RESPON MASYARAKAT TERHADAP FUNDAMENTALISME FRONT PEMBELA ISLAM : STUDI TENTANG RESPON MASYARAKAT DESA BLIMBNG KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN TERHADAP GERAKAN FRONT PEMBELA ISLAM BLIMBING.

(1)

RESPONS MASYARAKAT TERHADAP FUNDAMENTALISME FRONT

PEMBELA ISLAM

(STUDI TENTANG RESPONS MASYARAKAT DESA BLIMBING KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN TERHADAP GERAKAN FRONT PEMBELA

ISLAM BLIMBING)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)

dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ANUGERAH ZAKYA RAFSANJANI (NIM: E71211030)

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Anugerah Zakya Rafsanjani, NIM. E71211030, 2016. Respon Masyarakat Terhadap Fundamentalisme Front Pembela Islam (Studi Tentang Respon Masyarakat Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Terhadap Front Pembela Islam Blimbing). Skripsi Program Studi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Fundamentalisme Islam, Front Pembela Islam

Penelitian yang berjudul "Respon Masyarakat Terhadap Fundamentalisme Front Pembela Islam (Studi Tentang Respons Masyarakat Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Terhadap Gerakan Front Pembela Islam Blimbing)". Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah gerakan fundamentalisme Islam dan apakah Front Pembela Islam sebagai salah satu gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia, bagaimana sejarah perkembangan dan kegiatan gerakan Front Pembela Islam Blimbing sampai di Desa Blimbing– Lamongan, dan Bagaimana respon masyarakat Desa Blimbing kecamatan Paciran kabupaten Lamongan terhadap gerakan Front Pembela Islam blimbing di wilayahnya.

Data peneletian ini dihimpun dengan menggunakan tehnik observasi, interview/wawancara, dimana penelitian ini dilakukan di Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan dan studi kepustakaan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi dua tipologi yaitu gerakan Islam radikal-kritis dan gerakan radikal-fundamentalis. FPI sebagai salah satu gerakan fundamentalisme Islam muncul sebagai alternatif dari kurangnya peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat. Untuk FPI Lamongan sendiri terbentuk seperti latar belakang berdirinya FPI Pusat, dan masyarakat Blimbing merespon dengan baik kemunculan FPI Lamongan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendukung gerakan FPI Lamongan.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Penegasan Judul ... 10


(7)

H. Metode Penelitian ... 13

1. Jenis Penelitian ... 13

2. Teknik Pengumpulan Data ... 13

3. Sumber Data ... 14

4. Teknik Analisis Data ... 15

I. Landasan Teori ... 15

1. Definisi Gerakan Sosial... 15

2. Tipe Gerakan Sosial ... 17

J. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II SEJARAH FUNDAMENTALISME ISLAM ... 22

A. Pengertian Fundamentalisme ... 22

B. Sejarah Gerakan Fundamentalisme ... 25

C. Islam dan Fundamentalisme ... 26

D. Sejarah Pergerakan Islam di Indonesia ... 31

E. Tipologi Gerakan Islam di Indonesia ... 35

1. Gerakan Islam Radikal-Kritis ... 36

2. Gerakan Islam Radikal-Fundamentalis ... 37

F. Front Pembela Islam Sebagai Gerakan Fundamenalis ... 39

1. Latar Belakang Berdirinya Front Pembela Islam ... 39

2. Pemikiran 'Amr Ma'ruf Nahy Munkar Front Pemebela Islam ... 42

BAB III MONOGRAFI DESA BLIMBING DAN KEBERADAAN FRONT PEMBELA ISLAM BLIMBING ... 46


(8)

A. Monografi Desa Blimbing Kecamatan Paciran Lamongan ... 46

1. Letak Geografis Kelurahan Blimbing ... 46

a. Keadaan Geografis ... 46

b. Data Kependudukan ... 48

c. Keadaan Agama ... 48

B. Keadaan Sosial Masyarakat Kelurahan Blimbing ... 49

C. Sejarah Berdirinya Front Pembela Islam Blimbing ... 51

1. Latar Belakang Berdirinya FPI Blimbing ... 51

2. Struktur Organisasi dan Program Kerja FPI Lamongan ... 54

3. Gerakan 'Amr Ma'ruf Nahy Munkar Front Pembela Islam Blimbing ... 54

4. Dibekukannya Front Pembela Islam Blimbing ... 57

BAB IV RESPONS MASYARAKAT BLIMBING TERHADAP GERAKAN FRONT PEMBELA ISLAM BLIMBING ... 63

A. Respons Masyarakat Blimbing Terhadap Gerakan Front Pembela Islam Blimbing ... 63

1. Respons Baik Mayoritas Masyarakat Blimbing Terhadap Gerakan Front Pembela Islam Blimbing ... 63

2. Kegiatan Masyarakat Blimbing dalam Merespons Kegiatan Front Pembela Islam Blimbing ... 64

3. Respons Penolakan Masyarakat Blimbing Terhadap Kehadiran Front Pembela Islam ... 65


(9)

B. Analisis Respons Masyarakat Blimbing Terhadap Gerakan Front Pembela Islam Blimbing Dalam Sudut Pandang Teori Gerakan Sosial Sebagai

Kekuatan Perubahan... 68

C. Analisis Tentang Cara Yang Ditempuh Masyarakat Dan Pemerintah Blimbing ... 72

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Islam lahir, bangsa Arab tidak memiliki peradaban adiluhung apa-apa selain hanya sya’ir dan keterampilan berdagang; dimana dalam lembaran sya’ir, mereka menorehkan sejarah hidup dan dalam perdagangan, mereka membangun kehidupan. Di samping, sekumpulan adat-istiadat, norma dan pranata yang mengatur perhubungan sosial mereka sesuai dengan karakteristik konstruk sosial bangsa Arab sebagai kabilah nomaden. Dengan prestasi Islam, mereka akhirnya berubah; dari kabilah-kabilah nomaden, gypsi dan pedagang menjadi sosok-sosok panglima perang dan pendidik.

Mereka lalu membangun sebuah peradaban; mendirikan negara, bahkan membangun negara bangsa yang mampu berdiri sama tegaknya dengan dua negara bangsa besar kala itu, Romawi dan Persia. Berkat kegemilangan Islam, Arab tampil sebagai kekuatan ketiga dalam peta global (kala itu). Mereka mewarisi dua kekuatan besar, dan membangun sebuah peradaban adiluhung yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunah nabi. Mereka mendirikan negara Islam lengkap dengan sebuah sistem ketata-negaraan dan perundang-undangannya, rakyat dan angkatan bersenjatanya, visi dan misinya, serta realitas dan idealismenya hingga


(11)

2

mampu menjadi paradigma ideal yang banyak dianut dalam percaturan global masa lalu.1

Negara Islam pertama, pemerintahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, berlangsung selama 40 tahun sebagai model ideal yang banyak dikaji dan sebagai acuan pendidikan dari generasi ke generasi. Ketika kehancuran meluas, kekalahan terjadi bertubi-tubi, kerusakan terus meluas, maka wajar jika romantisme sejarah masa awal muncul kembali dalam setiap benak umat muslim. Romantisme masa lalu ini begitu hebat mencengkeram pikiran sampai-sampai gerakan salafiah berhaluan konservatif-puritanisme. Fenomena ini jelas tidak boleh dipahami apa adanya, melainkan harus dipahami sebagai geliat revitalisasi model ideal dalam perasaan sebagai alternatif dari realitas yang ada. Lebih lanjut, gerakan fundamentalisme Islam ini harus dipahami sebagai reaksi atas fenomena kemunduran umat Islam2.

Gerakan fundamentalisme Islam sering kali dikaitkan dengan tindakan-tindakan destruktif dan kekerasan, seperti pengeboman tempat-tempat keramaian atau rumah-rumah ibadah. Nama ini dipahami sebagai aliran dalam Islam yang menekankan penggunaan kekerasan atas nama agama. Sepertinya Islam mengajarkan kepada para pengikutnya yang setia dan fanatik untuk melakukan tindakan-tindakan seperti itu sebagai wujud dari keimanan.

Ketika ditelusuri jejak-jejak pelaku kegiatan seperti itu dalam sejarah Islam, ternyata ditemukan adanya bukti-bukti penguat, misalnya ada orang-orang yang disebut Khawarij pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

1 Hassan Hanafi, AkuBagian Dari Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: Islamika, 2003),

116. 2 Ibid, 117.


(12)

3

Ketika Ali menyepakati usul lawannya, Mu’awiyah, untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan menggunakan intitusi tahkim, orang-orang ini menganggap kedua tokoh tersebut telah melakukan dosa besar. Tahkim adalah sebuah intitusi pra Islam, sedangkan para kaum muslimin semestinya menyelesaikan urusannya dengan al-Qur’an yang di dalam salah satu ayatnya menyatakan, “Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”3 Mereka lalu mengutus orang, yaitu

‘Amr bin al-‘Ash, untuk membunuh Ali dan Mu’awiyah serta pembantunya yang mengusulkan penyelesaian dengan cara tahkim itu.4

Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam menghadapi kerusakan agama dan kekendoran serta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepanjang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India. Menurut Fathur Rahman “gerakan Wahhabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamentalisme”.5 Ia menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodoksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme Islam ini. Fathur Rahman menyebut kaum fundamentalisme sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial, anti-intelektual dan pemikirannya tidak bersumberkan al-Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam”. Istilah fundamentalisme digunakan secara negatif untuk menyebut

3 Al-Qur'an, 5: 44.

4 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme,

(Yogyakarta: LKis Group, 2012), 287-288.


