Aku adalah refeleksi dari segala interak

Aku Adalah Refleksi dari Segala Interaksiku
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Mahasiswa Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Indonesia, Depok 16424
chairul.smada@gmail.com
Abstrak
Tulisan saya ini merupakan tulisan yang didasarkan pada pengalaman pribadi, tentang
bagaimana sebuah interaksi dengan berbagai kebudayaan membentuk diri saya. Berbagai budaya
yang saya serap dari suatu interaksi telah menciptakan suatu diri. Diri saya adalah refleksi dari
interaksi saya dengan ayah saya yang agamis, ibu saya yang kejawen serta berbagai pengalaman
hidup.orang – orang yang saya temui berpengaruh besar terhadap diri saya yang sekarang.
Kata kunci

:

Interaksi, Budaya, Refleksi, Diri, Kejawen

My writing is writing that is based on personal experience, about how an interaction with
various culture forms myself. The different cultures that I absorbed from an interaction have created
one myself. My self is a reflection of my interaction with my dad who was good religion, my mother
who kejawen and various life experiences. people – influential people I met on my self now.

Keyword

:

Interaction, Culture, Reflection, Self, kejawen

Pengantar
“Aku adalah refeleksi dari segala interaksiku”, itu yang mungkin bisa
mendeskripsikan diriku sebagai seorang individu. Aku adalah seorang
anak laki – laki dari sebuh keluarga sederhana. Aku hidup di daerah kecil
di jawa

timur tepatnya di Nganjuk. Mungkin tidak banyak yang

mengetahui tentang daerah asalku ini. Tetapi percayalah, tempat itu
adalah suatu tempat yang sangat kurindukan. Tempat terbentangnya
hamparan sawah yang luas, pohon – pohon yang asri, tanah yang subur
dan masyarakat yang masih bergotong royong.
Keluargaku adalah keluarga kecil. Secara silsilah pun keluarga kami
tidak mempunyai silsilah bangsawan, atau pun keturunan orang besar.

Jika Geertz (1964) mengklasifikasikan masyarakat jawa menjadi 3
golongan. Keluarga kami dalam klasifikasi Geertz mungkin tergolong
“santri”. Tetapi tidak sepenuhnya begitu. Kami lebih beranggapan bahwa
keluarga kami seperti istilah orang jawa kebanyakan yaitu “wong

cilik”.kami lebih suka menggunakan istilah tradisional orang jawa seperti
priyayi/bangsawan dan wong cilik untuk mengklasifikasikan keluarga
kami. Pertama – tama aku akan menceritakan tentang asal - usul singkat
keluargaku. Khususnya ayah dan ibu, bagaimana kebudayaan membentuk
mereka melalui internalisasi yang ditnamkan oleh keluarganya. Sehingga
internalisasi itu melekat ketika mereka mendidiku.
Ayahku adalah seorang keturunan dari keluarga miskin di kediri. Di
waktu kecil beliau di didik secara keras oleh orang tuanya. Beliau benar –
benar dibekali disiplin oleh orang tuanya. Apabila membantah orang tua,
siap – siap untuk dipukul “njalin”(semacam rotan dan lidi). Sering pula
ayahku dihukum di “grujuki”(diguyur dengan air di kamar mandi secara
paksa)kadang pula beliau dikunci di kamar mandi. Memasuki masa SLTP
kakek meninggal. Di situ keluarga benar – benar mengalami masa yang
sulit. Keluarga kehilangan sosok pencari nafkah, sekaligus imam keluarga.
Sebuah pukulan yang berat bagi ayahku yang ketika itu masih sangat

muda. Kondisi ekonomi keluarga yang memang sangat kurang, memaksa
ayahku membiayai sekolahnya dengan berjualan jajanan di pasar setiap
pulang sekolah, maupun jika ada waktu kosong. Mulai dari masa SLTP ini
ayahku mulai mondok. Mulai dari sini beliau menerima enkulturasi dari
lingkunganya, yaitu nilai – nilai agama yang kuat pada dirinya.
Setamat dari SLTA ayahku berniat untuk kuliah. Pada waktu itu
kuliah memang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Dikarenakan
biaya kuliah yang mahal. Tentu sangat sulit bagi keluarga untuk
membiayai biaya kuliah ayahku. Tetapi untungnya pada saat itu sudah
ada dari saudara ayahku yang sudah bekerja, yaitu kakaknya. Waktu
semasa kuliah ayahku banyak dibantu oleh kakaknya untuk pembiayaan.
Tetapi tentu biaya yang ditanggung pun masih sangat berat. Maka dari itu
beliau tetap mencari sumber penghasilan untuk menutupi biaya kuliah.
Salah satunya dengan menjual lukisan – lukisan.
Ayahku kuliah di IKIP Malang(sekarang Universitas Negeri Malang).
Beliau mengambil jurusan kesenian. Karena ketrampilan itu beliau dapat
menjual lukisan untuk menutup biaya kuliahnya. Kondisi beliau saat kuliah

