Implementasi Ketentuan Ruang Terbuka Hijau Oleh Pemerintah Kota Surakarta
KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: ANANG SAPUTRO NIM. E0006066 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) IMPLEMENTASI KETENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU OLEH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA
Oleh : ANANG SAPUTRO NIM. E 0006066
Disetujui untuk Dipertahankan Dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2012
Pembimbing
Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H,M.M. NIP 197210082005012
Penulisan Hukum (Skripsi) IMPLEMENTASI KETENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU OLEH PEMERINTAH
KOTA SURAKARTA Oleh : ANANG SAPUTRO NIM. E 0006066
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta DEWAN PENGUJI
1. Pius Triwahyudi S.H M.Si : .........................................................
NIP. 195602121985031004
2. Dr I Gusti Ayu Ketut Rahmi, S.H. M.M : ..........................................................
NIP 197210082005012
3. Waluyo, S.H., M.Si : ..........................................................
NIP 196808131994031001
Mengetahui Dekan,
Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H., M.Hum. NIP 195702031985032001
PERNYATAAN NAMA: ANANG SAPUTRO NIM : E0006066
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
HIJAU OLEH
PEMERINTAH KOTA SURAKARTA" adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum dan gelar yang saya peroleh.
Surakarta, Juni 2012
Yang Membuat Pernyataan,
Anang Saputro NIM. E0006066
ANANG SAPUTRO, E 0006066, IMPLEMENTASI KETENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU OLEH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2012
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji mengenai implementasi untuk mewujudkan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta selain itu juga untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pembangunan ruang terbuka hijau dan solusinya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris atau non doktrinal yang bersifat evaluatif. Lokasi penelitian di Dinas Tata Ruang Kota Surakarta. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data Primer merupakan data utama, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara, dan penelitian kepustakaan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif data.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa penyediaan ruang terbuka hijau di Surakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yakni Pemkot Surakarta berusaha menambah luasan ruang terbuka hijau, konsep makronya adalah pembuatan hutan kota melalui perbanyakan Ruang Terbuka Hijau sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 29 UUPR bahwa setiap wilayah memiliki ruang terbuka hijau sejumlah 30 % dari luas wilayah masing-masing daerah, karena saat ini luasan ruang terbuka hijau di Surakarta masih mencapai 18,8%. Hasil dari implementasi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau berupa pembangunan taman-taman kota sebagai public space yaitu Taman Balekambang, Monumen 45 Banjarsari, Taman Tirtonadi, Taman Sekartaji, City Walk, Monumen Patung Mayor Ahmadi dan Kawasan Ngarsopuro.
Hambatan yang timbul dalam implementasi ruang terbuka hijau diantaranya banyaknya hunian liar, pemukiman kumuh yang berada di atas tanah Negara, kurangnya budget untuk pemeliharaan dan maintenance taman-taman kota mengingat banyaknya jumlah taman yang ada, belum adanya peraturan daerah tentang ruang terbuka hijau di Surakarta serta penyalahgunaan manfaat ruang terbuka hijau. Solusi untuk mengatasi hambatan tersebut antara lain pendekatan persuasif, Memilih tanaman yang memiliki daya hidup kuat dan tidak membutuhkan biaya besar dalam perawatan serta menindak tegas setiap pelaku pelanggaran.
Kata kunci : Implementasi, Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Surakarta
ANANG SAPUTRO, E 0006066, IMPLEMENTATION OF THE PROVISION OF GREEN OPEN SPACE BY THE SURAKARTA GOVERNMENT. Law Faculty of Sebelas Maret University. Legal Writing. 2012
This study aims to determine and assess the implementation to realize the green open spaces in the city of Surakarta, also to determine the factors that are impediments to the development of green open space and the solution This research is empirical or non-doctrinal law that is evaluative. Research sites in Surakarta City Planning Office Space. Types of data used are primary data and secondary data. Primary data is the main data, while the secondary data used to support the primary data. Data collection techniques used were through interviews and library research. Data analysis using qualitative data analysis with interactive data mode
Based on this study obtained results that the provision of green open space in Surakarta by Act No. 26 of 2007 on Spatial namely Surakarta city administration tried to increase the area of green open space, the concept of macro is making urban forest through the multiplication of Green Open Space as mandated in Article 29 UUPR that each region has a green open space some 30% of the total area of each region, because the current area of green open space in Surakarta is still reached 18.8%. The results of the implementation of the provisions of the provision of green open spaces of city parks development as a public space that is Balekambang Park, Monument 45 Banjarsari, Garden Tirtonadi, Sekartaji Park, City Walk, Monument the Statue of Major Ahmadi and Ngarsopuro.