(13)

4

gerakan-gerakan Islam berhaluan keras seperti banyak muncul di Libya, Aljazair, Lebanon dan Iran.6

Fundamentalisme adalah fakta global dan muncul pada semua kepercayaan sebagai tanggapan pada masalah-masalah modernisasi. Gerakan fundamentalis tidak muncul begitu saja sebagai respon spontan terhadap datangnya modernisasi yang sudah keluar terlalu jauh.7

Di Indonesia paham fundamentalis ini sudah mulai terlihat, bahkan tak segan-segan paham ini penyerang pemikiran organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa tentang pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Pemikiran ketiga hal tersebut pun mulai disorot bukan lagi oleh sekelompok intelektual atau akademisi, tetapi berbagai kalangan umum juga mulai membicarakan paham ini.

Ada tiga pertimbangan MUI mengapa perlu dikeluarkan fatwa ini:

Pertama, bahwa pada akhir-akhir ini menurut MUI telah berkembang paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat; Kedua, bahwa berkembangnya sekularisme, liberalisme, dan pluralisme di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut; dan Ketiga, bahwa karena itu MUI memandang perlu menetapkan fatwa

6 Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, 513; Yusril Ihza Mahendra,

Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi

(Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: paramadina, 1999), 6.

7 Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme

dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), 514.


(14)

5

tentang paham sekularisme, liberalisme, dan pluralism untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

Dasar pertimbangan sosial-politik ini, kemudian diselaraskan oleh MUI dengan pandangan-pandangan teologis MUI sendiri yang “eksklusif” berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an 3:85; 3:19; 109:6; 33:36; 60: 8-9; 28: 77; 6:116 dan 23:71.8 Dari pertimbangan inilah MUI membuat definisi sendiri istilah sekularisme, liberalisme, dan pluralisme sebuah definisi yang berbeda sekali dengan apa yang biasa termuat dalam buku-buku filsafat dan teologi yaitu:9

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran tiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.10

Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

8 Diantaranya, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali

tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Q. 3: 85) dan “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” (Q. 3: 19).

9 Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme

dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), 8. 10 Ibid.


(15)

6

Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.11

Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan kesepakatan sosial.12

Berdasarkan definisi tersebut, MUI pun membuat ketentuan hukum, yaitu bahwa:

Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan sekularisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersifat inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.13

Berdasarkan ketentuan MUI di atas memungkinkan paham

fundamentalisme Islam bisa dengan mudah masuk ke Negara Indonesia, seakan-akan mereka diberi keleluasaan dalam berkiprah di negara Indonesia. Dan karena

11 Ibid.

12 Ibid. 13 Ibid, 9.


(16)

7

kefanatikan dan ketidaksabaran kaum fundamentalis dalam mewujudkan cita-citanya tidak jarang dijumpai aksi radikal.

Pada saat yang sama, sekelompok masyarakat yang kurang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya yang sudah berubah, cenderung mendukung dan menghidupkan kembali fundamentalisme radikal dalam menerapkan aturan syari’at manakala didalamnya tersedia ahli syari’ah atau yang dipercaya kelompoknya memiliki keahlian tersebut.

Ormas FPI Lamongan (Front Pembela Islam) cabang Lamongan adalah salah satu ormas yang cenderung menggunakan kekerasan dalam memberantas kemaksiatan disekelilingnya, termasuk di wilayah Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, mereka tidak peduli akan dihukum oleh pihak berwajib karena melanggar hukum. Konsep amr ma’ruf nahi munkar akan selalu ditegakkan walaupun harus berurusan dengan aparat pemerintah.

Penelitian ini berusaha meneliti reaksi dari masyarakat Indonesia terhadap fundamentalisme Islam yang berada di Indonesia terlebih di Desa Blimbing kecamatan Paciran kabupaten Lamongan, terlebih daerah ini begitu kental nuansa pesantren sehingga menarik untuk diteliti mengapa ormas FPI Cabang Lamongan bisa berkembang dan kehadirannya di daerah tersebut tidak mengalami penolakan dari masyarakat. sehingga peneliti dapat mengetahui bagaimana FPI Cabang Lamongan dapat berbaur dan mendapatkan anggota dengan mudahnya sehingga daerah Desa Blimbing kecamatan Paciran kabupaten Lamongan menjadi basis FPI kabupaten Lamongan.


(17)

8

B. Identifikasi Masalah

Dalam permasalahan fundamentalisme, reaksi masyarakat terbagi menjadi dua yaitu masyarakat yang pro dan masyarakat yang kontra. Namun penulis lebih berfokus pada tanggapan masyarakat yang pro, sehingga penulis ingin mengetahui mengapa paham fundamentalisme Islam ini memiliki banyak massa. Jika benar, maka Indonesia sebagai negara demokrasi dan anti diskriminasi akan diketahui mengapa gerakan kelompok Islam radikal itu ada.

C. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan serta memperjelas permasalahan, maka penulis membuat rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan, yang antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah gerakan fundamentalisme Islam dan apakah Front Pembela Islam sebagai salah satu gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia?

2. Bagaimana sejarah perkembangan dan kegiatan gerakan Front Pembela Islam Blimbing sampai di Kecamatan Blimbing–Lamongan?

3. Bagaimana respons masyarakat Desa Blimbing kecamatan Paciran kabupaten Lamongan terhadap gerakan Front Pembela Islam blimbing di wilayahnya?


(18)

9

D. Tujuan Penelitian

Melihat dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sejarah gerakan fundamentalisme Islam dan apakah Front Pembela Islam sebagai salah satu gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia

2. Mengetahui sejarah perkembangan dan kegiatan gerakan Front Pembela Islam Blimbing sampai di Kecamatan Blimbing–Lamongan 3. Mengetahui respon masyarakat Desa Blimbing kecamatan Paciran

kabupaten Lamongan terhadap gerakan Front Pembela Islam blimbing di wilayahnya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena diharapkan akan menghasilkan informasi yang secara rinci, akurat dan aktual, yang akan memberikan jawaban dari permasalahan penelitian. Adapun manfaat dari diadakannya penelitian ini, antara lain:

1. Untuk menambah wawasan, dan keilmuan, khususnya dalam bidang sosiologi agama yang dalam hal ini bahasannya mengenai gerakan keagamaan di dalam kehidupan sosial.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan Islam pada khususnya.


(19)

10

F. Penegasan Judul

Untuk mendapatkan pemahaman dan gambaran yang jelas tentang topik penelitian ini, maka peneliti akan menjelaskan beberapa unsur istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, diantaranya:

Respon adalah tanggapan (memberikan tanggapan) yang bersifat positif akibat timbulnya suatu gejala atau peristiwa.14

Masyarakat adalah individu yang mengadakan kontrak bersama sejauh mereka berbagi dalam kekuasaan pemerintahan dari tubuh yang bekerja sama dan subjek sejauh mereka menempatkan diri mereka sendiri di bawah hukum-hukumnya.15 Dalam penelitian ini, peneliti yang dimaksud adalah masyarakat Indonesia.

Gerakan adalah suatu perubahan keadaan atau tempat dari suatu benda pada titik keseimbangan awal.16 Dalam konteks sosial adalah sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang berfokus pada isu-isu sosial atau mengkampanyekan perubahan sosial

Fundamentalisme adalah istilah yang datang dari dunia Barat, lalu merebak di media massa, istilah ini muncul dalam lingkup masyarakat Barat yang beragama Nasrani, ditujukan kepada para pemeluk agama Nasrani yang kaku dan

14 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

15 Bagong Suyanto, Filsafat Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing 2013), 130.

16 http://www.seputar


(20)

11

literal, yang memprioritaskan hal-hal yang tekstual dari pada akal.17 Yang dimaksud di sini adalah fundamentalisme Islam di Indonesia

Desa Blimbing adalah salah satu Desa pesisir utara yang terdapat di kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. Selain beberapa kelompok internal, yang disebut oleh FPI sebagai sayap juang, FPI memiliki kelompok Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada bulan Ramadan dan seringkali berujung pada kekerasan.18

Dari uraian tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul “Respons Masyarakat Terhadap Fundamentalisme Front Pembela Islam (Respons Masyarakat Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Terhadap Gerakan Front Pembela Islam Blimbing)” adalah tanggapan dalam bentuk penerimaan atau penolakan masyarakat Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan terhadap FPI yaitu sekelompok masyarakat yang dalam beragama lebih bersifat tekstual dalam memahami ajran Islam dan mereka

17 Yusuf Qardhawy, Masa Depan Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Pustaka Alkautsar

1997), 15.


(21)

12

bersikap lugas dalam menyikapi hal-hal yang melanggar ajaran Islam di masyarakat.

G. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka merupakan salah satu hal yang terpenting dalam penelitian, yakni sebagai alat untuk dapat memperoleh data-data yang akurat dan objektif. Sehingga data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka dari itu penelitian ini mengacu pada beberapa karya ilmiah lainnya.

