Studi Analisis Residu Klorpirifos dalam Minyak Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) Menggunakan Kromatografi Gas dengan Detektor Penangkap Elektron

(1)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON

SKRIPSI

OLEH: YOGI SUGIANTO

NIM 060804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: YOGI SUGIANTO

NIM 060804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON OLEH:

YOGI SUGIANTO NIM 060804036

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: Agustus 2010

Panitia Penguji,

130 809 700

1 569 406

131 283 719

eliala, M.Si., Apt.) 83 718

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) NIP. 19531128198303 1 002

(Prof. Dr. rer nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt.) NIP. 19530619198303 1 001

Pembimbing I,

(Prof. Dr. rer nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt.) NIP. 19530619198303 1 001

(Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt.) NIP. 19490811197603 1 001

(Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.) NIP. 19510816198003 1 002

(Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt.) NIP. 19490706198002 1 001

(Hasrul Abdi Hasibua n, M. Si.) Pembimbing II,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Agung yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, karunia dan kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Studi Analisis Residu Klorpirifos dalam Minyak Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) Menggunakan Kromatografi Gas dengan Detektor Penangkap Elektron” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga dan mendalam kepada Ayahanda tercinta H. Rapon dan Ibunda tersayang Hj. Hadijah yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang dan cinta yang teramat tulus, juga untuk mas Erianto (Arai Ponsel), kakanda Ernawati, S.Pd., kak ipar Umy Rahmawati serta abang ipar Gatot Susantoro atas segala semangat, bantuan, dan kasih sayang yang berlimpah yang telah diberikan, kepada keluarga besar Alm. Giman dan keluarga besar Alm. Marmin atas semua doa, kasih sayang, semangat, dan pengorbanan baik moril maupun materil. Yang tak terlupakan, untuk dek Reny Seprianti, terima kasih atas semua pengorbanan, doa, dan kasih saying tulus yang diberikan sangat membantu penulis mengarungi langkah menuju sukses. Sebagai sumber inspirasi, si imut Nayla Yosa Anerga (Naya) yang sangat dinanti perkembangannya menjadi sesosok insan yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua dalam setiap langkah menggapai impian.


(5)

Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt. dan bapak Hasrul Abdi Hasibuan, M. Si. selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dekan dan Bapak/Ibu Pembantu Dekan, Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt. selaku penasehat akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution. MPS., Apt., Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.,

dan Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, arahan dan kritik kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu staf Laboratorium Pengolahan Hasil dan Mutu (PAHAM) PPKS Medan yang telah memberikan arahan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian dan pengalaman berharga penulis sebagai laboran.

5. Bapak dan Ibu staf Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif, rekan-rekan asisten Laboratorim Kimia Farmasi Kualitatif yang telah memberikan bantuan ilmu dan didikan serta pengalaman yang sangat berarti bagi penulis sebagai asisten laboratorium.

6. Sahabat-sahabat penulis anggota pengajian farmasi : Muammar Alfarouq (Mammert), Aulia Sumantri (Oli), Hendra Agustian (Obeng), Azhar Aliza Putra ( Bang Komting), Rico Aditya (Deric), Achtur Jahari (Ari), Rian Budi


(6)

Prasetya (Ribud), Gokman U. Sidabutar (Daboe), Roni M. Situmorang (Baron), Niki Agustina (Nidol), Fathul Jannah (Oel), Bang Riyan, Bang Antun, Bang Yakub, Bang riza, Bang Reva, Bang Bagus, Bang Surya, rekan-rekan mahasiswa farmasi khususnya stambuk 2006 atas dukungan, semangat, bantuan dan persahabatan yang indah selama ini serta seluruh pihak yang telah memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi dan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

7. Rekan-rekan HMF periode 2009-2010 : Danny Parawita, Ayu Puspita, Riwandy Yusuf Siregar, Ernal Salita, Nensi Kurnia Putri, Syafridah, Darwin, Taufik, Jali, Febri, serta anggota HMF lainnya yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman penghuni setia 51: Hariyo Handoyo, Adnan, Budi, mas Putra dan pak Rendra yang telah memberikan ketulusan dan keikhlasan atas partisipasinya membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan pahala yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(7)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang residu klorpirifos yang digunakan sebagai bahan aktif pestisida yang terdapat dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq). Penggunaan pestisida klorpirifos yang sangat luas di dunia pertanian dan perkebunan sehingga meninggalkan residu pada hasil pertanian dan perkebunan yang akan diproduksi. Bahaya adanya residu klorpirifos sangat fatal yaitu dapat mengakibatkan kematian.

Klorpirifos (suatu pestisida yang mengandung fosfor dan klorin) dapat ditentukan kadarnya dengan menggunakan kromatografi gas dilengkapi detektor penangkap elektron, kolom Rtx-1® pada suhu 300 0C, laju alir gas pembawa 1,61 ml/menit, suhu injektor dan detektor 325 0C. Suatu metode yang sederhana telah dilakukan untuk pembersihan analit dari pengotor yang terdapat dalam matriks berminyak (minyak sawit mentah dan minyak goreng). Metode ini meliputi elusi analit dengan kromatografi serapan menggunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Metode ini mampu mengekstrak klorpirifos sehingga terbebas dari matriks minyak.

Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali pada rentang 85,67-108,80% dan koefisien variasi pada rentang 0,71-8,42%. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantitasi berturut-turut adalah 0,036 µg/ml dan 0,12 µg/ml. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron cocok untuk penentuan kadar klorpirifos dalam minyak sawit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa sampel yang diuji yaitu minyak sawit mentah dan minyak goreng tidak tercemar residu klorpirifos sehingga dapat meningkatkan sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit.

Kata kunci: klorpirifos, minyak sawit, kromatografi serapan, kromatograsi gas, detektor penangkap elektron.


(8)

ANALYSIS STUDY OF CHLORPYRIFOS RESIDUE IN PALM OIL

(Elaeis guineensis Jacq) USING GAS CHROMATOGRAPHY WITH ELECTRON CAPTURE DETECTOR

ABSTRACT

A research has been done about the residue of chlorpyrifos, a substance which was used as active content in pesticide, in coconut palm oil (Elaeis

guineensis Jacq). The extensive usage of chlorpyrifos pesticide in the field of

farming and plantation leaves residue of chlorpyrifos in the farming and plantation product. The danger of chlorpyrifos residue presence is very fatal. It can lead to death.

Chlorpyrifos (a pesticide containing phosphorus and chlorine) was determined by using gas chromatography equipped with electron capture detector, Rtx-1 column at 300 oC temperature, flow rate of carrier gas 1.61 ml/minute, and injector and detector temperature of 325 oC. A simple method has been done to clean the analyte from the impurities in the oily matrix (crude palm oil and frying oil). The method involves elution of analyte with absorption chromatography using alumina as absorbant and petroleum ether as solvent. This method is capable of extracting chlorpyifos and freeing it from oil matrix.

The method validation showed that the research procedure conducted has good accuracy and precision with percent recovery at range 85.67-108.80% and variation coefficient at range 0.71-8.42%. While the limit of detection and limit of quantitation are 0.036 µg/ml and 0.12 µg/ml respectively. The result obtained showed that gas chromatography with electron capture detector is a suitable detector for the quantification of chlorpyrifos in crude palm oil.

From the result of the research, it was concluded that the tested sample, which were raw coconut palm oil and frying oil, are not contaminated with chlorpyrifos residue so that they can improve the food safety system in palm oil industries.

Keyword(s): chlorpyrifos, palm oil, absorption chromatography, gas chromatography, electron capture detector.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesa ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kelapa Sawit ... 6

2.2 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit ... 7

2.3 Pestisida ... 7

2.3.1 Bahaya Pencemaran Pestisida ... 9


(10)

2.3.2.1 Klorpirifos ... 10

2.3.2.2 Cara Kerja Klorpirifos ... 11

2.3.3 Proses Analisis Residu Pestisida ... 11

2.4 Analisis Kualitatif/Kuantitatif ... 12

2.5 Kromatografi Gas ... 13

2.5.1 Detektor ECD (Electron Capture Detektor) ... 21

2.6 Kromatografi Kolom ... 22

2.6.1 Pengisian Kolom... 22

2.6.2 Penyerap ... 22

2.7 Validasi Data Analisis ... 23

2.7.1 Akurasi/Kecermatan ... 23

2.7.2 Presisi/Keseksamaan ... 24

2.7.3 Batas Deteksi ... 25

2.7.4 Batas Kuantitasi ... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 26

3.1 Alat ... 26

3.2 Bahan ... 26

3.3 Rancangan Penelitian ... 27

3.3.1 Penyiapan Bahan... 27

3.3.1.1 Pembuatan Aktifasi Penyerap Alumina ... 27

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 1000 µg/ml ... 27

3.3.1.3 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 100 µg/ml ... 27 3.3.1.4 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos


(11)

10 µg/ml ... 27

3.3.2 Analisis Kuantitatif ... 28

3.3.2.1 Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas ... 28

3.3.2.2 Penentuan Deteksi Minimun Standar Klorpirifos ... 28

3.3.2.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 28

3.3.2.4 Penentuan Uji Perolehan Kembali dan Clean-up... 29

3.3.2.5 Penetapan Kadar Klorpirifos dalam Sampel ... 30

3.3.3 Validasi Metode ... 31

3.3.3.1 Akurasi/Kecermatan ... 31

3.3.3.2 Presisi ... 31

3.3.3.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi yang Optimum ... 33

4.2 Proses Clean-up ... 36

4.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 38

4.3.1 Persamaan Garis Regresi ... 39

4.3.2 Linierites Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 40

4.3.3 Koefisien Variasi ... 41

4.3.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 41

4.4 Uji Perolehan Kembali ... 42

4.5 Analisis Kadar Klorpirifos dalam Minyak Sawit ... 46


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... .49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi dengan Metode Kromatografi

Gas ... 38

Tabel 2. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi ... 41

Tabel 3. Hasil Pengukuran Uji Perolehan Kembali ... 44

Tabel 4. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengujian Akurasi ... 45

Tabel 5. Hasil Pengukuran Sampel Minyak Sawit Mentah dan Minyak Goreng Brand ... 47


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Blok Kromatografi Gas ... 15

