Peran Kelompok Ternak Sapi Potong Dalam Menunjang Program Kecukupan Daging 2010 ( The Role Of Cattle-farmer Group In Supporting The Program Of Indonesian Meat Sufficiency 2010 ).
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN INDONESIA – MALAYSIA ( SKIM X )
Kuala Lumpur 29 – 31 Mei 2007
PERAN KELOMPOK TERNAK SAPI POTONG DALAM MENUNJANG PROGRAM KECUKUPAN DAGING 2010
OLEH:
Rochadi Tawaf dan Sri Rahayu Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
2007
ABSTRAK
Program kecukupan daging (PKD) 2010 yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Peternakan mengacu kepada tiga program Departemen Pertanian yaitu: Program Pengembangan Agribisnis (PPA), Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP) dan Program Ketahanan Pangan (PKP). Dalam program ini diharapkan peran produksi daging sapi dalam negeri mampu memberikan kontribusi sekitar 90 – 95%. Saat ini diperkirakan kemampuan produksi daging dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi sekitar 70 – 75% terhadap kebutuhan nasional. Program ini dicanangkan sejak tahun 2004.
PKD 2010 akan melibatkan peran pemerintah, peternak/kelompok peternak dan perusahaan peternakan. Untuk mengetahui sejauh mana peran peternak/kelompok peternak dalam menunjang program PKD 2010, telah dilakukan pengkajian (pada bulan Agustus-November 2006) terhadap kelompok Peternak Penerima BLM/BPLM/PMUK mulai tahun 2002 – 2005 di 30 Propinsi Indonesia. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa peran kelompok BLM/BPLM/PMUK dalam menunjang PKD 2010 adalah sebagai berikut:
1. Secara nasional rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong pada kelompok BLM/BPLM/PMUK berada pada angka 4,48% per tahun. Beberapa propinsi dengan konsistensi pertumbuhan yang cukup besar di atas 10% per tahun, antara lain Propinsi Sulawesi Tenggara, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah. Sedamgkan pertumbuhan sekitar 5%-10% per tahun adalah propinsi NTB, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Selatan. Propinsi lain dimana pertumbuhannya di atas rata-rata nasional adalah NAD, Sumatera Utara, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
2. Dalam memberikan dukungan yang lebih besar dari kelompok BLM/BPLM/PMUK terhadap PKD 2010, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produkivitas bibit sapi potong, antara lain berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas sapi potong, antara lain:
a. Pemanfaatan teknologi IB yang lebih baik dan meluas: Sosialisasi IB, Pencetakan kader inseminator, Fasilitasi kader untuk meningkatkan daya jangkau pelayanan.
b. Perbaikan pakan pasca partus/masa menyusui: sosialisasi pakan leguminsa, pemanfaatan leguminosa, penggunaan konsentrat, pemanfaatan limbah agro-industri, difusi teknologi pengolahan pakan sampai di tingkat peternak. c. Pembesaran ternak unggul calon induk: penjaringan pedet atau bakalan
unggul, pejantan unggul bagi daerah tidak terjangkau IB.
d. Peningkatan nilai tambah usaha: kombinasi pembibitan dan penggemukan, pengolahan/pemanfaatan limbah kandang, sebagai pupuk organik, akses permodalan yang mudah dan murah.
(2)
THE ROLE OF CATTLE-FARMER GROUP IN SUPPORTING THE
PROGRAM OF INDONESIAN MEAT SUFFICIENCY 2010
Tawaf, R. and Rahayu, S
ABSTRACT
The national program of meat sufficiency (PKD) 2010 designed by Directorate
General of Livestock was initiated in 2004 and performed on the basis of three major
programs progressed by Indonesian Agricultural Ministry, namely Agribusiness
Development Program (PPA), Farmer Welfare Improvement Program (PPKP) and
Food Security Program (PKP). As a national program, it concerned the role of
government, smallholders and groups of cattle farmer and livestock enterprises
(private). PKD was expected to boost the contribution of domestic meat production
(produced by smallholder) in satisfying national demand into (90–95) %, while it was
estimated that only (70-75) % for the current level.
To quantify the roles of cattle-farmer group, a study was conducted in 30 provinces in
Indonesia between August to November 2006, specifically intended to the group that
procured transfer payments from Indonesian government at the period of 2002-2005
(they subsequently obliged to convert the payments into form of cattle, namely
BLM-BPLM-PMUK). The study is therefore revealed:
1. On national average, the rate of cattle population growth that reared by
smallholder groups accounts for 4.48 % annually. South-east Sulawesi,
Jogjakarta, East Java and Central Kalimantan are provinces with over 10%
consistent annually growth. West Nusa Tenggara, South Sulawesi, Lampung
and South Sumatera were experienced 5 to 10 % growth; as well Aceh, North
Sumatera, East Nusa Tenggara, West Kalimantan, Central Sulawesi and North
Maluku had a modest level above national average growth.
2. To increase its contribution to PKD 2010 achievement, it is necessary to
encourage the groups a range of program that proposed to increase cattle
productivity. The program should be led to:
a. Improvement
AI
(artificial
insemination)
technology;
forming more
inseminators, advance inseminator skills, multiplying equipments and
facilities to broaden service provision.
b. Increase feed quality especially post-partum feeding; enhancing the utilization
of leguminous, feed concentrate, and waste from agro-industry, intensifying
diffusion of feed-processing technology that is appropriate for smallholder
level.
c. Intensification local cattle for breeding purpose, selection of local-breed
feeder, performing nature-mating especially in remote areas.
d. Augmentation cattle-farming economic value added; combination of rearing
and fattening, advancing manure management and establishing access to
feasible credit market.
