PENDAHULUAN Inventarisasi Karakteristik Mataair Di Sebagian Lereng Selatan Gunungapi Slamet Kabupaten Banyumas Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan sumberdaya alam yang terpenting dalam kehidupan manusia. Peranan air sangat penting, karena tanpa air tidak akan ada kehidupan di bumi bahkan ekosistem tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan air. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan air, baik untuk keperluan domestik (rumah tangga), pertanian, indusri, perikanan, pembangkit listrik tenaga air, navigasi, dan rekreasi.

Pola permukiman yang ditelusuri dari berbagai sumber menunjukkan eratnya kaitannya dengan sumber air, baik sungai, danau maupun mataair. Permukiman penduduk yang diidentifikasi dari citra penginderaan jauh menunjukkan kedekatan dengan keberadaan sumber air, sehingga terdapat pola-pola permukiman memanjang yang mengikuti alur sungai, pola kipas yang terdapat di pinggir-pinggir danau ataupun pantai, pola melingkar memusat di suatu mataair; hal ini menunjukkan bahwa manusia sangat bergantung pada air, ketika menentukan lokasi untuk tempat tinggal dipilihlah tempat yang memiliki sumber air guna memenuhi kebutuhannya.

Air yang berlimpah di muka bumi, menutupi sekitar 71% dari permukaan bumi. Secara keseluruhan air di muka bumi, sekitar 98% terdapat di Samudera dan laut dan hanya 2% yang merupakan air tawar yang terdapat di sungai, danau dan bawah tanah. Diantara air tawar yang ada tersebut, 87% diantaranya berbentuk es, 12% terdapat di dalam tanah, dan sisanya sebesar 1% terdapat di danau dan sungai (Effendi, 2007).

Air mengalami sirkulasi yang disebut daur hidrologi. Proses ini berawal dari permukaan tanah dan laut yang menguap ke udara kemudian mengalami kondensasi yaitu berubah menjadi titik-titik air yang mengumpul dan membentuk awan. Titik- titik air itu memiliki kohesi sehingga titik- titik air menjadi besar dan dipengaruhi gravitasi bumi sehingga jatuh disebut hujan. Air hujan yang jatuh di


(2)

permukaan bumi sebagian diserap tanah dan sebagian lagi mengalir melalui sungai menuju ke laut.

Beragam orang memperoleh sumber air, diantaranya memanfaatkan air hujan untuk keperluan sehari-hari dengan cara menampung air hujan di tendon air. Ada pula yang memanfaatkan air pemukaan, air sungai dan danau guna memenuhi kebutuhan air untuk kepeluan hidupnya, sedangkan ditempat yang berbeda orang-orang mendapatkan air untuk keperluannya dari air tanah yang diperolehnya dengan beragam cara. Air hujan tidak setiap saat dapat diperoleh karena hujan hanya turun ketika musim hujan (bulan basah), sehingga memanfaatkannya membutuhkan tandon penampungan air hujan. Air yang ditampung hanya digunakan saat hujan mulai berkurang sehingga dapat digunakan untuk cadangan air untuk musim kemarau. Pemanfaatan air hujan tidak selalu dikarenakan tidak adanya sumber air yang lain, melainkan karena beberapa alasan seperti air permukaan dan air tanah telah tercemar sehingga tidak lagi dapat diamanfaatkan. Air permukaan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara menggunakannya di lokasi sumber air atau disalurkan melalui sitem perpipaan. Pemanfaatan lain dari air permukaan adalah dengan membuat bendungan untuk membuat sistem distribusi irigasi petanian. Air permukaan ada yang mengalir seperti air sungai ataupun genangan seperti kolam, bendungan dan danau. air permukaan rentan kontak dengan benda-benda pencemar air sehingga kualitas air permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar.

Sumber air yang banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga dan pengairan adalah air tanah. Di daerah-daerah pedesaan masih banyak rumah tangga yang menggunakan sumur untuk memperoleh sumber air, bermacam sumur yang dibuat seperti sumur gali, sumur pompa tangan. Pemenuhan kebutuhan air yang diperoleh dari air tanah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pedesaan, penduduk yang tinggal di daerah perkotaan pun banyak menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan, baik air tanah yang diambil di daerah setempat jika kondisi air tanahnya masih dalam toleransi tingkat pencemaran, sedangkan untuk daerah yang air tanahnya telah tercemar maka air tanah diambil dari daerah lain denagn sistem perpipaan.


(3)

Air tanah tersimpan sekaligus mengalir dalam suatu wadah yang kedap (permeable)yang disebut akuifer, yaitu suatu unit geologi yang dapat menyimpan dan melalukan air dalam jumlah tertentu. Akuifer pada umumnya adalah pasir dan krikil yang tidak padu (unconsolidated matrial), serta batuan sedimen poros seperti batuan pasir, batuan vulkanik yang telah lapuk dengan banyak retakkan pun dapat diklasifikasikan sebagai akuifer. Allah tabarokata’ala menjelaskan “Kami jadikan bumi memancarkan mataair-mataair, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan” dalam qur’an surah Al Qomar ayat 12.

Formasi geologi yakni akuifer tersebut menjadi komponen dalam siklus hidrologi. Air tanah layaknya air permukaan juga mengalir namun dengan kecepatan yang relative rendah melalui rongga-rongga batuan atau butir-butir pasir, ketika kondisinya memungkinkan maka air tanah inilah keluar menjadi mataair. Allah sesungguhnya menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai (Az Zumar : 21). Artinya air mengalami siklus hidrologi yang panjang, proses-proses ini berjalan secara alamiah. Evaporasi air laut yang membentuk awan hingga terjadi kondensasi yang menjadikan awan menggumpal membentuk mendung-mendung dan turun hujan sebagai presipitasi. Pada kesempatan ini kemudian proses infiltasi air kedalam tanah mengumpulkannya menjadi air tanah. Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya Qur’an surah Al Mu’minuun ayat 18, “Menetapnya” Air di bumi merupakan bagian dari sistem aquifer.

Air tanah menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan sumber air tawar yang lain, terutama dilihat dari sisi kualitas dan kesinambungannya. Air tanah yang muncul ke permukaan tanah dapat berupa mataair (spring) maupun rembesan (seepage). Dari sisi kuantitas, air tanah lebih berkesinambungan dari pada sumber air yang lain, selama proses hidrologi tidak terganggu. Dari sisi


(4)

kualitas, air tanah yang mengalami infiltrasi sedemikian rupa sehingga tanah-tanah mampu mensucikan air dari senyawa-senyawa berbahaya bagi mahluk hidup.

Mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1451 K/ 10/ Men/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelengaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, peruntukkan pemanfaatan air bawah tanah atu lebih umum dikenal dalam akademik ; air tanah adalah untuk konsumsi air minum sebagai prioritas utama diatas keperluan kebutuhan air lainnya. Selanjutnya prioritas pemanfaatan air tanah adalah b) rumah tangga, c)peternakan dan pertanian sederhana d)industry e)irigasi f)pertambangan g)perkantoran dan h) kepentingan lainnya di luar kepentingan sebelumnya.

Distribusi air das, dimana debit sumber kecil sedang kepadatan penduduknya yang relatif cukup tinggi sehingga imbangan air menjadi tidak seimbang serta terjadi penurunan dari segi kuantitas dan kualitas. Kondisi saat kepadatan penduduk secara Geografis tidak merata di Kabupaten Banyumas jumlah pemanfaatan air masih rendah dan di sisi lain debit mataair masih cukup besar maka tidak akan muncul konfik pemanfaatan air. Benturan kepentingan pemanfaatan air terjadi apabila debit sumber mataair kecil, sedangkan bagi sumber mataair yang memiliki debit besar tidak akan terjadi. Sementara ini belum terjadi konflik pemanfaatan air mataair debit besar, sebagaimana berkembangnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lainnya, mataair yang berdebit besar awalnya dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga penduduk hulu seperti air minum (masak) serta mandi cuci kakus serta pertanian, peternakan juga perikanan di hilir. Meningkatnya kebutuhan domestik menyebabkan penduduk di hilir pun membutuhkan air tersebut untuk konsumsi dan rumah tangga pula akibat pencemaran yang terjadi di hilir dan berbagai macam alasan lainnya yang memaksa menggunakan air dari hulu untuk konsumi. Seperti penduduk di daerah perkotaan dan permukiman padat yang menyadap air melalui perusahaan perusahaan air minum. Tentu sumber air yang digunakan pun berasal daerah hulu.

Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memiliki sekitar 3.005 buah sumber mataair alami yang tersebar di 27 Kecamatan dan sekitar 70% mengalami


(5)

kerusakan. Sejumlah mataair yang rusak diperkirakan sekitar 30% (632) kini mati dan 40% (842) berdebit air sangat kecil (Suara Merdeka, 4 September 2002). Terdapat 383 titik mata air yang dapat bertahan sebagai sumber air baku (Laporan RKPD Kabupaten Banyumas 2015). Data tersebut tersebar di kabupaten banyumas, namun demikian perlu dipahami bahwa lokasi pemunculan mata air yang berada di kabupaten banyumas muncul di lereng gunungapi slamet dan sebagian kecil di gawir sesar struktural selatan Purwokerto. Keterbatasan data inipulalah menjadi alasan perlunya inventarisasi mata air.

Sumber mataair alami di Kabupaten Banyumas banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal dan pada akhirnya air dari sumber mataair tersebut hanya terbuang ke sungai menjadi aliran air sungai dengan kualitas yang buruk. Sumber mataair dieksploitasi dengan metode yang sangat sederhana, sehingga air dari sumber mataair tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.

Air merupakan kebutuhan hajat hidup masyarakat yang sangat penting seperti kebutuhan untuk minum, mandi, mencuci, irigasi dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu keadaan dan keseimbangannya perlu dipertahankan melalui beragam pelestarian dan konservasi mataair yang terangkum dalam inventarisasi sumber daya air. Saat ini sudah dapat dikatakan cukup sulit untuk mendapatkan air bersih baik secara kualitas maupun secara kuantitas, hal ini disebabkan oleh ketersediaan air relative tetap secara siklus hidrologi, akan tetapi kebutuhan air oleh manusia dipastikan semakin meningkat. Dilain sisi, pemenuhan kebutuhan akan air semakin kompleks karena tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, tetapi saat ini denagn bertambahnya jumlah penduduk sehingga menuntut tersedianya air dalam jumlah banyak, daerah miskin air akibat pencemaran dan interusi air laut menuntut pemenuhan air dari daerah lain.