Obstacles that arise in the implementation of green open spaces such as the number of squatters, slums are located on State land, lack of maintenance and maintenance budget for city parks considering the number of existing parks, the lack of local regulations on open space and green in Surakarta abuse of the benefits of green open space. Solutions to overcome these obstacles include a persuasive approach, Choosing plants that have a strong life force and not require big costs in care and take firm action against any perpetrators of violations
Key words: Implementation, Green Open Space, City Governent Key words: Implementation, Green Open Space, City Governent
m en ja di 0 %
kesem pa t a n t i da k da t a n g dua ka li , m a ka bua t la h kesem pa t a n m u
sen di r i
Or a n g y a n g t er la lu m em a n da n g m a sa la lun y a m a ka di a t ela h m en ghi la n gka n sedi ki t m a sa depa n n y a Y a ki n la h ba hw a ba i k un t uk y a ng ba ik, bur uk un t uk y a n g bur uk
M er a sa m a lu ka h ka m u bi la suda h di ber i kehi dupa n olehN y a , t a pi
t a k per n a h ber sujud pa da N y a
Karya ini penulis persembahkan kepada :
Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, anugerah, dan karunia
Nya dalam kehidupan penulis
Rasulullah Muhammad SAW atas segala tuntunan yang membawa rahmat bagi
semesta alam
Orang tua penulis yang telah mendoakan, mendidik, membimbing dan memberikan
pendidikan yang terbaik bagi penulis
Imajinasiku yang senantiasa mendoakan, memberi dukungan, semangat bagi penulis
sahabat-sahabat dan teman-teman penulis
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan karya
ini
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “IMPLEMENTASI KETENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU OLEH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA” ini dengan baik dan lancar. Penulisan Hukum disusun dan diajukan penulis untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala kemudahan yang dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini.
2. Prof. Dr.Hartiwiningsih,S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bp Pius Triwahyudi, S.H.M.Si selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Adriana Grahani F, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Ibu Dr. I Gusti Ayu Ketut Rahmi, S.H., M.M Selaku Pembimbing penulis yang telah memberikan semangat, nasehat, bimbingan, mengarahkan, membantu dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk berkonsultasi.
6. Segenap Pimpinan Fakultas hukum, Dosen dan seluruh Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Bapak dan Ibu Pegawai di Kantor Dinas Tata Ruang (Dra Fini Taviyanti Seksi Tata Guna Tanah dan Ruang Hijau Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Bp Dandy Yoga E, S.T.,M.T. staf Tata Guna Lahan bid pemanfaatan ruang DTRK, yang telah memberikan 7. Bapak dan Ibu Pegawai di Kantor Dinas Tata Ruang (Dra Fini Taviyanti Seksi Tata Guna Tanah dan Ruang Hijau Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Bp Dandy Yoga E, S.T.,M.T. staf Tata Guna Lahan bid pemanfaatan ruang DTRK, yang telah memberikan
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi diri pribadi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Juni 2012
ANANG SAPUTRO
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .....................
A. Deskripsi Kota Surakarta ..........................................
B. Implementasi Ketentuan Ruang Terbuka Hijau oleh Pemerintah Kota Surakarta .......................................... 41
C. Faktor faktor yang Menghambat Pelaksanaan Serta Solusi yang Tepat Untuk Mewujudkan Ruang Terbuka hijau di Kota Surakarta .......................................................... ...