Karya-karya ilmiah dapat berbentuk skripsi yang membahas tentang findamentalisme Islam. Karya ilmiah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Eva Fitriyana, Fundamentalisme Islam (Kritik Terhadap Dasar-Dasar Epistemologis Praktis). Dalam skripsi ini menjelaskan dan melacak basis-basis epistemologis beserta kritik epistemologis. Praktisnya, fundamentalisme Islam, dari sini akan diketahui apa yang diperjuangkan oleh fundamentalisme Islam. Karena disinyalir fundamentalisme Islam sering menggunakan kekerasan.

Kedua, Ali Yusron, Fundamentalisme Islam (Studi Analisis Tentang pertumbuhan KAMMI di Surabaya). Dalam skripsi ini membahas tentang pertumbuhan organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di Surabaya dalam kaitannya gerakan fundamentalisme Islam, penelitian ini hanya mencari titik temu antara keduanya.

Ketiga, Sudhiarto, Sisi Fundamentalisme Partai Politik Islam di Indonesia

(Telaah Kritis Atas Partai Bulan Bintang). Skripsi ini membahas dan bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang akar sejarah fundamentalisme dalam Islam dan bagaimanakah fenomena fundamentalisme dalam partai Bulan Bintang.


(22)

13

Sedangkan penelitian ini akan skripsi ini, penulis membahas lebih memfokuskan pada reaksi masyarakat pro terhadap fundamentalisme Islam.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan dengan masalah penelitian tersebut maka penulis menggunakan penelitian jenis penelitian kualitatif19 dengan pendekatan deskriptif, karena permasalah penelitian diatas berhubungan dengan fenomena-fenomena religius sosial yang menarik untuk dikaji.

Adapun yang dimaksud metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Kemudian mengangkat kepada permukaan karakter atau gambaran tentang kondisi ataupun situasi obyek peneliti.20

Tujuan utama dari metode ini adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan dalam waktu yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari gejala atau fenomena tertentu.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah:

19 Metode kualitatif, metode yang memfokuskan pada permasalahan secara mendalam

terhadap suatu masalah dari pada melihat suatu permasalahan.


(23)

14

a. Observasi21, dalam observasi ini peneliti akan mengamati keadaan fundamentalisme Islam sebagaimana adanya tanpa adanya sesuatu untuk mempengaruhi dan manipulasi.

b. Interview22, atau wawancara ini bisa diartikan dengan tanya-jawab. Hal ini akan dilakukan peneliti terhadap masyarakat, khususnya yang mengikuti dan pro terhadap fundamentalisme Islam.

c. Studi Kepustakaan (Library Research) yang mengambil setting perpustakaan sebagai tempat penelitian dengan objek penelitiannya adalah bahan-bahan kepustakaan.Dan di dalam penelitian ini merupakan sebagai data pelengkap saja. Meliputi catatan, arsip, buku dan dokumen resmi.

3. Sumber Data a. Data Primer

Yang termasuk dalam sumber data primer dalam penelitian ini ialah orang-orang yang secara langsung terlibat dalam anggota Front Pembela Islam (FPI) di Lamongan, dan masyarakat kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari sumber kedua dari data yang kita butuhkan yakni:

1. Buku, majalah dan artikel.

21 observasi, yaitu untuk mendapatkan data-data dengan melalui pengamatan langsung

pada suatu kegiatan, baik sebangai pengamat maupun peserta.

22 Interview yaitu untuk mendapatkan data melalui wawancara dengan beberapa orang


(24)

15

2. Dokumen-dokumen resmi.

3. Dokumen.

Metode ini digunakan untuk pengumpulan data, fakta serta teori dalam penelitian ini. Bahan-bahan yang sudah terkumpul akan didiskripsikan sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis secara kritis.

c. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisa data yang telah terkumpul dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pendekatan konten analis atau “analisa isi”, dan menggunakan metode pendekatan deskriptif. Yaitu menelaah keterangan yang didapat dari berbagai buku referensi dan data dari hasil riset lapangan berupa fenomena-fenomena religius sosial yang berupa data mentah tentang fundamentalisme Islam.

Alasan peneliti menggunakan metodelogi penelitian kualitatif yang merupakan hasil dari riset wawancara dan dokumentasi, karena ini akan sangat membantu dan memberikan sebuah fakta tentang data yang diteliti.

I. Landasan Teori

1. Definisi Gerakan Sosial

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori gerakan sosial Piotr Sztompka sebagai kekuatan perubahan. Menurut Piotr Sztompka definisi gerakan sosial yang memadai harus terdiri dari komponen berikut:


(25)

16

2. Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama.

3. Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal

4. Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional.

Jadi gerakan sosial adalah tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka.23

Meski sudah jelas, namun masalah ini masih memerlukan tiga penjelasan yaitu:

1. Perubahan sosial selaku tujuan gerakan sosial berarti dua hal yang berbeda. Tujuan ini bisa positif, memperkenalkan sesuatu yang belum ada (pemerintah atau rezim politik baru, adat baru, hukum atau pranata baru). Yujuan ini bisa juga negative: menghentikan, mencegah atau membalikkan perubahan yang dihasilkan proses yang tak berkaitan dengan gerakan sosial (misalnya kemerosotan kualitas lingkungan alam, kenaikan angka fertilitas, peningkatan angka kejahatan) atau dari aktifitas gerakan lain yang bersaing (misalnya UU anti aborsi yang diajukan di bawah tekanan dari gerakan prohidup dan penentangan keras oleh gerakan propilihan bebas).

23 Piotr Sztompka, sosiologi perubahan Sosial, terj. Alimandan (Jakarta: Prenadamedia Group), 323.


(26)

17

2. Gerakan sosial mempunyai berbagai status penyabab berkenaan dengan perubahan. Di satu pihak, gerakan ini dapat dianggap sebagai penyebab utama perubahan dalam arti sebagi kondisi yang diperlukan dan cukup untuk menimbulkan perubahan.24

3. Penjelasan ketiga berkaitan dengan bidang tempat terjadinya perubahan sosial yang disebabkan gerakan sosial. Biasanya perubahan sosial disebabkan oleh gerakan sosial yang dilakukan dalam masyarakat yang lebih luas yang berada di luar gerakan itu sendiri. Kelihatannya gerakan sosial itu seakan-akan adalah tindakan terhadap masyarakat dari luarnya, tetapi jangan lupa bahwa setiap gerakan sosial merupakan bagian masyarakat itu juga yang mengalami perubahan termasuk segmen anggotanya dan merembesi bidang fungsinya tertentu.25

2. Tipe Gerakan Sosial

Gerakan sosial muncul dalam segalam bentuk dan ukuran. Untuk memahami berbagai jenis fenomena ini diperlukan sebuah tipologi yang menggunakan kriteria sebagai berikut:

1. Gerakan sosial yang berbeda menurut bidang perubahan yang diinginkan. Ada yang terbatas tujuannya; hanya untuk mengubah aspek tertentu kehidupan masyarakat tanpa menyentuh inti struktur institusinya, gerakan yang hanya menginginkan perubahan "di dalam" ketimbang perubahan masyarakatnya sebagai keseluruhan. Contohnya

24 Ibid, 327. 25 Ibid, 328.


(27)

18

gerakan hak-hak sipil di AS, gerakan antiapartheid di Afrika Selatan dan gerakan pembebasan nasional di negara colonial. Dalam kasus ekstrem, bila perubahan yang diinginkan meliputi semua aspek inti struktur sosial (politik, ekonomi dan kultural) dan ditujukan untuk mencapai transformasi total masyarakat kea rah "masyarakat alternatif" atau utopia sosial yang dicita-citakan sebelumnya, ini disebut gerakan revolusioner.26

2. Gerakan sosial yang berbeda dalam kualitas perubahan yang diinginkan. Ada gerakan yang menekankan pada inovasi, berjuang untuk memperkenalkan institusi baru, hukum baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Singkatnya, gerakan ini ingin membentuk masyarakat ke dalam satu pola yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Orientasi gerakan ini adalah ke masa depan. Perubahan diarahkan ke masa depan dan menekankan pada sesuatu yang baru. Ini dapat disebut gerakan progresif. Contohnya gerakan republic, sosialis, dan gerakan wanita. Gerakan lain mengarah ke masa lalu. Mereka berupaya memperbaiki institusi, hukum, cara hidup, dan keyakinan yang telah mapan di masa lalu tetapi mengalami erosi dan dibuang dalam perjalanan sejarah.

