan perempuan maupun laki-laki.
Sejak tahun 2002-2004, Shahidka pimpinan Basayev ini melakukan serangan besar-besaran
terhadap sipil Rusia. Perempuan-perempuan pelaku serangan bom bunuh diri ini mengenakan
gamis hitam panjang, dan kebanyakan adalah para janda dari laki-laki Chechnya yang tewas
dibunuh pasukan Rusia. Inilah mengapa mereka sering disebut sebagai black widows.
Para black widows dideskripsikan sebagai perempuan yang membalaskan dendamnya

kepada pemerintah Rusia, yang telah mempermalukan, menyiksa keluarga dan suami mereka,
serta memporak-porandakan kehidupan mereka. Berbagai julukan yang mereka terima, seperti
black widows dan shahidka, menyatakan bahwa kekerasan yang mereka lakukan langsung lahir
4 National Grographic, “Black Widow Spider”, diakses dari
http://animals.nationalgeographic.com/animals/bugs/black-widow-spider/, pada
tanggal 30 Desember 2013 pukul 17.00

dari keinginan untuk membalaskan dendam atas kematian suami dan anak-anaknya, apakah itu
karena pertempuran dengan pasukan Rusia, maupun pertempuran yang tidak secara langsung
diprovokasi oleh Rusia. Karena pemerintah Rusia telah “merebut” suami dan anak-anak mereka,
para black widows dikarakterisasikan dengan individu yang tidak memiliki makna dan tujuan
hidup, dan satu-satunya tujuan adalah dengan melakukan pembalasan dendam. Tindakan balas
dendam ini digambarkan ke dalam istilah personal dan emosional:
“The loss of family members is a corresponding link between Palestinian and
Chechen female suicide bombers, though more apparent in Chechen women,
due to the nature of the conflict there. ‘of course there is an influence from the
Middle East, but the roots of Chechen actions are very different from those of
(Osama) bin Laden or Al-Qaeda. Their actions are motivated by the fight for
independence and, more and more, by the desire of revenge, which runs very
deep in the (Chechen) tradition. Therefore, terrorist groups’ recruiters lurk

within an atmosphere of emotional fervor, and take advantage of personal
loss.”5
Perempuan dan anak-anak biasanya terlihat sebagai penduduk biasa yang menjadi
korban kekerasan dalam perang. Media yang memberitakan tentang perang yang terjadi di
Chechnya ini awalnya mengutuk para pasukan Rusia yang menyiksa para perempuan, karena
dianggap tidak bersalah dalam gerakan separatisme yang terjadi di negaranya. Selama perang
Chechnya pertama, imej dari seorang ibu dan feminitas menjadi hal yang penting dalam usaha
mengubah opini publik Rusia terhadap perang yang terjadi. Perempuan Rusia dan Chechnya
bersama-sama menyuarakan keberatannya terhadap pertempuran yang mengakibatkan korbankorban berjatuhan, serta menjadikan militer Rusia sebagai pelaku utama, dan menunjukkan
5 Bowers, Derrick, and Olimov, 2004:268

bahwa korban yang paling sering jatuh adalah dari kalangan perempuan dan anak-anak yang
tidak bersalah.
Namun hal tersebut berubah ketika imej pemberontak Chechnya berubah menjadi
teroris. Pada perang kedua yang terjadi, Kremlin dan pasukan Rusia mengklaim bahwa
perempuan Chechnya tidak sepenuhnya tanpa dosa. Mereka menghubungkan antara pejuang
Chechnya dengan teroris Islam radikal yang menggunakan black widows sebagai aktor dalam
melakukan tindakan terorisme. Dengan menggunakan kelompok Islam radikal seperti Al-Qaeda
dan perempuan yang melakukan bom bunuh diri, Rusia serta merta melegitimasikan perang
yang terjadi sebagai bagian dari “perang melawan terorisme”. 6 Hal ini dijadikan sebagai taktik

yang memberikan alasan bagi pemerintah Rusia untuk melanjutkan serangannya terhadap
Chechnya. Pemerintah Rusia menyalahkan ‘Palestinianization’7 sebagai hal yang bertanggung
jawab atas gerakan perempuan Chechnya yang melakukan tindakan kekerasan seperti bom
bunuh diri. Karena mereka dianggap telah terinspirasi dari perempuan Palestina yang
melakukan tindakan serupa.
Alasan yang dijadikan landasan bagi Rusia untuk melakukan penyerangan terhadap
Chechnya serta-merta membuat Rusia memukul rata semua korbannya. Perempuan yang
sebelumnya menjadi sosok tidak bersalah yang ‘haram’ hukumnya untuk disakiti, menjadi
musuh baru yang lahir dari stereotype black widows yang telah lahir. Selama perang
berlangsung, pasukan Rusia seringkali meminta uang secara paksa terhadap para ayah, jika
tidak mereka akan memperkosa anak perempuannya. Di Chechnya, menjadi korban perkosaan
merupakan aib yang sangat besar, dan para pasukan Rusia sadar akan stigma budaya tersebut
dan memanfaatkannya. Mereka mengeksploitasi

budaya Chechnya untuk mendapatkan

keuntungan.