BAB IV : PENUTUP ...........................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................
B. Saran ...............................................................................
61 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Tabel I Banyaknya kelurahan, RW, RT dan Kepala Keluarga di Kota Surakarta tahun 2009 .......................................................................................... 34
Tabel II Pemanfaatan Taman Kota oleh Masyarakat ....................................... 53
Tabel III Bentuk Kerusakan Taman Kota …………………………………..... 58
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan masyarakat yang ada di dunia tumbuh dengan pesat dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk di suatu negara yang terus meningkat akan menuntut pemerintah negaranya untuk selalu siap memenuhi segala sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang pesat memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang terkait semakin sempitnya ruang untuk bergerak.
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun berusaha untuk melakukan pembangunan di segala bidang kehidupan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual, dimana pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Untuk memperlancar pembangunan tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian kewenangan pemerintahannya kepada Pemerintah Daerah atau daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia atau yang disebut dengan asas desentralisasi.
Kota sebagai pusat pertumbuhan, perkembangan dan perubahan serta pusat berbagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan pertahanan keamanan menempati kedudukan yang sangat strategis dalam tatanan nasional kita (Tim Evaluasi Hukum, 2007 : 1). Sehingga penataan dan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka public (open spaces) di perkotaan. Dalam hal ini perlu keselarasan pemanfaatan ruang dalam bentuk kajian berupa aturan- aturan yang bersifat mengikat dari pemerintah.
menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman terutama pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai. Penurunan kualitas itu antara lain dari tidak ditata dan kurang terawatnya pedestrian atau ruang pejalan kaki, perubahan fungsi taman hijau, atau telah menjadi tempat mangkal aktivitas tertentu yang mengganggu kenyamanan warga kota lain untuk menikmatinya. Demikian pula halnya di Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban mengelola aset kota agar menjadi lebih produktif dan efisien. Sehingga akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demi menciptakan kualitas tata ruang kota yang memadai.
Jumlah penduduk di perkotaan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang semakin meningkat dikarenakan perkotaan mempunyai daya tarik yang kuat. Jumlah penduduk di kota yang relatif padat tentunya membutuhkan prasarana dan sarana perkotaan dan berbagai fasilitas pelayanan publik yang berkualitas dan memenuhi syarat. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kegiatan pembangunan dan laju urbanisasi yang tidak terkendali di perkotaan telah mempersempit ruang gerak warga kota.
Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi terutama semakin meningkatnya permasalahan-permasalahan di perkotaan. Masalah-masalah tersebut antara lain semakin meningkatnya permasalahan banjir dan longsor, semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan, masalah pemukiman kumuh, makin menumpuknya limbah padat maupun limbah cair yang mengalir tidak terkendali, berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, serta belum terpecahkannya masalah ketidakseimbangan perkembangan antar wilayah (Hasni, 2008: 21).
Demikian pula perkembangan penataan ruang di berbagai wilayah di Indonesia yang muncul terkait kebijakan otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan penataan ruang yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan administratif dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda. Dengan kewenangan sebagai Demikian pula perkembangan penataan ruang di berbagai wilayah di Indonesia yang muncul terkait kebijakan otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan penataan ruang yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan administratif dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda. Dengan kewenangan sebagai
Pembangunan wilayah Kota tentunya harus mendasarkan kepada Undang- Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang didalamnya mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan Tata Ruang Wilayah Kota. Implikasinya diperlukan kebijakan pengendalian lingkungan hidup yang mengupayakan adanya ruang terbuka hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di dalam lingkungan pembangunan saat ini diperlukan demi menjaga keseimbangan kualitas lingkungan hidup suatu daerah khususnya di daerah perkotaan yang memiliki berbagai permasalahan berkaitan dengan masalah ruang yang begitu kompleks. RTH tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penataan ruang kota yang antara lain berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota dan paru-paru kota.
Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Solo dibawah kepemimpinan Walikota Joko Widodo menapak maju untuk meningkatkan pamor dan mempercantik wajah kota. Berbagai kebijakan pembangunan wilayah kota diberbagai sektor terus digalakkan. Sebagai salah satu kota yang sedang giat untuk melakukan pembangunan di segala bidang Termasuk juga pembenahan tata kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sedang digalakkan oleh Pemerintah Kota Surakarta karena Persebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan pemukiman di kota-kota menjadi padat di beberapa tempat. Di Surakarta sendiri misalnya banyak ruang hijau yang bergeser fungsi dan dimanfaatkan sebagai fasilitas pemukiman yang kemudian banyak memberikan dampak negatif bagi lingkungan yang ada. Pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan di Surakarta menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Jumlah penduduk di Surakarta pada tahun 2010 sebanyak 522.935 jiwa dengan luas kota Surakarta 44,06 km2 (Buku Surakarta Dalam Angka Tahun 2010) menyebabkan tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau beralih fungsi menjadi pemukiman.
mengatur Ruang Terbuka Hijau. Pemerintah Kota Surakarta masih mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai dasar untuk mewujudkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surakarta. Yang menjadi persoalan adalah apakah pengaturan perundang-undangan yang ada dapat berfungsi untuk mewujudkan ruang terbuka hijau di kota Surakarta, karena jika dilihat, banyak terjadi masalah yang berkaitan dengan peralihan fungsi Ruang Terbuka Hijau di Kota Surakarta menjadi pemukiman penduduk.
Sesuai dengan uraian latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap ketentuan Ruang Terbuka Hijau Kota Surakarta, dengan memilih judul :”IMPLEMENTASI KETENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU
OLEH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka penulis menyusun perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi ketentuan ruang terbuka hijau oleh Pemerintah Kota Surakarta ?
2. Apakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan serta solusi yang tepat untuk mewujudkan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Suatu kegiatan penelitian tentunya harus memiliki tujuan sebagai arah dari suatu penelitian. Tujuan dari suatu penelitian merupakan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam penelitian ini terdapat tujuan dari penelitian, meliputi :
1. Tujuan Obyektif
a. Dapat mengetahui mengenai implementasi untuk mewujudkan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta.
yang tepat untuk mewujudkan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk dapat meraih gelar Kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan yang lebih lengkap tentang penulisan hukum di Fakultas Hukum.
c. Untuk memperluas wawasan tentang permasalahan hukum dalam pelaksanannya di masyarakat terutama yang berhubungan dengan ruang terbuka hijau di Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Suatu penelitian akan lebih berharga jika hasilnya memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Administrasi Negara.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terutama dalam hal pelaksanaan program pemerintah daerah khususnya di bidang penambahan luasan ruang terbuka hijau di Surakarta.
2. Manfaat Praktis 2. Manfaat Praktis
b. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan.
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan data-data dalam penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya tujuan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penelitian empiris atau sosiologis (lapangan) dan penelitian normatif. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau sosiologis yaitu penelitian hukum yang memandang hukum sebagai fenomena sosial (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sudut bentuk penelitian diantaranya penelitian diagnostik merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab- sebab bedanya suatu gejala atau beberapa gejala. Penelitian preskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Penelitian evaluatif dilakukan apabila seseorang ingin menilai perogram-program yang dijalankan (Soerjono Soekanto, 2006: 63). Berdasarkan pengertian tersebut maka penelitian ini termasuk dalam penelitian evaluatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum diantaranya adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case appropach), pendekatan historis (historial approach), pendekatan komparatif ( comparative approach ), dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Studi empiris dengan tujuan untuk melihat apakah dalam pelaksanaan ruang terbuka hijau di Surakarta sudah mendekati sebesar 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah kota Surakarta yang disesuaikan dengan landasan yuridisnya. Pendekatan hukum perundang-undangan (statute approach) yang bertujuan menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai dasar implementasi ruang terbuka hijau di Surakarta. Dan pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu menggunakan konsep prinsip-prinsip penataan ruang sebagai dasar analisis peneliti untuk mengevaluasi implementasi ruang terbuka hijau di Surakarta.