3. Gerakan yang berbeda dalam target perubahan yang diinginkan. Ada yang memusatkan perhatian pada perubahan struktur sosial' ada yang pada perubahan individual. Gerakan perubahan struktural ada dua

26 Ibid, 332.


(28)

19

bentuk: (a) Gerakan sosial politik yang berupaya mengubah stratifikasi politik, ekonomi dan kelas. Gerakan ini senantiasa menentang penguasa negara atas nama rakyat yang mempunyai kekuasaan formal sangat kecil (b) Gerakan sosio-kultural yang ditujukan pada aspek yang kurang teraba dari kehidupan sosial, mengusulkan perubahan keyakinan, nilai, norma, simbol, dan pola hidup sehati-hari. Contohnya gerakan hipies dan punk.27

4. Gerakan sosial yang berbeda mengenai "arah perubahan yang diinginkan". Kebanyakan gerakan mempunyai arah yang positif. Gerakan seperti itu mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, membuat perbedaan. Arah positif ini juga dipertahankan ketika gerakan di mobilisasi untuk mencegah perubahan; baru kemudian arahnya negatif. Kasus khas terjadi ketika gerakan dimobilisasi untuk merespon perubahan yang dinilai negatif yang timbul segera setelah kecenderungan sosial umum menimbulkan dampak sampingan yang tak diharapkan. Sejumlah gerakan antimodernitas termasuk kategori ini. Mislanya, gerkan yang mempertahankan kultur asli pribumi, memerangi globalisasi, menghidupkan kembali kekhasan nasional atau etnis, menegaskan keyakinan agama fundamental.28

Gerakan tandingan mengembangkan citra yang diputar balik tentang gerakan yang ditandinginya. Gerakan ini mendapat kekuatan untuk berkembang dengan mempertontonkan segala pengaruh membahayakan dari gerakan yang

27 Ibid, 333. 28 Ibid, 334.


(29)

20

ditandinginya. Taktik demikian sengaja dipilih untuk merespon struktur dan untuk menghadapi gerakan yang ditandingi. Munculnya gerakan tandingan yang kuat biasanya menyebabkan struktur gerakan menjadi semakin dogmatis, kaku dan tidak lentur, kesetiaan sangat dipaksakan, integrasi diperketat dalam bentuk organisasi dan kekuasaan dibirokratisasi atau dioligarkikan.29

J. Sistematika Pembahasan

Hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam skripsi yang disusun dan di jabarkan secara runtut dan sistematis. Adapun sistematika pembahasannya dibagi menjadi lima bab antara lain sebagai berikut:

BAB I, Pendahuluan, yang berisi uraian meliputi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II, Kajian sejarah tentang Gerakan Fundametalisme Islam. Dalam bab ini memuat bahasan tentang sejarah gerakan fundamentalisme Islam dan bagaimana sejarahnya sampai di Indonesia, bagaimana tipologi gerakan radikalisme Islam yang ada, dan menjelaskan Front Pembela Islam sebagai salah satu gerakan fundamentalisme Islam.

BAB III, Penyajian data lapangan mengenai tentang keadaan geografis Kecamatan Blimbing, keadaan sosial Desa Blimbing dan fenomena gerakan Front


(30)

21

Pembela Islam Blimbing. Serta reaksi masyarakat Kecamatan Blimbing terhadap gerakan fundamentalisme tersebut.

BAB IV, Respon masyarakat Blimbing terhadap Front Pembela Islam berupa data lapangan, beserta analisis respon masyarakat dalam sudut pandang teori gerakan sosial sebagai kekuatan perubahan, bagaimana cara yang ditempuh masyarakat dan pemerintah Kecamatan Blimbing terhadap FPI.

BAB V, Penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan seluruh penulisan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang disajikan danuraian tentang saran-saran.


(31)

BAB II

SEJARAH FUNDAMENTALISME ISLAM

A. Pengertian Fundamentalisme

Istilah fundamentalisme bersifat polemikal dan pejoratif, namun ada yang justru bangga dengan sebutan itu karena dianggap sebagai kehormatan atas ketaatan pada ajaran agama.

‘Fundamentalisme’ sendiri berasal dari kata latin ‘fundamentum’, yang berarti ‘fundamen’ atau ‘dasar’. “Fundamentalisme” adalah gerakan dalam agama Protestan Amerika, yang menekankan kebenaran Bible bukan hanya masalah kepercayaan dan moral saja, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian.1 Setelah Perang Dunia I, gerakan ini muncul secara terpisah-pisah dalam berbagai sekte Protestan AS, dan gerakan ini telah menjadi permasalahan nasional Amerika.

Fundamentalisme sering dilawankan dengan ‘modernisme’ yaitu aliran yang mengutamakan setiap yang modern atau yang baru dari setiap apa yang lama atau kuno. Yang mana salah satu ciri dari modernisme adalah memupuk keahlian dan pengetahuan pribadi untuk hidup dalam dunia teknologi yang maju.

Fundamentalisme akhirnya berarti oposisi dari gerejawan ortodoks terhadap sains modern, ketika yang terakhir ini bertentangan dengan citra yang


(32)

23

dibawakan oleh Bible.2 Jika melihat sejarah bahkan gerakan fundamentalisme dalam agama Kristen lebih mengerikan, yang pada waktu itu fundamentalisme ini membunuh Hypatia, seorang ilmuwan perempuan berparas cantik, pada 415 M, dan berlanjut pada pembakaran perpustakaan Iskandaria adalah suatu bentuk reaksi mempertahankan keotentikan ajaran Kristen dan kebenaran Bible.3

Orang yang mempertahankan standar ortodoks dari agama Kristen ini menamakan diri mereka dengan Fundamentalis, yaitu kelompok oposisi yang menantang Liberalisme dan Modernisme yang mencoba mengasimilasikan karya Kritik Bible (Biblical Criticism) abad ke 19, serta berusaha menselaraskan ajaran Gereja dengan dilemma masa itu. Pihak fundamentalis menuduh pihak modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan Bible demi kepentingan sains modern. Pihak modernis menjawab, tanpa modernisme, tidak ada harapan untuk selamat bagi Gereja yang meraba-raba dalam kegelapan teologi yang telah using dan bermasa bodoh dengan pemikiran modern.4

Lima puluh tahun kemudian setelah heboh fundamentalisme ini, Modernisme dan Liberalisme secara praktis tidak ada lagi. Teologi belakangan dari masa ini hanya tinggal mempunyai hubungan sejarah pemikiran tokoh-tokoh Modernis seperti Shailer Mathews, Charles Briggs dan A.C McGiiffert, Sr. dalam pada itu fundamentalisme bertahan dan berkembang.5

2 Ibid, 2.

3 Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains

Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 51.

4 Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, 3.


(33)

24

Selain itu, ada anggapan bahwa pola keberagamaan yang benar adalah reaktif untuk menggiring kecenderungan perubahan sosial dalam gelombang modernisasi kepada doktrin dan ajaran agama yang absolut dalam rangka solusi masyarakat yang sedang mengalamai anomali.

Dengan kata lain, ketidakmampuan untuk melakukan dialog serta memberikan respon terhadap perubahan sosial yang dahsyat telah melahirkan

escape from freedom (lari dari kebebasan) alam hubungan antara manusia yang merdeka di tengah kehidupan modern.

Pada penampakan perilaku ekstrim di sebagian kelompok

fundamentalisme, membawa asumsi sementara orang bahwa ada hubungan yang signifikan antara tindak kekerasan dengan pengamalan agama (Islam) sehingga penanganan terhadap sebagian umat beragama (Islam) harus mendapat perhatian khusus.6

Namun sebelum membahas lebih jauh tentang fundamentalisme, perlu diketahui apakah istilah tersebut memang berasal dari umat Islam sendiri atau hanya sebuah klaim, dan bagaimana ciri-ciri fundamentalis ini. Pembahasan selanjutnya akan menerangkan itu semua serta sejarah gerakan fundamentalisme di Indonesia.

6 Hasyimah Nasution, “Refleksi Keberagamaan Fundamentalisme di Indonesia”, Harmoni

Jurnal Multikultural & Multireligi Maentream vs Sempalan, Vol. V, No. 19 (Juli-September 2006), 161.


(34)

25

B. Sejarah Gerakan Fundamentalisme

Pemahaman terhadap agama dikatakan bermula dari sebuah keyakinan. Dari keyakinan serta melalui praktik ibadah, tercipta kehidupan beragama. Secara sosiologis, kehidupan beragama menunjukkan bahwa agama dipegang oleh orang banyak, jemaah, atau massa. Oleh mereka, agama dianggap sebagai the ultimatum concern. Setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agama mereka masing-masing.7 Bustanuddin Agus, mengungkapkan dalam bukunya Islam dan

Pembangunan, bahwa semakin rendah tingkat berpikir dan pemahaman

keagamaan seseorang, semakin sempit dan makin konkret sesuatu yang difanatikinya dalam kehidupan beragamanya.8 Jika fanatisme seseorang lebih

dominan, maka penghayatan spiritual akan terabaikan. Mereka akan terkesan rela mati untuk agama. Padahal, tidak ada satu pun agama mengajarkan hal itu.

Ada banyak tipologi dalam dinamika pemikiran Islam, dalam konteks pemikiran teologi, ada kelompok Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan sebagainya. Sekte-sekte ini sudah eksis jauh sebelum konteks Islam modern. Islam modern secara umum diakui lahir setelah abad kedelapan belas. Dalam konteks gerakan Islam modern ini, ada tipologi gerakan. Ada gerakan Islam yang sosialis, sekuler, reformis, sekuler, nasionalis-religius, liberal, hingga fundamentalis.

Namun, para akademisi Barat dan para pemerintah negara Barat lebih memandang Islam sebagai agama dengan gerakan ekstrimisme dan fundamentalis

7 Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan (Jakarta: grafindo Persada, 2007), 143.


(35)

26

karena tercermin dari gerakan-gerakan tersebut di zaman modern ini. Terlebih penyerengan terhadap gedung gedung World Trade Center di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Islam dipenuhi oleh kaum ekstrimis yang siap menteror siapa saja yang menentang.

