Proses Inklusi Sosial Anak Jalanan Dampingan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan ( KKSP ) Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Proses
Menurut James dan Lindsay Proses adalah serangkaian aktivitas yang
ditujukan untuk mencapai beberapa hasil. Proses merupakan cara bagaimana
sebuah pekerjaan menghasilkan nilai bagi pelanggan. Biasanya kita berbicara
mengenai proses dalam konteks produksi : sekumpulan aktivitas dan operasi yang
terlibat dalam perubahan input (fasilitas fisik, material, modal, peralatan dan
manusia) menjadi output (produk dan jasa) ”. (Evans dan Lindsay, 2007:17).
Menurut pendapat Gibson, Ivan Cevich, Donelly, Proses merupakan
aktivitas sumber kehidupan dalam struktur organisasi. Proses yang umum meliputi
komunikasi, pengambilan keputusan, sosialisasi dan pengembangan karier.
Sedangkan proses dalam teori sistem adalah aktivitas teknik dan administratif
yang berbaur untuk dijadikan masuka ditransformasikan menjadi keluaran”.
(Gibson, Ivan Cevich, Donelly, 1995 : 121 )
Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami
atau didesain, mungkin menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya
lainnya yang menghasilkan suatu hasil. Suatu proses mungkin dikenali oleh
perubahan yang diciptakan terhadap sifat-sifat dari satu atau lebih objek di bawah
pengaruhnya. Bandingkan dengan pengolahan. Definisi lain dari proses adalah

serangkaian kegiatan yang saling terkait atau berinteraksi yang mengubah input
menjadi output kegiatan ini memerlukan alokasi sumber daya seperti orang dan
materi. Input dan output yang dimaksudkan mungkin tangible (seperti peralatan,

12

bahan atau komponen) atau tidak berwujud (seperti energi atau informasi). Output
juga dapat tidak diinginkan, seperti limbah atau polusi (WIKIPEDIA, 2015).

2.2 Inklusi Sosial
Inklusi adalah penyatuan anak-anak berkelainan ke dalam programprogram sekolah. Inklusi juga dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki
hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri visivisi sekolah (David & Smith, 2006)
Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan
dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber
seperti politik, pendidikan, sosial dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing
dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu
sama lain. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak
aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan dan hak
individu (Reid & Dyslexia, 2005)
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala

sesuatu yang berkenan dengan masyarakat (KBBI, 2002:1454). Sedangkan kata
sosial menurut Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang di pakai sebagai
acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti,
sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan
dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakantindakan yang di munculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu
masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari

13

seseorang individu yang terkait pada suatu kesatuan interaksi karena lebih
sesorang individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya.
Mulligan dan Martin (Sightsavers, 2004:3) mendefenisikan inklusi sosial
sebagai kepastian bahwa seseorang itu harus merupakan bagian dari msyarakat.
Inklusi sosial bagi anak jalanan menyangkut upaya mengurangi hambatanhambatan

di

masyarakat

yang memberikan


kesempatan

mereka

untuk

berpartisipas penuh di masyarakat. Partisipasi-pasrtisipasi tersebut menurutnya
antara lain ialah memberikan kemudahan akses informasi, meningkatkan sikap
dan persepsi yang positif, memastikan adanya hukum dan kebijakan yang
mendukung pasrtisipasi tersebut dan yang sifatnya non-deskriminasi.
Menurut Hamil dan Everington (2002), inklusi sosial juga dapat di
defenisikan sebagai peremkembangan pada setiap kompetensi anak untuk
berpartisipasi dalam keanekargaman dan ketidaktergantungan dalam masyarakat,
yang di artikan lebih dari keberadaan fisik mereka. Lebih lanjut lagi hamil dan
Everington mengatakan bahwa setiap anggota masyarakat berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas dapat memberikan kontribusi nilai dan mendapatkan dukungan
yang di perlukan. Menurut mereka inklusi sosial tidak hanya disebabkan dari
lingkungan tetapi juga bisa terdapat aspek spiritual, emosional dan fisik
(disabilitas).

Inklusi sosial adalah upaya menempatkan martabat dan kemandirian
individu sebagai modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang ideal. Melalui
inklusi sosial, Program Peduli mendorong agar seluruh elemen masyarakat
mendapat perlakuan yang setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai
warga negara terlepas dari perbedaan apapun (Program Peduli, 2015)

14

Inklusi sosial sebagai proses untuk meningkatkan partisipasi individu dan
kelompok dalam kegiatan masyarakat, dimana pendidikan merupakan bagiannya,
menjadi salah satu perhatian utama kemitraan Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Australia. Ini selaras dengan kebijakan pendidikan Indonesia dan
kebijakan dukungan Australia bagi pembangunan secara umum (Lokakarya
Penyusunan Kerangka Kerja Inklusi Sosial, 2015)
Pengertian

inklusi

digunakan


sebagai

sebuah

pendekatan

untuk

membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka;
mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan
latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan
lainnya. Terbuka dalam konsep lingkungan inklusi, berarti semua orang yang
tinggal, berada dan beraktivitas dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun
masyarakat merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan
kewajibannya. Jadi, lingkungan inklusi adalah lingkungan sosial masyarakat yang
terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan karena setiap warga
masyarakat tanpa terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan.
Inklusi membawa perubahan sederhana dan praktis dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita menginginkan tinggal dalam lingkungan
masyarakat yang memberikan rasa aman dan nyaman, yang memberikan peluang

untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya, sesuai cara belajarnya yang terbaik,
yang

mengupayakan

kemudahan

untuk

melaksanakan

kewajiban

dan

mendapatkan hak sebagai warga masyarakat. Jadi, masyarakat inklusi adalah
masyarakat yang terbuka dan universal serta ramah bagi semua, yang setiap
anggotanya saling

mengakui keberadaan, menghargai dan mengikutsertakan


15

perbedaan. Setiap warga masyarakat inklusi, baik yang memiliki perbedaan pada
umumnya maupun yang memiliki perbedaan khusus yang sangat menonjol, punya
tanggung

jawab

lewat

perannya

masing-masing

dalam

mengupayakan

kemudahan, agar setiap warga masyarakat secara inklusif dapat memenuhi

kebutuhannya, melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya terhadap
semua bidang kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (DAKSA Foundation,
2015)

Definisi Inklusi Sosial

INKLUSI = TERBUKA

Pengertian inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan
untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan
yang semakin terbuka; mengajak masuk dan
mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan
latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi,
etnik, budaya dan lainnya

Lingkungan inklusi adalah lingkungan sosial masyarakat
yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan
menyenangkan karena setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap
perbedaan


Bagan Inklusi Sosial
Sumber: Oleh Muhammad Jailani, S.Sos, MA

16

2.2.1 Bentuk –Bentuk Inklusi Sosial
Berdasarkan

program

peduli

dibawah

koordinasi

Kementerian

Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)

yang

menggunakan

memberdayakan

pendekatan

masyarakat

“Inklusi

marjinal,

Sosial”

sebagai

meningkatkan


usaha

kesejahteraan

untuk
dan

memberantas kemiskinan. Dalam mewujudkan Nawa Cita Kabinet Kerja Periode
2015-2019, Kemenko PMK mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi;
sinkronisasi dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan
pemerintahan pusat di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan
lima fokus area: (i) Jaminan kebutuhan dan pelayanan dasar; (ii) Pembangunan
manusia berkarakter; (iii) Selaras data; (iv) Pemberdayaan masyarakat dan (v)
Pembangunan desa semesta. Program peduli ini merupakan pemberdayaan
masyarakat yang bermitra dengan lembaga masyarakat sipil untuk menjangkau
penerima manfaat yang selama ini mengalami eksklusi dari program pemerintah
yang disebabkan diskriminasi dan prasangka. Pada tahap pertama, program ini
bernama PNPM Peduli dan difasilitasi selama 2011-2014 oleh PNPM Support
Facility (PSF) –World Bank. Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan
sebagai Managing Partner dalam Program Peduli Fase II, dengan dana dari
DFAT-Australian Aid.
Pada Program Peduli fase II ini, kegiatan lebih difokuskan untuk
meningkatkan inklusi sosial dan ekonomi dalam pembangunan Indonesia, dengan
meningkatkan akses pelayanan hak dasar dan penerimaan sosial bagi mereka yang
termarginalkan. Enam sasaran (kelompok penerima manfaat) Program Peduli
meliputi:

17

1.

Anak dan Remaja Rentan (khususnya anak jalanan)

2.

Masyarakat Adat Terpencil,

3.

Kelompok Agama Minoritas dan Kepercayaan Lokal,

4.

Korban Pelanggaran HAM

5.

Orang dengan Disabilitas, dan

6.

Kaum Waria.
Selain The Asia Foundation, terdapat 7 (tujuh) organisasi pelaksana:

Yayasan Samin, LPKP, PKBI, IKA, Kemitraan, Lakpesdam NU dan Satunama.
Program Peduli bekerjasama dengan 72 LSM lokal di 84 kabupaten/kota di 26
propinsi. Adapun bentuk – bentuk inklusi sosial yaitu:
1. Keberadaannya diakui oleh negara (Pemerintah dan Masyarakat).
a. Pengakuan (Recognition) antara lain melalui upaya-upaya:
b. Anak jalanan harus didorong memiliki KTP dan tidak ada diskriminasi
untuk pembuatan KTP.
c. Semua warga, (khususnya kelompok penerima manfaat) berhak
mendapatkan akte kelahiran yang dikeluarkan pemerintah daerah
setempat
d.

Pemerintah daerah menyusun peraturan daerah, atau perbup/perwali
untuk mengakui keberadaan (kelompok penerima manfaat) itu dan
sama hak serta kewajibannya dengan yang lain.

e. Negara

khususnya

pemerinta(kelompok

penerima

manfaat)

mengeluarkan Kebijakan untuk pengakuan atas keberadaan tersebut

18

2. Hak – hak dasarnya dihormati (Respecting Basic Right )
a. Pemenuhan Hak Dasar masyarakat yang diambil dari Piagam Hak
Asasi Manusia (TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia harus dijamin oleh semua pihak untuk dapat dipenuhi untuk
(kelompok penerima manfaat) tersebut.
b. Pembukaan akses bagi (kelompok penerima manfaat) pada fasilitas
umum (administrasi, kesehatan, pendidikan, keamanan, ekonomi dan
sosial budaya) dan berbagai bantuan Pemerintah dan Pemerintah
daerah terkait.
c. Penjaminan dari pemerintah agar

(kelompok penerima manfaat)

terlibat dan berpartisipasi aktif dalam Implementasi UU Desa
3. Didorong untuk membangun kemitraan dengan kelompok masyarakat
(Building Mutual Partnership), antara lain
a.