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan penulis adalah jenis data primer dan data sekunder. Jenis data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber pertama, sedangkan jenis data sekunder antara lain mencakup dokumen- dokumnen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 2006 :51).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan maka data-data primernya adalah hasil wawancara peneliti dengan Dinas Tata Ruang Kota Pemerintah Kota Surakarta, sedangkan data sekunder yang diperlukan meliputi :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat antara lain : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat antara lain :
c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup;
d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
e) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan;
f) SK Walikota Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pedoman Uraian
g) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti : hasil-hasil penelitian, buku-buku, artikel-artikel di media massa, pendapat para pakar hukum, maupun makalah-makalah
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, dan ensiklopedia yang berhubungan degan topik penulisan hukum ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu metode studi lapangan dan metode studi pustaka. Untuk metode studi lapangan dilakukan dengan cara : wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Didalam pelaksanaanya wawancara dibagi dalam dua penggolongannya, yaitu Di dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu metode studi lapangan dan metode studi pustaka. Untuk metode studi lapangan dilakukan dengan cara : wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Didalam pelaksanaanya wawancara dibagi dalam dua penggolongannya, yaitu
b. Wawancara tidak berencana (tidak berpatokan) sebelum melakukan wawancara peneliti tidak mempersiapkan dulu pertanyaan yang akan diajukan tetapi tidak terlampau terikat pada aturan-aturan yang ketat
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah teknik wawancara berencana dan tidak berencana dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada responden atau narasumber. Sedangkan metode mengumpulkan data melalui studi pustaka, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka serta internet.
7. Teknik Analisa Data
Faktor terpenting dalam penelitian untuk menentukan kualitas hasil penelitian yaitu dengan analisis data. Data yang telah diperoleh setelah melewati mekanisme pengolahan data, kemudian ditentukan jenis analisisnya, agar nantinya data yang terkumpul tersebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisis data yang bersifat kualitatif deduktif. Menurut Jhonny Ibrahim analisis kualitatif deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan secara konkret dalam masyarakat (Jhonny Ibrahim, 2006 :82).
Sedangkan model analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif, yaitu data dikumpulkan dalam berbagai macam cara (wawancara dan dokumen) kemudian diproses dalam tiga alur verifikasi. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (H.B. Sutopo, 2006 : 119).
Menurut H.B Sutopo ada tiga komponen utama yang menjadi dasar dari tahapan analisa data. Tiga tahap tersebut adalah:
a. Reduksi Data a. Reduksi Data
b. Penyajian Data Alur penting yang kedua ini adalah sekumpulan informasi tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan adanya pengambilan kesimpulan.
c. Menarik Kesimpulan Pada awal pengumpulan data penulis harus memahami arti berbagai hal yang meliputi segala hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan- pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (H.B. Sutopo, 2006 :114- 116).
Teknik analisa data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (H.B. Sutopo, 2006 :120). :
Pengumpulan data
Sajian data
Reduksi data
kesimpulan
Keterangan skema tersebut sebagai berikut: Setelah data terkumpul, kemudian direduksi yang berupa seleksi dan penyerderhanaan data yang berlangsung terus menerus selama pemilihan dan kemudian kita ambil kesimpulan. Tahap-tahap ini tidak harus unit tetapi berhubungan terus menerus dengan membentuk siklus.
8. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Balaikota Surakarta tepatnya Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) dan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surakarta.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi : BAB I : PENDAHULUAN
Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori meliputi tinjauan mengenai Ruang Terbuka Hijau, Tinjauan Pemerintahan Daerah, Tinjauan Mengenai Perencanaan Tata Ruang, Tinjauan tentang Implementasi.