Gambar 2. Bagan Injektor dalam Kromatografi Gas ... 18

Gambar 3. Jenis Kolom Kromatografi Gas ... 19

Gambar 4. Kromatogram yang Diperoleh dari Kondisi Kromatografi yang Optimum dari Standar Klorpirifos 0,01 µg/ml... 34

Gambar 5. Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 39

Gambar 6. Kromatogram Kurva Kalibrasi 1 µg/ml ... 39

Gambar 7. Kromatogram n-Heksan ... 40

Gambar 8. Kromatogram Petroleum Eter ... 42

Gambar 9. Kromatogram Blanko ... 43

Gambar 10. Kromatogram Uji Perolehan Kembali Klorpirifos 1 µg/ml ... 43


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Gambar Sampel dan Proses Clean-up Sampel ... 53

Lampiran 2. Gambar Instrumen Kromatografi Gas ... 54

Lampiran 3. Gambar Perangkat Pendukung Penelitian Lainnya ... 56

Lampiran 4. Gambar Bahan yang Dipakai dalam Penelitian... 57

Lampiran 5. Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 58

Lampiran 6. Contoh Perhitungan Simpangan Baku (SB) dan Koefisien Variasi (KV) Hasil Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 61

Lampiran 7. Data Perolehan Kembali dari Standar Klorpririfos ... 62

Lampiran 8. Contoh Perhitungan Uji Perolehan Kembali Standar Klorpirifos ... 64

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Simpangan Baku Hasil Perolehan Kembali Standar Klorpirifos……... 65

Lampiran 10. Perhitungan Penetapan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi... 66

Lampiran 11. Bagan Pembuatan Aktifasi Penyerap Alumina ... 67

Lampiran 12. Bagan Pembuatan Larutan Standar klorpirifos ... 68

Lampiran 13. Bagan Pengemasan Kolom Kromatografi untuk Proses Clean-up ... 69

Lampiran 14. Kromatogram Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 70

Lampiran 15. Kromatogram Hasil Pengukuran Uji Perolehan Kembali Standar Klorpirifos ... 78


(16)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang residu klorpirifos yang digunakan sebagai bahan aktif pestisida yang terdapat dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq). Penggunaan pestisida klorpirifos yang sangat luas di dunia pertanian dan perkebunan sehingga meninggalkan residu pada hasil pertanian dan perkebunan yang akan diproduksi. Bahaya adanya residu klorpirifos sangat fatal yaitu dapat mengakibatkan kematian.

Klorpirifos (suatu pestisida yang mengandung fosfor dan klorin) dapat ditentukan kadarnya dengan menggunakan kromatografi gas dilengkapi detektor penangkap elektron, kolom Rtx-1® pada suhu 300 0C, laju alir gas pembawa 1,61 ml/menit, suhu injektor dan detektor 325 0C. Suatu metode yang sederhana telah dilakukan untuk pembersihan analit dari pengotor yang terdapat dalam matriks berminyak (minyak sawit mentah dan minyak goreng). Metode ini meliputi elusi analit dengan kromatografi serapan menggunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Metode ini mampu mengekstrak klorpirifos sehingga terbebas dari matriks minyak.

Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali pada rentang 85,67-108,80% dan koefisien variasi pada rentang 0,71-8,42%. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantitasi berturut-turut adalah 0,036 µg/ml dan 0,12 µg/ml. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron cocok untuk penentuan kadar klorpirifos dalam minyak sawit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa sampel yang diuji yaitu minyak sawit mentah dan minyak goreng tidak tercemar residu klorpirifos sehingga dapat meningkatkan sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit.

Kata kunci: klorpirifos, minyak sawit, kromatografi serapan, kromatograsi gas, detektor penangkap elektron.


(17)

ANALYSIS STUDY OF CHLORPYRIFOS RESIDUE IN PALM OIL

(Elaeis guineensis Jacq) USING GAS CHROMATOGRAPHY WITH ELECTRON CAPTURE DETECTOR

ABSTRACT

A research has been done about the residue of chlorpyrifos, a substance which was used as active content in pesticide, in coconut palm oil (Elaeis

guineensis Jacq). The extensive usage of chlorpyrifos pesticide in the field of

farming and plantation leaves residue of chlorpyrifos in the farming and plantation product. The danger of chlorpyrifos residue presence is very fatal. It can lead to death.

Chlorpyrifos (a pesticide containing phosphorus and chlorine) was determined by using gas chromatography equipped with electron capture detector, Rtx-1 column at 300 oC temperature, flow rate of carrier gas 1.61 ml/minute, and injector and detector temperature of 325 oC. A simple method has been done to clean the analyte from the impurities in the oily matrix (crude palm oil and frying oil). The method involves elution of analyte with absorption chromatography using alumina as absorbant and petroleum ether as solvent. This method is capable of extracting chlorpyifos and freeing it from oil matrix.

The method validation showed that the research procedure conducted has good accuracy and precision with percent recovery at range 85.67-108.80% and variation coefficient at range 0.71-8.42%. While the limit of detection and limit of quantitation are 0.036 µg/ml and 0.12 µg/ml respectively. The result obtained showed that gas chromatography with electron capture detector is a suitable detector for the quantification of chlorpyrifos in crude palm oil.

From the result of the research, it was concluded that the tested sample, which were raw coconut palm oil and frying oil, are not contaminated with chlorpyrifos residue so that they can improve the food safety system in palm oil industries.

Keyword(s): chlorpyrifos, palm oil, absorption chromatography, gas chromatography, electron capture detector.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepedulian terhadap sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit di masa mendatang sangat diperlukan mengingat sebagian besar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, selanjutnya CPO Indonesia juga diekspor ke luar negeri dengan total sekitar 12 juta ton. Data minyak dunia (Oilworld) menyebutkan, Indonesia berkontribusi 43 persen terhadap produksi CPO dunia (Hamzirwan, 2007; MPOB, 2007; Siahaan, 2008).

Penggunaan pestisida dalam menopang peningkatan produk pertanian maupun perkebunan seperti kelapa sawit telah banyak membantu untuk meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan. Namun demikian penggunaan pestisida ini dapat meninggalkan residu juga memberikan dampak negatif baik terhadap manusia, biota maupun lingkungan (Andresima, 2008; Manuaba, 2009).

Pestisida yang digunakan pada perkebunan kelapa sawit terutama adalah insektisida golongan organofosfat karena jenis pestisida ini mudah terurai di alam. Karena insektisida relatif murah, penggunaannya cenderung berhasil, misalnya klorpirifos yang digunakan untuk memberantas serangga pemakan (Handojo, 2009).

Insektisida dapat mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, dan residunya merupakan masalah dalam kualitas dan keamanan makanan. Dalam minyak sawit, residu pestisida akan melekat di kulit


(19)

buah yang tidak terurai, kemudian akan diabsorbsi melalui kulit buah, juga masuk melalui akar pada saat terjadi penyerapan mineral dari dalam tanah (Halimah, 2008; Handojo, 2009).

Klorpirifos bekerja dengan menghambat enzim kolin esterase pada sinaps saraf sehingga aktivitas saraf tidak terkendali. Hal ini dapat mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan serta biota lainnya. Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan tersebut, kadar residu klorpirifos tidak boleh melebihi batas yang diizinkan, yaitu data acceptable daily intake (ADI). ADI merupakan jumlah maksimum pestisida yang boleh termakan perhari, untuk klorpirifos sebesar 0,01 mg/kg bb (Djojosumarto, 2008). Dengan adanya gannguan kesehatan yang ditimbulkan oleh residu pestisida sehingga dibutuhkan metode analisis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk penentuan kadar pestisida pada minyak sawit demi keamanan pangan dan menjaga kualitas CPO Indonesia (Halimah, 2008).

Penentuan zat yang bersifat toksik seperti residu pestisida dalam kadar yang sangat rendah, misalnya dalam skala µg atau ng dapat dideteksi dengan teknik kromatografi (Adnan, 1997).

Richard (2006) melakukan penelitian tentang metode penentuan klorpirifos pada minyak biji bunga matahari dengan metode High Performance

Liquid Chromatography (HPLC). Ainie (2000) menetapkan metode isolasi

pestisida organofosfat dari matriks berminyak dengan kromatografi permeasi gel dimana analisisnya menggunakan kromatografi gas dengan detektor fotometri nyala/flame photometric detector (FPD). Syahbirin (2001) melakukan penetapan kadar klorpirifos pada buah impor dengan gas kromatografi memakai detektor


(20)

ionisasi nyala/Flame Ionization detector (FID) dimana prosedur pembersihan menggunakan kromatografi kolom dengan penyerap florisil.

Muhamad (2002) mengoptimalkan prosedur ekstraksi dan pemurnian klorpirifos dalam matriks berminyak dengan analisis metode menggunakan kromatografi gas memakai detektor penangkap elektron/electron capture detector (ECD). Suatu metode telah dilaporkan untuk penentuan kadar klorpirifos pada minyak dan mentega dengan menggunakan suatu kolom tanah diatom dan cartridge ekstraksi fase gerak/solid phase extraction (SPE) untuk memisahkan senyawa yang diinginkan dari minyak (Gillespie, 1994).

Penentuan kadar klorpirifos pada olein kelapa sawit telah dilakukan oleh Halimah (1999) menggunakan metode kromatografi gas dengan membandingkan nilai validasi dari 2 detektor, yaitu detektor fotometri nyala dan detektor penangkap elektron. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa detektor penangkap elektron lebih tepat untuk pendeteksian klorpirifos jika dibanding dengan detektor fotometri nyala.