Meningkatkan ketrampilan untuk hidup ( sustainable livelihood )

b.

Mengembangkan kegiatan produktif yang berbasis pemanfaatan
potensi lokal

c. Mengembangkan kegiatan berbasis pendayagunaan kearifan lokal
d. Membangun kemitraan yang saling menguntungkan dengan semua
pihak
4. Dipandang sebagai saudara sebangsa dan setanah air
a. Integrasi Sosial >> Tidak ada lagi pemberian stigma sosial negatif
kepada semua kelompok sosial.
b.

Membangun “Masyarakat yang saling asah, saling asuh dan saling
asih” tanpa mempersoalkan perbedaan dalam agama, keyakinan,

19

kepercayaan, status sosial, etnis, ras, ciri fisik, keragaman sosial
budaya.
c. Membangun semangat gotong-royong, kerelawanan sosial dan kewirausahaan sosial (social entrepreneurships)

2.3 Anak
Anak merupakan insan pribadi yang memiliki dimensi khusus dalam
kehidupannya. Dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan
orangtua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam
mempengaruhi kepribadian anak ketika menyongsong fase kedewasaanya kelak.
Anak adalah sosok yang memikul tanggung jawab dimasa yang akan datang,
sehingga tidak berlenihan jika negara memberikan suatu perlindungan bagi anakanak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya
(Witanto, 2012:4-6)
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah menikah ( UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak). Anak
merupakan generasi penerus cita-cita bangsa yang dipersiapkan untuk dapat
menggantikan para pendahulunya. Oleh sebab itu, agar setiap anak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka perlu mendapatkan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara jasmani,
rohani maupun sosial.
Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang
dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak
yang ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebiha awal (KHA, pasal 1)

20

KHA CLUSTER II
DEFINISI ANAK DAN PASAL-PASAL TERKAIT
KHA, Pasal 37.a
Tidak boleh ada hukuman
mati atau hukuman
seumur hidup

KHA Pasal 28
Batasan usia wajib belajar
& gratis

KHA, Pasal 37.a
Tidak boleh ada hukuman
mati atau hukuman
seumur hidup

Pasal 1: Setiap orang yang
berusia dibawah 18 th, kecuali
berdasarkan undang-undang
yang berlaku, bagi anak
ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal.

Pasal 38
Tak boleh ada rekrutmen.
Angkatan Bersenjata atau
terlibat dalam
permusuhan (di bawah
usia 15 thn)

Pasal 40.3 (a)
Usia minimum anak
dianggap tidak memiliki
kapasitas pelanggaran
hukum pidana.

Isi Pasal yang Terkait :
1. KHA Pasal 28
a. Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas pendidikan dan dengan
tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan
yang sama, mereka harus, terutama: (a) Membuat pendidikan dasar
diwajibkan

dan

terbbuka

bagi

semua

anak;

(b)

Mendorong

perkembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah yang berbedabeda, termasuk pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, membuat
pendidikan-pendidikan tersebut tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap

21

anak

dan

mengambil

langkah-langkah

yang

tepat

seperti

memperkenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan
keuangan jika dibutuhkan; (c) Membuat pendidikan yang lebih tinggi
dapat dimasuki oleh semua anak berdasarkan kemampuan dengan
setiap sarana yang tepat; (d) Membuat informasi pendidikan dan
kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dimasuki oleh semua anak;
(e) Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran yang tetap di
sekolah dan penurunan angka putus sekolah.
b. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai
dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan Konvensi ini.
c. Negara-negara Pihak harus meningkatkan dan mendorong kerja sama
internasional

dalam

masalah-masalah

yang

berkaitan

dengan

pendidikan, terutama dengan tujuanmengarah pada penghapusan
kebodohan dan buta aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan
fasilitas akses keilmu pengetahuan dan pengetahuan teknik dan metodemetode mengajar modern. Dalam hal ini, perhatian khusus harus
diberikan

pada

kebutuhan-kebutuhan

negara-negara

sedang

berkembang. Pasal 29 1. Negara-negara Pihak bersepakat bahwa
pendidikan anak harus.
2. KHA Pasal 32
a. Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk dilindungi dari
eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin
berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak atau membahayakan

22

kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan
sosialnya
b. Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administratif, sosial dan pendidikan untuk menjamin pelaksanaan pasal
ini. Untuk tujuan ini dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang relevan dari instrumen-instrumen internasional yang lain, maka
Negara-negara Pihak harus terutama: (a) Menentukan umur minimum
atau umur-umur minimum untuk izin bekerja; (b) Menetapkan
peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat
perburuhan; (c) Menentukan hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi lain
yang tepat untuk menjamin pelaksanaan pasal ini yang efektif.
3. KHA Pasal 37 (a)
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa: (a) Tidak seorang anak pun
dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak
manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau
pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat
dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orangorang di bawah umur delapan belas tahun
4. KHA Pasal 38
a. Negara-negara
penghormatan

Pihak

berusaha

terhadap

menghormati

peraturan-peraturan

dan

menjamin

hukum

humaniter

internasional yang dapat berlaku bagi mereka dalam konflik bersenjata
yang relevan bagi anak itu.

