BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Fungsi Utama Lahan - Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Kecamatan Batunadua Kota Padangsidimpuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan dan Fungsi Utama Lahan

  Definisi lahan memiliki keterkaitan dengan tanah. Menurut Utomo, et al (1992), lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibandingkan sumberdaya lainnya, yakni lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Jayadinata (1999) memaparkan bahwa tanah berarti bumi (earth), sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya, baik perseorangan atau lembaga. Lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan menurut Utomo, et al (1992), memiliki dua fungsi dasar, yaitu: 1.

  Fungsi kegiatan budidaya, yang memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan, hutan produksi dan lain-lain.

  2. Fungsi lindung, bermakna bahwa kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

2.1.1. Penggunaan Lahan (Land Use)

  Karakteristik lahan sebagai sumberdaya yang jumlahnya tetap dengan lokasinya yang tidak dapat dipindahkan, membutuhkan suatu perencanaan yang berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan guna memenuhi kebutuhan manusia yang beragam. Berbagai macam bentuk intervensi manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat dikatakan land use atau penggunaan lahan atau tata guna lahan.

  Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan meliputi dua unsur, yaitu: 1.

  Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia).

  2. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain seperti air, iklim, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya.

  Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dalam mengembangkan wilayah. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan dijalankan berdasarkan pada beberapa kategori antara lain kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau pengaturan estetika (Munir, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut, Chapin (1995) seperti yang dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yaitu: 1.

  Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli lahan di pasaran bebas.

2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

  3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

2.1.2. Konversi Lahan

  Utomo, et al (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut.

  Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

  Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Mulyaharja, Sihaloho (2004) memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yakni: i.

  Faktor pada makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan ‘marginalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi. ii.

  Faktor pada mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga).

2.1.3. Faktor Penyebab Konversi Lahan

  Konversi lahan pada umumnya dipengaruhi oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan perumahan. Secara umum, pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).

  Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang.

2.1.4. Dampak Konversi Lahan

  Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa (Furi, 2007). Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergesaran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).

  Menurut Munir (2008), dampak konversi lahan pertanian menjadi penambangan pasir dan batu di Desa Candimulyo, Wonosobo dapat dilihat pada berbagai kehidupan masyarakat. Antara lain dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan rumah tangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta berkurangnya tingkat pengangguran karena banyaknya masyarakat yang pada awalnya mengganggur ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil bagian keuntungan dari orang lain dan dampak lingkungan yang menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak .

2.2. Produktifitas Lahan Produktifitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari usahataninya.

  Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk yang dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah dan selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani akan semakin rendah.

  Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktifitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengkonversi lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktifitas rendah (Utama, 2006).

2.2.1 Lahan Pemukiman (Land Rent)

  Teori sewa lahan model klasik dikembangkan oleh David Ricardo dan Von Thunen. David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam hal kesuburan lahan, terutama lahan pertanian. Analisis yang dikemukakan oleh David Ricardo berdasarkan asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya lahan yang subur dan berlimpah. David Ricardo mengemukakan bahwa hanya lahan yang subur yang digunakan untuk bercocok tanam dan tidak ada pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut. Sewa lahan akan muncul hanya apabila penduduk bertambah yang menyebabkan permintaan terhadap lahan meningkat dan terjadi penggunaan lahan kurang subur oleh masyarakat.

  Teori yang dikemukakan oleh Von Thunen menentukan nilai sewa lahan berdasarkan faktor lokasi. Analisis Von Thunen berdasarkan tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan dikemukakan bahwa sewa lahan lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1997).

  Nilai ekonomi lahan menurut Barlowe (1978) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.

  Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran aktual dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.

  2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.

2.3. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

  Secara umum, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang maupun jasa. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang perkembangan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan meningkat.

  Dengan perkataan lain bahwa pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang akhir dan jasa (final goods and services) yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu.

  Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan ekonomi, kedua istilah ini mempunyai arti yang sedikit berbeda. Kedua-duanya memang menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Tetapi biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks yang berbeda. Pertumbuhan selalu digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan sesuatu negara, yang diukur melalui persentasi pertambahan pendapatan nasional riil.

  Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Dengan kata lain, dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ahli ekonomi bukan saja tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah perataan pembagian pendapatan (Sukirno, 2006:423).

  2.3.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

  Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang antara lain: (Sadono Sukirno, 2006:243-270).