Hal ini tidak luput dari munculnya agama Islam itu sendiri yang disebarkan melalui pedang. Bahkan Muhammad sebagai nabi terakhir yang menyebarkan Islam menghalalkan seorang saudara membunuh saudaranya sendiri atau seorang bapak membunuh anaknya, atau seorang anak membunuh bapaknya, selama perang dalam menyebarkan Islam. Disitu seorang anak dapat membunuh ayahnya jika ayahnya tidak memeluk Islam. Menjadi halal untuk membunuh seorang saudara atau teman yang tidak beriman pada Islam, sehingga dianggap musuh Allah.9

Namun perlu dibedakan antara gerakan ekstremisme dan fundamentalis ini, gerakan fundamentalis lebih berorientasi pada pemurnian kembali ajran-ajaran agama meski tidak menutup kemungkinan gerakan ini dipengaruhi oleh faktor sosio-politik yang sedang terjadi. Sedangkan gerakan ekstreme lebih dikarenakan faktor kefanatikan yang mana para anggotanya hanya menerima doktrin begitu saja tanpa pengkajian setelahnya.

C. Islam dan Fundamentalisme

Pembicaraan fundamentalisme bila dihubungkan dengan Islam memang sangat merepotkan, sebab term tersebut sebaiknya tidak dapat digunakan terhadap


(36)

27

corak keberagaman macam apa pun dalam agama itu. Bahkan berbagai diskusi dikalangan umat Islam menolak penggunaan istilah yang bias dan pejoratif itu.

Seperti yang sudah diketahui bahwa istilah fundamentalisme sendiri bukan berasal dari Islam sendiri, namun berasal dari sekelompok orang berhaluan keras dalam agama Kristen di Amerika Serikat.

Untuk itu perlu dikenali ciri-ciri utama yang menjadi landasan pandangan fundamentalisme dan menganalisis implikasinya pada pendirian dan gerakan mereka.

Ciri utama dari fundamentalisme adalah interpretasi mereka yang rigid dan

literalis terhadap doktrin agama. Ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diantaranya 1) penafsiran seperti itu penting menurut mereka demi menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya, 2) diyakini bahwa penerapan doktrin secara utuh (kaffah) merupakan cara satu-satunya dalam menyelamatkan manusia dari kehancuran.

Karakteristik selanjutnya adalah pendekatan manikean atau monopolitik atas doktrin-doktrin Islam. Menurut sebagian besar kaum Islamis, dunia ini terbagi ke dalam dua permukaan: benar dan salah, hitam dan putih, saleh dan dosa, pahala dan siksa, halal dan haram, dan seterusnya.10

Penafsiran rigid dan literalis tersebut akan terlihat paling tidak dalam tiga hal. Pertama, memandang cakupan doktrin agama, Kedua, kedudukan sistem

10 Masdar Hilmy, Islam, Politik & Demokrasi: Pergulatan Antara Agama, Negara, dan


(37)

28

pemerintahan nabi Muhammad SAW, Ketiga, dalam memandang kemajemukan masyarakat.11

Islam dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana -mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “di mana -mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.”

Pandangan ini telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam Syari‘ah (hukum Islam).12 Bahkan sebagian kalangan Muslim melangkah lebih jauh dari itu: mereka menekankan bahwa “Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.”

Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer menyaksikan sejumlah kaum Muslim yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kepada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi

11 Quraish Shihab, Islam DInamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam

Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), 23-24.

12 Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam


(38)

29

Islam, atau fundamentalisme Islam. Sementara ekspresi-ekspresi seperti itu didorong oleh niat yang tulus, tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada kenyataannya lebih banyak bersifat apologetik.13

Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang “literal”, yang hanya menekankan dimensi “luar” (exterior) -nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” (interior) dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik “penampila n-penampilan tekstual”nya hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan, maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai instrumen ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.14

Dalam bahasa Arab, orang menggunakan kata Islamiyyun untuk mereka yang menganut ideologi Islam total sebagai alternatif bagi nasionalisme, demokrasi dan ideologi-ideologi lainnya yang datang dari Barat.

Sikap militan dan intoleran tidak jarang terlihat dengan jelas dalam gerakan fundamentalisme. Orang-orang fundamentalis terasa terpanggil atau

13 Ibid, 9. 14 Ibid, 10.


(39)

30

bahkan terpilih untuk meluruskan penyimpangan dalam bentuk pembelaan terhadap agama. Ketika penyimpangan dari keadaan yang semestinya terjadi dan tidak ada yang melakukan tindakan pelurusan kembali. Pesan-pesan dasar agama sudah sangat jelas, demikian pendapat kaum fundamentalis, yang tinggal melaksanakannya dengan konsisten dan konsekuen.15

Sebenarnya, penganut fundamentalisme tidak serta merta mesti memilih jalan kekerasan. Akan tetapi, karena banyaknya fundamentalis yang tidak sabar melihat penyimpangan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kekerasan pada mereka yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan itu, label “keras” lalu disematkan pada mereka. Selanjutnya, kekerasan dan fundamentalisme-dalam kesadaran banyak orang-sangat sulit dipisahkan.16 Peran media penyiaran sangat besar dalam penisbatan yang salah kaprah ini.

Di antara beberapa hal yang dicurigai dapat merangsang fundamentalisme adalah:

1. Perkembangan sains yang tidak jarang “mengganggu” atau bertentangan dengan kepercayaan keagamaan yang sudah dipegangi sebagai kebenaran selama berabad-abad.

2. Perkembangan ekonomi yang tidak jarang menghalalkan segala cara untuk apa yang disebut keuntungan.

3. Kesempitan berpikir atau kebodohan yang menyebabkan orang tidak melihat kemungkinan kebenaran pada pihak lain.

15 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: lokalitas, pluralisme, terorisme,

(Yogyakarta: LKiS Group, 2012), 293. 16 Ibid, 294.


(40)

31

4. Demokratisasi dan perkembangan geopolitik yang menyebabkan adanya orang-orang kehilangan privilege.

5. Globalisasi yang berkecenderungan untuk menyeragamkan gaya hidup.17

D. Sejarah Pergerakan Islam di Indonesia

Penjelasan mengenai sejarah pergerakan di Islam di Indonesia penting dilakukan untuk mengetahui tipologi gerakan dalam konteks kekinian. Sebab, akar sejarah suatu gerakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gerakan-gerakan selanjutnya. Terkait sejarah gerakan-gerakan Islam di Indonesia ada dua teori yang menjelaskan proses masuknya Islam di Indonesia.

Pertama, teori yang menyatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia terjadi pada abad XII M. Menurut teori ini, asal mula Islam masuk ke Indonesia adalah dari Gujarat dan pelakunya adalah para pedagang dari India yang telah memeluk Islam.18 Hal ini terlihat dari ajaran Islam yang dikembangkannya, yang lebih bercorak mistis. Corak Islam seperti ini lebih dekat dengan karakteristik Islam India dari pada Islam Arab.

Khusus di Jawa, proses Islamisasi berjalan secara struktural, setidaknya telah dibentuk oleh beberapa unsur yang saling menunjang, para pedagang yang menumbuhkan kantong-kantong Islam di pusat-pusat perdagangan daerah pesisir,

17 Ibid, 295.

18 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:


(41)

32

serta sufi atau guru mistik yang melakukan perjalanan keliling pedalaman untuk berdakwah, atau mendirikan pesantren baru di pedalaman.19

Dalam sejarah tutur dijelaskan bahwa penyebaran Islam dengan pendekatan politik dan pola radikal-fundamentalis pernah dilakukan oleh seorang ulama dari Cina yang bernama Syaikh Abdul Kadir as-Siniy yang memiliki nama asli Tan Eng Wat. Dikisahkan dalam menyebarkan agama Islam, Syaikh Abdul Kadir melakukan penyerbuan secara fisik terhadap kerajaan Majapahit dan menggunakan cara-cara kekerasan. Dalam melaksankan misinya ini dia dibantu oleh seorang ulama dari al-Jazair bernama Syaikh Utsman, atau yang dikenal dengan Sunan Ngudung.20

Hal ini tidak lepas dari arus umum yang berkembang di hampir seluruh dunia Muslim. Bahwa kebangkitan Islam memiliki pengaruh terhadap umat Islam di berbagai negara dan terhadap aspek-aspek kehidupan sosial-politik umat Islam di sebagian besar negara Muslim.21

Namun Van Leur meragukan peran golongan pedagang dalam menyiarkan agama Islam di Indonesia. Secara kritis dia mempertanyakan bahwa:

apakah para pedagang yang tentunya sibuk dan lebih tertarik untuk mencari keuntungan memiliki keuntungan dan minat untuk menyebarkan agama, atau tidakkah justru para sufi yang tergabung dalam gilda-gilda itu yang membawa

Islam ke Indonesia.22

19 Ibid, 44; Pradjarta Dirdjosanto, Memelihara Umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di

Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), 31.

20 Ibid, 45; Ngatawi Al-Zastrouw, Wali Songo dalam Cerita Tutur Masyarakat Pesisir

Utara Pulau Jawa, (Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan Foundation, 1998)

21 M. Imamudin Rahmat, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur

Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2007), 74.