pun serba pas – pas an. Beliau kos dengan satu kamar yang sempit dan
di’isi empat orang. Beliau pun sering berpuasa, hampir setiap hari. Ini

dikarenakan uang saku yang memang pas – pasan. Seluruh kerja keras
dan semangat masa mudanya pun berbuah manis. Beliau berhasil
menjadi sarjana dan diangkat menjadi PNS(guru) di SMAN 1 Gondang,
sebuah daerah yang masih terbelakang di Kabupaten Nganjuk. Dengan
perjuangan masa muda beliau yang begitu keras, itu berpengaruh pada
cara mendidik beliau kepadaku. Aku diajarkan kerja keras, menghindari
sifat manja, dan harus bisa memposisikan diri di kondisi yang tersulit
sekalipun.
Ibuku adalah anak ketiga dari 5 bersaudara. Ibuku tinggal di sebuah
desa yang kecil dan jauh dari kota, desa Ngluyu namanya. Aku tidak tahu
banyak tentang ibuku, karena memang ibuku jarang menceritakan masa
kecilnya kepadaku. Tetapi ada beberapa yang pernah diceritakan beliau
tentang masa kecilnya yang aku masih ingat. Keluarga ibu adalah
keluarga petani di desa yang masih sangat tertinggal, di sini belum ada
tembok beton, belum pula ada tembok “cor – coran” (disemen) . rumah
disini masih sangat tradisional, terbuat dari kayu, berlantai tanah dan
berbagai perabot tradisional yang menghiasi rumah ini. Tetapi dengan
keadaan seperti itu bukan berarti keluarga ibu miskin, keluarga ibu
termasuk golongan yang “berada” karena memiliki tanah yang cukup luas
baik di rumahnya maupun di sawah. Kakek juga bekerja sebagai pegawai

negeri di hutan di daerah perbatasan Gondang – Ngluyu. Selain itu nenek
juga menggarap sawah milik keluarga, karena itu kebutuhan keluarga pun
tercukupi.
Didikan yang diberikan kakek dan nenekku adalah sederhana yaitu
mengejarkan budaya “kejawen”, seperti tata krama dalam berbahasa dan
berperilaku. Dalam masyarakat jawa dalam klasifikasi bahasa terdapat
tiga tingkatan yaitu, bahasa “ngoko “(digunakan pada sesama dan yang
lebih muda), “ngoko alus/kromo andhap” (digunakan kepada orang yang
dihormati sesama maupun lebih tua), dan “Kromo inggil” (digunakan
kepada yang lebih tua dengan tingkatan yang paling halus/tinggi).

Sedangkan klasifikasi tingkah laku lebih kompleks lagi, misalnya jika
bertemu

orang

tua

harus


menundukan

kepala,

sebagai

tanda

menghormati. Jika bertegur sapa dengan orang lain haruslah memasang
senyuman, meskipun perasaan mungkin berbicara lain.
Mungkin inilah yang dikatakan orang di luar budaya jawa, bahwa
“stereotipe” orang jawa itu “munafik”, karena mencoba menyembunyikan
perasaaanya dengan keramahan. Padahal tidak juga, orang jawa mencoba
menjaga keramahan adalah untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan
hubungan. Disinilah letak permasalahanya, orang yang tidak mengerti
budaya jawa akan menganggap orang jawa munafik, sehingga timbul
“etnosentrisme”

(W.G.


mungkin

menganggap

akan

Sumner).

Sedangkan

fenomena

ini

orang

yang

sebagai


mengerti

“relativisme

kebudayaan”. Itulah nilai – nilai yang ditanamkan kakekku pada ibuku,
“ibuku perempuan jawa”.
Satu hal yang sangat sulit disini adalah akses pendidikan,
bagaimana tidak, disini hanya ada sekolah dasar, sedangkan sekolah
menegah pertama dan sekolah menengah atas hanya ada di daerah
Gondang yang berjarak kurang lebih 15 kilometer. Karena keadaan ini,
ibuku di waktu kecil sudah diajari hidup merantau, kakek dan nenekku
“tidak mau anak – anaknya bodoh”. Meskipun jauh mereka tetap
menyekolahkan. Terkadang ibu harus naik angkutan desa penuh sesak
dengan barang – barang pertanian dan ternak untuk pulang pergi ke
sekolah. Sering pula beliau menginap di rumah saudara yang ada di
Gondang, karena jarak 15 kilometer memang cukup jauh, angkutan masih
cukup

mahal.