Era moderndisasi, air yang dahulu bersifat alamiah dan tersedia di alam kini berubah dalam bentuk kemasan, air minum dalam kemasan.Bukankah akan menjadi konflik baru yang lebih bersifat kapitalis. Perusahaan besar menyedot mataair dengan skala besar-besaran dengan atau tanpa diketahui pemerintah daerah setempat, dengan adan atau tanpa regulasi yang benar mengancam pemanfaatan air yang lainnya sebagai mana di cantumkan dalam Keputusan


(6)

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1451 K/ 10/ Men/2000. Dengan debit mataair yang terbatas sesuai dengan daur hidrologinya yang membutuhkan siklus menahun, maka konflik pemanfaatan air tidak akan terhindarkan. Jika hal demikian tidak segera diatasi, disatu sisi sumber daya air terbatas, disisi lain kebutuhan akan air semakin meningkat maka manajemen sumber daya air sangat diperlukan.

Walaupun mataair sudah banyak dimanfaatakan, bukan berarti semua potensi mataair telah terinventarisasi dengan baik. Ternyata masih banyak dilapangan yang menunjukkan bahwa mataair yang mempunyai potensi yang cukup baik belum terinventarisasi dengan baik, bahkan belum termanfaatakan dengan optimal. Bukan perkara yang mudah untuk melakukan inventarisasi mataair dengan cepat dan dengan baik. Hal ini disebabkan kerapkali pemunculan mataair terjadi pada tempat-tempat yang belum dapat dijangkau dengan mudah. Medan yang sulit merupakan salah satu kendala di dalam melakukan pendataan mataair.

Penerapan teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu alternative yang ditawarkan dalam upaya inventariasis mataair, apabila citra penginderaan jauh baik foto udara maupun citra satelit di suatu tempat tersedia. Tempat tempat pemunculan mataair akan terkait dengan kondisi geologi (struktur geologi, jenis batuan), geomorfologi dan topografi (perubahan slope), penggunaan lahan dan tutupan lahan termasuk kerapatan dan jenis vegetasi yang semuanya dapat disadap menggunakan teknologi penginderaan jauh. Vegetasi berkaitan dengan keberadaan air, asumsi dengan rapatnya vegetasi menunjukkan adanya pemunculan mataair sebagai senyawa yang vital dibutuhkan oleh mahluk hidup. Paling tidak pemanfaatan penginderaan jauh dengan citra satelitnya menjadi survey awal untuk melihat potensi pemunculan mataair. Informasi tentang mataair di suatu daerah dapat diberikan dalam format Sistem Informasi Geografis, sehingga sebaran spasial mataair beserta potensi yang dimilikinya dapat dipublikasikan sebagai salah satu bentuk inventarisasi sumber daya air.

Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul Inventarisasi Karakteristik Mataair di Sebagian Lereng


(7)

Selatan Gunungapi Slamet Kabupaten Banyumas Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah didasari oleh potensi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis mampu mengekstraksi informasi baru berupa lokasi pemunculan mataair berdasarkan pendekatan parameter fisik lahan sehingga dapat mengetahui sumber-sumber air tanah untuk dapat dimanfaatakan bagi kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana agihan potensi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan di wilayah penelitian?

2. Bagaimana karakteristik mataair yang ada di wilayah penelitian? 1.3 Tujuan Penelitian

1. Memetakan zonasi pemunculan mataair di Lereng selatan Gunungapi Slamet melalui pendekatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta menganalisisnya secara keruangan.

2. Menganalisis karakteristik mataair lereng Gunungapi Slamet berdasarkan parameter fisik lahan hasil interpretasi citra penginderaan jauh.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dianntaranya:

1. Manfaat teoritis, yaitu memberi sumbangan dalam ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Geohidrologi serta menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis, yaitu :

a. Menjadi bahan pertimbangan atau rekomendasi bagi pemerintah setempat dalam usaha untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya air secara efektif dan efisien.


(8)

b. Sebagai bahan acuan masyarakat dalam mewujudkan penggunaan air untuk irigasi dan air minum (konsumsi rumah tangga).

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 1.5.1 Telaah Pustaka

1.5.1.1Mataair

Mataair merupakan air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah. Mataair yang berasal dari dalam tanah hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitasnya sama dengan air tanah dalam.

Dalam ilmu hidrogeologi mataair merupakan titik atau kadang-kadang suatu areal kecil tempat air tanah muncul atau dilepaskan dari suatu akuifer. Dalam Ilmu Hidrogeologi mataair merupakan bagian dari air tanah. Mataair adalah suatu titik atau kadang-kadang suatu areal kecil tempat air tanah muncul dari suatu akuifer (atau pelepasan air dari akuifer) ke permukaan tanah (Bear, 1979 dalam Kodoatie, 2012). Beberapa permukaan buangan alami yang cukup luas yang megalirkan ke anak sungai kecil juga bias disebut mataair. Mataair juga merupakan buangan dari samudra, danau, dan sungai (Davis dan DeWiest, 1966 dalam Kodoatie, 2012).

Mataair dapat diklasifikasikan dengan banyak alternative. Klasifikasi bisa berdasarkan besaran debit, jenis akuifer, karakteristik kimia dan temperatur air tanah, arah migrasi air tanah, topografi dan kondisi geologi (Davis dan De Wiest, 1966 dalam Kodoatie, 2012). Prinsip dasar yang menentukan debit mataair adalah permeabilitas akuifer, daerah tangkapan ke akuifer, dan jumlah tangkapan. Tingkat permeabilitas yang tinggi memberikan volume air yang besar menjadi terpusat pada daerah yang kecil. Pada mataair, beberapa akuifer mempunyai debit yang agak besar, tetapi permeabilitasnya terlalu rendah sehingga tekanan air ke permukaan yang luas lebih kuat. Sebagai contoh, tepi sungai dengan sistem aliran segaris dengan rembesan kecil dan mataair dengan daerah buangan dari agregat adalah sekitar 100 ft3/sec (2,83 m3/detik). Mataair yang lebih luas tidak dapat lebih dari 1 galon/menit atau 0,23 m3/detik. Area saluran air mataair berkisar antara kurang dari 1000 feet2 (93 m2) dengan luasan infiltrasi lebih dari 1000


(9)

mil2 (2,59 juta m2) pada daerah kering. Jumlah air yang masuk tanah sebagai isian sama dengan 10 feet/tahun (3,048 m/tahun atau 3048 mm/tahun) pada daerah dengan curah hujan tinggi dan lapisan batuan sangat permeabel. Batuan tak tembus air atau daerah kering biasanya mempunyai infiltrasi 0,1 inchi/tahun atau 2,54 mm/tahun (Davis dan De Wiest, 1966 dalam Kodoatie, 2012).

Fluktuasi harian debit mataair kecil biasanya disebabkan karena penggunaan air untuk vegetasi. Mataair akan mengalir dengan kuat antara tengah malam dan pagi hari, tetapi bisa kering selama seharian. Debit mataair ini akan kembali tetap selama musim dingin ketika transpirasi akan berhenti.

(a) Depresi Permukaan bertemu muka air tanah

(b) Infiltrasi air hujan kedalam lapisan kasar dan bidang luncur permeable

(c) Batu pasir permeable menutup lapisan impermeable

(d) Patahan lapisan impermeable berlawanan lapisan permeable pada alluvial

a b


(10)

(e) Patahan terbuka dalam batuan rapuh (f) Lapisan struktural pada batuan

(g) Singkapan akuifer artesis

(h) Lipatan dominan dalam satu arah

(i) Singkapan krikil permeable dan penutup basal batuan granit impermeable Gambar 1.1 Ilustrasi kondisi pemunculan mataair (Davis dan De Wiest, 1966

dalam Kodoatie, 2012)

Jika material geologi homogen secara sempurna, debit muka tanah secara langsung akan menjadi rembesan yang menyebar relatif ke area yang lebih luas. Topografi ini memungkinkan permukaan tanah akan memotong muka air tanah dan aliran permukaan. Tipe rembesan ditemukan pada area bukit pasir, simpanan,

f e

g h


(11)

daerah batu pasir, dan jenis batuan homogen dan sedimen lepas. Sketsa mataair ini dapat dilihat pada Gambar 1.1-a.

Permeabilitas secara vertikal atau horisontal biasanya disebabkan oleh lokasi mataair (Davis dan De Wiest, 1966 dalam Kodoatie, 2012). Mataair musiman umumnya berhubungan dengan perubahan permeabilitas pada lapisan cuaca. Sliderock deposits, soil horizons, tanah luncur membantu menemukan tempat aliran mataair, dapat di lihat pada Gambar 1.1-b. Hubungan antara variasi vertikal dari permeabilitas dengan lapisan batuan sedimen disebabkan oleh luas, ketetapan, mataair, dapat dilihat pada Gambar 1.1-c.

Perubahan struktur batuan disebabkan oleh gerakan bumi yang menghasilkan perubahan pada permeabilitas dan tempat mataair. Jika patahan memotong batuan belum terkonsolidasi, daerah patahan biasanya berkurang permeabilitasnya dibanding lapisan batuan sekelilingnya. Mataair yang timbul dari daerah patahan dapat dilihat pada Gambar 1.1-d dan Gambar 1.1-e. Pengelupasan kulit pada lipatan batuan granit dapat dilihat pada Gambar 1.1-f. Gerakan bumi juga disebabkan karena kemiringan dan lipatan yang membawa lapisan permeabel dan tidak permeabel ke permukaan. Dua jenis mataair yang biasanya dihubungkan dengan lipatan, dapat dilihat pada Gambar 1.1-g dan Gambar 1.1-h. Kemurnian mataair dari batuan vulkanik atau batu kerikil yang dihubungkan dengan aliran dapat dilihat pada Gambar 1.1-i. Tanggul, ambang, lapisan tuff dan buried soil biasanya mengkontrol lokasi mataair pada simpanan vulkanik. Fetter (1994) disebutkan beberapa jenis spring, meliputi: depression spring, contact spring,fault spring, sinkhole spring, joint spring, dan karst spring.

Kesemuanya ini merupakan pemunculan air tanah ke atas permukaan dari berbagai akuifer (dalam Kodoatie, 2012). Depression spring terbentuk ketika muka air tanah mencapai permukaan (Bryan, 1919 dalam Kodoatie, 2012). Perubahan topografi menimbulkan gelombang pada konfigurasi muka air tanah. Sistem aliran lokal yang terbentuk pada mataair ini berada di zona buangan lokal.