22 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006), 46; Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah


(42)

33

Dugaan masuknya kaum sufi ke Indonesia sebagai penyebar Islam ini diperkuat oleh temuan Zurkani Jahja. Menurutnya, “gerakan tarekat di Indonesia muncul pada abad III H./IX M. dan abad IV H./X M. seperti as-Saqathiyah, at-Tayfuriyyah, al-Harasiyah, an-Nuriyah, dan al-Malamathiyah.23

Dari paparan para ahli sejarah di atas menunjukkan adanya dua pola gerakan Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia: pertama, pola dagang dan pola sufi. Dalam pola ini, Islam masuk lewat interaksi sosial dengan media perdagangan dan pengajaran keagamaan melalui ritus mistik tasawuf. Keduanya sama-sama menggunakan tipe kultural, yakni menjadikan elemen-elemen budaya dan tradisi sebagai media penyebaran.

Pola kedua adalah melalui gerakan politik radikal-fundamentalis. Gerakan ini ditempuh dengan melakukan penyerbuan secara fisik terhadap pusat-pusat kekuasaan, melakukan perombakan secara paksa atas tradisi local yang ada untuk disesuaikan dengan tradisi dan nilai-nilai baru (Islam).24

Pola-pola gerakan yang terjadi pada awal masuknya Islam di Indonesia ini menjadi dasar bagi gerakan Islam selanjutnya, meski terjadi beberapa modifikasi. Pada masa kolonial, misalnya, gerakan Islam di Indonesia terpolarisasi ke dalam dua bentuk, yakni pola radikal-nonfundamentalis dan pola formal-struktural.25

Adapun penyebab gerakan radikal adalah lemahnya pandangan terhadap hakekat agama, sedikitnya pengetahuan tentang fiqhnya serta kurang dalamnya

23 Ibid, 46; Zurkani Jahja, Asal Usul Thareqat Naqsabandiyah dan Perkembangannya,

(Tasikmalaya: Insitut Agama Islam Latifiyah Mubarokiyah, 1990). 24 Ibid, 47.


(43)

34

penyelaman rahasia-rahasianya guna meliputi pemahaman akan tujuannya.26 Maksudnya bukan karena kebodohan tentang agama yang menyebabkan gerakan radikal, justru hal ini tidak akan memicu timbulnya gerakan radikal. Tetapi adalah pemahaman yang setengah-setengah, sepotong-sepotong dan tidak mengetahui kedalaman agama sehingga ia tidak dapat mengambil keputusan yang tepat.

Pada era kontemporer ini, kaum fundamentalisme cenderung

mengedepankan ideologi yang apologetik dan meninggalkan wacana dialog dengan pihak lain. Di Indonesia ekspresi keberagamaan kelompok ini muncul dalam dua fenomena gerakan, yakni kelompok fundamentalisme yang berupa menampilkan Islam ramah dan kelompok fundamentalisme yang menampilkan

Islam keras.

Penampilan Islam yang ramah berorientasi pada penegakkan dan pengalaman Islam yang orisinil sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya dengan penuh kedamaian. Kelompok ini mendakwahkan Islam melalui kultural dengan berpegang pada prinsip-prinsip akidah dan akhlak Islam sesuai dengan tekstualitas al-Qur’an dan al-Hadith. Maraknya kelompok pengajian/zikir/khalaqah dan sebagainya, merupakan aksentuasi fundamentalisme kelompok ini.

Pemakaian simbol-simbol keagamaan yang didasarkan pada kehidupan nabi dan salaf al-shalihin seperti memanjangkan jenggot, bercelana panjang di atas mata kaki memakai sorban bagi laki-laki, serta jubah panjang, cadar dan kaus

26 Yusuf Qardhawi, Islam “Ekstrem” Analisis dan Pemecahannya, terj. As-Shahwah


(44)

35

kaki dan atau tangan bagi perempuan adalah diantara simbol-formalistis kaum fundamentalisme kontemporer dengan semangat ideologis yang kuat dan bertujuan agar mudah dibedakan dari kelompok Islam lainnya. Oelh karena itu dari sisi ini saja kelompok fundamentalisme ini terkesan eksklusif sebagai ditampilkan oleh Jema’ah tabligh.27

E. Tipologi Gerakan Islam Radikal di Indonesia

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakkan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli” (al -Islâm ya’lû wala yu’la alahi). Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan” Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lain. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan

27 Nur Khaliq Ridwan, “Detik-detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan”, Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligi Maenstream vs Sempalan, Vol. V, No. 19 (Juli-September 2006), 171.


(45)

36

keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.28

Hal ini tercermin dalam berbagai pemberontakan, invasi dan lain sebagainya menggunakan simbol Islam. Paling tidak ada dua varian dalam gerakan Islam radikal, yakni gerakan Islam radikal-kritis dan gerakan Islam radikal-fundamentalis.

1. Gerakan Islam radikal-Kritis

Gerakan Islam radikal-kritis muncul bukan karena kesadaran ideologis pada nilai-nilai dan ajaran Islam. Sebaliknya, gerakan jenis ini muncul justru karena adanya tekanan sosial, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan pemerintah.29

Beberapa militan Muslim yang menganut keyakinan-keyakinan

fundamentalis yang radikal bahkan beralih kepada aktivitas- aktivitas kekerasan. Secara khas, mereka percaya bahwa diri mereka adalah korban-korban dari konspirasi-konspirasi tertentu.30

Meskipun gerakan Islam radikal-kritis ini tidak lepas dari institusi agama, seperti pesantren, jama’ah dan lembaga keagamaan lain, peran ulama dan lembaga

28 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara

Demokrasi, (Jakarta: Democracy Project, 2011), 284.

29 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006), 52.

30 Yudi Latif, Intelegensia Muslim Dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia,


(46)

37

ini tidak begitu dominan. Tokoh dan institusi agama hanya menjadi simbol dan instrumen untuk meningkatkan solidaritas dan kohesivitas sosial.

Gerakan ini lebih merupakan saluran atas ketidakpuasan dan frustasi atas realitas dan struktur sosial yang ada. Dalam hal ini agama merupakan simbol dan identitas yang membedakan antara kaum tertindas dan penindas. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara,31 namun dengan agama inilah kaum tertindas dapat meluapkan ketidakpuasannya dengan menjadikan agama sebagai gerakan sosial untuk menentang ketertindasan.

2. Gerakan Islam Radikal-Fundamentalis

Gerakan Islam radikal jenis ini pada dasarnya hampir sama dengan gerakan Islam radikal jenis pertama, yaitu sebagai respons atas realitas sosial yang terjadi. Yang membedakan gerakan Islam radikal-fundamentalis dengan gerakan Islam radikal-kritis adalah orientasi, misi, dan pendekatan yang digunakan. Gerakan Islam radikal-fundamentalis lebih terlihat sebagai gerakan ideologi dari pada gerakan sosial, lebih mementingkan tertanamnya ideologi Islam dalam struktur sosial dari pada memperhatikan terwujudnya tatanan sosial yang adil melalui proses perubahan sosial.32

31 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komperhensif,

terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 200-205

32 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:


(47)

38

Karena wataknya yang demikian maka gerakan ini tidak saja ditujukan kepada kelompok di luar Islam, tetapi juga kelompok sesama Islam yang berbeda pemahaman dengan mereka. Ini terlihat dalam konflik antara Islam mazhab Syi’ah dan Islam mazhab Sunni, seorang ulama Syi’ah, al-Kulaini mengatakan bahwa semua umat Islam selain Syi’ah adalah anak pelacur. Ulama Syi’ah lainnya, Mirza Muhammad Taqi juga mengatakan bahwa selain Syi’ah akan masuk neraka selama-lamanya, meski semua malaikat, semua nabi, semua syuhada dan semua shiddiq menolongnya, tetap tak bisa keluar dari neraka.33

Adapun kelompok fundamentalisme yang menampilkan Islam sebagai “agama keras”, dapat dilihat pada kecenderungan keagamaan semisal Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Internasional Untuk Solidaritas Islam (KISDI), Lasykar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), kelompok Imam Samudra, yang kendati melakukan pola perjuangan kultural sebagaimana dilakukan kelompok pertama, namun lebih terlihat perjuangan strukturalnya, demi menegakkan Syari’at Islam. Dalam konteks ini Mohammad Arkoun menyebut sikap ini didasarkan pada sejarah pemerintahan Rasulullah sebagai ideologi legitimasi.34

Jika MMI ingin menerapkan agenda penerapan syari’ah tradisional Islam yang harfiah lewat cara damai dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde Reformasi, lain halnya dengan FPI. FPI banyak melakukan razia di tempat hiburan yang diduga sebagai sarang maksiat yang dalam praktiknya tidak

33 Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia,

(t.k.: Namr Sunnah, 2013), 66.

34 Majalah Gatra (Jakarta: Al-Kautsar, 2004), dalam Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligi, Vol. V, No. 19 (Juli-September 2006), 172.


(48)

39

dibarengi dengan perundingan yang memadai, melakukan penyerangan terhadap kelompok keagamaan yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah dan juga non-Muslim.35

Hal ini merupakan hasil interpretasi terhadap salah satu hadith Rasulullah tentang kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Tindakan kaum fundamentalis ini, di satu sisi sebagai refleksi kekecewaan atas keberadaan Islam, kondisi umat, dan pada sisi lain adalah sikap frustasi dalam menghadapi Barat dan globalisasi, sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negeri-negeri Muslim lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Philipina, dan Mesir.36

F. Front Pembela Islam Sebagai Gerakan Fundamentalis 1. Latar Belakang Berdirinya Front Pembela Islam

Ketika terjadi reformasi, hampir tidak ada kekuatan sosial dominan yang bisa mengendalikan gerakan masyarakat. Bahkan, aparat negara juga tidak memiliki peran yang efektif untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga ketertiban sosial masyarakat. Yang terjadi adalah munculnya anarki sosial, yang ditandai dengan maraknya kerusuhan diberbagai lapisan masyarakat. Setiap elemen masyarakat pada saat itu memiliki kesempatan untuk melakukan konsolidasi, membentuk kelompok-kelompok sosial guna mengekspresikan kepentingan masing-masing.