Dengan adanya masalah yang ditimbulkan dari residu klorpirifos terhadap kesehatan manusia dan lingkungan serta mempengaruhi kualitas produksi dari minyak sawit, maka peneliti tertarik untuk memperoleh data mengenai metode analisis residu klorpirifos yang terdapat dalam minyak sawit yang penetapannya diukur secara kromatografi gas dilengkapi dengan detektor penangkap elektron, dimana proses clean-up dilakukan dengan elusi memakai kromatografi serapan dengan penyerap alumina menggunakan pelarut petroleum ether. Metode ini terpilih karena dinilai lebih sederhana dan memungkinkan analisis pestisida golongan organofosfat yang mungkin terdapat dalam sampel yang diuji.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Apakah residu klorpirifos dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq) dapat ditentukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron

• Apakah penggunaan metode kromatografi kolom dengan penyerap alumina mampu memurnikan residu pestisida dari minyak sawit

• Apakah minyak sawit tercemar residu klorprifos

1.3 Hipotesis

• Analisis residu klorpirifos dalam minyak sawit dapat ditentukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron

• Metode kromatografi kolom dengan penyerap alumina dapat digunakan dalam

clean-up residu klorpirifos dari minyak sawit

• Minyak sawit tidak tercemar residu klorpirifos

1.4 Tujuan Penelitian

Mengembangkan teknik analisis residu klorpirifos dalam minyak sawit dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron

Melakukan metode clean-up menggunakan kromatografi serapan dengan penyerap alumina memakai pelarut petroleum eter untuk memurnikan residu klorpirifos dari minyak sawit

Menganalisis minyak sawit baik minyak sawit mentah dan minyak goreng

brand dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap


(22)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat pengguna khususnya industri pengolahan kelapa sawit tentang cara analisis residu klorpirifos dalam minyak sawit sehingga dapat mendukung sistem keamanan pangan di industri minyak sawit.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Keluarga : Palmaceae Sub keluarga : Cocoideae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq

Pohon Kelapa Sawit terdiri daripada dua spesies Arecaceae atau famili Palma yang digunakan untuk pertanian komersil dalam pengeluaran minyak kelapa sawit. Pohon kelapa sawit afrika, Elaeis guineensis Jacq, berasal dari Afrika Barat di antara Angola dan Gambia, manakala pohon kelapa sawit amerika,

Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kelapa sawit

termasuk tumbuhan pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak, berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandungi minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Hampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang (Anonim a, 2007).


(24)

2.2 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benarbenar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak

kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifatsifat fisiknya, yaitu

dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, residu pestisida dan ukuran pemucatan (Anonim a, 2007).

Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan nonpangan masingmasing berbeda. Oleh karena itu keaslian,

kemurnian, kesegaran, cemaran maupun aspek higienisnya harus lebih diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktorfaktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya,

penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan (Anonim a, 2007).

2.3 Pestisida

Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Namun demikian, pestisida juga dapat memberikan manfaat, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pembangunan di berbagai sektor, termasuk pertanian. Memperhatikan manfaat dan dampak negatifnya, maka pestisida harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga dapat


(25)

diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan dampak negatif yang sekecil-kecilnya (Anonim b, 2010).

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO 1986) mendefinisikan pestisida adalah setiap zat atau campuran yang diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vector terhadap manusia atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang menyebabkan kerusakan selama atau dalam proses pencampuran dengan produksi, penyimpanan atau pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan makanan binatang, atau yang dapat dilakukan pada binatang sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau hama lain di dalam atau pada tubuh binatang tersebut (Sari, 2002).

Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah laku, bertelur, perkembangbiakan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi kesehatan. Pestisida sintetis telah berhasil menghantarkan sektor pertanian menuju terjadinya “revolusi hijau”, yang ditandai dengan peningkatan hasil panen dan pendapatan petani secara signifikan, sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan pada tahun 1986 (Setyono, 2009).

Sebagai produk perlindungan tanaman, pestisida pertanan meliputi semua zat kimia, campuran zat kimia, atau abhan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan untuk keperluan :


(26)

• Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT). sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan herbisida.

• Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat pertumbuhan dan mengeringkan tanaman. Sebagai contoh obat pengatur tumbuh, defoliant (senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa untuk mengeringkan daun) (Djojosumarto, 2006).

2.3.1 Bahaya Pencemaran Pestisida

Penggunaan pestisida pertanian berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi pengguna, konsumen, lingkungan, serta dampak sosial ekonomi. Oleh karena itu, penggunaan pestisida harus digunakan hati-hati. Penggunan pestisida bisa mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Keracunan tersebut dapat bersifat akut ringan, akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit, dan diare. Keracunan akut bert menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut nadi meningkat. Dapat juga mengakibatkan pingsan, kejang-kejang, bahkan mengakibatkan kematian. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan seperti iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal, dan pernafasen (Djojosumarto, 2006).


(27)

Residu beberapa pestisida tetap tinggal dalam tanah dalam waktu yang lama (persistent) dan dapat terbawa atau berpindah ke tempat lain bahkan masuk kedalam rantai makanan.

Contoh: DDT, Endrin, Lindane, Endosulfan, klorpirifos

Pestisida tidak hanya membunuh serangga hama perusak, tetapi juga akan membunuh serangga lain yang menguntungkan manusia (musuh alami hama). Residu pestisida yang masih tertinggal di dalam buah, daun atau batang, bila tidak hilang tercuci dapat ikut masuk termakan oleh manusia dan berbahaya bagi kesehatan tubuh kita (Setyono, 2009).

2.3.2 Residu Pestisida

Pengertian residu adalah sisa insektisida yang ditinggalkan sesudah perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja. Ini untuk membedakan pengertian residu dengan deposit. Deposit adalah bahan insektisida yang ditinggalkan segera sesudah perlakuan. Karena residu mempunyai pengertian bahan sisa yang telah dtinggal cukup lama, maka bahan residu sudah tak efektif lagi sebagai racun langsung, namun masih berbahaya karena dapat terakumulasi. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mendeteksi atau menganalisisnya, menggunakan metode-metode tertentu yang umumnya telah dibakukan (Martono, 2009).

2.3.2.1 Klorpirifos Rumus Bangun :


(28)

Struktur Molekul : C9H11Cl3NO3PS

Nama Kimia : O,O-diethyl O-3,5,6-trichloro-2-pyridyl phosphorothioate Nama Dagang : Dursban

Densitas : 1,398 g/cm3 (43,5 0C) Titik Uap : 160 oC

Berat Massa : 350,59 g/mol (WHO, 2004)

Klorpirifos merupakan insektisida selektif, diperkenalka tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. Mengendalikan serangga hama dari ordo Coleoptera, Diptera, Homoptera, dan Lepidoptera baik di daun maupun di dalam tanah (Djojosumarto, 2006).

2.3.2.2 Cara kerja klorpirifos

Klorpirifos bekerja sebagai penghambat asetil kolin esterase (acetyl cholin esterase inhibitor), bekerja dengan menghambat enzim kolin esterase pada sinaps saraf sehingga aktivitas saraf tidak terkendali (Djojosumarto, 2006).

2.3.3 Proses Analisis Residu Pestisida

Ekstraksi atau pemisahan residu pestisida dari bahan utama yang dianalisis (bagian tumbuhan, tanah, air dll.) dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut atau campuran pelarut. Pelarut harus mampu mengekstraksi residu dalam jumlah maksimum dengan bahan-bahan sertaan yang minimal, supaya tidak mengganggu hasil dan proses analisis. Komponen utama yang sering mengganggu adalah lemak, pigmen dan gula. Pelarut yang sering dipergunakan: asetonitril, dimetilsulfoksida, aseton, air (untuk pestisida polar); petroleum eter, dietil eter, n-heksan, atau kombinasi dari pelarut-pelarut tersebut (Martono, 2009).


(29)

Pemurnian ekstrak dilakukan untuk menyingkirkan bahan-bahan sisa/pengganggu seperti misalnya lemak, lilin, dan pigmen. Residu kemudian dapat juga difraksinasi. Hasil fraksinasi kemudian dianalisis dengan metode-metode kromatografi.. Metode-metode-metode kromatografi dilakukan dengan memperhatikan mekanismenya (adsorpsi, pertukaran ion) atau kedudukan alatnya (vertikal/kolom, horisontal atau datar) (Martono, 2009).

2.4 Analisis Kualitatif/Kuantitatif

Analisis dengan metode kromatografi antara lain :

Kromatografi Cairan-Gas (KCG) atau Gas Liquid Chromatography (GLC) Merupakan metode yang paling umum dipakai, proses pemisahannya berdasar pada partisi senyawa yang diuapkan melalui suatu fase stasioner (cairan non-volatil pada suatu bahan padat pendukung) dengan fase gerak berupa gas inert/gas mulia. Fase diam terdapat di dalam kolom dengan diameter 2 - 4 mm, panjang 1000 - 2000 mm (baja tahan karat, gelas atau teflon), terdapat juga kolom kapiler (dapat mencapai panjang 5-60 m). Bahan penyangga fase diam harus memiliki sifat adsorpsi minimum, luas permukaan besar, stabilitas yang baik (tanah diatom, teflon). Dalam menentukan fase cair harus diperhatikan polaritas senyawa yang dipisahkan. Setelah komponen yang dipisahkan melewati kolom, dilakukan deteksi dengan detektor. Respon detektor dicatat dalam bentuk kromatogram, kemudian dapat dihitung secara kuantitatif. Perhitungan kualitatif dilakukan dengan membandingkan puncak kromatogram terhadap puncak baku suatu senyawa yang telah diketahui.


(30)

Kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography, HPLC)

Metode pemisahannya didasarkan pada perbedaan keseimbangan distribusi komponen sampel antara dua fase: diam (kolom) dan gerak (sistem pelarut yang mengalir).

• Spektrofotometri

Antara lain absorpsi cahaya UV dan tampak. Sesuai dengan hukum Lambert-Beer :

A = log Io/I = (.c)/d

A adalah absorbansi, Io dan I adalah intensitas cahaya sebelum dan sesudah melalui sampel, adalah koefisien ekstinsi, c konsentrasi dan d adalah jarak tempuh cahaya dalam substansi sampel. Absorbansi merupakan fungsi konsentrasi dari senyawa yang dianalisis (Martono, 2009).

2.5 Kromatografi gas

Dasar pemisahan secara kromatografi gas ialah penyebaran cuplikan diantara dua fase, yaitu fase diam yang permukaannya luas dan fase lain berupa gas yang melewati fase diam. Kromatografi gas ialah suatu cara untuk memisahkan senyawa atsiri dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam berupa zat padat (Kromatografi gas padat). Jika fase diam berupa zat cair, cara tadi disebut Kromatografi gas cair. Fase cair diselaputkan berupa lapisan tipis pada zat padat yang lembam dan pemisahan didasarkan pada partisi cuplikan yang masuk dan keluar dari lapisan zat cair ini (Bonelli, 1988).