Sedangkan

jika

bersepeda

mungkin

akan

sangat

melelahkan.
Setamat SMA ibuku mulai melanjutkan pendidikanya merantau ke
tempat yang jauh, yaitu di Kediri. Beliau disini hanya kuliah dua tahun,
dan tidak melanjutkan dikarenakan tradisi lama masyarakat, yaitu
menikah di usia yang muda. Ini yang menjadi kekecewaan dan penyesalan
terbesar di hidup ibuku sampai sekarang ini. “Ibuku bukan sarjana”. Itulah
gambaran singkat mengenai watak kedua orang tuaku, ayahku yang


“agamis” dan ibuku yang “kejawen”. Dan memang benar ternyata nilai –
nilai itulah yang di’internalisasikan kepadaku sejak kecil. Masa kecilku
sangat dididik dengan agama dan budaya jawa.
Waktu aku kecil umur tiga tahun aku sudah dititipkan di “langgar”
(surau) dekat rumah untuk beajar mengaji. Ayahku benar – benar
menginginkan aku menjadi manusia yang baik. Seperti yang tertulis
dalam namaku, yaitu “Chairul Anam Bagus Haqqiasmi”. Chairul Anam
artinya sebaik – baiknya manusia. Sedangkan Bagus dalam budaya jawa
berarti baik, Haqqiasmi, Haqqi artinya adalah ahli hukum (mungkin
maksud ayahku ahli syariat dan fiqih), sedangkan asmi adalah nama
keluarga. Dengan nama itu mungkin sudah terlihat harapan kedua orang
tuaku memang menginginkan Islam dan jawa melekat pada diriku.
Masa Pra – Sekolah, Penanaman Nilai - Nilai
Pada masa ini orang tuaku sangat memperhatikanku, bagaimana
aku harus bertingkah laku, bagaimana aku harus bergaul, dan bagaimana
aku harus belajar. Aku sering disebut sebagai anak durhaka ketka aku
kecil, hal ini dikarenakan aku yang selalu membangkang perintah orang
tua, selalu ingin menangnya sendiri, tidak mau kalah dan “sak deg sak
nyet” (jika meminta sesuatu harus dipenuhi saat itu juga). Tetapi sifat
inilah di kemudian hari yang menolongku.

Orang tuaku sangat membatasiku dalam bergaul, mereka selalu
memilihkan teman yang dirasa baik untukku, dan tidak jarang pula
mereka melarang aku berteman dengan seseorang karena perbedaan
cara mendidik.
Contohnya dulu ketika aku kecil, di dekat rumahku ada sebuah
padepokan reog ponorogo, dan di padepokan itu aku mempunyai seorang
teman.

Tetapi

ayahku

malah

melarang

aku

berteman

dengannya

dikarenakan latar belakang keluarga padepokan yang dimilikinya. Tidak
aneh memang karena

ritual yang dilakukan padepokan disitu memang

mistis, seperti menyembah “mbah watu” (batu yang dikeramatkan)
sebelum pementasan reog dimulai. Tak ayal ayahku yang belajar tauhid,

mungkin

menganggap

hal

itu

sebagai

sesuatu

yang

musyrik

(mempersekutukan tuhan) . Ayahku memang tidak pernah belajar
sosiologi maupun antropologi, tetapi beliau spertinya tahu anak – anak
seumuranku cenderung melakukan “imitative learning”.
Suatu hari aku memasuki taman kanak – kanak, disitu aku diajarkan
berbagai macam hal oleh guruku. Salah satu pelajaran yang masih aku
ingat adalah, guruku menerangkan tentang macam – macam hewan yang
ada di dunia. Pada waktu itu, aku sangat kagum degan hewan singa,
hewan yang menurutku paling ideal, yang juga dijuluki “si raja hutan”.
Aku