Contact springs merupakan mataair di mana batuan permeabel menutup batuan-batuan yang lebih rendah permeabilitasnya (Bryan, 1919 dalam Kodoatie, 2012).


(12)

Garis mataair sering ditandai dengan singgungan litologi, antara muka air tanah dan muka air pada perched aquifers. Hal ini tidak berlaku untuk lapisan dibawah lapisan impermeabel, hanya perbedaan konduktivitas hidrolik yang cukup besar untuk menghalangi aliran air yang bergerak menuju ke lapisan atas.

Fault springs merupakan mataair yang dibatasi gerakan air tanah akibat patahan batuan yang impermeabel dengan gaya air pada akuifer ke buangan. Sinkhole springs dapat ditemukan di mana kawah yang terhubung ke terowongan yang timbul ke permukaan. Di beberapa area, run-off dapat membawa sebagian atau keseluruhan sebagai aliran bawah tanah. Masing-masing aliran menyebar ke dalam pori-pori dan retakan pada batuan atau aliran air dalam kawah.

Joints springs bisa terjadi karena adanya lipatan atau patahan pada zone

permeabel di batuan permeabel rendah. Air bergerak melewati batuan, dan mataair dapat terbentuk di mana patahan-patahan bertemu pada permukaan tanah dengan elevasi rendah. Karst springs merupakan muka air yang timbul dan jatuh menjadi variasi run-off pada sinkhole (Brook, 1977 dalam Kodoatie, 2012). Mataair dalam batuan kapur dapat dihubungkan dengan depresi topografi disebabkan oleh collapsed cavern (sinkhole) pada elevasi yang lebih tinggi. Mataair juga dapat diklasifikasikan berdasarkan mode/cara kejadian (feNo.mena)-nya, bisa juga dari media geologi di mana air lewat (Kashef, 1986 dalam Kodoatie, 2012).

Mataair menurut Bear 1979 ada empat jenis yaitu: mataair depresi (depresion springs), perched springs, mataair dalam rekahan (springs in craked, impermeable rock), dan mataair dari confined aquifer. Hal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 1.2. dengan muka air tanah, mataair ini dapat dilihat pada Gambar 1.2-a. Perched springs merupakan mataair yang terjadi ketika lapisan kedap air di bawah phreatic aquifer bertemu dengan muka air tanah, mataair ini dapat dilihat pada Gambar 1.2-b. Mataair dalam rekahan (springs in craked, impermeable rock) dapat dilihat pada Gambar 1.2-c. Mataair dari confined aquifer dapat dilihat pada Gambar 1.2-d (Kodoatie, 2012).


(13)

(a) Mataair depresi (depression springs)

(b) Perched springs

(c) Mataair rekahan (springs in craked, impermeable rock)

(d) Mataair confined aquifer

1.2 Karakteristik Mataair (Bear, 1979 dalam Kodoatie 2012)

Mataair begitu banyak macamnya sehingga banyak pengkelasifikasian mataair dari beragam cara. Secara Umum klasifikasi mataair mendasarkan pada


(14)

aspek sebagai berikut; a) terbentuknya (cause), b) struktur batuan (geologi), c) debit (discharge), d)temperature dan e)variabelitasnya.

Berdasarkan klasifikasi pemunculannya, atau sebab kondisi yang mengontrol munculnya mataair maka dapat dikelompokkan kembali kedalam karakteristik mataair, sebagai berikut : Pertama,Mataair Depresi (depression spring) terbentuk apabila muka air tanah terpotong oleh permukaan tanah.

Kedua,Mataair kontak (contact spring) terjadi bila lapisan lolos air yang menyimpan air terletak diatas lapisan kedap air, selanjutnya muka air tanah terpotong oleh permukaan tanah. Ketiga,Mataair atesis (artesian sprins)disebabkan oleh pemunculan air akibat tekanan air dari akifaer tertekan atau singkapan batuan melalui celah didasar lapisan kedap air. Keempat mataair pada batuan kedap (impervious rock spring) terjadi pada saluran tabular atau retakan batuan kedap air, dan Kelima, mataair rekahan (tabular or facture spring) muncul karena adanya saluran pada batuan, seperti adanya alur lava atau alur pelarutan, adanya rekahan batuan kedap air yang berhubungan dengan air tanah.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1.3 Pemunculan mataair (a) mataair depresi, (b) mataair artesis, (c) mataair kontak, (d) mataair rekahan (Todd and Mays, 2005 dalam Sudarmadji 2012)

1.5.1.2Penginderaan Jauh

Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor.Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya.Objek-objek data atau


(15)

objek yang indera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer (dirgantara) dan di antariksa.Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan.Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi energi elektromagnetik.Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imaginery), grafik, dan data numerik.Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah, atau fenomena daerah yang diindera atau yang diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analis atau interpretasi data. Apabila proses penerjemahan tersebut dilakukan secara digital dengan bantuan komputer disebut interpretasi digital.

Citra pengeinderaan jauh merupakan gambaran relatif lengkap tentang obyek dipermukaan bumi. Setiap obyek yang tidak terlindung oleh obyek lain tergambar pada citra pengeinderaan jauh, yang ujud dan letaknya mirip dengan keadaan sebenarnya di medan. Pemanfaatan citra pengeinderaan jauh salah satunya digunakan untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan memetakan kenampakan-kenampakan hidrologi yang berada pada permukaan seperti penyebaran nilai koefisien aliran permukaan dan debit aliran maupun di bawah permukaan bumi seperti memetakan kondisi air tanah. Penyadapan informasi hidrologi melalui citra pengeinderaan jauh dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penyadapan informasi hidrologi melalui citra pengeinderaan jauh secara langsung umumnya lebih ditujukan untuk identifikasi morfometri daerah aliran sungai (DAS), seperti bentuk dan luas DAS, pola aliran, dan lain sebagainya, sedangkan penyadapan informasi hidrologi melalui citra pengeinderaan jauh secara tidak langsung lebih ditekankan kepada identifikasi karakteristik fisik daerah berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam mengidentifikasi obyek-obyek hidrologi seperti dalam menentukan tingkat infiltrasi tanah. Penggunaan teknik penginderaan jauh untuk membantu survei dan pemetaan hidrologi dapat mengurangi biaya, waktu serta tenaga bila dibandingkan dengan pengukuran secara terestrial (puguh, 2005).


(16)

Pendekatan hidromorfometri dapat menjelaskan hubungan antara aspek-aspek morfometri dan variabel-variabel hidrologi (Seyhan, 1976). Pendekatan hidromorfometri dapat menjelaskan respon limpasan maupun masukan air ke tanah di dalam suatu sistem DAS sebagai reaksi dari variabel morfometri DAS terhadap masukan hujan. Selain variabel morfometri, variabel fisik permukan lahan lainnya seperti vegetasi, penggunaan lahan, yang membantu dalam analisis hidrologi dapat disadap dari citra pengeinderaan jauh. Untuk data hidrologi lainnya seperti kondisi air tanah yang tidak dapat disadap dari citra pengeinderaan jauh memerlukan data bantu dari informasi lain.

Melalui interpretasi citra pengeinderaan jauh karakteristik wilayah daerah aliran sungai dapat dengan mudah diidentifikasi. Kenampakan-kenampakan yang berkaitan dengan evaluasi medan seperti morfometri, topografi, pola aliran, erosi, vegetasi dan penggunaan lahan berhubungan erat dengan proses hidrologi dapat disadap melalui citra pengeinderaan jauh, sehingga dengan menggunakan data penginderaan jauh, citra pengeinderaan jauh dapat memberikan informasi secara keseluruhan dan mencakup aspek-aspek yang terkait (puguh, 2005).

Interpretasi citra multitingkat sering digunakan dalam studi geologi. Penafsir memulianya dengan melakukan interpretasi citra Landsat dengan skala kecil hingga sedang, Citra skala menengah memungkinkan pengamatan untuk menyeluruh atas tata letak geologi secara regional. Banyak kenampakan geologi penting yag membentang dengan jarak yang luas seperti patahan geologi dapat dipelajari dengan baik dengan mengamati citra satelit (Lillesand Kiefer, 1990). 1.5.1.3Citra Landsat 8

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA AmerikaSerikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan


(17)

seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6,7 dan terakhir adalah Landsat 8 yang diorbitkan tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit

Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa. NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai pengguna data terhitung 30 Mei tersebut. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan landsat versi sebelumnya.

Tabel 1.1 Band Landsat 8

Band Panjang Gelombang (µm) Sensor Resolusi

1 0,43 -.0,45 Visible 30 m

2 0,45 – 0,51 Visible 30 m

3 0,53 – 0,59 Visible 30 m

4 0,64 – 0,67 Near-infrared 30 m

5 0,85 – 0,88 Near-infrared 30 m

6 1,57 – 1,65 SWIR 30 m

7 2,11 – 2,29 SWIR 30 m

8 0,50 – 0,68 Pankromatik 15 m

9 1,36 – 1,38 Cirris 30 m

10 10,6 11,19 TIRS 1 100 m

11 11,5 – 12,51 TIRS 2 100 m

Sumber : Http://www.usgs.gov.2013

Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang


(18)

dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi. II-3 Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7. Berikut merupakan tabel yang menjelaskan karakterisktik band-band yang terdapat pada citra landast 8.

Tabel 1.1 Band Landsat 8

Untuk interpretasi citra Landaat perlu memilih saluran atau pada saluran yang paling sesuai dengan tujuannya. Saluran 4 (hijau) dan 5 (merah)biasanya paling baik untuk mendeteksi kenampakan budaya seperti daerah perkotaan, jalan rincian baru, tempat penambangan batu dan tempat pengambilan krikil. Pada daerah semacam itu biasanya saluran 5 lebih dipiloh karena pada saluran 5 daya tembus atmosferik ang lebih dibandingkan saluran 4 sehingga lebih memberikan kontras citra yang lebih tinggi.