6 Laura Sjoberg, Caron E. Gentry. Mothers, Monsters, Whores; Women’s Violence in
Global Politics, (London:Zed Books, 2007), 103.

7 Laura Sjoberg dan Caron E. Gentry,Ibid., 93.

Pasukan Rusia sering kali melakukan penganiayaan yang tidak diperlukan. Banyak
penduduk yang dibunuh oleh pasukan Rusia, dan mayoritas korban yang jatuh adalah
perempuan dan anak-anak. Tidak sedikit pula laki-laki dari berbagai generasi yang menjadi
korbannya. Hal ini mengakibatkan perempuan Chechnya hidup dalam keadaan perang, yang
berakibat fatal pada kondisi fisik dan emosionalnya. Inilah yang menjadi sumber frustasi
mereka. Anne Nivat, seorang ahli terorisme menyatakan bahwa para generasi muda Chechnya
adalah korban yang sangat terpengaruh dari peperangan dan gerakan religius ekstrim yang
terjadi di Chechnya. Ia menyatakan bahwa:
“Religion as a new element in the nation-building process of the region has had
a strong impact of the young: to them, being a “Wahabi”, despite the fact that
they do not really understand what it means, is above all a way to exist, and to
exist differently among the vast majority on non-Muslim people within the
Russian Federation.”8
Berdasarkan argumentasi dari Nivat, yang menyatakan bahwa Chechnya berada dalam
kondisi kekacauan dan para perempuan muda Chechnya menjadi aktor yang penting dalam
keadaan ini. Mereka hidup dalam kondisi kehilangan ayah dan saudara laki-laki mereka yang
ikut berperang maupun dibunuh meski tidak bersalah, maupun ibu dan saudara perempuan
mereka yang diperkosa atau dibunuh. Kondisi yang demikian, ditambah dengan adanya

keyakinan religius yang ditanamkan dengan kuat dalam diri mereka sejak kecil membuat para
perempuan Chechnya tidak dapat dihentikan. Karena mereka hidup dalam keadaan yang dapat
dikatakan “nothing to lose” sehingga mereka tidak memiliki ketakutan akan kematian.
B. Rumusan Masalah

8 Anne Nivat, "The Black Widows: Chechen Women Join the Fight for Independence
—and Allah," Studies in Conflict and Terrorism 28, 5 (2005):417

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa terdapat
suatu kejanggalan yang terjadi di Chechnya. Sebagai negara Eropa Timur yang memiliki
budaya paternalistik yang kuat, maka dapat dipastikan bahwa perempuan memiliki posisi
yang pasif di dalam masyarakat. Namun yang terjadi pasca atau selama perang adalah
perempuan menjadi aktor aktif bahkan menjadi senjata untuk melawan musuh, yang dikenal
dengan julukan black widows. Yang menjadi pertanyaan utama dalam tulisan ini adalah:
“Apa yang melatarbelakangi kemunculan fenomena black widows sebagai pelaku bom
bunuh diri di Chechnya periode 2000-2010?”
Dengan tujuan untuk memfokuskan permasalahan agar tidak menjadi terlalu luas dan
menyimpang, maka penelitian ini akan terpusat pada kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh
para Black Widows di Chechnya dengan rentang waktu pembahasan mulai tahun 2000 sampai
dengan tahun 2010. Alasan penulis memilih untuk memfokuskan dari tahun 2000 adalah karena

pertama kali kasus bom bunuh diri oleh para janda Chechnya ini terjadi pada tahun 2000.
Penulis memutuskan untuk membatasi pembahasan hingga tahun 2010 karena kasus besar
terakhir terjadi pada tahun tersebut. Penulis juga membatasi ruang lingkup kasus Black Widows
hanya pada kasus yang terjadi di Chechnya karena ingin membahas tentang bagaimana kultur,
keadaan perang dan posisi yang menyudutkan dapat mempengaruhi perempuan sebagai individu
untuk dapat melakukan tindak kekerasan yang dinilai sebagai bentuk kecacatan pada sifat dasar
perempuan, serta membuat perempuan dapat terdorong untuk melakukan serangan bom bunuh
diri. Oleh sebab itu pembahasan dari penelitian dibataskan dan difokuskan pada perempuan
korban kekerasan yang akhirnya terpicu untuk melakukan tindakan yang dianggap melampaui
insting keibuannya, atau malah berdasarkan kuatnya insting tersebut.
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan akan memberikan pencerahan tentang bagaimana posisi
perempuan dalam perang, dan menjelaskan faktor-faktor yang dapat mendorong
perempuan untuk melakukan tindakan kekerasan.
2. Penelitian ini juga ditujukan untuk mampu menggambarkan dengan jelas mengenai
pengaruh non-stop violence terhadap kehidupan perempuan yang hidup di dalam
keadaan perang.

Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan awal kemunculan black widows di Chechnya dan peristiwa apa
yang melatar belakanginya.
2. Untuk menjelaskan hal yang memicu para black widows di Chechnya untuk melakukan
serangan bom bunuh diri.
3. Untuk menggambarkan bagaimana perempuan dapat melakukan tindak kekerasan, dan
apakah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang seharusnya dipandang sebagai
tindakan individual ataukah berdasarkan gender.
4. Untuk dapat mengetahui posisi perempuan dalam konflik kekerasan, yang dalam
penelitian ini dikhususkan pada perempuan yang berada dalam zona perang.
D. Teori atau Kerangka Dasar Pemikiran
Dalam menjawab persoalan yang di bahas dalam penelitian ini, penulis menggunakan
paradigma Posfeminisme. Asumsi dasar dari pemikiran Posfeminisme dalam hubungan
internasional terdapat pada konsep ‘Deconstruction’ atau dekonstruksi dan ‘Différence’ atau

perbedaan yang dipelopori oleh Jacques Derrida. Sophia Phoca mengatakan bahwa
posfeminisme mengadopsi ‘strategies of linguistic disruption’ milik Derrida:
“ Post-feminism has gained from Derrida’s strategies of linguistic disruption.
His idea of an “unspeakable differance” could be seen as applying to the
condition of repressed and unprivileged Woman. This is not a natural condition

but a constructed one that can be exposed by a desconstructive criticism of
“phallogocentrism””9
Konsep ini digunakan oleh posfeminisme untuk menekankan perbedaanya dengan
feminisme yang lebih menitik beratkan konsep ‘persamaan’, yaitu persamaan maupun
kesetaraan derajat. Teori posfeminisme menolak adanya kesetaraan yang dijunjung tinggi oleh
feminisme yang menginginkan perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki.
Sementara teori posfeminisme menekankan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya
memiliki perbedaan yang tidak dapat disamaratakan.
Dalam penelitian ini, pertanyaan penelitian akan dibahas melalui asumsi dari
posfeminisme, dengan teori Psikoanalisis. Oleh karena itu, akan digunakan hasil-hasil
pemikiran dari beberapa tokoh posfeminisme yang tulisannya dipengaruhi oleh Jacques Derrida
dan Jacques Lacan, seperti Luce Irigaray, Julia Kristeva dan Helene Cixous. Berikut adalah
runutan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini:.
1. Dekonstruksi dan Feminisme
Derrida dikenal dengan “karya” nya, yang berisi kritikan tentang metafisika barat,
melalui dekonstruksi. Dalam tulisan Maja Zehfuss tentang Derrida, 10 Derrida tidak
9 Sophia Phoca dan Rebecca Wright, Introducing Postfeminism (New York: Totem.
Books, 1999): 97
10 Critical Theorists and International Relations, ed. Jenny Edkins dan Nick Vaughan
–Williams (London:Routledge,2009), 139.


hanya mengkritik tentang tradisi fiosofis barat, namun juga ikut mengkritik
pemikiran dan bahasa sehari-hari. Menurutnya, pemikiran barat selalu terstruktur
dalam rangkaian dikotomi atau polaritas, seperti ada/tiada, persamaan/perbedaan,
ucapan/tulisan. Dua kutub yang berlawanan ini memiliki hubungan yang tidak
memungkinkan satu entitas bebas dari entitas lainnya, dan bukan merupakan dua
entitas yang setara. Kutub satu pasti memiliki nilai yang lebih rendah dari kutub
yang lain. Kedua kutub ini saling terkait, namun juga terpisah dari satu sama lain.
Contohnya, sesuatu dapat menjadi ada, atau tiada. Tidak dapat menjadi keduanya.
Menurut Derrida, hirearki oposisi biner ini akan mengukuhkan keunggulan dari
suatu hal dibanding hal yang lain. Dalam hal ini, untuk dapat menentukan identitas
diri, dibutuhkan adanya perbedaan dari pihak yang lain.
Feminisme Perancis menggunakan teori dekonstruksi

Derrida

dalam

membongkar hirearki oposisi biner antara perempuan dan laki-laki. Selain Derrida,
Simone de Beauvoir telah lebih dulu mengemukakan logikanya mengenai posisi
perempuan melalui karya nya yang berjudul The Second Sex pada tahun 1949.
Beauvoir beragumen bahwa perempuan didefinisikan sebagai hal oposisi dari lakilaki. Laki-laki dalam hal ini dianggap sebagai subyek aktif, sementara perempuan
adalah pasif. Dalam hal ini, laki-laki dianggap memiliki peran dalam menentukan
perempuan sebagai subjek pasif, karena berdasarkan sejarah, pembagian peran dan
kerja antara perempuan dan laki-laki tidak pernah terbentuk secara alamiah, namun
dibentuk oleh kuasa dan sejarah kaum laki-laki. 11
Dalam penelitian ini, penulis berargumen bahwa hirearki opoisi biner ini
berperan penting dalam mendorong perempuan Chechnya untuk melakukan
kekerasan. Karena dalam budaya masyarakat Chechnya, perempuan menganggap
dirinya sebagai kutub sekunder, dengan laki-laki sebagai kutub primer yang
11 Ibid.

memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Namun ketika perang terjadi, kondisi ini
berubah, dan perempuan menjadi subjek aktif, ketika perempuan menjadi tulang
punggung keluarga, karena laki-laki berada dalam kondisi terjepit dimana mereka
tidak dapat dengan bebas melakukan pekerjaan, karena banyaknya pasukan-pasukan
Rusia yang bersiaga. Pasukan Rusia tersebut memiliki pandangan bahwa aktor yang
aktif dalam gerakan pemberontakan adalah laki-laki, sementara perempuan
merupakan aktor pasif.
2. Posfeminisme
Posfeminisme memiliki prinsip yang berbeda dengan gerakan feminis lainnya
yang menginginkan kesetaraan dan menolak dikatakan berbeda dengan laki-laki.
Menurut posfeminisme, perbedaan perempuan bersifat inevitable dan justru dapat
memberikan keuntungan tersendiri, karena perempuan memang memiliki perbedaan
dengan laki-laki dan dapat melakukan aktivitasnya ytanpa takut akan dibandingkan
dengan laki-laki. Teori ini memiliki perspektif yang menolak untuk terjebak dalam
pemikiran konservatif yang menyatakan bahwa perempuan memiliki status tertekan
dalam tatanan masyarakat, namun posfeminisme memahami bahwa laki-laki dan
perempuan pada dasarnya memang berbeda, baik dalam segi biologis maupun
sosio-kultural. 12 Menurut Luce Irigaray, gerakan feminis yang menuntut kesetaraan
dianggap menyimpang dari tujuan awal feminisme, karena dengan menuntut
kesetaraan, maka akan muncul perbandingan-perbandingan yang terjadi antara
perempuan dan laki-laki.13
Helene Cixous membedakan antara gaya menulis perempuan atau l’écriture
féminine dan gaya menulis laki-laki atau l’écriture masculine. Menurut Sophia
Phoca:
12 Ann Brooks, “Postfeminism: Feminism, cultural theory and cultural forms”, 1997.
13 Luce Irigaray. Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda. (Jakarta:2005).11

“Écriture féminine is an experimental writing of this type, motivated by a desire
to “inscribe the feminine”, which originated in France in the mid-1970s…
Écriture féminine writes that for which there is no language--the feminine
which has been repressed by patriarchal culture…Cixous seeks ways out
—“sorties” of structure, the privileging of the phallocentric subject will be
undermined…Her concept of écriture feminine acknowledges Derrida’s
analysis of difference.”14
Cixous menyadari bahwa patriarki merupakan konteks budaya yang telah terjadi sejak
lama, yang sebenarnya tidak terjadi secara alamiah, namun merupakan keadaan yang benarbenar terhjadi dan tidak dapat dipisahkan dari segi estetika dan poetic.15 Teori l’écriture
feminine Cixous memberikan solusi atas tekanan sistem kultural, religius, seksual dan
linguistik. Untuk pertama kalinya, Cixous menjelaskan wanita untuk berpikir dengan cara yang
berbeda mengenai sejarah mereka, bukan hanya darimana mereka berasal, namun juga dalam
hal bahasa. Cixous mengatakan bahwa perempuan perlu memiliki sejarah yang baru, yang bebas
dari campur tangan dan bentukan dari laki-laki (maskulinitas), sesuatu yang bersifat baru, jauh
dari sejarah cerita kekuasaan, perbedaan derajat dan tekanan-tekanan, sesuatu yang dari situ
akan terlihat cerminan bahasa dan ‘tubuh’ dari perempuan.
Seperti Kristeva dan Irigaray, Cixous meneruma pengaruh yang kuat dari Psikoanalisis,
terutama dari Lacan. Menurut Sophia Phoca:
“For Cixous, the inscription of the rythms and articulation of the mother’s body
remains present in the adult.