  2.3.2 Teori Pertumbuhan Klasik

  Teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan John Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh perhatiannya pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk disebut dengan teori penduduk optimal.

  Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah penduduk terus bertambah maka hukum hasil lebih yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal akan mengalami penurunan, dan akan mengarahkan pada keadaan pendapatan perkapita sama dengan produksi marginal.

  Pada keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk berbanding terbalik terhadap nilai pertumbuhan ekonomi.

2.3.3 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Teori ini dikembangkan hampir pada waktu yang bersamaan oleh Roy F.

  Harrod (1984) di Inggris dan Evsey D. Domar (1957) di Amerika Serikat. Mereka menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi memberikan hasil yang sama, sehingga keduanya dianggap mengemukakan ide yang sama dan disebut teori Harrod- Domar. Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihatnya dalam jangka pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Domar melihatnya dalam jangka panjang (kondisi dinamis). Teori Harrod-Domar didasarkan pada asumsi : a.

  Perkonomian bersifat tertutup.

  b.

  Hasrat menabung (MPS = s) adalah konstan.

  c.

  Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to scale).

  d.

  Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk.

  Model ini menerangkan dengan asumsi supaya perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang kuat (steady growth) dalam jangka panjang. Asumsi yang dimaksud di sini adalah kondisi dimana barang modal telah mencapai kapasitas penuh, tabungan memiliki proposional yang ideal dengan tingkat pendapatan nasional, rasio antara modal dengan produksi (Capital Output Ratio/COR) tetap dan perekonomian terdiri dari dua sektor (Y = C + I).

  Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut, Harrod- Domar membuat analisis dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh kenaikan produksi baik barang maupun jasa dapat diserap oleh pasar) hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat-syarat keseimbangan sebagai berikut: g = K = n

  Dimana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output) K = Capital (tingkat pertumbuhan modal) n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja Harrod - Domar mendasarkan teorinya berdasarkan mekanisme pasar tanpa campur tangan pemerintah. Akan tetapi kesimpulannya menunjukkan bahwa pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat keseimbangan dalam sisi penawaran dan permintaan barang.

2.3.4 Teori Pertumbuhan Neo-klasik

  Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dan T.W. Swan (1956). Unsur-unsur yang digunakan dalam metode Sollow-Swan adalah pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi.

  Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan teknologi dalam rumusannya. Selain itu, Solow-Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan ekonomi yang baik dalam model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi antara tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada fleksibilitas dalam rasio modal-output dan rasio modal-tenaga kerja.

  Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu, akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik, sehingga produktivitas capital meningkat. Dalam model tersebut, masalah teknologi dianggap sebagai fungsi dari waktu.

  Teori neo-klasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Sama seperti dalam ekonomi model klasik, kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan, termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, dan tenaga kerja, dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik. Analisis lanjutan dari paham neoklasik menunjukkan bahwa untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang mantap (steady growth ), diperlukan suatu tingkat tabungan yang tinggi dan seluruh keuntungan pengusaha diinvestasikan kembali.

2.3.5 Teori Schumpeter

  Teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship) dalam masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani mengambil risiko membuka usaha baru, maupun memperluas usaha yang telah ada.

  Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

  Didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dari inovasi tersebut, maka para pengusaha akan meminjam modal dan mengadakan investasi.

  Investasi ini akan mempertinggi kegiatan ekonomi suatu negara. Kenaikan tersebut selanjutnya juga akan mendorong pengusaha-pengusaha lain untuk menghasilkan lebih banyak lagi sehingga produksi agregat akan bertambah.

  Selanjutnya Schumpeter menyatakan bahwa jika tingkat kemajuan suatu perekonomian semakin tinggi maka keinginan untuk melakukan inovasi semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat telah merasa mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan semakin lambat jalannya dan pada akhirnya tercapai tingkat keadaan tidak berkembang (stationary

  

state ). Namun keadaan tidak berkembang yang dimaksud di sini berbeda dengan

  pandangan klasik. Dalam pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu dicapai pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Sedangkan dalam pandangan klasik, keadaan tidak berkembang terjadi pada waktu perekonomian berada pada kondisi tingkat pendapatan masyarakat sangat rendah.

2.3.6 Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi

  Teori ini dimunculkan oleh Prof. W.W. Rostow yang memberikan lima tahap dalam pertumbuhan ekonomi. Analisis ini didasarkan pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai sebagai akibat dari timbulnya perubahan yang fundamental dalam corak kegiatan ekonomi, juga dalam kehidupan politik dan hubungan sosial dalam suatu masyarakat dan negara. Adapun kelima tahapan tersebut adalah: 1).Tahap Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)

  Rostow mengartikan bahwa masyarakat tradisional sebagai suatu masyarakat yang: a.