23

b. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin bahwa orang-orang yang belum mencapai umur lima belas
tahun tidak mengambil suatu bagian langsung dalam permusuhan.
c. Negara-negara Pihak harus mengekang diri agar tidak menerima siapa
pun yang belum mencapai umur lima belas tahun ke dalam angkatan
bersenjata mereka. Dalam menerima di antara orang-orang tersebut,
yang telah mencapai umur lima belas tahun tetapi belum mencapai
umur delapan belas tahun maka Negara-negara Pihak harus berusaha
memberikan prioritas kepada mereka yang tertua. Sesuai dengan
kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional
untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi
oleh suatu konflik bersenjata.
5. KHA Pasal 40.3(a)
a. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undangundang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang
berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai,
dituduh atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: (a)
Pembentukan umur minimum, di mana di bawah umur itu anak-anak
dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum
pidana

24

2.3.1. Prinsip Dasar Hak Anak
Menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989 memuat 4 (empat) hak-hak
dasar prinsip anak, yaitu:
1. Hak hidup. Hak untuk hidup akan menjamin anak untuk terbebas dari
berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan dari pihak keluarga
maupun orang dewasa di sekitarnya.
2. Hak kelangsungan hidup/tumbuh dan berkembang. Hak tumbuh kembang
mencakup perkembangan fisik, perkembangan mental, perkembangan
sosial, perkembangan moran dan spiritual serta perkembangan secara
budaya
3. Kepentingan terbaik anak. Kepentingan terbaik anak menyangkut
prioritas, misalnya dalam proses adopsi dan orang tua mengalami
perceraian
4. Hak partisipasi/mengemukakan pendapat. Hak partisipasi adalah hak anak
untuk di dengar dan ikut mengambil keputusan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan dalam bagan sebagai berikut:
Pendidikan

H
A
K

Bersama Keluarga

Kesehatan
A
N
A
K

Dilindungi

Dihargai Pendapatnya

25

2.4. Remaja
Dalam Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang dibawah 18
tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak yang
ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebiha awal (KHA, pasal 1).
Berdasarkan tersebut usia 18 tahun sudah dapat dikatakan remaja, karena katagori
remaja adalah tahap kehidupan seseorang yang berumur belasan tahun.
Seperti yang dikemukakan oleh Papalia dan Olds (dalam Jahja, 2011:
220), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dan dewasa yang pada umumnya di mulai pada usia 112 atau 13 tahun dan
berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awa dua puluh tahun.
Mappiare (1982), juga menjelaskan bahwa masa remaja berlangsung
antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan
22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat di bagi menjadi dua bagian,
yaotu usia 12/13 tahun 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja
akhir ( Mappiare, dalam Ali, 2004:18)
Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescense sesungguhnya memiliki
arti yang luas yang mencakup kematangan mental,emosional, sosial dan fisik.
Remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintergerasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada
ditingkat orang yang lebih tua melainkan merasakan hal yang sama, atau paling
tidak sejajar (Hurlock, dalam Ali, 2004:22).
Sedangkan menurut Anna Freud (1990), berpendapat bahwa pada masa
remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang
berhubungan dengan perkembangan psikoseksual dan juga terjadi perubahan

26

dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Freud, dalam
Jahja, 2011:220)
Remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi
anatara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,
dan sosial-ekonomi. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli
adalah 12 hingga 21 tahun (Santrock, 2003:26)
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan remaja adalah
proses tahapan berkembang individu dari fase anak ke fase dewasa yang berusia
belasan tahun diamana telah terjadi perubahan yang mencakup perkembangan
psikoseksual atau biologis, kematangan fisik dan mental, emosional, pola berpikir
serta hubungan-hubungan dengan orang lain. Maka dapat dikatakan anak jalanan
yang berada di jalanan itu dalam fase anak-anak dan remaja. Pada fase ini anakanak jalanan yang umumnya adalah anak-anak dan remaja kebutuhan hak-hak
mereka tidak terpenuhi. Mereka harus melakukan kegiatan layaknya orang-orang
dewasa seperti mereka harus bekerja, sehingga mempengaruhi pola pikir mereka
berbeda seperti layaknya anak seusia mereka. Selain itu dimasa remaja ini
perkembangan biologis dan psikoseksual mereka mulai terjadi kematangan,
sehingga tidak jarang remaja-remaja hidup di jalanan ini mengalami eksploitasi
seksual, dijual, dijadikan pekerja seks komersial (PSK) dan bahkan banyak di
antara mereka hamil di luar nikah.

27

2.5. Anak Jalanan
Menurut Rooestin Ilyas (2004: 324), Anak jalanan adalah anak mereka
bukan bermain-main dijalanan tetapi mereka hidup dari situ.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : “Street child
are those who have abandoned their homes, school and immediate communities
before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life”
(anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah
melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya,
larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 :
16).
Secara umum anak jalanan adalah perempuan dan laki-laki yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan atau
tempat-tempat umum, seperti pasar, mall, terminal bis, stasiun kereta api dan
taman kota (Suharto, 2008 :231)
Anak jalanan merupakan anak yang tersisih, marginal dan terealisasi dari
perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif sedini
mungkinsudah harusberhadapan dengan lingkuangan kota yang keras dan bahkan
sangat tidak bersahabat. Di berbagai sudut kota, sering terjadi anak jalanan harus
bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang dan bahkan tidak di
terima dimasyarakat umum, hal itu yang mereka lakukan sebenarnya dengan
terpaksa karena ingin membantu orang tua dan menghilangkan rasa lapar. Mereka
juga dianggap sebagai pengganggu ketertiban (Suyanto, 2010:185)
Anak jalanan melakukan aktivitas tertentu di jalanan yang bertujuan untuk
mempertahankan hidup. Beberapa aktivitas yang dilakukan anak jalanan antara

28

lain adalah membangun solidaritas, melakukan kegiatan ekonomi, memanfaatkan
barang bekas/sisa, melakukan tindakan kriminal dan melakukan kegiatan yang
rentan terhadapat ekploitasi seksual (Sallahudin, 2000 : 20-27)

2.5.1 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Anak Jalanan
Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab
keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro
(immediate causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes) dan faktor
pada tingkat makro (basic causes).
1. Tingkat Mikro (Immediate Causes)
Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak
dan keluarganya, yaitu:
a. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah
putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
b. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau
kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau
tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak,
keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi
masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh
meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan
pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam
keluarga.