sangat terobsesi

dengan

seekor

singa,

bagaimana

dia

tidak

terkalahkan di habitatnya. Kebetulan juga aku lahir 9 agustus, menurut
ilmu astrologi, tanggal kelahiranku digambarkan dengan simbol “leo” . Itu
semakin mensugesti diriku sebagai penguasa, sebagai pemimpin dan
sebagai orang yang kuat. Memang kelihatanya konyol, tetapi itulah pikiran
seorang anak – anak.
Dengan sugesti itu aku selalu terpacu untuk menjadi seorang
pemimpin di taman kanak – kanak. Aku mulai sering diberi kesempatan
oleh guruku sebagai petugas upacara. Kadang sebagai pengibar bendera,
kadang sebagai komandan regu, sering pula menjadi pemimpin upacara.
Dari situ aku juga menyimpulkan bahwa budaya bisa masuk lewat mana
saja, tidak hanya dengan belajar dari nilai – nilai yang ditanamkan orang,
tetapi dapat juga melalui sesuatu yang kita memiliki minat disana.
Memang hewan, termasuk singa tidak memiliki kebudayaan, tetapi doktrin
singa sebagai raja hutan dan pemimpin itu memberikan suatu gambaran
“role model” kepemimpinan. Dan kurasa semua budaya itu ada karena
belajar tingkah laku, seperti yang diungkapkan oleh C. Kluckhohn, A. Davis
atau A. Hobel tentang teori “Learned Behaviour”nya.
Saat yang paling kusukai ketika aku kecil adalah saat membeli
bakpau, jika aku mendapatkan prestasi atau pencapaian, semisal tamat
Iqro’, bisa menghafal surat – surat di al qur’an, atau nilai sekolahku yang
baik. Aku selalu minta dibelikan bakpau dan diajak jalan – jalan ke gedung
juang 1945. Itu adalah salah satu tempat bersejarah di Nganjuk, banyak

tank – tank dan pesawat Jaman penjajahan dulu dipamerkan disini. Aku
selalu bersemangat untuk menaiki tank – tank yang dipamerkan itu.
Bagiku para pahlawan dulu yang bertempur adalah superhero, dan tank –
tank, serta pesawat Indonesia adalah sesuatu yang langka, sebab
sebagian besar alat tempur adalah milik penjajah. Aku tak pernah bosan
berkunjung kesini, meskipun hanya saat – saat aku meraih pencapaian
tertentu aku bisa kesini. Orang tuaku memang menerapkan sistem
“reward” dan “punishement”. Yaitu memberi aku hukuman jika aku
melakukan kesalahan, dan memberikan imbalan ketika aku mencapai
pencapaian tertentu. Cara ini membuatku belajar untuk berdisiplin dan
mencoba mencapai suatu prestasi tertentu.
Seperti yang kukatakan diatas, keluargaku adalah sebuah keluarga
yang sederhana, keluarga kami tidak memiliki mobil, ayahku mempunyai
prinsip, haram baginya membeli mobil sebelum bisa haji ke tanah suci.
Mrnurut agama Islam memang tidak diperkenankan bagi seseorang yang
secara materi sudah mampu melaksanakan haji, tetapi materi yang
diperoleh di hibahkan untuk sesuatu yang lain, yang bahkan harganya
lebih mahal daripada naik haji, contohnya mobil. Selain tidak mempunyai
mobil, keluarga kami juga sangat berhemat dari pengeluaran apapun.
Bahkan makan pun, keluarga kami sangat hemat dalam membelanjakan
lauk yang kira – kira murah untuk di beli. Karena latar belakang yang
sangat sederhana itulah aku menjadi seseorang yang sangat benci
terhadap kehidupan bermewah – mewahan, hedonisme dan pemborosan.
Dari situ aku sangat beruntung merasa menjadi seorang yang “pernah
miskin”,

sehingga

konsep

“grass-root

understanding”

(pemahaman

terhadap akar rumput/rakyat kecil) memang benar – benar tertanam di
dalam diriku.
Masa Sekolah, Masa Mempelajari Interaksi di Sekitar Lingkungan
Saat lulus dari taman kanak – kanak ibuku mendaftarkanku di salah
satu sekolah ternama di Nganjuk, yaitu SDN Payaman II, sekolah ini
adalah salah satu dari anggota “the big four” SD favorit di kotaku.
Anggota lainnya adalah SDN Ganung Kidul I, SDN Payaman III, dan SDN