Keyword: cattle-farming group, PKD 2010
Both are senior lecturer at Faculty of Livestock Science, Padjadjaran University,
Bandung-Indonesia
(3)
1. PENDAHULUAN
Sejalan dengan rancangan dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh pemerintah, maka salah satu program pembangunan peternakan yaitu Program Kecukupan Daging Tahun 2010 (PKD 2010). Program Kecukupan Daging Tahun 2010 yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Peternakan mengacu kepada tiga program yaitu: Program Pengembangan Agribisnis (PPA), Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP) dan Program Ketahanan Pangan (PKP). Dimana dalam program ini diharapkan peran produksi daging sapi dalam negeri mampu memberikan kontribusi sebesar 90-95 %. Saat ini, diperkirakan kemampuan produksi daging dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi sekitar 70-75 % terhadap kebutuhan daging nasional. Artinya, hanya dalam waktu 4 Tahun pemerintah bersama peternak harus mampu meningkatkan rata-rata produksi minimumnya sebesar 20 % dari kondisi saat ini.
Beberapa permasalahan yang terjadi di lapangan saat ini berkaitan dengan PKD 2010 adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006):
1. Kebutuhan norma gizi belum mampu dipenuhi oleh masyarakat Indonesia
2. Konsumsi daging belum mencapai 6 kg/kapita/Tahun dari target 10,1 kg/kapita/ tahun (daging sapi 1,7 kg/kapita/Tahun)
3. Populasi sapi di Indonesia hanya sekitar 11 juta ekor 4. Pemotongan ternak sapi sebesar 1,5 juta ekor/Tahun 5. Impor dilakukan untuk menghindari pengurasan populasi
6. Pangsa konsumen daging sapi terbesar adalah industri bakso (60%) 7. Terjadi penurunan kualitas genetik sapi lokal
8. Struktur populasi kurang seimbang disebabkan terjadinya pemotongan betina produktif
9. Konsentrasi produksi masih terletak di Pulau Jawa
10. Potensi sumberdaya produksi masih tersedia diluar Pulau Jawa 11. Investasi usaha sapi potong sangat terbatas
Kondisi-kondisi di atas merupakan gambaran nyata yang terjadi saat ini. Beberapa program yang dilakukan pemerintah dalam mensukseskan PKD 2010 adalah meningkatkan program perbibitan sapi potong melalui program AKSI ternak sapi potong dan program bantuan ternak sapi kepada peternak, didukung oleh program lainnya, seperti program kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, serta program penelitian dan pengembangan.
(4)
Dalam konsep kecukupan daging komitmen dasarnya adalah “Strategi peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak dalam penyediaan pangan”. Komitmen ini mengandung makna bahwa peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak merupakan strategi kunci Pemerintah (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006), sementara itu kekurangan pemenuhan kebutuhan pangan (daging) secara bertahap masih memerlukan impor.
Untuk membahas mengenai kecukupan daging sapi, tentunya yang harus dipelajari adalah permintaan dan penawaran dari sapi dan daging sapi. Badan Litbang Departemen Pertanian (2005) telah memproyeksikan angka kebutuhan dan produksi daging sapi sampai Tahun 2010 yang menunjukkan potensi permintaan akan kebutuhan daging sapi terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,49% per tahun. Apabila angka kebutuhan daging sapi tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi di Indonesia, maka dikhawatirkan terjadi pengurasan sumberdaya ternak produktif di Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan adalah dengan menambah jumlah produksi sapi di Indonesia. Upaya tersebut tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak ada keseriusan dalam menjalankan seluruh program pengembangan sapi potong.
Beberapa hal yang harus menjadi perhatian guna menunjang keberhasilannya, terutama dari aspek peningkatan dan upaya pengembangan produksi selama ini, yaitu melalui:
1. Menetapkan wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya potensial, seperti di Provinsi: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusatenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan NAD.
2. Menetapkan berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan secara optimal di masing-masing Provinsi, seperti: Sistem Integrasi Sapi-Padi, Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit, Penundaan Pemotongan betina produktif, Optimalisasi manajemen Pelaksanaan IB dan Intensifikasi Kawin Alam, Pengembangan dan Penyediaan Pakan, impor induk sapi, Pencegahan Penyakit.
3. Pengembangan Usaha Penggemukan, Pemanfaatan Biogas, Peningkatan Citra (brand image) Pupuk Organik
4. Fasilitasi dukungan kemudahan akses finansial dalam penyediaan dana investasi 5. Menggalang dukungan legislatif dalam menyediakan peraturan
6. Meningkatkan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Berbagai upaya di atas tidak akan terwujud bila tidak adanya sosialisasi yang menyeluruh baik di pusat maupun di daerah. Di samping itu, kesuksesan PKD 2010
(5)
harus didukung oleh seluruh stakeholder terkait baik di pusat maupun di daerah sehingga impian kecukupan daging 2010 dapat diwujudkan.
2.
Landasan KonseptualParadigma manajeman pembangunan pertanian telah berubah, pemerintah saat ini bukan lagi bertindak sebagai pelaksana pembangunan tetapi sebagai fasilitator, akselerator, dan regulator yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu program pembangunan yang dirancang harus mampu memberikan peran dan menarik partisipasi masyarakat, terutama masyarakat pertanian di pedesaan.
Sampai saat ini hasil berbagai survey tetap menunjukkan bahwa sebagian besar dari masyarakat agraris di pedesaan masih tetap menyandang predikat masyakarat miskin. Menurut Suryana (2003) ada enam faktor penyebab kemiskinan penduduk pedesaan, yaitu (1). Pertumbuhan ekonomi yang lambat (2). Stagnasi produktivitas tenaga kerja (3). Tingkat semi pengangguran yang tinggi (4). Tingkat pendidikan formal yang rendah (5). Fertilitas yang tinggi (6). Degradasi kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan. Rumah tangga petani miskin pada umumnya tidak mempunyai aset yang mampu menghasilkan peningkatan pendapatan di atas garis kemiskinan, pemilikan lahan sempit, anggota keluarga kurang terdidik, tidak mempunyai akses terhadap kapital. Akibatnya mereka tidak mampu mengakses informasi mengenai teknologi, peluang ekonomi dan pasar.
