Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Balita Bawah Garis Merah (BGM)

Balita merupakan individu yang berumur 0-5 tahun, dengan tingkat plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih terbuka untuk proses pembelajaran dan pengayaan (Departemen Kesehatan RI, 2009). Balita terbagi menjadi dua golongan yaitu balita dengan usia satu sampai tiga tahun dan balita dengan usia tiga sampai lima tahun (Soekirman, 2006).

Balita BGM adalah balita dengan berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah garis merah pada KMS. Balita BGM tidak selalu berarti menderita gizi kurang atau gizi buruk. Akan tetapi, itu dapat menjadi indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi.

2.2. Pola asuh 2.2.1. Pengertian

Pola asuh anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan ( fisik dan mental), pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak (Sunarti, 1998).

Konsep pola asuh sebagi faktor penentu status gizi anak masih baru bagi banyak orang diluar bidang gizi. Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam memenuhi


(2)

kebutuhan fisik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya (Engle, et al, 1997).

Secara sederhana pengasuhan dapat diartikan sebagi implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua kepada anak, sehingga memungkinnya anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik. Seperti: apa yang dilakukan orang tua ketika anak sakit, ketika anak tidak mau makan, ketika sedih, ketika menangis, ketika bertindak agresif atau ketika anak berbohong, itulah pengasuhan.

Dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa kepribadian orang tua angat menentukan pola interaksi ibu dan anak. Pengaruh struktur watak ibu yang mengasuh anak balita mempunyai efek yang sangat besar dalam hubungan ibu dan anak.

Pola pengasuhan yang baik terhadap anak balita adalah: a. Diberikan dalam satu rumah.

b. Dengan satu orang tua yang berperan sebagai ibu.

c. Dalam satu keluarga yang utuh yaitu terdiri dari ayah dan ibu.

d. Adanya keseimbangan pendidikan anak dalam suasana damai, dilandasi kasih sayang dan penerimaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida (2004) dikelurahan Belawan Bahari Kecamatan Medan Belawan, menunjukan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar. Tetapi sebaliknya di negara timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali dipegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat lainnya dan bukan pembantu. Tetapi tenyata anak yang dididik dalam


(3)

keluarga besar tersebut dapat tumbuh dengan kepribadian yang baik. Jadi lebih penting nilanya adalah suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga (Nadesul, 1995).

Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang di terapkan kepada anak balita dan pemeliharaan kesehatan, fungsi pokok ibu adalah sebagai ibu rumah tangga serta sebagai pelaku penting dalam kehidupan rumah tangga. Di samping ayah ibu juga sebagai penentu kesejahteraan keluarga melalui kegiatan sehari- hari didalam rumah tangga dan kegiatan diluar rumah baik mencari nafkah ataupun kegiatan sosial (Sulystyorini, 2007).

Masalah gizi dipengaruhi oleh salah satunya adalah pola asuh ibu terhadap anaknya. Lemahnya kemampuan ibu dan keluarga untuk memberikan pola asuh akan berakibat pada kejadian gizi kurang bahkan gizi buruk pada anak balita. Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, di samping harus mengatur pola makan yang benar, juga tak kalah pentingnya mengatur pola asuh yang benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (Peranginangin, 2006).

Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik- baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang memadai pada masa ini


(4)

juga, anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu, pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak (Sarah, 2008).

Adapun tipe- tipe pola asuh anak: a. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.

b. Pola asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak


(5)

dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab dalam menjalani hidup.

c. Pola asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain. (Anonim, 2008).

2.2.2. Pola asuh makan

Pola makan adalah cara seseorang, kelompok orang dan keluarga dalam memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang atau lebih dan mempunyai khas untuk satu kelompok tertentu (Lie, 1985). Penanaman pola makan yang beraneka ragam makanan harus dilakukan sejak bayi, saat bayi masih makan nasi tim, yaitu ketika usia baru enam bulan ke atas, ibu harus tahu dan mampu menerapkan pola makan sehat (Widjaja, 2007). Pola asuh makan


(6)

balita berkaitan dengan kebiasaan makan yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan (Karyadi, 2000).