29

c. Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi
membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh
pergeseran

nilai,

kondisi

ekonomi

dan

kebijakan

pembangunan

pemerintah.
d. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua
sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah
menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.
Selain itu Odi Shalahudin (2004:71) menyebutkan pula faktor-faktor yang
disebabkan oleh keluarga, yakni:
a. Keluarga miskin
b. Perceraian dan kehilangan orang tua
c. Kekerasan keluarga
d. Keterbatasan ruang dalam rumah
e. Eksploitasi ekonomi
f. Keluarga homeless
2.

Tingkat Messo (Underlying Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada faktor ini adalah

faktor masyarakat, yaitu:
a. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu
peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang
menyebabkan drop out dari sekolah.
b. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anakanak mengikuti kebiasaan itu.
c. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.

30

Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) juga memaparkan faktor lingkungan
munculnya anak jalanan yang bisa dikategorikan dalam faktor pada tingkat messo
yakni sebagai berikut:
a. Ikut-ikutan teman
b. Bermasalah dengan tetangga atau komunitas
c. Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak
jalanan
3.

Tingkat Makro (Basic Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu

faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Departemen Sosial RI (2001:
25-26) menjelaskan bahwa pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang
dapat diidentifikasi adalah:
a.

Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak
terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan
meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang
mendorong urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang
diakibatkan kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan transportasi
dan ajakan kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota
dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak
mereka terlempar ke jalanan.

b. Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka
dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya
dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan
segelintir orang.

31

c. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang
diskriminatif dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang
mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus
sekolah karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk
menjadi pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk
mendapatkan uang.
d. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan
antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan
kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai
trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan
keamanan).
e. Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring
pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi
kesulitan.
f. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan,
taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerahdaerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai
ajang bermain dan bekerja.

2.5.2 Karakteristik Anak Jalanan
1. Berdasarkan Usia
Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen
Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau

32

tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18
tahun. Selain itu dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001: 23–24), indikator
anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6 sampai
18 tahun.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat
dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6
sampai 18 tahun.
2. Berdasarkan Pengelompokan
Menurut Tata Sudrajat anak jalanan (Sudrajat, 1996: 151-152) dibedakan
dalam 3 kelompok yaitu:
a. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi sebagai pekerja anak- di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan
mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat
penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan
yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang
tuanya.
b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka
masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi
pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anakanak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan

33

terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun
seksual.
c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan.
Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup
kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain
dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah
pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih
dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di
berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan
pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP di Jakarta dan
Surabaya (BKSN, 2000: 2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori,
yaitu:
a. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:
1) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya
2) 8 – 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis,
memulung) dan sisinya menggelandang/tidur
3) Tidak lagi sekolah
4) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun
b. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
1) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
2) 8 – 16 jam berada di jalanan

34

3) Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau
saudara, umumnya didaerah kumuh
4) Tidak lagi sekolah
5) Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung,
penyemir dan lainnya.
6) Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
c. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
1) Bertemu teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya
2) 4 – 5 jam bekerja di jalanan
3) Masih bersekolah
4) Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
5) Usia rata-rata di bawah 14 tahun
d. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
1) Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang
tuanya
2) 8 – 24 jam berada di jalanan
3) Tidur di jalanan atau rumah orang tua
4) Sudah taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi
5) Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir, dll
3. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis
Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis.
Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23–24), karakteristik anak jalanan pada
ciri-ciri fisik dan psikis, yakni:

35

a. Ciri Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan
berbadan kurus, pakaian tidak terurus.
b. Ciri Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat
sensitif, berwatak keras serta kreatif. Sedang menurut Departemen Sosial
RI (2005: 5), anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 - 18
tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak
jalanan berdasarkan ciri-ciri fisik dan psikis mereka adalah:
a. Ciri-ciri fisik:
1) Penampilan dan warna kulit kusam
2) Rambut kemerah-merahan
3) Kebanyakan berbadan kurus
4) Pakaian tidak terurus
b. Ciri-ciri psikis
1) Mobilitas tinggi
2) Acuh tak acuh
3) Penuh curiga
4) Sangat sensitif
5) Berwatak keras
4. Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga
Aktivitas utama anak jalanan adalah berada di jalanan baik untuk mencari
nafkah maupun melakukan aktivitas lain. Hal ini membuat intensitas hubungan
anak jalanan dengan keluarga mereka kurang intensif. Menurut Departemen