(31)

Kromatografi gas cairan mekanisme pemisahan dengan partisi, teknik kolom dan nama alat GLC dan kromatografi gas padat dengan mekanisme pemisahan absorbsi, teknik kolom dan nama alat GSC. Namun GSC jarang digunakan sehingga pada umumnya yang disebut dengan GC saat ini adalah GLC (Madbardo, 2010).

Pada prinsipnya pemisahan dalam GC adalah disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan distribusi analit diantara fase gerak dan fase diam di dalam kolom pada kecepatan dan waktu yang berbeda (Madbardo, 2010).

Dalam kromatografi gas, fase gerak berupa gas lembam seperti helium, nitrogen, argon, atau bahkan hydrogen yang digerakkan dengan tekanan melalui pipa yang berisi fase diam. Untuk pemisahan secara kromatografi, fase diam cair berada sebagai lapisan tipis yang diserap atau diikat secara kimia oleh penyangga padat yang dikemas di dalam pipa logam, kaca, atau plastic yang berdiameter kecil (2-8 mm) dan panjangnya sedang (1-10 m). Ini disebut kolom kemas. Dalam sistem lain disebut kolom kapiler atau pipa terbuka fase diam berupa film tipis (0,1-2 um) yang melekat pada dinding dalam pipa logam kapiler atau pipa kaca kapiler berdiameter sangat kecil (0,2-1 mm) dan sangat panjang (10-100 m) (Gritter, 1991).

Alat GLC atau GC terdiri atas 7 bagian, yaitu: 1. Silinder tempat gas pembawa/pengangkut

2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan 3. Tempat injeksi cuplikan

4. Kolom 5. Detector


(32)

6. Pencatat

7. Terminal untuk 3, 4 dan 5

Gambar 1. Diagram Blok Kromatografi Gas Bagian-bagian dari kromatografi gas :

1. Gas pengangkut/pemasok gas

Gas pengangkut (carrier gas) ditempatkan dalam silinder bertekanan tinggi. Biasanya tekanan dari silinder sebesar 150 atm. Tetapi tekanan ini sangat besar untuk digunakan secara Iangsung (Madbardo, 2010).

Gas pengangkut harus memenuhi persyaratan :

• Harus inert, tidak bereaksi dengan cuplikan, cuplikan-pelarut, dan material dalam kolom.

• Murni dan mudah diperoleh, serta murah.

• Sesuai/cocok untuk detektor.

• Harus mengurangi difusi gas (Madbardo, 2010)..

Gas-gas yang sering dipakai adalah : helium, argon, nitrogen, karbon dioksida dan hidrogen. Gas helium dan argon sangat baik, tidak mudah terbakar, tetapi sangat mahal. H2 mudah terbakar, sehingga harus


(33)

berhati-hati dalam pemakaiannya. Kadang-kadang digunakan juga CO2 (Madbardo, 2010).

Pemilihan gas pengangkut atau pembawa ditentukan oleh detektor yang digunakan. Tabung gas pembawa dilengkapi dengan pengatur tekanan keluaran dan pengukur tekanan. Sebelum masuk ke kromatografi, ada pengukur kecepatan aliran gas serta sistem penapis molekuler untuk memisahkan air dan pengotor gas lainnya. Pada dasarnya kecepatan alir gas diatur melalui pengatur tekanan dua tingkat yaitu pengatur kasar (coarse) pada tabung gas dan pengatur halus (fine) pada sistem kromatograf. Tekanan gas masuk ke kromatograf (yaitu tekanan dari tabung gas) diatur pada 10 s.d 50 psi (di atas tekanan ruangan) untuk memungkinkan aliran gas 25 s.d 150 mL/menit pada kolom terpaket dan 1 s.d 25 mL/menit untuk kolom kapiler (Madbardo, 2010).

2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan

Ini disebut pengatur atau pengurang Drager. Drager bekerja baik pada 2,5 atm, dan mengalirkan massa aliran dengan tetap. Tekanan lebih pada tempat masuk dari kolom diperlukan untuk mengalirkan cuplikan masuk ke dalam kolom. Ini disebabkan, kenyataan lubang akhir dari kolom biasanya mempunyai tekanan atmosfir biasa. Suhu kolom adalah tetap, yang diatur oleh termostat, maka aliran gas tetap yang masuk kolom akan tetap juga. Demikian juga komponen-komponen akan dielusikan pada waktu yang tetap yang disebut waktu penahanan (the retention time), tR. Karena kecepatan gas tetap, maka komponen juga mempunyai volume karakteristik terhadap gas


(34)

pengangkut sama dengan volume penahanan (the retention volume), vr. Kecepatan gas akan mempengaruhi effisiensi kolom (Madbardo, 2010). 3. Tempat injeksi (The injection port)

Dalam pemisahan dengan GLC cuplikan harus dalam bentuk fase uap. Gas dan uap dapat dimasukkan secara langsung. Tetapi kebanyakan senyawa organik berbentuk cairan dan padatan. Hingga dengan demikian senyawa yang berbentuk cairan dan padatan pertama-tama harus diuapkan. Ini mem-butuhkan pemanasan sebelum masuk dalam kolom (Madbardo, 2010).

Tempat injeksi dari alat GLC selalu dipanaskan. Dalam kebanyakan alat, suhu dari tempat injeksi dapat diatur. Aturan pertama untuk pengaturan suhu ini adalah suhu tempat injeksi sekitar 50°C lebih tinggi dari titik didih campuran dari cuplikan yang mempunyai titik didih yang paling tinggi. Bila kita tidak mengetahui titik didih komponen dari cuplikan maka kita harus mencoba-coba. Sebagai tindak lanjut suhu dari tempat injeksi dinaikkan. Jika puncak-puncak yang diperoleh lebih baik, ini berarti bahwa suhu percobaan pertama terlalu rendah. Namun demikian suhu tempat injeksi tidak boleh terlalu tinggi, sebab kemungkinan akan terjadi perubahan karena panas atau penguraian dari senyawa yang akan dianalisis (Madbardo, 2010).

Cuplikan dimasukkan ke dalam kolom dengan cara menginjeksikan melalui tempat injeksi. Hal ini dapat dilakukan dengan pertolongan jarum injeksi yang sering disebut "a gas tight syringe" (Madbardo, 2010).

Perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh menginjeksikan cuplikan terlalu banyak, karena GC sangat sensitif. Biasanya jumlah cuplikan yang


(35)

diinjeksikan pada waktu kita mengadakan analisa 0,5 -50 ml gas dan 0,2 - 20 ml untuk cairan seperti pada gambar di bawah (Madbardo, 2010).

Gambar 2. Bagan Injektor dalam Kromatografi Gas 4. Kolom

Kolom merupakan jantung dari kromatografi gas. Bentuk dari kolom dapat lurus, bengkok, misal berbentuk V atau W, dan kumparan/spiral. Biasanya bentuk dari kolom adalah kumparan. Kolom selalu merupakan bentuk tabung. Tabung ini dapat terbuat dari :

• Tembaga (murah dan mudah diperoleh)

• Plastik (teflon), dipakai pada suhu yang tidak terlalu tinggi.

• Baja (stainless steel), (mahal)

• Alumunium

• Gelas (Madbardo, 2010).

Ada 2 jenis kolom pada kromatografi gas yaitu kolom kemasdan kolom kapiler. Kolom kemas terdiri atas fase cair yang tersebar pada permukaan


(36)

penyangga yang lembam (inert) yang terdapat dalam tabung yang relatif besar (diameter dalam 1-3 mm). Kolom kapiler jauh lebih kecil (diameter dalam 0,10-,53 mm) dan dinding kapiler bertindak sebagai penyangga lembamu untuk fase diam cair. Fase diam ini dilapiskan pada dinding kolom atau bahkan dapat bercampur dengan sedikit penyangga lembam yang sangat halus untuk memperbesar luas permukaan efektif. Tabung terbuat dari Silika (SiO3) dengan kemurnian yang sangat tinggi. Panjang kolom 5-60 m dengan tebal lapisan film 0,05-1 mikron (Rohman, 2007).

Gambar 3. Jenis Kolom Kromatografi Gas 5. Detektor

Detektor berfungsi sebagai pendeteksi komponen-komponen yang telah dipisahkan dari kolom secara terus-menerus, cepat, akurat, dan dapat digunakan pada suhu yang lebih tinggi. Detektor harus dapat dipercaya dan mudah digunakan. Fungsi umumnya mengubah sifat-sifat molekul dari senyawa organik menjadi arus listrik kemudian arus listrik tersebut diteruskan ke rekorder untuk menghasilkan kromatogram. Detektor yang umum digunakan :


(37)

Detektor hantaran panas (Thermal Conductivity Detector)

Detektor ionisasi nyala (Flame Ionization Detector)

Detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector)

Detektor fotometrik nyala (Falame Photomertic Detector)

• Detektor nyala alkali

• Detektor spektroskopi massa

Detektor yang peka terhadap senyawa organik yang mengandung fosfor adalah FID, ECD, dan FPD (Madbardo, 2010).

6. Oven kolom

Kolom terletak didalam sebuah oven dalam instrumen. Suhu oven harus diatur dan sedikit dibawah titik didih sampel. Jika suhu diset terlalu tinggi, cairan fase diam bisa teruapkan, juga sedikit sampel akan larut pada suhu tinggi dan bisa mengalir terlalu cepat dalam kolom sehingga menjadi terpisah (Madbardo, 2010).

7. Rekorder

Rekorder berfungsi sebagai pengubah sinyal dari detektor yang diperkuat melalui elektrometer menjadi bentuk kromatogram. Dari kromatogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dengan cara membandingkan waktu retensi sampel dengan standar. Analisis kuantitatif dengan menghitung luas area maupun tinggi dari kromatogram. Sinyal analitik yang dihasilkan detektor dikuatkan oleh rangkaian elektronik agar bisa diolah oleh rekorder atau sistem data. Sebuah rekorder bekerja dengan menggerakkan kertas dengan kecepatan tertentu. Di atas kertas tersebut dipasangkan pena yang digerakkan oleh sinyal keluaran


(38)

detektor sehingga posisinya akan berubah-ubah sesuai dengan dinamika keluaran penguat sinyal detektor. Hasil rekorder adalah sebuah kromatogram berbentuk pik-pik dengan pola yang sesuai dengan kondisi sampel dan jenis detektor yang digunakan. Rekorder biasanya dihubungkan dengan sebuah elektrometer yang dihubungkan dengan sirkuit pengintregrasi yang bekerja dengan menghitung jumlah muatan atau jumlah energi listrik yang dihasilkan oleh detektor. Elektrometer akan melengkapi puncak-puncak kromatogram dengan data luas puncak atau tinggi puncak lengkap dengan biasnya (Madbardo, 2010).