Tabel 1.2 Aplikasi Komposit Landsat Tipe Penutup

Lahan

Kombinasi Saluran Spektral

Perairan Band 1, 5 & 8 / Band 2, 3 & 4

Permukiman Band 2,5 & 8 Pertanian Band 2, 3 & 4 Hutan Band 2, 5 & 8 Garam Band 2, 3 & 4 Vegetasi kering Band 2,5 & 8 Vegetasi teririgasi Band 2, 5 & 8 Sumber : Pengolahan Citra Digital

Di daerah perairan dalam dan jernih, daya tembus air diperoleh dari saluran 4,. Saluran 5 sangat baik untuk menunjukkan aliran air berlumpur atau sedimantasiyang masuk ke air jernih. Saluran 6 dan 7 (inframerah pantulan)


(19)

sangat baik untuk menunjukkan batas tubuh air. Karena tenaga pada panjang gelombang inframerah dekat hanya menembus sedikitmasuk ke dalam air, dimana air menyerapnya dan hanya sedikit memantulkannya permukaan air sangat gelap pada saluran 6 dan 7. Lahan basah yang digenangi air atau lahan organic basah dengan tetumbuhan sedikit yang tumbuh di muka air, juga memilki rona sangat gelap pada saluran 6 dan 7, demikian pula lahan yang di aspaldan tanah gundul yang basah. Saluran 5 dan 7 kombinasi yang paling cocok untuk indentifikasi geologi sebagai bidang tunggal penggunaan Landsat yang baling besar (lillesand Kiefer, 1990).

1.5.1.4Envi 4.8

Saat ini terdapat banyak sekai perangkat lunak pengolahan citra yang beredar di pasaran.Hal ini berbeda jauh dibandingkan kondisi sebelumnya 1990-an, di mana sebagian besar sistem pengolahan citra dijital pengindraan jauh dijalankan pada platform atau sistem operasi untuk computer besar, terutama mainframe. Berkembangnya Computer personal (PC) pada dekade 90-an dan kemudian

laptop pada dekade pertama abad ke-21 telah membuat system pengolahan penginderaan jauh dapat dijangkau oleh siapa saja. hal ini juga tidak lepas dari semakin banyaknya system berbasis open source dan gratis, sehingga kesan kemewahan perangkat lunak pengolahan citra pada decade 80-an menjadi tak tersisa. Di sisi lain, segala kemudahan itu diikuti dengan semakin mudahnya cara operasidan pemrosesan sehingga kalangan awam tanpa pengalaman yang memadai dan latar belakang penginderaan jauh pun dapat mengolah citra dengan memberikan hasil berupa peta-peta turunan, meskipun dari aspek kualitas masih banyak yang perlu dipertanyakan.

Perangkat lunak yang dikhususkan bagi pengolahan citra pengonderaan jauh cukup banyak di pasaran.ENVI (Environment for Visualising Image) adalah salah satu perangkat lunak yang paling popular di tahun 2012-an, dengan kelengkapan fungsi kelengkapan yang sangat baik untuk ukuran system berbasis Microsoft Windows.ENVI diproduksi oleh RSI (Reaserch Systems Institute) Inc. di Amerika


(20)

Serikat dan disajikan secara terintegrasi dengan modul pemrograman IDL (Interactive Data Language).

Gambar 1.4 Tampilan citra pada jendela Envi 4.8

Perangkat lunak ini memiliki kemampuan yang bagus dalam mengelola data berukuran cukup besar, baik dalam hal dimensi (ukuran baris-kolom) citra maupun dalam hal jumlah saluran (hingga hiperspektral).

Fasilitas dasar ENVI yang menonjoladalah kemampuan membaca dan mengonversi data (impor ekspor) penginderaan jauh dalam berbagai format, melakukan pemotongan citra (membuat subimage) baik dalam hal ukuran baris-kolom maupunjumlah saluran dalam berbagai ukuran acuan (peta, citra, maupun pilihan baris-kolom secara bebas). Fasilitas lain adalh mampu melakukan koreksi dan kalibrasi citra, baik secara geometrik maupun secara radiometrik. Kelengkapan koreksi dan kalibrasi radiometric termasuk unggul dibandingkan dengan perengkat lunak lain. Klasifikasi multispectral dan hiperspektral merupakan fasilitas utama yang disajikan oleh ENVI, lengkap dengan menu-menu postclassification processing yang tidak terkait dengan fungsi-fungsi SIG. Visualisasi dan analisis data topografi juga disediakan, dilengkapi dengan modul analisis radar.

ENVI menawarkan fleksibilitas dalam pengolahan citra melalui IDL, dimana pengguna dapat memprogram sendiri modul yang diinginkan, kemudian


(21)

diintegrasikan dengan menu yang ada.model-model dan formula analisis citra dapat dikembangkan dengan pemrograman melalui IDL. Kekurangan utama ENVI adalah kemampuan untuk mengintegrasikan analisis citra spektral dengan data spasial lain. Di samping itu, fasilitas presentasi kartografis hasil analisis citra khususnya hasil klasifikasi masih sangat terbatas.

Gambar 1.5 berikut tampilan Envi EX yang digunakan untuk klasifikasi terselia. Envi EX merupakan tools yang terdapat dalam Envi 4.8 dan telah terintegrasi dengan Arctoolbox (ArcGIS).

Gambar 1.5 Tampilan awal Envi EX

Envi EX merupakan menu baru dalam perangkat ENVI untuk pengolahan citra dan produk analisis perangkat lunak. ENVI EX sebagai tools baru dalam pemrosesan citra digital memungkinkan untuk melihat hasil pengolahan citra penginderaan jauh dengan cepat maupun manipulasi gambar, vektor, dan attributnya. Tampilan antar muka yang dimiliki Envi Ex menyediakan akses cepat ke perangkat tools umum seperti kontras, kecerahan, pertajam, dan transparansi warna pada citra. Manajer Data dan Manager Layernya dapat bekerja dengan beberapa lapisan data pada satu waktu dan dalam satu jendela, menggunakan beberapa dataset, dan " punch through" layer untuk melihat dan bekerja dengan satu layer atau layer lain di jendela yang sama. Selain itu, ENVI EX dapa melakukan reproject dan resample gambar dan vektorisasi on-the-fly. ENVI EX mampu bekerja dengan baik pada layer dan fitur dari ESRI dan memungkinkan untuk membuat presentasi peta profesional secara terintegrasi dengan ArcMap.Untuk klasifikasi multispectral dapat menerapkan parameter spasial,


(22)

spektral dan tekstur secara bersama-sama. Metode inilah yang kemudian disebut Klasifikasi Berbasis Objek. Input Klasifikasi membutuhkan minimal dua band. Jenis Iput yang compatible adalah ENVI, TIFF, NITF, JPEG 2000, JPEG, Erdas image, ESRI raster, dan raster geodatabase. Klasifikasi terbimbing dan tidak terbimbing dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan mulus.Supervised Classification menjadi lebih mudah dengan adanya feature extraction/image segmentation dari ENVI EX. Metode feature extraction pertama kali dikembangkan pada software-software desain grafis untuk "menjiplak" fitur/objek yang terlihat pada gambar, dan saat ini ENVI dan sudah menerapkan metode ini untuk meng-extract informasi-informasi yang terdapat pada citra satelit. Bahkan ENVI EX telah menggabungkannya (feature extraction) dengan K-nearest neighborhood method untuk melakukan supervised classification secara langsung. Feature extraction sangat membantu dalam pekerjaan klasifikasi Tutupan Lahan menggunakan citra satelit, karena metode ini (sekali lagi) dapat mengidentifikasi kelas Tutupan Lahan bukan hanya secara pixel-based, namun juga memperhitungkan komponen lain dalam interpretasi, seperti bentuk dan texture dari fitur/objek yang nampak pada citra tersebut. Tingkat ketelitian dan kedetailan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Data-data lain seperti elevation, slope, ataupun NDVI dapat ditambahkan sebagai data pendukung dalam proses feature extraction tersebut.

1.5.1.5Interpretasi Multi Spektral dan Interpretasi Berbasis Objek

Identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan melakukan interpretasi citra satelit.Melalui sensor yang dimilikinya, menggunakan gelombang elektromagnetik, citra satelit merekam fenomena permukaan bumi secara berkala.Perekaman ini memanfatkan perbedaan selang spektral yang dipantulkan.Beragam citra satelit yang tersedia saat ini; optik maupun radar, dengan berbagai tingkatan resolusi spasial. Citra satelit dapat diinterpretasi melalui beberapa cara: [a] interpretasi manual (manual interpretation), dan [b] interpretasi digital (digital interpretation). Interpretasi manual dilakukan secara visual menggunakan meja digitasi (digitation tablet) ataupun digitasi on screen


(23)

(on screen digitation), sementara interpretasi digital dilakukan menggunakan sistem yang terkomputerisasi berdasarkan dengan atau tanpa menggunakan sample atau alghorithma yang telah pengguna tetapkan.

Terkait dengan interpretasi digital, ada dua kelompok ektraksi data: [a] berbasis piksel, dan [b] berbasis objek (object oriented classification). Interpretasi berbasis piksel meliputi klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (un-supervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah metode klasifikasi berdasarkan sample yang telah ditentukan olah pengguna, sementara klasifikasi tidak terbimbing akan memberikan keleluasaan kepada komputer untuk mengklasifikasikan kelas yang junlahnya telah pengguna tentukan untuk kemudian hasilnya didefinisikan selanjutnya berdasarkan atribut kelas yang telah ditentukan.

Klasifikasi berbasis piksel merupakan metode klasifikasi klasik yang mengolah spektral menjadi informasi pada setiap piksel. Secara normal perbedaan fisik pada permukaan bumi akan memiliki informasi spektral yang khusus. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan ketika objek memiliki informasi spektral yang sama (Gao Yan, 2003 dalam Ibrahim 2014). Klasifikasi berbasis objek (object oriented classifictaion) adalah interpretasi citra yang menggabungkan informasi spektral dan informasi spasial.Pendekatan ini membuat segmentasi piksel menjadi objek sesuai dengan rona dan mengklasifikasikannya sebagai gambar secara keseluruhan.Klasifikasi berbasis pixel menggunakan nilai spektral, sementara klaisfikasi berbasis objekjuga menggunakan informasi tekstur dan konteks dalam menentukan segmen kelas objeknya.