mangundikaran

I. Bersekolah di sekolah favorit

tentu

mempunyai

persaingan yang lebih berat, tetapi dengan persaingan yang lebih berat
itulah aku dapat terus mengejar para pesaingku. Masa – masa SD, aku
tidak terlalu menonjol, ranking kelas pun paling tinggi hanya bertengger
di peringkat 5, itupun cuma dua kali. Tetapi pada masa ini adalah masa
yang sangat menyenangkan
Kehidupan anak SD, adalah kehidupan yang sangat menyenangkan.
Disitulah masa – masa bermain, mulai mengenal banyak teman, mulai
belajar bertanggung jawab. Di masa ini kehidupanku sangat berbeda
dengan anak – anak jaman sekarang. Ada beberapa yang membuatku
sangat terkenang pada masa ini, yaitu ialah ketika bermain berbagai
permainan tradisional. Hampir setiap hari aku dan teman – teman
menghabiskan waktu untuk bermain “pathok lele”, “sarimbi”, “sokdor”
dan masih banyak lainya. Permainan pada masa kecilku dulu disitu sangat
dituntut untuk berinteraksi dengan orang lain, bagaimana belajajar
berinteraksi, bagaimana memaknai suatu kolktivitas dan bagai mana
memaknai suatu kebersamaan. Hal ini tentu berbeda dengan anak – anak
jaman sekarang yang lebih memilih bermain game. Secara tak langsung
hal itu membuat anak lebih individual karena tidak berinteraksi langsung
dengan teman – temannya yang lain. Memang globalisasi adalah suatu
proses yang tidak dapat ditolak, hal ini juga yang telah menyebabkan
“transformasi kebudayaan” .
Ada beberapa guru yang sangat membuatku terkesan pada saat
sekolah dasar ini. Salah satunya guruku saat aku masih kelas 1. Namanya
bu Masini, beliau terkenal adalah guru yang paling disiplin di sekolah.
Beliau juga sangat terkenal sebagai guru yang “kereng” (keras) cara
mendidiknya. Tidak jarang beliau melemparkan kapur ke muridnya yang
tidak memperhatikannya, dan tidak jarang pula beliau menghukum siswa
di depan kelas karena melakukan kesalahan. Ini pertama kalinya aku
merasa dididik oleh guru yang benar – benar bisa mengajariku tanggung
jawab. Entah kenapa aku sangat senang dididik oleh guru – guru sekolah
dasar, aku merasa guru – guru sekolah dasar adalah guru yang terbaik.

Mereka menerangkan dengan sangat jelas mata pelajaran yang sedang
diajarakannya. Menurut pandanganku, guru –guru SD jaman dahulu
mempunyai bhakti pengabdian yang sangat luhur, mereka tidak hanya
mengajarkan intelektualitas, tetapi mereka mengajarkan bagaimana ber
akhlak ynag baik, berdisiplin, bertanggung jawab dan berbagai hal
mendasar lainnya.
Aku lulus SD dengan nilai ujian nasional yag sangat memuaskan
ketika itu. Aku tak menyangka bahwa nem ku adalah salah satu yang
tertinggi di sekolah. Berbekal ijazah aku mulai berpikir untuk malenjutkan
sekolah di SMP idamanku, SMPN 1 Nganjuk, SMP ini adalah SMP favorit
satu – satunya di kotaku. Sebenarnya orang tuaku ingin mengirimku ke
pondok pesantren seperti kakakku, tetapi lagi – lagi aku menolak. Aku
berpikir sekolah umum lebih menjanjikan daripada sekolah agama, karena
banyak

diantara

sekolah

agama

dan

pesantren

yang

sudah

“disalahgunakan”. Dalam artian begini, seolah agama sekarang ini
kualitasnya sudah tidak sebagus dulu, dikarenakan banyak siswa yang
masuk disitu bukan karena ingin belajar agama, tetapi karena tidak
diterima di sekolah umum. Hal ini yang menjadi ironi. Itu kenapa aku
menolak saat akan didaftarkan ke pesantren oleh orang tuaku. Aku
berpikir di sekolah umum juga ada majelis ta’lim yang bisa sebagai wadah
untuk menimba ilmu agama.
Di masa SMP ini adalah masa yang cukup kusesali, bersekolah di
sekolah favorit malah membuatku terlena. Waktuku banyak dihabiskan
untuk bermain bersama teman - teman dibandingkan belajar. Prestasi
belajarku mulai menurun, di saat ini pula aku mulai kesulitan dengan
pelajaran matematika. Matematika yang kuremehkan saat kelas I SMP
membuat aku kesulitan saat sampai SMA nantinya. Aku baru sadar kalau
matematika merupakan suatu pelajaran yang runtut, yaitu jika kita
ketinggalan dalam suatu bab tertentu kita akan kesulitan di bab
berikutnya.
tersruktur.

Karena

matematika

merupakan

pelajaran

yang

sangat

Di masa SMP ini aku mulai mengenal apa yang disebut organisasi.
Aku mulai mengenal Pramuka, Pmr dan OSIS. Aku mengikuti Pramuka dan
PMR. Bekal organisasi memberikan dmpak yang besar dalam hidupku.
Dari situ aku tahu ternyata organisasi merupakan sebuah sistem di dalam
masyarakat. Tanpa organisasi suatu masa tidak akan bisa menjalankan
sistem. Dengan belajar organisasi ini aku tahu apa makna memimpin dan
dipimpin. Melalui organisasi aku diajarkan banyak hal tentang komunikasi
interpersonal,