36

Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan
keluarga, yaitu:
a. Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari
b. Frekuensi dengan keluarga sangat kurang
c. Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
Selain itu, menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN,
2000: 2-4), intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu: putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang
tua, berhubungan tidak teratur dengan orang tua dan bertemu teratur setiap hari
atau tinggal dan tidur bersama orang tua mereka. Menurut Badan Kesejahteraan
Sosial Nasional (2000: 61-62), beberapa macam intensitas anak jalanan dengan
keluarga mereka adalah: hubungan orang tua sudah putus, masih ada hubungan
dengan orang tua tetapi tidak harmonis, maupun pulang antara 1 sampai 3 bulan
sekali. Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak
jalanan berdasarkan intensitas anak jalanan berhubungan dengan keluarga ada tiga
macam, yaitu:
a. Masih berhubungan teratur dengan orang tua atau keluarga
b. Masih berhubungan dengan orang tua atau keluarga tetapi tidak teratur
dengan frekuensi sangat kurang
c. Sudah tidak berhubungan lagi dengan orang tua maupun keluarga
5. Berdasarkan Tempat Tinggal
Anak jalanan yang ditemui memiliki berbagai macam tempat tinggal.
Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat
tinggalnya adalah:

37

a. Tinggal bersama orang tua
b.

Tinggal berkelompok bersama teman-temannya

c. Tidak mempunyai tempat tinggal
Sedangkan menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN,
2002:

13-15),

beberapa

macam

tempat

tinggal

anak

jalanan

adalah:

menggelandang atau tidur di jalanan, mengontrak kamar sendiri atau bersama
teman, maupun ikut bersama orang tua atau keluarga yang biasanya tinggal di
daerah kumuh. Menurut BKSN(2000: 61-62), beberapa tempat tinggal anak
jalanan adalah:
a. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper
toko, kolong jembatan, taman, terminal maupun stasiun;
b. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman;
c. Tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali.
Dari berbagai sumber diatas, dapat disimpulkan beberapa tempat tinggal
anak jalanan adalah:
a. Tidak mempunyai tempat tinggal sehingga menggelandang dan tinggal di
jalanan serta tidur di sembarang tempat
b. Mengontrak sendiri atau bersama dengan teman
c. Tinggal bersama orang tua atau wali.

2.5.3

Aktivitas Anak Jalanan
Dari definisi anak jalanan, dapat diidentifikasi bahwa anak jalanan

menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan. Berbagai macam aktivitas
banyak dilakukan di jalanan.

38

Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut
aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas:
menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah,
mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli
angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
Menurut Departemen Sosial RI (2002: 13-15), aktivitas yang dilakukan
anak jalanan di jalanan di antaranya adalah bekerja baik itu mengamen,
mengemis, memulung, menjual koran, mengasong, mencuci bus, menyemir
sepatu, menjadi calo dan menggelandang. Selain itu Badan Kesejahteraan Sosial
Nasional (2000: 61-62) menyebutkan bahwa beberapa aktivitas yang dilakukan
oleh anak jalanan adalah bekerja sebagai pengamen, pemulung, pengemis, penjual
koran, pengasong, pencuci bus, penyemis, maupun calo dan menggelandang.
Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
macam aktivitas anak yang dilakukan di jalanan di antaranya adalah untuk bekerja
maupun sekedar menggelandang. Aktivitas bekerja anak jalanan di antaranya
adalah menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau
majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen,
menjadi kuli angkut, menyewakan payung dan menjadi penghubung atau penjual jasa.

2.5.4

Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan
Ada lima sumber masalah anak jalanan menurut Moeliono dan Dananto

(2004), yakni:
1. Anak Jalanan dengan Anak Jalanan
Kesan yang dimunculkan oleh anak jalanan high risk sebagai sosok yang

39

bebas, tidak dikontrol orang tua, tidak wajib setor uang, bebas jajan,
merokok, bergaya hidup santai sering menjadi daya tarik sendiri bagi anak
jalanan

Vulnerable

untuk

mengikuti

jejak

anak

jalanan

high

risk.Kekerasan antar anak jalanan juga sering terjadi dalam berbagai
bentuk seperti perkelahian, penggunaan senjata tajam, pengeroyokan,
pengompasan atau pemerasan, intimidasi psikis dan bahkan seksual.
Akibat kekerasan terwujud dalam trauma psikis dan lingkaran setan
kekerasan.
2. Anak Jalanan dengan Orang Tua
Kemiskinan sering dituding sebagai biang keterlibatan anak dalam
ekonomi keluarga. Dengan dalih kemiskinan anak diperlakukan secara
salah dengan dipaksa bekerja untuk membantu ekonomi orang tua.
3. Anak Jalanan dengan Masyarakat
Masyarakat cenderung memberi stigma buruk pada anak jalanan. Anak
jalanan dianggap sebagai pengganggu kenyamanan lingkungan, pelaku
kriminalitas dan kekerasan.
4.

Anak Jalanan dengan LSM Pendamping Anak Jalanan
Terkadang terjadi persaingan antar LSM, sehingga untuk menarik
perhatian anak, LSM memberikan iming-iming, janji-janji atau bingkisan
dan uang saku. Anak jalanan tiba-tiba merasa jadi idola yang
diperebutkan, bahkan menuduh LSM ”menjual kemiskinan anak jalanan”.