Secara konseptual agribisnis dipandang sebagai kegiatan usaha pengadaan dan penyaluran sarana produksi (upstream agribusiness), diikuti dengan kegiatan budidaya (on farm agribusiness), diikuti pengolahan dan pemasaran (downstream agribusiness). Setiap kegiatan usaha membentuk jaringan terpadu dan diharapkan akan mampu memberikan dorongan bagi perekonomian, melalui (a) Peningkatan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah, (b) Tumbuh kembangnya kegiatan agribisnis dan agroindustri di pedesaan, (c) Perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di pedesaan dan (d) Timbulnya kegiatan usaha dan kegiatan ekonomi lainnya secara berkesinambungan.
Pembangunan pertanian melalui pendekatan agribisnis merupakan perwujudan komitmen bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di pedesaan yang sebagian besar mengandalkan pada sektor pertanian. Dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan pertanian masih menghadapi beberapa masalah besar yang harus ditanggulangi, yaitu (a) kemiskinan, (b)
(6)
kenjangan, (c) struktur tenaga kerja, (d) perubahan struktur lahan dan (e) kelembagaan.
Secara konseptual pemberdayaan masyarakat pertanian cakupannya dapat dipersempit menjadi pemberdayaan kelompok yang diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan kelompok dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini mencakup pemberdayaan masyarakat agribisnis maupun pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat dengan pendekatan kelompok usaha. Komponen-komponen yang terkait dengan proses pemberdayaan peternak, secara ringkas dapat dikaji dalam model pemberdayaan petani (ilustrasi 1).
KEBIJAKAN
FEED BACK
Ilustrasi 1. Model Pemberdayaan Peternak
Pemberdayaan memiliki pengertian pemberian kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan (Soetrisno, 1995), mengontrol masa depan sendiri, serta meningkatkan kemampuan dalam menguasai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya tingkat hidup (Sulistyo dan Sri Rejeki, 1994). Sedangkan menurut Departemen Pertanian (2002) pemberdayaan kelompok berarti sebagai upaya meningkatkan kemampuan kelompok dalam mengembangkan usahanya secara mandiri.
Titik tolak pemberdayaan peternak adalah pengembangan potensi yang dimiliki peternak agar mampu secara mandiri untuk menopang hidupnya. Oleh I
N P U T
SASARAN PENINGKATAN
-PRODUKSI -PENDAPATAN -KESEJAHTERAAN Modal, Sarana Produksi,
Pemasaran, Penyuluhan (IPTEK),
Model & Konsep
I N P U T PETERNAK &
KELOMPOK PETERNAK
(7)
karena itu harus melibatkan sejumlah sumberdaya yang dikuasai masyarakat, sehingga mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi/usaha secara mandiri dengan posisi tawar yang cukup. Makin besar sumberdaya dikuasai masyarakat peternak, proses pemberdayaan mempunyai peluang yang makin besar untuk sampai pada tujuan pemberdayaan.
Upaya pemberdayaan terhadap peternak dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penguatan kepercayaan kelompok peternak, penguatan modal, peningkatan kemampuan kewirausahaan untuk mempertahankan keberlanjutan usaha serta penguatan lembaga yang mendukung pemberdayaan petani dalam bidang agribisnis serta pemasaran produk. Oleh karena itu peningkatan posisi tawar produk peternakan dapat dilakukan melalui pembentukan dan pembinaan kelompok serta peningkatan kemampuan untuk mengakses sumber informasi pasar yang diperlukan.
Lembaga lain yang penting dalam mendukung upaya pemberdayaan peternak adalah lembaga keuangan pedesaan (koperasi, BMT, atau bentuk lainnya). Hl ini mengingat bahwa secara umum sector budidaya peternakan relative sulit mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan. Dengan demikian, pemberdayaan peternak untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi dan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan mengandalkan dinas/instansi terkait tapi harus didukung dan melibatkan lembaga lainnya diantaranya adalah Lembaga Keuangan Mikro.
3. PERAN KELOMPOK PETERNAK DALAM PKD 2010
3.1. Gambaran Umum Kelompok Peternak
Kajian dilakukan pada kelompok peternak penerima program BLM/BPLM/PMUK dimana dana yang diperoleh berupa dana bantuan yang harus dikembalikan kepada kelompok untuk digulirkan kembali kepada peternak lain. Dengan cara demikian seiring dengan perjalanan waktu, jumlah kelompok beserta anggotanya akan meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan populasi ternak khususnya sapi potong. Dari jumlah kelompok penerima program BLM/BPLM/PMUK yang teridentifikasi (1490 kelompok) dalam kurun waktu 2002 – 2005 sebagian besar (62.01%) mengusahakan komoditas sapi potong (pembibitan dan penggemukan), kelompok kambing/domba 11,28%, selebihnya adalah untuk komoditas babi dan unggas serta kegiatan pelayanan.
(8)
Berkembangnya peternakan sapi potong (sebagian besar usaha pembibitan) tidak lepas dari program pemerintah tentang target capaian PKD 2010, namun dari aspek usaha juga cukup menarik bagi peternak, karena harga daging/sapi terus mengalami peningkatan, serta nilainya cukup besar dan dapat diandalkan sebagai tabungan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan jumlah uang yang besar.
3.2. Perkembangan Anggota Kelompok BLM/BPLM/PMUK
Perkembangan anggota kelompok peternak dapat menggambarkan perkembangan kelompok yang pada akhirnya akan diikuti pula oleh perkembangan populasi ternak. Kelompok peternak yang pada mumnya beranggotakan peternak penerima bantuan dana bergulir. Oleh karena itu sudah selayaknyalah apabila dalam kurun waktu tertentu jumlah anggota kelompok peternak berkembang. Namun demikian perkembangan anggota masyarakat yang terlibat dalam kelompok peternak tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Dalam kisaran kucuran dana BLM/BPLM/PMUK 2002 – 2005 tercatat jumlah anggota hanya mencapai 29.233 orang, dimana rata-rata perkembangan anggota pada masing-masing kelompok hanya sekitar 1,22% per tahun. Perkembangan terbesar justru ada pada kelompok penerima kucuran dana tahun 2005 (1,95%) dan tahun 2004 (1,55%). Diduga catatan di kelompok tidak menyertakan jumlah anggota dari anak-anak kelompoknya. Pada kasus dimana kelompok melakukan perguliran induk, ternyata peternak yang telah melakukan pengembalian, tidak terikat lagi dan mungkin tidak tercatat lagi sebagai anggota kelompok, sehingga anggota yang tercatat semuanya anggota baru.