Cixous attaches special value to Lacan’s

Imaginary in the pre-symbolic union between the self and the m/other which
14Phoca dan Wright, 1999:51-52
15 Susan E. Dunn. “The Place that Writes: Locating Cixous in Feminist Theory”,
http://prelectur.stanford.edu/lectures/cixous/dunn.html.

becomes inscribed in language…She produces texts which “write her body”
and therefore destroy the closure of binary opposites. The pleasure of this openended textuality is referred to as jouissance. Coined by Lacan, this French term
has no equivalent in English. It connotes the extreme pleasure derived from
sexual orgasm…Sexual jouissance is like the female erotic which cannot be
theorized, enclosed or coded.”16
Teori Cixous ini menjelaskan bahwa tubuh perempuan sangat erat kaitannya dengan
seksualitas yang dimikikinya. Dan cara bagaiamana tubuh dan seksualitas tersebut dipandang
dalam konteks budaya yang dibentuk oleh laki-laki. Teori ini dapat diterapkan pada keadaan
perempuan Chechnya yang telah mampu “membahasakan” tubuhnya sendiri, dengan merubah
sejarahnya yang dahulu hanya memiliki peran sebagai ibu, saudara, atau anak perempuan,
menjadi tulang punggung keluarga ketika perang berlangsung, bahkan menjadi “senjata”
pemusnah musuh. Hal ini menuliskan ‘tubuh’ dan budaya baru perempuan Chechnya yang
berada diluar anggapan naluri alamiah perempuan yang sebelumnya di ciptakan oleh budaya
laki-laki. Hal ini juga didukung oleh argimentasi dari Julia Kristeva yang mengatakan bahwa
“the Law of the Father” telah menekan dan menginterupsi ‘jouissance’ dan diluar aturan yang
bersifat paternal terdapat sebuah original pleasure dan ‘tubuh’ perempuan yang sebenarnya,
yang bebas dari jeratan hukum paternal tersebut. Argument Kristeva dapat dikatakan didasari
oleh statemen dari Freud tentang superego, yang terbentuk dari moral keagamaan zaman
feudal, yang mengekang manusia. Dalam hal ini, budaya yang diturunkan oleh ‘para’ ayah
kepada anak perempuannya berupa hukum-hukum religius maupun kultural memiliki posisi
yang penting pada munculnya keinginan perempuan Chechnya untuk melakukan tindakan
pengorbanan diri mereka dengan bom bunuh diri. Bagi perempuan Chechnya yang memiliki
16 Phoca dan Wright, 1999:53-55

motif yang didasari oleh faktor budaya dan agama, menurut Kristeva ini adalah akibat dari
penekanan budaya dari laki-laki (bersifat maskulin) yang dituliskan untuk perempuan dalam
kelompok masyarakat tersebut.

E. Hipotesa
Perempuan yang diidentikkan dengan istilah-istilah perdamaian dan sifat keibuan, tidak
berlaku di dalam Chechnya pada beberapa abad terakhir. Kondisi perang yang menyebabkan
trauma mendorong para perempuan Chechnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang diluar
nalurinya sebagai perempuan. Perempuan korban perang di Chechnya menggantikan posisi lakilaki sebagai pencari nafkah, karena banyaknya kecurigaan yang terjadi akan adanya
pemberontakan yang dilakukan oleh laki-laki Chechnya yang membuat lebih aman bagi
perempuan untuk keluar rumah dan melangkah ke tempat-tempat umum tanpa harus dicurigai
oleh pasukan Rusia sebagai aktor pemberontakan secara aktif. Selain itu, tewasnya suami atau
ayah dalam keluarga di Chechnya membuat para istri dan ibu di Chechnya harus berjuang lebih
keras untuk dapat menafkahi dan membesarkan anak-anaknya. Bagaimanapun, generasi
Chechnya harus tetap terjaga agar masyarakat Chechen tidak ‘punah’. Dalam hal ini, perempuan
dipaksa untuk keluar dari ilustrasi-ilustrasi feminin yang selama ini dikonstruksikan oleh dunia.
Para perempuan Chechnya tidak hanya menjadi ibu dalam keluarga, namun juga sebagai ibu
satu negara yang menjaga keberlangsungan hidup negaranya, serta menjadi martir dan monster
berbahaya yang dapat melakukan apapun demi membela negara dan keluarganya.
Masyarakat Chechnya secara tradisional hidup dalam etos dan nilai-nilai solidaritas
yang kuat, hingga membuat ‘pembalasan dendam’ sebagai suatu yang lumrah. Tradisi ini
menekankan bahwa jika seseorang yang berharga bagi mereka, keluarga misalnya, tersakiti atau
terbunuh, anggota keluarganya memiliki kewajiban untuk mencari sang pelaku dan melakukan
hal yang serupa kepadanya. Inilah yang menjadi dasar bahwa para perempuan Chechnya yang