5. Anak Jalanan dengan Negara
Negara berkewajiban menjamin hak asasi anak. Tiga persoalan besar yang

40

dialami anak jalanan adalah masalah identitas dan akte kelahiran,
terbatasnya akses anak pada berbagai fasilitas pelayanan umum, serta
diskriminasi dan kekerasan aparat pemerintah (negara) terhadap anak
jalanan.
Dari pendapat yang di atas permaslahan yang di alami dapat disimpulksan
sebagai berikut:
1. Sesama Anak Jalanan
Melihat perilaku dan sikap anak jalanan yang bia di katakan jauh dari nilai
dan norma sosial yang ada sehingga memunculkan tindakan yang
ekstreme yang mereka lakukan dengan orang lain, baik itu dengan teman
sebaya, teman sepermaianan, orang tua atau lingkungan sekitarnya
2. Keluarga
Tidak sedikit anak-anak yang di tolak keberadaaannya oleh orang tua
mereka, sehingga mereka enggan untuk tinggal dan betah di rumah.
Mereka mencari kehidupan di luar rumah yatitu di jalanan. Jalanan
merupakan pilihan mereka sebagai tempat dari penolakan tersebut. Anakanak yang melarikan diri ke jalanan akhirnya melakukan kegiatan dan
aktivitas di jalanan. Umumnya berada pada usia tersebut perhatian mereka
tertuju pada keinginan di terima oleh teman-teman sebaya sebagai
angggota kelompok. Oleh karena itu mereka ingin menyesuaikan diri
dengan standart yang di setujui oleh kelompok dalam penampilan,
berbicara, dan berperilaku sekali pun itu bertentangan dengan orang
tuanya maupun peraturan sekolah. Bagi masyarakat miskin dizaman

41

sekarang kehadiran anak dianggap sebagai beban. Sehingga tidak jarang
orang tua mendukung anaknya untuk bekerja menghasilkan uanng sendiri.
3. Masyarakat
Menurut Koentjaraningrat (1981: 116), bahwa masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi sesuai suatu sistem adat istiadat tertentu
yangbersifat kontiniu dan yang terkait oleh suatu identitas bersama.
Artinya di sini anak jalanan juga merupakan bagian atau suatu kesatuan
dari masyarakat. Tetapi tidak sedikit masyarakat yang dapat menerima
keberadaan anak jalanan, sulitnya penerimaan itu membuat anak jalanan
tereksklusi serta termarginalkan dari lingkungan sekitarnya. Hal ini di
karenakan paradigma masyarakat tentang anak jalanan sudah buruk atau
negatif.
4. Identitas
Anak jalanan adalah salah satu komunitas, yang selalu bermasalah dengan
akta kelahiran. Jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia tidak kurang dari
230.00 (data kemensos) dan 75% dari mereka tidak memiliki akta
kelahiran. Hak atas identitas adalah hak setiap orang tanpa terkecuali.
Konstitusi pasal 28D ayat 4 sudah jelas mengatur, bahwa setiap orang
berhak atas status kewarganegaraan. Jaminan itu juga ditegaskan lagi
melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dimana pasal 53 ayat (2)
menyatakan, bahwa setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu
nama dan status kewarganegaraan. UU No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak juga mengatur, bahwa setiap anak berhak atas suatu
nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (pasal 5). Identitas

42

diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya dan tertuang dalam
akta kelahiran (pasal 27). Beberapa alasan bagi mereka yang tidak
memiliki kartu identitas diri yaitu:
a. Beberapa dari mereka tinggal ditempat terpencil karena biasanya
kemunculan anak jalanan berasal dari anak-anak desa yang tanpa bekal
ingin hidup di kota disaat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup mereka pun terpaksa menjadi anak jalanan.
b. Karena ketidakmampuan mengurus akta kelahiran karena tidak
memiliki biaya (beberepa tempat harus membayar cukup mahal)
c. Ketidaktahuan bagaimana cara mengurusnya, karena minimnya
informasi dan pengetahuan akan hal itu
d. Tidak adanya tempat tinggal yang permanen karena pengurusan akta
secara formal membutuhkan berbagai dokumen atau keterangan dari
RT atau RW, sementara mereka tidak memiliki itu
e. Anak jalanan mayoritas memiliki asal-usul keluarga yang tidak jelas.
Tidak sedikit anak jalanan berasal dari psangan yang hamil di luar
nikah, bahkan mereka tidak mengetahui siapa orang tua asli mereka.
5. Pendidikan
Dari sulitnya medapatkan identitas diri hal ini akhirnya mempengaruhi
sulitnya anak jalanan untuk masuk ke dunia pendidikan. Anak jalanan
mungkin ini tidak terlihat begitu penting. Pada anak jalanan lebih memilih
untuk mencari uang di bandingkan dengan bersekolah. Karena
perekonomian mereka yang menengah ke bawah yang bagi mereka untuk
memenuhi kebutuhan pokok saja sulit. Itu mereka lakukan demi

43

memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mempertahankan hidup. Maka dari
itulah pendidikan yang di dapat oleh mereka sangat lah rendah. Menurut
Pasal 9 Undang-undang No. 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak (1)
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya”. Pemerintah mewajibkan bagi setiap anak bangsa
mengenyam pedidikan 9 tahun. Tetapi sebagian besar anak jalanan
pendidikan terakhirnya hanyalah kelas 3-5SD bahkan tidak sedikit dari
mereka sama sekali tidak pernah merasakan bangku sekolah atau tidak
pernah bersekolah sama sekali
6. Pemerintah
Tanpa kita sadari di balik kerasnya kehidupan di jalanan, banyak
permasalahan yang di alami oleh anak jalanan yang dilakukan oleh
pemerinta secara umum, lambatnya penanganan anak jalanan oleh
pemerintah. Contoh kasus dalam permasalahan razia, disaat dan setalah
anak jalanan di tangkap mereka bukan nya di tangkap untuk di bina, di
rehabilitsi, di berikan keterampilan dan modal usaha atau di pulangkan
kepada pihak keluarga secara baik. Tetapi yang sering terjadi malah anak
jalanan mendapatkan perlakukan deskriminatsi dari aparat satpol PP,
mereka di caci di maki, ditunjang, bahkan mereka sengaja di pekerjakan di
dalam tahanan. Tidak seharusnya anak-anak mendapatkan perlakukan
seperti tahanan orang dewasa. Dan pemerintah tidak memikirkan langkah
selanjutnya setelah mereka di bebaskan, akan kemana kah mereka, seprti