Beda utama antara klasifikasi tak terselia dengan klasifikasi terselia ialah bahwa pada klasifikasi terselia tidak digunakan daerah contoh. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaan cara kerjanya. Pada klasifikasi terselia mula-mula disiapkan daerah contoh.Jadi telah diketahui terlebih dahulu (sebelum klasifikasi) kelas objeknya (dari peta, fotoatau lapangan) dan diketahui pula nilai pikselnya untuk tiap objek itu (dari data digital).Jadi, klasifikasi yang dilakukan berupa pengelompokan yang dilakukan berupa pengelompokan piksel-piksel diluar daerah contoh itu termasuk kelompok mana.Yang terjadi pada klasifikasi tak terselia adalah sebaliknya.Pekerjaan dimulai dari pengelompokan tiap piksel


(24)

berdasarkan nilai spektralnya.Baru kemudian mengenali tiap kelompok tersebut mewakili kelas objek tertentu.

Danoedoro (2012) menyebutkan bahwa dalam bekerja dengan data spasial digital, para pengguna peta biasanya tidak bicara secara langsung menyebutkan tentang skala.Dalam “bahasa” peta-peta analog, para geograf, perencana dan surveyor pemetaan biasanya menggunakan istilah skala, yaitu konsep yang menyatakan perbandingan antara ukuran yang tersaji pada peta dengan ukuran yang ada di lapangan.

Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang bekerja didunia penginderaan jauh berbasisi digital, terdapat istilah yang dinamakan Resolusi.

Resolusi (yang disebut juga resolving power = daya pisah, (Danoedoro,2012) adalah kemampuan suatu system optic-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral memiliki kemiripan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro 2012). Pengertian ini akhirnya berkembang dengan menambhankan aspek waktu (temporal) di dalamnya.Dalam konsep penginderaan jauh terdapat empat aspek resolusi yang sangat penting, yaitu

resolisu spasial, resolusi spektral, resolusi radiometric dan resolusi temporal.

Danoedoro (2012) menyebutkan dalam praktik pengolahan citra, resolusi layar juga memegang peranana penting.

a. Resolusi Spasial

Pengertian praktis resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh suatu system pencitraan. Semakin kecil ukuran objek (terkecil) yang dapat dideteksi, semakin halus atau semakin tinggi resolusi spasialnya.Begitu pula sebaliknya, semakin kasar ataui semakin rendah resolusinya. Citra satelit SPOT yang beresolusi 10 dan 20 meter dapat disebut berresolusi (lebih) tinggi dibandingkan dengan citra satelit Landsat TM yang berresolusi 30 meter.

Secara umum sering dikatakan pula bahwa denga ukuran resolusi ini objek yang lebih kecil dari resolusi tersebut (misalnya 79 meter) tidak dapat dikenali atau dipresentasikan sebagai objek itu sendiri secara individual. Walaupun demikian, dalam praktiknya dijumpai bahwa objek dengan resolusi kurang dari 1


(25)

piksel (missal lebar 10 meter dibandingkan dengan resolusi spasial 30 meter) namun berbentuk memanjang, misalnya jalan, masih dapat dibedakan dengan objek disekitarnya. Objek yang berukuran kirang dari resolusi spasialnya tersebut akan tercatat sebagai satu sel penyusun citra (pixel = picture element, elemen gambar) yang sebenarnya memuat bebeapa objek. Piksel semacam ini disebut

mixed-pixel (mixel atau miksel) (Kannegieter, 1987 dalam Danoedoro 2012). Piksel diperlawankan dengan piksel murni (pure pixel) yang memuat satu informasi jenis objek saja.objek berupa liputan padang rumput yang luas pada citra berresolusi 20 meter mempunyai kemungkinan untuk menyajikan sejumlah besar piksel murni. Semakin kasar resolusinya, semakin besar kemungkinan suatu citra untuk menyajikan banyak piksel mixel.

Gambar 1.6 Perbandingan resolusi spasial (Danoedoro, 2012) b. Resolusi Spektral

Resolusi spektral merupakan kemampuan system optic elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau panacaran spektralnya.Danoedoro (2012) menjelaskan secara praktis mengenai resolusi spektral bahwa semakin banyak jumlah salurannya dan (dan masing-masing cukup sempit), semakin tinggi kemungkinannya membedakan objek berdasarkan respopn spektralnya. Dengan kata lain, semakin sempit spektral panjang gelombangnya dan atu semakin banyak jumlah salurannya, semakin tinggi pula resolusi spektralnya.


(26)

c. Resolusi Radiometrik

Kemampuan sensor dalam mencatat respon spektral objek dinamakn sebagai resolusi radiometric. Respon berupa radiasi spektral yang dinyatakan dalam satuan mW cm-2sr1µm-1atauWm-2sr1µm-1datang mencapai sensor yang intensitasnya bervariasi.Sensor yang peka dapat memebedakan selisih respon yang paling lemah sekalipun.Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding (digital coding), yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital.Kemampuan ini dinyatakan dalambit.

System coding 4 bit akan mengubah intensitas pantulan atau pancaran menjadi 24 = 16 tingkat, yang terlemah diberi kode 0, dan yang tertinggi dengan kode 15. Bagi sensor dengan kemampuan 8 bit, sinyal dengan julat intensitas yang sama akan diubah menjadi citra dengan 28 = 256 tingkat kecerahan. Artinya sinyal terlemah memiliki kode 0 sedangkan sinyal tertinggi memiliki kode 255.Sinyal terlemah Nampak hitam pada citra sedangkan sinyal terkuat tampak putih.

d. Resolusi Temporal

Resolusi temporal adalah kemampuan suatu system untuk merekam ulang daerah yang sama. Satuan temporal adalah jam atau hari. Satelit GMS dapat merekam daerah yang sama setiap 2 hari sekali. Satelit Landsat MMS dan TM setiap 18 hari sekali untuk generasi, dan 16 hari sekali untuk generasi2. Satelit SPOT mampu merekam ulang setiap 26 hari sekali pada system operasi normal, tetapi dapat pula beberapa hari berturut-turut dengan mekanisme perekaman menyamping (Brachet, 1984 dalam Danoedoro 2012).

e. Resolusi Layar

Data digital yang tersimpan sebagai byte map dalam media magnetic masih perlu ditampilkan pada layar monitor untuk dianalisis secara interakltife. Di sisnilah masalah kualitas perangkat6 memegang peranan penting : kapasitas penyimpan data, kecepatan pengolahan, dan juga kualitas monitor dalam menyajikan citra dalam layar. Kualoitas monitor paling tidak ditentukan oleh dua parameter; a. tingkat bit, b. resolusi layar. Tingkat bit secara langsung berkaitan dengan kemampuan menyajikan warna atau tingkat kecerahan (grey scale).


(27)

Monitor 8 bit mampu menampilkan 256 warna atau tingkat kecerahan, sementara monitor 24 bit mampu menampilkan 224 warna atau sekitra 16,677 juta warna.

Resolusi layar adalah kemampuan layar monitor dalam menyajikan kenampakan on=bjek pada citra secara lebih halus. Semakin tinggi resolusi layar semakin tinggi kemampuan untuk menyajikan gambar dengan butir-butir piksel yang halus. Dengan kata lain, semakin banyak pula jumlah sel citra (piksel) yang dapat dtampilkan pada layar. Biasanya ukuran piksel layar (sering disebut sebagai dot pitch) sebesar 0,26 milimeter sudah dapat dikatakan memadai untuk setudi penginderaan jauh. Kemampuan layar monitor ini dikendalikan oleh graphic card

yang dipasang pada CPU. Denga graphic card yang berbeda, kadang-kadang suatu layar monitor dapat diemulsikan menjadi layar monitor resolusi menengah.

Danoedoro (2012) menyebutkan klasifikasi berbasisi objek merupakan alternative ketika klasifikasi yang bertumpu pada nilai spektral semata dirasa tidak mampu mendefinisikan objek-objek spasial dan ketika klsifikasi yang melibatkan data nir-spektral dalam bentuk integrasi dengan SIG dirasa kurang menunjukkan tingkat otomatisasi yang tinggi. Klasifikasi berbasis objek mendefinisikan kelas-kelas objek berdasarakan aspek spektral dan aspek spasial sekaligus. Metode ini dipandang mampu mengatasi kelemahan metode klasifikasi yang selama ini terlalu bersifat per-pixel atau beroperasi pada level piksel secara individual. Disisi lain disadari bahwa objek geografis saat ini dibedakan satu sama lain bukan semata bukan semata berdasarkan aspek spektralnya, melainkan juga aspek spasialnya, misalnya bentuk, pola dan teksturnya. Navulur (2007, dalam Danoedoro 2012) menyebutkan metode klasifikasi berorientasi objek ini sebagai paradigma baru dalam klasifikasi citra.

Salah satu metode klasifikasi berbasisi objek yang berhasil diterapkan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah per-field classification (Aplin et al., 2001, dalam Danoedoro 2012), yang menuntut ketersediaan data vector untuk batas-batas objek utama, seperti misalnya petak-petak lahan pertanian atau zonasi penggunaan lahan secara umum. Metode lainnya adalah segmentasi citra (baats dan Schappe, 2000, dalam Danoedoro 2012), yang pada dasarnya merupakan proses klasifikasi tak-terselia untuk mendefinisikan objek berdasarkan


(28)

kenampakan tekstural atau pola spasial, dan masih memerlukan pemrosesan lanjut untuk menurunkan klas-klas informasional terkait dengan penutup/penggunaan lahan.

Danoedoro (2012) menjelaskan bahwa deteksi batas yang menggunakan asumsi dua piksel yang berdekatan dengan nilai yang besar mewakili dua segmen yang berbeda. Dengan demikian, suatu tepi atau batas dapat ditarik diantara keduanya.Piksel-piksel tepi, dengan demikian dapat digabung dengan segmentasi-segmentasi yang serupa. Prosedur ini dapat diterapkan dengan filter gradient berbasis variasi local, Sobel, atau filter lain yang lebih rumit. Dalam konteks penurunan informasi penutup dan penggunaan lahan, metode ini dapat dimanfaatkan untuk pembedaan tipe-tipe penutup lahan dan juga penggunaan lahan dari sisi pola spasial dan teksuralnya.Upaya penurunan informasi terkait dengan dimensi spasial penggunaan lahan menunjukkan bahwa segmentasi citra hanya mampu memberikan akurasi yang relative rendah, yaitu sekitar 68% (Danoedoro, 2006).

1.5.1.6Sistem Informasi Geografis

SIG mulai dikenal pada awal 1980-an. Sejalan dengan berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, SIG berkembang sangat pesat pada era 1990-an.

"Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis." (ESRI,1990)

Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola, dan


(29)

pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.