3.3. Permodalan kelompok
Indikator keberhasilan(outcome)kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan modal kelompok antara lain:
a. Tumbuhnya usaha kelompok yang mampu mengelola permodalan sesuai dengan kaidah bisnis.
b. Terjadinya peningkatan produktivitas usahaternak
c. Terjadinya pemupukan modal dan pengembalian serta perguliran dari komponen yang harus digulirkan, sehingga menjangkau sasaran yang lebih luas.
Pengembalian dana bervariasi dalam bentuk ternak, uang, dan bentuk ternak yang dinilai dengan uang hal ini tergantung kemudahan pada masing-masing kelompok.
Secara keseluruhan baru sekitar 20,47 % saja elompok peternak yang sudah mengembalikan dana perguliran dimana sebanyak 9,73% melakukan pengembalian
(9)
dengan ternak dan 10,74% melakukan pengembalian dengan uang. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kinerja kelompok terhadap komitmen dalam memenuhi kewajiban. Dari data yang berhasil dihimpun, hanya propinsi Bengkulu yang menyampaikan data pengembalian dan perguliran yang sangat baik.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap gambaran kinerja pengembalian dana BPLM/BPLM/PMUK seperti itu, antara lain: (a) Kesadaran anggota kelompok sangat rendah, (b) Pola pelunasan dan peguliran yang terlalu memberatkan peternak, (c) Aturan waktu pelunasan dan perguliran yang terlalu panjang (d) Sistem pelaporan yang kurang baik, (e) Sanksi pinjaman yang tidak jelas. Melihat gambaran tersebut, tampaknya diperlukan suatu sistem monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan serta hasilnya dapat mengikat setiap pelaku yang terlibat dalam program BLM/BPLM/PMUK.
3.4. Aktivitas Membangun Infrastruktur Keuangan
Dalam membangun keberadaan dan kemandirian kelompok dalam jangka panjang, membangun infrastruktur keuangan merupakan latihan yang sangat penting bagi kelompok. Salah satu indikator penting dari keberhasilan dan kemandirian kelompok adalah terjadinya pemupukan modal dalam kelompok baik berupa penghimpunan kas kelompok, tabungan kelompok, maupun dana simpan pinjam. Dari jumlah kelompok sebanyak 1.490 yang mampu diidentifikasi, hanya 290 (19,46%) kelompok yang mempunyai saldo kas, berasal dari 23 propinsi. Artinya bahwa sebagian besar kelompok tidak mempunyai saldo kas. Namun perlu pula dipertimbangkan bahwa ada kemungkinan kelompok-kelompok tersebut tidak melaporkan keberadaan saldo kasnya.
Pada kelompok yang melakukan pengembalian dengan ternak penghimpunan kas kelompok relatif sulit dilakukan, namun kelompok tersebut umumnya melakukan perguliran ternak/dana relatif lebih baik. Mempertimbangkan fenomena ini, perlu dicarikan suatu format yang memungkinkan perguliran ternak dengan baik disertai dengan penghimpunan modal kelompok yang baik pula.
Kelompok yang baik secara umum akan mengembangkan aktivitasnya ke arah yang lebih maju, namun tentu saja kelompok seperti ini jumlahnya relatif sedikit. Dari jumlah kelompok yang teridentifikasi hanya 1,9% kelompok yang melakukan aktivitas tabungan kelompok. Hal ini menunjukkan rendahnya kesadaran peternak tentang pentingnya penghimpunan dana secara mandiri.
Aktivitas ini tentu saja selain membutuhkan kesepakatan juga saran dengan nilai kepercayaan anggota pada kelompok, tanpa ada kepercayaan, tabungan kelompok tidak akan mungkin dapat dihimpun dengan baik. Selaras dengan kegiatan
(10)
tabungan, kegiatan simpan pinjam merupakan kegiatan infrastruktur keuangan yang lebih maju. Dari seluruh kelompok BLM/BPLM/PMUK yang teridentifikasi hanya 1,34% kelompok yang melengkapi aktivitasnya dengan kegiatan simpan pinjam. Simpan pinjam tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mampu tapi juga kejujuran yang dapat dipercaya anggota kelompok. Dalam rangka penguatan modal kelompok pembinaan ke arah kegiatan infrastruktur keuangan seperti arisan, tabungan dan simpan pinjam perlu diagendakan dengan format yang jelas.
3.5. Populasi Ternak Sapi Potong
Mayoritas kelompok peternak BLM/BPLM/PMUK tahun anggaran 2002 – 2005 menyelenggarakan kegiatan usaha sapi potong. Dari keseluruhan kelompok yang memelihara sapi potong sebagian besar melakukan aktivitas pembibitan, pembibitan dan pembesaran, hanya beberapa kelompok saja yang melakukan penggemukan secara khusus, khususnya kelompok dengan orientasi pasar yang baik.
Total populasi sapi yang teridentifikasi pada kelompok tercatat sebanyak 49.839 ekor, berasal dari kelompok peluncuran dana 2002 sebanyak 13.511 ekor, tahun peluncuran dana 2003 sebanyak 14.421 ekor, tahun 2004 sebanyak 13.256 ekor dan dari dana yang dikucurkan tahun 2005 sebanyak 8.651 ekor. Beberapa daerah yang mempunyai kontribusi besar antara lain NTT, NTB, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Beberapa propinsi yang tidak berbasis sapi potong seperti Papua, Irian Jaya Barat, Maluku dan Maluku Utara terlihat sudah mulai mengembangkan sapi potong. Seiring dengan perkembangan penanaman jagung. Propinsi Gorontalo juga terlihat aktif mengembangkan sapi potong terkait dengan program agropolitan. Namun demikian di daerah pengembangan baru tersebut, pengembangan sapi potong melalui dana BLM/BPLM/PMUK masih membutuhkan penanganan yang lebih baik, dari mulai perencanaan sampai dengan implementasi, serta penanganan pembinaan pasca kucuran dana. Tanpa perhatian yang komprehensif pada berbagai sektor kegiatan, dikhawatirkan dana BLM/BPLM/PMUK kurang berdaya guna dan berhasil guna.