Kasus gizi buruk banyak terjadi pada kelompok balita sehingga dikatakan sebagai kelompok rentan karena pada usia tersebut merupakan masa pertumbuhan yang pesat di mana memerlukan zat gizi yang optimal. Sampai saat ini masalah kesehatan dan gizi masih diprioritaskan untuk kelompok balita karena rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, pada masa tersebut merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang. Pada masa ini proses tumbuh kembang berlangsung sangat cepat disebut dengan masa keemasan (golden age), di mana pada masa ini otak berkembang sangat cepat dan akan berhenti saat anak berusia tiga tahun. Balita yang sedang mengalami proses pertumbuhan dengan pesat, memerlukan asupan zat makanan relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dan bergizi (Sutomo, 2010).

Engle, Menon dan Haddad (1996) menambahkan faktor ketersediaan sumber daya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan penyehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang memengaruhi status gizi. Pola pengasuhan turut berkontribusi terhadap status gizi anak, salah satu pola pengasuhan yang berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh makan.

2.2.3. Pola Asuh Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan

Setiap orang tua berkewajiban untuk memberikan perawatan dan perlindungan bagi anaknya. Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan datang menentukan bentuk, fisik, psikis, maupun intelegensinya sehingga masa ini


(7)

akan mendapatkan perawatan yang intensif (Sulistijani dan Herlianty, 2005). Bentuk perawatan bagi anak dimulai sejak bayi lahir sampai dewasa misalnya sejak bayi lahir yaitu memotong pusar bayi, pemberian makanan dan sebagainya.

Perawatan adalah kasih sayang yang diberikan ibu kepada anak untuk membantu pertumbuhan, menggendong, memeluk dan berbicara kepada anak akan merangsang pertumbuhan dan meningkatkan perkembangan perasaan anak. Rasa aman pada anak akan tumbuh apabila ia selalu berada dengan ibunya dan memperoleh air susu ibu sesuai dengan kebutuhan dan apabila sakit ibu selalu menyimpan obat dan membawa ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Perawatan yang baik pada anak ibu memberikan penjelasan yang jernih tentang apa yang harus dilakukan anak, ketentuan yang kokoh tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan memberikan penghargaan, ini merupakan prilaku yang baik dan cara yang efektif untuk mendorong anak menjadi anggota keluarga dan masyarakat yang produktif, orangtua dan anggota keluarga yang lain perlu melibatkan dalam perawatan anak. Peran seorang ayah dapat memenuhi kebutuhan anak terhadap cinta kasih sayang dan dorongan serta menjamin anak untuk memperoleh gizi yang baik dan perawatan kesehatan (Depkes RI, 2002).

Masa bayi dan balita sangat renta terhadap penyakit, seperti flu, diare, atau penyakit lainnya. Jika anak sering menderita penyakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembangnya. Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari pada orangtua, yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ke tempat pelayanan kesehatan yang terdekat (Soetjningsih, 1995).


(8)

Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terkena penyakit, yaitu:

1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan atau nafsu makan menurun. Akibatnya, daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit.

2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat.

Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak, membaik praktek pengasuhan kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status kesehatan anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Praktek perawatan kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit (Zeitlin dkk, 1990).

Praktek perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes (Zeitlin, 1990).

Pelayanan gizi dan kesehatan untuk anak balita dapat dilaksanakan dengan pemantauan pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan balita melalui sarana kesehatan yang baik meliputi posyandu, puskesmas, program kesehatan keluarga dan


(9)

program lainnya. Berbagai lembaga pelayanan dasar harus terjangkau baik secara fisik maupun ekonomi (sesuai daya beli) oleh setiap 30 keluarga termasuk mereka yang miskin dan hidup di daerah terpencil (Soekirman, 2000).

