ANALISA PENERAPAN KONSEP LEAN THINKING GUNA MENGURANGI TINGKAT PEMBOROSAN (WASTE) PADA PRODUK BOTOL GELAS POLOS Medium Weight DI LANTAI PRODUKSI PT. IGLAS GRESIK.

(1)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah berkenan memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul :

ANALISA PENERAPAN KONSEP LEAN THINKING GUNA M ENGURANGI TINGKAT PEM BOROSAN (W ASTE) PADA PRODUK BOTOL GELAS POLOS “M edium W eight”

DI LANTAI PRODUKSI PT. IGLAS GRESIK

Penyusunan tugas akhir ini guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri pada Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan.

Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini banyak bermanfaat bagi setiap pembaca pada umumnya.

Surabaya, 11 Februari 2011 Penulis


(2)

Halaman Judul Lembar Pengesahan

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Abstraksi ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Batasan masalah ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Asumsi ... 3

1.6 Manfaat Penelitian ... 3

1.7 Sistemetika Penulisan ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lean ... 6

2.2 Jenis – Jenis waste ... 8


(3)

2.2.4 Type sepuluh pemborosan ( ten waste ) ... 19

2.3 Macam – macam aktivitas ... 21

2.4 Value Stream Mapping ... 22

2.4.1 Current State Value Mapping ... 23

2.4.2 Future State Value Mapping ... 23

2.4.3 Big Picture Mapping ... 24

2.4.4 Value Stream Analysis Tools ( VALSAT ) ... 26

2.4.5 Penggunaan Valsat ... 30

2.5 DMAIC ... 32

2.5.1 Define (D ... 33

2.5.2 Measure (M)……… .. 33

2.5.2.1Mengidentifikasi Sumber – Sumber Kecacatan ... 34

2.5.2.2Diagram Sebab Akibat ... 35

2.5.3 Analyze (A)……… .... 36

2.5.4 Improve ( I ) ... 37

2.5.5 Control ( C ). ... 38

2.6 FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) ... 38

2.6.1 Severity ... 40

2.6.2 Occurrence ... 41

2.6.3 Detection ... 41


(4)

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 45

3.2.1 Variabel Terikat ... 45

3.2.2 Variabel Bebas ... 45

3.3 Pengambilan Data ... 47

3.3.1 Data Primer ... 47

3.3.2 Data Sekunder ... 47

3.4 Metode Pengolahan Data ... 48

3.4.1 Pengolahan Data Kuisioner ... 48

3.4.2 Pengolahan dengan Big Picture Mapping ... 48

3.4.3 Perhitungan VALSAT ... 49

3.5 Langkah – Langkah Pemecahan Masalah ... 51

3.6 Penjelasan Flow Chart ... 51

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan data ... 56

4.1.1 Big Picture Mapping ... 56

4.1.1.1Aliran Fisik ... 56

4.1.1.2Aliran Informasi ... 59

4.1.2 Penyusunan dan penyebaran kuisioner ... 63

4.2 Pengolahan Data ... 64

4.2.1 Hasil Identifikasi Kuesioner Waste Workshop ... 64


(5)

4.3 Analisa nine waste dan rekomendasi perbaikan ... 75

4.3.1 Jenis waste ... 76

4.3.1.1Jenis waste defect ... 76

4.3.1.2Jenis waste transportasi ... 76

4.3.1.3Jenis waste waiting ... 77

4.4 Tahap rekomendasi perbaikan ... 78

4.4.1 Usulan Perbaikan ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 82

5.2 Saran... 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

Gambar 2.1 Struktur Utama lean improvement ... 7

Gambar 2.2 Pengembangan struktur utama lean ... 8

Gambar 2.3 Sepuluh area waste dalam industri manufaktur ... 19

Gambar 2.4 Simbol VALSAT ... 22

Gambar 2.5 Simbol Big Picture Mapping ... 25

Gambar 2.6 Matriks VALSAT ... 31

Gambar 2.7 Proses DMAIC ... 32

Gambar 2.8 Diagram Sebab – Akibat ... 36

Gambar 3.1 Flowchart Pemecahan Masalah ... 51

Gambar 4.1 Aliran raw material... 58

Gambar 4.2 Value Stream Mapping PT IGLAS ... 63

Gambar 4.3 Korelasi waste terhadap tools ... 68

Gambar 4.4 Prosentase Jumlah Aktivitas... 73

Gambar 4.5 Prosentase Kebutuhan Waktu... 74

Gambar 4.6 Cause effect diagram jenis waste defect ... 76

Gambar 4.7 Cause effect diagram jenis waste transportasi ... 77


(7)

Tabel 2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan ... 20

Tabel 2.2 korelasi waste terhadap tools ... 32

Tabel 2.3 Skala Penilaian Severity ... 40

Tabel 2.4 Skala Penilaian Occurrence ... 41

Tabel 2.5 Skala Penilaian Detection ... 42

Tabel 3.1 Value Stream Analysis Tools ... 50

Tabel 4.1 Identifikasi Kegiatan Proses Pembuatan Botol Gelas ... 61

Tabel 4.2 Rekap Hasil Waste Workshop ... 66

Tabel 4.3 Rekap Hasil Waste Workshop sesuai rangking ... 66

Tabel 4.4 Perhitungan Skor VALSAT ... 69

Tabel 4.5 Perhitungan rangking Skor VALSAT ... 69

Tabel 4.6 Penentuan Tools VALSAT ... 70

Tabel 4.7 Penentuan rangking Tools VALSAT ... 71

Tabel 4.8 Prosentase Jumlah Aktivitas ... 72

Tabel 4.9 Prosentase Kebutuhan Waktu ... 74

Tabel 4.10 Skor rata-rata tiap jenis waste ... 75


(8)

Lampiran B : Value Stream Mapping

Lampiran C1 : Kuesioner Pembobotan Waste

Lampiran C2 : Skor Rata- rata tiap jenis waste, Tabel Rekap Hasil Waste

Workshop, Tabel Rekap Hasil Waste Workshop sesuai rangking

Lampiran D : VALSAT, Tabel Perhitungan Skor VALSAT, Tabel Perhitungan rangking Skor VALSAT, Tabel Penentuan Tools VALSAT, Tabel Penentuan Tools Valsat, Tabel Penentuan Rangking Tools

VALSAT

Lampiran E : Proses Aktivity Mapping,Tabel Prosentase Jumlah Aktivitas,Tabel Prosentase Kebutuhan Waktu


(9)

PT Iglas Gresik merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri pembuatan botol gelas. Lean adalah mengeliminasi pemborosan (Waste) atau aktifitas yang tidak bernilai tambah (Non Value Adding Activity) dari suatu proses sehingga aktifitas-aktifitas sepanjang aliran proses (Value Stream) mampu menghasilkan Value (nilai).

PT. Iglas mempunyai masalah pada waste/ pemborosan yang terjadi. Karena menggunakan sistem make to order / produksi berdasarkan pesanan maka perusahaan ini sangat tergantung pada pabrik – pabrik minuman karenanya supply kinerja dalam memberikan produk kepada pabrik minuman haruslah dioptimalkan, salah satunya dengan mengurangi lead time,

metode lean thinking adalah metode yang digunakan untuk mengurangi waste. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mencari penyebab terjadinya pemborosan di lantai produksi, setelah mengetahui penyebab terjadinya pemborosan maka dibuat rekomendasi perbaikan dengan menggunakan FMEA

(Failure Mode Effect Analysis).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya pemborosan tejadi pada defect, transportation, waiting. Berdasarkan tingginya tingkat aktivitas yang terjadi dengan proses activity mapping adalah produksi botol gelas polos “medium

weight” aktivitas yang paling sering dilakukan adalah operation sebesar 11

aktivitas (42,31%), diikuti dengan aktivitas tipe Transportation dan inspection sebanyak 5 aktivitas dan 6 aktivitas dengan jumlah sebanyak aktivitas (19,23%) dan aktivitas (23,08%) dari total 26 aktivitas yang ada. Kemudian untuk aktivitas

storage dan delay, dan masing-masing sebanyak 2 aktivitas sebesar (7,69%) dan

dapat diketahui bahwa pada proses produksi botol gelas polos “medium weight” untuk waktu yang paling besar adalah operation sebesar 147 menit (47,73%), diikuti dengan waktu untuk tipe inspection dengan jumlah waktu sebanyak 62 menit (20,13%) dari total 308 menit waktu yang ada. Kemudian untuk aktivitas,

delay, storage, dan transport masing-masing sebesar 35 menit (11,36%), 35

menit (11,36%), 29 menit (9,42%). Dengan besar value adding activity 155 menit dan non value adding activity 89 menit.

Keywords : Waste, fish bone diagram , lean thinking , PAM, FMEA, value stream mapping


(10)

I.1. Latar Belakang

Di dalam persaingan yang demikian ketat, setiap unit usaha dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas hampir di segala bidang untuk dapat menghasilkan produk dengan mutu yang baik disertai dengan biaya yang murah. Dengan kondisi dan tuntutan fungsi seperti yang telah digambarkan di atas, maka suatu perusahaan seharusnya tidak hanya melakukan sekali perbaikan atas kekurangan yang terjadi pada unit usahanya saja tetapi juga melakukan continous improvement agar dapat tetap survive dalam persaingan bebas yang terjadi.

Perusahaan PT.IGLAS adalah merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri manufaktur pembuatan botol gelas dimana diantaranya produk botol gelas polos “Medium Weight” yang digunakan di beberapa perusahaan baik lokal maupun internasional.