(11)
Tabel 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Kelompok BLM/BPLM/ PMUK Berdasarkan Tahun Program
No Propinsi 2002 2003 2004 2005
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
1 NAD 60 66 60 78 295 364 370 368
2 Sumatera Utara 345 703 210 262 159 166 80 90 3 Sumetera Barat 419 539 379 176 220 220 -
-4 Jambi 237 291 226 264 228 225 380 380
5 Riau 150 146 145 141 229 222 772 761
6 Kep. Babel 166 95 130 143 143 144 42 44
7 Bengkulu 539 414 298 358 445 478 496 492 8 SumateraSelatan 558 860 245 358 615 641 375 355
9 Lampung 366 415 293 398 120 152 40 40
10 Banten 59 51 67 60 30 30 -
-11 Jawa Barat 755 697 469 578 703 909 - -12 Jawa Tengah 654 425 888 943 1349 1452 472 440 13 DI Yogyakarta 333 547 244 425 271 348 432 508 14 Jawa Timur 1009 1250 1033 1618 985 1504 241 300
15 Bali 344 189 732 550 307 307 343 444
16 NTB 993 1395 1286 2047 709 909 793 774
17 NTT 1102 1480 1331 1637 1103 1151 924 938 18 Kalimantan Barat 664 816 472 605 702 744 622 567 19 Kalimantan Tngh 274 500 483 720 373 467 200 200 20 Kalimantan Sltan 129 149 403 359 190 208 244 253 21 Kalimantan Tmur 557 468 382 443 470 380 523 481 22 Sulawesi Utara 355 379 124 129 158 103 63 25 23 Gorontalo 225 225 275 331 329 324 191 190 24 Sulawesi Tengah 286 298 183 259 267 298 339 326 25 Sulawesi Tenggr 386 628 339 645 359 470 352 352 26 Sulawesi Selatan 211 257 418 638 579 763 135 135
27 Maluku - - 90 99 54 37 -
-28 Maluku Utara 83 83 - - 18 29 30 30
29 Irianjaya Barat 126 145 215 155 150 116 114 108
30 Papua - - - - 96 96 -
-Jumlah 11385 13511 11422 14421 11657 13256 8673 8651
Pada propinsi yang mengalami progres yang sangat baik, pemerintah pusat/daerah sebaiknya mulai menata pemwilayahan yang potensial dan perencanaan pasar yang baik, disertai dengan dukungan infrastruktur pelabuhan antar pulau yang memadai.
3.6. Kontribusi Kelompok Peternak terhadap PKD 2010
Kontribusi nyata kelompok peternak terhadap PKD 2010 secara nyata dapat terlihat dari perkembangan populasi sapi potong pada kelompok yang teridentifikasi. Secara nasional rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong pada kelompok berada pada angka 4,48 % per tahun, pada kisaran waktu 2002 - 2005. Beberapa propinsi
(12)
dengan konsistensi pertumbuhan yang cukup besar di atas 10% per tahun, antara lain Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan NTB. Sedangkan pertumbuhan di atas rata-rata nasional adalah propinsi Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Selatan, NAD, Jawa Barat dan NTT.
Namun demikian tidak setiap kelompok mempunyai perkembangan yang positif, pada beberapa propinsi perkembangan sapi mengalami penurunan, bahkan pada beberapa kelompok yang menerima dana tahun 2005 populasi sapinya belum menunjukkan perkembangan yang baik dalam artian populasinya tetap. Perkembangan yang kurang baik pada populasi sapi pengadaan tahun 2005 sangat terkait dengan rendahnya kualitas perolehan sapi sehingga membutuhkan rekondisi yang panjang (lebih dari 1 tahun) serta rendahnya kualitas pakan yang diberikan khususnya pada ternak pasca partus. Oleh karena itu menjadi langkah baik, bila persyaratan penerima bantuan sapi pada luncuran pertama harus mereka yang sudah berpengalaman beternak yang cukup. Peternak penerima guliran yang belum berpengalaman harus melalui langkah pembelajaran terlebih dahulu misalnya dalam bentuk magang pada peternak yang berpengalaman.
Pertumbuhan populasi sapi potong pada kelompok yang mendapat kucuran dana tahun 2004 relatif makin baik, tumbuh sebesar 4,66 % per tahun.Pertumbuhan terbaik adalah pada kelompok yang memperoleh kucuran dana tahun 2003 yaitu tumbuh sebesar 7,23 % per tahun.Sebelum tahun tersebut, pertumbuhannya menurun lagi menjadi 3,94 % per tahun.
Tabel. 2. Perkembangan Anggota Kelompok dan Populasi Ternak Sapi Potong berdasarkan Tahun Program
No Uraian 2002 2004 2004 2005
1 Anggota Kelompok:
a. Jumlah (orang) 6.782 8.426 7.958 6.057
b. Perkembangan (%/th) 0,76 0,65 1,55 1,95
2 Populasi Sapi Potong:
a. Jumlah (ekor) 13.511 14.421 13.256 8.651
b. Perkembangan (%/th) 3,94 7,23 4,66 2,09
Melihat fenomena pergerakan pertumbuhan ternak tampak kinerja usahaternak baru menunjukkan hasilnya pada 2-3 tahun sesudah penerimaan dana, namun ada kecenderungan sesudah 5 tahun mengalami kemunduran. Oleh karena itu tampaknya perlu ada upaya pembinaan yang konsisten dan berkesinambungan
(13)
Agar kelompok peternak sapi potong dapat memberikan dukungan optimal terhadap PKD 2010, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas bibit sapi potong, antara lain :
a. Pemanfaatan teknologi IB yang lebih baik dan meluas meliputi sosialisasi IB, pencetakan kader IB, serta fasilitasi kader untuk meningkatkan jangkauan pelayanan.
b. Perbaikan pakan pasca partus dengan memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya lokal secara optimal serta dufusi teknologi pengolahan pakan sampai di tingkat peternak
c. Pembesaran ternak unggul calon induk serta pejantan unggul di daerah yang tidak terjangkau IB.
d. Peningkatan nilai tambah usahamelalui:
- Kombinasi pembibitan dan penggemukan pada kelompok
- Pengolahan / Pemanfaatan limbah kandang (feses dan urine) sebagai pupuk yang dapat menjadi nilai tambah peternak.