Balita perlu diperiksakan kesehatannya dibidan atau dokter bila sakit sebab mereka masih mempunyai resiko yang tinggi untuk terserang penyakit. Adapun praktik kesehatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan pemantaun kesehatannya adalah:

1. Imunisasi

Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada anak untuk melindunginya dari pada beberapa penyakit tertentu seperti Hepatitis B, Tuberkolusis, Tetanus, Polio, Campak. Pemberian harus sedini mungkin dan lengkap (Marimbi, 2010).

2. Pemantauan Pertumbuhan Anak

Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan aktif melakukan pemeliharaan gizi misalkan dengan datang ke Posyandu. Dengan aktif datang ke posyandu maka orang tua dapat mengetahui pertumbuhan anaknya (Marimbi, 2010).

2.3. Karakteristik Keluarga 2.3.1. Tingkat Pengetahuan Ibu

Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mungkin akan dapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh kembang dengan baik. Membesarkan anak sehat tidak hanya dengan kasih sayang belaka namun seorang ibu perlu keterampilan yang baik. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan kemampuan


(10)

untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan penyebab kejadian gangguan kurang gizi (Notoadmojo, 2007).

Ibu yang mempunyai pengetahuan tentang makanan yang bergizi, cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap sikap perawatan anak serta dalam perawatan memilih makanan. Menurut Suharjo (1996) suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada:

1. Tingkat pengetahuan sangat penting dalam meningkatkan status gizi yang optimal. Status gizi yang cukup merupakan syarat penting untuk kesehatan.

2. Pengetahuan gizi seseorang akan mempengaruhi status gizinya jika makanan yang dimakan dapat menyediakan zat-zat gizi yang nantinya diperlukan untuk pertumbuhan tubuh.

3. Dengan adanya ilmu gizi masyarakat dapat belajar menggunakan pangan untuk perbaikan gizi.

Pengetahuan ibu tentang gizi seimbang sangatlah penting. Mengingat peran ibu dalam keluarga sebagai pengelola makanan. Ibu yang tidak tau gizi makanan, akan menghidangkan makanan yang tidak seimbang gizinya. Berbagai faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada balita adalah ketidaktahuan akan hubungan makananan dan kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makananan tertentu, adanya kebiasaan atau pantangan yang merugikan, kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat (Marimbi, 2010).


(11)

Ketidaktahuan ibu balita akan kebutuhan gizi balita bisa mengakibatkan asupan gizi pada anak tidak terpenuhi dengan baik maka proses tumbuh kembang anak akan terhambat, anak bisa mengalami penyakit kurang gizi. Anak yang mengalami defesiensi gizi pada umur semakin muda, kemungkinan besar akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan kapasitas intelektualnya rendah (Sediaoetama, 2008).

Gizi balita tergantung penuh oleh ibunya, jika ibu tahu dan memperhatikan gizi balitanya, ibu akan mencari info tentang gizi yang baik untuk balita dan berusaha memberi yang terbaik untuk balitanya. Karena pengetahuan ibu berpengaruh pada perilaku ibu dalam memenuhi gizi balitanya. Semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi maka status gizi balitanya juga akan baik.

2.3.2. Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan gizi yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakatuntuk menyerap informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam kesehatan dan gizi (LIPI, 2000).

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikan dan sebagainya. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala


(12)

informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 1998).

Pendidikan ibu merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk mengembangkan diri. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam merespon sesuatu yang datang dari luar, seperti sikap atau penerimaan anjuran atau nasehat. Orang berpendidikan tidak akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingakn orang yang berpendidikan rendah maupun yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah mengembangkan pengetahuan dan tekhnologi sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarga (Hapsari dkk, 2001).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Imam Hadi (2005), menunjukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi balita, dalam prevalensi berat badan rendah adalah 13% lebih tinggi daripada anak yang ibunya tidak berpendidikan SD (36%) dibandingkan dengan anak yang ibunya berpendidikan setingkat SMP atau lebih (23%). Menurut Adisasmito (2007), mengatakan unsur pendidikan ibu berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak, apabila ibu berpendidikan lebih baik maka mengerti cara pemberian makan, menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan bebas dari penyakit. Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan menggunakan perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan yang ada dari ibu yang tidak memiliki pendidikan (Joshi, 1994).