PT. Iglas mempunyai masalah pada waste/ pemborosan yang terjadi. Karena menggunakan sistem make to order / produksi berdasarkan pesanan maka perusahaan ini sangat tergantung pada pabrik – pabrik minuman karenanya supply

kinerja dalam memberikan produk kepada pabrik minuman haruslah dioptimalkan, salah satunya dengan mengurangi lead time. Sehingga metode lean thinking adalah metode yang pas untuk mengurangi waste tersebut

Salah satu cara untuk mengurangi lead time yaitu dengan cara mengidentifikasi waste–waste yang terjadi. Sedangkan IGLAS sendiri memiliki


(11)

yang kurang tepat, tempat produksi yang kurang sesuai, dan masih banyak lainnya. Dengan adanya waste, kegiatan produksi belum dikatakan maksimal hal ini ditandai dengan besarnya waktu menunggu, banyaknya kecacatan produk dan masih banyak lainnya. Maka diharapkan waste - waste tersebut dapat dihilangkan. Dengan adanya masalah tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi waste yang ada pada PT. IGLAS dengan konsep lean thinking, dengan harapan waste – waste tersebut dapat dihilangkan sehingga performansi kerja meningkat.

I.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana cara mengurangi waste yang terjadi dengan mengidentifikasi kegiatan non-value adding (tidak bernilai tambah) yang ada pada PT. Iglas?”

I.3. Batasan Masalah

Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Produk yang dipesan hanya produk Botol Gelas Polos “Medium Weight”

pada PT. IGLAS Gresik

2. Penelitian diambil pada kondisi Bulan januari 2010 – oktober 2010. 3. Waste yang diteliti hanya 3 ranking pertama.


(12)

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi 3 ranking pertama waste dan penyebabnya di lantai

produksi

2. Mengidentifikasi Kegiatan Value Adding dan Kegiatan Non Value adding 3. Memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi waste.

I.5. Asumsi – asumsi

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Semua mesin dilantai produksi dalam keadaan baik.

2. Tenaga kerja telah memenuhi jumlah untuk pengambilan sampel kuesioner

I.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian tugas akhir ini baik bagi peneliti maupun bagi perusahaan antara lain meliputi :

1. Pihak perusahaan dapat mengetahui kegiatan non-value adding, waste yang ada dan penyebabnya yang terjadi di area produksi, sehingga diketahui pula kerugian yang ditimbulkan.

2. Bagi peneliti dapat memberikan rekomendasi perbaikan untuk pengurangan

waste tersebut .

3. Bagi universitas dapat memberikan informasi mengenai metode lean Thinking dan menambah koleksi perpustakaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(13)

I.7. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian tugas ahir ini meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi penjelasan mengenal latar belakang serta permasalahan yang akan diteliti dan dibahas. Juga diuraikan tentang tujuan, manfaat penelitian, serta batasan dan asumsi yang digunakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi teori-teori dasar yang berkaitan dengan Lean Phylosophy, VALSAT( Value Stream Analysis Tools) yang dijadikan acuan dalam melakukan langkah-langkah penelitian sehingga permasalahan yang ada dapat dipecahkan

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi urutan langkah-langkah pemecahan masalah secara sistematis mulai dari perumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai, studi pustaka, pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan tahapan identifikasi permasalahan yang ada di perusahaan dengan diawali penjelasan tentang proses produksi di PT. Iglas Gresik secara umum, pembuatan current state value stream mapping, identifikasi

waste dengan VALSAT, identifikasi penyebab permasalahan dengan


(14)

perbaikan. Selain itu, juga akan dilakukan identifikasi hasil perbaikan dengan pembuatan future state VSM.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan ditarik kesimpulan atas analisa dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan. Kesimpulan ini akan menjawab tujuan penelitian. Selain itu juga berisi saran penelitian sehingga diharapkan dapat dilanjutkan untuk penelitian yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lean Phylosophy

Pada dasarnya konsep lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep ini dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur maupun jasa, karena pada dasarnya konsep efisiensi akan selalu menjadi suatu target yang ingin dicapai oleh perusahaan. Konsep lean Thinking ini dikenalkan oleh pabrik Toyota di Jepang, yang kemudian dijabarkan menjadi 5 prinsip dasar yang diidentifikasi oleh Womack dan Jones diantaranya adalah :

1. Define value from the prespective the customer

Mengidentifikasi nilai – nilai tambah yang dapat dilakukan kepada suatu produk / pelayanan menurut keinginan customer sehingga output yang keluar akan sesuai dengan keinginan pasar pada umumnya bukan dari keinginan perusahaan tersebut.

2. Identify value stream

Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan, mulai dari proses desain, pemesanan, dan pembuatan produk berdasarkan keseluruhan

value stream untuk mendapatkan pemborosan yang tidak memilki nilai tambah (non value adding waste).

3. Continuous flow process

Serangkaian aktivitas yang dilakukan agar mendapatkan nilai tambah tanpa adanya gangguan yang dilakukan pada waktu yang dibutuhkan secara


(16)

mengalir dari satu stasiun kerja ke stasiun kerja yang lain tanpa adanya waktu tunggu

4. Pull system

Pembuatan produk sesuai permintaan pasar / customer 5. Strive to perfection

Berusaha mencapai kesempurnaan dengan cara menghilangkan waste

secara bertahap dan berkelanjutan.

( Sumber : Womack, J. and Jones, D.T. (2003). Lean Thinking, banish wastes and create wealth in your corporation, revised and updated, Free Press )

Sebagian besar lean tools dan tekniknya merupakan suatu konsep teknik industri yang baik yang dapat diterapkan pada perusahaan dengan berbagai kondisi tanpa banyak kesulitan. Bagaimanapun dampak aplikasinya akan terasa, jika diterapkan dengan proses improvement yang berkelanjutan. Sebuah

framework yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 akan menunjukkan sebuah aliran logis dari penerapan lean improvement.

Gambar 2.1 Struktur utama lean improvement


(17)

Dari struktur utama tersebut, bagian teknik tertentu akan dikembangkan, sehingga tools tersebut akan memiliki dampak terhadap investasi. Dengan pengembangan ini, akan mengurangi waktu tunggu, waktu proses, biaya, dana pengiriman material hanya pada waktu dan tempat yang dibutuhkan. Pengembangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2. Pendekatan yang digunakan akan dikelompokkan dalam sebuah “gelombang”, berdasarkan tipe penghematan yang dilakukan.

Gambar 2.2 Pengembangan struktur utama lean

(http:/www.sciencedirect.com) 2.2 Jenis – Jenis Wastes

Untuk menciptakan proses produksi yang efektif dan efisien pemahaman terhadap ketiga operasi tersebut sangat penting. Hal utama yang menjadi perhatian adalah Non-Value Adding dan Necessary but Non-Value Adding, artinya sedapat mungkin aktivitas tersebut dikurangi atau dihilangkan. Dalam aktivitas tersebut seringkali menimbulkan waste. Menurut Gazpers (2007) terdapat Sembilan waste

dalam proses produksi yang didefinisikan dengan istilah E-DOWNTIME©, yang dijabarkan sebagai berikut:

1) E Environmental, Health, and Safety


(18)

3) O Overproduction

4) W Waiting

5) N Not Utilizing Employees Knowledge, Skills, and Abilities

6) T Transportation

7) I Inventories

8) MMotion

9) EExcess Processing

o Environmental, Health, and Safety,

pemborosan yang terjadi akibat kelalaian pihak – pihak tertentu dalam perusahaan untuk memahami prosedur EHS yang ada. Dengan sikap seperti ini akan menimbulkan dampak seringnya terjadi kecelakaan kerja. Jika permasalahan kecelakaan tersebut terjadi, maka akan tidak sedikit biaya, waktu, dan tenaga yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, pemborosan dari segi EHS ini sangat penting untuk dapat dilakukan tindakan preventif sedini mungkin agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

o Defect,

berarti adalah produk yang rusak atau tidak sesuai dengan spesifikasi, hal ini akan menyebabkan proses rework yang kurang efektif. Tingginya complain dari konsumen, serta inspeksi level yang sangat tinggi.

o Overproduction,

pemborosan yang disebabkan produksi yang berlebihan, maksudnya adalah memproduksi produk yang melebihi yang dibutuhakan


(19)

atau memproduksi lebih awal dari jadwal yang sudah dibuat. Bentuk dari

overproduction ini antara lain adalah aliran produksi yang tidak lancar, tumpukan WIP yang terlalu banyak, target dan pencapaian hasil produksi dari setiap bagian produksi kurang jelas.

o Waiting,

pemborosan karena menunggu untuk proses berikutnya. Waiting

merupakan selang waktu ketika operator tidak menggunakan waktu untuk melakukan value adding activity dikarenakan menunggu aliran produk dari proses sebelumnya (upstream). Waiting ini juga mencakup operator dan mesin seperti kecepatan produksi mesin dalam stasiun kerja lebih cepat atau lambat daripada stasiun yang lainnya.

o Not Utilizing Employees Knowledge, Skills, and Abilities

merupakan suatu kondisi dimana sumber daya yang ada (operator) tidak digunakan secara maksimal, sehingga terjadi pemborosan. Kinerja operator yang tidak maksimal ditujukkan dengan tidak adanya aktivitas yang dilakukan operator (menganggur) atau produktivitas rendah. Selain itu juga bisa diakibatkan penggunaan operator yang tidak tepat untuk suatu pekerjaan tertentu. Misalnya pada penempatan karyawan pada posisi tertentu dimana skill atau riwayat pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang kerjanya sehingga di lapangan operator sering melakukan kesalahan kerja.