  Cara-cara memproduksi yang relatif primitif dan sikap masyarakat serta cara hidupnya yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dicetuskan oleh cara pemikiran yang bukan rasional, tetapi oleh kebiasaan yang telah berlaku secara turun-temurun. Tingkat produksi yang dapat dicapai masih sangat terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum ada atau belum digunakan secara sistematis dan teratur.

  b.

  Tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas per pekerja masih sangat terbatas. Oleh sebab itu sebagian besar dari sumber-sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian.

  Dalam sektor ini struktur sosialnya sangat bersifat hierarkis, sehingga mobilitas secara vertikal dalam masyarakat sedikit sekali.

  c.

  Kegiatan politik dan pemerintahan terdapat di daerah-daerah dipegang oleh tuan-tuan tanah yang berkuasa, dan kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan tuan-tuan tanah di berbagai daerah tersebut.

  2) Tahap Prasyarat Lepas Landas Tahap ini adalah tahap sebagai suatu masa transisi pada saat masyarakat mempersiapkan dirinya ataupun dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus berkembang (self-sustain growth). Pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan berlaku secara otomatis. Tahap prasyarat lepas landas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

  a) Tahap prasyarat untuk lepas landas yang dicapai oleh negara-negara

  Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika yang dilakukan dengan merubah struktur masyarakat tradisional yang sudah ada.

  b) Yang dinamakan Rostow bom free, yaitu prasyarat lepas landas yang dicapai Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru, dengan tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional, karena masyarakat negara-negara itu terdiri dari emigran yang telah mempunyai sifat-sifat yang diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai tahap prasyarat lepas landas.

  3) Tahap Lepas Landas (Take Off)

  Adalah suatu tahap interval dimana tahap masyarakat tradisional dan tahap prasyarat untuk lepas landas telah dilewati. Pada periode ini, beberapa penghalang pertumbuhan dihilangkan dan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan kemajuan ekonomi diperluas dan dikembangkan, serta mendominasi masyarakat sehingga menyebabkan efektivitas investasi dan meningkatnya tabungan masyarakat. Ciri-ciri tahap lepas landas yaitu:

  a) Adanya kenaikan dalam penanaman modal investasi (yang produktif, dari 5% atau kurang, menjadi 10% dari Produk Nasional Neto).

  NNP=GNP-D (penyusutan).

  b) Adanya perkembangan beberapa sektor industri dengan laju perkembangan yang tinggi.

  c) Adanya atau terciptanya suatu kerangka dasar politik, sosial dan institusional yang akan menciptakan: Kenyataan yang membuat perluasan di sektor modern dan potensi ekonomi ekstern sehingga menyebabkan petumbuhan terus-menerus berlangsung.

  4) Tahap Gerakaan ke Arah Kedewasaan (The Drive of Maturity) Gerakan ke arah kedewasaan diartikan sebagai suatu periode ketika masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern dalam mengolah sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya. Ciri-ciri gerakan ke arah kedewasaan adalah: a)

  Kematangan teknologi, dimana struktur keahlian tenaga kerja mengalami perubahan.

b) Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan.

  c) Masyarakat secara keseluruhan merasa bosan dengan keajaiban yang diciptakan oleh industrialisasi, karena berlakunya hukum kegunaan batas semakin berkurang.

  5) Tahap Masa Konsumsi Tinggi.

  Pada masa ini perhatian masyarakat mengarah kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat dan bukan lagi kepada masalah produksi. Leading sectors, bergerak ke arah barang-barang konsumsi yang tahan lama serta jasa-jasa. Pada periode ini terdapat tiga macam tujuan masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang tersedia dan dukungan politis, yaitu:

  a) Memperbesar kekuasaan dan pengaruh negara tersebut ke luar negeri dan kecenderungan ini dapat berakhir pada penaklukan atas negara- negara lain.

  b) Menciptakan suatu welfare state, yaitu kemakmuran yang lebih merata kepada pendukungnya dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem perpajakan yang progresif, dalam sistem perpajakan seperti ini makin besar pendapatan maka makin besar pajaknya.

  c) Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat di atas konsumsi dasar yang sederhana atas makanan, pakaian, rumah keluarga secara terpisah dan juga barang-barang konsumsi tahan lama serta barang-barang mewah.