(13)

Pendapatan adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam membelanjakan pendapatannya dinilai berdasarkan kebutuhan hidupnya. Menurut Adisasmito (2007), mengatakan di Indonesia dan Negara lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok akar masalah gizi buruk, proporsi anak gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi sebaliknya semakin tinggi pendapatan semakin kecil persentase gizi buruk.

Kecenderungan penurunan pengeluaran sesuai dengan kenaikan pendapatannya, namun pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga Indonesia, disamping itu Winarno juga menambahkan salah satu penyebab malnutrisi (kurang gizi) disebabkan oleh faktor ekonomi dan sosial budaya yang secara nyata telah memberikan gambaran menyeluruh mengenai masalah gizi di daerah masyarakat miskin. Hubungan pendapatan dan gizi dalam keluarga didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari peningkatan pendapatan untuk perbaikan kesehatan dan gizi. Sebaliknya jika rendahnya pendapatan seseorang maka daya beli berkurang sehingga kemungkinan kebiasaan makan dan cara-cara lain menghalangi perbaikan gizi sehingga kurang efektif untuk anak-anak.

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan dalam kualitas dan kuantitas pada makanan. Pendapatan yang meningkat maka berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan keadaan gizi. Sedangkan pendapatan yang rendah akan mengakibatkan lemahnya daya beli sehingga tidak memungkinkan untuk mengatasi


(14)

kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu secara efektif terutama untuk anak mereka. (Notoatmodjo, 2007).

Indikator dari masalah gizi dapat diketahui dari taraf ekonomi keluarga dan ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan. Stabilitas keluarga dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit gizi kurang, dan kurangnya pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan di bidang memasak, konsumsi anak keragaman jenis makanan yang mempengaruhi kejiwaan misalnya kebosanan (Soegeng, 2005).

Keadaan yang umum ini dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus diberi makan dengan jumlah pendapatan yang rendah. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau mereka telah dapat mengkonsumsi makanan pokok (nasi, jagung) dua kali sehari dengan lauk pauknya kerupuk dan ikan asin, bahkan tidak jarang mereka telah lega kalau mereka telah dapat mengkonsumsi nasi atau jagung cukup dengan sambal dan garam (Kartasapoetra, 2005).

Kemiskinan sebagai penyebab kurang gizi menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius karena kemiskinan berpengaruh besar terhadap konsumsi makanan. Warga masyarakat yang tergolong miskin adalah mereka yang mempunyai keterbatasan kemampuan dan akses pada sumber daya dan dalam memperoleh pelayanan serta prasarana untuk memenuhi kebutuhan dasarnya masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga


(15)

anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi. Kelompok anak balita merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).

Kondisi gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk berat badan di bawah garis merah kebanyakan disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masih tinggi (Wirawan, 2007).

Keluarga yang mempunyai pendapatan rendah relatif sulit memenuhi kebutuhan makanan apalagi untuk berbagai jenis makanan yang beraneka ragam. Kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan juga tergantung dari harga bahan makanan.

2.3.4. Jumlah Anggota Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi terlihat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makannya jika yang harus dilayani jumlahnya sedikit. Besar keluarga mungkin berpengaruh terhadap distribusi makanan dalam keluarga. Keadaan demikian juga dapat mengakibatkan perhatian ibu terhadap perawatan anak menjadi berkurang, karena perhatian ibu dalam merawat dan membesarkan anak balita dapat terpengaruh bila banyak anak yang dimiliki. Bila besar keluarga bertambah maka porsi makanan untuk setiap anak berkurang (Notoatmodjo, 2007).