anak, suami ataupun anggota keluarganya terbunuh oleh tentara Rusia, mereka bertugas untuk
membalaskan kematiannya sebagai bentuk kehormatan tinggi. Unsur paternalistik yang melekat
dalam masyarakat ini menjadikan perempuan Chechnya yang tidak memiliki pendidikan tinggi
menjadi tergantung kepada sosok laki-laki, dan karena itulah jika ayah, atau suami mereka
terbunuh, mereka seakan tidak lagi memiliki tujuan hidup. Tujuan hidup mereka pada akhirnya
adalah untuk mati, mengorbankan dirinya demi membalas dendam atas kehilangan yang mereka
rasakan. Di dalam masyarakat yang memiliki nilai seperti ini, tentu saja mudah bagi
sekelompok radikalis untuk merekrut mereka dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sisi feminitas dari perempuan, dalam hal ini tidak dapat dikatakan hilang sepenuhya
ketika mereka melakukan serangan bom bunuh diri. Para perempuan ini kebanyaka bertindak
atas insting keibuan dan rasa cinta terhadap orang tersayang yang menjadi korban. Terdorong
dari insting tersebut lah, mereka melakukan usaha balas dendam dengan mengorbankan dirinya
sendiri, dan melakukan bom bunuh diri. Tindakan agresif yang lahir dari rasa frusrasi inilah
yang akhirnya menjadi tujuan hidup baru bagi para perempuan korban kekerasan Chechnya.
asnobject
pasive

CONFLIT

asnobject
pasive

CONSTRUEDIY

Kondisi perempuan Chechnya ini dapat dilihat melalui teori Lacan mengenai
“phallogocentric” merupakan keadaan dimana “phallus” yang disini diartikan sebagai pria,
sebagai ‘signifier’. Dengan phallus sebagai signifier, maka perempuan menjadi ‘effects of

signified’ dan menjadi ‘the Other’. Inilah yang melahirkan identitas perempuan sebagai ‘the
passive object’. Seperti yang dikatakan oleh Monique Wittig, bahwa pikiran dan tubuh
perempuan telah terbentuk, bagian per-bagian, oleh ‘idea of nature’ yang telah diciptakan untuk
mereka, dari budaya yang ada. Budaya yang ada disini adalah budaya patriarki.
Budaya patriarki yang ada mengkonstruksikan identitas perempuan Chechnya sebagai
objek yang passive, sebagai faktor ‘komplementer’ bagi kehidupan. Namun, seperti ‘ritual
drama’ sosial lainnya, aksi dari gender membutuhkan ‘pengulangan-pengulangan’. Pengulangan
yang terjadi dimaksudkan untuk menekankan hirearki atau status sosial yang ada, sehingga
menunjukkan legitimasinya dalam betuk everyday repetition. Dalam kehidupan perempuan
Chechnya sebelum perang, mereka menjadi pemenuh kehidupan dalam rumah, dan memiliki
‘suara’ serta peran yang sangat minor dalam masyarakat Chechnya. Namun setelah munculnya
konflik dan keadaan mengharuskan mereka untuk terjun aktif dalam pemenuh kehidupan di luar
dan di dalam rumah, bahkan sebagai martir, maka pengulangan yang terjadi setiap hari, saat
aktivitas tersebut menjadi rutinitas bagi perempuan Checnhnya, identitas yang awalnya lahir
dari Law of the Father kemudian dikonstruksikan kembali dan perempuan keluar dari hirearki
sosial yang terbentuk. Identitas mereka keluar dari budaya yang telah ‘dituliskan’ untuk mereka
sebelumnya, dan kemudian ‘menuliskan’ identitas nya sendiri, seperti dalam teori Cixous
mengenai l’ecriture feminine.
Ini membuktikan bahwa gender, tidak dapat dipahami sebagai identitas yang stabil dan
permanen, melainkan identitas yang terbentuk dalam waktu, seiring dengan keadaan atau situasi
yang dialami suatu individu. Identitas ini kemudian dibentuk secara matang melalui everyday
repetition dan menjadi rutinitas. Atas pemahaman ini dapat dikatakan kemudian bahwa ide atas
gender bersifat temporer. Dalam kasus black widows, dekonstruksi identitas dari perempuan

Chechnya terjadi, dan mereka bergerak keluar dari struktur sosial patriarki dan menjadi subjek
aktif dalam masyarakat.
Tindakan yang dilakukan oleh perempuan Chechnya ini lebih besar dari sekedar bentuk
kebencian atas pasukan Rusia yang membantai keluarga mereka, namun juga berdasarkan rasa
‘cinta’ yang dimilikinya atas keluarga. Berbeda dari rasa kebencian yang biasanya mendominasi
sifat maskulinitas, tindakan violence yang dilakukan oleh black widows justru muncul out of
love, sebagai sifat dasar perempuan sebagai ‘giver’. Seperti yang dikemukakan oleh Cixous:
“As a giver, woman has a ‘cosmic’ sexual energy that assumes many shapes, all
of them discursive elements that grant her ‘whole(ness)’ without fixity, without
a phallogocentric universe. (female self) ….doesn’t stand still, she’s
everywhere, she exchanges, she is thr desire-that-gives (as one who) ….
Nourishes life, a love that has no commerce with the apprehensive desire that
provides against the lack and stultifies the strange; a love that rejoices in the
exchange that multiplies. ”17
Dapat dikatakan bahwa proses dekonstruksi identitas yang dialami oleh perempuan Chechnya
bukan membuat mereka menjadi kehilangan identitas femininitas, namun mempertegas bahwa
femininitas tersebut tidak membatasi scope tindakan perempuan Chechnya sebagai respon atas
tindakan pasukan Rusia yang menghancurkan kehidupan mereka. Para perempuan ini keluar
dari ‘aturan’ yang telah dituliskan oleh budaya mereka dan mengekspresikan rasa cinta nya
dengan cara yang mereka ‘tuliskan’ sendiri. Violence yang dilakukan oleh black widows justru
muncul sebagai ekstraksi dari rasa cinta dan honor terhadap keluarga dan bangsanya.

