Uji Aktivitas Antioksidan Minyak Serat Mesokarp Buah Kalapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq)

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa yunani Elaoin atau minyak sedangkan nama spesies guineensis berasal dari kata Guinea, yaitu tempat di mana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea. Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elais guinensis Jacq). Tanaman Elaeis guineensis Jacq ini juga dikenal dengan nama: kelapa sawit (Melayu), kelapa sewu (Jawa) (Fauzi, et al., 2004).

Tumbuhan ini tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dengan kisaran 22-23 C serta ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Masa berbuah tanaman ini setelah berumur 2,5 tahun dan pemanenan didasarkan pada saat kadar minyak mesokarp mencapai tingkat kematangan dengan ciri-ciri buah yang lepas atau jatuh sekurang-kurangnya 5-10 buah per tandan dan secara umum batas usia ekonomis kelapa sawit berkisar 25 tahun, dan dapat berkurang bergantung dari tingkat pemeliharaan yang dilakukan termasuk cara pemanenan (Ketaren, 1986).

Tanaman kelapa sawit normal yang telah berbuah akan menghasilkan kira-kira 20-22 tandan/tahun dan semakin tua produktivitasnya menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama tanaman kelapa sawit berbuah dengan berat tandannya berkisar antara 3-6 kg/tandan. Tanaman semakin tua, berat tandannya juga semakin bertambah, yaitu antara 25-35 kg/tandan.


(2)

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Menurut Fauzi, et al (2004), sistematika tumbuhan kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Nama lokal : Kelapa sawit

2.1.2 Morfologi tumbuhan

Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan pohon yang besar yang tingginya dapat mencapai 30 m, batangnya berbentuk silidris dan berdiameter 40-60 cm, tidak bercabang, arah tumbuh tegak lurus, dan termasuk dalam tanaman menahun. Pohon kelapa sawit memiliki akar serabut dan pelepah daun yang memilili bulu-bulu halus dengan panjang pelepah mencapai 9 m serta daun berwarna hijau dengan panjang mencapai 1,20 m, jumlah anak daun dalam satu pelepah mencapai 120-160 pasang. Pohon kelapa sawit memiliki bunga dan buah yang merupakan bagian generatifnya dan juga memiliki biji yang terdiri dari cangkang dan inti (Fauzi, et al., 2004).

2.1.3 Kandungan kimia buah kelapa sawit

Minyak sawit mentah (CPO) dihasilkan dari mesokarp buah kelapa sawit atau daging buah kelapa sawit, sedangakan minyak yang dihasilkan dari inti


(3)

kelapa sawit disebut minyak inti sawit (MIS). Perbedaan kedua jenis minyak ini terutama terletak pada kandungan karotenoidnya (Fauzi, et al., 2004).

Choo, et al., (1996) menjelaskan bahwa komponen utama buah kelapa sawit adalah trigliserida (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%) dan komponen minor (1%) yang terdiri atas karotenoid (500-700 ppm), tokoferol (600-700 ppm), tokotrienol (600-700 ppm), sterol (326-527 ppm), fosfolipid (5-130 ppm), sgualen (200-500 ppm) serta alkohol alifatik (100-200 ppm).

2.2 Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dikatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (Depkes RI, 2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam beberapa cara, yaitu:


(4)

1. Maserasi

Adalah ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi yang seimbang antara bahan dan pelarut (Depkes RI, 2000).

2. Perkolasi

Adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap masarasi dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 2000).

3. Refluks

Adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali (Depkes RI, 2000)..

4. Soklet

Adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

5. Digesti

Adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum


(5)

dilakukan pada temperatur 40-50ºC (Depkes RI, 2000). 6. Infus

Adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).