Sistem data merupakan pengembangan lebih lanjut dari rekorder dan elektrometer dengan melanjutkan sinyal dari rekorder dan elektrometer ke sebuah unit pengolah pusat (CPU, Central Processing Unit) (Madbardo, 2010). 2.5.1 Detektor ECD (Electron Capture Detector)

Detektor ECD merupakan modifikasi dari FID yaitu pada bagian tabung ionisasi. Dasar dari ECD ialah terjadinya absorbsi e- oleh senyawa yang mempunyai afinitas terhadap e- bebas (senyawa-senyawa elektronegatif). Dalam detektor gas terionisasi oleh partikel yang dihasilkan dari 3H atau 63Ni. Detektor ini mengukur kehilangan sinyal ketika analit terelusi dari kolom kromatografi. Detektor ini peka terhadap senyawa halogen, karbonil terkoyugasi, nitril, nitro, dan organo logam, namun tidak peka terhadap hidrokarbon, keton, dan alkohol (Madbardo, 2010).


(39)

2.6 Kromatografi Kolom

Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Untuk menahan penyerap yang diletakkan di dalam kolom dapat digunakan gelas wool atau kapas (Sastrohamidjojo, 1985).

2.6.1 Pengisian kolom

Pengisian kolom harus menggunakan teknik yang tepat dan berhati-hati. Pengisian yang tidak teratur dari penyerap akan mengakibatkan merusak batas-batas pita kromatografi karena terdapat gelembung udara selama pengisian. Untuk mencegah hal tersebut zat penyerap dibuat menjadi bubur dengan pelarut kemudian dituangkan perlahan-lahan dalam kolom. Jika penyerap dibiarkan turun perlahan-lahan dapat ditolong dengan mengguncang perlahan-lahan sisi kolom maka akan diperoleh pengisian yang homogen (Sastrohamidjojo, 1985).

2.6.2 Penyerap

Ukuran partikel dan tingkat keaktifan dari penyerap berperan penting dalam pengembangan sistem kromatografi. Alumina (Al2O3) adalah salah satu penyerap yang banyak dipakai dalam beberapa bentuk modifikasi. Alumina mempunyai titik aktif Al+, Al-OH, Al-, Al-OH+, dan bergantung pada pembuatannya (Gritter, 1991).

Suatu pengertian yang digunakan dalam hubungannya dengan penyerap-penyerap ialah aktifasi. Kadang-kadang dihubungkan dengan luas permukaan spesifik dari zat padat, yaitu luas pemukaan yang diukur dalam meter persegi tiap gram. Alumina dapat dibuat menjadi aktif dalam luas permukaan beratus-ratus meter persegi.Penyerap yang diperoleh dalam perdagangan memerlukan aktifasi


(40)

sebelum dipakai. Hal ini dapat dikerjakan dengan pemanasan, mungkin dengan pengurangan tekanan. Untuk kebanyakan zat-zat padat, dengan tidak ada keterangan lebih lanjut aktifasi dapat dilakukan dengan pemanasan pada suhu 200 o

C selama 2 jam (Sastrohamidjojo, 1985).

2.7 Validasi Data Analisis

Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (WHO, 1992).

Validasi metode analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi bahwa metode telah sesuai dengan penggunaannya. Validasi biasanya diperuntukkan untuk metode analisis yang baru dibuat dan dikembangkan (Riyadi, 2009). Validasi merupakan persyaratan mendasar yang diperlukan untuk menjamin kualitas dan reabilitas hasil dari semua aplikasi analitik (Ermer, 2005)

Validasi metode untuk prosedur analitik dimulai dengan pengumpulan data validasi oleh pelaksana guna mendukung prosedur analitiknya (Bliesner, 2006). Data validasi mencakup pemaparan karakteristik metode yang dipakai, faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik tersebut dan membuktikan bahwa metode yang digunakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (MacNeil, 2000). 2.7.1 Akurasi/kecermatan

Persen perolehan kembali digunakan untuk menyatakan kecermatan. Kecermatan merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Kecermatan dapat ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan


(41)

baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni pembanding kimia ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa lalu dianalisis lagi dengan metode tersebut (WHO, 1992).

% Perolehan kembali = A F

C C

x 100%

Keterangan : CF = konsentrasi analit yang diperoleh setelah penambahan larutan baku

CA = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan (Harmita, 2004) 2.7.2 Presisi/keseksamaan

Presisi/keseksamaan biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku relatif dari jumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik (Rohman, 2007). Berdasarkan rekomendasi ICH (the International Conference on the

Harmonisation), karakteristik presisi dilakukan pada 3 tingkatan, yakni

keterulangan (repeatability), presisi antara (intermediate precision) dan reprodusibilitas (reproducibility). Keterulangan dilakukan dengan cara menganalisis sampel yang sama oleh analis yang sama menggunakan instrumen yang sama dalam periode waktu singkat. Presisi antara dikerjakan oleh analis yang berbeda. Sedangkan reprodusibilitas dikerjakan oleh analis yang berbeda dan di laboratorium yang berbeda (Épshtein, 2004).


(42)

2.7.3 Batas Deteksi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas (Harmita, 2004).

Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko (Harmita, 2004).

Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Batas Deteksi =

Slope SB

3

(WHO, 1992).

2.7.4 Batas Kuantitasi

Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).

Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y pada garis regresi (Rohman, 2007).

Batas Kuantitasi =

Slope SB

10


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil dan Mutu (PAHAM) Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan Sumatera Utara, pada bulan Januari 2010 hingga April 2010.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit alat Kromatografi Gas Simadzu 2010 dengan kolom Rtx-1® menggunakan detektor penangkap elektron (Laboratorium PAHAM Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sumatera Utara), neraca analitik (Sartorius BL-2105), oven (Memmert), kapas, kertas saring, bola karet, rotary evaporator (BUCHI R-210), penangas air, desikator dan alat-alat gelas yaitu gelas tentukur (Pyrex), labu takar (Pyrex), pipet volume (Duran), pipet tetes, dan kolom kromatografi.

3.2 Bahan

Sampel berupa minyak sawit mentah yang diperoleh di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sumatera Utara dan minyak goreng kelapa sawit yang ada di pasaran di daerah Medan.

Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah petroleum eter Ligroine (MERCK), n-heksan Lichrosolv (MERCK), Aluminium oksida 90 (MERCK),


(44)

natrium sulfat anhidrous p.a. (MERCK), dan pestisida standar klorpirifos (Dursban).

3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Penyiapan Bahan

3.3.1.1 Pembuatan Aktifasi Penyerap Alumina

Diambil 300 g alumina, lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker 500 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Diaktivasi pada suhu 400 0C selama 4 jam, lalu ditutup dengan aluminium voil dan dimasukkan ke dalam desikator. 3.3.1.2 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 1000 µg/ml

Ditimbang sebanyak 100 mg standar klorpirifos, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml. Kemudian ditambah dengan sedikit pelarut n-heksan, kocok hingga larut. Setelah larut, diencerkan lagi dengan pelarut sampai garis tanda.

3.3.1.3 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 100 µg/ml

Dipipet 5 ml larutan standar klorpirifos 1000 µg/ml, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Setelah itu, ditambahkan pelarut n-heksan sampai garis tanda.

3.3.1.4 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 10 µg/ml

Dipipet 5 ml larutan standar klorpirifos 100 µg/ml, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Setelah itu, ditambahkan pelarut n-heksan sampai garis tanda.


(45)

3.3.2 Analisis Kuantitatif

3.3.2.1 Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas

Kromatografi gas : Simadzu model 2010, dilengkapi dengan detektor penangkap elektron 63Ni

Kolom : Rtx-1®, ketebalan film 0,25 µ m, 15 m x 0,25 mm. Gas Pembawa : Gas Nitrogen

Laju Alir Gas Pembawa : 1,61 ml/menit

Temperatur Kolom : 150 0C ditahan selama 2 menit, lalu 300 0C ditahan selama 1 menit

Temperatur Injeksi : 325 0C Temperatur Detektor : 325 0C

3.3.2.2 Penentuan Deteksi Minimum Standar Klorpirifos

Dibuat standar klorpirifos dari 0,01 µg/ml; 0,02 µg/ml; 0,05 µg/ml; 0,1 µg/ml; 0,5 µg/ml; dan 1 µg/ml dari standar klorpirifos 10 µg/ml dengan melarutkannya ke dalam n-heksan. Kemudian masing-masing konsentrasi disuntikkan ke dalam sistem Kromatografi Gas dengan detektor penangkap elektron. Diamati konsentrasi terkecil yang mampu dideteksi oleh alat kromatografi gas dengan memunculkan area kromatogram pada waktu retensi tertentu.

3.3.2.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos

Jika batas deteksi minimum 0,02 µg/ml, dibuat standar klorpirifos dari 0,02 µg/ml; 0,04 µg/ml; 0,06 µg/ml; 0,1 µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,4 µg/ml; 0,6 µg/ml; dan 1 µg/ml dengan melarutkannya ke dalam n-heksan. Kemudian masing-masing konsentrasi disuntikkan ke dalam sistem kromatografi gas.


(46)

3.3.2.4 Penentuan Uji Perolehan Kembali dan Clean-Up

Persen perolehan kembali ditentukan dengan menggunakan metode simulasi (spiked-placebo recovery) yaitu dibuat konsentrasi standar klorpirifos dalam minyak sawit yang bebas dari cemaran klorpirifos dengan konsentrasi 0,1 µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,4 µg/ml; 0,6 µg/ml; dan 1 µg/ml, kemudian dikocok selama 30 menit.