Pada pemanfaatannya data spasial yang diolah dengan menggunakan komputer (data spasial digital) menggunakan model sebagai pendekatannya.

Economic and Social Comminssion for Asia and the Pasific (1996), mendefinisikan model data sebagai suatu set logika atau aturan dan karakteristik dari suatu data spasial. Model data merupakan representasi hubungan antara dunia nyata dengan data spasial.

Model data vektor merupakan model data yang paling banyak digunakan, model ini berbasiskan pada titik (points) dengan nilai koordinat (x,y) untuk membangun obyek spasialnya. Obyek yang dibangun terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu berupa titik (point), garis (line), dan area (polygon).

 Titik (point)

Titik merupakan representasi grafis yang paling sederhana pada suatu obyek. Titik tidak mempunyai dimensi tetapi dapat ditampilkan dalam bentuk simbol baik pada peta maupun dalam layar monitor. Contoh : Lokasi Fasilitasi Kesehatan, Lokasi Fasilitas Kesehatan, dll.

 Garis (line)

Garis merupakan bentuk linear yang menghubungkan dua atau lebih titik dan merepresentasikan obyek dalam satu dimensi.Contoh : Jalan, Sungai, dll.

 Area (Poligon)

Poligon merupakan representasi obyek dalam dua dimensi.Contoh : Danau, Persil Tanah, dll.


(30)

Gambar 1.7 Contoh representasi data vektor dan atributnya

Gambar 1.8 Kategori model data vektor

Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.8 di atas, model data vektor terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya :

 Topologi, biasa digunakan dalam analisis spasial dalam SIG. Topologi merupakan model data vektor yang menunjukan hubungan spasial diantara obyek spasial. Salah satu contoh adalah bahwa persimpangan diantara dua garis di pertemukan dalam bentuk titik, dan kedua garis tersebut secara explisit dalam atributnya mempunyai informasi sebelah kiri dan sebelah kanan.Topologi sangat berguna pada saat melakukan deteksi kesalahan pada saat proses digitasi. Selain itu berguna pula dalam melakukan proses analisis spasial yang bersifat kompleks dengan melibatkan data spasial yang cukup besar ukuran filenya. Salah satu


(31)

contoh analisis spasial yang dapat dilakukan dalam format topologi adalah proses tumpang tindih (overlay) dan analisis jaringan (network analysis) dalam SIG.

 Non Topologi, merupakan model data yang mempunyai sifat yang lebih cepat dalam menampilkan, dan yang paling penting dapat digunakan secara langsung dalam perangkat lunak (software) SIG yang berbeda-beda. Non-topologi digunakan dalam menampilkan atau memproses data spasial yang sederhana dan tidak terlalu besar ukuran filenya. Sebagai contoh dalam format produk ESRI, yang dimaksud dengan fomat non-topologi adalah dalam bentuk shapefile, sedangkan format dalam bentuk topologi adalah coverage.

Tabel 1.3 Perbandingan struktur data vektor dan raster

Parameter Vektor Raster

Akurasi Akurat dan lebih presisi Sangat bergantung dengan ukuran grid/sel

Atribut Relasi langsung dengan

DBMS (database)

Grid/sel merepresentasikan atribut. Relasi dengan DBMS tidak secara langsung

Kompleksitas Tinggi. Memerlukan

algortima dan proses yang sangat kompleks

Mudah dalam

mengorganisasi dan proses

Output Kualitas tinggi sangat

bergantung dengan plotter/printer dan kartografi

Bergantung terhadap output printer/plotter

Analisis Spasial dan atribut

terintegrasi.

Kompleksitasnya sangat tinggi

Bergantung dengan algortima dan mudah untuk dianalisis

Aplikasi dalam Remote Sensing

Tidak langsung, memerlukan konversi

Langsung, analisis dalam bentuk citra sangat dimungkinkan

Simulasi Kompleks dan sulit Mudah untuk dilakukan

simulasi

Input Digitasi, dan memerlukan

konversi dari scanner

Sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dari hasil konversi dengan menggunakan scan

Sumber : Economic and Social Comminssion for Asia and the Pasific (1996) dan A. Longley, et al. (2001)

Penelitian mengenai lahan biasanya menggunakan satuan analisis dan satuan pemetaan berupa satuan lahan. Menurut FAO, (1977) dalam R.A. van Zuidam and F.I. van Zuidam-Cancelado (1979) satuan lahan adalah satuan bentang alam yang digambarkan serta di petakan atas dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu. Satuan lahan merupakan suatu wilayah yang memiliki kesamaan


(32)

bentuklahan dan timbulan, bahan induk dan penggunaan lahan atau penutup lahan pada saat sekarang. Satuan lahan dapat dibuat dari hasil tumpangsusun peta geologi, peta tanah, peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan. Dengan demikian satuan lahan tersebut akan mencerminkan adanya pengaruh sifat batuan, tanah, relief dan lereng serta penggunaan lahan pada suatu wilayah.

Sistem Informasi Geografis adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, dan menganalisa dan menyebarkan informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi. (Damers dalam Prahasta, 2005). Menurut ESRI (1990) dalam Prahasta (2005), Sistem Informasi Geografis didefinisikan sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.

Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis di dalam SIG yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut, yang termasuk ke dalam fungsi analisis spasial diantaranya adalah overlay dan buffering.

Overlay adalah salah satu dari fungsi analisis spasial yang menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesuai untuk budidaya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi analisis spasial overlay akan dikenakan terhadap ketiga data spasial (dan atribut) tersebut.

Buffering adalah salah satu dari fungsi analisis spasial yang menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon, akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang lebih besar dan konsentris.(Prahasta, 2005)


(33)

Sistem Informasi Geografis dapat diaplikasikan untuk berbagai bidang kajian keilmuan. Prahasta (2005) menyatakan bahwa :

“Banyak sekali aplikasi-aplikasi yang dapat ditangani oleh Sistem Informasi Geografis, salah satunya adalah aplikasi di bidang sumberdaya alam yang meliputi (inventarisasi, manajemen, dan kesesuaian lahan, untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan bencana alam, dan sebagainya)”.

Prahasta (2005) menyatakan bahwa banyak alasan mengapa dalam berbagai kajian keilmuan sering memanfatkan SIG , diantaranya adalah SIG dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa keharusan untuk melakukan interpretasi secara manual (terutama interpretasi secara visual dengan menggunakan mata manusia). SIG dengan mudah dapat menghasilkan peta-peta tematik yang merupakan peta turunan dari peta-peta yang lain dengan hanya memanipulasi atribut-atributnya.

1.5.2 Penelitian Sebelumnya

Sari, Putri Marulia (2013) meneliti tentang Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Mataair di Kabupaten Sleman. Tujuan dari penelitian ini 1) Mengetahui lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman berdasarkan parameter fisik lahan menggunakan citra penginderaan jauh dan memetakan serta menganalisis sebaran mataair menggunakan sistem informasi geografis. 2)Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan di Kabupaten Sleman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan ekstraksi data penginderaan jauh berupa pemanfaatan Citra Aster dan Aster GDEM dan cek lapangan untuk uji akurasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa :

1. Ditemukan empat tipe mataair di Kabupaten Sleman yang dianalisis melaluiparameter fisik lahan berupa kemiringan lereng, pola aliran, bentuklahan, penggunaan lahan dan pola kelurusan, yaitu mataair vulkanik, mataair depresi, mataair kontak, dan mataair rekahan.


(34)

2. Teknik penginderaan jauh menggunakan ASTER VNIR dan ASTER GDEM dapat digunakan untuk mengindentifikasi lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman dengan hasil interpretasi sesuai dengan hasil validasi mataair.

3. Sistem informasi geografis terbukti dapat digunakan untuk analisis spasial sehingga dapat dihasilkan Peta Lokasi Pemunculan Mataair Kabupaten Sleman dan Peta Sebaran Mataair Berdasarkan Debit di Kabupaten Sleman. Aslamia, Maulida (2012) melakukan pengumpulan data kebutuhan air bersih dilakukan dengan teknik wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel penduduk dan sampel air menggunakan metode Random Sampling. Teknik analisis data yaitu dengan membandingkan antara besarnya debit mataair Polaman dan Kali Biru dengan besarnya kebutuhan air bersih seluruh penduduk. Pengukuran debit mataair Polaman dan Kali Biru dengan metode WEIR, apung dan volumetric bermaksud melakukan penelitian terkait Evaluasi Potensi Mataair Polaman dan Kalibaru untuk Suplai Air Bersih Pneduduk I Kecamatan Lawang Bagian Utara Kabupaten Malang. Tujuan yang diharapkan dalam penelitian tersebut adalah untuk :

1. Menganalisis supply kebutuhan air bersih penduduk Kecamatan Lawang bagian Utara.

2. Membandingkan kesesuaian kualitas mataair Polaman dan Kali Biru dengan peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/2010.

3. Mengetahui model pendistibusian air dari sumber mataair Polaman dan Kali Biru supaya seluruh penduduk Kecamatan Lawang bagian Utara terlayani.Penelitian ini merupakan penelitian survey.

Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan debit mataair rata-rata mataair Polaman dan Kali Biru yaitu sebesar 24.558,336 liter/hari. Kebutuhan air bersih suatu penduduk Kecamatan Lawang bagian utara sebesar 944.825,37 liter/hari. Secara kuantitas perbandingan debit mataair dan kebutuhan air bersih yaitu 7:1.Hasil uji laboratorim kualitas air yang disalurakan kepada penduduk


(35)

layak digunakan dengan pengelolahan terlebih dahulu. Perencanaan distribusi air mataair Polaman dan Kali Biru dengan menggunakan sistem pembagian pengaliran untuk penduduk, industri, dan irigasi serta waktu pengaliran air dari PDAM untuk penduduk dari pukul 05.30-23.00.

Ratnasari, Rian (2007) meneliti mengenai potensi yang ada di mataair Mungup II untuk kebutuhan irigasi dan konsumsi Air Minum. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk, Pertama, Mengetahui jumlah air yangtersedia untuk irigasi dari Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit. Kedua, Mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk irigasi daerah oncoran MataairMungup II di Kecamatan Sawit, Serta Ketiga, Mengetahui imbangan air dari Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit. Penelitian pemanfaatan mataair ini menggunakan metode penelitiandeskriptif. Dalam penelitian ini peneliti berusaha memecahkan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian saat sekarang berdasarkan faktafakta yang tampak sebagaimana adanya dengan perhitungan. Berdasarkan hal tersebut bentuk penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif. Berdasarkan penelitian tersebut menghasilkan keluaran sebagai berikut :

1. Jumlah air yang dibutuhkan untuk irigasi daerah oncoran Mataair Mungup II pada saat penelitian di Kecamatan Sawit selama musim kemarau adalah sebesar 6.102.627 m3/musim kemarau.