44

apakah kegiatan mereka. Akan kah mereka kembali kembali ke kehidupan
mereka di jalanan, jawabannya kebanyakan. Iya.
Contoh lain dalam pelayanan publik dalam kesehatan, sulit sekali mereka
dapat pelayanan publik seperti berobat gratis di puskesmas dan layanan
BPJS. Hal ini membuat tingkat kesehatan anak jalanan sangat rendah.
Sehingga di saat mereka sakit, mereka hanya mampu membeli obat-obatan
di warung.
7. Dunia Usaha atau Bursa Kerja
Salah satu masalah yang cukup besar di Indonesia adalah masalah
pengangguran. Sulitnya mendapatkan pekerjaan bukan hanya di alami oleh
anak jalanan, bahkan orang-orang yang berpendidikan yang sudah
memiliki gelar saja sulit mendapatkan pekerjaan. Dilihat dari beberpa
permasalahan yang sudah dituliskan di atas dari mulai masalah identitas
dan masalah pendidikan sangat jauh sekali untuk anaka jalanan disaat
tumbuh besar mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi
kebutuhan diri mereka sendiri dan keluarganya kelak. Danjika pun ada
anak jalanan yang mampu mengenyam pendidikan sampai 9 tahun sangat
sulit sekali karena sudah pasti masyarakat mengenalnya sebagai anak
jalanan yang sudah terkenal negatif, tidak bisa di percaya dan pemalas.
Sehinggatingkat kesejahteraan dan kelayakan hidup anak jalanan hanya
dibawah standart.

45

2.5.5

Metode Penanganan Anak Jalanan
Menurut Departemen sosial menjelaskan bahawa penananan anak jalanan

di lakukan dengan metode dan pemberian pelayanan yang meliputi:
1. Street Based
Street Basedmerupakan pendekatan di jalanan untuk menjangkau dan
mendampingi anak di jalanan. Tujuannya yaitu, mengenal, mendampingi
anak, mempertahankan relasi dan komunikasi, dari melakukan kegiatan
seperti:

konseling,

diskusi,

permainan,

literacy

dan

lain-lain.

Pendampingan di jalanan terus di lakukan untuk memantau anak binaan
dan mengenal anak jalanan yang baru. Street based berorintasi pada
menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan membekali mereka nilai-nilai
dan wawasan positif.
2. Community Based
Community based adalah pendekatan yang melibatkan keluara dan
masyarakat tempat tinggal anak jalanan. Pemberdayaan keluarga dan
sosialisasi masyarakat, dilaksanakan dengan pendekatan ini yang bertujuan
mencegah anak turun ke jalanan danmendorong penyediaan sarana
pemenuhan kebutuhan anak. Community based mengarah pada upaya
membangkitkan kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi anggota
keluarga dan masyarakat dalam menangani anak jalanan
3. Bimbingan sosial
Metide bimbingan sosial untuk membntuk kembali sikap dan perilaku
anak jalanan sesuai dengan norma, melalui penjelasan dan pembentukan

46

kembali nilai bagi anak, melalui bimbingan sikap dan perilaku sehari-hari
dan bimbingan kasus untuk mengtasi masalah-masalah kritis.
4. Pemberdayaan
Metode pe,berdayaan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anak
jalanan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Kegiatannya berupa
pendidikan, keterampilan, perberian modal, alih kerja dan sebagainya.

2.6 Rumah Singgah
Salah satu bentuk penanganan anak jalananadalah melalui pembentukan
rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia pada
bulan Juli 1996 mendefeniskan rumah singgah sebagai tempat pemusatan
sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk
memeproleh informasi dan pembinaan awal sebelum d rujuk ke dalam proses
pembinaan lebih lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah
di defenisikan sebagai perantara anak jalanan dan dengan pihak-pihak yang
membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses informal yang memebrikan
suasana pusat realisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma masyarakat.
Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan perantara antara
jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka. Rumah singgah bertujuan
membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan
akternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian rumah
singgah

bukan

merupakan

lembaga

pelayanan

sosial

yang

membantu

menyelesaikan msalah, namun merupakan lembaga pelayanan sosial yang

47

memberikan proses informal dengan suasana resosialisasi bagi anak jalanan
terhadap sistem nilai dan norma yangberlaku di masyarakat.
Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Depsos sebagimana di kutip
oleh Krismiyarsi (2004) mendefenisikan rumah singgah sebagai berikut:
1. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan,
misalnya: karena tidak punya rumah, ancaman di jalan, kekerasan dari
orang tua atau orang lain. Biasanya hal ini di hadapi anak yang hidup di
jalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal
2. Pada saat tinggal sementara mereka memperoleh intervensi yang intensif
dari pekerja sosial sehingga tidak etrgantung terus kepada rumah singgah
3. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat,
bermain mengikuti kegiatan dan lainnya
4. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal
selamanya
5. Anak jalanan yangmasih ting