(16)

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi. Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk masing-masing anggota keluarga atau dapat dikatakan semakin besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus tersedia (Suharni, 1995).

Dalam keluarga besar dengan keadaan ekonomi lemah, anak-anak dapat menderita oleh karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya, sehingga jumlah anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Dalam hal ini faktor selera dari masing-masing anggota keluarga sangat berpengaruh, karena tidak semua anggota keluarga menyukai jenis makanan yang sama (Suhardjo, 2003).

Diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh jika terdapat kekurangan pangan. Dan situasi seperti ini terjadi jika besar keluarga bertambah. Menurut penelitia terdahulu yang dilakukan oleh Mia Sarah, (2008) menemukan bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak dapat mengakibatkan status gizi anggota keluarga terutama anak menjadi buruk. Jumlah anggota keluarga yang banyak mengakibatkan kebutuhan makanan meningkat sementara pendapatan keluarga tidak meningkat. Jika pendapatan keluarga rendah sementara jumlah anak banyak, maka diperlukan pembagian makan yang merata didalam keluarga tersebut. Dalam acara makan misalnya anak- anak yang lebih kecil


(17)

akan mendapatkan jatah makanan yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakaknya yang makannya lebih cepat dan dengan porsi tiap suapan yang lebih besar.

2.3.5. Budaya / Tradisi

Masyarakat sebagai satu kelompok yang secara relatif terpisah dari kelompok sekelilingnya serta mempunyai budaya yang tersendiri. Peraturan yang menunggangi organisasi suatu masyarakat dan cara peraturan ini menjadi suatu simbol yang disebarkan yang merupakan bagian yang menjadi isi kandungan budaya sebuah masyarakat. Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kesanggupan serta serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar melalui cara manusia menjalani kehidupan. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap bermacam aspek kehidupan manusia yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama, bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa tubuh. Konsep tentang kehidupan, dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan pemeliharaan kesehatan (Taylor, 1991).

Konsep budaya kadang kala disalah artikan atau penggunaannya disalah gunakan oleh masyarakat. Misalnya, budaya tidak pernah homogen, dan dengan itu pula seseorang selalu mengelak dari pada menggunakan kenyataan umum untuk memilah-milah kepercayaan dan kelakuan seseorang. Peranan budaya merupakan peranan yang senantiasa dilihat berdasarkan konteksnya. Konteks itu terdiri dari beberapa unsur-unsur sejarah, ekonomi, sosial, politik, geografi. Ini berarti budaya


(18)

merupakan suatu kumpulan manusia, pada masa tertentu, senantiasa dipengaruhi faktor-faktor lain. Maka kepercayaan budaya dan perilaku budaya yang asli dapat dipisahkan dari kontek ekonomi. Misalnya seseorang bertindak seperti makan hanya separoh dari makanan, tinggal di rumah yang sempit, dan tidak berobat ke dokter pada pada saat sakit. Kegiatan budaya suatu keluarga pada kelompok masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat dan lestari terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebanyakan tidak hanya menentukan jenis pangan saja, tetapi untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (Sunarti, 1990).

Di Indonesia pola makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat memengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Suhardjo, 2003).

Setiap budaya mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap pangan yang ada. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan. Banyak budaya yang kadang kala merugikan kesehatan masyarakat, contohnya pada beberapa kasus yang terjadi yang pernah dijumpai.


(19)

Sebagai salah satu akibat serius dari kepercayaan yaitu penyakit mata karena defisiensi vitamin A yang prevalensinya cukup tinggi, keadaan ini timbul akibat larangan anak-anak untuk mengkonsumsi papaya dan sayuran hijau karena pangan tersebut dianggap bersifat dingin, padahal bahan makanan tersebut tersedia cukup banyak dan murah harganya (Noerkhan, 1993).