- Akses permodalan yang mudah dan murah pada kelompok terpilih.
4.
PENUTUPSecara keseluruhan kelompok peternak sapi potong mempunyai peranan yang cukup besar terhadap PKD 2010. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong (4,48%/tahun) yang lebih besar dari rata-rata pertumbuhan tingkat nasional, oleh karena itu kelompok peternakan sapi potong BLM/BPLM/PMUK layak memperoleh dukungan lebih jauh. Namun demikian pemerintah harus mampu mengkondisikan pasar yang kondusif, yang mampu memberikan insentif pada peternak.
Kinerja kelompok dapat dinilai dari perkembangan anggota kelompok, pengembalian dana/perguliran, serta adanya penguatan modal kelompok. Perkembangan anggota kelompok tidak menunjukkan peningkatan yang nyata, diduga disebabkan oleh kelompok induk tidak melakukan pencatatan terhadap perkembangan anggota anak kelompoknya serta lambatnya proses perguliran.
Pada umumnya tingkat pengembalian bantuan masih sangat kecil diantaranya dalam bentuk ternak, bentuk uang, dan bentuk ternak yang dinilai dengan uang hal ini disesuaian dengan kemudahan peternak/kelompok. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kelompok dalam pengembalian dana BPLM/BPLM/PMUK antara lain rendahnya kesadaran anggota kelompok, pola dan aturan pelunasan/perguliran yang memberatkan serta administrasi kelompok yang
(14)
kurang memadai. Dalam rangka penguatan modal kelompok, dipandang perlu melakukan pembinaan kearah kegiatan infrastruktur keuangan seperti arisan, tabungan dan simpan pinjam perlu diagendakan dengan format yang jelas.
Daerah yang mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan sapi potong adalah NTT, NTB, Jatim dan Jateng. Sementara pada wilayah lain upaya pengembangan peternakan melalu dana bantuan perlu dilakukan dengan perencanaan yang diikuti dengan pembinaan secra beresinambungan. Khusus untuk wilayah-wilayah pengembangan baru baru diperlukan penataan pemwilayahan yang potensial dan perencanaan pasar yang baik, serta dukungan infrastruktur pelabuhan antar pulau yang memadai.
Dalam memberikan dukungan yang lebih besar dari kelompok BLM/BPLM/PMUK terhadap PKD 2010, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas bibit sapi potong, antara lain :
e. Pemanfaatan teknologi IB yang lebih baik dan meluas : Sosialisasi IB, pencetakan kader inseminator, fasilitasi kader untuk meningkatkan daya jangkau pelayanan dan peningkatan SDM, tidak hanya sebatas inseminasi.
f. Perbaikan pakan pasca partus / masa menyusui : Sosialisasi dan pemanfaatan leguminosa, konsentrat, pemanfaatan limbah agro – industri, difusi teknologi pengolahan pakan sampai tingkat peternak
g. Pembesaran ternak unggul calon induk : Penjaringan pedet atau bakalan unggul, dan pejantan unggul bagi daerah tidak terjangkau IB
h. Peningkatan nilai tambah usaha : kombinasi pembibitan dan penggemukan,, pengolahan / pemanfaatan limbah kandang sebagai pupuk organik, akses permodalan yang mudah dan murah.
SUMBER PUSTAKA
Ashari, 2006, Potensi Lembaga Kuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya, Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 No.2, Bogor, pse.litbang.go.id
Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Program Aksi Perbibitan Ternak Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Rencana
Program Kegiatan Peternakan Tahun 2006.Departemen Pertanian. Jakarta. Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, 2006,
(15)
Empowerment for Rural Development (CERD), Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat, www.cerd.or.id
Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Direktorat Pembiayaan, 2001, Model-Model Usaha keuangan Mikro untuk Pengembangan Pertanian di Pedesaan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Pengembangan Peternakan, 2002, Pengembangan Kelembagaan Peternak di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Razak, P., 2002, Pemberdayaan Masyarakat Bagi penanggulangan Kemiskinan: Sebuah Tantangan Dalam Pembangunan Wilayah dan Kota, Kerjasama ITB, SOCSEA, dan BAPPENAS, Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Rencana Tindak Program Menuju Kecukupan Daging Sapi 2010.Departemen Pertanian. Jakarta.
Rochadi, Tawaf. 2006. Kendala Program Kecukupan Daging 2010. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sekretariat Jenderal, 2006, Pedoman Umum: Pemberdayaan Masyarakat Pertanian Melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok Tahun 2006, Departemen Pertanian, Jakarta.
Sekretariat Jenderal, 2006,Pedoman Umum: Pemberdayaan Masyarakat Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
(1)
tabungan, kegiatan simpan pinjam merupakan kegiatan infrastruktur keuangan yang lebih maju. Dari seluruh kelompok BLM/BPLM/PMUK yang teridentifikasi hanya 1,34% kelompok yang melengkapi aktivitasnya dengan kegiatan simpan pinjam. Simpan pinjam tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mampu tapi juga kejujuran yang dapat dipercaya anggota kelompok. Dalam rangka penguatan modal kelompok pembinaan ke arah kegiatan infrastruktur keuangan seperti arisan, tabungan dan simpan pinjam perlu diagendakan dengan format yang jelas.
3.5. Populasi Ternak Sapi Potong
Mayoritas kelompok peternak BLM/BPLM/PMUK tahun anggaran 2002 – 2005 menyelenggarakan kegiatan usaha sapi potong. Dari keseluruhan kelompok yang memelihara sapi potong sebagian besar melakukan aktivitas pembibitan, pembibitan dan pembesaran, hanya beberapa kelompok saja yang melakukan penggemukan secara khusus, khususnya kelompok dengan orientasi pasar yang baik.