2. Jumlah air yang tersedia untuk irigasi dari Mataair Mungup II pada saat penelitian di Kecamatan Sawit selama musim kemarau adalah sebesar 2.747.520 m3/musim kemarau.

3. Imbangan air dari Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit mengalami defisit air karena areal pertanian kebanyakan ditanami dengan tanaman yang membutuhkan banyak air selama masa pertumbuhannya. Dari 10 blok irigasi yang menjadi daerah oncoran Mataair Mungup II, terdapat 8 blok irigasi mengalami defisit air yaitu sebesar 3.355.107 m3/musim kemarau dan 2 blok irigasi mengalami surplus air yaitu sebesar 722.133,50 m3/musim kemarau. Surplus air yang terjadi pada kedua blok irigasi tersebut selain karena ditanami


(36)

dengan tanaman yang membutuhkan sedikit air juga mempunyai luas areal yang relatif sempit serta jumlah pasokan air yang besar.

Santosa, Langgeng Wahyu (2006) dalam kajian Hidrogeomorfologi Mataair di Sebagian Lereng Barat Gunungapi Lawu menemukan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di wilayah lereng Gunungapi Merapi bagian selatan terbagi menjadi 3 (tiga) satuan pemunculan mataair, yaitu satuan mataair pada volcanic slope, satuan mataair volcanic foot, dan satuan mataair volcanic foot plain.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan pola agihan mataair pada setiap morfologi di sebagian lereng Barat Gunungapi Lawu. Analisis spasial berupa peta yang menjelaskan pola sebaran mataair pada berbagai morfologi lereng; sedangkan analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan pola agihan mataair kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi debit dan persebaran mataair di daerah penelitian. Klasifikasi mataair didasarkan atas sifat aliran, debit aliran, dan temperature mengambil teori dalam Tolman, 1937; Meinzer, 1923 dalam Todd,1980.

Perbandingan penelitian yang diuraikan diatas berkaitan dengan tujuan, metode dan hasil yang diperoleh dalam penelitian-penelitian kajian mataair, dapat dilihat dalam Table 1.4


(37)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil 1. Putri

Marulia Sari, UGM (2013) Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Mataair di Kabupaten Sleman

1. Mengetahui lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman berdasarkan parameter fisik lahan menggunakan citra penginderaan jauh dan memetakan serta menganalisis sebaran mataair menggunakan sistem informasi geografis. 2. Mengkaji kemampuan

citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam

mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan di Kabupaten Sleman.

Secara garis besar, perolehan data

dilakuan menggunakan ekstraksi data

penginderaan jauh dan cek lapangan.

4. Ditemukan empat tipe mataair di Kabupaten Sleman yang dianalisis melaluiparameter fisik lahan berupa kemiringan lereng, pola aliran,

bentuklahan, penggunaan lahan dan pola kelurusan, yaitu mataair vulkanik, mataair depresi, mataair kontak, dan mataair rekahan.

5. Teknik penginderaan jauh menggunakan ASTER VNIR dan ASTER GDEM dapat digunakan untuk

mengindentifikasi lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman dengan hasil


(38)

dengan hasil validasi mataair.

6. Sistem informasi geografis terbukti dapat digunakan untuk analisis spasial sehingga dapat dihasilkan Peta Lokasi Pemunculan Mataair Kabupaten Sleman dan Peta Sebaran Mataair Berdasarkan Debit di Kabupaten Sleman. 2. Rian

Ratnasari, UNS (2007)

Potensi Mataair Mungup II untuk Kebutuhan Air Irigasi di

Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali

1. Mengetahui jumlah air yangtersedia untuk irigasi dari Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit.

2. Mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk irigasi daerah oncoran MataairMungup II di Kecamatan Sawit.

3. Mengetahui imbangan air dari Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha memecahkan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian saat sekarang berdasarkan faktafakta yang tampak sebagaimana adanya dengan perhitungan.

4. Jumlah air yang dibutuhkan untuk irigasi daerah oncoran Mataair Mungup II pada saat penelitian di Kecamatan Sawit selama musim kemarau adalah sebesar 6.102.627 m3/musim kemarau. 5. Jumlah air yang


(39)

tersebut

bentuk penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif.

dari Mataair Mungup II pada saat

penelitian di Kecamatan Sawit selama musim kemarau adalah sebesar 2.747.520 m3/musim kemarau. 6. Imbangan air dari

Mataair Mungup II di Kecamatan Sawit mengalami defisit air karena areal

pertanian

kebanyakan ditanami dengan tanaman yang membutuhkan banyak air selama masa

pertumbuhannya. Dari 10 blok irigasi yang menjadi daerah oncoran Mataair Mungup II, terdapat 8 blok irigasi


(40)

3.355.107 m3/musim kemarau dan 2 blok irigasi mengalami surplus air yaitu sebesar 722.133,50 m3/musim kemarau. Surplus air yang terjadi pada kedua blok irigasi tersebut selain karena ditanami dengan tanaman yang

membutuhkan sedikit air juga mempunyai luas areal yang relatif sempit serta jumlah pasokan air yang besar.

3. Maulida Aslamia,

UNM (2012)

Evaluasi Potensi Mataair Polaman dan Kalibaru untuk Suplai Air Bersih Pneduduk I

Kecamatan Lawang Bagian Utara Kabupaten Malang

4. Menganalisis supply

kebutuhan air bersih penduduk Kecamatan Lawang bagian Utara. 5. Membandingkan

kesesuaian kualitas mataair Polaman dan Kali Biru dengan peraturan

Pengumpulan data kebutuhan air bersih dilakukan dengan teknik wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel penduduk dan sampel

1. Debit mataair rata-rata mataair Polaman dan Kali Biru yaitu sebesar 24.558,336 liter/hari. Kebutuhan air bersih suatu penduduk Kecamatan


(41)

492/MENKES/PER/2010. 6. Mengetahui model

pendistibusian air dari sumber mataair Polaman dan Kali Biru supaya seluruh penduduk

Kecamatan Lawang bagian Utara terlayani.Penelitian ini merupakan penelitian survey.

metode Random Sampling. Teknik analisis data yaitu dengan

membandingkan antara besarnya debit mataair Polaman dan Kali Biru dengan besarnya kebutuhan air bersih seluruh penduduk. Pengukuran debit mataair Polaman dan Kali Biru dengan metode WEIR, apung dan volumetric sebesar 944.825,37 liter/hari. Secara kuantitas perbandingan debit mataair dan

kebutuhan air bersih yaitu 7:1.Hasil uji laboratorim kualitas air yang disalurakan kepada penduduk layak digunakan dengan pengelolahan terlebih dahulu. Perencanaan

distribusi air mataair Polaman dan Kali Biru dengan

menggunakan sistem pembagian pengaliran untuk penduduk, industri, dan irigasi serta waktu

pengaliran air dari PDAM untuk

penduduk dari pukul 05.30-23.00.


(42)

Wahyu Santosa, UGM (2006)

Hidrogeomorfologi Mataair di Sebagian Lereng Barat Gunungapi Lawu

dan pola agihan mataair pada setiap morfologi di sebagian lereng Barat Gunungapi Lawu

peta yang menjelaskan pola sebaran mataair pada berbagai morfologi lereng; sedangkan analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan pola agihan mataair kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi debit dan persebaran mataair di daerah penelitian. Klasifikasi mataair didasarkan atas sifat aliran, debit aliran, dan temperature

mengambil teori dalam Tolman, 1937; Meinzer, 1923 dalam Todd,1980.

Merapi bagian selatan terbagi menjadi 3 (tiga) satuan pemunculan mataair, yaitu satuan mataair pada

volcanic slope, satuan mataair volcanic foot, dan satuan mataair volcanic foot plain


(43)

1.6 Kerangka Penelitian

Penelitinan didasarkan pada karakteristik fisik bentuk lahan vulkanik dalam identifikasi potensi pemunculan dan karateristik mataair. Wilayah yang berada dalam control vulkanaik berpengaruh besar dalam pemunculan mataair akibat geologi khas berupa sabuk mataair yang merupakan hasil pengulangan erupsi gunungapi. Pendekatan melalui karakteristik fisik wilayah akan dapat menunjukkan karakteristik dan pola agihan mataair dengan memperhatikan asal proses dan dinamika yang terjadi atau morfoaransemen, struktur geologi dan morfologi serta jenis dan kondisi litologi adalah penciri katakteritik mataair.

Kerangka berpikir tersebut dimanifestasikan dalam penelitian melalui pendektan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis. Parameter fisik sebagai identitas dari karaketristik kekekhasan mataair diperoleh dari interpretasi citra penginderaan jauh dengan data citra Landsat 8 yang kemudian diturunkan menjadi peta peta fisik lahan, dintaranya : Peta Penggunan Lahan, Peta Bentuk Lahan, serta Peta Lereng yang diperoleh dari data SRTM.

Citra landsat dengan resolusi 30 meter dianggap telah cukup dalam peneltiaian dengan cakupan sebagian kabupaten banyumas. Multi band yang dimiliki citra landsat 8 mampu membuat komposit yang dapat digunakan untuk ekstraksi informasi penggunaan lahan dan Litologi. Parametr fisik yang telah didapatkan dari interpretasi penginderaan jauh tersebut kemudian dianalsisi secara spasial dengan metode Overlay. Sistem Informasi Geografis kemudian mengambil peran dala m penelitian ini, analsisi spasial dialakkan untuk medapatakan satuan lahan turunan dari parametrr fisik lahan. Sesuai dengan faktor fackor geomorfologi, akn diperoleh lokasi ang berpotensi atau yang diindikasikan akan memunculkan mataair. Khusus terhadap parameter fisik berupa penggunaan lahan dilakukan uji akurasi interpretasi menggunakan metode confusion matrix sebagai penilaian ketelitian interpretasi. Hasil analsisi spasial dari tumpang susun parameter fisik akan menghasilkan peta tentative agihan pemunculan mataair. Peta ini sebagai dasar sampling menggunakan metode Stratified Purposive Sampling untuk identifikasi karakteristik mataair, kecocokan survey lapangan dan


(44)

interpretasi citra menghasilkan peta akhir berupa Peta Agihan Mataair Lereng Selatan Gunungapi Slamet berdsarkan Karaktersitik Fisik.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, teknik, alat dan bahan serta desain penelitian untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi potensi pemunculan mataair menggenukana pendekatan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi.