Kepercayaan seseorang terhadap hal tersebut tergantung dari kuatnya kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan pengalaman yang dimiliki. Berbagai aspek budaya yang berlaku pada kelompok masyarakat sebagaimana dijelaskan diatas, ada yang memberikan dampak positif dan ada juga yang negatif. Dampak negatif berupa masukan zat gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh serta kualitas konsumsi yang juga masih tergolong rendah (Suhardjo, 1998).

2.4. Kerangka konsep

Karakteristik keluarga balita

 Pengetahuan Ibu

 Pendidikan Ibu

 Pendapatan Keluarga

 Jumlah anggota keluarga

 Budaya/ tradisi

Pola asuh

 Pola asuh makan

 Pola asuh kesehatan dan pelayanan kesehatan


(20)

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian

Karakteristik keluarga yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga dan budaya akan mempengaruhi pola asuh. Pola asuh yang meliputi pola asuh makan, pola asuh kesehatan dan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi status gizi balita. Status gizi balita dapat mempengaruhi status kesehatan balita, demikian sebaliknya. Jika karakteristik keluarga baik dan pola asuh balita BGM baik, maka status gizi balita. Namun, apabila pola asuh balita BGM dan karakteristiknya rendah, maka status gizi balita BGM akan semakin menurun dan tetap menjadi BGM.


(1)

anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi. Kelompok anak balita merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).

Kondisi gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk berat badan di bawah garis merah kebanyakan disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masih tinggi (Wirawan, 2007).

Keluarga yang mempunyai pendapatan rendah relatif sulit memenuhi kebutuhan makanan apalagi untuk berbagai jenis makanan yang beraneka ragam. Kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan juga tergantung dari harga bahan makanan.

2.3.4. Jumlah Anggota Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi terlihat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makannya jika yang harus dilayani jumlahnya sedikit. Besar keluarga mungkin berpengaruh terhadap distribusi makanan dalam keluarga. Keadaan demikian juga dapat mengakibatkan perhatian ibu terhadap perawatan anak menjadi berkurang, karena perhatian ibu dalam merawat dan membesarkan anak balita dapat terpengaruh bila banyak anak yang dimiliki. Bila besar keluarga bertambah maka porsi makanan untuk setiap anak berkurang (Notoatmodjo, 2007).


(2)

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi. Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk masing-masing anggota keluarga atau dapat dikatakan semakin besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus tersedia (Suharni, 1995).

Dalam keluarga besar dengan keadaan ekonomi lemah, anak-anak dapat menderita oleh karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya, sehingga jumlah anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Dalam hal ini faktor selera dari masing-masing anggota keluarga sangat berpengaruh, karena tidak semua anggota keluarga menyukai jenis makanan yang sama (Suhardjo, 2003).

Diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh jika terdapat kekurangan pangan. Dan situasi seperti ini terjadi jika besar keluarga bertambah. Menurut penelitia terdahulu yang dilakukan oleh Mia Sarah, (2008) menemukan bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak dapat mengakibatkan status gizi anggota keluarga terutama anak menjadi buruk. Jumlah anggota keluarga yang banyak mengakibatkan kebutuhan makanan meningkat sementara pendapatan keluarga tidak meningkat. Jika pendapatan keluarga rendah sementara jumlah anak banyak, maka diperlukan pembagian makan yang merata didalam keluarga tersebut. Dalam acara makan misalnya anak- anak yang lebih kecil


(3)

akan mendapatkan jatah makanan yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakaknya yang makannya lebih cepat dan dengan porsi tiap suapan yang lebih besar.

2.3.5. Budaya / Tradisi

Masyarakat sebagai satu kelompok yang secara relatif terpisah dari kelompok sekelilingnya serta mempunyai budaya yang tersendiri. Peraturan yang menunggangi organisasi suatu masyarakat dan cara peraturan ini menjadi suatu simbol yang disebarkan yang merupakan bagian yang menjadi isi kandungan budaya sebuah masyarakat. Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kesanggupan serta serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar melalui cara manusia menjalani kehidupan. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap bermacam aspek kehidupan manusia yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama, bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa tubuh. Konsep tentang kehidupan, dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan pemeliharaan kesehatan (Taylor, 1991).