Total populasi sapi yang teridentifikasi pada kelompok tercatat sebanyak 49.839 ekor, berasal dari kelompok peluncuran dana 2002 sebanyak 13.511 ekor, tahun peluncuran dana 2003 sebanyak 14.421 ekor, tahun 2004 sebanyak 13.256 ekor dan dari dana yang dikucurkan tahun 2005 sebanyak 8.651 ekor. Beberapa daerah yang mempunyai kontribusi besar antara lain NTT, NTB, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Beberapa propinsi yang tidak berbasis sapi potong seperti Papua, Irian Jaya Barat, Maluku dan Maluku Utara terlihat sudah mulai mengembangkan sapi potong. Seiring dengan perkembangan penanaman jagung. Propinsi Gorontalo juga terlihat aktif mengembangkan sapi potong terkait dengan program agropolitan. Namun demikian di daerah pengembangan baru tersebut, pengembangan sapi potong melalui dana BLM/BPLM/PMUK masih membutuhkan penanganan yang lebih baik, dari mulai perencanaan sampai dengan implementasi, serta penanganan pembinaan pasca kucuran dana. Tanpa perhatian yang komprehensif pada berbagai sektor kegiatan, dikhawatirkan dana BLM/BPLM/PMUK kurang berdaya guna dan berhasil guna.
(2)
Tabel 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Kelompok BLM/BPLM/ PMUK Berdasarkan Tahun Program
No Propinsi 2002 2003 2004 2005
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
1 NAD 60 66 60 78 295 364 370 368
2 Sumatera Utara 345 703 210 262 159 166 80 90 3 Sumetera Barat 419 539 379 176 220 220 -
-4 Jambi 237 291 226 264 228 225 380 380
5 Riau 150 146 145 141 229 222 772 761
6 Kep. Babel 166 95 130 143 143 144 42 44
7 Bengkulu 539 414 298 358 445 478 496 492
8 SumateraSelatan 558 860 245 358 615 641 375 355
9 Lampung 366 415 293 398 120 152 40 40
10 Banten 59 51 67 60 30 30 -
-11 Jawa Barat 755 697 469 578 703 909 -
-12 Jawa Tengah 654 425 888 943 1349 1452 472 440 13 DI Yogyakarta 333 547 244 425 271 348 432 508 14 Jawa Timur 1009 1250 1033 1618 985 1504 241 300
15 Bali 344 189 732 550 307 307 343 444
16 NTB 993 1395 1286 2047 709 909 793 774
17 NTT 1102 1480 1331 1637 1103 1151 924 938 18 Kalimantan Barat 664 816 472 605 702 744 622 567 19 Kalimantan Tngh 274 500 483 720 373 467 200 200 20 Kalimantan Sltan 129 149 403 359 190 208 244 253 21 Kalimantan Tmur 557 468 382 443 470 380 523 481 22 Sulawesi Utara 355 379 124 129 158 103 63 25 23 Gorontalo 225 225 275 331 329 324 191 190 24 Sulawesi Tengah 286 298 183 259 267 298 339 326 25 Sulawesi Tenggr 386 628 339 645 359 470 352 352 26 Sulawesi Selatan 211 257 418 638 579 763 135 135
27 Maluku - - 90 99 54 37 -
-28 Maluku Utara 83 83 - - 18 29 30 30
29 Irianjaya Barat 126 145 215 155 150 116 114 108
30 Papua - - - - 96 96 -
-Jumlah 11385 13511 11422 14421 11657 13256 8673 8651
Pada propinsi yang mengalami progres yang sangat baik, pemerintah pusat/daerah sebaiknya mulai menata pemwilayahan yang potensial dan perencanaan pasar yang baik, disertai dengan dukungan infrastruktur pelabuhan antar pulau yang memadai.
3.6. Kontribusi Kelompok Peternak terhadap PKD 2010
Kontribusi nyata kelompok peternak terhadap PKD 2010 secara nyata dapat terlihat dari perkembangan populasi sapi potong pada kelompok yang teridentifikasi. Secara nasional rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong pada kelompok berada pada angka 4,48 % per tahun, pada kisaran waktu 2002 - 2005. Beberapa propinsi
(3)
dengan konsistensi pertumbuhan yang cukup besar di atas 10% per tahun, antara lain Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan NTB. Sedangkan pertumbuhan di atas rata-rata nasional adalah propinsi Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Selatan, NAD, Jawa Barat dan NTT.
Namun demikian tidak setiap kelompok mempunyai perkembangan yang positif, pada beberapa propinsi perkembangan sapi mengalami penurunan, bahkan pada beberapa kelompok yang menerima dana tahun 2005 populasi sapinya belum menunjukkan perkembangan yang baik dalam artian populasinya tetap. Perkembangan yang kurang baik pada populasi sapi pengadaan tahun 2005 sangat terkait dengan rendahnya kualitas perolehan sapi sehingga membutuhkan rekondisi yang panjang (lebih dari 1 tahun) serta rendahnya kualitas pakan yang diberikan khususnya pada ternak pasca partus. Oleh karena itu menjadi langkah baik, bila persyaratan penerima bantuan sapi pada luncuran pertama harus mereka yang sudah berpengalaman beternak yang cukup. Peternak penerima guliran yang belum berpengalaman harus melalui langkah pembelajaran terlebih dahulu misalnya dalam bentuk magang pada peternak yang berpengalaman.
Pertumbuhan populasi sapi potong pada kelompok yang mendapat kucuran dana tahun 2004 relatif makin baik, tumbuh sebesar 4,66 % per tahun.Pertumbuhan terbaik adalah pada kelompok yang memperoleh kucuran dana tahun 2003 yaitu tumbuh sebesar 7,23 % per tahun.Sebelum tahun tersebut, pertumbuhannya menurun lagi menjadi 3,94 % per tahun.