Metode penelitian yang digunakan dalam survei yang didukung dengan data citra penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi. Data primer yang dianalisis berikut akan disebutkan pada alat dan bahan. Data data tersebut merupakan data yang diolah di atas meja kerja untuk mendapatkan hasil sementara dari penelitian ini. Hasil pengolahan tersebut belum dapat menjawab tujuan dari penelitian ini, hanya sampai pada hasil sementara. Tahap selanjutnya adalah observasi lapangan untuk mendapatkan data pelengkap untuk menguji hasil sementara yang didapatkan dari analsisi data primer. Hasil uji menggunakan cek lapangan ini akan mendapatkan hasil akhir penelitian dan menghasilkan simpulan dari penelitian paripurna.

1.7.1 Pemilihan Daerah Penelitian

Daerah kajian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kabupaten Banyumas sebagai wilayah yang berada di lereng gunung Slamet, wilayah ini masih dikontrol oleh aktivitas vulkanik sehingga memiliki potensi sumber mataair vulkanik yang berada di dalam jebakan jebakan akuifer vulkanik.

1.7.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan adalah perangkat, baik peranvkat keras dan perangkat lunak (piranti lunak) yang digunakan dalam penelitian ini untuk membantu mencapai hasil penelitian, diantara alat dan bahan yang digunakan diantaranya: 1. Seperangkat Komputer dengan spesifikasi sebagai berikut :

a. Procesor : Intel® Core™ i3 CPU M 370 @ 240GHz b. Installed memory (RAM) : 4.00 GB


(1)

peta-peta parameter fisik lahan; peta lereng, peta penutup lahan, peta bentuklahan, peta geologi.

Tumpang susun terhadap parameter fisik lahan diatas akan mendapatkan satu satuan lahan dengan kondisi yang memiliki potensi munculnya mataair. Tumpang susun yang dilakukan bukan berdasarkan bobot dan skoring seperti pada tumpang susun kuantitatif sehingga menghasilkan satuan lahan yang bertingkat. Sedangkan tumpang susun pada penelitian ini bersifat kualitatif, artinga pada satuan lahan yang diperoleh hanya akan mendapatkan kondisi potensi dan kondisi tidak berpotensi.

Sebagai ilustrasi, tumpang susun yang dilakukan untuk model longsor lahan dimana peta lereng menjadi parameter penentu, ketika kondisi lereng 0% (Datar) maka skor potensi longsor lahan akan rendah bahkan bernilai nol. Ketika kondisi lereng curam (45%) maka skor potensi longsor lahan akan sangat tinggi sedangkan ketika kondisi lereng landai akan mendapatkan skor menengah. Berbeda pada tumpang susun potensi munculnya mataair ini, parameter utama adalah struktur geologi yang berskala nominal. Walaupun terdapat parameter lereng yang disertakan dan dapat disebut sebagai data berskala interval, akan tetapi kondisi geologi tidak mendukung maka zona tersebut tidak memiliki potensi munculnya mataair.

Melalui tumpung susun parameter fisik lahan akan didapatkan satuan lahan terpilih indikasi pemunculan mataair, indikasi fenomena pemunculan mataair tersebut diantaranya :

1. Adanya gradient atau kemiringan lereng yang menyababkan aliran air tanah terpotong oleh perubahan kemiringan lereng

2. Ditemukan struktur geoologi berupa bentuk bentuk kelurusan yang menuunjukkan rekahan, kekar, sesar yang secara morfologis yang merupakan bagian lembah perbukitan yang berkembang.

3. Perubhaan bentuk lahan yang diikuti oleh perbedaan batuan penyusun sehingga terjadi kontak antara lapisan batuan kedap air dengan lapisan batuan yang meloloskan air.


(2)

4. Ditemukan sabuk mataair yang dapat diidentifikasi dari pola kelurusan berupa perubahan penggunaan lahan dari lahan basah ke lahan kering, permukiman dengan sawah, atau penggunaan lahan lain ; perubahan gradient lereng berupa break of slpoe atau pada ujung ujung sungai (Sari,P.M. 2013).

D. Uji Akurasi Interpretasi

Danoedoro (2012) menjelaskan secara statistik terdapat dua metode uji akurasi.Meode pertama mengandalakn data sampel yang telah diambil sebagai sumber referensi penilaian akurasi, sementara metode yang kedua mengandalkan sumber data yang indepeden, yang tidak pernah digunakan dalam pengambilan sampel.Dalam kaniaj penginderaan jauh, metode pertama tidak pernah direkomendasikan karena metode ini hanya digunakan dalam uji coba algoritma klasifikasi oelh para pengembang perangkat lunak.Metode kedua lebih sesuai untuk studi penginderaan jauh.

Merujuk pada Mather (2004 dalam Danoedoro 2012), metode yang pertama adalah sebagai berikut, dengan menggunakan data pada table berikut:

Tabel 1.9 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan piksel sampel (Danoedoro, 2012)

Data Acuan (diambil kembali dari

sampel) Total

Baris

A B C D E

H as il K la si fi ka

si A B 85 0 58 3 2 1 13 6 4 1 107 66

C 1 1 80 9 9 100

D 1 0 4 35 0 40

E 0 2 0 2 121 125

Total

Kolom 87 64 87 65 135 438

a. Operator “mengambil kembali” piksel-piksel yang telah dipilih sebagai

sampel dengan label 1,2,3…n, dimana n adalah jumlah sampel atau kelas yang

telah ditentukan. Masing-masing sampel label ini n=berisi jumlah piksel dengan variasi nilai piksel tertentu. Yang memberikan satu himpunan parameter statistic (rerata, simpangan baku, variansi kovariasi, dan sebagainya)

b. Gugus-gugus piksel yang sama, tetapi sebagai hasil proses klasifikasi, pun diambil. Piksel-piksel ini, sekalipun dalam posisi koordinat yang sama persisi


(3)

dengan langkah (a), biasanya mengandung komposisi label yang berbeda, sebagai hasil penuruanan informasi secara statistic.

c. Kedua himpunan label itu kemudian disusun dalam bentuk matriks yang disebut matriks kesalahan (error matrix, atau confusion matrix), seperti yang disajikan pada Tabel, dimana himpunan pada langkah (a) disebut sebagai Label Data Acuan atau Label Data Lapangan, dan himpunan pada langkah (b) disebut sebagai Label Hasil Klasifikasi. Akurasi keseluruhan hasil klasifikasi dapat dihitung dengan metode pada Tabel ini, yang dinyatakan dalam persentase.

Dari Tabel diatas, akurasi secara sederhana dihitung sebagai jumlah total piksel yang benar (85+64+87+65+135=379) dibagi total jumlah piksel yang terlibat (438), dikalikan 100% atau sama dengan 86,53%.

Seperti yang dijelaskan oleh Mather dalam Danoedoro (2012), bahwa pengujian semacam ini meragukan karena secara ogis tidaklah mungkin menerapkan pengambilan sampel dan pengujian berdasarkan himpunan data (dalam hal ini gugus-gugus piksel) yang sama. Dengan kata lain, suatu himpunan data yang independen (independent data set) dibutuhkan untuk maksud tersebut.

Metode kedua dari metode pengujian akurasi klasifikasi telah dijelaskan dengan bai oleh short (1982) dalam Danoedoro (2012). Berbeda halnya dengan metode pertama, metode yang dijelaskan Short ini menggunakan himpunan data yang independen sehingga secara logis lebih dapat diterima kebenarannya, sebagai himpunan data independen, foto udara daerah yang sama ataupun peta yang sudah ada dapat digunakan. Kemudian, peta hasil klasifikasi multispectral (dalam bentuk transparansi) itupun ditumpangsusunkan diatas rujukan; dan pembandingan dilakukan piksel demi piksel. Di sini perhitungan akurasi tersebut mempertimbangkan dua sisi: sisi penghasil peta (producer’s accuracy) dan sisi pengguna peta (user’s accuracy).


(4)

Tabel berikut memberikikan ilustrasi perhitungan akuras berdasarkan data lapangan dengan data acuan.

Tabel 1.10 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan data independen (Danoedoro, 2012)

Data Acuan (diambil dari data

independen) Total

Baris

A B C D E

H

as

il

K

la

si

fi

ka

si A 70 5 0 13 0 88

B 3 55 0 0 0 58

C 0 0 99 9 9 117

D 0 0 4 37 0 41

E 0 0 0 0 121 121

Total

Kolom 73 60 103 59 130 425

Berdasrakan Tabel 2.1.8 di atas besarnya akurasi keseluruhan (total) dapat dihitung, yang merupakan hasil bagi antara piksel-piksel yang terklasifikasi secara tepat (pada posisi diagonal, A sampai dengan E) dengan jumlah total piksel yang terlibat sebanyak 425. Berdasarkan ilustrasi tabel di atas maka akurasi keseluruhan = 382/425 atau sama dengan 89,88%.


(5)

(6)

1.8 Batasan Operasional Siklus Hidrologi

Proses transportasi air secara kontinyu dari laut ke atmosfer dan dari atmosfer ke permukaan tanah yang akhirnya kembali lagi ke laut (Hadisusanto, 2011).

Mataair

Mataair (spring) adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di permukaan tanah sebagai arus dari aliran air (Todd, 1980)

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui sebuah analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Keifer, 1990).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Kumpulan yang terorganisir dari perangkat lunak komputer, perangkat keras, data geografi, dan personel yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk yang bereferensi geografis (ESRI, 1990).

Kelurusan (Lineament)

Bentukan linear yang mungkin merepresentasikan kenampakan morfologi diskontinuitas struktural batuan atau bentukan lain yang berhubungan dengan aktifitas tektonik (Ramsay and Huber, 1987).

Bentuklahan

Kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses geomorfologi yang memiliki julat karakteristik fisikal dan visual dimana bentuklahan itu dijumpai (Zuidam, 1983).

Penggunaan Lahan

Semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan lahan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah mukim, hingga rumah makan, rumah sakit, hingga kuburan (Lindgren, 1985 dalam Purwadhi, 2009).