Konsep budaya kadang kala disalah artikan atau penggunaannya disalah gunakan oleh masyarakat. Misalnya, budaya tidak pernah homogen, dan dengan itu pula seseorang selalu mengelak dari pada menggunakan kenyataan umum untuk memilah-milah kepercayaan dan kelakuan seseorang. Peranan budaya merupakan peranan yang senantiasa dilihat berdasarkan konteksnya. Konteks itu terdiri dari beberapa unsur-unsur sejarah, ekonomi, sosial, politik, geografi. Ini berarti budaya


(4)

merupakan suatu kumpulan manusia, pada masa tertentu, senantiasa dipengaruhi faktor-faktor lain. Maka kepercayaan budaya dan perilaku budaya yang asli dapat dipisahkan dari kontek ekonomi. Misalnya seseorang bertindak seperti makan hanya separoh dari makanan, tinggal di rumah yang sempit, dan tidak berobat ke dokter pada pada saat sakit. Kegiatan budaya suatu keluarga pada kelompok masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat dan lestari terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebanyakan tidak hanya menentukan jenis pangan saja, tetapi untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (Sunarti, 1990).

Di Indonesia pola makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat memengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Suhardjo, 2003).

Setiap budaya mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap pangan yang ada. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan. Banyak budaya yang kadang kala merugikan kesehatan masyarakat, contohnya pada beberapa kasus yang terjadi yang pernah dijumpai.


(5)

Sebagai salah satu akibat serius dari kepercayaan yaitu penyakit mata karena defisiensi vitamin A yang prevalensinya cukup tinggi, keadaan ini timbul akibat larangan anak-anak untuk mengkonsumsi papaya dan sayuran hijau karena pangan tersebut dianggap bersifat dingin, padahal bahan makanan tersebut tersedia cukup banyak dan murah harganya (Noerkhan, 1993).

Kepercayaan seseorang terhadap hal tersebut tergantung dari kuatnya kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan pengalaman yang dimiliki. Berbagai aspek budaya yang berlaku pada kelompok masyarakat sebagaimana dijelaskan diatas, ada yang memberikan dampak positif dan ada juga yang negatif. Dampak negatif berupa masukan zat gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh serta kualitas konsumsi yang juga masih tergolong rendah (Suhardjo, 1998).

2.4. Kerangka konsep

Karakteristik keluarga balita  Pengetahuan Ibu  Pendidikan Ibu  Pendapatan Keluarga  Jumlah anggota keluarga  Budaya/ tradisi

Pola asuh

 Pola asuh makan  Pola asuh kesehatan

dan pelayanan kesehatan


(6)

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian

Karakteristik keluarga yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga dan budaya akan mempengaruhi pola asuh. Pola asuh yang meliputi pola asuh makan, pola asuh kesehatan dan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi status gizi balita. Status gizi balita dapat mempengaruhi status kesehatan balita, demikian sebaliknya. Jika karakteristik keluarga baik dan pola asuh balita BGM baik, maka status gizi balita. Namun, apabila pola asuh balita BGM dan karakteristiknya rendah, maka status gizi balita BGM akan semakin menurun dan tetap menjadi BGM.


Dokumen yang terkait

Gambaran Pola Asuh Dan Sosial Ekonomi Keluarga Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Puskesmas Buhit Dan Puskesmas Harian Di Kabupaten Samosir Tahun 2009

3 59 120

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 31 95

PERKEMBANGAN HARGA LAHAN DI KECAMATAN BINJAI UTARA KOTA BINJAI TAHUN 2009 DAN 2014.

0 1 42

ANALISIS PERTANIAN PADI SAWAH DI KELURAHAN CENGKEH TURI KECAMATAN BINJAI UTARA KOTA BINJAI.

0 4 20

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 12

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 2

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 7

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 2 4

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 26

GAMBARAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LALANG TAHUN 2014

0 1 14