35 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil

Society, Syariah dan HAM, Fundamentalisme, dan Antikorupsi, (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2013), 263.

36 Hasyimah Nasution, “Refleksi Keberagamaan Fundamentalisme di Indonesia”, Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligi Maentream vs Sempalan, Vol. V, No. 19 (Juli-September 2006), 174.


(49)

40

Dalam suasana dimana kekuasaan yang tidak mampu menjalakan fungsinya secara efektif, setiap kelompok dapat secara bebas meperjuangkan dan mngekspresikan kepentingannya, sekalipun harus bertentangan dengan aturan hukum. Konflik sosial yang diwarnai dengan berbagai tindak kekerasan terjadi dimana-mana, mulai Aceh, Ambon, Irian, Poso, hingga Sanggau Ledo-Pontianak.37

Oleh karena tidak ada situasi yang kondusif, yakni tidak adanya proses sosialisasi dan konsolidasi yang memadai. Terjadinya arus balik ini tidak menyebabkan timbulnya iklim sosial politik yang kondusif bagi tumbuhnya demokrasi dan justru sebaliknya, menjadi ajang balas dendam yang melahirkan konflik dan kekerasan sosial.38

Menurut Gus Dur, dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita bahwa:

Lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut

mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat

Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi

ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan

kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya.

37 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006), 86.

38 Khamami Zada, “Islam Radikal: pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras”, Teosofi


(50)

41

Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi

keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual.39

Selain karena alasan tersebut, bangkitnya kekuatan Islam jenis ini juga didorong oleh keinginan untuk menjaga dan mempertahankan martabat Islam dan sekaligus umat Islam. Sebagaimana dijelaskan di depan, hilangnya peran negara dan aparat pemerintahan, banyak umat muslim yang menjadi korban dan berbagai konflik sosial. Tindakan maksiat terjadi dimana-mana tanpa adanya kontrol dari pemerintah, di sini umat Islam menjadi korban. Demikian menjadi jelas, bahwa Islam menghendaki kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat dan hal itu tidak akan tercapai tanpa keadilan yang terwujud secara kongkrit. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan di negeri-negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati kekayaan berlimpah, sementara kaum miskin tidak punya apa-apa.40

Akhirnya, sekelompok umat Islam yang memiliki perhatian terhadap masalah ini pun berkumpul dan melakukan konsolidasi untuk mengefektifkan kegiatan mereka dengan cara membentuk Front Pembela Islam. Dari situ

39 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara

Demokrasi, (Jakarta: Democracy Project, 2011), xxxi. 40 Ibid, 95.


(51)

42

kemudian berdirilah FPI. Kelompok ini secara resmi berdiri pada 17 Agustus 1998, bertepatan dengan 24 Rabiuts Tsani 1419 H., di pondok pesantren Al-Umm, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. FPI didirikan oleh sejumlah haba’ib, ulama, muballigh, serta aktivis muslim dan umat Islam. Tokoh yang mempelopori berdirinya FPI adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab.41

Situasi sosial-politik yang melatar belakangi berdirinya FPI dirumuskan oleh para aktivis gerakan ini sebagai berikut: Pertama, adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam Indonesia sebagai akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua, adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga dan mepertahankan harkat dan martabat umat Islam.

Ketiga, adanya kewajiban bagi setiap umat Islam untuk menegakkan amr ma’ruf

nahi munkar.42

Dengan mencermati faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya FPI tidak bisa lepas dari peristiwa reformasi sebagai momentum perubahan sosial-politik di Indonesia. Dengan demikian, keberadaan FPI merupakan bagian dari proses pergulatan sosial-politik yang terjadi di era reformasi.

2. Pemikiran Amr Ma’ruf Nahy Munkar FPI

Amr ma’ruf nahy munkar, kalimat bahasa Arab yang sering didengar dan meng-Indonesia. Asalnya adalah al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Amr artinya menuntut pengadaan sesuatu, sehingga pengertiannya mencakup perintah, suruhan, seruan, ajakan, himbauan serta yang lainnya yang menuntut

41 Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006), 89. 42 Ibid, 90.


(52)

43

dikerjakannya sesuatu. Sedangkan al-ma’ruf artinya sesuatu yang dikenal baik (kebajikan), yaitu segala perbuatan baik menurut syari’ah Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah. Maka kata al-amr bi al-ma’ruf mempunyai arti mrngadakan segala kebajikan. Sedangkan nahy artinya mencegah pengadaan

sesuatu, sehingga pengertiannya mencakup; melarang, menjauhkan,

menghindarkan, menentang, melawan, peringatan, teguran, menyudahi serta lainnya yang mencegah dikerjakannya sesuatu. Sedangkan al-munkar artinya sesuatu yang diingkari (kemunkaran), yaitu segala perbuatan munkar menurut syari’at Islam dan menjauhkan pelakunya dari pada Allah. Jadi al-nahy ‘an al

-munkar adalah mencegah mengadakan segala kemunkaran.43

Konsep amr ma’ruf dan nahy munkar merupakan dua konsep utama dalam gerakan FPI. Apapun yang mereka lakukan berupa kegiatan pengajian atau aksi di jalanan, tidak bisa dilepaskan dari dua konsep ini. Kategori perbuatan ma’ruf dan

munkar yang FPI definisikan, selain bidang agama mencakup bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Terkait kemunkaran, kategori di atas masih bisa diklarifikasikan ke dalam beberapa kategori yang lebih besar, yaitu: pertama,

kategori penyakit masyarakat (kemaksiatan), di antaranya premanisme, minuman keras, perjudian, pelacuran, narkoba, pornografi dan pornoaksi. Kedua, kategori penyimpangan agama, di antaranya pelecehan agama, praktik perdukunan, penyimpangan aqidah, permutadan, sekularisme, pluralisme, ketidakpedulian agama dan umat Islam, serta penolakan aplikasi syari’at. Ketiga, kategori ketidak

43 Saeful Anwar, “Pemikiran Dan gerakan AMR MA’RUF NAHY MUNKAR Front


(53)

44

adilan dan kezaliman, di antaranya penculikan aktivis FPI dan fitnah. Keempat,

kategori non-Islam, yaitu: Nation State, ekonomi sosialis/kapitalis.

Kategori-kategori di atas merupakan wacana utama yang berkembang dalam FPI. Oleh karena itu, fokus FPI lebih pada aksi langsung memberantas kemaksiatan, karena dalam pikiran mereka kategori munkar jauh lebih dominan disbanding ma’ruf, yang memiliki aplikasi sosial luas, dan bukan perbuatan pribadi.44 Realitas menunjukkan bahwa loaksi pelacuran, pusat perjudian,

narkoba dan tempat kemaksiatan lainnya selalu dijaga ketat oleh preman, bahkan diprediksi aparat keamanan. Jika aksi ‘amr ma’ruf nahy munkar ditegakkan dan diterapkan maka harus menggunakan kekerasan, apabila Islam menyeru berdakwah dengan cara yang damai maka dalam hal ini tidak akan terlaksana, maka dari itu kekerasan adalah cara dakwah paling ampuh dalam menangani hal tersebut.

Sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Risalah historis dan garis perjuangan FPI, asas FPI adalah Islam ala Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Menurut para pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami oleh FPI tidak lah sama dengan yang dipahami oleh kalangan NU maupun Muhammadiyah. Aswaja yang dipahami para aktivis FPI lebih mendekati pemahaman Aswaja menurut kelompok salafi yang dipimpin oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib di Yogyakarta. Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk berpegan dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadith

44 Ibid, 230.


(54)

45

dan mereka itu adalah para sahabat dan para tabi’in (orang yang belajar dari shabat dalam pemahaman dan pengambilan ilmu).45

Salafisme menyeru untuk kembali pada konsep yang sangat dasar dan fundamental di dalam Islam bahwa umat Islam harusnya mengikuti preseden-preseden Nabi dan para Sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf al-salih) dan generasi awal yang saleh. Para pendiri salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu al-Qur’an dan Sunnah (preseden) Nabi.46

45

Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006), 96-97. 46

Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi & Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan

Kebangkitannya di Era Kita, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), 60.