Setelah itu, dilakukan elusi dari analit dimana kolom kromatografi dikemas dengan cara :

1. Alumina yang telah diaktifasi dibuburkan dengan petroleum eter, diaduk sampai alumina terbebas dari udara dan terbuburkan sempurna

2. Dimasukkan kapas ke dasar kolom, kemudian dialirkan petroleum eter secara kontinu sampai kapas terbebas dari gelembung udara

3. Dimasukkan 15 g alumina yang telah diaktifasi dan terbebas dari udara (2/3 tinggi kolom) kedalam kolom yang telah diisi kapas dengan pengaliran petroleum eter berkelanjutan. Kolom dipadatkan dengan mengetuk dinding kolom hingga alumina terdistribusi merata dalam kolom

4. Dialirkan terus petroleum eter selama 50 menit

5. Dimasukkan natrium sulfat anhydrous 1 gr ke dalam kolom, diratakan permukaannya

6. Dimasukkan 1 gr analit

7. Dielusi dengan 50 ml petroleum eter. Dikumpulkan eluat dalam rotary

evaporator

8. Dipekatkan pada suhu 65 oC hingga 1 ml


(47)

3.3.2.5 Penetapan Kadar Klorpirifos dalam Sampel

1. Alumina yang telah diaktifasi dibuburkan dengan petroleum eter, diaduk sampai alumina terbebas dari udara dan terbuburkan sempurna

2. Dimasukkan kapas ke dasar kolom, kemudian dialirkan petroleum eter secara kontinu sampai kapas terbebas dari gelembung udara

3. Dimasukkan 15 gr alumina yang telah diaktifasi dan terbebas dari udara (2/3 tinggi kolom) kedalam kolom yang telah diisi kapas dengan pengaliran petroleum eter berkelanjutan. Kolom dipadatkan dengan mengetuk dinding kolom hingga alumina terdistribusi merata dalam kolom

4. Dialirkan terus petroleum eter selama 50 menit

5. Dimasukkan natrium sulfat anhydrous 1 gr ke dalam kolom, diratakan permukaannya

6. Dimasukkan 1 gr sampel ke dalam kolom

7. Dielusi dengan 50 ml petroleum eter. Dikumpulkan eluat dalam rotary evaporator

8. Dipekatkan pada suhu 65 oC hingga 1 ml

9. Disuntikkan ke dalam sistem alat kromatografi gas

Kadar klorpirifos yang terdapat dalam larutan sampel (X) dihitung dengan mensubstitusikan luas puncak ke dalam persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi pada bagian 3.3.2.3 sebagai Y. Hasilnya lalu dikali volume larutan sampel (1 ml), kemudian dibagi dengan berat penimbangan sampel sehingga diperoleh kadar klorpirifos dengan satuan µg/g sampel. Rumus perhitungan kadar klorpirifos dalam sampel dituliskan sebagai berikut :


(48)

X(µg/ml)xVolume larutan sampel(ml) Berat penimbangan sampel(g)

KV = SB X

x 100%

Kadar klorpirifos dalam sampel (µg/g sampel)

3.3.3 Validasi Metode

3.3.3.1 Akurasi/Kecermatan

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode simulasi (spiked-placebo

recovery). Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali.

Persen perolehan kembali dari analit dapat dihitung menurut persamaan berikut :

% Perolehan kembali = A F

C C

x 100%

Keterangan : CF = konsentrasi analit yang diperoleh setelah penambahan larutan baku

CA = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan (Harmita, 2004)

3.3.3.2 Presisi

Presisi metode penelitian dinyatakan oleh simpangan baku relatif (Relative

Standard Deviation (RSD) atau disebut juga koefisien variasi (KV) dari

serangkaian data. KV dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan:

SB = simpangan baku

X = kadar rerata klorpirifos (WHO, 1992) =


(49)

3.3.3.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi (Limit Of Detection/LOD) dan batas kuantitasi (Limit Of

Quantitation/LOQ) dihitung dari persamaan regresi kurva kalibrasi baku

pembanding. Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Sy/x =

2 Yi)

-(Y 2

n

Batas Deteksi =

Slope xSy/x

3

Batas Kuantitasi =

Slope xSy/x

10

Keterangan: Sy/x = residual standard deviation/simpangan baku residual (WHO, 1992)


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi Gas yang Optimum

Kadar klorpirifos dalam minyak sawit ditentukan dengan kromatografi gas memakai detektor penangkap elektron. Untuk mendapatkan hasil yang baik, terlebih dahulu dicari kondisi optimum dari sistem kromatografi.

Pada analisis residu klorpirifos dengan metode kromatografi gas langkah yang pertama dilakukan adalah mencari kondisi optimum dan kesesuaian sistem kromatografi gas yang akan digunakan agar sistem dapat memisahkan residu klorpirifos dalam analit dengan baik.

Kondisi sistem kromatografi gas diatur sedemikian sehingga didapat teknik analisis yang optimum dimana gas pembawa memakai gas Nitrogen dengan detektor penangkap elektron sehingga terjadi absorbsi elektron oleh senyawa yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas. Dalam detektor, gas terionisasi oleh partikel yang dihasilkan dari Ni63 sehingga kehilangan sinyal dapat diukur ketika analit terelusi dari kolom kromatografi. Jenis detektor ini peka terhadap senyawa halogen, karbonil terkunjugasi, nitril, nitro, dan organo logam.

Temperatur kolom 150 0C ditahan selama 2 menit, kemudian 300 0C ditahan selama 1 menit, Temperatur Injeksi 325 0C, dan temperatur detektor 325 0

C. Suhu detektor lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kolom sehingga komponen yang dianalisis dapat terdorong keluar dari kolom menuju detektor. Sebelum detektor dinyalakan, laju aliran gas pembawa Nitrogen diukur dengan flow meter dengan mengatur knob column head pressure karena laju aliran gas


(51)

pembawa nitrogen sangat berpengaruh terhadap waktu retensi. Laju aliran gas pembawa nitrogen dalam sistem kromatografi gas yang digunakan yaitu 1,61 ml/menit.

Kolom yang dipakai adalah jenis Rtx-1® yang mengandung fase diam

dimethyl polysiloxane 100% pabrikan Crossbond® yang bersifat nonpolar mampu

memisahkan dengan baik pestisida golongan organofosfat yang diuji, panjang kolom 15 m, diameter dalam 0,25 mm dan ketebalan film 0,25 µ m.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapat hasil optimum dalam pengukuran standar klorpirifos dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elaktron. Salah satu kromatogram yang diperoleh dari kondisi kromatografi gas yang optimum dapat dilihat pada gambar.

Gambar 4. Kromatogram yang Diperoleh dari Kondisi Kromatografi yang


(52)

Standar klorpirifos terdeteksi pada waktu retensi 3,382 menit, hal ini menunjukkan secara kualitatif adanya senyawa klorpirifos pada analit yang diteliti pada waktu retensi tersebut.

Waktu retensi merupakan waktu sejak penyuntikan sampai maksimum puncak. Sifat ini merupakan ciri khas cuplikan dan fase cair pada suhu tertentu. Tiap senyawa hanya memiliki satu waktu retensi saja, dimana waktu retensi ini tidak terpengaruh oleh adanya komponen lain (Bonelli, 1988).

Pada kondisi tekanan tetap, laju aliran berbanding lurus dengan waktu retensi. Waktu retensi merupakan ciri suatu cuplikan sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu cuplikan dengan syarat suhu kolom harus tetap. Identifikasi didasarkan pada perbandingan waktu retensi komponen yang tidak dikenal dengan waktu retensi senyawa yang dikenal, yang dianalisis pada kondisi yang sama (Bonelli, 1988).

Ainie (2000) melakukan analisis residu klorpirifos dalam matriks berminyak dengan kromatografi gas Hewlett Parkard, Palo Alto menggunakan kolom DB-1 (Folsom, California) panjang 30 m dengan diameter dalam 0,53 mm dengan detektor fotometrik nyala (Flame Photometric Detector/FPD). Kondisi operasi yang dipakai yaitu temperatur injektor dan detektor 250 0C, temperatur Oven 90 0C, gas pembawa Helium dengan laju alir total 30 ml/menit. Temperatur kolom 90 0C ditahan selama 6 menit, sampai 200 0C ditahan selama 6 menit dengan kenaikan temperatur 6 0C.

Halimah (1999) melakukan penentuan kadar klorpirifos pada olein kelapa sawit yang dimurnikan dengan kromatografi gas Hewlett Packard model 5890 seri II yang dilengkapi detektor penangkap elektron. Kolom yang digunakan HP5-MS


(53)

sebagai kolom nonpolar. Kondisi kerja yang digunakan sebagai berikut: aliran kolom 2,7 ml/menit, suhu injektor 280 0C, suhu detektor 250 0C, suhu oven diprogram untuk meningkat dari 190 0C sampai 220 0C pada 5 0C/menit yang ditahan selama 4 menit.

Muhamad (2002) melaporkan tentang penentuan kadar residu klorpirifos dalam matriks minyak dengan kromatografi gas Hewlett Packard model 5890 memakai detektor penangkap elektron menggunakan kolom kapiler HP5-MS dimana parameter yang digunakan yaitu aliran kolom Nitrogen 2,7 ml/menit, suhu injektor diatur pada 250 0C dalam mode kontinu dengan katup pembagi dimatikan selama 0,75 menit.

4.2 Proses Clean-up

Proses Clean-up dilakukan dengan elusi menggunakan kromatografi kolom, dimana digunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Terlebih dahulu sebelum digunakan alumina diaktivasi pada suhu 400 0C selama 4 jam agar didapat permukaan alumina yang mampu menyerap lebih kuat. Alumina sangat luas digunakan sebagai penyerap karena memiliki luas permukaan yang spesifik beratus-ratus meter persegi, juga sangat mudah diperoleh dalam perdagangan. Pelarut petroleum eter merupakan pelarut dengan polaritas yang rendah sehingga mampu menarik senyawa klorpirifos melewati fase diam dalam pemisahan dengan kromatografi kolom. Sifat pelarut yang mampu memisahkan senyawa klorpirifos dari analit lainnya dijadikan alasan pemilihan pelarut dalam metode ini.