o Transportation

merupakan kegiatan yang penting akan tetapi tidak menambah nilai dari suatu produk. Transport merupakan proses memindahkan material


(20)

atau Work In Process dari satu stasiun kerja ke satsiun kerja yang lainnya. Baik menggunakan forklift maupun conveyor.

o Inventories

berarti persediaan yang kurang perlu. Maksudnya adalah persediaan material yang terlalu banyak, Work In Process yang terlalu banyak antara proses satu dengan proses yang lainnya sehingga membutuhkan ruang yang banyak untuk menyimpannya, kemungkinan pemborosan ini adalah buffer yang sangat tinggi.

o Motion

berarti adalah aktivitas atau pergerakan yang kurang perlu yang dilakukan operator yang tidak menambah nilai dan memperlambat proses sehingga lead time menjadi lama. Proses mencari komponen karena tidak terdeteksi tempat penyimpanannya, gerakan tambahan untuk mengoperasikan suatu mesin. Hal ini juga dapat terjadi dikarenakan layout

produksi yang tidak tepat sehingga sering terjadi pergerakan yang kurang perlu dilakukan oleh operator.

o Excees Process

terjadi ketika metode kerja atau urutan kerja (proses) yang digunakan dirasa kurang baik dan fleksibel. Hal ini juga dapat terjadi ketika proses yang ada belum standar sehingga kemungkinan produk yang rusak akan tinggi. Selain itu juga ditunjukkan dengan adanya variasi metode yang dikerjakan operator.


(21)

2.2.1 Type Tujuh Pemborosan (seven waste)

Berikut ini adalah penjelasan dari seven waste yang diidentifikasikanoleh Dr. Shiego Singo kemudian ditulis kembali oleh Kilpatrick (2003) :

1. Produksi berlebihan (overproduction) adalah kegiatan menghasilkan barang melebihi permintaan/keinginan sehingga menambah alokasi sumber daya terhadap produk.

2. Menunggu (waiting) adalah proses menunggu kedatangan material, informasi, peralatan dan perlengkapan.

3. Transportasi (transportation) adalah memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke proses berikut yang dapat mengakibatkan waktu penaganan material bertambah..

4. Proses yang tidak tepat (inappropriate processing) adalah proses kerja dimana terdapat ketidaksempurnaan proses atau metode operasi produksi yang diakibatkan oleh penggunaan tool yang tidak sesuai dengan fungsinya ataupun kesalahan prosedur atau sistem operasi. Secara umum faktor penyebabnya adalah peralatan atau tool yang tidak sesuai,

maintenance peralatan yang jelek dan lain-lain.

5. Persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory) adalah penyimpanan (inventory) melebihi volume gudang yang ditentukan, material yang rusak karena terlalu lama disimpan atau terlalu cepat dikeluarkan dari tempat penyimpanan, material yang sudah kadaluarsa. Secara umum faktor penyebabnya adalah waktu change over yang lama, ketidakseimbangan lintasan, peramalan yang kurang akurat, atau ukuran batch yang besar.


(22)

6. Gerakan yang tidak perlu (unnecessary motion) adalah gerakan yang melibatkan konsep ergonomis pada tempat kerja, dimana operator melakukan gerakan-gerakan yang seharusnya bisa dihindari, misalnya komponen dan kontrol yang terlalu jauh dari jangkauan double handling, layout yang tidak standar, operator membungkuk. Secara umum faktor penyebabnya adalah pengelolaan tempat kerja yang jelek, layout yang jelek, metode kerja yang tidak konsisten, desain mesin yang tidak ergonomis.

7. Kecacatan (defect) merupakan kesalahan yang terlalu sering dalam kertas kerja, kualitas produk yang buruk, atau performansi pengiriman yang buruk, ketidaksempurnaan produk, kurangnya tenaga kerja pada saat proses berjalan, adanya alokasi tenaga kerja untuk proses pengerjaan ulang (rework) dan tenaga kerja menangani pekerjaan claim dari pelanggan.

2.2.2 Type Delapan Pemborosan (eight waste)

Dalam kalangan praktisi Lean Manufacturing dikenal sebagai delapan pemborosan yang menurut Taiichi Ohno (salah satu pencipta Toyota Production System) bertanggung jawab dalam sekitar 95% dari semua biaya yang ada dalam produksi. Delapan pemborosan tersebut adalah :

1. Overproduction (produksi berlebih)

Produksi berlebih adalah memproduksi produk jauh lebih banyak dari permintaan konsumen atau melebihi jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan dalam Lean Manufacturing semua produk yang diproduksi diluar hal tersebut (Work in Progress, buffer, safety stock) merupakan pemborosan


(23)

karena hal tersebut membuat organisasi menjadi tidak dapat melakukan hal lain yang dapat memenuhi keinginan konsumen. Produksi berlebih adalah pemborosan yang paling parah diantara jenis pemborosan lainnya. Kalau permintaan pasar sedang tinggi, pemborosan jenis ini mungkin terlalu penting, namun dikala permintaan pasar sedang menyusut, dampak dari produksi berlebih akan berlipat ganda. Bahkan seringkali perusahaan mendapatkan kesulitan karena menyimpan barang yang tidak terjual itu sebagai persediaan extra.

2. Waiting (menunggu)

Yang dimaksud dengan menuggu ialah menunggu kedatangan material, menunggu informasi, peralatan, perlengkapan dan semua hal yang membuat organisasi berhenti beraktivitas sehingga menimbulkan pemborosan. Pemborosan karena menunggu harus ini harus terungkap kebenaran situasinya terlebih dahulu sebelum tindakan perbaikan dilaksanakan. Suatu contoh yang salah menafsirkan situasi pemborosan karena karena waktu menunggu adalah membiarkan mesin dan operatornya menunggu pada saat pekerjaan yang diperlukan sudah selesai. Bila hal ini dianggap sebagai pemborosan dan kemudian diatasi maka dampaknya justru akan menimbulkan pemborosan karena produksi berlebih yang lebih gawat. Dalam hal ini kita harus lebih cermat dalam menilai situasi.

3. Transportation (transportasi yang tidak perlu)

Yang di maksud transportasi dalam Lean Manufacturing adalah bahwa transportasi suatu barang seharusnya dilaksanakan atau didatangkan


(24)

langsung menuju tempat dimana barang tersebut dapat langsung digunakan sehingga tidak menimbulkan pemborosan lainnya yaitu transportasi yang tidak perlu. Pemborosan karena transportasi dan penanganan barang adalah pemborosan yang sering kita jumpai di dalam pabrik. Barang yang sama dapat saja ditangani berulang-ulang tanpa memberi nilai tambah. Perencanaan yang buruk akan menyebabkan kegiatan transportasi membengkak dan penanganan barang dilakukan berulang-ulang.

4. Non value added activities (aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah) Metode dalam pengolahan produksi dapat menjadi sumber dari pemborosan yang seharusnya tidak perlu ada. Misalnya pengerjaan ulang (reworking) karena seharusnya proses tidak perlu diulang apabila dilakukan proses yang benar. Deburing (sisa produksi) karena produk seharusnya dapat diproduksi tanpa sisa produksi apabila dilakukan dengan desain yang tepat dan alat yang lengkap untuk pekerjaan tersebut dan

inspecting (pemeriksaan) karena produk seharusnya dapat diproduksi dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) untuk menghilangkan atau meminimalkan jumlas inspeksi yang diperlukan dalam menjaga kualitas produk tersebut.

5. Excess inventory (persediaan berlebih)

Persediaan berlebih juga akan meningkatkan biaya produksi. Kelebihan persediaan memerlukan penanganan extra, tempat extra, extra bunga yang harus dibayar, extra karyawan, extra dokumen, dan lain-lain.


(25)

Berikut adalah beberapa prinsip untuk mengurangi persediaan berlebih :

- Singkirkan barang-barang yang tidak diperlukan lagi

- Jangan memproduksi barang yang tidak diperlukan untuk proses berikutnya.

- Jangan membeli atau membawa barang dalam ukuran lot besar (meskipun penghematan dari diskon pembelian dalam jumlah besar, mungkin lebih besar dari biaya pemborosan karena persediaan)

- Usahakan untuk memproduksi dalam lot kecil (mengurangi waktu

set-up atau tingkatkan frekuensi peralihan jenis produksi) 6. Excess motion (gerakan yang berlebih/tidak diperlukan)

Seorang pekerja dapat kelihatan sibuk selama tiga jam untuk mondar-mandir mencari alat kerja ke semua sudut pabrik. Jelas ini merupakan kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah sama sekali, hal ini justru akan membebani biaya produksi dengan upahnya selama tiga jam yang sia-sia. Di samping itu, hasil produksi menjadi tertunda dikirim kepada pelanggan klarena lead time produksi bertambah. Contoh gerakan mengambil dan mengembalikan benda dapat dihilangkan bila kita meletakkan alat kerja berdekatan dengan penggunaannya. Berjalan mondar-mandir dengan jarak yang cukup jauh adalah gerakan yang sia-sia, khususnya bila operator diberi tanggung jawab untuk mengoperasikan mesin. Mesin harus diletakkan dengan benar, saling berdekatan dengan operator sehingga perjalanan kaki operator dapat dikurangi.