17 Cixous, Hélène. “The Laugh of the Medusa.” Reading Rhetorical Theory. Ed.
Barry Brummett. New York: Harcourt, 2000. 890-892.

F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 18 Metode penelitian yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif.
Dalam penelitian ini akan digunakan metode deskriptif untuk menggambarkan secara
tepat mengenai posisi perempuan dalam dunia kekerasan, khususnya di Chechnya karena fokus
dari penelitian ini akan mengangkat secara spesifik mengenai black widows. Penulis akan
mengupulkan fakta-fakta atau informasi-informasi akurat mengenai hal yang terkait dengan
kemunculan black widows, gerakan radikal apa yang dilakukan oleh para perempuan tersebut,
dan tujuan apa yang ingin diperoleh mereka. penelitian ini akan menggambarkan realita yang
terjadi mengenai kasus tersebut pada rentang waktu sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010
dan membantu penulis dalam menjelaskan bagaimana posisi perempuan sebenarnya dalam
perang yang terjadi di Chechnya pada saat itu. Diharapkan dengan menggunakan pendekatan
ini, penulis akan berhasil menjawab pertanyaan penelitian secara mendalam dan spesifik.
Menurut Richie, penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial dan
perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia
yang diteliti.19 Penulis memutuskan untuk memilih metode kualitatif karena dapat memberikan
pemahaman secara rinci terhadap perilaku manusia (individu) berdasarkan kajian yang
dilakukan terhadap pandangan manusia itu sendiri.

18 Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. (Bandung:
Alfabeta, 2007), 1.
19 Lexy J. Moleong, 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya), 6.

Gaya penelitian yang digunakan dalam perumusan penelitian ini adalah melalui
pendekatan kualitatif, dimana penulis akan menggunakan metode yang tidak dapat diukur
dengan menggunakan alat tertentu, namun nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dengan menggunakan metode ini berarti penelitian ini tidak mencantumkan data-data atau
informasi-informasi yang bersifat dapat diukur dengan angka, mengunakan skala, indeks, table,
formula atau sejenisnya, namun penulis menggunakan kalimat untuk menggambarkan dengan
jelas mengenai kasus yang akan dibahas.
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan penelitian
kepustakaan atau library research, dengan objek yang digunakan untuk penelitian
adalah melalui media yang berada di perpustakaan umum maupun koleksi pribadi.
Dengan metode ini penulis memanfaatkan berbagai macam pustaka seperti buku, jurnal,
dan tulisan-tulisan yang mengandung data faktual mengenai permasalahan yang ingin
dibahas oleh penulis. Penulis tidak hanya mematok bahan penelitian yang berupa media
cetak saja, namun juga memanfaatkan media elektronik seperti beberapa website berita
maupun jurnal yang diunduh secara online.
2. Jenis Data
Data yang dikumpulkan penulis dalam perumusan penelitian ini berasal dari sumber
yang bersifat sekunder atau tidak langsung, karena penulis tidak terjun langsung dalam
pencarian data, namun menggunakan bahan yang telah disajikan oleh pihak lain, seperti
beberapa website berita, jurnal, buku, maupun video yang berisi statement dari sumber.
Jenis data yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang berupa
kalimat yang diperoleh dari pengamatan atas beberapa dokumen.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjelaskan bagaimana sumber diperoleh dan darimana
sumber diperoleh. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, diantaranya adalah:
a. Studi Literatur, yaitu suatu cara untuk memperoleh data secara langsung, biasanya
bersifat teoritis, dengan cara membaca. Penulis mempelajari buku-buku, literatur,
catatan-catatan, jurnal, website, maupun dokumen-dokumen lainnya yang
berhubungan dengan black widows, sejarah perang yang terjadi antara Rusia dan
Chechnya, serta bagaimana dampak perang tersebut mempengaruhi kondisi
psikologis perempuan Chechnya.
b. Perbandingan historis, yaitu menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa dalam
masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. 20 Alasan digunakannya
teknik ini adalah dengan tujuan untuk mencari tahu keadaan apa yang memicu para
perempuan Chechnya melakukan tindakan kekerasan. Dalam penelitian ini, bahan
sejarah diselidiki dan digunakan untuk meneliti revolusi atau gerakan apapun
(dalam penelitian ini merupakan perang antara Rusia dan Chechnya) yang terjadi di
masa lalu untuk dijadikan referensi dalam menganalisa posisi perempuan yang aktif
dalam gerakan black widows.
4. Sumber Data
Seperti yang telah diuraikan di atas, data yang membantu perumusan penelitian ini
berasal dari media cetak seperti buku, catatan-catatan pribadi penulis, maupun media
elektronik seperti website berita, serta jurnal dan artikel yang diunduh dari internet. s
5. Metode Analisis
Dalam menganalisa kasus black widows yang terjadi di Chechnya, dalam penelitian ini
digunakan metode induksionis, yaitu metode analisis hubungan kausalitas diantara dua
20 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), 43.