7. Dekoktasi

Adalah ekstraksi yang memiliki prinsip yang sama dengan metode infus, tetapi memiliki waktu ekstraksi yang lebih lama (≥ 30ºC) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.3 Radikal Bebas

Istilah radikal bebas merujuk ke atom atau gugus atom apa saja yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Karena jumlah elektron ganjil, maka tidak semua elektron dapat berpasangan. Mesikpun suatu radikal bebas tidak bermuatan positif atau negatif, spesi semacam ini sangat reaktif karena adanya elektron yang tidak berpasangan. Suatu radikal bebas biasanya dijumpai sebagai zat-antara yang tak dapat diisolasi usia pendek, sangat reaktif, dan berenergi tinggi. Pada bidang kimia organik, reaksi radikal bebas umumnya digunakan dalam halogenasi hidrokarbon dan pirolisis (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Sifat radikal bebas yang tidak stabil menyebabkan reaksi menerima atau memberikan elektron dengan molekul sekitarnya. Kebanyakan molekul ini bukan radikal bebas melainkan makromolekul biologi seperti lipid, protein, asam nukleat dan karbohidrat. Dengan reaksi ini timbullah reaksi radikal bebas beruntun yaitu terbentuknya radikal bebas baru yang bereaksi lagi dengan makromolekul lain


(6)

(Weisburger, 2004). Senyawa oksigen reaktif (SOR) berperan dalam berbagai proses biologis alami di dalam tubuh. SOR berasal dari oksigen (O2). Berbagai

proses metabolisme dalam tubuh, seperti pada rantai pernapasan , reperfusi, dan proses oksidasi asam lemak, oksigen berperan sebagai akseptor terakhir dari elektron. Secara fisiologis tubuh menghasilkan SOR, namun apabila radikal bebas atau oksidan dihasilkan secara berlebihan oleh tubuh, maka bahan tersebut akan bersifat toksik dan merusak berbagai komponen dalam tubuh, seperti DNA, lipid dan enzim. Sel tubuh dapat rusak bahkan mati sebagai akibat dari keberadaan spesies oksigen reaktif yang tidak terkendali di dalam tubuh (Ionita, 2005 ).

Golongan senyawa oksigen reaktif antara lain adalah hidroksil (OH-), superoksida (O2-), peroksidal (RO-2), asam hipoklorit (HOCl) dan hidrogen

peroksida (H2O2) (Ionita, 2005). Secara umum (Froment dan Bischoff, 1979),

reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi berikut : a. Tahap inisiasi

RH + initiator → R˙ + H˙ R˙→ R˙ + O2→ ROO˙

b. Tahap propagasi R˙ + O2 → ROO˙

ROO˙ +RH → ROOH + R˙ c. Tahap terminasi

R˙ + R˙ → RR

R˙ + ROO˙ → ROOR

Tahap inisiasi adalah tahap awal pembentukan radikal-radikal bebas, sedangkan propagasi merupakan sederatan reaksi terbentuknya radikal baru akibat


(7)

reaksi antara suatu radikal dengan senyawa lain. Pada hakikatnya, pembentukan awal beberapa radikal bebas akan mengakibatkan perkembangbiakan radikal-radikal bebas baru dalam suatu reaksi pengabdian-diri (self-perpetuating) yang disebut sebagai reaksi rantai. Tahap terakhir atau terminasi adalah reaksi memusnahkan radikal bebas atau mengubah radikal bebas menjadi stabil dan tak reaktif (Fessenden dan Fessenden, 1986).

2.4 Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dalam kadar rendah bila dibandingkan dengan bahan yang dapat dioksidasi, dapat memperlambat atau menghambat oksidasi bahan tersebut secara signifikan (Halliwell, 2002). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal atau dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007). Menurut Kumalaningsih (2006), antioksidan tubuh dikelompokkan menjadi 3 yakni:

1. Antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah pembentuk senyawa radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contohnya adalah enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas.

2. Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E, vitamin C, β-karoten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.


(8)

3. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contohnya enzim metionin sulfoksidan reduktase untuk memperbaiki DNA pada inti sel.

Khasiat antioksidan untuk mencegah berbagai penyakit akibat pengaruh oksidatif akan lebih efektif jika kita mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang kaya akan antioksidan daripada menggunakan antioksidan tungggal. Efek antioksidan dari sayur-sayuran dan buah-buahan, lebih efektif daripada suplemen antioksidan yang diisolasi. Hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya komponen lain dan interaksinya dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang berperan secara positif (Silalahi, 2006).

Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik. Senyawa polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).