(26)

7. Defect waste (pemborosan karena cacat produksi)

Bila cacat produksi terjadi pada satu pos produksi kerja, maka pada umumnya operator pada pos kerja berikutnya akan menunggu. Waktu terbuang percuma dan menambah biaya produksi. Lebih parah lagi apabila barang-barang tersebut dikerjakan ulang (rework) atau bahkan produk yang cacat itu harus dimusnahkan. Apabila cacat produksi terjadi maka akan diperlukan untuk membongkar dan mereparasi produk itu, lagipula tambahan komponen juga akan diperlukan dalam penaganan komponen yang rusak. Otomatis jadwal produksi akan terganggu karena menunggu proses penyelesaian tersebut. Memilah-milah komponen yang jelek juga menyerap tambahan tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah biaya, yang berarti pemborosan. Kasus yang lebih buruk lagi apabila pelanggan menemukan cacat produksi setelah produk berada ditangannya. Tidak hanya ongkos garansi dan ongkos kirim saja yang harus ditanggung, tetapi juga pengorbanan citra perusahaan, peluang bisnis pendatang baru dan pangsa pasar yang menyusut. Untuk menghindari masalah itu sebuah sistem harus dikembangkan untuk menemukan dan mengenali cacat produksi serta berbagai kondisi penyebab timbuknya cacat tersebut. Dengan demikian, operator bisa melakukan tindakan perbaikan langsung.

8. Underutilized people (pekerja yang kurang profesioanl)

Yang dimaksud underutilzed people adalah pekerja yang tidak mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya baik dari segi mental, kreativitas, serta skill dan kemampuan fisik dimana biasanya seorang pekerja harus dapat mengoptimalkan seluruh kemampuan yang dimiliknya


(27)

demi kepentingan bersama. Beberapa penyebab pemborosan type ini adalah : proses kerja yang jelek dan kurang teratur, budaya kerja yang kurang positif atau tidak mendorong pekerjanya untuk berkembang, praktek perekrutan para pekerja yang kurang selektif, training pegawai yang kurang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali training pegawai, dan turnover pekerja yang terlalu tinggi sehingga tidak ada pekerja yang benar-benar mengerti pekerjaan serta segala detail dari perusahaan untuk berkembang.

2.2.3 Type Sembilan Pemborosan (nine waste)

Menurut Vincent Gaspersz (2007) terdapat sembilan pemborosn yang ada dalam bidang industri yang terkenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu :

1. E = Environmental, Health and Safety (EHS) adalah jenis pemborosan yang tejadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip EHS.

2. D = Defects adalah jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang/jasa).

3. O = Overproduction adalah jenis pemborosan yang terjadi karena produksi berlebih dari kuantitas yang dipesan oleh pelanggan,

4. W = Waiting adalah jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu. 5. N = Not utilizing employees knowladge skills and abilities adalah jenis

pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan secara optimal.


(28)

6. T = Transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream.

7. I = Inventories adalah jenis pemborosan yang terjadi karena inventories

yang berlebihan.

8. M = Motion adalah jenis pemborosan yang terjadi karena banyaknya pergerakan dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.

9. E = Excess processing adalah jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses yang panjang dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.

2.2.4 Type Sepuluh Pemborosan (ten waste)

Dalam perspektif lain, kaufman consulting group (1999) telah merumuskan 10 jenis pemborosan dalam industri manufaktur, dimana ke-10 jenis pemborosan itu dikelompokkan kedalam empat kategori utama yaitu orang, kuantitas, kualitas dan informasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 dan pendekatan untuk mereduksi pemborosan tersebut ditunjukkan dalam tabel 2.1

(Sumber : Kaufman consulting group, 1999)


(29)

Tabel 2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan dalam industri manufaktur Kategori pemborosan Jenis pemborosan Pendekatan reduksi pemborosan Contoh metode peningkatan kinerja Fokus peningkatan

Orang (people) Processing, motion, waiting Manajemen tempat kerja (workplace manajement) Penetapan standar kerja, pengorgaisasian tempat kerja,

kaizen, 5S

Tata letak (layout), pemasangan label (labeling), tools/part arrangement, work instruction, efisiensi, takt time, skills

(kemampuan), training, shift meeting, cell/areas team, visual displays

Kuantitas (quantity)

Inventory, moving things, making too much

JIT (Just In Time) Leveling, kanban, quick setup, preventive maintenance

Work balance, WIP (work in process), location/amount, kanban location, kanban types, lot sizes, changeover analyze, preventive maintenance analyze

Kualitas (quality)

Fixing defects Error (mistake), proofing, autonomation Detection, warning, prediction, prevention, jidoka Fixture modifications succesive checks, limit switches, check sheets, appropriated automated

assistance, template

Informasi (information)

Planning, scheduling, execution Teknologi informasi berfokus proses (process focused information technology) Plan, schedule, track, anticipate, optimize Queue analyze, dynamic scheduling of order/job status by process element, timing/completion


(30)

2.3 Macam – Macam Aktivitas

Di dalam proses produksi terdapat tiga tipe operasi yang didefinisikan menurut Monden (Hines&Rich, 2005). Ketiga tipe operasi atau aktivitas yaitu: 1. Non-Value Adding (NVA)

2. Necessary but Non-Value Adding (NNVA) 3. Value Adding (VA)

Non-Value Adding merupakan aktivitas yang tidak menambah nilai dari sudut pandang customer. Aktivitas ini merupakan waste dan harus dikurangi atau dihilangkan. Contoh dari aktivitas ini adalah waiting time, menumpuk work in process, dan double handling.

Necessary but Non-Value Adding adalah aktivitas yang tidak menambah nilai akan tetapi penting bagi proses yang ada. Contohnya adalah aktivitas berjalan untuk mengambil parts, unpacking deliveries, dan memindahkan

tool dari satu tangan ke tangan yang lain. Untuk mengurangi atau menghilangkan aktivitas ini adalah dengan membuat perubahan pada prosedur operasi menjadi lebih sederhana dan mudah, seperti membuat

layout baru, koordinasi dengan supplier dan membuat standar aktivitas. Value Adding merupakan aktivitas yang mampu memberikan nilai tambah pada suatu material atau produk yang diproses. Aktivitas untuk memproses

raw material atau semi-finished product melalui penggunaan manual labor. Material pada value adding ini berupa row material bahan pembuatan Botol Gelas “Medium Weight”


(31)

2.4 Value Stream Mapping

Menurut Womack dan Jones, value stream adalah semua kegiatan (value added atau non-value added) yang dibutuhkan untuk membuat produk melalui aliran proses produksi utama. Value stream dapat mendeskripsikan kegiatan – kegiatan seperti product design, flow of product, dan flow of information yang mendukung kegiatan – kegiatan tersebut. Value Stream Mapping atau juga sering dikenal sebagai Big Picture Mapping merupakan alat yang digunakan untuk menggambarkan system secara keseluruhan dan value stream yang ada di dalamnya. Alat ini menggambarkan aliran material dan informasi dalam suatu

value stream. Untuk membuat Value Stream Mapping harus diperhatikan simbol – simbol yang digunakan, seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Simbol yang digunakan dalam value stream mapping ( VSM ) (http:/lean.org/Community/Ressources/mapiconsdiscl.cfm)


(32)

Untuk membuat Value Stream Mapping terdapat empat tahapan yaitu:

1. Mengidentifikasi famili produk dan menentukan famili produk yang akan diamati.

2. Membuat current state map untuk famili produk yang diamati.

3. Mengembangkan future state map, yaitu kondisi yang diinginkan berdasar kondisi existing dalam usaha pengurangan waste.

4. Mengembangkan rencana langkah kerja untuk menciptakan “value” yang direncanakan guna mencapai future state map.

2.4.1 Current State Value Stream Mapping

current state value stream mapping adalah dasar dalam konsep lean thinking karena dengan map ini waste – waste yang terjadi dapat diketahui yang mana akan dijadikan dasar dalam analisa dan recana perbaikannya. beberapa hal yang perlu diketahui diantaranya :

1. Identifikasi dan pemahaman kebutuhan customer.

2. Pemahaman terhadap aliran fisik produksi beserta detil – detilnya, meliputi detil proses, setil data – data yang berkaitan dengan proses, data box, dan

inventory.

3. Gambarkan aliran material dengan memulai dari end customer (backward). 4. Gambarkan aliran informasi dan tentukan pull dan push system-nya.

2.4.2 Future State Value Stream Mapping

Untuk menggambarkan future state value stream mapping yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisa terhadap current state value stream


(33)

mapping, berkaitan dengan itu Rother dan Shook memberikan langkah – langkahnya yaitu:

1. Perhitungan TAKT time berdasarkan demand dan waktu kerja yang tersedia. 2. Kembangkan continuous flow jika memungkinkan.

3. Menggunakan supermartket jika continuous flow tidak dapat diterapkan. 4. Mencoba menerapkan penjadwalan hanya untuk satu proses produksi. 5. Menciptakan “initial pull”.

6. Mencoba mengembangkan kemampuan untuk memproduksi “every part every day” di dalam proses sebelum proses pacemaker.

2.4.3 Big Picture Mapping

Big Picture Mapping adalah suatu tool yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem secara keseluruhan beserta aliran nilai (Value Stream) yang terdapat dalam perusahaan. Sehingga nantinya diperoleh gambaran mengenai aliran informasi dan aliran fisik dari sistem yang ada, mengidentifikasi dimana terjadinya waste, serta mnggambarkan lead time yang dibutuhkan berdasar dari masing-masing karakteristik proses yang terjadi. Peta ini tentunya dibuat untuk suatu produk atau pelanggan tertentu yang sudah diidentifikasikan pada tahap sebelumnya.