tentang

bagaimana

memimpin

sebuah

sistem

dan

bagaimana sebuah sistem organisasi itu bergerak.
Aku melanjutkan sekolahku di SMAN 2 Nganjuk, SMA yang memiliki
reputasi besar di kotaku, SMA ini jika disaingkan dengan SMA – SMA di
kota besar misalnya Kediri, Malang dan Surabaya tidak akan kalah. SMA
ini dikenal memiliki lulusan – lulusan yang banyak diterima di perguruan
tinggi. Aka masuk di SMA ini dengan terseok – seok di urutan 303 karena
memang nilai nemku yang pas – pasan. Dari nilai nemku yang pas – pasan
itu aku mulai bertekad untuk mengubah cara belajarku, dan benar – benar
bersungguh – sungguh untuk menuntut ilmu.
Pada saat SMA ini sangat banyak kegiatan yang ku ikuti dari
membuka usaha percetakan sampai mengikuti berbagai organisasi di
sekolah. kesibukanku ini membuatku sering di tegur oleh orang tuaku,
karena aku mulai sering melalaikan untuk membaca al – qur’an.
Pelanggaran yang ku buat ini mungkin termasuk folkways (kebiasaan)
menurut W.G. Sumner. Dimana sebuah kebiasaan norma keluarga yang
aku langgar. Dan snksi yang diberikan memang tidak cukup tegas, yaitu
hanya berupa teguran. Aku sangat sering dimarahi ayahku gara – gara hal
ini. Ayahku memang seseorang yang berwatak keras, mungkin ini yang
dimaksudkan oleh Ruth Bennedict (1934) tentang “ethos” yaitu watak
khas yang dimiliki oleh seseorang. Seperti watak keras ayahku.
Pada saat kelas I aku mulai mencoba membuka percetakan, aku
cukup terinspirasi oleh enterpreneur – enterpreneur yang sudah sukses.
Aku

mendirikan

sebuah

percetakan

bersama

seorang

temanku.

Percetakan ini kuberi nama “Splat Digital Art” . aku mulai belajar desain

grafis lewat berbagai buku, sampai sangat banyak koleksi bukuku tentang
desain grafis ini. Bisnis yang kujalani bersama temanku ini tanpa disangka
–sangka sangat cepat berkembang. Berawal dari temanku yang berhasil
membuat stiker dan kaus, bisnis kami mulai laris. Bahkan dalam waktu
satu minggu, pernah kami meraup keuntungan sampai satu juta. Tetapi
karena kalkulasi bisnis kami yang cukup lemah ada beberapa masalah
disini, seperti rusaknya alat pencetak stiker, terbenturnya kegiatan bisnis
dengan jadwal kegiatan sekolah dan lain – lain.
Kelas II kami mulai menutup usaha kami dikarenakan aku terpilih
sebagai ketua OSIS di sekolah dan temanku terpilih menjadi sekretarisnya.
Pengalaman menjadi ketua OSIS inilah yang akan benar – benar merubah
hidupku.
Sekolah kami adalah sekolah yang terkenal organisasinya (OSIS)
luar biasa. Bagaimana tidak, waktu dies natalis sekolah saja sekolah kami
dapat mengadakan 8 kegiatan tingkat kabupaten dan propinsi, dengan
dan hanya sepuluh juta. Bahkan salah satu acara kami “The Real of
Festifal Music Smada” menghabiskan dana sampai 30 juta untuk
melaksanakanya. Dikarenakan festival musik ini selain memiliki biaya
operasional yang besar, juga mengundang bintang tamu artis yang harga
sewanya sampai dua puluh juta, antara lain Andi AFI, Flanella, NTR dan
Steven Jam. Sekolah kami adalah satu – satunya lembaga yang bisa
mendatangkan artis – artis. Bahkan Even Organizer pun belum mampu.
Dan hebatnya, semua kegiatan ini tidak terlalu besar campur tangan guru
di dalamnya, itu kenapa saya berani berkata bahwa OSIS sekolah kami
memang luar biasa. Dapat melakukan sesuatu yang “imposible” menjadi
“posible”. Memang pemuda disini luar biasa, idealisme mereka begitu
tinggi, sehingga kami dapat melaksanakan acara dengan sukses.
Pernah suatu ketika kegiatan yang kami ajukan ditolak oleh seorang
pembina. Kami waktu itu merancang dua kegiatan akbar yaitu sepeda
santai dan festival musik. Dua kegiatan ini menyedot dana yang luar
biasa, kurang lebih lima puluh juta. Dengan uang kami yang cuma
sepuluh juta dan dibagi ke 8 buah acara jumlah ini mungkin sangat tidak

rasional. Tetapi kami tidak kehabisan akal. Kami mencari sponsor, kami
mengajukan proposal dari toko – ke toko. Di Kabupaten Nganjuk memang
sangat sulit mencari sponsor, dikarenakan industri belum berkembang
disini. Tetapi kami tidak menyerah, kami mencoba mencari bantuan ke
luar kota, semua pengurus OSIS kami turunkan di berbagi kota besar
sekitar, seperti Kediri dan Surabaya. Tetapi usaha kami itupun belum
cukup berhasil. Maka kami harus merelakan acara sepeda santai untu
diganti acara jalan santai.
Tetapi

uang

yang

kami

kumpulkan

ternyata

cukup

untuk

mengadakan festival musik. Tak di duga – duga pembina kami tidak
menyetujui

kegiatan

kami.