2.4.1 Karoten

Karoten dikenal juga sebagai pigmen warna jingga. Kandungannya dalam minyak sawit mencapai 0,005-0,18% dan dari setiap ton minyak mengandung kurang lebih 240 g karoten. Berdasarkan hasil penelitian, karoten dapat dimanfaatkan sebagai obat kanker paru-paru dan payudara. Selain sebagai obat antikanker, karoten juga merupakan sumber provitamin A yang cukup potensial. Karoten terdiri dari 36% alfakaroten dan 54% betakaroten dan tersimpan dalam daging buah kelapa sawit dan komponen minor (10%) yang terdiri atas tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, sgualen, serta alkohol alifatik (Gupta dan Ghosh, 2013).


(9)

Beta karoten mempunyai 11 ikatan rangkap dua dan karbon-karbon terkonjugasi bersama-sama. Beta karoten berfungsi sebagai antioksidan dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh, selain itu juga berfungsi dalam membantu tumbuh kembang sistem penglihatan. Sebagai antioksidan, beta karoten sumber utama vitamin A yang sebagian besar ada di dalam tumbuhan seperti wortel, brokoli, kentang dan tomat.

Gambar 2.1 Rumus bangun beta karoten

Secara kimia, karoten adalah terpena yang disintesis secara biokimia dari delapan satuan isoprene. Dia ada di dalam dua bentuk utama yang diberi karakter yunani: α-karoten dan β-karoten. Beta karoten terdiri dari dua group retinil, dan dipecah dalam mukosa dari usus halus kecil oleh beta karoten dioksigenase menjadi retinol, sebuah bentuk dari vitamin A. Karoten dapat disimpan dalam hati dan diubah menjadi vitamin A sesuai kebutuhan dan membuatnya menjadi provitamin A (Gupta dan Ghosh, 2013).

2.4.2 Tokoferol

Unsur ini dikenal sebagai antioksidan alam dan sebagai sumber vitamin E. Kandungan tokoferol dalam CPO berkisar 600-1000 ppm, dalam olein 800-1000


(10)

ppm, dan dalam stearin hanya 250-530 ppm. Minyak sawit yang bermutu baik mengandung tokoferol berkisar antara 500-800 ppm (Silalahi, 2006).

Tokoferol merupakan salah satu antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan. Beberapa tokoferol ada yang terdapat di alam, salah satunya α-tokoferol yang merupakan senyawa paling aktif secara biologis (Silalahi, 2006). Makanan yang paling banyak mengandung tokoferol adalah minyak nabati, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Aktivitas antioksidan dari α-tokoferol berfungi mencegah dan melindungi sel tubuh dari kerusakan, sehingga dapat memperlambat penuaan, mencegah kanker dan aterosklerosis (Silalahi, 2006) Struktur α-tokoferol dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.2 Rumus bangun α- tokoferol 2.4.3 Vitamin C

Vitamin C berhasil di isolasi untuk pertama kalinya pada tahun 1928 oleh Albert Szent-Györgyi. Penemuan ini terjadi dikarenakan keinginan dari Albert untuk mencoba mengidentifikasi suatu komponen yang mengikat oksigen dan dapat mencegah kerusakan buah (Iqbal, et al., 2004).

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus bangun C6H8O6, dengan titik lebur 190-192°C. Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% C6H8O6. Pemerian: serbuk atau hablur

putih atau agak kuning, tidak berbau, rasa asam, oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi gelap, dalam larutan cepat teroksidasi. Kelarutan: mudah larut


(11)

dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam benzen P. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya. Vitamin C mengandung khasiat sebagai antiskorbut (Ditjen POM, 1995).

Gambar 2.3 Rumus bangun vitamin C

Vitamin C berperan dalam mengurangi resiko hipertensi dan jantung koroner, mencegah kanker, meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri, berperan dalam pembentukan kolagen serta produksi neurotransmitter dan hormon tertentu dalam tubuh (Walingo, 2005).

Asam askorbat apabila terkena pengaruh oksigen, zat-zat pengoksidasi lemah, atau oleh pengaruh enzim asam askorbat oksidase, akan mempermudah senyawa ini mengalami oksidasi menjadi asam dehidroaskorbat, karena memiliki sifat mudah teroksidasi, asam askorbat digunakan sebagai antioksidan (Iqbal, et al., 2004).