(34)

Gambar 2.5 Simbol-simbol Big Picture Mapping

(http:/lean.org)

Untuk melakukan pemetaan terhadap aliran informasi dan material atau produk secara fisik, kita dapat menerapkan big picture mapping dengan 5 fase:

1. Phase 1 : Customer requirements

Menggambarkan kebutuhan konsumen. Mengidentifikasi jenis dan jumlah produk yang diinginkan customer, timing, munculnya kebutuhan akan produk tersebut, kapasitas dan frekuensi pengirimannya, packaging serta jumlah persediaan yang disimpan untuk keperluan customer.

2. Phase 2 : Information flows

Menggambarkan aliran informasi dari konsumen ke supplier yang berisi antara lain: peramalan dan informasi pembatalan supply oleh customer, orang atau departemen yang memberi informasi ke perusahaan, berapa lama

Jadwal mingguan

customer I

Q

Supplier / Customer Titik Persediaan Kotak Informasi Aliran Informasi Aliran Fisik

Aliran fisik antar

Perusahaan Kotak Waktu Titik Inspeksi Stasiun Kerja DenganWaktu

Aliran Informasi Elektronik 2 jam mixing 2 jam 20 1.5 jam 0.5 0.75 jam

Total production Lead Time = 22.75 jam Value Adding Time (lower line) = 2.25 jam

3 shift CT = 45 sec

6 orang 2% scrap

Kotak Rework Kotak proses


(35)

informasi muncul sampai diproses, informasi apa yang disampaikan kepada

supplier serta pesanan yang disyaratkan. 3. Phase 3 : Physical flows

Menggambarkan aliran fisik yang dapat berupa : langkah-langkah utama aliran material dan aliran produk dalam perusahaan, waktu yang dibutuhkan, waktu penyelesaian tiap-tiap operasi, berapa banyak orang yang bekerja disetiap workplace, berapa lama waktu berpindah yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu workplace ke workplace yang lain, berapa jam per hari tiap workplace beroperasi, titik bottleneck yang terjadi dan lain-lain.

4. Phase 4 : Linking physical and information flows

Menghubungkan aliran informasi dan aliran fisik dengan anak panah yang dapat memberi informasi jadwal yang digunakan, instruksi kerja yang dihasilkan, dari dan untuk siapa informasi dan instruksi dikirim, kapan dan dimana biasanya terjadi masalah dalam aliran fisik.

5. Phase 5 : Complete map

Melengkapi peta atau gambar aliran informasi dan aliran fisik dilakukan dengan menambahkan lead time dan value adding time dari keseluruhan proses dibawah gambar aliran yang dibuat.

Simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture Mapping adalah sebagai berikut:

2.4.4 Value Stream Analysis Tools (VALSAT)

Selain Big Picture Mapping, alat yang digunakan dalam konsep Lean Six Sigma adalah Value Stream Mapping Tools (VALSAT). Alat ini berfungsi untuk


(36)

memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan (waste).

Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state yang diusulkan

Value Stream berfokus pada proses value adding dan non-value adding. Value Stream Mapping dikembangkan pada tahun 1995. alasan yang mendasari pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para peneliti atau para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual

value stream dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Untuk lebih jelasnya berikut detil dari ketujuh tool yang dikemukakan oleh Hines&Rich (2005) dalam VALSAT:

1. Proses Activity Mapping (PAM)

Pada dasarnya tool ini digunakan untuk me-record seluruh aktivitas dari suatu proses dan berusaha untuk mengurangi aktivitas yang kurang penting, menyederhanakannya, sehingga dapat mengurangi waste. Dalam tool ini aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori seperti: operation, transport, inspection, dan storage. Selain aktivitas, tool ini juga me-record mesin dan area yang digunakan dalam operasi, serta jarak perpindahan, waktu yang dibutuhkan , dan jumlah operator. Dalam proses penggunaan tool tersebut peneliti harus memahami dan melakukan studi berkaitan dengan aliran proses, selalu berpikir untuk mengidentifikasi waste, berpikir untuk tentang aliran proses yang sederhana, efektif dan smooth dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan mengubah urutan proses atau process rearrangement (Hines&Rich, 2005).


(37)

2. Supply Chain Response Matrix

Tool ini meruoaka sebuah diagram sederhana yang berusaha menggambarkan

the critical lead time constraint untuk setiap bagian proses dalam supply chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik

supplier-nya dan downstream retailer-nya. Diagram ini terdapat dua axis

dimana untuk vertical axis menggambarkan rata – rata jumlah inventory (hari) dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan untuk horizontal axis

menunjukkan cumulative lead time-nya. 3. Production Variety Funnel

Teknik pemetaan secara visual dengan cara melakukan plot pada sejumlah produk yang dihasilkan dalam setiap tahap proses manufaktur. Teknik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik mana sebuah produk generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik, dapat menunjukkan area bottleneck

pada desain proses. 4. Quality Filter Mapping

Quality filter mapping merupakan tool untuk mengidentifikasi dimana terdapat problem kualitas. Hasil dari pendekatan ini menunjukkan dimana tiga tipe

defect terjadi. Ketiga tipe defect tersebut adalah product defect (cacat fisik produk yang lolos ke customer), service defect (permasalahan yang dirasakan

customer berkaitan dengan cacat kualitas pelayanan), dan internal defect (cacat masih berada dalam internal perusahaan, sehinggaberhasil diseleksi dalam tahap inspeksi). Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara latotudinaly


(38)

5. Demand Amplification Mapping

Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demad berubah – ubah sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi yang dihasilkan oleh diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan menguranginya., membuat keputusan berkaitan dengan value stream configuration. Dalam diagram ini vertival axis menggambarkan jumlah

demand dan horizontal axis menggambarkan interval waktu, grafik didapatkan untuk setiap chain dari supplychain configuration yang ada.

6. Decision Point Analysis

Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana actual demand

dilakukan dengan system pull sebagai dasar untuk membuat peramalan pada sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik batas dimana produk dibuat berdasarkan actual demand dan setelah titik ini selanjutnya produk harus dibuat dengan melakukan peramalan. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan dari porses upstream dan downstream berdasarkan titik tersebut, sehingga dapat ditentukan filosofi pull atau push yang sesuai. Selain itu juga dapat digunakan sebagai scenario apabila titiktersebut digeser dalam sebuah value stream mapping.

7. Physical Structure Mapping

Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi – fungsi bagian – bagian dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi dan dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk level yang lebih kecil tool ini dapat menggambarkan inbound supply chain di


(39)

lantai produksi. Pemahaman terdapat fungsi – fungsi di dalam inbound supply chain tersebut dan memberikan pemahaman berkaitan dengan inefisiensi bagian produksi.

(Sumber : Analisis Pemborosan Perusahaan Mebel Dengan Pendekatan Lean Manufacturing, Jurnal Teknik Industri Universitas Diponegoro Semarang.)

(Sumber : Penerapan Konsep Lean Thinking Untuk Mengurangi Waste Pada Perusahaan Plasatik Sumber Jaya. Jurnal Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya)

2.4.5 Penggunaan VALSAT

Dari ketujuh tool tersebut akan digunakan dalam usaha untuk memahami kondisiyang terjadi di lantai produksi. Penggunaan tool tersebut dilakukan dengan melakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Untuk langkah pertama dan penting dalam pemilihan tool yang sesuai denga kondisi yang bersangkutan adalah melakukan pembobotan waste. Pembobotan ini merupakan hal yang sangat penting sekali menurut Hines&Rich (2005) karena dengan pembobotan waste

yang sempurna maka tool yang digunakan juga tepat sehingga mudah dalam melakukan usulan perbaikan. Kemudian dilakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Matrik ini dikemukakan oleh Hines&Rich (2005) dalam program LEAP.


(40)

Gambar 2.6 Matriks VALSAT (http:/lean.org) Dimana:

Kolom A : Berisi 9 waste dalam perusahaan.

Kolom B : Berisi 7 tool pada value stream mapping (Process activity mapping,

Supply chain response matrix, Production variety funnel, Quality filter mapping, Demand amplification mapping, Decision point analysis dan Physical structure mapping).

Kolom C : Berisi korelasi antara kolom A dan kolom B. Kolom D : Bobot dari 9 waste.

Kolom E : Berisi pembobotan dari masing-masing waste yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh manajer dan supervisor terkait.

Sedangkan untuk bagian F diisi dengan melakukan perkalian antar bobot

waste dengan nilai korelasi antar waste dengan masing – masing tools. Dimana korelasi setiap waste terdapat korelasi high dengan nilai Sembilan (9), medium

dengan nilai tiga (3), dan low dengan nilai satu (1 ). Nilai korelasi yang dibuat oleh Hines&Rich (2005) dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(41)

Cont rol

Define (D)

Improve

Analyze (A) M easure Tabel 2.2 Tabel korelasi waste terhadap tools

(http:/lean.org)

2.5 DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control)

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.8, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).

Gambar 2.7 Proses DMAIC


(42)

2.5.1 Define (D)

Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas, dan tujuan organisasi yang sekarang.

Secara umum setiap proyek Six Sigma yang terpilih harus mampu memenuhi kategori :

1. Memberikan hasil-hasil dan manfaat bisnis 2. Kelayakan

3. Memberikan dampak positif kepada organisasi

(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.33, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).