B. Kerangka Pemikiran meliputi skema konsep dari alur pemikiran penulis dalam melakukan penelitian ini.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan memaparkan tentang penjelasan penulis mengenai hasil penelitian terhadap :
1. Implementasi ketentuan ruang terbuka hijau oleh Pemerintah Kota
Surakarta Surakarta
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Ruang Terbuka Hijau
a. Pengertian Umum dan Ruang Lingkup Ruang Terbuka Hijau
Sebagai salah satu unsur kota yang penting khususnya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit dan kecilnya ukuran Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi, seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami tumbuh-tumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian sebagai berikut :
Menurut Pasal 1 butir 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan menurut Purnomohadi, Ruang Terbuka Hijau adalah sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan perinci utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1994: 21).
Ruang Terbuka tidak harus ditanami tumbuh-tumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tumbuh-tumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa ruang terbuka hijau, maka lingkungan kota akan menjadi gersang dan menjadi tempat panas yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi karena tidak layak huni.
sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan usaha (lingkungan skala pemukiman), seperti : sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota dan sebagainya, maupun milik umum seperti : Taman-taman kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang, taman Hutan Kota/urban forest Park, lapangan olahraga, jalur-jalur hijau.
Menurut Gunadi dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka, yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan kebalikan dari ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi ruang luar adalah ruang terbuka hijau yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plasa atau square (Gunadi, 1995 : 35).
Zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, berupa taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya sebagai Ruang terbuka hijau. Ruang terbuka yang disebut sebagai Taman kota (park), yang berada di luar atau diantara beberapa bangunan di perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang terbuka hijau kota, karena umumnya berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari ruang terbuka hijau berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang sangat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
b. Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas Ruang terbuka hijau minimal 30 persen (%) dari total luas kota. Tentu saja angka ini bukan merupakan patokan mati. Penetapan luas ruang terbuka hijau kota harus berdasar pula pada studi eksistensi sumber daya alam dan manusia penghuninya. Penetapan besaran luas ini bisa juga disebut sebagai bagian dari pengembangan Ruang terbuka hijau kota.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) pengaturan mengenai Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Penataan Ruang berikut ini :
1) Ruang Terbuka Hijau sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 huruf a terdiri
dari RTH publik dan RTH privat;
2) Proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas wilayah kota;
3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua
puluh) persen dari luas wilayah kota.
Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 29 Ayat (1) RTH publik merupakan RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk RTH publik antara lain adalah taman kota dan jalur hijau sepanjang jalan, taman pemakaman umum, sungai dan pantai. Yang termasuk RTH privat antara lain adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Pasal 29 Ayat (2) UUPR “Proporsi 30 persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan system hidrologi dan system mikroklimat, maupun system ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan Pasal 29 Ayat (2) UUPR “Proporsi 30 persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan system hidrologi dan system mikroklimat, maupun system ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
Pasal 29 Ayat (3) UUPR “Proporsi RTH publik seluas minimal 20 persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi RTH minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat.”
Ketentuan tentang ruang terbuka hijau publik dan distribusinya ditegaskan dalam Pasal 30 UUPR berikut ini. “Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang”.
c. Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan
Secara umum ruang Terbuka Publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. RTH perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Sementara itu ruang terbuka non- hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan.
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non- alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, dan kebun bunga. Multi fungsi penting RTH ini sangat lebar spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya, arsitektural dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non- alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, dan kebun bunga. Multi fungsi penting RTH ini sangat lebar spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya, arsitektural dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat
Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pegusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfirmasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti kawasan hutan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Sedangkan dari segi kepemilikan, RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman- taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
d. Peran dan Fungsi RTH
Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu sub- sistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu sub- sistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata
1) Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar system sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancer, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;
2) Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya local, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi,tempat pendidikan dan penelitian;
3) Ekosistem perkotaan, produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan dan lain-lain;
4) Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala kecil maupun skala besar
e. Manfaat RTH
Manfaat RTH kota secara langsung dan tidak langsung sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi “alami” ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya ekologis alami didalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Taman tempat peletakan tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbondioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus siang hari, merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) yang terjadi terutama pada daun dan permukaan tumbuhan (batang, bunga dan buah).