Beliau

mengangga

kami

tidak

bisa

melaksanakan acara tersebut. Alhasil kami mengumpulkan masa seluruh
pengurus OSIS untuk berbicara dengan beliau di kediaman beliau. Warga
sekitar panik, karena kami membawa masa yang sangat banyak. Setelah
kami bernegosiasi, ternyata hasilnya tetap buntu. Maka kami putuskan
untuk menghadap kepala sekolah secara langsung. Bernegosiasi dengan
kepala sekolah ternyata acara kami disetujui alhasil bergembiralah kami
semua.
Masa OSIS adalah masa yang luar biasa menurutku, disitu aku benar
– benar mendapatkan pengalaman yang berharga. Seperti pengalaman
bekerja hingga pagi, pengalaman mengerjakan mobil karnaval hingga
satu minggu aku tidur di sekolah, dan pulang hanya untuk mengambil
seragam. Benar – benar masa yang member pelajaran untukku, terutama
pelajaran untuk bekerja keras, yang menjadi pola pikirku sampai
sekarang. Itulah “ethos” yang kudapat dari pengalaman selama menjabat
Ketua OSIS. Sampai saat ini pun aku sangat mensyukuri penglaman yang
kudapat dari OSIS. Ini adalah suatu bentuk “learned behavioural” yang
baik.
Tanpa terasa aku sudah beranjak kelas III SMA. Waktu begitu cepat
berlalu, tibalah saatnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Yaitu
mencari perguruan tinggi. Kelurgaku adalah termasuk keluarga yang
“buta perkuliahan”. Mereka tidak tahu kuliah yang baik itu dimana, dan

bagaimana. Ini salah satu yang membuatku kesulitan. Aku benar – benar
buta perkuliahan. Mataku benar – benar terbuka ketika aku beranjak kelas
3 dan banyak mencari tahu tantang perkuliahan. Aku banyak mencari
literatur dari ruang Bimbingan dan Konseling. Disana aku meminjam buku
– buku tentang profil universitas. Dari sana aku baru tahu yang
sebenarnya tentang apa itu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah
Mada, Brawijaya dan lainnya.
Awal ketertarikanku pertama adalah dengan UGM, aku berpikir UGM
adalah tempat yang ideal untuk aku meneruskan kuliah. Tetapi pikiranku
berubah jatuh ke UI ketika aku mendengar cerita tentang guruku yang
anaknya ketiga – tiganya sukses setelah merantau di UI. Menurut prinsip
guruku orang yang merantau jauh akan mendapatkan suatu ilmu yang
jauh lebih banyak dan lebih baik daripada orang yang merantau dekat
dengan daerah asal. Terbukti dua anak dari guruku itu menjadi dokter dan
yang satunya menjadi diplomat. Mulai saat itu aku mulai memantapkan
target untuk kuliah di UI.
Aku mulai belajar hingga larut malam hampir setiap hari. Aku
merasa sudah terbiasa untuk “high workload” karena pada masa saat aku
menjabat ketua OSIS dulu juga dituntut seperti itu, dan sifat ini sudah
menjadi suatu ethos. Aku berkomitmen akan terus belajar sampai minimal
jam 12 malam. Aku tidak boleh tidur di bawah jam 12 malam. Dan saat
bangun pagi pun begitu, setelah sholat shubuh aku selalu belajar. Aku
belajar lebih keras karena ternyata jurusan yang kudamba – dambakan
ada di rumpun ilmu sosial, sedagakan aku mengambil jurusan ilmu alam
ketika SMA. Mulai saat itu aku mulai membuka buku – buku IPS sebagai
modalku menghadapi SNMPTN nanti.
Waktu ujian tulis SNMPTN pun tiba, dan di pengumuman yang ada
ternyata aku diterima di UI. Aku senang bukan main. Kuliah di kampus
terbaik di Indonesia adalah mimpiku dan pada saat itu, dan aku berhasil
meraihnya. Memang benar kalimat “Man Jadda wa Jadda”. Siapa yang
bersungguh – sungguh akan berhasil.