2.5.2 Measure (M)

Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas

Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure,

yaitu :

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.


(43)

2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada tingkat proses, output dan/atau outcome.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan/atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. (Sumber : “PedomanImplementasi Six Sigma”, hal.72, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).

2.5.2.1 Mengidentifikasi Sumber-Sumber Penyebab Kecacatan atau Kegagalan

Suatu solusi masalah yang efektif adalah apabila berhasil ditemukan sumber sumber penyebab masalah itu kemudian mengambil tindakan untuk menghilangkan akar-akar penyebab tersebut. Untuk dapat menemukan akar penyebab dari suatu masalah, perlu dipahami prinsip yang berkaitan dengan hukum sebab-akibat, yaitu:

• Suatu akibat terjadi hanya jika penyebabnya itu ada pada titik yang sama dalam ruang dan waktu.

• Setiap akibat memiliki paling sedikit dua penyebab dalam bentuk:

a. Controllable Causes: penyebab itu berada dalam lingkup tanggung jawab dan wewenang manusia sehingga dapat diambil tindakan untuk menghilangkan penyebab itu.

b. Uncontrollable Causes: penyebab yang berada di luar pengendalian manusia.


(44)

Menemukan akar penyebab dari suatu masalah dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip “5 Why’s”, yaitu dengan bertanya “mengapa” sebanyak lima kali tentang terjadinya suatu akibat maka akan dapat ditemukan dan dipahami sebab-sebab yang melatarbelakanginya.

Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui bertanya “Why” beberapa kali itu dapat dimasukkan ke dalam Diagram Sebab – Akibat.

2.5.2.2 Diagram Sebab – Akibat

Diagram sebab-akibat (atau juga disebut Diagram Tulang-ikan, Diagram Ishikawa) dikembangkan oleh Kaoru Ishikawa dan pada awalnya digunakan oleh bagian pengendali kualitas untuk menemukan potensi penyebab masalah dalam proses manufaktur yang biasanya melibatkan banyak variasi dalam sebuah proses. Namun kemudian digunakan secara luas dalam setiap aspek kegiatan bisnis ketika diperlukan pemilahan penyebab timbulnya masalah untuk kemudian disusun dalam suatu hubungan yang saling berkaitan.

Dalam industri manufaktur, pembuatan diagram sebab-akibat ini dapat menggunakan konsep “5M-1E”, yaitu: machines, methods, materials, measurement, men/women, dan environment. Sedangkan dalam bidang pelayanan dapat memakai pendekatan “3P-1E” yang terdiri dari: procedures, policies, people, serta equipment.


(45)

Gambar 2.8 Diagram Sebab – Akibat Sumber: Grant, 1999: 330

2.5.3 Analyze (A)

Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas

Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut :

1. Menentukan kapabilitas / kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

2. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa

cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan


(46)

membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.200, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).

Setelah akar-akar penyebab dari masalah ditemukan, maka dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu :

1) Manpower ( Tenaga Kerja ). 2) Machines ( Mesin-mesin ). 3) Methods ( Metode Kerja ).

4) Material ( Bahan Baku dan Bahan Penolong ). 5) Media (Surat Kabar).

6) Motivation ( Motivasi ). 7) Money ( Keuangan ).

(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).

2.5.4 Improve (I)

Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.282, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).


(47)

2.5.5 Control (C)

Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas

Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarkan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau praktek-praktek lama terulang kembali. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.293, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002).

2.6 Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah potensial (kegagalan). (Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.402, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002).

Definisi FMEA yang lain yaitu suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Mode kegagalan ini meliputi apa saja yang termasuk dalam kecacatan desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu.


(48)

Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses telah dijalankan. Dengan menggunakan FMEA maka akan meningkatkan keandalan dari suatu produk dan pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk dan pelayanan tersebut.

Tahapan FMEA sendiri adalah :

1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap

define dari proses DMAIC.

2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa.

3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan / defect

potensial pada proses.

4. Mengidentifikasi potensial cause (penyebab dari kesalahan / defect

yang terjadi).

5. Mengidentifikasikan akibat (effect) yang ditimbulkan.

6. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan brainstorming) dalam point : - Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan

terhadap konsumen (severity).

- Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance). - Alat kontrol akibat potential cause (detection).

7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan 3 kriteria yang telah dibuat sebelumnya.

8. Dapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan jalan mengalikan nilai SOD (Severity, Occurance, Detection).


(49)

9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang diakibatkan.

10.Buat implementation action plan, lalu terapkan.

11.Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah-langkah yang sama diatas.

12.Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause

yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan.

2.6.1 Severity

Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang bagaimana pengaruh buruk yang dirasakan akibat kegagalan dalam proses produk atau jasa. Adapun skala yang menggambarkan severity dapat diinterpretasikan pada tabel 2.2 sebagai berikut :

Tabel 2.3 Skala Penilaian Severity Rating Kriteria Deskripsi

1 Negligible severity Pengaruh buruk yang dapat diabaikan 2 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit 3 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit 4 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

5 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

6 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

7 High severity Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar

batas toleransi)


(50)

batas toleransi)

9 Potential safety

problem

Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya (berkaitan dengan keselamatan atau keamanan potensial)

2.6.2 Occurrence

Occurrence menunjukkan nilai keseringan suatu masalah terjadi karena potensial cause. Adapun skala yang menggambarkan occurrence dapat diinterpretasikan pada tabel 2.3 sebagai berikut :

Tabel 2.4 Skala Penilaian Occurrence Rating Tingkat Kegagalan Deskripsi

1 1 dalam 1.000.000 Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang menyebabkan mode kegagalan

2 1 dalam 20.000 Kegagalan akan jarang terjadi 3 1 dalam 4.000 Kegagalan akan jarang terjadi 4 1 dalam 1.000 Kegagalan agak mungkin terjadi 5 1 dalam 400 Kegagalan agak mungkin terjadi 6 1 dalam 80 Kegagalan agak mungkin terjadi

7 1 dalam 40 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 8 1 dalam 20 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 9 1 dalam 8 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan

akan terjadi

10 1 dalam 2 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi

2.5.3 Detection

Detection merupakan alat kontrol yang digunakan untuk mendeteksi

potential cause. Adapun skala yang menggambarkan detection dapat diinterpretasikan dalam tabel 2.4 sebagai berikut


(51)

Tabel 2.5 Skala PenilaianDetection

Rating Degree Deskripsi

1 Very high Otomatis proses dapat mendeteksi kesalahan yang terjadi (komputerisasi)

2 Very high

Hampir semua kesalahan dapat dideteksi oleh alat kontrol (visual pada bentuk barang dan double checking)

3 High Alat kontrol cukup andal untuk mendeteksi kesalahan (visual pada bentuk barang)

4 High Alat kontrol relatif andal untuk mendeteksi kesalahan (visual pada bentuk barang)

5 Moderate Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)

6 Moderate Alat kontrol cukup bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)

7 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan rendah (pengamatan fisik)

8 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan sangat rendah (perubahan warna)

9 Very low

Alat kontrol tidak bisa diandalkan untuk mendeteksi kesalahan (feeling berdasar pengalaman masa lalu)

10 Very low Tidak ada alat kontrol yang bisa digunakan untuk mendeteksi kesalahan

2.7 Penelitian Terdahulu

Untuk mengetahui perkembangan penelitian dengan tema lean thinking,

peneliti akan memberikan review dari beberapa penelitian terdahulu sehingga dapat diketahui posisi dan perbedaan penelitian yang dilakukan saat ini dengan penelitian lainnya, antara lain:

o Penelitian oleh Dina Amamiyah (2006) melakukan identifikasi terhadap pemborosan dengan menggunakan VALSAT guna mengurangi lead time


(52)

oleh peneliti belum mempertimbangkan konstrain dari perusahaan dan biaya. Selain itu, hanya beberapa tools VALSAT saja yang digunakan.

o Penelitian oleh Suhartono (2007) melakukan identifikasi waste dengan VALSAT, menggunakan work 29 sampling untuk mengetahui performansi operator, waktu standar, dan output standar. Implementasi dari alternatif perbaikan disimulasikan dengan software Arena 5. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa waste yang sering terjadi adalah unnecessary inventory

dan excessive transportation. Usulan perbaikan untuk mengurangi adanya

unnecessary inventory dengan melakukan perancangan layout, yaitu penggabungan departemen cutting dengan pengeleman menghasilkan penurunan tingkat work in process sebesar 1413 box per hari dan memperpendek lead time sebesar 0.629 jam.

o Penelitian oleh Hawien Nishfi L. (2008) melakukan identifikasi waste pada industri sepatu dengan VALSAT, melakukan perbaikan dengan standar kerja, memberikan rekomendasi perbaikan yang disimulasikan dengan software

Arena 5. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa waste mulai dari yang sering terjadi sampai yang jarang terjadi adalah waiting, Defect & Inappropriate processing, Unnecessary Motion, Transportasi, dan Overproduction & Unncessary Inventory. Usulan perbaikan untuk mengurangi waste tersebut adalah penggunaan operator yang optimum, Pengurangan standby stock, Penggunaan sistem kanban, Perbaikan fasilitas kerja, Penentuan waktu standart dan output sandart operator picking, Training kepada operator dan meningkatkan pengawasan.


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PT. IGLAS Gresik. Pengambilan data dilaksanakan dibagian produksi pada proses pembuatan Botol Gelas Polos “Medium Weight” pada bulan November 2010 sampai data itu tercukupi.