Dengan adanya RTH sebagai paru-paru kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, cahaya dan pergerakan angin.
secara alami udara panas akan terdorong keatas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang diatas kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.
f. Elemen Pengisi RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam seleksi jenis-jenis yang akan ditanam. Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
1) disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota;
2) mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air tercemar);
3) tahan terhadap gangguan fisik;
4) perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang;
5) tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias yang arsitektural;
6) dapat menghasilkan Oksigen dan meningkatkan kualitas lingkungan kota;
7) bibit/benih mudah didapat dengan harga murah/terjangkau oleh masyarakat.
g. Teknis Perencanaan
Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu : Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
a) kapasitas atau daya dukung alami wilayah;
b) kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan dan bentuk pelayanan
lainnya);
c) arah dan tujuan pembangunan kota.
RTH berluas minimum merupakan RTH yang berfungsi ekologis yang berlokasi, berukuran dan berbentuk pasti, yang mencakup RTH publik dan privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari luas RTH minimal, dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.
2) Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH;
3) Struktur dan pola RTH yang akan dikembangkan;
4) Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
2. Tinjauan Tentang Pemerintahan Daerah
a. Pengertian pemerintah daerah Pemerintah daerah (local government) dapat mengandung tiga arti yaitu
pemerintah local yang menunjuk pada lembaga / organnya di tingkat daerah atau wadah untuk menyelanggarakan kegiatan pemerintahan di daerah, pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal yang menunujuk pada fungsi/ kegiatannya yaitu sebagai pembentuk kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksana kebijakan ( policy executive function) dalam daerah otonom yaitu sebagai daerah otonom yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri (Hanif Nurcolis, 2005 :163).
Unsur-unsur pemerintah daerah yang diungkapkan oleh De Guzman yaitu (Hanif Nurcolis, 2005 :20):
a. Pemerintah daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara; a. Pemerintah daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara;
d. Pemerintah daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pemerintah daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya .
Birokrasi lokal yaitu organisasi pemerintahan daerah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan negara pada lingkup daerah. Birokrasi lokal terdiri dari kepala daerah beserta aparaturnya. Birokrasi lokal merupakan konsekuensi dari kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah . Kedudukan dan fungsi pokok birokrasi lokal sebagai pelaksana kebijakan pemerintah daerah baik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat ataupun pemerintah pusat. Siklus penyelenggaraan negara terdapat tiga kegiatan utama, diantaranya adalah proses politik, proses pemerintahan, proses administrasi negara. Kebijakan publik ini akan menjadi masukan bagi proses administrasi publik administrasi publik yang akan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bermuara pada pemberian layanan publik (public service), layanan publik tersebut akan dinikmati langsung oleh rakyat. Dan selanjutnya rakyat akan mengevaluasi yang mana tindakan tersebut merupakan umpan balik bagi proses politik.
Dasar hukum penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia adalah Pasal 18 Amandemen UUD 1945, yang isinya adalah sebagai berikut:
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
b. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
c. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan perwakilan rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
e. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
f. Pemerintah daerah berhak untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
g. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
b. Asas-asas pemerintahan daerah: Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah itu berpedoman pada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah :
1) Asas Desentralisasi
Yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Asas Dekonsentrasi
Yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3) Asas Tugas Pembantuan
Yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat mengembalikan harkat, martabat, dan harga diri masyarakat di daerah. Otonomi dalam kaitannya dengan desentralisasi juga diungkapkan oleh Sarah Turner dalam tulisannya sebagai berikut:
Rondinelli and Cheema (1983) suggest four major ones. The first, deconcentration, involvesthe transfer of central government responsibilities to regions. It can operate atvarying scales and to different degrees of autonomy The second form of decentralisation, delegation to semi autonomousorganisations, involves the delegation of decision making and managementauthority for specific functions to organisations that are not under the directcontrol of central government ministries. The third form involves the transfer offunctions from government
to
non-government