(55)

BAB III

KELURAHAN BLIMBING dan KEBERADAAN FPI

A. Monografi Kelurahan Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan 1. Letak Geografis Kelurahan Blimbing

a. Keadaan Geografis

Kelurahan Blimbing merupakan satu-satunya Kelurahan di Wilayah Kecamatan Paciran, dengan Luas Wilayah 250,4 Ha/m2 Kelurahan Blimbing merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Paciran, sampai dengan Bulan Februari 2013 saja Penduduk Kelurahan Blimbing tercatat sebanyak 16.745 jiwa. Batas-batas wilayah Kelurahan Blimbing yang ditetapkan dengan Dasar Hukum PP No.73 Tahun 2005 adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Selatan : Desa Dadapan Kecamatan Solokuro

Sebelah Timur : Desa Kandangsemangkon Kecamatan Paciran Sebelah Barat : Desa Brondong Kecamatan Brondong

Meskipun letak geografis Kelurahan Blimbing berada pada wilayah pantai utara namun masih dijumpai lahan pertanian. Perincian tanah Kelurahan Blimbing dapat dilihat pada tabel berikut:


(56)

TABEL 1

Potensi Sumber Daya Alam Jenis Tanah Desa/Kelurahan

Tanah sawah Tanah Kering

Sawah Irigasi Teknis Ha Tegal/Lading 141,4 Ha

sawah Irigasi 1/2 Teknis Ha Pemukiman 82 Ha

Sawah Tadah Hujan 5 Ha Pekarangan 8 Ha

Sawah Pasang Surut Ha

Luas Tanah Sawah 5 Ha Luas Tanah Kering 231, 4 Ha

TABEL 2

Tanah Basah Tanah Perkebunan

Tanah Rawa Ha Perkebunan Rakyat

Pasang Surut Ha Perkebunan Negara

Lahan Gambut Ha Perkebunan Swasta

Situ/Waduk/Danau Ha Perkebunan perorangan 141,4 Ha

Luas Tanah Basah Ha Luas perkebunan 141,4 Ha

Perikanan

Sarana Produksi Budidaya Ikan Laut dan Payau

Mayoritas mata pencaharian masyarakat Blimbing adalah nelayan hal ini diperjelas dengan kepemilikan peralatan nelayan berdasarkan tabel di bawah ini:


(57)

TABEL 3

Jenis Alat Jumlah

Hasil Produksi (Ton/Tahun)

Karamba Unit

Tambak Ha

Jermal Unit

Pancing 151 Unit

Pukat 16 Unit

Jala 460 Unit

TABEL 4

Jenis Ikan Hasil Produksi (Ton/Tahun

Kakap 160

Cumi 55

Kembung 445

b. Data Kependudukan

Kelurahan Blimbing merupakan kelurahan yang penduduknya cukup padat yakni berjumlah 18.476 jiwa. Rincian tentang jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki 9.305 jiwa dan wanita 9.171 jiwa. Jumlah total terdapat 18.476 jiwa dan 5.375 kepala keluarga

c. Keadaan Agama

Di wilayah Kelurahan Blimbing mayoritas penduduknya mayoritas beragama Islam. Hal ini terbukti bahwa dari 18.476 jiwa ada 18.455 jiwa yang beragama Islam, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(1)

76

tujuan untuk memajukan, dan bergerak menuju tujuan bersama mereka.14 Sistem sosialnya didasarkan pada persamaan hak dan keadilan, sudah jelaslah bahwa masyarakat ideal seperti inilah yang diinginkan oleh setiap individu dan masyarakat terlebih masyarakat Blimbing.

14 Ali Syari’ati, Sosiologi Islam: Pandangan Dunia Islam dalam Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, terj. Arif Mulyadi (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2012), 175.


(2)

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah ditulis sebagaimana yang telah dipaparkan dari BAB I sampai dengan BAB IV penelitian skripsi ini, dapat penulis simpulkan dalam bab ini dan sekaligus merupakan jawaban dari permasalahan yang pada bagian awal penulisan ini sudah diuraian dalam bab pendahuluan. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Gerakan Fundamentalisme Islam di Indonesia lahir, menurut pandangan mereka adalah sebagai reaksi terhadap lemahnya peran negara dan aparat pemerintahan, banyak umat muslim yang menjadi korban dari berbagai konflik sosial.. Karena faktor tersebut sekelompok umat Islam yang memiliki perhatian terhadap masalah ini pun berkumpul dan melakukan konsolidasi untuk mengefektifkan kegiatan mereka dengan cara membentuk Front Pembela Islam. Konsep amr ma’ruf dan nahy munkar merupakan dua konsep utama dalam gerakan FPI yang berasal dari al-Qur'an dan dimaknai secara rigid dan lebih menekankan aspek tekstual. 2. Adapun latar belakang berdirinya Front Pembela Islam Blimbing (FPI

Blimbing) adalah karena maraknya tempat-tempat maksiat di wilayah Blimbing dan perdagangan narkoba, namun kurangnya tindakan dari aparat, maka sekelompok orang membentuk Front Pembela Islam Blimbing (FPI Blimbing) untuk menggantikan peran aparat yang tidak berfungsi.


(3)

78

3. Adapun respons masyarakat kecamatan Blimbing Lamongan begitu mendukung dengan dibentuknya FPI Blimbing, karena realitasnya, perdagangan narkoba di wilayah Blimbing begitu meresahkan warga, terlebih para orang tua yang memiliki anak yang sudah terjerumus pada barang haram tersebut. Para warga Blimbing pun saling bantu membantu bersama FPI Blimbing berupa disisihkannya sebagian hasil infaq di setiap masjid dan mushola yang ada di daerahnya untuk keperluan FPI Blimbing. Hanya sedikit masyarakat yang menolak ormas ini, adapun yang menolak kehadiran mereka adalah para pedagang narkoba dan para pemilik tempat hiburan

B. Saran

Adapun saran-saran yang ingin peneliti sampaikan berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Bagi para peneliti yang hendak meneliti sebuah ormas di daerah tertentu diharapkan melampirkan berkas-berkas yang diminta oleh pihak yang berkaitan dengan ormas yang akan diteliti.

2. Bagi aparat Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan hendaknya lebih adil dan bijak dalam menangani kemaksiatan termasuk kasus obat-obatan terlarang.

3. Bagi masyarakat Blimbing tetap harus mawas diri dan membentengi keluarganya dari segala jenis kemaksiatan termasuk obet-obataan terlarang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abou El Fadl, Khaled. Sejarah Wahabi & Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita, terj. Helmi Mustofa. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015.

Agus, Bustanuddin. Islam dan Pembangunan. Jakarta: grafindo Persada, 2007. Al-Zastrouw Ng. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2006.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana, 2011.

Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democracy Project, 2011.

Ghozali, Mohammad Al. Christ, Muhammad and I. Ontario: t.p, t.th.

Hanafi, Hassan. AkuBagian Dari Fundamentalisme Islam.Yogyakarta: Islamika, 2003.

Hilmy, Masdar. Islam, Politik & Demokrasi: Pergulatan Antara Agama, Negara, dan Kekuasaan. Surabaya: Imtiyaz, 2014.

Ka’bah, Rifyal. Islam dan Fundamentalisme. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984. Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi,

Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalisme, dan Antikorupsi. Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Khamami Zada, “Islam Radikal: pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras”. Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 1. Juni, 2014. Latif, Yudi. Intelegensia Muslim Dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim

Indonesia. Jakarta: Democracy Project, 2012.

Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme. Yogyakarta: LKis Group, 2012.


(5)

Mulkhan. Abdul Munir, neo-sufisme dan pudarnya fundamentalisme di pedesaan. Yogyakarta: UII Press, 2000.

Munawar-Rachman, Budhy. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Democracy Project, 2011.

Munthahari, Murtadha. Falsafah Agama dan Kemanusiaan: Perspektif al Qur’an dan Rasionalisme Islam, terj. Arif Maulawi. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013.

Nasution, Hasyimah. “Refleksi Keberagamaan Fundamentalisme di Indonesia”,

Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligi Maentream vs Sempalan, Vol. V, No. 19. Juli-September 2006.

Pals, L.Daniel, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komperhensif, terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011. Piotr Sztompka, sosiologi perubahan Sosial, terj. Alimandan. Jakarta:

Prenadamedia Group, 2014.

Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagmaan, “Hitam Putih Front Pembela Islam (FPI)”,

http://lektur.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=41&Itemid=61 (Senin, 2 November 2015)

Qardhawi, Yusuf. Islam “Ekstrem” Analisis dan Pemecahannya, terj. As-Shahwah Al-Islamiyah Bainal-Juhud wat-Tatharruf. Bandung: Mizan, 1985.

Qardhawy, Yusuf. Masa Depan Fundamentalisme Islam. Jakarta: Pustaka Alkautsar 1997.

Rahman. Fazlur, Islam. Bandung: Pustaka, 1997.

Rahmat, M. Imamudin. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2007.

Shihab, Quraish, Islam DInamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997.

Supriyadi, Eko. Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2012.


(6)

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2005.

Syamsuddin, Ach. Maimun. Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani, Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.

Syari’ati, Ali. Sosiologi Islam: Pandangan Dunia Islam dalam Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, terj. Arif Mulyadi. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2012.

Tempo, “Ini Kronologi Bentrok FPI dan Warga di Lamongan”,

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/08/12/063503841/ini-kronologi-bentrok-fpi-dan-warga-di-lamongan (Senin, 2 November 2015)

Tempo, “Tidak Diakui FPI, Ini Kata Simpatisan FPI Lamongan”,

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/08/13/063504100/tidak-diakui-fpi-ini-kata-simpatisan-fpi-lamongan (Senin, 2 November 2015)

Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. t.k.: Namr Sunnah, 2013.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: Democracy Project, 2011.

Wijaya, Aksin. Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam Yang Tak Kunjung Usai di Nusantara. Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2015.