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Dalam identifikasi variable terdapat variabel – variabel yang didapatkan berdasarkan dari data perusahaan yang digunakan dalam metode Lean Thinking. Variabel – variabel tersebut adalah sebagai berikut:

a. Variabel Terikat

Variabel terikat yaitu variabel yang nilainya tergantung dari variasi perubahan variabel bebas, adapun variabel bebas terikat dalam penelitian ini adalah Kegiatan Value Adding dan Kegiatan Non-value adding.

b. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah suatu variabel yang mempunyai nilai berubah – ubah dan mempengaruhi variasi pe rubahan nilai variabel terikat, variabel tersebut meliputi:

1. Waste Environmental, Health, and Safety, pemborosan yang terjadi akibat kelalaian pihak – pihak tertenti dalam perusahaan untuk memahami prosedur EHS yang ada. Dengan sikap seperti ini akan menimbulkan dampak seringnya terjadi kecelakaan kerja. Jika permasalahan kecelakaan tersebut terjadi, maka


(54)

akan tidak sedikit biaya, waktu, dan tenaga yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mengatasinya.

2. Waste Defect, tidak sesuai dengan spesifikasi, diantarnaya, retak pada body /

Cracks body, Retak pada pundak / Cracks Shoulder, Retak pada dinding /

Crack bottom, dan masih banyak lainnya.

3. Waste Overproduction, pemborosan yang disebabkan produksi yang berlebihan, maksudnya adalah memproduksi produk yang melebihi yang dibutuhakan atau memproduksi lebih awal dari jadwal yang sudah dibuat. Bentuk dari overproduction ini antara lain adalah aliran produksi yang tidak lancar, tumpukan WIP yang terlalu banyak, target dan pencapaian hasil produksi dari setiap bagian produksi kurang jelas.

4. Waste Waiting, pemborosan karena menunggu untuk proses berikutnya.

Waiting merupakan selang waktu ketika operator tidak menggunakan waktu untuk melakukan value adding activity dikarenakan menunggu aliran produk dari proses sebelumnya (upstream). Waiting ini juga mencakup operator dan mesin seperti kecepatan produksi mesin dalam stasiun kerja lebih cepat atau lambat daripada stasiun yang lainnya.

5. Waste Not Utilizing Employees Knowledge, Skills, and Abilities merupakansuatu kondisi dimana sumber daya yang ada (operator) tidak digunakan secara maksimal, sehingga terjadi pemborosan. Kinerja operator yang tidak maksimal ditujukkan dengan tidak adanya aktivitas yang dilakukan operator (menganggur) atau produktivitas rendah. Selain itu juga bisa diakibatkan penggunaan operator yang tidak tepat untuk suatu pekerjaan tertentu.


(55)

6. Waste Transportation, merupakan kegiatan yang penting akan tetapi tidak menambah nilai dari suatu produk. Transport merupakan proses memindahkan material atau Work In Process dari satu stasiun kerja ke satsiun kerja yang lainnya. Baik menggunakan forklift maupun conveyor.

7. Waste Inventories, berarti persediaan yang kurang perlu. Maksudnya adalah persediaan material yang terlalu banyak, Work In Process yang terlalu banyak antara proses satu dengan proses yang lainnya sehingga membutuhkan ruang yang banyak untuk menyimpannya, kemungkinan pemborosan ini adalah

buffer yang sangat tinggi.

8. Waste Motion, berarti adalah aktivitas atau pergerakan yang kurang perlu yang dilakukan operator yang tidak menambah nilai dan memperlambat proses sehingga lead time menjadi lama. Proses mencari komponen karena tidak terdeteksi tempat penyimpanannya, gerakan tambahan untuk mengoperasikan suatu mesin. Hal ini juga dapat terjadi dikarenakan layout produksi yang tidak tepat sehingga sering terjadi pergerakan yang kurang perlu dilakukan oleh operator.

9. Waste Excees Process, terjadi ketika metode kerja atau urutan kerja (proses) yang digunakan dirasa kurang baik dan fleksibel. Hal ini juga dapat terjadi ketika proses yang ada belum standar sehingga kemungkinan produk yang rusak akan tinggi. Selain itu juga ditunjukkan dengan adanya variasi metode yang dikerjakan operator.


(56)

3.3Pengambilan Data

Pengambilan data yang dilakukan di lingkungan produksi PT. IGLAS menggunakan dua cara yaitu :

a. Data Primer

Data primer didapatkan dengan melakukan pengamatan secara langsung di lantai produksi. Pengamatan tersebut dilakukan untuk mendapatkan waktu beserta output proses dari setiap operasi dan performansi operator dari setiap bagian produksi. Pengukuran tersebut dilakukan dengan metode work sampling. Selanjutnya peneliti melakukan penyebaran kuisioner tentang waste. Hasil dari kuisioner

digunakan untuk menentukan ranking penggunan value stream analysis tools. Dari

ranking tersebut nantinya akan digunakan oleh peneliti dalam proses identifikasi waste

beserta akar permasalahannya Kemudian peneliti membuat current state value stream

mapping dari datadata yang sudah dihubungkan untuk mengetahui waste-waste beserta hubungannya dan akar permasalahannya.

b. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari arsip yang sudah ada di perusahaan, antara lain: variasi produk dan spesifikasinya, variasi bahan baku, variasi mesin dan karakteristiknya, lead time order bahan baku, layout lantai produksi, dan jumlah operator, dan kebijakan yang sedang diterapkan di perusahaan


(57)

3.4 Metode Pengolahan Data

Pada penelitian ini tahap pengolahan data menggunakan pengolahan data kuisioner, tool Big Picture Mapping (BPM), dan pengolahan data Value Stream Analysis Tools (VALSAT).

3.4.1 Pengolahan data kuisioner

Dari kuisioner pembobotan nine waste yang telah disebarkan kepada karyawan maka akan didapatkan ranking dan rata-rata waste yang paling besar secara berurutan, dari hasil pembobotan tujuh jenis pemborosan tersebut maka akan diolah dengan tabel VALSAT untuk menentukan tool mapping yang akan digunakan.

Dalam penyebaran kuisioner tersebut dilakukan pendampingan untuk menjelaskan secara langsung pada responden mengenai waste tersebut. Pengisian skor ditetapkan maksimal 45 untuk memaksa responden memberi peringkat terhadap waste yang ada. Penggunaan metode ini diharapkan mampu untuk menyediakan data kualitatif yang bersifat aktual. Terbatasnya jumlah kuisioner yang tersebar kemudian ditunjang dengan data-data kuantitatif mengenai jenis-jenis waste tersebut, baik berupa data histories perusahaan maupun pengukuran langsung bila diperlukan.

3.4.2 Pengolahan data dengan BPM

Big picture Mapping adalah suatu tool yang diadopsi dari Sistem Produksi Toyota yang dapat digunakan untuk menggambarkan suatu sistem secara keseluruhan beserta aliran nilai (value stream) yang terdapat dalam perusahaan,


(58)

atau Big Picture Mapping merupakan tool yang digunakan untuk menggambarkan sistem secara keseluruhan dan value stream sistem produksi, dimana tool ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan pemahaman secara umum dari sistem produksi perusahaan (dalam hal memproduksi karung plastik). Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk membentuk Big Picture Mapping adalah sebagai berikut :

a) Mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan

b) Menambahkan aliran informasi yang melintasi proses yang ditinjau c) Menambahkan aliran fisik pada peta tersebut

d) Menghubungkan aliran fisik dan aliran informasi

e) Melengkapi peta di atas dengan informasi lead time dan value adding time dari keseluruhan proses

3.4.3 Pengolahan data dengan VALSAT

Merupakan tools yang tepat. Terdapat 9 (sembilan) detail mapping tools

yang mempunyai kemampuan dan manfaat masing-masing untuk memetakan

waste. Masing-masing tools mempunyai kemampuan bobot low, medium, high

sesuai ketentuan peringkatnya sekaligus menunjukkan skor yang dapat mengindikasikan sedikit atau besarnya pengaruh pemborosan pada mapping yang dipilih. Adapun tools yang digunakan dalam VALSAT beserta kemampuan bobotnya adalah sebagai berikut :


(59)

Tabel 3.1 Value Stream Analysis Tools Sumber 7 : Hines dan Rich , “Velue stream managemen”2000.

Notes : H : high correlation and usefulness M : medium correlation and usefulness L : low correlation and usefulness

Keterangan : H (high correlation) : faktor pengali = 9

M (medium correlation) : faktor pengali = 3

L (low correlation) : faktor pengali = 1

Pengolahan data dengan VALSAT merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan melakukan pembobotan waste-waste, kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool


(60)

3.5. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Start Studi Literatur Studi Lapangan Perumusan Masalah Tujuan Penelitian

Identifikasi Variabel : 1.Variabel bebas (nine waste)

2. Variabel Terikat ( Value Adding, Non Value Adding, Necessary But Non Value Adding )

Pengumpulan Data

Data Aliran Fisik : - Big Picture Mapping - Waktu Produksi

Data Sekunder Data Primer

Pengolahan data Kuesioner

VSM ( VALUE STREAM MAPPING )

Pengolahan Valsat: 1. Skor rata-rata tiap jenis waste

2. Bobot Detail Mapping Tolls

3.Perhitungan matriks valsat 4. Proses Activity Mapping ( PAM )

Perhitungan tools yang tepat :

(PAM, Suppley Chain Metrix, Production Varientifunnel,Quality Filter Mapping, Demand Amplification mapping, Decision

point analiysis, Phisical Structure)

Analisa dan Pembahasan 1. Analisa Value Stream Mapping

2. Rekomendasi perbaikan dengan FMEA

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Identifikasi waste dengan penyebaran kuesioner


(61)

3.6 Penjelasan Flowchart 1. Mulai

Pada langkah ini merupakan awal dari proses pemecahan masalah dengan studi pengenalan dari perusahaan yang menjadi tempat penelitian.