unit yang memiliki unit ekspalanasi lebih tinggi dari tingkat unit analisa. Dalam
penelitian ini, unit eksplanasi merupakan Rusia dan Chechnya sebagai negara, dengan
unit analisa adalah individu atau kelompok, yaitu para black widows atau perempuan
Chechnya yang melakukan serangan bom bunuh diri.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dirangkai dalam penelitian ini tersusun dalam 6 (enam) bab
yang terdiri dari:
BAB I – Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang mengenai perang yang terjadi antara Rusia dan
Chechnya, serta kemunculan dari gerakan teroris perempuan Chechnya yang disebut
balck widows. Dalam bab ini juga terdapat rumusan masalah yang berisi pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran yang didalamnya
terdapat paradigma, teori serta konsep-konsep apa yang digunakan penulis dalam
menganalisa penelitian ini, juga mencantumkan metode penelitian, dan yang terakhir
adalah sistematika penulisan.
BAB II – Sejarah Perang antara Rusia dan Chechnya
Bab ini akan menggambarkan sejarah terjadinya perang antara Rusia dan Chechnya
secara terperinci, dari faktor pencetusnya hingga fenomena apa yang mendasari
berlangsungnya perang.
BAB III – Kasus Black Widows yang terjadi dari tahun 2000-2010 di Chechnya
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan secara detail kasus serangan bom bunuh diri
yang dilakukan oleh black widows di Chechnya, dalam periode 2000-2010.
BAB IV – Posisi Perempuan Chechnya dalam Perang
Bab ini akan berisi tentang posisi perempuan Chechnya dalam perang, yang menjadi
inti pembahasan dari penelitian ini dan berisi fakta-fakta mengenai keadaan fisikal
maupun psikologis perempuan Chechnya, serta bagaimana perubahan Perempuan
Chechnya sebagai aktor pasif dalam perang menjadi aktor aktif didalamnya.
BAB V – Perempuan Korban Perang VS Perempuan Pelaku Perang

Bab ini akan menguraikan analisa dan argumenasi dari penulis, dibantu oleh teori
posfeminisme yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB VI – Penutup
Dalam penutup akan berisi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dalam penelitian
ini.

Daftar Pustaka
The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism, edited by. Sarah Gamble.
London: Routledge, 2001.
Bowers, Stephen R., Ashley Ann Derrick, dan Mousafer Abduvakkosovich Olimov,
Suicide Terrorism in the Former USSR, Journal of Social, Poltical and
Economic Studies No.3 (2004):261-79
Sjoberg, Laura.,dan Caron E. Gentry. Mothers, Monsters, Whores; Women’s Violence in
Global Politics. London: Routledge, 2007.
Cixous, Hélène. “The Laugh of the Medusa.” Reading Rhetorical Theory. Ed. Barry
Brummett. New York: Harcourt, 2000.
Phoca, Sophia., dan Rebecca Wright. Introducing Feminism. New York: Totem Books,
1999.
Brooks, Ann. Postfeminism: Feminism, cultural theory and cultural forms. New York:
Routledge, 1997.
Anne Nivat, The Black Widows; Chechen Women Join the Fight for Independent—and
Allah, Studies in Conflict & Terrorism, vol. 28 (2005), 417.
Dunn, Susan E. “The Place that Writes: Locating Cixous in Feminist Theory”,
http://prelectur.stanford.edu/lectures/cixous/dunn.html (diakses pada 26 Januari
2013).
Irigaray, Luce. Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda. Jakarta: 2005.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta, 2007.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
“Black Widows Pelaku Bom Bunuh Diri di Moskow”,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/03/30/10872-black-widows-pelaku-bom-bunuh-diri-moskow (diakses pada 20 November
2013)
“Benih Perang Kembali Disemai”,
http://www.oocities.org/injusticedpeo"ple/BenihPerangKembaliDisemai.htm
(diakses pada tanggal 23 November 2013).
“Bom di Moskow Diduga Aksi Para Janda Black Widow”
http://www.tempo.co/read/news/2010/03/30/117236819/Bom-di-MoskowDiduga-Aksi-Para-Janda-Black-Widow (diakses pada 23 November 2013).
National Geographic, “Black Widow Spider”,
http://animals.nationalgeographic.com/animals/bugs/black-widowspider/, diakses pada 21 Januari 2013.