(54)

Pengisian kolom harus menggunakan teknik yang tepat dan berhati-hati. Pengisian yang tidak teratur dari penyerap akan mengakibatkan merusak batas-batas pita kromatografi karena terdapat gelembung udara selama pengisian. Untuk mencegah hal tersebut zat penyerap dibuat menjadi bubur dengan pelarut kemudian dituangkan perlahan-lahan kedalam kolom. Jika penyerap dibiarkan turun perlahan-lahan dapat ditolong dengan mengguncang perlahan-lahan sisi kolom agar diperoleh pengisian yang homogen (Sastroamidjojo, 1985).

Elusi dilakukan selama 50 menit dengan mengalirkan pelarut petroleum eter secara terus-menerus dengan tujuan agar klorpirifos terbawa oleh pelarut melewati penyerap yang akan menghambat pengotor dalam analit minyak sawit. Eluat yang diperoleh dipekatkan dan dianalisis dengan metode kromatografi gas.

Ainie (2000) melakukan proses clean-up dari matriks berminyak terhadap klorpirifos dengan Kromatografi Permeasi Gel. Halimah (1999) memakai sistem kromatografi serapan dalam melakukan proses clean-up dari olein kelapa sawit dimana persiapannya sebagai berikut : Suatu kolom kromatografi yang mengandung 1,5 cm lapisan dasar Na2SO4 anhidrat, 5 cm asam silikat dan 1,5 cm lapisan atas Na2SO4 anhidrat disiapkan untuk prosedur clean-up. Kolom yang berisi ekstrak sampel dielusi dengan 180 ml diklorometan dalam heksan 7,5% v’v pada kecepatan 3-5 ml/menit. Eluat ditampung dalam labu alas kemudian dipekatkan dengan rotavapor hingga 5 ml.

Mohamad (2002) melakukan penelitian tentang optimalisasi prosedur ekstraksi dan clean-up pada penentuan kadar klorpirifos dalam matriks minyak, dimana ekstraksi memakai petroleum eter. Proses clean-up menggunakan ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction/ SPE) dengan Cartridge SPE.


(55)

4.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos

Analisis secara kuantitatif ditentukan dari kurva kalibrasi standar klorpirifos berdasarkan luas puncak. Kurva kalibrasi standar klorpirifos dibuat dengan konsentrasi 0,02 μg/ml; 0,04 μg/ml; 0,06 μg/ml; 0,1 μg/ml; 0,2 μg/ml; 0,4

μg/ml; 0,6 μg/ml; dan 1 μg/ml menggunakan pelarut n-heksan. Pengukuran luas puncak tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi dibandingkan dengan tinggi puncak, kecuali laju alir. Tetapi laju alir saat ini telah dapat diatur oleh instrumen secara tepat dan konstan, sehingga pengukuran luas puncak merupakan pilihan yang terbaik dalam analisis kuantitatif secara kromatografi gas.

Analisis yang dilakukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron menunjukkan garis regresi yang baik dan memenuhi persyaratan validasi. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil pengukuran kurva kalibrasi dimana didapat kurva yang linear dengan nilai yang mendekati 1.

Hasil pengukuran kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi dengan Metode Kromatografi Gas No. Konsentrasi (μg/ml) Luas Puncak

1 0,02 7633,33

2 0,04 8705,67

3 0,06 10164,2

4 0,10 10983,93

5 0,20 14452

6 0,40 21931,67

7 0,60 30695,33


(56)

Konsentrasi Luas Area

Dari hasil pengukuran kurva kalibrasi didapat gambar kurva kalibrasi yang dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 5. Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos 4.3.1 Persamaan Garis Regresi

Dari hasil perhitungan kurva kalibrasi diperoleh persamaan garis regresi Y = 38530,08X + 7122,21.

Salah satu kromatogram hasil analisis dari standar klorpirifos untuk pembuatan kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar.


(57)

Puncak yang diberikan oleh pelarut n-heksan yang digunakan dalam pembuatan kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 7. Kromatogram n-Heksan

Dari hasil kromatogram gambar 3, terlihat bahwa garis alas puncak yang terbentuk naik bertangga, dimana terlihat garis alas tidak kembali ke titik awal. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada kawat pijar yang diakibatkan oleh cuplikan yang mengandung halogen berkadar tinggi. Dari kromatogram juga terlihat ada penurunan negatif sebelum dan setelah puncak, hal ini disebabkan karena detektor penangkap elektron yang masih tercemar atau belum terbebas dari zat lain.

4.3.2 Linieritas Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos

Dari kurva kalibrasi diperoleh suatu hubungan linier antara luas puncak dengan konsentrasi dimana koefisien korelasi yang diperoleh yaitu r = 0,9995. Koefisien korelasi ini telah memenuhi persyaratan validasi yaitu lebih besar dari


(58)

0,9990 (Lister, 2005). Nilai koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan kelinieran dari respons detektor yang sangat baik.

4.3.3 Koefisien Variasi

Presisi prosedur penelitian dinyatakan dalam koefisien variasi atau disebut juga simpangan baku relatif. Koefisien variasi (KV) yang diperoleh dari hasil pengukuran kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi No. Konsentrasi (μg/ml) Koefisien variasi (%)

1 0,02 3,76

2 0,04 3,41

3 0,06 1,90

4 0,10 2,74

5 0,20 1,52

6 0,40 6,19

7 0,60 3,37

8 1,00 3,06

Nilai koefisien variasi yang diperoleh yaitu rentang 1,52-6,19 %. Hasil ini sangat baik karena memenuhi persyaratan validasi yaitu berada dibawah 16 % (Harmita, 2004).

4.3.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Sedangkan batas kuantitasi adalah nilai konsentrasi analit terendah yang masih dapat dikuantitasi.


(59)

Batas deteksi dan batas kuantitasi dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dalam kurva kalibrasi. Batas deteksi yang diperoleh dari hasil perhitungan yaitu 0,036 μg/ml dan batas kuantitasi yang diperoleh yaitu 0,12

μg/ml. Nilai tersebut cukup baik sehingga metode analisis dapat digunakan untuk penetapan kadar klorpirifos dalam sampel. Hasil ini menunjukkan analit memenuhi syarat validasi untuk deteksi diatas konsentrasi 0,036 μg/ml dan dan terkuantitasi diatas konsentrasi 0,12 μg/ml.

4.4 Uji Perolehan Kembali

Akurasi prosedur ditentukan dengan uji perolehan kembali menggunakan metode simulasi (spiked-placebo recovery) yaitu dibuat konsentrasi standar klorpirifos dalam minyak sawit yang bebas dari cemaran klorpirifos. Hasil yang diperoleh dinyatakan dengan persen perolehan kembali.

Gambar kromatogram pelarut, minyak sawit yang bebas dari cemaran klorpirifos dan salah satu kromatogram hasil pengukuran uji perolehan kembali dapat dilihat pada gambar 5, 6, dan 7 dibawah ini.


(60)

Kromatogram untuk minyak sawit yang terbebas dari cemaran klorpirifos yang digunakan sebagai blanko dalam pembuatan uji perolehan kembali dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 9. Kromatogram Blanko

Salah satu kromatogram hasil ui perolehan kembali dapat dilihat pada gambar 7.


(61)

Dari gambar 5, 6, dan gambar 7 dapat dibandingkan adanya klorpirifos pada waktu retensi 3,392 menit. Pada hasil kromatogram gambar 7, terlihat bahwa terdapat puncak yang berekor (tailing) dan garis alas yang bertangga dimana garis alas tidak kembali ke titik awal. Hal ini disebabkan karena temperatur injeksi yang terlalu tinggi atau suhu kolom yang terlalu rendah sehingga terbentuk puncak yang berekor.

Data hasil pengujian akurasi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengukuran Uji Perolehan Kembali

No. Konsentrasi (μg/ml) Perolehan kembali (%)

1 0,10 108,67

2 0,20 85,67

3 0,40 95,83

4 0,60 101,05

5 1,00 108,80

Tabel diatas menunjukkan bahwa persen perolehan kembali yang didapat yaitu dalam rentang 85,67-108,80 %. Hasil tersebut telah memenuhi syarat akurasi karena berada diantara rentang 80-110% untuk konsentrasi 0,1-1 μg/ml (Harmita, 2004).

Penentuan keseksamaan metode ditentukan dari hasil koefisien variasi uji perolehan kembali. Koefisien variasi dari penelitian menghasilkan suatu nilai yang dapat menentukan keseksamaan dari penelitian yang dilakukan. Nilai koefisien variasi tersebut menentukan nilai presisi dari metode yang dilakukan sehingga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai hasil yang diperoleh terhadap metode yang dipakai, dalam hal ini adalah metode kromatografi gas menggunakan


(62)

detektor penangkap elektron dimana terlebih dahulu sampel mengalami proses

clean-up sehingga didapat residu klorpirifos yang murni dari sampel. Nilai

koefisien variasi yang diperoleh dari hasil pengujian akurasi penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengujian Akurasi No. Konsentrasi (μg/ml) Koefisien variasi (%)

1 0,10 8,42

2 0,20 5,52

3 0,40 6,07

4 0,60 4,46

5 1,00 0,71

Hasil koefisien variasi dari uji perolehan kembali berada antara rentang 0,71-8,42 %. Hasil ini sangat baik karena memenuhi persyaratan keseksamaan metode yaitu tidak lebih dari 16 % (Harmita, 2004; Riyadi, 2009).

Dari hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa prosedur analisis yang dikerjakan dalam penelitian ini dapat dipercaya dan dapat digunakan untuk penetapan kadar klorpirifos dalam minyak sawit karena telah memenuhi persyaratan validasi metode.

Halimah (1999) telah memaparkan penentuan kadar klorpirifos pada olein kelapa sawit dengan kromatografi gas dilengkapi dengan detektor penangkap elektron dimana hasil uji perolehan kembali klorpirifos dari sampel olein kelapa sawit yang sudah dimurnikan di spike dengan standar klorpirifos berada pada rentang 97-105 % dengan koefisien variasi 0,5-2 %.


(63)

Dalam penelitian berbeda, Mohamad (2002) mengoptimalkan prosedur ekstraksi dan clean-up pada penentuan kadar residu klorpirifos dalam matriks minyak dimana hasil uji perolehan kembali lebih besar dari 90% dari dalam sampel.