2. Studi literatur

Studi literatur bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman landasan teori dari permasalahan yang akan diteliti, serta menunjang dan mempermudah bagi penelitian untuk merumuskan masalah penelitian tersebut, yang meliputi konsep produktivitas, pendekatan lean, nine waste, tools yang digunakan untuk memecahkan permasalahan, dan peneliti sebelumnya.

3. Studi lapangan

Langkah ini merupakan pengambilan data dengan cara pemahaman proses produksi perusahaan. Data yang diambil adalah data yang diperlukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dari obyek tersebut. Sehingga nantinya dapat memberikan jawaban dari masalah tersebut.

4. Merumuskan masalah

Langkah ini merupakan perumusan masalah yang disusun berdasarkan latar belakang dari masalah yang ada yaitu ”Bagaimana cara mengurangi kegiatan non-value adding di PT. Petrowidada Gresik dengan mengidentifikasi waste yang terjadi.” kemudian ditentukan metode yang tepat dalam penyelesaian permasalahan tersebut.


(62)

5. Menetapkan tujuan penelitian

Menetapkan tujuan penelitian agar dapat diketahui nilai dan penyebab terjadinya waste serta dapat memberikan usulan perbaikan pada perusahaan.

6. Identifikasi variabel

Langkah ini merupakan pengidentifikasian variable-variabel yang berhubungan dengan pemecahan masalah yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

7. Pembuatan kuisioner

Pada langkah ini peneliti menyusun kuisioner yang akan diberikan kepada kepala bagian dari setiap divisi yang mengerti betul tentang aliran produksi. Kuisioner ini berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai

nine waste yang sering terjadi beserta penyebab terjadinya nine waste

tersebut.

8. Penyebaran kuisioner

Langkah ini dilakukan agar peneliti mengetahui tingkat waste yang sering terjadi di lantai produksi, agar nantinya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk memberikan usulan perbaikan perusahaan.

9. Pengumpulan data

Pada langkah ini peneliti melakukan pengumpulan data yang meliputi data aliran bahan atau proses produksi, data waktu produksi, serta pengumpulan data hasil kuisioner 9 waste.


(1)

2. Transportation, Jarak antara mesin terlalu jauh

Severity (S) = 5 (pengaruh buruk yang masih berada dalam batas toleransi) Occurance (O) = 5 (kegagalan agak mungkin terjadi )

Detection (D) = 5 (Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan)

Nilai RPN = S x O x D

= 5 x 5 x 5

= 125

3. Waiting, Kurang Operator Pemasukan Raw Material Jadi Lambat.

Severity (S) = 4 (pengaruh buruk yang masih berada dalam batas toleransi) Occurance (O) = 5 (kegagalan agak mungkin terjadi )

Detection (D)= 4 (alat Rcontrol relatif andal untuk mendeteksi kesalahan )

Nilai RPN = S x O x D

= 4 x 5 x 4

= 80

Berdasarkan dari tabel 4.16, diketahui nilai RPN yang terbesar pada proses

pembuatan produk Botol Gelas “Medium Weight” pada PT.IGLAS karena

peralatan mesin yang kurang diperhatikan, baik dalam hal setting mesin maupun perawatannya. Dengan melihat nilai RPN, maka disini peneliti hanya memberikan sebatas usulan rencana perbaikan dan pengendalian kepada pihak perusahaan untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan. Adapun usulan rencana perbaikan dan pengendalian tersebut dapat dilihat seperti tabel sebagai berikut :


(2)

Tabel 4.11 Usulan Rencana Perbaikan

Jenis Waste

RPN

Potential root cause

Rencana Perbaikan

Defect 294 Kualitas Botol Gelas

Medium Weight” kurang memenuhi standard dikarenakan bahan baku yang menurun serta keausan dan maintenance mesin yang penggunaannya untuk berproduksi secara continue

Melakukan checking terjadwal untuk kualitas bahan baku dan untuk mesin seharusnya dilakukan perawatan dan bila perlu dilakukan penggantian mesin untuk mesin yang sudah tua / aus serta penjadwalan tetap

Transportasi 100 Jarak antara

penumpukan bahan baku dan area produksi terlampau jauh

Perbaikan Layout produksi dari bahan baku menuju tempat produksi untuk mengurangi jumlah waktu transportasi atau menambah sarana pengangkutan bahan baku menuju area produksi (forklift)

Waiting 80 kurangnya operator

pada area produksi Batch Plant / Proses Pencampuran dan

Performance Rating

antar Operator yang bervariasi

Sebaiknya dilakukan penambahan operator untuk mempercepat proses pemasukan bahan baku ketempat

receiving hover dan dilakukan

Training untuk membuat standarisasi bagi para operator agar tidak melakukan gerakan – gerakan yang tidak diperlukan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dari hasil analisa identifikasi diketahui bahwa pemborosan yang sering terjadi dengan urutan rangking 1 sampai dengan 3 adalah :

a. Defect dengan bobot skor rata - rata sebesar 4,0 dari total responden. b. Transportation dengan bobot skor rata - rata sebesar 1,9 dari total

responden.

c. Waiting dengan bobot skor rata - rata sebesar 1,6 dari total responden. Sehingga diketahui penyebab terjadinya pemborosan :

- Waiting karena kurangnya operator pada area produksi Batch Plant /

Proses Pencampuran dan Performance Rating antar Operator yang

bervariasi

- Defect karena kurang memenuhi standard dikarenakan bahan baku yang kurang standard serta keausan dan maintenance mesin yang penggunaannya untuk berproduksi secara continue

- Transportation karena Jarak antara penumpukan bahan baku dan area produksi terlampau jauh.


(4)

2. Berikut adalah identifikasi kegiatan Value Adding dan Kegiatan Non value Adding :

Value Adding Non Value Adding

area persiapan Penumpukan Bahan Baku

pemasukan bahan baku Pemindahan Bahan Baku

proses pencampuran bahan baku Pengangkutan Bahan Campuran

proses peleburan Furnace Terisi Penuh

proses mixing, proses peleburan Pengangkutan Ke Gudang Sementara

proses forming Penumpukan, Botol Gelas Gudang

Sementar

proses anneling Pengangkutan ke Gudang Barang jadi

proses sortir

Penumpukan Botol Gelas Barang jadi proses packing

proses pengecekan botol

2. Usulan Perbaikannya untuk 3 ranking pertama yaitu

a. wastedefect (RPN = 294), mesin seharusnya dilakukan perawatan dan bila perlu dilakukan penggantian mesin untuk mesin yang sudah tua / aus serta penjadwalan tetap.

b. Waste transporation (RPN = 100), menambah sarana pengangkutan bahan baku menuju area produksi (forklift) agar tidak terjadi delay / waktu menunggu yang terlalu lama

c. Waste waiting (RPN = 80), penambahan operator untuk mempercepat proses pemasukan bahan baku ketempat receiving hover dan dilakukan Training untuk membuat standarisasi bagi para operator


(5)

5.2 Saran

Berikut adalah beberapa saran yang diberikan kepada perusahaan yang berhubungan dengan penelitian ini :

a. Perusahaan hendaknya memberikan training serta pengetahuan lebih kepada seluruh karyawan di perusahaan tentang waste (pemborosan) yang

sering terjadi dan bagaimana cara mereduksinya atau

meminimalisirkannya.

b. Perusahaan hendaknya melakukan pembenahan terhadap permasalahan

kerja yang ada (waste yang terjadi) sehingga biaya atau ongkos produksi bisa dikurangi


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, (2002). The Six Sigma Way,

Penerbit Andi, Yogyakarta,

Gazpers, Vincent (2007). Lean-Sigma Green Company, Sebuah Landasan

Kokoh Menuju Perusahaan yang Lebih

Askin, Ronald.G & Goldberg, Jeffrey B, 2002. Design and Analysis of Lean Production Systems. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Hines, Peter and Rich, Nick (2005). The Seven Value Stream Mapping Tools. International Journal of Operation & Production Management, Vol. 17, No.1, pp. 46-04. Cardiff, UK: Lean Enterprise Research Centre, Cardiff Business School.

Laily, Hawien (2008). Penerapan Lean Production pada Sistem Produksi

Industri Sepatu. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

http://www.sciencedirect.com http://www.lean.org

http:/lean.org/Community/Ressources/mapiconsdiscl.cfm

Rochmoeljati, Rr. (2009). Upaya Penurunan Jumlah Cacat Produk Pada

Mesin Extruder Dengan Metode Filure Mode And Effect ANnalysis (FMEA). Jurnal Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur.

Womack, J. and Jones, D.T. (2003). Lean Thinking, banish wastes and create wealth in your corporation, revised and updated, Free Press.

Gazpers, Vincent , (2002), Pedoman Implementasi Program SIX

SIGMA, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hartini, Sri (2009). Analisis Pemborosan Perusahaan Mebel Dengan

Pendekatan Lean Manufacturing (Studi Kasus PT “X” Indonesia). Jurnal Teknik Industri Universitas Diponegoro Semarang.