2.4. Penelitian Terdahulu

  Dewi (2008) melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh alih fungsi lahan sawah terhadap produksi tanaman pangan di Kabupaten Badung. Metode yang digunakan dengan menggunakan analisis regresi log linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah sangat bergantung pada banyak faktor misalnya terjadinya pembanguan fisik seperti perkantoran, jalan, perumahan dll. Luas lahan sawah nyata berpengaruh terhadap peningkatan produksi total tanaman padi,sedangkan luas sawah yang beralih ke non sawah belum dapat membuktikan pengaruh produksi padi secara total di Kabupaten Badung. Hasil ini di dukung oleh hasil uji statistik yang signifikan pada tingkat signifikansi 5%.

  Irawan dan Friyatno (2001). Melakukan penelitian dengan judul Dampak konversi lahan sawah di jawa terhadap produksi beras dan kebijakan pengendaliannya. Metode yang dilakukan dengan menggunakan analisis Model regresi linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara umum konversi lahan sawah banyak terjadi di Provinsi atau Kabupaten yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang relatif tinggi. Konversi lahan sawah cenderung menunjukkan penurunan produksi per satuan lahan yang semakin besar, sedangkan percetakan sawah cenderung menunjukkan peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil.

  Afriani (2009) melakukan penelitian dengan judul; Analisis pengaruh beberapa variable terhadap alih fungsi lahan perkebunan di Kota Semarang (kasus di PT. karyadeka alam lestari). Metode yang dilakukan menggunakan analisis Metode kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square (OLS). Hasil penelitian menun jukkan bahwa dari jumlah variable independen yang ada seperti produktivitas lahan, harga lahan, jumlah penduduk, PDRB, serta PDRB per kapita hanya jumlah PDRB perkapita berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan.

2.5. Kerangka Konseptual

  Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya mermuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasilpenelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995 :40). Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang akan digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social (Singarimbun, 1995: 33).

  Maka kerangka konsep yang akan diteliti adalah:

  • Menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi Pemerintah Kota Padangsidimpuan dalam mengkorversi lahan dengan metode survey.
  • Menganalisis laju konversi lahandari data konversi lahan yang diperoleh dari Kecamatan untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini.
  • Melakukan analisis keterkaitan harga lahan terhadap dampak pembangunan di daerah pemukiman.

  

Konversi Lahan Kesejahteraan Ekonomi

Pertanian (Pendapatan) Gambar 2.1

  

Kerangka Konseptual

2.6. Hipotesis

  Hipotesis merupakan personal yang sangat penting dimana hipotesis dimaksud merupakan petunjuk di dalam pengumpulan data yang diperlukan, disamping itu biasa digunakan sebagai alat untuk menghubungkan penyelidikan- penyelidikan yang bersangkutan dengan permasalahan. Berdasarkan permasalahan di atas penulis mencoba mengemukakan hipotesis sebagai berikut: Konversi lahan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi (pendapatan) di Kecamatan Batunadua.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Stambuk 2013/2014 tentang Akne Vulgaris

0 1 13

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj) Provinsi Sumatera Utara

0 0 28

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj) Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 28

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 20

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ASURANSI DI INDONESIA A. Sejarah Asuransi di Indonesia - Aspek Hukum Penggunaan Jasa Asuransi Oleh Bank Sebagai Pengalihan Resiko Dalam Pemberian Kredit(Studi Pada Pt. Bank Sumut Cabang Lima Puluh)

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Penggunaan Jasa Asuransi Oleh Bank Sebagai Pengalihan Resiko Dalam Pemberian Kredit(Studi Pada Pt. Bank Sumut Cabang Lima Puluh)

0 0 17

Analisis Pengaruh Pendapatan Konsumen, Harga, Brand smartphone, Dan Kualitas Smartphone Terhadap Keputusan Masyarakat Kota Medan Dalam Memilih Smartphon

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Smartphone - Analisis Pengaruh Pendapatan Konsumen, Harga, Brand smartphone, Dan Kualitas Smartphone Terhadap Keputusan Masyarakat Kota Medan Dalam Memilih Smartphon

0 0 20

KATA PENGANTAR - Analisis Pengaruh Pendapatan Konsumen, Harga, Brand smartphone, Dan Kualitas Smartphone Terhadap Keputusan Masyarakat Kota Medan Dalam Memilih Smartphon

0 0 14