Awal kepindahanku merantau ke Depok diwarnai berbagai hal.
Pertama yang kurasakan saat awal kepindahanku ke depok adalah
“cultural shock”. Aku merasakan cultural shock setelah benar – benar
maninggalkan daerah jawa. Kebudayaan yang berlaku disini bukan
kebudayaan jawa maupun sunda, meskipunletaknya di jawa barat, budaya
yang berlaku di sini adalah pluralitas dari berbagai budaya indonesia yang
ber “diffusi” di Jabodetabek. Antara budaya yang ditanamkan oleh orang
tuaku degan budaya – budaya orang yang dimiliki disini sangat berbeda.
Bahkan orang jawa yang kutemui di sini pun ada sedikit perbedaan
degan ketika aku di Nganjuk. bila di daerah Nganjuk, Kediri , madiun dan
sekitarnya bahasa yang digunakan adalah warisan mataram. Sementara
di jombang, lamongan, dan Surabaya menggunakan bahasa jawa yang
lain yang istilahnya bahasa pesisir. Di daerah purwokerto dan sekiternya
pun berbeda, mereka memakai bahasa jawa banyumas. Secara garis
besar bahasa jawa sama, tapi agak berbeda di “kata – kata khusus, dialek
dan idiolek”.
Penutup
Di depok dengan budaya yang plural ini, aku menemukan suatu pola
yang khas seperti yang diungkapkan C. Kluckhohn dengan teorinya
“universal categories of culture”. Meskipun budaya itu berbeda – beda.
Tetapi budaya pasti memiliki unsur yang universal, yang semua budaya di
dunia mempunyainya. Hal ini yang diungkapkan Kluckhohn bahwa unsur
universal ituada tujuh, yaitu “bahasa,sistem pengetahuan, organisasi
sosial,sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
hidup,sistem religi dan kesenian”.dan aku menemukannya pada budaya
plural yang ada di Depok.
Disini pula aku bertemu dengan seorang teman dari ambon. Saat
aku menanyakan “bagaimana pendapatmu tentang orang jawa?”, dia
menjawab orang jawa itu halus tutur katanya, baik budi pekertinya, tetapi
tidak

jujur

dan

munafik.

Setelah

aku

belajar

tentang

relativisme

kebudayaan di Antropologi aku baru mengetahui ternyata memang tidak

ada nilai yang dianggap benar oleh semua kelompok. Yang ada adalah
nilai kebenaran dari suatu kelompok budaya tertentu. Misalnya dalam
kelompok pencuri, tentulah mencuri itu dianggap perbuatan baik dan
benar. Karena nilai yang ada di kelompok itu memang begitu adanya.
Berbede lagi misalnya perbuatan mencuri menurut perspektif para
kelompok ulama.pasti kelompok ulama itu menilai mencuri adalah
perbuatan yang tercela.
Setelah

mendengar

jawaban

temanku

tadi,

aku

mengajukan

pertanyaan lagi “apa sifat baik yang dimiliki orang ambon?”. Dia
menjawab “orang ambon itu singkat dalam penggunaan kata –kata, tetapi
padat makna, tidak seperti orang jawa yang terlalu basa – basi dan
bertele –tele”. Dari jawaban yang kedua ini aku juga melihat bahwa ada
kesalahan persepsi, orang jawa sebenarnya tidak bertele – tele, tetapi
dalam berkomunikasi orang jawa itu sangat menghargai kesopanan,
sehingga memiliki kesan basa – basi. Dari sini aku melihat bahwa yang
dikatakan (Ralp linton) benar bahwa ternyata budaya memang memiliki
“cultural interest” yang berbeda – beda. Sesuatu yang ditonjolkan budaya
jawa adalah kesopanan dan tata krama, sedangkan budaya ambon adalah
efektifitas dan kejujuran.
Dan budaya tertentu akan menghasilkan seseorang dengan karakter
budaya tersebut. Menurutku konsep diriku adalah seperti yang aku
katakan di awal, “aku adalah refleksi dari segala interaksiku”, interaksiku
dengan ayah, membentuk diriku yang agamis, interaksiku dengan ibu
membentuk

diriku

yang

kejawen,

interaksiku

ketika

aku

di

OSIS

membentuk ethos kerja kerasku, dan berbagai interaksi lainnya yang
membentuk

diriku

melalui

proses

“internalisasi,

sosialisasi

dan

enkulturasi”. Maka tidak berlebihan bila aku menyebut diriku sebagai
gabungan dari seluruh interaksiku selama aku hidup

Referensi
Koentjaraningrat.
2009 “Pengantar Ilmu Antropologi”
Kottak, Conrad Phillip
2011 “Cultural Anthropology” : Appreciating Cultural Diversity

Keterangan :



Tahun buku referensi adalah tahun buku revisi diedarkan
Berbagai pendapat para ahli yang terdapat di karangan otoetnografi
di ambil dari kedua sumber referensi tersebut.