4.5 Analisis Kadar Klorpirifos dalam Minyak Sawit

Dari hasil kromatogram untuk sampel yang dianalisis tidak memunculkan luas puncak pada waktu retensi untuk klorpirifos, yaitu pada daerah waktu retensi 3,4 menit. Hal ini terjadi karena alat kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron tidak mendeteksi adanya residu klorpirifos pada sampel yang diuji, sehingga dapat disimpulkan sampel yang diuji bebas dari cemaran residu klorpirifos. Salah satu gambar kromatogram untuk sampel dapat dilihat pada gambar 8.


(64)

Dari kromatogram pada gambar 8, tidak terlihat adanya puncak pada pada waktu retensi sekitar 3,4 menit, hanya ada satu puncak terlihat, yaitu puncak pelarut. Jika dibandingkan dengan gambar 7, terlihat ada pestisida klorpirifos pada waktu retensi 3,4 menit. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdeteksi adanya cemaran residu klorpirifos pada sampel, yaitu minyak sawit mentah dan minyak goreng brand.

Hasil pengukuran sampel dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Sampel Minyak Sawit Mentah dan Minyak Goreng Brand

No. Sampel Kadar Klorpirifos

1 Minyak sawit mentah A Tidak terdeteksi 2 Minyak sawit mentah B Tidak terdeteksi 3 Minyak sawit mentah C Tidak terdeteksi 4 Minyak goreng brand A Tidak terdeteksi 5 Minyak goreng brand B Tidak terdeteksi 6 Minyak goreng brand C Tidak terdeteksi


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Penetapan kadar klorpirifos dalam minyak sawit dapat ditentukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron dimana telah memenuhi persyaratan uji validasi. Persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi yaitu Y = 38530,08x + 7122,21 dengan nilai koefisien korelasi r = 0,9995. Nilai koefisien variasi (KV) yang diperoleh dari kurva kalibrasi yaitu dalam rentang 1,52-6,19 %. Hasil ini sangat baik karena memenuhi persyaratan validasi yaitu berada dibawah 16 %. Dengan demikian sistem yang digunakan seksama. Batas deteksi minimum/limit of detection (LOD) yaitu 0,036 µg/ml dan batas kuantitasi/limit of quantitation (LOQ) yaitu 0,12 µg/ml.

Kromatografi kolom dengan penyerap alumina dapat digunakan sebagai metode dalam pembersihan residu klorpirifos yang terkandung dalam minyak sawit. Metode ini mampu membersihkan pengotor yang ada dalam minyak sawit sehingga dalam analisis yang dilakukan senyawa pengganggu dapat diminimalkan keberadaannya dalam analit hasil elusi. Persen perolehan kembali dalam penelitian yang dilakukan memenuhi persyaratan sehingga metode ini valid dilakukan. Hasil perolehan kembali untuk konsentrasi 0,1-1 µg/ml yaitu berada dalam rentang 85,67-108,80 %. Hasil tersebut telah memenuhi syarat akurasi karena berada diantara rentang 80-110% untuk konsentrasi 0,1-1 µg/ml. Hasil koefisien variasi (KV) dari uji perolehan kembali antara rentang 0,71-8,42 %.


(66)

Hasil ini sangat baik karena memenuhi persyaratan keseksamaan metode yaitu tidak lebih dari 16 %.

Sampel minyak sawit mentah dan minyak goreng brand tidak tercemar residu klorpirifos sehingga sehingga dapat meningkatkan sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit.

5.2 Saran

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menganalisis residu pestisida golongan lain dengan metode yang sama, atau dilakukan modifikasi preparasi sampel untuk mendapatkan optimasi metode dalam penetapan kadar residu pestisida dalam minyak sawit maupun dalam tanaman holtikultura lainnya.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, R. (2007). Tanaman Obat Indonesia. Tanggal akses 1 September 2009.

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Edisi I. Yogyakarta : Penerbit Andi. Hal 1.

Ainie, et.al. (2000). Gel Permeation Chromatographic Clean-up of Organophosphorus Pesticide in Oil matrix. Journal of Oil Palm Research; 12(1): 95-101

Andresima, Dhyana, E. L. (2008). Validasi Metode Analisis Residu Pestisida Kaptan dan Profenofos Dalam Kedelai Jepang (glycine max (l) Merr. Var. Ryokkoh) Secara Kromatografi Gas. Tanggal akses 6 Februari 2010.

Anonim a. (2007). Gambaran Sekilas Industri Miyak Kelapa Sawit. Tanggal akses 25 Februari 2010.

Anonim b. (2010). Penggunaan Pestisida Yang Baik dan Benar Dengan Residu Minimum. Tanggal akses 25 Februari 2010.

Baskaram, S., et al. (1999). Degradation of Bifentrin, Chlorpyrifos and Imidacloprid in Oil and Bedding Materials at Termitical Application. Pesticide Science 55: 1222-1228.

Basyar, H. (1999. Perkebunan Besar Kelapa Sawit. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit E-Law dan Cepas. Hal 36.

Bliesner, D.M. (2006). Validating Chromatographic Methods A Practical Guide. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc. Halaman 1.

Bonelli, J.E. McNair, M.H. (1988). Dasar Kromatografi Gas. Terbitan kelima. Bandung : Penerbit ITB. Hal 1.

Djojosumarto, P. (2008) Pestisida dan Aplikasinya. Cetakan Pertama. Jakarta Selatan : Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Hal 3, 89-90, 204.

Ermer, J. (2005). Analytical Validation within the Pharmaceutical Environment. Dalam: Ermer, J., dan Miller, J.H.McB., editors. Method Validation in

Pharmaceutical Analysis. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

KGaA. Halaman 3-5, 16.

Épshtein, N.A. (2004). Validation of HPLC Techniques for Pharmaceutical Analysis. Pharmaceutical Chemistry Journal 38(4): 212-228.


(68)

Fukuzawa, T. et al. (2002). Behaviors of Pyrethroid and Organophosphorus Pesticide in Edible Oils During Hidrogenation. J. Jpn Oil Chem. Soc (J. Oleo Sci); 54 (1): 29-34.

Gillespie, A., Walter, S. (1994). Journal of Liquid Chromatography. 12. Pages 1687-1703

Gritter, J. R., dkk. (1991). Pengantar Kromatografi. Terbitan Kedua. Bandung : Penerbit ITB. Hal 13, 165-166.

Halimah, et.al. (1999). Determination of Chlorpyrifos in Refined Palm Olein by GC-FPD and GC-ECD. Journal of Oil Palm Research; PI(2): 89-97

Halimah. (2008). Determination of Deltamethrin In Crude Palm Oil (CPO) and Crude Palm Kernel Oil (CPKO) By Solid Phase Extraction And Gas Chromatography Electron Capture Detection (GC-ECD). Malaysian Palm Oil Board TT; 410(385)

Hamzirwan. (2007). Kelapa Sawit Berkelanjutan Ikut Arus atau Tenggelam. Tanggal Akses 15 Maret 2010.

Handojo, D. (2009). Sedikit Tentang Pestisida. Tanggal akses 25 Februari 2010. http://www.dinkesjatengprov.go.id

Harmita. (2004). Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol 1: 117-135.

Hartono, R., dkk. (2002), Kelapa Sawit Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Edisi Revisi. Jakarta : penerbit penebar swadaya. Hal 1, 3,6.

MacNeil, J.D., Patterson, J., dan V. Martz. (2000). Validation of Analytical Methods – Proving Your Methods Is ‘Fit for Purpose’. Dalam: Fajgelj, A., dan Ambrus, Á., editors. Principles and Practices of Method Validation. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Halaman 100-101.

Madbardo. (2010). Kromatografi Gas. Tanggal akses 25 Februari 2010.

Manuaba, P. (2008). Cemaran Pestisida Fosfat-Organik di Air Danau Buyan Buleleng Bali. Kimia FMIPA Universitas Udayana. Bukit Jimbaran: 7-14.

Martono, E. (2009). Residu dan analisis Residu. Tanggal akses 8 Oktober 2009.


(69)

MPOB. (2007). Perkembangan Industri dan Ekspor Minyak Sawit Malaysia. Vol. 4. Bagian 1. Hal 1.

Muhamad, H. et.al. (2002). Optimization of Extraction and Clean-up Prosedures for Chlorpyrifos Residue Determination in Oil Matrix. Malaysian Journal of Chemistry; 4(1): 21-27

Richard, et.al. (2006). A Simple HPLC Method for the Determination of Chlorpyrifos in Black Oil Sunflower Seeds. Tanggal akses 24 Februari 2010

Riyadi, W. (2009). Validasi Metode Analisis. Tanggal akses 25 Februari 2010.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Halaman 386-397, 465-469.

Sari, H. (2002). Deteksi Dini Dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat Pada Tenaga Kerja. Tanggal akses 25 Febuari 2010.

http://library.usu.ac.id

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Edisi pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal 6-7, 9-10.

Setyono, B.A. (2009). Kajian Pestisida Terhadap Lingkungan dan Kesehatan Serta Alternatif Solusinya. Tanggal akses 1 September 2009.

Siahaan, D., Nuryanto, E. (2008). Processing of quality and result. Tanggal akses 1 September 2009.

http://www.iopri.org

Syahbirin, G., dkk. (2001). Residu Pestisida pada Tiga Jenis Buah Impor. Tanggal akses 08 Oktober 2009.

WHO. (1992). Validation of Analytical Procedures Used in the Examination of Pharmaceutical Materials. WHO Technical Report Series. No. 823. Page 117.

WHO. (2004). WHO Specifications and Evaluations For Public Health Pesticides. Tanggal akses 24 Februari 2010.


(70)

Lampiran 1. Gambar Sampel dan Proses Clean-up Sampel

Sampel Minyak Sawit Mentah


(71)

Lampiran 2. Gambar Instrumen Kromatografi Gas

Seperangkat instrumen Kromatografi Gas Simadzu 2010 dan Komputer (Hewlett-Packard)


(72)

Lampiran 2. (lanjutan)

Injektor Autosampler Monitor pada Perangkat Kromatografi Gas


(1)

Lampiran 14. (Lanjutan)


(2)

Lampiran 15. Kromatogram Hasil Pengukuran Uji Perolehan Kembali Standar Klorpirifos


(3)

Lampiran 15. (Lanjutan)


(4)

Lampiran 15. (Lanjutan)


(5)

Lampiran 15. (Lanjutan)


(6)

Lampiran 15. (Lanjutan)