2.5 Spektrofotometri UV-Visible

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan pengukuran jumlah zat penyerap dalam larutan secara kuantitatif (Triyati, 1985). Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200 - 400 nm


(12)

sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara 400 - 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2012).

Metode spektrofotometri ultra-violet dan sinar tampak (visible) telah banyak diterapkan untuk penetapan senyawa - senyawa organik yang umumnya dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Dalam suatu larutan, gugus molekul yang dapat mengabsorpsi cahaya dinamakan gugus kromofor. Molekul - molekul yang hanya mengandung satu gugus kromofor dapat mengalami perubahan pada panjang gelombang. Molekul yang mengandung dua gugus kromofor atau lebih akan mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang yang hampir sama dengan molekul yang hanya mempunyai satu gugus kromofor tertentu, tetapi intensitas absorpsinya adalah sebanding dengan jumlah kromofor yang ada (Gandjar dan Rohman, 2012).

Spektrofotometer pada dasarnya terdiri dari sumber sinar, monokromator, sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. Spektrofotometri serapan merupakan metode pengukuran serapan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu yang diserap zat (Depkes RI, 1979).

2.6 Kromatografi Gas

Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran kimia dalam suatu bahan, berdasarkan perbedaan polaritas campuran. Fase gerak akan membawa campuran sampel menuju kolom dan campuran ini akan berinteraksi dengan fase diam. Setiap komponen yang terdapat dalam campuran berinteraksi dengan kecepatan yang berbeda dimana interaksi komponen dengan fase diam


(13)

dengan waktu yang paling cepat akan keluar pertama dari kolom dan yang paling lambat akan keluar paling akhir (Gandjar dan Rohman, 2012).

Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beraga, mulai dari beberapa detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasikan dengan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu, dan detektor (Gandjar dan Rohman, 2012).

2.7 Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Pada tahun 1922, Goldschmidt dan Renn menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH. DPPH berwarna sangat ungu seperti KMnO4 dan

tidak larut dalam air (Ionita, 2005).

Gambar 2.4 Rumus bangun DPPH

Metode DPPH adalah sebuah metode yang sederhana yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan. Prinsipnya dimana elektron ganjil pada molekul DPPH


(14)

memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, et al., 2001).

Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau efficient concentration (EC50) atau Inhibition

Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat

menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC50 atau IC50 yang rendah

(Molyneux, 2004). 2.7.1 Pelarut

Metode ini akan bekerja dengan baik menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004). 2.7.2 Pengukuran Absorbansi – Panjang Gelombang

Panjang gelombang maksimum (λ maks) yang digunakan dalam pengukuran uji sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang maksimum untuk DPPH antara lain 515-520 nm, bagaimanapun dalam praktiknya hasil pengukuran yang memberikan peak maksimum itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang disebutkan diatas. (Molyneux, 2004).


(15)

2.8 Transesterifikasi

Reaksi transesrifikasi merupakan proses reaksi penyempurnaan dari pembuatan biodiesel. Pada reaktor transesterifikasi, minyak dan lemak yang belum tereaksi pada proses esterifikasi dikonversikan menjadi biodiesel pada tahap ini. Bahan baku tambahan berupa katalis basa dan metanol dimasukkan ke dalam reaktor ini. Kondisi reaktor dipertahankan pada tekanan 1 atm dan temperatur 70 C (Prihandana, et al., 2006).

Katalis yang digunakan adalah NaOH karena lebih murah dibanding KOH, dan volume katalis ditentukan berdasarkan metode titrasi yang kisaran 1,3-1,5% dari volume minyak. Lamanya waktu operasi tergantung pada mutu minyak. Minyak yang bermutu rendah membutuhkan waktu operasi yang relatif lebih lama (2 kali lipat) dibanding waktu yang dibutuhkan untuk memproses minyak bermutu standar (Prihandana, et al., 2006).

Tahapan proses transesterifikasi adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Tahapan proses transesterifikasi

Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu retensi, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas pada bahan baku yang dapat menghambat reaksi. Faktor lain


(16)

yang mempengaruhi adalah jenis alkohol yang digunakan pada reaksi. Pada proses transesterifikasi, selain menghasilkan biodiesel, hasil sampingannya adalah gliserol. Gliserol ini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sabun, dan berperan sebagai pelembab (moistourising) ( Hambali, et al., 2006).