Tabel. 2. Perkembangan Anggota Kelompok dan Populasi Ternak Sapi Potong berdasarkan Tahun Program
No Uraian 2002 2004 2004 2005
1 Anggota Kelompok:
a. Jumlah (orang) 6.782 8.426 7.958 6.057
b. Perkembangan (%/th) 0,76 0,65 1,55 1,95
2 Populasi Sapi Potong:
a. Jumlah (ekor) 13.511 14.421 13.256 8.651
b. Perkembangan (%/th) 3,94 7,23 4,66 2,09
Melihat fenomena pergerakan pertumbuhan ternak tampak kinerja usahaternak baru menunjukkan hasilnya pada 2-3 tahun sesudah penerimaan dana, namun ada kecenderungan sesudah 5 tahun mengalami kemunduran. Oleh karena itu tampaknya perlu ada upaya pembinaan yang konsisten dan berkesinambungan
(4)
Agar kelompok peternak sapi potong dapat memberikan dukungan optimal terhadap PKD 2010, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas bibit sapi potong, antara lain :
a. Pemanfaatan teknologi IB yang lebih baik dan meluas meliputi sosialisasi IB, pencetakan kader IB, serta fasilitasi kader untuk meningkatkan jangkauan pelayanan.
b. Perbaikan pakan pasca partus dengan memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya lokal secara optimal serta dufusi teknologi pengolahan pakan sampai di tingkat peternak
c. Pembesaran ternak unggul calon induk serta pejantan unggul di daerah yang tidak terjangkau IB.
d. Peningkatan nilai tambah usahamelalui:
- Kombinasi pembibitan dan penggemukan pada kelompok
- Pengolahan / Pemanfaatan limbah kandang (feses dan urine) sebagai pupuk yang dapat menjadi nilai tambah peternak.
- Akses permodalan yang mudah dan murah pada kelompok terpilih.
4.
PENUTUPSecara keseluruhan kelompok peternak sapi potong mempunyai peranan yang cukup besar terhadap PKD 2010. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong (4,48%/tahun) yang lebih besar dari rata-rata pertumbuhan tingkat nasional, oleh karena itu kelompok peternakan sapi potong BLM/BPLM/PMUK layak memperoleh dukungan lebih jauh. Namun demikian pemerintah harus mampu mengkondisikan pasar yang kondusif, yang mampu memberikan insentif pada peternak.
Kinerja kelompok dapat dinilai dari perkembangan anggota kelompok, pengembalian dana/perguliran, serta adanya penguatan modal kelompok. Perkembangan anggota kelompok tidak menunjukkan peningkatan yang nyata, diduga disebabkan oleh kelompok induk tidak melakukan pencatatan terhadap perkembangan anggota anak kelompoknya serta lambatnya proses perguliran.
Pada umumnya tingkat pengembalian bantuan masih sangat kecil diantaranya dalam bentuk ternak, bentuk uang, dan bentuk ternak yang dinilai dengan uang hal ini disesuaian dengan kemudahan peternak/kelompok. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kelompok dalam pengembalian dana BPLM/BPLM/PMUK antara lain rendahnya kesadaran anggota kelompok, pola dan aturan pelunasan/perguliran yang memberatkan serta administrasi kelompok yang
(5)
kurang memadai. Dalam rangka penguatan modal kelompok, dipandang perlu melakukan pembinaan kearah kegiatan infrastruktur keuangan seperti arisan, tabungan dan simpan pinjam perlu diagendakan dengan format yang jelas.
Daerah yang mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan sapi potong adalah NTT, NTB, Jatim dan Jateng. Sementara pada wilayah lain upaya pengembangan peternakan melalu dana bantuan perlu dilakukan dengan perencanaan yang diikuti dengan pembinaan secra beresinambungan. Khusus untuk wilayah-wilayah pengembangan baru baru diperlukan penataan pemwilayahan yang potensial dan perencanaan pasar yang baik, serta dukungan infrastruktur pelabuhan antar pulau yang memadai.
Dalam memberikan dukungan yang lebih besar dari kelompok BLM/BPLM/PMUK terhadap PKD 2010, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas bibit sapi potong, antara lain :
e. Pemanfaatan teknologi IB yang lebih baik dan meluas : Sosialisasi IB, pencetakan kader inseminator, fasilitasi kader untuk meningkatkan daya jangkau pelayanan dan peningkatan SDM, tidak hanya sebatas inseminasi.
f. Perbaikan pakan pasca partus / masa menyusui : Sosialisasi dan pemanfaatan leguminosa, konsentrat, pemanfaatan limbah agro – industri, difusi teknologi pengolahan pakan sampai tingkat peternak
g. Pembesaran ternak unggul calon induk : Penjaringan pedet atau bakalan unggul, dan pejantan unggul bagi daerah tidak terjangkau IB
h. Peningkatan nilai tambah usaha : kombinasi pembibitan dan penggemukan,, pengolahan / pemanfaatan limbah kandang sebagai pupuk organik, akses permodalan yang mudah dan murah.
SUMBER PUSTAKA
Ashari, 2006, Potensi Lembaga Kuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya, Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 No.2, Bogor, pse.litbang.go.id
Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Program Aksi Perbibitan Ternak Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Rencana Program Kegiatan Peternakan Tahun 2006.Departemen Pertanian. Jakarta.
Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, 2006, Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan (PMPD) Community
(6)
Empowerment for Rural Development (CERD), Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat, www.cerd.or.id
Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Direktorat Pembiayaan, 2001, Model-Model Usaha keuangan Mikro untuk Pengembangan Pertanian di Pedesaan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Pengembangan Peternakan, 2002, Pengembangan Kelembagaan Peternak di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Razak, P., 2002, Pemberdayaan Masyarakat Bagi penanggulangan Kemiskinan: Sebuah Tantangan Dalam Pembangunan Wilayah dan Kota, Kerjasama ITB, SOCSEA, dan BAPPENAS, Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Rencana Tindak Program Menuju Kecukupan Daging Sapi 2010.Departemen Pertanian. Jakarta.
Rochadi, Tawaf. 2006. Kendala Program Kecukupan Daging 2010. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sekretariat Jenderal, 2006, Pedoman Umum: Pemberdayaan Masyarakat Pertanian Melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok Tahun 2006, Departemen Pertanian, Jakarta.
Sekretariat Jenderal, 2006,Pedoman Umum: Pemberdayaan Masyarakat Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.