2.9 Solvolitik Misellisasi

Modifikasi proses penjemputan karotenoid melalui rute ester tengah dikembangkan, dimana penjumputan karotenoid melalui rute ester lebih efektif dibandingkan rute CPO. Beberapa penelitian yang menggunakan rute ester antara lain ekstraksi pelarut atau solvolitik misellisasi (SM) (Lamria dan Siahaan, 2006). Prinsip SM adalah pemisahan dua komponen melalui pembentukan misella antara karotenoid dan ester oleh pelarut mayor dan minor. Pelarut mayor bersifat non polar dan pelarut minor bersifat polar. Beberapa penelitian melaporkan bahwa alkohol berantai pendek, seperti metanol dan etanol paling efektif berperan sebagai pelarut mayor (Rivani, et al, 2009).

Ketika pelarut mayor dicampurkan secara berlebih ke ester maka akan terbentuk misella karotenoid yang menyebar pada lapisan ester. Misela karotenoid terbentuk karena sebagian besar asam lemak dalam ester terlarut dalam pelarut mayor menjadi bagian hidrofilik. Sebagian asam lemak lainnya akan tetap berikatan dengan ester dan membentuk bagian hidrofobik, kemudian pelarut air ditambahkan untuk mengurangi kelarutan metanol terhadap ester. Akibatnya, misela karotenoid hidrofobik akan bergabung dan tersuspensi menjadi lapisan kaya karotenoid (Lamria dan Siahaan, 2006). Kelebihan proses SM dibanding proses lain adalah lebih sederhana, mudan dan efektif.


(1)

dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam benzen P. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya. Vitamin C mengandung khasiat sebagai antiskorbut (Ditjen POM, 1995).

Gambar 2.3 Rumus bangun vitamin C

Vitamin C berperan dalam mengurangi resiko hipertensi dan jantung koroner, mencegah kanker, meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri, berperan dalam pembentukan kolagen serta produksi neurotransmitter dan hormon tertentu dalam tubuh (Walingo, 2005).

Asam askorbat apabila terkena pengaruh oksigen, zat-zat pengoksidasi lemah, atau oleh pengaruh enzim asam askorbat oksidase, akan mempermudah senyawa ini mengalami oksidasi menjadi asam dehidroaskorbat, karena memiliki sifat mudah teroksidasi, asam askorbat digunakan sebagai antioksidan (Iqbal, et al., 2004).

2.5 Spektrofotometri UV-Visible

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan pengukuran jumlah zat penyerap dalam larutan secara kuantitatif (Triyati, 1985). Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200 - 400 nm


(2)

sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara 400 - 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2012).

Metode spektrofotometri ultra-violet dan sinar tampak (visible) telah banyak diterapkan untuk penetapan senyawa - senyawa organik yang umumnya dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Dalam suatu larutan, gugus molekul yang dapat mengabsorpsi cahaya dinamakan gugus kromofor. Molekul - molekul yang hanya mengandung satu gugus kromofor dapat mengalami perubahan pada panjang gelombang. Molekul yang mengandung dua gugus kromofor atau lebih akan mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang yang hampir sama dengan molekul yang hanya mempunyai satu gugus kromofor tertentu, tetapi intensitas absorpsinya adalah sebanding dengan jumlah kromofor yang ada (Gandjar dan Rohman, 2012).

Spektrofotometer pada dasarnya terdiri dari sumber sinar, monokromator, sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. Spektrofotometri serapan merupakan metode pengukuran serapan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu yang diserap zat (Depkes RI, 1979).

2.6 Kromatografi Gas

Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran kimia dalam suatu bahan, berdasarkan perbedaan polaritas campuran. Fase gerak akan membawa campuran sampel menuju kolom dan campuran ini akan berinteraksi dengan fase diam. Setiap komponen yang terdapat dalam campuran berinteraksi dengan kecepatan yang berbeda dimana interaksi komponen dengan fase diam


(3)

dengan waktu yang paling cepat akan keluar pertama dari kolom dan yang paling lambat akan keluar paling akhir (Gandjar dan Rohman, 2012).

Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beraga, mulai dari beberapa detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasikan dengan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu, dan detektor (Gandjar dan Rohman, 2012).

2.7 Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Pada tahun 1922, Goldschmidt dan Renn menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH. DPPH berwarna sangat ungu seperti KMnO4 dan tidak larut dalam air (Ionita, 2005).

Gambar 2.4 Rumus bangun DPPH

Metode DPPH adalah sebuah metode yang sederhana yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan. Prinsipnya dimana elektron ganjil pada molekul DPPH


(4)

memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, et al., 2001).

Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau efficient concentration (EC50) atau Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC50 atau IC50 yang rendah (Molyneux, 2004).

2.7.1 Pelarut

Metode ini akan bekerja dengan baik menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004). 2.7.2 Pengukuran Absorbansi – Panjang Gelombang

Panjang gelombang maksimum (λ maks) yang digunakan dalam pengukuran

uji sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang maksimum untuk DPPH antara lain 515-520 nm, bagaimanapun dalam praktiknya hasil pengukuran yang memberikan peak maksimum itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang disebutkan diatas. (Molyneux, 2004).


(5)

2.8 Transesterifikasi

Reaksi transesrifikasi merupakan proses reaksi penyempurnaan dari pembuatan biodiesel. Pada reaktor transesterifikasi, minyak dan lemak yang belum tereaksi pada proses esterifikasi dikonversikan menjadi biodiesel pada tahap ini. Bahan baku tambahan berupa katalis basa dan metanol dimasukkan ke dalam reaktor ini. Kondisi reaktor dipertahankan pada tekanan 1 atm dan temperatur 70 C (Prihandana, et al., 2006).

Katalis yang digunakan adalah NaOH karena lebih murah dibanding KOH, dan volume katalis ditentukan berdasarkan metode titrasi yang kisaran 1,3-1,5% dari volume minyak. Lamanya waktu operasi tergantung pada mutu minyak. Minyak yang bermutu rendah membutuhkan waktu operasi yang relatif lebih lama (2 kali lipat) dibanding waktu yang dibutuhkan untuk memproses minyak bermutu standar (Prihandana, et al., 2006).

Tahapan proses transesterifikasi adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Tahapan proses transesterifikasi

Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu retensi, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas pada bahan baku yang dapat menghambat reaksi. Faktor lain


(6)

yang mempengaruhi adalah jenis alkohol yang digunakan pada reaksi. Pada proses transesterifikasi, selain menghasilkan biodiesel, hasil sampingannya adalah gliserol. Gliserol ini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sabun, dan berperan sebagai pelembab (moistourising) ( Hambali, et al., 2006).

2.9 Solvolitik Misellisasi

Modifikasi proses penjemputan karotenoid melalui rute ester tengah dikembangkan, dimana penjumputan karotenoid melalui rute ester lebih efektif dibandingkan rute CPO. Beberapa penelitian yang menggunakan rute ester antara lain ekstraksi pelarut atau solvolitik misellisasi (SM) (Lamria dan Siahaan, 2006). Prinsip SM adalah pemisahan dua komponen melalui pembentukan misella antara karotenoid dan ester oleh pelarut mayor dan minor. Pelarut mayor bersifat non polar dan pelarut minor bersifat polar. Beberapa penelitian melaporkan bahwa alkohol berantai pendek, seperti metanol dan etanol paling efektif berperan sebagai pelarut mayor (Rivani, et al, 2009).

Ketika pelarut mayor dicampurkan secara berlebih ke ester maka akan terbentuk misella karotenoid yang menyebar pada lapisan ester. Misela karotenoid terbentuk karena sebagian besar asam lemak dalam ester terlarut dalam pelarut mayor menjadi bagian hidrofilik. Sebagian asam lemak lainnya akan tetap berikatan dengan ester dan membentuk bagian hidrofobik, kemudian pelarut air ditambahkan untuk mengurangi kelarutan metanol terhadap ester. Akibatnya, misela karotenoid hidrofobik akan bergabung dan tersuspensi menjadi lapisan kaya karotenoid (Lamria dan Siahaan, 2006). Kelebihan proses SM dibanding proses lain adalah lebih sederhana, mudan dan efektif.